• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membongkar Cerpen Clara Atawa Wanita yan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membongkar Cerpen Clara Atawa Wanita yan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Membongkar Cerpen “Clara Atawa Wanita yang Diperkosa”

karya Seno Gumira Adjidarma; Sebuah Analisis Dekonstruksi dengan

Fokus pada Sudut Pandang

1

oleh (Kelompok B):

Derick Adeboi, Heru Joni, Jenni Anggita, Maria Cherry, Mursyidatul Umamah, Ria Hikmatul

I.

Seno Gumira Ajidarma merupakan salah satu penulis Indonesia yang karya-karyanya memberikan sumbangan besar bagi kesusastraan Indonesia modern. Latar belakangnya sebagai seorang wartawan membawa Seno lebih peka dalam melihat lingkungan sekitar yang tercermin dalam karyanya berupa esai, cerpen, dan novel. Salah satu karya tersebut adalah

cerpen “Clara atawa Wanita yang Diperkosa”2 yang mengambil setting kerusuhan Mei 1998. Cerpen itu terdapat dalam kumpulan cerpen Iblis tak Pernah Mati yang telah terbit sebanyak tiga kali, yaitu Mei 1999, Agustus 2001, dan September 2004.

Sebelum diterbitkan menjadi antologi cerpen, “Clara” pertama kali tampil di depan umum saat dibacakan oleh Adi Kurdi dan Ratna Riantiarno dalam acara Baca Pembahasan Cerpen Seno Gumira Ajidarma, syukuran penerimaan SEA Write Award oleh komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Galeri Cipta, TIM, 10 Juli 1998. Kemudian, cerpen “Clara” dimuat di harian Republika pada 26 Juli 1998. Selain itu, “Clara” juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Jepang, serta dibacakan di University of Washington-Bothell, Seattle (1999) dan di University of Victoria, Victoria Bc (1999).3

Cerpen “Clara” merupakan satu kepingan puzzle, kisah pilu ketika zaman peralihan dari Orde Baru menuju Reformasi pada tahun 1998. Huru-hara yang terjadi menarik perhatian dunia dengan kisah pilunya bahkan sempat dimuat di berita lokal, nasional, hingga internasional. “Clara” merepresentasikan perempuan Tionghoa yang pada waktu itu menjadi korban pemerkosaan oleh laki-laki pribumi. Kala itu, keturunan Tionghoa yang menjadi pemilik modal dan menguasai alat produksi banyak yang gulung tikar karena krisis moneter 1997. Keberadaan etnis Tionghoa yang lebih mapan dibandingkan dengan pribumi menimbulkan kecemburuan sosial. Pada pembacaan pertama, pembaca pasti ikut iba pada

1 Esai ini disusun untuk memenuhi tugas Teori Sastra yang diajar oleh Bpk. Tommy Christommy pada 14

Desember 2016.

2 Selanjutnya penulis akan e ye ut judul erpe i i Clara .

(2)

2

tokoh Clara dan menempatkannya sebagai korban. Namun, dalam pembacaan berikutnya dapat ditemukan pemaknaan lain. Maka esai ini berusaha mencari makna lain yang belum terungkap melalui teori dekonstruksi Derrida.

II.

Sebagai penyokong utama Post-strukturalisme, teori dekontruksi Derrida merupakan pemberontakan terhadap pandangan Strukturalisme. Aksioma Strukturalisme dalam menganalisis karya sastra adalah bahwa suatu makna dari suatu karya sastra tercipta berdasarkan hubungan yang padu antar unit dalam karya sastra itu sendiri. Adapun unit-unit yang dimaksud adalah unit-unit-unit-unit yang membangun suatu cerita, sebagai contoh, adalah tokoh, latar, plot, sudut pandang, dan karakterisasi. Pandangan Strukturalisme percaya bahwa setiap unit tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam menghasilkan suatu makna, sehingga untuk mencapai suatu makna yang final, maka setiap unit tersebut harus menjadi bagian dalam proses analisa sekaligus pemaknaan suatu karya. Konsekuensinya, setiap makna yang berhasil dianalisis dalam karya sastra melalui pandangan Strukturalisme mempunyai suatu legitimasi bahwa makna tersebut tidak bisa lagi diganggu-gugat, bahkan oleh kondisi eksternal dari karya itu sendiri, karena proses pemaknaan atas setiap hubungan unit-unitnya sudah dilakukan secara menyeluruh.

