• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETUALANGAN sahabat yang TAK TERDUGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PETUALANGAN sahabat yang TAK TERDUGA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PETUALANGAN TAK TERDUGA

Nama ku adalah Izar, aku adalah seorang siswa SMP. Aku mempunyai seorang adik yang bernama Ratih. Waktu itu adalah siang hari di mana acara kartun favorit ku sedang tayang.

“Kak, kita jalan yuk?” ajak Ratih.

Aku tak menghiraukannya. Aku sendiri sedang menikmati acara TV kesayanganku, yang tak pernah aku lewati satu bagian pun.

“Kakak?” panggilnya sekali lagi.

“Iya, ada apa? Kamu ganggu Kakak aja. Kakak lagi serius nonton nih” balasku tanpa menatap Ratih.

“Kita jalan jalan yuk?”

“Tapi mau ke mana?” tanyaku.

“Ke mana aja kak. Ratih lagi malas di rumah. Mau ya kak?” bujuk Ratih padaku. Aku menatapnya. Ku lihat kesungguhan niatnya pada kedua bola matanya. Aku hanya mengganggukkan kepala, pertanda bahwa aku setuju. Aku tak bisa mengelak dari rayuannya. Dia terlihat begitu senang saat mendengar jawabanku. Dia Adik perempuanku satu-satunya yang paling ku sayangi.

“Ayo siap-siap kak” seru Ratih dengan begitu semangat.

“Kita ke hutan saja ya kak?” Lanjut nya dengan rona wajah yang begitu antusias

Ajakannya membuatku jadi bingung? Mengapa harus ke sana? Aku hanya mengerutkan dahi saja.

“Kakak takut ya?” tanya nya kepada ku dengan nada menantang .

“Nggak kok. Cuma Kakak heran aja. Katanya mau jalan - jalan. Eh, malah kamu ajak Kakak ke hutan?”

“Aku cuma ingin mencari pengalaman yang berbeda aja kak. Lagian, kalau kita pergi ke mall, ke pantai atau nonton itu kan sudah biasa aku lakukan. Aku pengen rasain sesuatu yang berbeda saja kak” jelas nya dengan panjang lebar.

(2)

***

Suara Ratih sama sekali belum terdengar selama kami menempuh perjalanan. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Ia sesekali memandang langit yang tampak cerah sambil menatap kiri dan kanan kami.

“Seperti seorang intel saja”pikirku dalam hati.

Devi sudah mulai kecapean. Ku putuskan untuk berhenti sejenak. Joni kemudian menyodorkan sebotol air padaku.

“Terima kasih” ucapku lalu meneguknya. Cuaca hari ini cukup panas sehingga memicu dehidrasi. Kalau saja tidak membawa bekal, pasti kami sudah mati kehausan di sini. “Kak, coba ke sini!” panggil Ratih. Aku segera berlari menyusulnya.

“Apa Ratih menemukan sesuatu?” tanya hatiku.

Joni dan Devi menyusul dari belakang. Kini bola mataku seperti tertahan oleh sesuatu. Ia tak bisa kugerakkan sama sekali. Aku hanya mampu menatap ke bawah. Kini kami semua berdiri tepat di sebuah lubang yang berdiameter 8 m dengan ketinggian mencapai 18 kaki.

“Apa ini?” tanya Devi.

Tak ada satupun yang menjawab. Semua terpaku pada tempat ini.

“Ratih, apa yang kamu lakukan?” teriakku saat melihat Ratih mencoba untuk menuruni lubang tersebut. Panggilanku sama sekali tidak membuatnya berhenti. Seakan panggilanku dijadikan motivasi untuk terus melanjutkan aksinya. Aku berlari, dengan tujuan untuk menghentikan langkahnya, tetapi dia terlampau jauh dariku.

“Aku nggak kenapa-kenapa kak. Aku baik-baik saja di bawah sini. Kakak coba turun, dan lihat apa yang ku dapat!” teriak Ratih dari bawah lubang itu.

Ajakan Ratih membuatku jadi penasaran.

“Apa yang ada di bawah sana?” Aku menatap Joni dan Devi yang berdiri di sampingku. Joni dan Devi hanya menggelengkan kepala tanda bahwa mereke juga tidak tahu apa yang ada di bawah sana.

Kami bertiga pun memutuskan untuk turun ke lubang tersebut sembari menyusul Ratih yang telah turun terlebih dahulu.

***

“Apa itu?” tanyaku.

(3)

“Tempat apakah ini?” tanyaku dalam hati. Ku alihkan pandanganku ke tempat lain. Ku lihat beberapa batu berbentuk peti tergeletak setengah meter dari tempatku berdiri.

“Hei, coba lihat ini!” panggilku pada Joni, Devi, dan Ratih. “Apa ini?” tanya Joni penasaran.