Pandangan Strukturalisme tersebut mendapat kritik fundamental dari dekonstruksi yang menegaskan bahwa tidak ada makna yang final dalam karya sastra, bahkan setiap teks selalu mempunyai retakan, yang kemudian menyebabkan setiap makna-final selalu berhasil diruntuhkan. Retakan tersebut, menurut pandangan dekonstruksi, sudah dimulai dari adanya hirarkis metafisis pada penanda-petanda dalam proses pemaknaan suatu kata itu sendiri. Hirarki tersebut kemudian tampak pada setiap modus konstruksi pemaknaan dalam Strukturalisme, seperti adanya oposisi biner secara tersirat dalam setiap konstruksi makna-tunggal suatu teks. Oleh sebab itu, teori dekonstruksi sangat berambisi sekali untuk membongkar setiap oposisi biner tersebut dengan cara membaca kembali secara detail (close reading) struktur teks itu sendiri dan kemudian menampilkan kontradiksi, ambiguisitas, dsb. dari aspek-aspek partikular (kata, kalimat, dsb.) dari suatu unsur teks, sehingga kemudian temuan tersebut menjadi legitimasi untuk menggoyahkan makna-tunggal yang diproduksi pandangan Strukturalisme.

(3)

3

sebagai seorang Polisi dalam cerita ini. Analisa terhadap sudut pandang Aku tersebut dilakukan untuk melihat makna-makna yang tersembunyi, entah itu dalam bentuk makna yang kontradiksi, ambigu, paradoks, dll, dibalik makna konvensional sebagaimana yang diarahkan teks cerpen tersebut.

III.

Analisis pertama dilakukan secara spesifik dengan memusatkan pada kata-kata dan ekspresi dalam teks untuk menemukan oposisi-oposisi biner dalam “Clara”. Oposisi biner pertama adalah pribumi dengan non pribumi. Oposisi ini disepakati sebgai hasil konstruksi sosial karena berangkat dari latar peristiwa pada era 1998, yang menggambarkan adanya kebencian dari kaum pribumi terhadap kaum non-pribumi. Dapat dilihat dari kalimat yang dilontarkan oleh petugas pencatat kepada Clara.

“Aku memang punya sentimen kepada orang-orang kaya-apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali.” (Budianta, 2006: 215).

Oposisi biner kedua yaitu pemerintah dengan PKI. Pada masa itu, kebencian terhadap kaum pribumi kerap dihubungkan dengan posisi mereka dalam politik Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.” (Budianta, 2006: 207).

Dalam kalimat tersebut, petugas pencatat mempertentangkan dirinya yang diakui sebagai binatang, namun disisi lain memiliki hasrat memperkosa yang dianggap lebih rendah dari binatang. Oposisi biner ketiga yaitu, laki-laki dengan perempuan. Teks terkait laki-laki dapat dilihati dari ekspresi seksis yang dilontarkan oleh petugas pencatat.

“Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia sungguh -sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya

aku juga ingin memperkosanya.” (Budianta, 2006: 215).

Sementara, posisi perempuan dapat dilihat dari sudut pandang Clara pada kalimat:

“Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.” (Budianta, 2006 210).

(4)

non-4

pribumi, dalam cerpen ini, non-pribumi adalah mereka yang beretnis Tionghoa. Kedua, tokoh Clara yang merepresentasikan perempuan Tionghoa adalah korban, yang mengalami kekerasan berulang kali, baik fisik atau verbal dari petugas catat. Ketiga, terkait identitas bahwa sekalipun orang Tionghoa, Clara tak dapat berbahasa Cina, dia merasa seutuhnya orang Indonesia. Dalam oposisi biner tersebut, Clara senantiasa berada pada posisi inferior terhadap posisi yang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa cerpen ini secara konvensional berusaha mengarahkan pembaca untuk bersimpati pada tokoh Clara. Dengan kata lain, ada

idealisasi atas tokoh Clara sebagai ‘korban’ yang kompleks.

IV.

Setelah mendapatkan makna secara struktural melalui oposisi biner di atas,

selanjutnya teks “Clara” berusaha didekonstruksi dengan memfokuskan analisis pada sudut pandang yang dipakai tokoh “Aku”. Analisa terhadap sudut pandang ini penting karena

sebagian besar narasi tentang Clara disampaikan lewat sudut pandang tokoh “Aku”.

Oleh sebab itu, peranan sudut pandang dalam penceritaan cerpen “Clara” ini sangat penting. Tokoh aku, yang mengidentifikasi dirinya sebagai petugas, menjadi narator utama, dan memakai narasi yang metafiksional. Ia sekaligus berperan juga sebagai pereka ulang kejadian perkosaan yang menimpa Clara. Kepada pembaca, ia memakai kata ganti “Saya” sebagai pembeda narasi.

“Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversive—pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan. Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku sungguh pekerjaan yang ringan.” (Budianta, 2006: 208).

(5)

5

Sampai sejauh ini seharusnya tak ada masalah dalam mengamati sudut pandang narator dalam cerita. Pertanyaannya, mengapa bukan Clara yang menyampaikan sendiri kisahnya, namun malah dinarasikan oleh si tokoh “Aku” yang menjadi “Saya”? Apabila melihat pada pengakuan tokoh “Aku” yang menyatakan biasa memanipulasi kenyataan dari pahit menjadi manis, begitupun sebaliknya. Maka, intensi tokoh “Aku” dalam menarasikan suara realitas yang dialami Clara patut dicurigai sebagai upaya yang manipulatif. Ketika pembaca mampu tenggelam dalam pilu yang dialami Clara, apakah narator bertujuan untuk mengarahkan pembaca dalam sebuah gejolak emosional? Atau ketika pembaca tidak tergerak dan malah menaruh kecurigaan, mungkinkah narator juga sengaja mengarahkan pembaca dalam skeptisisme ini? Narator tokoh “Aku”, si petugas, berhasil menjadi pencerita

omnipoten dalam cerpen Clara, ia bisa kita percayai sepenuhnya ataupun tidak kita percayai sepenuhnya, tapi seluruh narasi dalam cerita ini adalah miliknya, bukanlah milik Clara.

V.

Tokoh Clara dalam cerpen tersebut diposisikan sebagai korban dari tindakan pemerkosaan dan kekerasan lain. Hal tersebut dapat dilihat dari perantara tokoh Aku yang berperan sebagai Polisi yang mencatat pengaduan Clara. Secara konvensional, dapat dilihat bahwa cerpen tersebut mengarahkan perhatian kita untuk bersimpati pada tokoh Clara karena penderitaan yang dihadapinya. Keretakan teks tersebut justru tidak pada arahan teks tersebut agar kita bersimpati pada tokoh Clara, melainkan pada objektifikasi Clara dalam cerita itu sendiri. Dengan kata lain, dengan kacatamata Dekontruksi, kita bisa melihat bahwa Clara tak hanya berda dalam posisi inferior dari berbagai oposisi biner, tetapi Clara pun tidak benar-benar menjadi subjek cerita yang berbicara atas nama dirinya sendiri, melainkan ia hanya

objek cerita dari tokoh “Aku” yang justru menjadi tokoh utama cerita. Dengan kata lain, melalui penggunaan sudut pandang “Aku” sebagai tokoh yang menceritakan Clara. Hal itu membuat cerpen tersebut menjadi tidak benar-benar menjadikan Clara sebagai tokoh utama

yang menjadi fokus cerita, sebab kehadirannya diperantarai oleh tokoh “Aku”.

Dengan mengemukakan makna tersembunyi tersebut, Clara sebagai objek cerita dari

(6)

6

Daftar Pustaka

Barry, Peter. 2010. Beginnig Theory. Yogyakarta: Jalasutra.

Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera.

Friedman, Norman. 1995. “Point of Vieuw in Fiction: The Development of a Critical Concept”. PMLA, Vol. 70, No.5. Modern Language Association.

Gumira, Seno. 2004. Iblis Tak Pernah Mati. Yogyakarta: Galang Press.

Haryatmoko. 2016. Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis): Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan. Jakarta: Rajawali Press.

Referensi

Dokumen terkait