“Mungkin tempat untuk menyembunyikan senjata” jawab Ratih. “Bisa jadi” sambungku membenarkan argumen Adikku.

“kalau aku menemukan ini” ucap Devi sambil menunjukkan sebuah botol kepada kami bertiga. Botol berukuran kecil dengan gambar tengkorak bertanda silang. Sepertinya sudah lama sekali. Itu terlihat dari debu yang menutupi botol tersebut.

“Ini pasti minuman beracun. Tandanya terlihat jelas sekali” seru Ratih sambil membersihkan debu yang melekat.

“Ini mungkin digunakan untuk meracuni para penjajah” sambung Ratih.

“Penjajah? Iya, memang benar. Ini ada hubungannya dengan penjajah” batinku.

Kami semua menggangukkan kepala serempak. Misteri tempat ini hampir terpecahkan oleh detektif amatiran seperti kami.

Tiba-tiba terdengar sebuah nyanyian dari dalam lubang tersebut. Nyanyian yang kedengaran asing di telinga kami. Tentu saja itu membuat kami semua takut.

“Apa ini adalah penunggu dari tempat ini? Apa kami telah mengusiknya? Semoga tidak!” seru Ratih yang langsung memegang erat tanganku sambil bersembunyi di balik ransel hitam yang ku bawa. Sementara Devi berlari ketakutan ke arahku. Ia memeluk erat tubuhku sehingga aku sendiri sulit untuk bernapas.

Di saat itu perasaanku jadi tak karuan, di antara senang atau takut. Senang karena berada dalam dekapan Devi, sedangkan takut akan suara misterius itu. Joni kemudian berdiri di

sampingku dengan wajah yang panik juga. Nyanyian itu sama sekali belum pernah ku dengar sebelumnya. Nyanyian tersebut sepertinya ingin mengatakan sesuatu kepada kami semua yang sedang ketakutan ini. Tapi apa? Kami sama sekali tak mengerti.

“Sepertinya itu menandakan untuk kita segera pulang” bisik Devi pada kami semua. “Iya kak!” tambah Ratih.

Aku pun mengiyakan. Begitu pula dengan Joni.

(4)

Nyanyian itu masih saja terus berkumandang, seperti nyanyian yang penuh kesedihan. Nyanyian yang penuh harapan. Nyanyian yang penuh dengan misteri kehidupan. Nyanyian yang membuat orang menjadi iba sekaligus merinding. Nyanyian yang terdengar perlahan, namun mengerikan jika didengar terlalu lama. Akhirnya kami memutuskan untuk naik ke atas. saat tiba di atas suara itu pun hilang dengan seketika. Sungguh aneh tapi itulah yang kami hadapi

sekarang ini. Kami semua saling menatap. Tatapan kami penuh dengan tanda tanya. “Ada apa dengan tempat ini?” tanya Ratih yang masih ketakutan

“Ayo kita pulang!” seruku yang berjalan dan memimpin barisan. Ratih dan Devi kemudian berjalan mengikutiku dari belakang.

“Tidak! Sebelum aku tahu apa yang ada di lubang itu. Aku yakin pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sana” bentak Joni saat kami hendak meninggalkan tempat itu.

“Tapi Joni, suara tadi telah mengirim pesan secara tidak langsung kepada kita untuk segera meninggalkan tempat ini. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tempat ini. Ayo kita pulang Jon!” seruku kepada Joni dengan nada tinggi.

“Sekali ku bilang tidak, ya tetap tidak!” balas Joni dengan nada yang lebih tinggi. Joni bersikeras agar kami turun kembali ke lubang itu. Aku kesal sekali dengan sikapnya yang satu ini.

“Aku tak akan meninggalkan tempat ini sebelum aku mengetahuinya rahasia nya” sambungnya lagi.

“Sial!” Dia benar-benar membuatku kehilangan kesabaran. Aku berlari ke arahnya sambil mengepal tanganku, bersiap untuk memukulnya.

Belum sempat ku layangkan tinjuku padanya, tiba-tiba sebuah suara lagi-lagi mengejutkan kami semua.

“HIHIHIHIHI!!” Suara tertawa itu datang begitu saja tanpa permisi. Kejadiannya hampir sama saat kami berada di bawah sana. Kami tak tahu dari mana asal suara itu. Tak ada siapapun di sana, hanya kami berempat. Ku isyaratkan Joni untuk segera kembali. Kali ini ia mengikuti instruksiku dengan baik. Aku tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada kami semua.

***

“Kak, tadi itu apaan ya?” tanya Ratih. “Kakak juga nggak tahu pasti” jawabku.

“Ya udah, nggak usah dipikirin lagi. Yang penting kita semua baik-baik saja sekarang” “Lain kali kalau diajak beginian, aku nggak mau ikut lagi. Aku kapok 7 turunan deh! Tahu nggak, tadi tuh aku hampir ngompol” seru Devi sambil marah - marah.

(5)

“Hei, kamu kenapa?” sapaku kepada Joni.

Joni tak menjawab. Ia seperti sedang merenung atau dia sedang menyusun strategi baru yang dapat membuat misteri tempat ini terkuak. Entalah.

“Brukkk!” Terdengar sesuatu. Sepertinya tak jauh dari tempat kami berada.

“Ada seekor burung yang jatuh di sini!” teriak Joni. Suaranya menggema, terpantul dari setiap batang pohon yang berdiri tegak di situ.

Kami semua menghampirinya. Burung kecil yang malang. Sayapnya terluka. Mungkin terkena peluru oleh para pemburu yang ingin sekali mendapatkannya. Itu sebabnya sehingga ia tak dapat mengepakkan sayapnya dan akhirnya terjatuh. Tapi siapa pelakunya? Perasaan cuma kami berempat yang ada di sana. Kami juga tak mendengar bunyi tembakan atau semacamnya. Aneh sekali.

Di saat ingin ku sentuh burung itu, tiba-tiba saja burung itu terbakar hangus oleh cahaya matahari yang mengenai tubuhnya. Aku, Joni, Devi, dan Ratih menjadi heran dengan kejadian itu. Kami mundur beberapa langkah, menjauh dari burung itu. Asapnya mengepul dan menuju sebuah batang pohon yang tak terlalu besar. Ku lihat ada tanda panah yang terlukis di sana. Apa lagi ini? Apa ini sebuah petunjuk atau jebakan? Aku tak tahu pasti. Aku kini jadi tertarik untuk mengetahuinya, begitu pula yang lain. Perasaan takut yang sedari tadi mengikuti kami sekejap hilang. Rasa ingin tahu kami begitu kuat. Kami sama sekali tidak ingat akan suara tadi yang sempat mematahkan semangat kami untuk terus lanjut. Aneh bukan? Tapi begitulah yang kami rasakan.

Tanda panah itu menghantarkan kami pada sebuah gua kecil tak berpenghuni. Sunyi sekali. Kami tak mampu melihat ke dalam karena terlalu gelap.

“Ada yang punya senter?” tanyaku.

Devi kemudian memberikan senter dari dalam tas yang telah ia persiapkan dari tadi. Ku tatap matanya, indah sekali. Seakan ku tak mau lepas dari tatapannya. Lagi-lagi, perasaan ini muncul saat harus berhadapan dengan Devi. Seperti suatu bagian yang tak terpisahkan dari diriku.

“Kak, ayo jalan!” seru Ratih sambil menyikut perutku.

“Eh., iya ..” aku tersadar dari lamunanku. Ku lihat Devi yang tersenyum melihat tingkah anehku ini.

Ku arahkan cahaya senter ke dalam gua tersebut. Ribuan kelelawar langsung menyerbu kami. Kami semua menundukkan kepala sambil bergandengan tangan. Suasananya yang tadinya tenang berubah menjadi gaduh karena teriakan kelelawar. Kami semua telah membuat kelelawar itu terbangun dari tidur lelapnya. Perjalanan dilanjutkan kembali. Aku tak tahu gua ini akan menuntun kami sampai di mana. Kami menemui persoalan baru. Ya, kami menemui jalan buntu, ditutupi oleh bebatuan yang lumayan besar.

(6)

“Kita balik aja kak” ajak Devi yang mulai ketakutan.

“Tunggu! Apa ini?” Ratih melihat sesuatu yang terselip di bebatuan itu. Itu seperti seutas tali, lalu ku tarik.

“Jangan!” teriak Joni.

“Itu mungkin jebakan!” lanjut Joni

Tapi terlambat sudah karena telah ku tarik tali itu.

“Brurrr..” Batu itu pun runtuh, berserakan di hadapan kami. Membuat gaduh tempat itu. Aku hanya mengangkat kedua bahuku sambil mengernyitkan dahi lalu menatap mereka bertiga yang keheranan. Ternyata itu bukan jebakan melainkan itu merupakan rahasia yang tersembunyi.

***

Bukannya ini lubang yang tadi kita datangi?” tanya Devi dengan keheranan. “Iya, benar” jawab Joni.

Semua ini membingungkan. Mengapa kami dituntun kembali ke tempat ini? Tempat yang telah kami lewati beberapa waktu lalu. Kami kini benar-benar dibuat bingung. Dan sekali lagi, nyanyian misterius itu berkumandang di telinga kami.

Tanpa sadar aku menyentuh sesuatu yang berada di belakangku dan terbukahlah sebuah pintu rahasia. Kami semua segera masuk ke dalam karena ketakutan yang melanda.

“Prak!!” Pintu itu terkunci secara otomatis. Kami terjebak di dalamnya. Yang penting kami bisa terlepas dari nyanyian yang begitu menyeramkan itu. Tempatnya tidak terlalu gelap karena cahaya mentari berhasil masuk melalui celah-celah sempit. Nyanyian itu tak terdengar lagi. Sekarang kami menemui masalah baru. Ya, bagaimana kami keluar dari tempat ini?

Aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Keringat membanjiri tubuhku. Jantungku berdetak cepat, secepat seekor harimau yang sedang berlari. Ku coba untuk mengaturnya kembali.

Saat ku alihkan pandanganku ke depan, ternyata, di depan kami terdapat setumpuk tengkorak dengan rangka badannya. Terlihat tidak terurus lagi. Hal itu membuat Devi teriak histeris. Dengan segera Joni menutup mulut Devi.

“Jangan terlalu ribut di sini. Ntar kita dimarahi” ucap joni. Devi mengangguk.

“Ratih!! Apa yang kamu lakukan?” teriakku padanya.

(7)

Ratih merapikan tengkorak-tengkorak itu. Rasa takut sama sekali tak ia tunjukkan pada kami. Seperti sesuatu melindunginya, berupa tameng yang siap menepis semua serangan yang akan datang. Ia menyusunnya menjadi rangka manusia yang sempurna, yang terlihat duduk sambil memegang sebatang lilin di tangannya masing-masing. Mungkin ini adalah maksud dari nyanyian misterius itu. Menolong mereka yang telah tiada dengan menunjukkan perlakuan baik kepada mereka sehingga mereka bisa merasa tenang di alam baka sana.

Kami melanjutkan perjalanan lagi, mengikuti lorong kecil ini. Kami kemudian ke luar dari semak-semak belukar. Sekujur tubuh kami langsung menjadi gatal. Aku pandangi sekitar. Ternyata kami sudah berada di depan jalan. Rumah kami sudah terlihat di ujung barat. Sungguh menakjubkan. Devi sudah tidak sabar lagi untuk pulang ke rumah tercinta. Begitu juga aku, Joni dan Ratih. Kini Ratih asyik bercerita dengan Joni, sedangkan aku bersama Devi. Ku genggam tangannya. Terasa sesuatu yang mengganjal. Aku merasa begitu bahagia bisa bersama dengannya saat ini. Apalagi di saat dia memelukku tadi. Ku ingin kejadian itu terulang kembali, tapi

suasananya tak seperti di kala itu. Aku ingin pelukan itu pertanda bahwa dia telah jatuh dalam cintaku. Pelukan yang pertanda bahwa aku telah siap menjadi pelindung dirinya. Devi tampak malu-malu padaku. Wajahnya memerah. Aku lalu tersenyum manis padanya.

Kini kami semua mulai mengerti dengan semua kejadian di hari ini. Ini adalah sebuah jalan pintas sekaligus tempat persembunyian di zaman dahulu kala. Tempat untuk menyusun strategi perang dan melakukan penyerangan terhadap musuh.

“Ternyata dugaanku benar. Nyanyian yang berupa permohonan. Burung yang terkapar lemas sungguh menunjukkan jalannya bagi kami.” Ucapku dalam batin.

(8)

TUGAS INDIVIDU BAHASA INDONESIA

MEMBUAT CERPEN

D

I

S

U

S

U

N

Oleh :

A. Abitzar Alghiffari

Kelas IX A

Referensi

Dokumen terkait

Seorang guru yang bertugas sebagai fasilitator harus pandai memilih metode pembelajaran yang cocok dengan karakteristik siswa, seperti yang dilaksanakan di SMPN 13

Dari data penelitian, diperoleh solusi awal biaya angkut total pada bulan Februari 2017 menggunakan metode Fuzzy North West Corner sebesar Rp1. Dan untuk menentukan optimalitas

Jika Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 memberikan ketentuan- ketentuan mengenai iuran wajib bagi penumpang kendaraan umum, Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 memuat

Intermitten noise merupakan kebisingan kontinu, melemahnya intensitas suara ke tingkat yang sangat rendah atau tidak berbahaya dari intensitas tinggi dalam waktu yang relatif

Alasan inilah yang membuat Bunda memindahkan Shefa dari sekolah biasa ke sekolah asrama.. Mungkin kelakuan Shefa ini dapat dirasa normal mengingat usianya yang baru

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penilaian konsumen terhadap pelaksanaan bauran pemasaran dan implikasi strateginya pada masa yang akan datang di Bali

latar belakang berwarna merah dengan bordir tepi warna kuning, di dalamnya terdapat gambar pohon beringin berwarna hijau dengan corak lengkung warna kuning, batang pohon

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya