• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pameran 100 Tahun De Weefkunst Peringata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pameran 100 Tahun De Weefkunst Peringata"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Terima kasih kami ucapkan kepada perorangan maupun lembaga berikut ini, atas bantuan dan dukungan bagi penyusunan katalog serta terselenggaranya pameran ini:

Antiquariaat A.F. van der Stuer, Haarlem (Theo Hopman) KITLV, Leiden

National Museum of Ethnology, Leiden (Francine Brinkgreve) Singapore Airlines

(Anggota keluarga almarhum J.E. Jasper) Esther dan Niek de Vlam-Jasper Peter James Jasper

John Hees

(Anggota keluarga almarhum Mas Pirngadie) Ibu Minarsih

Arif Dirhamzah Leo Haks

Kata Pengantar

Teks: Sandra Niessen, MJA Nashir

Kata pengantar: Kepala Museum Tekstil, Indra Riawan Terjemahan dari bahasa Inggris: Nicolette P.R. Moeliono Desain: Pang Warman

Penerbit: Bergoord Publishing, Oosterbeek dan Museum Tekstil, Jakarta ISBN : 978-90-817886-0-1

Sebagai jendela budaya wastra atau tekstil tradisional di ibukota negara, Museum Tekstil Jakarta memandu para pecinta wastra khususnya generasi muda untuk mengenali tidak hanya perkembangan wastra dari masa ke masa, akan tetapi juga mengenali siapa saja orang-orang yang berkiprah dalam perkembangan wastra Indonesia.

J.E. Jasper dan Mas Pirngadie adalah sosok yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah perkembangan wastra Indonesia. Buku De Weefkunst (Seni Tenun) yang ditulis oleh kedua tokoh berbeda kebangsaan yang diterbitkan pada tahun 1912, menjadi bukti kecintaan dan kebanggaan mereka pada In-donesia. Buku tersebut hingga saat ini menjadi salah satu acuan dalam dunia wastra karena sarat akan informasi yang menggambarkan betapa kayanya Indonesia akan tenun pada masa itu dan secara detail mengupas perihal te-nunan di berbagai daerah di Indonesia baik dalam hal teknik, bahan, maupun ragam hiasnya.

Semoga hadirnya pameran ini cukup menggetarkan sanubari masyarakat untuk makin bangga sebagai bangsa Indonesia yang dianugerahi berlimpah kekayaan wastra, bangga memiliki putra bangsa dengan bakat seni yang tinggi seperti Mas Pirngadie, serta memberikan apresiasi kepada bangsa lain yang cukup besar perhatiannya terhadap perkembangan wastra Indonesia sebagaimana kiprah J.E. Jasper pada masanya.

Terima kasih yang dalam disampaikan kepada sahabat Museum Tekstil Jakarta, Sandra Niessen sebagai penggagas terselenggaranya pameran peringatan seabad penerbitan buku monumental seni kriya di Nusantara De Weefkunst, MJA Nashir dan Pang Warman yang gigih mempersiapkan pa-meran, juga Nicolette Moeliono serta semua pihak yang membantu dengan segenap hati terwujudnya pameran ini.

Selamat berapresiasi.

Salam Museum Tekstil, Lestari Wastra Bangsaku.

Jakarta, Oktober 2012 Kepala Museum Tekstil,

(4)

Pendahuluan

Daftar Isi

"Kepadamoe generasi baroe terserah meneroeskan pekerdjaan jang telah disediakan dengan seindah dan sedahsjat itoe."

(S.T.A. 1936)  1912. Buku De Weefkunst (Seni Tenun) oleh J.E. Jasper dan Mas Pirngadie diterbitkan, sebuah tinjauan yang rinci dan indah mengenai warisan tekstil yang kaya di kepulauan Indonesia.

2012. Satu abad telah berlalu. Museum Tekstil di Jakarta me-milih untuk merayakan ulang tahun keseratus buku mengenai kriya tenun karangan Jasper dan Pirngadie yang menjadi tong-gak penting di bidangnya dengan sebuah pameran dan suatu rencana penelitian sebagai tindak lanjut.

Kecermatan dan lingkup De Weefkunst belum pernah terlam-paui. Buku ini ditakdirkan menjadi buku klasik sekaligus dasar yang kuat untuk penelitian lebih lanjut mengenai tradisi tenun yang kaya dan beragam di Nusantara. Museum Tekstil Jakarta memanfaatkan ulang tahun ke-seratus penerbitan buku ini untuk mengundang pecinta tekstil Indonesia untuk memberi perhatian kepada kedua penulis yang luar biasa dan hasil spektakuler kolaborasi mereka. Buku ini ditulis dalam bahasa Belanda. Bahasa telah menyandera dan mencegahnya mendapat perhatian yang selayaknya di Indonesia.

De Weefkunst ditulis pada masa yang sangat menarik dalam sejarah Nusantara. Johan Ernst Jasper (1874 - 1945) adalah seorang pegawai negeri yang sedang meniti karier menuju posisi Gubernur Yogyakarta. Selama waktu itu, pemerin-tah kolonial mengakui bahwa kerajinan merupakan sumber pendapatan bagi produsen Indonesia dan juga menyadari

Pendahuluan ... 7

Johan Ernst Jasper

: Renungan oleh Sandra Niessen ... 11

Riwayat Singkat Johan Ernst Jasper... 20

Mas Pirngadie

: Jejak-Jejak yang Berkelana dari Masa Silam ke Masa Kini oleh MJA Nashir ... 25

Riwayat Singkat Mas Pirngadie ... 37

Seni Tenun

Detail Publikasi ... 41

Latar Belakang ... 43

Pameran dan Pasar Raya ... 47

Perjalanan Jasper Bersama Pirngadie ... 49

Nilai De Weefkunst Sekarang dan di masa depan ... 53

Lampiran

1. Daftar Isi De Weefkunst ... 55

2. Daftar Pustaka Pilihan J.E. Jasper mengenai Kriya ... 56

3. Beberapa Buku Lain dengan Ilustrasi oleh Mas Pirngadie ... 61

Rujukan ... 62

Genealogi J.E. Jasper ... 64

(5)

ornament bidang gaya Timur tak ada duanya di negeri ini. Dalam hal ini dia yang tertinggi, yang paling baik di negerinya...)

Selama seabad lalu, materi yang disajikan dalam De Weefkunst menjadi semakin bernilai. Kini buku itu menjadi patokan untuk mengevaluasi perubahan dalam seni tenun. Sewaktu Jasper menu-lis dan Pirngadie menggambar, Hindia Belanda sedang menga-lami perubahan penuh gejolak. Buku mereka sekarang harus dilihat sebagai sebuah peluang, jika bukan suatu keharusan bagi para sarjana tekstil. Untungnya Museum Tekstil telah menang-gapi keharusan ini. Dengan pameran untuk menandai ulang tahun ke-seratus dari penerbitan buku, mereka mengumumkan awal dari program penelitian lanjutan. Ini adalah waktu untuk melaku-kan peninjauan kembali. Apa yang telah terjadi dengan seni tenun di Nusantara sejak pengamatan Jasper dan Pirngadie ini? Pada tahun-tahun mendatang, para peneliti akan mengikuti jejak perjalanan Jasper dan Pirngadie dan membandingkan temuan mereka dengan temuan para pendahulu mereka.

Pameran ini kecil tapi menandai sebuah awal yang penting. Pameran ini memperkenalkan dua penulis cemerlang bersama dengan produk upaya kolaboratif terbaik mereka, dan itu adalah langkah pertama dari perjalanan panjang. Kami adalah generasi baru. Kami memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan peker-jaan yang dimulai dengan ketekunan tak kenal lelah seabad yang lalu atas dasar cinta dan penghargaan terhadap suatu tradisi kriya yang paling luar biasa di dunia.

Sandra Niessen bahwa mutu seni kriya pribumi sedang merosot. Minat Jasper

terhadap kerajinan didukung dan dibiarkan mejadi tema utama karirnya. Ia mendirikan pasar pameran di seluruh Jawa untuk merangsang produksi dan meningkatkan mutu kerajinan di seluruh Nusantara, dan untuk merangsang penjualan di dalam dan di luar negeri. Selain puluhan artikel, ia menulis lima buku mengenai kerajinan dengan judul umum, De Inlandsche Kun-stnijverheid di Nederlandsch Indie (Kriya Pribumi di Hindia Belanda). De Weefkunst adalah Jilid II dari seri itu.

Mas Pirngadie (1865-1936), seorang seniman Jawa, adalah rekanan-penulis seri buku ini. Kini dia dikenal sebagai salah satu seniman terkemuka dalam apa yang disebut gerakan Mooi Indie (Hindia yang cantik). Dia berpamer dengan lukisan cat minyak dan cat air, gambar dan etsa baik di Hindia Belanda maupun di Eropa. Atas beberapa karyanya ia dianugerahi hadiah dan penghargaan. Karya-karyanya dibeli oleh orang-orang terkemuka di Hindia-Belanda. Tetapi dapat dikatakan bahwa ia 'ditemukan' oleh Jasper. Pada awal karirnya, antara 1904 dan 1913, Jasper memilih Pirngadie untuk menemaninya dalam perjalanan melintasi seluruh Nusantara. Tugas mereka adalah mengumpulkan informasi tentang desain dan teknik tradisi kerajinan pribumi. Ratusan ilustrasi yang digambar oleh Mas Pirngadie untuk buku itu menunjukkan perhatian yang cermat bagi proses produksi kerajinan dan ketelitiannya dalam memperhatikan detail. Setelah perjalanan itu Jasper penuh pujian bagi teman perjalanannya dan membuatnya sebagai co-author;

De kunst in het weergeven van Oostersche vlak-ornamenten wordt Mas Pirngadi door geen enkelen landgenoot verbeterd. Daarin is hij de hoogste, de beste van zijn land...

(Keterampilan Mas Pirngadi dalam menggambar ..

(6)

ada tanggal 18 Mei 1942 pensiunan Gubernur Yogyakarta, J.E. Jasper diperintahkan untuk mendaftar ke kamp interniran Jepang di Bandung yang disebut kamp "Bintang Laut". Dua hari kemudian, ketika diizinkan kembali sebentar ke rumah, dia mendapati kenyataan bahwa tentara Jepang telah menyita isi lemari bukunya. Segera dia duduk di meja, di luar kepala mengetik daftar semua judul buku yang pernah memenuhi lemarinya, seluruhnya 7 halaman. Keesokan hari ia kembali ke kamp dan tidak pernah pulang lagi. Dia meninggal di kamp interniran Cimahi setelah empat tahun penuh penyakit dan penderitaan (12 Maret 1945) pada usia 70 tahun.

70 tahun sudah kejadian itu. Waktu yang berlalu setelah Jasper me-ninggal telah sama panjangnya dengan masa hidupnya. Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia. Bahasa Belanda tidak laku lagi. Tulisan-tulisan Jasper yang diterbitkan semua dalam bahasa Belanda. Dia dan karyanya telah terlupakan di negara yang merupakan rumah bagi dirinya dan leluhurnya dari pihak ibunya. Namun, karya luar biasa, berjudul De Weefkunst yang diterbitkan tahun 1912, dengan berlalu-nya waktu menjadi semakin penting. Dalam memperkenalkan kembali publikasi yang luar biasa ini juga perlu memperkenalkan kembali penulisnya. Siapakah Johan Ernst Jasper?

Perancah kehidupan Jasper dapat ditelusuri melalui arsip. Jasper adalah anak seorang fotografer Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1859 yang kemudian bertemu dan menikah dengan Mimi Stam. John Jasper, begitu nama panggilannya, lahir di Surabaya, satu dari sembilan anak.

Seluruh hidupnya berumah di Jawa, sebagian besar dari waktunya di

(7)

sekitar Surabaya.

Meskipun persaingan ketat, Jasper diterima sebagai pegawai peme-rintahan dalam negeri kolonial (BB atau Binnenlandsch Bestuur) ketika ia berusia 21 tahun. Karirnya naik dengan cepat, mulai sebagai Adspirant Controleur dalam waktu tiga tahun menjadi Controleur dua tahun kemudian Asisten Resident di Tuban, lalu di Pasuruan dan akhirnya Resident di Yogyakarta pada tahun 1922. Puncak karirnya tercapai ketika ia diangkat sebagai Gouverneur Yogyakarta pada tahun 1928. Saat itu umurnya 54 tahun. Dia memegang jabatan ini selama dua tahun dan kemudian atas permintaan sendiri dipensiunkan dini.

Jasper bukan orang yang suka berpangku tangan dan tak bisa diam. Setelah pensiun, ia menjadi editor di koran De Java Bode, sebuah surat kabar terkemuka di Hindia Belanda. Itulah dunia yang sudah ia kenal akrab karena selama hidupnya ia telah banyak menulis untuk surat kabar dan media lainnya. Dia juga mencurahkan banyak waktu untuk organisasi Freemason. Pada tahun 1940, ia mencapai posisi tertinggi yang mungkin ia capai di Jawa (Gedeputeerd Grootmeester). Dia menerbitkan banyak tulisan mengenai organisasi ini dan praksisnya adalah bagian penting dari hidupnya.

Karirnya mulai mengikuti jalur yang tak lazim sejak awal, pada tahun 1905 ia menerima tugas dari Departemen Urusan Koloni untuk peneli-tian penuh-waktu mengenai pendidikan pribumi dan kemudian keraji-nan pribumi. Dia ditempatkan di Departemen Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid (Pendidikan, Agama dan Kebudayaan). Dia pun mener-ima stipendium tambahan, biaya perjalanannya ditanggung, begitu pula ongkos untuk urusan kiriman pos dan ia dijamin akan mendapatkan kerjasama dari para pejabat pemerintah daerah di seluruh Nusantara. Ia minta izin dan dibolehkan untuk tetap di Surabaya, tak perlu pindah ke Batavia. Pada tahun 1910, ia diberikan cuti setahun untuk pergi ke Eropa. Pada akhir cuti itu Het Vlechtwerk (Seni anyaman) dan De Weefkunst (Seni tenun) telah terbit. (Cuti Jasper akhirnya menjadi dua tahun, ketika ia diberi tugas tambahan mengembangkan zijn theoretische en practische Kennis op het gebied der kunstnijverheid (pengetahuannya tentang teori dan praktek di bidang seni kriya) dan dia mengadakan perjalanan kemana-mana di seluruh Eropa untuk misi ini.) Jelas ia telah menyelesaikan penelitian bagi kedua buku itu pada tahun 1910. Dalam waktu dua tahun setelah kembali ke daerah tropika, ia dan rekannya, Mas Pirngadie, menyelesaikan penelitian mereka.

Sebagian besar publikasi Jasper mengenai kerajinan terbit selama dan sebelum ia mendapat tugas penelitian kriya. Selama waktu ini ia juga banyak mengupayakan promosi kerajinan melalui pameran pasar tahunan. Setelah menyelesaikan tugas urusan kerajinan, Jasper kembali menapak jalur administrasi pemerintahan dan terus mengadakan pameran pasar di setiap tempat baru di mana ia ditempatkan. Dia telah mengembangkan keahlian khusus yang unik.

Kehidupan pribadi Jasper juga sukses. Ia menikahi Alida Christina Appel, putri keluarga wirausahawan, ketika ia berusia 24. Mereka dikaruniai dua putra dan seorang putri, semuanya menikah dan dikaru-niai anak. Menjelang akhir hidupnya, ia banyak menderita kehilangan. Perang Dunia II adalah bencana bagi keluarganya, namun kematiannya sendiri di kamp interniran Jepang di Cimahi berarti bahwa ia terhin-dar terhin-dari banyak berita buruk.

Suatu akhir yang menyedihkan bagi orang yang naik dari bawah atas usaha sendiri dan mencapai sukses yang lumayan. Ia sempat menerima gelar kehormatan dari raja Belanda dan raja Belgia dan sempat bergaul di kalangan atas dan kalangan cendekiawan di negerinya sendiri. Sem-pat pula ia mengunjungi banyak temSem-pat di Eropa dan di Nusantara, ia

(8)

banyak menerbitkan tulisan dan dia berhasil, kadang-kadang dengan cemerlang, dalam apa yang ia ikhtiarkan.

....

Tulisan Jasper bersifat lugas dan langsung ke sasaran. Dia tidak mem-beberkan refleksi pribadi atau anekdot, buku-bukunya tidak diberikan kata pengantar untuk penjelasan dan pendahuluan yang mengantar pembaca ke belakang layar. Saya menjadi bertanya-tanya seperti apa pribadi J.E. Jasper itu.

Di Negeri Belanda, saya mencari keluarganya yang dipulangkan setelah Perang Dunia II. Pada akhirnya saya berhasil menemukan empat orang cucu. Mereka bersikap ramah dan hangat terhadap saya, tetapi mereka tidak mampu berbagi cerita. Pada waktu perang mereka masih kecil (atau belum lahir) sehingga kesempatan untuk kenal ka-kek mereka tidak ada. Seluruh harta benda mereka hilang dan hancur atau ditinggalkan ketika mereka pindah ke Belanda. Milik kakek satu-satunya yang dapat ditunjukkan cucunya, Esther de Vlam-Jasper, kepada saya adalah berkas tipis tujuh halaman yang diketik kakeknya malam sebelum ia diinternir. Judulnya adalah Opgave van Werken uit mijn particuliere Bibliotheek (Daftar Buku Perpustakaan Pribadi Saya). Selain bagian yang diketik ada tambahan berupa catatan tulisan tangan Jasper menyebut beberapa barang bukan buku yang juga disita. Di bawahnya ada tanda tangan 'J.E. Jasper'.

Esther mengatakan bahwa ia heran karena kakeknya menghabis-kan malam dalam waktu yang lama untuk menyusun daftar buku sebelum ditahan. Kata-katanya membuat saya merenungkan tindakan Jasper itu. Pejabat Belanda di Hindia Belanda tidak bersembunyi dari Jepang. Mereka begitu yakin bahwa mereka mutlak diperlukan untuk men-jalankan negara dan nasib yang mereka hadapi, untung saja, tidak dapat mereka bayangkan. Daftar Jasper ini merupakan pernyataan kepada administrasi negara; yang ia lakukan adalah yang ia duga yang terbaik untuk mendapatkan kembali perpustakaan-nya nanti pada suatu hari. Namun upaya itu tak berhasil dan buku-bukunya tidak pernah kembali. Yang paling disesalkan adalah bahwa naskah jilid

ke-enam dari seri buku seni kriya, satu jilid yang tidak pernah diter-bitkan, juga tersimpan di lemari buku itu. Karena saya tahu seberapa banyak dan beratnya pekerjaan menulis itu, saya tidak heran seperti Esther mengenai cara Jasper menghabiskan malam terakhirnya sebagai orang yang merdeka. Jasper telah menerbitkan lebih dari 100 karangan. Mungkin pekerjaan menulis telah menghabiskan bagian terbesar dari hidupnya. Dengan hilangnya perpustakaannya ia kehilangan suatu hal yang menjadi fokus eksistensinya. Dan naskah ke-enam tentang kriya bukanlah satu-satu-nya naskah yang menunggu penerbitan yang dirampas hari itu.

Saya berharap bisa sedikit mengenal pribadi Jasper dengan memeriksa daftar bukunya. Daftarnya sangat cermat dibagi dalam empat kategori: 1. Bahasa, sastra dan riwayat perjalanan, 2. Ethnologi dan seni kriya, 3. Agama dan Freemason, 4. Lain-lain. Saya berasumsi bahwa lemari bukunya juga tersusun sesuai thema, bahwa Jasper sendiri adalah orang yang disiplin dan rapi seperti daftar yang disusunnya.

Nomor 43 dalam daftar adalah Een groot boek met uitknipsels van door mij geschreven Indische novellen en verhalen, gepubliceerd in kranten (jeugdwerk). (Buku yang besar berisi guntingan roman dan cerita Hindia tulisan saya yang dipublikasikan di koran (kerjaan masa muda). Selain kontribusi sastra untuk terbitan berkala di Hindia Be-landa Jasper antara usia 30 dan 36 tahun

(9)

(yang karyanya, semua dijilid mewah, bernomor 34 - 41 di daftarnya).

Seperti diketahui kemudian Jasper bukan pengarang yang besar atau istimewa dan pada umur 40 tahun ia sudah tak lagi mempublikasikan karya sastra. Karya besarnya mengenai seni kriya juga sudah rampung ketika itu.

Minat "Jasper muda" pada musik, teater, seni sastra dan seni rupa ketika kesenian itu mulai dikenal di Hindia Belanda, mengungkapkan segi karakternya yang kemudian juga tampak dalam karya besarnya buku-nya tentang seni kriya yang 5 jilid itu. Yang paling tampak langsung adalah penekanannya pada mutu. Pada tahun awal karirnya ia mendiri-kan klub debat di Surabaya bersama seorang wartawan D.M.G Koch. Klub ini dengan cepat menjadi bagian dari Surabaya Kunstkring (Lingkaran Seni Surabaya) yang dibentuk untuk merangsang perkem-bangan kesenian di Hindia Belanda. Jasper bersifat ambisius dan ia penuh energi. Penanya tajam ketika ia mencerca seni amatiran dan dia mencaci maki karena Belanda memandang rendah pada upaya-upaya artistik dari koloni. Karya besar lima jilid yang lengkap dan rinci tentang kerajinan meunjukkan bahwa penulisnya tidak kerja setengah-setengah. Bukunya dibuat seindah mungkin tak kalah dengan buku

manapun juga. Jelas dari perpustakan pribadinya bahwa ia seorang pecinta buku. Dengan teliti ia catat dalam daftarnya buku mana yang dijilid indah, dan ternyata itu banyak. Mengenai bukunya sendiri ia sebut, "Kelima jilid ini, pinggir halaman bersepuh emas, dibuat khusus oleh tuan Mouton untuk saya dan diberikan sebagai hadiah". Dia tak mungkin bersikap amatiran dalam kajiannya mengenai seni kriya.

(10)

kerincian buku itu.

Jasper pun mendaftar semua kamera, lensa, proyektor dan bahan film miliknya dengan tulisan tangan pada akhir dokumen. Esther de Vlam menegaskan bahwa semua foto untuk buku-bukunya dibuat oleh Jasper sendiri. Ayahnya pernah menceritakan kepadanya bahwa J.E. Jasper bangga atas kamera dan ketrampilanya sendiri dalam membuat foto. Nomor 7 pada daftar tulisan tangan ini adalah alat potret ukuran 18 x 24 dengan lensa-anastigmat Goerz (ini yang dipakai untuk membuat foto-foto yang direproduksi dalam buku lima jilid saya tentang seni kriya) dobel casis 6, seluruhnya dalam tas kulit dengan tali sandang. Jika diundang menjadi pembicara, Jasper umumnya menunjukkan gambar. Ia juga memiliki kamera stereoskopik dan Cine-kodak tahun 1928 untuk membuat film 16 mm. Dua ribu meter film turut diambil pada hari yang naas itu sebelum ia dipenjarakan di kamp.

Keterangan: Fotografi sudah dikenal J.E. Jasper dari masa kecilnya. Ayahnya, Johannes Bernardus Jasper, adalah seorang fotografer profe-sional terkenal dan terpandang di Surabaya.

Keterangan: cucu Jasper, Esther, dapat menunjukkan beberapa foto yang diambil sekitar waktu putrinya Erna menikah. Foto itu menun-jukkan lingkungan formal dan mewah seorang Gubernur dan

meng-gambarkan sedikit tentang kehidupannya sehari-hari. Di salah satu foto yang rupanya diambil di ruang makan resmi tampak dengan mencolok dua tenun ikat Sumba yang tergantung di dinding. Jasper berpendapat bahwa ikat Sumba adalah yang paling spektakuler di Nusantara. Kita boleh menduga bahwa karya kerajinan pribumi di dinding ini mencerminkan selera pribadinya dan dibeli sewaktu salah satu perjalanannya mungkin di salah satu pameran pasar.

Berita terakhir mengenai Jasper yang dapat diketahui berasal dari anaknya yang bersamanya di kamp interniran Jepang. Kesehatannya tidak baik, tetapi semangatnya tetap kuat dan positif, ia berusaha bersi-kap baik terhadap orang-orang yang senasib dengannya dan membantu mereka sebisa-bisanya.

Esther de Vlam-Jasper menaruh bunga di makam J.E. Jasper and putranya, keduanya me-ninggal di kamp interniran Jepang. (foto atas budi baik Esther de Vlam-Jasper)

Ruang makan di rumah Gubernur Jasper di Yogyakarta. Berlatarbelakang dua kain Sumba. Menurut Jasper tenun Sumba terhebat di Nusantara. (foto atas budi baik Esther de Vlam-Jasper) Regent van Modjokerto

(11)

Riwayat Singkat Johan Ernst Jasper

1874 lahir di Surabaya

1888-1892 sekolah (HBS) di Surabaya

1892 masuk gymnasium Koning Willem III di Jl. Salem-ba, Batavia. Ia mempelajari berbagai bahasa daerah Indonesia, geografi dan etnografi sebagai persiapan masuk Pemerintah Dalam Negeri

1895 umur 21 masuk menjadi pegawai Pemerintah Dalam Negeri Hindia Belanda (BB/Binnenlandsch Bestuur) di Karesidenan Surabaya

1898 menikah dengan Alida Christina Appel di Bondo-woso, Surabaya

1898 naik pangkat menjadi Adspirant Controleur BB 1900 anak pertama, Bernard Nicolaas Jasper, lahir 20 Mei. Jasper menerbitkan artikel pertama tentang seni kriya 1902 naik pangkat menjadi Controleur di Jombang

1903 anak perempuan, Erna Petronella, lahir 9 Juni di Jombang

1904 Van Java's Wegen koleksi tiga ceritera pendek diterbitkan

1905 anak laki-laki, Rudolf Alexander, lahir 25 Oktober. Mendapat tugas meneliti keadaan pendidikan pribumi. Laporannya selesai setahun kemudian

1906 mendapat tugas meneliti aspek-aspek teknis dan artis-tik seni kriya di Nusantara; ini menjadi landasan bagi karya besarnya yang 5 jilid: De Inlandsche Kunstnijverheid In Nederlands Indie (Seni Kriya Pribumi di Hindia-Belanda) (Jilid ke-6 disiapkan juga tetapi tidak pernah diterbitkan). Sebuah roman berjudul Stille Invloeden terbit.

..

1906-1909 menjadi organisator "pameran dan pasar tahunan" di Surabaya

1908 Het leven van Ardja en Lasmi (Kehidupan Ardja dan Lasmi) koleksi cerita pendek diterbitkan

1910-1912 cuti panjang dua tahun di Eropa. Tempat tinggal tetapnya di kota Den Haag. Ia banyak memberi-kan ceramah di Negeri Belanda

1910 berkunjung ke Pameran Dunia di Brussel. Dua koleksi ceritera pendek diterbitkan: De diepe stromin-gen dan Van deugden en dwalinstromin-gen

1911 menerima gelar ksatria di Belgia: 'Ridder in de Orde van de Kroon'. Menerima tugas untuk mempelaja-ri peranan seni kmempelaja-riya di Eropa. Berkunjung ke Kopen-hagen, Stokholm, Kristiania, Roma, Torino, Venesia, Wina, Budapest, Berlin, Dresden, Leipzig, Dusseldorf, Hagen, Elberfeld, Barmen, Krefeld, Kln, Paris, Brusel, London dan berbagai tempat di Negeri Belanda. 1912 jilid pertama De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie diterbitkan yaitu Vlechtwerk (Seni Anyaman) dan De Weefkunst (Seni Tenun). Kembali ke Hindia-Belanda dan ditempatkan di Madura sebagai controleur. Pada tanggal 15 Desember ayahnya mening-gal.

1913 pindah ke Buitenzorg (Bogor)

1914 ikut berperan dalam organisasi Pameran Kolonial di Semarang.

1915 naik pangkat menjadi Asistent-Resident di Tuban/Rembang, Java

1916 jilid 3 De Inlandsche Kunstnijverheid in Neder-landsch Indie De Batikkunst (Seni Batik) terbit. 1919 menjadi Asistent-Resident di Pasuruan dan

(12)

Ketua Dewan Kota

1920 mendapat penghargaan khusus dari Gubernemen atas jasanya meneliti gerakan pemberontakan Samin dan saran yang diberikannya sehubungan dengan itu.

1921 cuti sepuluh bulan di Negeri Belanda

1922 naik pangkat menjadi Resident di Pekalongan 1925 mendapat gelar ksatria dari Raja Belanda (Ridder in de Orde van de Nederlandse Leeuw)

1926 dipromosikan menjadi Resident di Yogyakarta

1927-1928 dua kali menangani organisasi pameran Jaar-markt (pasar tahunan) di Yogjakarta. Jilid 4 De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie terbit: De Goud- en Zilversmeedkunst (Seni Emas dan Perak)

1928 naik pangkat menjadi Gubernur Yogyakarta. Putrinya Erna menikah dengan Robbert Hees pada bulan Januari. Pada tanggal 15 Oktober, cucunya John Theophile Hees lahir.

1929 cuti sembilan bulan di Eropa. Kunjungan ke Spanyol dan tulisan tentang perjalanannya dimuat di Koran De Java Bode

1930 pada tanggal 30 April diberhentikan dari jabatannya dengan hormat atas permintaan sendiri. Jilid 5 De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie: De bewerking van niet-edele metalen (kriya logam - pengerjaan kuningan dan pamor) diterbitkan.

1930-1932 menjadi editor kepala De Java Bode menggan-tikan Wm C. van Meurs

1931 putrinya Erna meninggal karena tbc pada tanggal 15 Maret

1936 sahabat lama dan rekannya dalam menulis buku tentang kriya, Mas Pirngadie, meninggal dunia.

1940 cucu perempuannya, Tilly meningal karena leukemia.

1942 menjadi tawanan dalam kamp Jepang.

1944 putranya Bernard meninggal dalam kamp tawa-nan Jepang di Palembang.

1945 J.E. Jasper meninggal dunia di kamp tawanan Je-pang, Cimahi. Putranya Rudolf Alexander tetap hidup. 1977 istri J.E. Jasper meninggal di kota Haarlem, Negeri Belanda

..

(13)

Mas Pirngadie

Jejak-Jejak yang Berkelana dari Masa Silam ke Masa Kini

Oleh MJA Nashir

Angin membelai pucuk cemara tubuh menggigil alam memanggil kembali pada purnama

kembara kesekian kalinya.

Biar beku ini malam

mengejar ratusan tahun silam melewati sunyi penuh khayalan menapaki jejak-jejak impian mencarimu berkelebat lari masuk ke lobang matahari lenyap tanpa biografi. Begitukah pengembara, bukan untuk mencatat dirinya tapi maknai peristiwa-peristiwa gerak ruang waktu alam semesta.

Pada gubuk tua yang sunyi di bawah pohon-pohon jati kita kan saling bercengkrama

bukan untuk saling tukar kartu nama.

(14)

sistem administrasi informasi persil tanah, mengurus kepentingan-kepentingan atas tanah; yaitu hak, batasan dan tanggung jawab dalam bentuk uraian geometrik atau peta sebagai dasar pengelolaan hak atas tanah, nilai tanah, dan pemanfaatan tanah. Dengan demikian Pirngadie mulai terlibat pekerjaan membuat peta-peta tanah. Maka ia pun mulai berkenalan dengan pinsil gambar. Pekerjaan di kadaster secara lang-sung membekali dirinya akan kemampuan pada hal-hal yang sifatnya detil, rumit, bahkan matematis karena tuntutan ketepatan. Kelak itu semua menjadi kekuatan bagi karya-karya gambarnya. Begitu juga menurut H. van Meurs dalam tulisannya tentang Mas Pirngadie, "A Javanese Artist Painter" di majalah Sluyters' Monthly :

Ketika Pirngadie berusia 12 tahun dia telah mulai bekerja di kantor kadaster, dan saat mendesain peta di sini dia mengalami pertama kalinya pegang cat dan kuas.

Seandainya dia mengambil pekerjaan lainnya selain ini maka bakatnya sebagai pelukis mungkin tak kan pernah mempu-nyai latar belakang. Maka inilah sisi penting dari pekerjaan kadasternya; meskipun secara alamiah bukanlah sesuatu yang penting bahwa sebagai dasar pertama dia banyak belajar tentang menggambar dan melukis secara mekanis.

Tentu saja dengan pekerjaan yang selalu menekankan ketepatan matematis ini tiada ruang bagi inspirasi artistik.

Sebagai pegawai kadaster ia ditugaskan di Cicalengka Jawa Barat ke-mudian pindah tugas ke Pasuruan Jawa Timur. Bertahun-tahun sebagai pegawai Kadaster ia selalu berhubungan dengan gambar menggambar peta-peta tanah. Menjadi rutinitas sehari-hari baginya. Bisa saja hal ini menjadi sesuatu yang membosankan sehingga untuk dirinya sendiri ia perlu suatu imbangan di kala senggang. Apalagi rasa akan seni dalam jiwanya semakin mengembang. Maka waktu-waktu senggang ia man-faatkan perangkat penggambar petanya untuk meniru-niru gambar dan membesar-besarkan potret teman-temannya.

Sekitar tahun 1900 Mas Pirngadie bertemu dengan Freiherr Otto Carl von Juncker Bigatto. Pelukis berkebangsaan Jerman ini mem-berinya beberapa petunjuk tentang seni menggambar dengan cat. Membuat Pirngadie mulai menggambar alam dengan cat air. Sejak itu dalam melukis ia makin merasakan nikmat dan makin menyadari bakat. Kemauan mengembangkan bakat juga makin kuat. Meskipun untuk ke arah itu harus ia jalani secara perlahan. Apalagi alat meng-ebagai pelukis, boleh jadi namanya tidak

ba-nyak dikenal. Namun melewati De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie -- 5 jilid buku tentang segala seni kerajinan tangan Nu-santara -- membuktikan bahwa dialah ahli gambar etnografis terhebat yang dimiliki negeri ini. Hasil berkelananya mengelilingi segenap pelosok Nusantara (1904-1913) bersama J.E. Jasper, seorang ambtenaar peme-rintahan Hindia Belanda yang juga adalah penulis kumpulan buku ini, mengisyaratkan sebuah kenyataan: ia telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dan menjadi karya besar bagi negeri yang dicintainya ini.

Mas Pirngadie lahir Desember 1878 di desa Pakirangan Purbalingga Jawa Tengah, yang menjadi salah satu lukisan cat minyaknya tentang pemandangan berbukit dengan hamparan padi menguning dialiri anak sungai yang deras berbatu-batu. Darah seni mengalir dari ayahnya Mas Mertojoedo, seorang petani biasa yang juga adalah seorang ahli ukir serta pandai emas dan perak. Namun beliau tak sempat secara lansung mengajarkan seni kerajinan tangan itu pada puteranya ini. Beliau meninggal dunia ketika Pirngadie masih berusia lima tahun. Sejak itu Pirngadie kecil memulai takdirnya sebagai 'pengembara'. Berpindah-pindah dari satu orang ke orang lainnya, dari satu tempat ke tempat lainnya.

Sejak ayahnya meninggal ia diasuh oleh adik dari ibunya, Haji Mo-chammad Tahir. Paman ini seorang santri ta'at yang berprofesi sebagai penghulu di desa Pakirangan. Pirngadi pun didiknya ilmu agama dan mengaji agar kelak bisa menggantikannya. Namun dalam usianya yang tujuh tahun, setelah tamat belajar mengaji, Pirngadie diambil oleh sepupunya (putra kakak ayahnya), Mas Joedodimedjo, untuk dibawa ke Bukateja. Di daerah inilah Mas Joedodimedjo mulai mendidik Pirngadie dengan harapan agar Pirngadie bisa masuk ke dunia peker-jaan seperti dirinya, pegawai kadaster. Oleh kakak sepupu ini Pirnga-die di sekolahkan di sekolah district. Ketika kakak sepupunya pindah tugas ke beberapa kota lain Pirngadie pun turut serta. Dari Bukateja pindah ke Magelang, lalu ke Sukabumi dan selanjutnya ke Bandung. Di Bandung Pirngadie masuk Externenschool dan sore hari belajar bahasa Belanda pada H. Falk.

Pada 1889, di usia 12 tahun Pirngadie diterima magang pada jabatan kadaster. Inilah tahun di mana Mas Pirngadie memulai profesinya di dunia kadaster atau pertanahan. Pekerjaan yang berurusan dengan

(15)

gambar harganya mahal, sedangkan gaji pekerjaannya sangatlah kecil. Namun semuanya itu tak membuatnya surut dalam kegiatannya melu-kis. Ini terbukti dari keberaniannya di Agustus 1901, ia mengirimkan lukisan-lukisan cat airnya ke pameran.

Tentang gambar-gambar cat airnya yang dipamerkan itu koran berba-hasa Belanda menulisnya demikian :

Lain dari pada itoe dipertontonkan djoega beberapa aquarel bangsa boemipoetera Pirngadie, eleve-mantri pada kadaster di Pasoeroean, jang tiada pernah mendapat pimpinan, tetapi semata-mata menoeroet desakan hatinja sendiri memboeat gam-bar tjat air alam. Misalnja pemandangan pada danau Gratie itoe mengandoeng perasaan jang amat loear biasa. Alangkah baiknja, apabila pemoeda Djawa jang pasti besar ketjakapannja oentoek seni schilderen ini, mendapat pimpinan goeroe-goeroe jang baik. Siapa tahoe ia kelak akan menjamai, djika tidak melebihi Raden Saleh. (Terjemahan Sutan Takdir Alisjahbana).

Perjalanan hidup seseorang seringkali mempunyai misterinya sen-diri. Seringkali mengandung keajaiban dan hal yang tak terduga yang tak bisa direncana sebelumnya, hanya baru bisa dicerna sesudahnya. Demikianlah ketika merunut kembali jejak Mas Pirngadie sampai pada tahap perjalanan hidupnya ini. Keasyikan Mas Pirngadie dalam menggambar dan melukis di tiap waktu senggang akhirnya 'tercium' juga oleh Von Juncker Bigatto. Peristiwa ini berbuntut takdir amat penting bagi kehidupan Mas Pirngadie sebagai ahli gambar, yaitu tak-dir yang membawanya pada pertemuan dengan J.E. Jasper yang kelak hari membawanya mengembara keliling Nusantara.

Ya, Von Juncker Bigatto pada suatu hari di sekitar tahun 1902 melihat sendiri sebuah album hasil gambar muridnya ini. Hatinya gembira bukan main ketika membalik-balikkan album itu. Pirngadie meng-gambar sesuatu yang ternyata lain dari yang ia ajarkan. Melewati kecakapakannya menggambar, Mas Pirngadie justeru menggali kem-bali kekuatan tradisi seni nenek moyangnya sendiri, yaitu seni batik. Dalam album itu gambar-gambar Mas Pirngadie adalah patron/motif-motif batik. Hal ini membuat Von Juncker Bigatto berkeinginan kuat untuk memberitahukan kepada J.E. Jasper, seorang pegawai pemerin-tahan Hindia Belanda di Jombang Jawa Timur yang juga adalah ahli tentang seni anak negeri. J.E. Jasper ini pun sangat senang melihat album batik yang indah karya Mas Pirngadie. Ia berjanji akan berusaha menjualkannya dengan harga yang baik. Dalam waktu sebulan janjinya itupun berhasil ditepati.

Dalam sebuah artikel J.E. Jasper menulis tentang album ini demikian :

Jarang saya melihat reproduksi motif-motif Batik Jawa asli yang lebih baik dari yang ada di album Mas Pirngadie.

Warna soga tua itu, seperti yang dipakai di Yogya oleh pemba-tik, yang tercipta dari ramuan-ramuan berbahan alami memakai

(16)

yang tak biasa dia selalu bisa mendapatkan pemecahannya. Ke-sabarannya hebat dan mengagumkan. (Jasper 1909).

Sutan Takdir Alisjahbana (S.T.A.), pujangga besar Indonesia, adalah salah seorang yang diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa Peng-gerak Hidup ini untuk berjumpa langsung dan bercengkrama dengan Mas Pirnggadie di masa tuanya. Hasil pencengkramaan intens itu men-jadi tulisan panjang dan bersambung sampai tiga kali dalam tahun-ta-hun yang berbeda sebagai artikel di majalah Poedjangga Baroe tentang tokoh kita Mas Pirngadie ini. Catatan-catatan S.T.A. ini sangatlah penting. Melewati tulisan-tulisan S.T.A. inilah yang mampu menjadi resep yang rumit, begitu juga biru indigo yang diterakan di

kain, hasil kerja berbulan-bulan, keindahan dan kecemerlang-annya bisa terlihat dari gambar-gambar Mas Pirngadie. (Jasper 1909).

Tak lama sesudah pertemuan pertama dengan J.E. Jasper, Mas Pirnga-die akhirnya ditugaskan untuk membantu J.E. Jasper yang diperintah-kan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengumpuldiperintah-kan keterangan se-lengkap-lengkapnya tentang seni kerajinan tangan di seluruh kepulauan Nusantara ini. Maka dari tahun 1904-1913 kedua orang ini mengelilingi Nusantara. Beredar dari satu pedalaman ke pedalaman lain di seluruh pelosok negeri ini. Hal ini membuat Mas Pirngadie tidak hanya mengenal segala seni kerajinan tangan yang ada di Pulau Jawa saja namun juga seni kerajinan tangan di semua daerah luar Pulau Jawa; dari seni anyaman, seni tenun, seni batik, seni logam dan lain-lainnya yang semuanya itu ia dokumentasikan secara sempurna dan detil melewati kemampuan menggambar dengan tangannya. Hal ini bisa dirasakan langsung dengan menikmati lembar demi lembar dari kelima jilid buku, De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie, buah manis perjalanan pengembaraannya bersama J.E Jasper itu. Sampai-sampai Jasper yang memang ahlinya seni anak negeri menyatakan secara jujur tentang keajaiban Mas Pirngadie, partner sinerginya ini:

Tak ada yang bisa menggambarkan perhiasan motif timur lebih baik dari Mas Pirngadie. Dia yang terbaik di

ne-gerinya. Kalau ada masalah-masalah yang terjadi pada warna atau gambar karena pemakaian proses

Gambar-gambar Mas Pirngadie menjadi ilustrasi di banyak terbitan

(17)

'jembatan' komprehensif dalam menggapai serta mengenal lebih dekat sosok dan kiprah Mas Pirngadie.

Dalam salah satu artikelnya tentang Mas Pirngadie di majalah Poe-djangga Baroe tersebut S.T.A. menulis demikian:

Dalam waktoe itoelah perasaannja terhadap gambaran ornament dapat toemboeh sesempoerna-sempoernanja. Di berbagai daerah itoe boekan sadja ia mendapat kesempatan mengenali sebaik-baiknja tjara anak negeri menghiasi barang perhiasan dan barang keperloean mereka setiap hari, iapoen mendapat kesempatan sepenoeh-penoehnja memakai pinsilnja oentoek meloekiskan sekaliannja itoe di atas kertas. Dan siapa jang membalik-balikkan kelima djilid boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tebal-tebal hasil perdjalanan itoe dan mengamat-amati dengan seksama gembaran jang beratoes boeah itoe, tiada boleh tiada akan kagoem melihat ketjintaan, kesabaran, ketetapan hati, ketelitian dan tadjamnja penglihatan jang berseri-seri di seloeroeh gambaran itoe. Sesoenggoehnja dengan boekoe De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie jang tiada ternilai harganja itoe telah terteralah oentoek selama-lamanja nama Mas Pirngadie sebagai ahli gambar jang pajah ditjahari tandingannja pada zaman permoelaan kebangoen-an bkebangoen-angsa Indonesia sekarkebangoen-ang ini. (S.T.A. 1934)

..

Demikian petikan dari salah satu catatan S.T.A. tentang Mas Pirnga-die ini. Dari ketiga artikel S.T.A. di Majalah Poedjangga Baroe (S.T.A. 1934, 1935, 1936) sangat terasa kuat pergumulan S.T.A. dengan Mas Pirngadie. Sebagai budayawan, S.T.A. tampil memberi-kan kesaksian lengkap serta jujur atas sosok dan kiprah Mas Pirnga-die, 'seorang dari pada mereka jang soenji sepi berdjoeang itoe, tiada diminati dan tiada dikenali orang' ini. Tentu sebuah langkah hebat dan berani untuk menimbang kembali peran Mas Pirngadie dalam ranah kebudayaan negeri. Selain riwayat hidup Mas Pirngadie, S.T.A. mengungkapkan kekuatan, keindahan dan kedalaman karya-karya Mas Pirngadie, ahli gambar yang tetap hidup sederhana dan rendah hati.

Catatan-catatan S.T.A. itu adalah hasil wawancara langsung dengan Mas Pirngadie serta riset terhadap tulisan-tulisan koran atau majalah-majalah berbahasa Belanda yang terbit di negeri ini maupun di luar negeri yang mengupas karya-karya Mas Pirngadie. Dituliskan pula oleh S.T.A. bahwa tak ada satu pun media terbitan bumi putera yang pernah memberitakan atau mengulas tentang Mas Pirngadie ini. Jika pun ada, kata S.T.A., itu hanyalah kopian dari terbitan-terbitan berbahasa Belanda. Rasanya kenyataan ini memedihkan. Mengisyarat-kan keberadaan Mas Pirngadie seperti sudah lama dalam posisi yang 'tak diperhitungkan' di kalangan para bumi putera sendiri. Meskipun kenyataannya, Mas Pirngadie telah menghasilkan ratusan karya lukis yang berbobot. Belum lagi dalam posisinya atas hasil karya luar biasa berupa lima jilid buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie.

..

..

Alam dengan sawah dan gunung oleh Mas Pirngadie, k.l. 1918. 42,7 x 65,8 x 4,5cm (foto atas budi baik Tropenmuseum, Amsterdam)

(18)

Lalu bagaimana jejak-jejak Mas Pirngadie di masa kini?

Menapaki jejak-jejak Mas Pirngadie untuk menggapai sosok dan kiprahnya secara utuh memang bukanlah sesuatu yang mudah. Rasanya nama Mas Pirngadie hanya bisa dijumpai secara fragmentaris saja. Memang, ia terasa lebih dikenal bagi kalangan dunia antropologi atau etnografi. Itu pun pasti para ahli tertentu saja yang mau bertekun pada litaratur-litaratur budaya sehingga hanya mereka itu yang bisa menjumpai kumpulan karya buku De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands Indie ini. Sementara di kalangan praktisi atau pecinta seni kerajinan tangan Nusantara itu pun lebih terfragmentaris lagi; yang tertarik di bidang seni anyaman membaca buku De Inlandsche Kunst-nijverheid in Nederlands Indie yang jilid I yaitu seni anyaman; yang tertarik dunia tenun mengenal namanya dari buku jilid II nya tentang seni tenun; begitu juga yang tertarik batik, seni keris dan logam, mem-baca dari jilid-jilid lainnya sesuai masing-masing subyek itu.

Dunia lukisan Indonesia -- marilah kita sebut saja sejarah seni lukis Indonesia -- sebenarnya mengenal namanya. Meski rada samar-samar. Oleh karena dunia/sejarah lukis Indonesia rasanya terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan genre, aliran-aliran, periodisasi-periodisasi karya, 'mooi indie' dan 'bukan mooi indie', 'yang ini' dan 'yang itu' dan sebagainya yang semua itu seringkali berkaitan pada 'politisasi seni'.

Terasa sekali saat ini bila kita mencari nama Mas Pirngadie di antara tumpukan nama-nama pelukis besar Indonesia, proporsi namanya hanya kecil saja di tengah himpitan para pelukis besar Indonesia lainnya yang biografi dan karyanya bisa dituliskan dengan panjang lebar itu. Untuk melihat bukti ini kita bisa saja secara 'iseng-iseng' lewat internet di Google, ketik nama 'Mas Pirngadie' atau sekalian tambahi kata ban-tuan 'pelukis' di depan atau di belakang namanya.

Maka pasti yang mucul kebanyakan bukan yang hendak kita cari. Yang kita dapati kebanyakan justeru riwayat para pelukis lainnya yang beberapa di antaranya memang pernah berguru pada Mas Pirngadie ini. Terasa kita kesulitan mendapati informasi, biografi dan karya-karya lukis Mas Pirngadie. Padahal bukankah di tanah air ini dan untuk tanah air ini seorang

Sutan Takdir Alisyahbana sudah pernah menuliskannya secara panjang lebar lewat artikel-artikelnya di Poedjangga Baroe? Jangan-jangan memang kita sudah kesulitan untuk bisa mendapatkan tulisan-tulisan S.T.A. atau majalah-majalah Poedjangga Baroe itu, seperti halnya yang saya alami ketika mencoba mencari di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nomor-nomor majalah itu sudah tidak ada lagi. Tidak terar-sipkan dengan baik. Untungnya saya bisa mendapatinya kembali dari arsip di Belanda melewati ke-baikan hati antropolog Sandra Niessen.

Sesuai info dari tulisan S.T.A. dan dari beberapa sumber informasi lainnya menjadi petunjuk penting bagi saya di suatu hari untuk lari ke Museum Nasional dengan harapan bisa mendapatkan jejak-jejak Mas Pirngadie. Oleh karena gedung ini -- yang di zaman Hindia Belanda dikenal sebagai Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen -- adalah tempat terakhir Mas Pirngadie bekerja. Dan ketika saya sampai di museum ini tak banyak yang bisa saya dapati tentang Mas Pirngadie. Jejak-jejaknya seperti diterbangkan oleh angin zaman, meskipun memang tidak semuanya. Selalu saya bayangkan bagaimana ia telah menyusun daftar-daftar informasi tentang benda-benda di museum ini yang masing-masing pada kartu kertas itu ia gam-bari juga dengan tangannya. Juga saya bayangkan berhari-hari lamanya selama beberapa tahun Mas Pirngadie melukis 78 orang dari semua etnis yang ada di Nusantara ini yang ia gambar dari potret-potret yang semula hitam putih menjadi lukisan berwarna lengkap dengan pakaian adatnya masing-masing dengan detil-detil perhiasan asesorisnya dan 78 orang itu mengelilingi peta besar negeri ini yang juga digambar dengan tangan oleh Mas Pirngadie ini. Lukisan-lukisan 78 kepala ..

..

.. ..

(19)

Riwayat Singkat Mas Pirngadie

etnis dengan peta besar negeri Nusantara ini pulalah yang akhirnya

mendapat kehormatan secara internasional untuk dipamerkan di Koloniale Tentoonstelling (Pameran Kolonial) di Paris 1931. Meski sayang buah pekerjaan yang memakan waktu lama dari Mas Pirnga-die itu pun musnah terbakar api bersama dengan buah seni Indonesia lainnya di pameran itu. Tapi gilanya, sekali lagi gilanya Mas Pirngadie tetap menggambarnya sekali lagi 78 lukisan itu. Sehingga sejak 1935 di museum tempat Mas Pirngadie bekerja ini orang-orang Indonesia, seperti halnya S.T.A., masih bisa menyaksikan lukisan-lukisan ulang ini. Ketika saya kembali ke Museum Nasional untuk bisa menyak-sikan satu set lukisan tersebut, memang saya masih bisa mendapati gambar 78 suku bangsa negeri ini dalam satu ruang tersendiri. Yaitu berupa foto-foto yang merepro lukisan-lukisan Mas Pirngadie. Di lain hari saya mendapati kabar bahwa lukisan-lukisan aslinya sedang dirawat, direnovasi oleh museum ini. Dari foto-foto yang merepro satu set lukisan Mas Pirngadie, setidaknya masih bisa membuat saya merasakan jejak-jejak ketelatenannya yang luar biasa. Meskipun kebanyakan pengunjung yang masuk ruang ini tak kan pernah tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan lukisan-lukisan aslinya. Tak ada tertera nama Mas Pirngadie secuil pun di ruang ini.

Akhirnya saya keluar dari ruangan ini dengan perasaan sunyi. Sesunyi Mas Pirngadie yang khusyuk bertahun-tahun mengerjakan segala macam pekerjaan di masa silam. Mengabdikan diri sepenuhnya pada museum ini. Bekerja tiap hari dari pagi sampai sore hari sampai yang benar-benar terakhir dari hidupnya di Sabtu 4 April 1936. Pada hari itu, tiada seperti biasanya Mas Pirngadie meninggalkan pekerjaan, pulang ke rumah karena sakit. Tiada lama kemudian beliaupun mening-galkan dunia, menuju Sang Pencipta.

Mas Pirngadie, aman dan sentosa toean dapat merebahkan badan toean jang letih di pangkoean boemi : pekerdjaan toean telah selesai. Dan nama toean tiada akan terloepa lagi ! (S.T.A. 1936).

Semoga demikianlah anak-anak bangsa negeri ini tiada melupakan lagi Mas Pirngadie, tokoh besar negeri ini.

1878 lahir di desa Pakiringan, Purbalingga, Jawa Tengah

1883 ayahnya, Mas Mertojoedo, meninggal dunia. Mas Pirngadie (5 tahun) selanjutnya diasuh oleh Haji Mochamad Tahir, Penghulu Desa Pakiringan, saudara kandung ibunya

1885-1889 atas inisiatif anak dari kakak laki-laki ayahya, Mas Joedodimedjo, ia dikirim ke sekolah di Bukateja, dan kemudian pindah ikut dengan kakak sepupu ini ke Magelang dan Sukabumi. Di Sukabumi ia masuk Froelschool (Taman Kanak-kanak) Mejuffouw H. Brox. Setahun kemudian, ia ikut kakak sepupupu itu pindah ke Bandung masuk Externenschool dan belajar bahasa Belanda dengan H. Falk.

1889 mulai bekerja di Kadaster dan mulai mengenal pensil pada usia 12

~1900-1903 bekerja di Kadaster di Cicalengka dan Pasuruan. Bertemu dengan pelukis Jerman, Otto Freiherr von Carl Jucker Bigatto, yang memberinya nasihat dan saran tentang cara melukis. Dia menunjuk-kan portofolionya berisi pola-pola batik kepada Bigatto yang pada gilirannya, dengan kebanggaan seorang guru, menunjukkannya kepada J.E. Jasper, seorang pegawai negeri di Jombang yang dikenal akan minatnya yang besar pada seni pribumi

(20)

bersama Jasper ke seluruh wilayah Nusantara, membuat gambar dan lukisan berbagai ornamen dan teknik produksi kerajinan.

1905 menerima ijazah untuk desain yang ia ajukan untuk Pameran dan Pasar Raya tahunan di Surabaya.

1907 menerima penghargaan untuk keunggulan dalam gambar dan cat air

1908-1914 mendapat pelajaran melukis dari F.J. van Ros-sum Du Chattel yang tinggal di Indonesia antara tahun 1908 dan 1914, dan kemudian pada tahun 1916.

1909 memamerkan 27 gambar di toko Tontonnan, Gem-blongan, Surabaya. Inilah awalnya ia sering mengirimkan gambarnya untuk pameran.

1910-1912 Jasper pergi cuti ke Eropa dan mengatur sebelumnya agar pada waktu yang bersamaan Pirngadie dapat bekerja pada direktur sekolah kerajinan di Surabaya --untuk melakukan pekerjaan yang secara khusus berhubungan dengan penelitian mengenai seni kriya di Hindia-Belanda dari segi teknik dan artistik dengan ketentuan bahwa selama penugasan ia tetap terdaftar sebagai staf.

1912 menerima dua medali untuk lukisan cat air dan cat minyak yang dipamerkan di Surabaya; mengirimkan 28 gambar dan lukisan cat air untuk pameran di galeri J. Saritja, Den Haag, Belanda

1913 mengikutsertakan 59 karya seni untuk pameran kedua di galeri J. Saritja, Den Haag, untuk itu ia menerima medali yang hilang dalam perjalanan ke Indonesia

1914 mendapat hadiah pertama dalam kategori lukisan cat air di Pameran Kolonial di Semarang.

1915-1917 bekerja di Kadaster Pakiringan

1917-1923 bekerja di Departemen Pertanian di Buitenzorg (Bogor). Berkenalan dengan Pastor Ster-neberg yang mengajarinya membuat etsa; sesudahnya ia menghasilkan ratusan etsa.

1919 mendapat hadiah pertama dan kedua untuk desain sampul buku (buku yang mana tidak diketahui)

1920 mengirim gambar untuk Pameran dan Pasar Raya di Bandung.

1921 pameran lukisan minyak, cat air, dan etsa di Buitenzorg

1924-1928 kembali bekerja di Kadaster

1928-1933 bekerja di museum untuk Bataviaasch Genootschap (Perhimpunan Batavia) sampai pensiun ~1930 membuat ilustrasi buat buku Le Roux mengenai Papua Nieuw Guinea. Le Roux bekerja antara 1925 dan 1929 di Bataviaasch Genootschap (sekarang Museum Nasional) dan sehingga satu tahun bersamaan waktu dengan Mas Pirngadie. Ekspedisi Stirling ke Nieuw Guinea, yang dipimpin Le Roux, diadakan pada tahun 1926.

1931 mengikutkan karya di Pameran Kolonial, Paris ~1935 membuat ilustrasi untuk atlas benda prasejarah besar yang direncanakan oleh Van der Hoop termasuk gambar nekara dan senjata upacara. Buku ini tidak pernah diterbitkan, tetapi beberapa ilustrasi kemudian diguna-kan dalam buku A.J. Bernet Kemper Ancient Indonesia Art (1959).

(21)

De Weefkunst

“De gepubliceerde reeks kan gezien worden als een onovertroffen naslagwerk...”

“Seri buku yang diterbitkan ini dapat dianggap sebagai karya rujukan tak tertandingi ...”

(Terwen 2009) 

Detail Publikasi

e Weefkunst adalah bagian kedua dari rangkaian 5 jilid yang berjudul De Inlandsche Kunstnijverhe-id van Nederlandsch Indie (Seni Kriya Pribumi di Hindia Belanda). Buku ini diterbitkan pada tahun 1912, bersama-sama dengan buku pertama Het Vlechtwerk (Seni Anyaman), terdiri dari 373 halaman, 325 ilustrasi termasuk gambar pen-sil dan cat air (32) oleh Mas Pirngadie dan foto-foto oleh J.E. Jasper. Jilid ketiga, De Batikkkunst (Seni Batik) diterbitkan pada tahun 1916, Jilid keempat, De Goud en Zilversmeedkunst (Seni Emas dan Perak) pada tahun 1928 dan jilid kelima, De Bewerking van Niet-edele Me-talen (Kriya Logam -- Pengerjaan Kuningan dan Pamor) pada tahun 1930. Jilid keenam tentang bambu dan ukiran kayu, tembikar dan kulit selesai ditulis dan siap untuk dicetak, tetapi tidak diterbitkan.

Seri ini dibuat mewah, setiap buku berukuran 24 x 32 cm, dengan hiasan timbul warna emas atas sampul merah. Penerbitnya adalah NV Boek-en Kunstdrukkerij Mouton & Co di Den Haag. Pada masa Jasper, pemerintah menjual buku ini dengan harga dua puluh gulden satu jilid. Menurut catatan Jasper ketika buku-buku itu tidak dicetak lagi pedagang buku, Martinus Nijhoff di Belanda, menjualnya dengan harga 150 gulden, harga barang antik. Sekarang ini satu set lengkap bisa laku dengan harga lima sampai sepuluh ribu euro.

(22)

Sebuah edisi faksimil dari jilid satu, Het Vlechtwerk, diterbitkan oleh Waringin di Monnickendam pada bulan Juni 1998. Niat ambisius penerbit ini untuk mereproduksi seluruh seri gagal karena pemilik perusaan meninggal dunia.

Pada tahun 2009 Sidestone Press dengan tujuan yang sama ingin menerbitkan jilid lima De Bewerking van Niet-edele Metalen (Pengerjaan Kuningan dan Pamor), dengan versi foto-offset yang sedikit lebih kompak, tapi karena keadaan keuangan sedang tidak menguntungkan, buku ke lima dicetak ulang dan setelah itu proyek dihentikan.

Buku empat dan buku lima sekarang tersedia on-line melalui Sidestone Press di Leiden.

IV: http://www.scribd.com/doc/52593951/J-E-Jasper-Mas-Pirng- adie-De-Inlandsche-Kunstnijverheid-in-Nederlandsch-Indie-deel-IV-De-Goud-en-Zilversmeedkunst

V: http://www.scribd.com/doc/52596346/J-E-Jasper-Mas-Pirnga- die-De-Inlandsche-Kunstnijverheid-in-Nederlandsch-Indie-deel-V-De-Bewerking-van-Niet-Edele-Metalen).

Semoga suatu waktu seluruh buku seri ini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan /atau Indonesia supaya dapat menjadi sumber ilham dan informasi tak habis-habisnya bagi produsen kerajinan,

peneliti dan pencinta seni kriya Indonesia.

Latar Belakang

Pada tanggal 10 Desember 1906, Departemen Koloni menugaskan con-troleur J.E. Jasper untuk melakukan techniesch-artistiek onderzoek naar de Inlandsche kunstnijverheid (penelitian masalah teknis dan artistik seni kriya pribumi). Hasilnya adalah karya besar Jasper dan Pirngadie yang lima jilid itu. Tugas ini diberikan pada suatu periode yang luar biasa dalam sejarah kolonial yang sekarang dikenal sebagai periode Politik Etis, dan merupakan hasil lobi berkepanjangan oleh spesialis kerajinan agar seni dan seni kerajinan pribumi dikaji dengan seksama. Alasan untuk penugasan itu bersifat ganda. Pertama adalah kesadaran bahwa masyarakat penduduk pribumi Nusantara bergan-tung pada pendapatan dari kerajinan dan bahwa upaya mereka layak mendapat dukungan, sama seperti pemerintah memberikan dukungan kepada prakarsa pengembangan industri. Kedua adalah kesadaran bahwa terlalu sedikit yang diketahui tentang pilihan artistik, strategi, selera dan sarana para pembuat seni pribumi. Mereka perlu lebih dipahami.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda menghadapi masalah inti yang sampai sekarang masih dihadapi oleh para pembuat kebijakan yaitu, apakah peranan seni kerajinan di dunia modern yang semakin tergan-tung pada mesin? Jasper sensitif terhadap pertanyaan ini. Dia tahu bahwa:

jika usaha kerajinan diakui memiliki potensi untuk pengembangan industri dan karena itu dimodifikasi dan dimekanisi untuk mengam-bil keuntungan dari potensi itu, bentuk seni kerajinan yang asli akan hilang.

jika kerajinan harus bersaing dengan produksi industri, kerajinan akan kalah.

agar kerajinan mampu bertahan di luar lingkup industri, harus ada pengakuan terhadap nilai kerajinan sebagai nilai tersendiri yang harus pula didukung sebagaimana adanya.

Jasper adalah seorang administrator yang cakap, realistis dan praktis serta seorang pencinta seni kerajinan. Ia yakin bahwa kerajinan itu 1.

2.

(23)

memiliki nilai seni dan ia mengagumi keterampilan unik para pera-jin. Tidak semua pegawai negeri kolonial berpandangan sama. Sama seperti sekarang, banyak yang beranggapan bahwa kriya adalah bentuk seni rendahan, yang akhirnya akan mati seiring dengan modernisasi masyarakat, dan bahwa seni kriya harus bisa bertahan atas dasar nilai kegunaan sendiri atau harus dibiarkan merosot sampai hilang sendiri. Jasper dipilih untuk melaksanakan tugas kajian kriya ini karena kecin-taannya pada dan pengetahuannya tentang kerajinan yang unik telah dikenal. Pejabat yang memiliki dedikasi seperti ini sangat langka.

Pada masa Jasper itu seni kriya diangkat menjadi masalah karena me-luasnya kesadaran bahwa kriya sedang merosot. Ini menjadi penambah semangat bagi lobi yang akhirnya berhasil meyakinkan pemerintah bahwa kajian tentang seni kerajinan perlu dilaksanakan. Pendukung yang bersemangat untuk hal itu di Den Haag, diantaranya ada orang yang terpandang, pada tahun 1899 membentuk Vereniging Oost en West (Asosiasi Timur-Barat) untuk memajukan kepentingan bersama Negeri Belanda dan Koloninya; salah satunya adalah seni dan kriya. Mereka mengeluarkan Kolonial Weekblad (Koran Mingguan Urusan Kolonial) dengan Jasper sebagai editor khusus. Salah satu komite khusus mereka memegang organisasi ceramah, pameran dan publikasi (termasuk katalogus pameran) dan melobi pemerintah.

Pada tahun 1904 Asosiasi mendirikan toko bernama "Boeatan" untuk merangsang dan memfasilitasi penjualan kerajinan. Dalam salah satu

brosur toko, nama Jasper ini disebut dalam kaitan dengan upaya me-nyelamatkan kerajinan tembaga di koloni.

Industri ini terancam punah, seperti banyak kriya yang lain di Nusantara kita, namun melalui upaya Controleur J.E. Jasper, yang sukses memberi semangat, belum lama ini para perajin tembaga mendirikan toko kooperasi yang diberi nama 'Ton-tonnan' untuk menjual barang hasil kerajinan mereka. (Van Doorn, Tussen Cultures...:13) (Mas Pirngadie juga menjual karyanya di toko ini pada tahun 1909, lihat biografinya hal. 38)

Jasper juga terlibat pada awal pendirian cabang Asosiasi Timur dan Barat di Hindia Belanda. Bahkan sebelum toko Boeatan didirikan di Den Haag, toko "Oost en West" yang sejenis dan sebanding telah membuka pintunya di Batavia. Toko ini bertahan sampai tahun 1910. Tujuannya sama dengan toko kembarannya di Den Haag: melestarikan keunikan tradisi Indonesia, mencari pasar internasional, menyemangati para produsen dan memfasilitasi pengembangan desain untuk pasar modern. (Seratus tahun kemudian, tujuan ini masih terdengar akrab bagi organisasi kerajinan.)

Tugas Jasper membaur mulus dengan gerakan untuk mengkaji dan menyokong tradisi seni kerajinan, terbitan lima jilid yang indah, bermutu tinggi merupakan puncak dari minat pemerintah pada seni kriya. Jilid keenam yang hilang merupakan gejala sekaligus lambang

dari pudarnya kerajinan sebagai prioritas pemerintah. Karir Jasper membentangi naiknya kemudian turunnya komitmen pemerintah pada produksi kriya. Ia seolah berselancar atas ombak kebijakan yang memung-kinkan kajiannya dan ketika jilid terakhir terbit tahun 1930 kekuatan gelombang telah habis. Ketidak-pedulian adalah tanggapan atas masalah inti tentang makna peranan kriya dan pentingnya kriya di dunia yang sedang mengejar modernisasi. Jasper sering menulis untuk koran Het Koloniaal

Weekblad, media dari Asosiasi Oost en West

Lukisan tegel oleh Jan Toorop, anggota Asosiasi Oost en West (foto atas budi baik KITLV, Leiden)

(24)

Pameran dan Pasar Raya

Sebelum ia menerima tugas kajian kerajinan Jasper sudah bekerja sama dengan Asosiasi Timur Barat dan toko Tontonnan untuk memfasili-tasi pemasaran kerajinan. Pada tahun 1905, ia mengorganisasi Pamer-an dPamer-an Pasar Raya tahunPamer-an (Jaarmarkt Tentoonstelling) kerajinPamer-an pertama di Surabaya dimotivasi oleh kesadaran bahwa ia membangun sebuah ekstensi yang perlu dan strategis dari inisiatif pemasaran yang dimulai oleh Asosiasi Timur Barat dan toko Tontonnan. Dia mulai persiapan untuk pasar raya pertama pada tahun 1904 dengan mendapat-kan kerjasama dari Residen Surabaya dan pejabat pemerintah lain. Dia terus mengorganisasi pasar raya sewaktu ia telah menerima tugas kajian kerajinan dan tetap melakukannya ini lama setelah dia selesai menulis karya besarnya. Tujuannya jelas dinyatakan dalam pasal per-tama laporannya mengenai pameran pasar raya perper-tama di Surabaya:

Tujuan, mengadakan Pasar Malem atau pasar raya adalah untuk mencari pasaran luas bagi berbagai produk kerajinan dan seni kriya pribumi yang sebagian besar belum dikenal bahkan oleh masyarakat Hindia, dan dengan demikian mendorong perajin untuk bekerja dengan teratur, dan untuk menghubungkan mereka dengan Toko Tontonnan yang telah ada di Surabaya, sehingga bagi penghasil barang-barang yang disukai terbuka

kesempatan untuk menjualnya dengan perantaraan pihak lain. (1906)

Jasper menulis laporan tentang pameran kerajinan yang ia selenggara-kan di Surabaya (1905-1909), Pekalongan (1923-1924) dan Yogyakarta (1928-1929). Tanggal diadakannya pameran ini sesuai dengan penempa-tannya di kota tersebut sebagai pegawai negeri kolonial. Namun, tem-pat pameran tidak terbatas pada kota ia ditemtem-patkan. Dalam publikasi berjudul, De organisatie van een Jaarmarkt-tentoonstelling (organisasi pameran pasar raya) (1924), ia menulis:

Pada waktu akhir-akhir ini jumlah pasar raya sangat meningkat. Selain di Surabaya, Weltevreden, Bandung dan Pekalongan, tahun ini diselenggarakan di Solo, Salatiga, Trenggalek, Magelang, Tasikmalaya dan menurut De Locomotief rencana untuk mengadakan pasar raya di Semarang sedang disusun.

Artikelnya bisa dibaca sebagai semacam 'petunjuk pelaksanaan pasar malam yang sukses'; ia ingin agar pasar ini semakin banyak. Organisasi pasar pameran merupakan kerjaan besar dan melibatkan bakat banyak orang, termasuk sukarelawan. Pengunjung pasar itu juga banyak.

Selain untuk merangsang permintaan pasar, produksi dan ekspor pasar-pasar itu dimaksudkan juga untuk meningkatkan kualitas dan menyampaikan informasi tentang tradisi kerajinan. Visi Jasper luas. Dia ingin merangsang pertumbuhan industri dengan jaringan pasar di Laporan Pameran Pasar oleh J.E. Jasper

(foto atas budi baik Antiquariaat Minerva, Den Haag)

(25)

seluruh dunia dan dia ingin menggunakan keuntungan untuk mendiri-kan sekolah dan program pelatihan bagi produsen kerajinan. Adik-adik perempuan R.A. Kartini, yang waktu itu belum lama meninggal dan yang kini terkenal karena perjuangannya untuk emansipasi wanita, menjadi anggota yang aktif dan antusias dalam komite pameran pasar Jasper di Surabaya. Mereka bersemangat karena prospek membantu Jasper mendirikan sekolah di mana anak perempuan bisa belajar mem-batik, menenun dan menganyam (Van Doorn up :27-29).

Mas Pirngadie terlibat dari awal. Dalam laporannya tentang pasar pertama di Surabaya, Jasper menulis,

Tukang gambar pribumi dari Kadaster yang diperbantukan pada penulis laporan ini, Mas Pirngadie, merancang sampul buku program dan piagam dengan ragam hias yang terutama terdiri atas motif-motif batik.

Lima tahun kemudian, gambar Mas Pirngadie juga menghiasi publika-si yang merayakan ulang tahun kelima pameran pasar kerajinan yang sukses di Surabaya. Katalog pameran yang sekarang ini menggunakan hiasan dekoratif Mas Pirngadie untuk mengangkat karyanya.

Sangat mungkin bahwa banyak foto yang ditemukan dalam De Weefkunst (dan jilid-jilid lain De Inlandsche Kunstnijverheid) dibuat di pameran pasar. Foto itu memiliki latar belakang yang sama dinding anyaman bambu dan contoh karya kriya ditampilkan di samping para perajin. Mengingat jenis kamera yang digunakan Jasper dan pencaha-yaan di pasar itu yang sangat mungkin redup, ia harus menyuruh orang berpose untuk difoto.

Tidak dapat diragukan bahwa maksud Jasper dalam menulis kelima bukunya sebagai perangsang bagi seni kriya. Tujuan buku itu adalah untuk memberitahukan kepada dunia bahwa seni pribumi di Hindia Belanda adalah adikarya -- dan pada waktu yang bersamaan mencari dukungan bagi seni itu. Presentasi buku yang mewah dan pameran akan menimbulkan apresiasi sehingga meningkatkan penjualan dan merangsang kebanggaan pengrajin. Pengetahuan yang disuguhkan buku itu pada gilirannya akan berpengaruh pada mutu karya. Buku ini lebih daripada sekadar buku pamer gengsi yang dimaksudkan untuk merang-sang orang kaya agar membeli karya seni kriya; buku inipun memuas-kan orang yang ingin tahu cara pembuatan dan pengerjaan karya itu.

Perjalanan Jasper Bersama Pirngadie

Dalam De Weefkunst, pembaca menemukan perbandingan teknik dan desain antara berbagai daerah di Jawa, Bali, Sumba, Sumbawa,

Pose seorang penenun Pulau Sangir, foto oleh Jasper di Pameran Pasar (hal. 59 De Weefkunst)

Foto penenun Batak (Sumatra) oleh Jasper (hal. 175 De Weefkunst)

Foto peralatan tenun di Aceh oleh Jasper. (hal. 133 De Weefkunst)

(26)

Sumatera (Lampung, Palembang, Minangkabau, Batak, Aceh, Pantai Timur), bagian Kalimantan Utara dan Sulawesi Selatan (Toraja, Bugis, Makassar, Minahasa), Talaud, Sangir, Minahasa, Flores, Timor dan Ambon. Salah satu kekuatan besar dari pekerjaan Jasper dan Pirngadie adalah wawasan komparatif yang mereka tawarkan. Semua ini adalah hasil dari perjalanan-perjalanan yang ekstensif.

Sayangnya Jasper tidak mendokumentasikan tempat dan waktu pembuatan ilustrasi (foto Jasper dan gambar Pirngadie) dengan tepat sehingga tidak mungkin kita menelusuri jejak mereka berdasarkan ilustrasi. Semoga penelitian arsip masa depan akan menghasilkan infor-masi lebih lanjut. Menurut hasil penelitian arsip Seth van Doorn:

Di semua tempat mereka mengunjungi administrator lokal --yang kadang-kadang sebagai persiapan untuk pertemuan, me-nyiapkan pameran kecil dengan barang-barang buatan lokal dan perajin di bengkel mereka Di semua tempat Jasper dan Pirnga-die membuat foto lukisan cat air, gambar dan catatan tentang apa yang dibuat, dimana dibuatnya oleh siapa dan bagaimana cara pembuatannya. Mereka juga mengumpulkan bahan kajian; barang-barang buatan lokal yang mereka bawa untuk

dipela-jari setelah pulang. Di sela antara perjalanan Jasper tinggal di Surabaya dan menulis berdasarkan catatan lapangannya. Sebuah fragmen dari mailrapport triwulan pertama tahun 1907 mem-berikan gambaran tentang cara kerja ini dan luasnya lapangan kerja penelitiannya: 'Kapal api pemerintah yang dijanjikan oleh gubernur sipil dan militer wilayah Sulawesi dan daerah bawahannya yang sedianya akan membawa saya dari Kajang ke Palopo, Buton dan Salayar tidak datang, sehingga perjalanan harus dilanjutkan melalui jalan darat ke Sinjai, setelah 5 hari baru ada kapal dari Koninklijke Pakketvaart-maatschappij yang membawa saya dari sana kembali ke Makassar. Di tempat ini saya menerima berita telegrafis dari residen Manado, yang sebelumnya sudah diminta untuk menyediakan kapal api peme-rintah untuk ke Siau dan ke Taruna, bahwa kapal api itu tidak siap. Karena Kepulauan Sangir Talaud sebenarnya adalah tujuan utama perjalanan saya ke Manado karena seni tenun Koffo yang terdapat disitu maka saya terpaksa menunda perjalanan selanjutnya dan kembali dari Makassar ke Surabaya. Di sana saya akan sibuk beberapa waktu dengan menulis, menggarap catatan data dan sketsa yang begitu banyak terkumpul selama

Buku skets Mas Pirngadie kini di arsip KITLV, Leiden (foto-foto atas budi baik KITLV)

(27)

perjalanan dan dengan melanjutkan tulisan tentang seni anyam. Ada rencana untuk mengunjungi Tanah Tinggi Padang pada awal Juni y.a.d. dan melanjutkan perjalanan saya ke Sulawesi Utara dan Maluku awal Agustus, karena menurut berita lebih lanjut yang diterima dari Residen Manado kapal api pemerin-tah untuk Kepulauan Sangir Talaud akan disediakan khusus buat saya dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 18. (Algemeene Rijksarchief, Ministerie van Kolonien Vb. 12-09-1907, p. 91. di Up, Seth van Doorn)

Mas Pirngadie dengan rajin mendokumentasikan perjalanan itu dalam buku skets yang selalu ia bawa. Banyak sketsa itu kemudian ia pakai sebagai dasar untuk membuat lukisan. Sketsa-sketsa ini merupakan pelengkap yang berharga bagi informasi arsip karena bertanggal. Buku sketsa yang sekarang disimpan oleh KITLV di Leiden mencakup perjalanan ke Makasar yang diriwayatkan oleh Jasper (di atas) serta perjalanan ke Sumatera pada tahun 1908.

Dalam setiap perjalanannya Jasper membawa kameranya. Mustahil untuk mendokumentasikan teknik dan desain kriya tanpa pelengkap visual yang diberikan oleh kamera. Jika memeriksa De Weefkunst dengan cermat akan nyata jelas bahwa meskipun kamera mutlak perlu, tetap foto belum memadai untuk merekam teknik pembuatan. Ketika Jasper melihat kerjaan Pirngadie ia segera tahu bahwa ia telah menemukan keterampilan tambahan yang ia butuhkan. Siapapun yang

pernah berusaha untuk mendeskripsikan arah dan gerak benang selama produksi tekstil dengan tepat dan akurat pasti tahu bahwa ini adalah hal yang sulit yang tidak dapat dilakukan berdasarkan ingatan saja. Sang dokumentalis perlu mengamati penenun yang sedang bekerja; ia harus memintanya berhenti berulang-ulang kali untuk melihat apa yang dilakukan, dan ia perlu memiliki contoh hasil kerjanya yang dapat dilihat saat ia menulis. Gambar-gambar yang dibuat Mas Pirnga-die untuk De Weefkunst adalah bukti bahwa ia mengamati penenun yang sedang bekerja untuk waktu yang lama. Ia perlu memehami proses teknis tenun agar dapat membuat gambar teknis dengan akurat. Akibatnya, pada akhir rentetan perjalanan mereka pemahaman teknis-nya, sangat mungkin lebih banyak dan lebih rinci daripada pemaham-an Jasper.

Jarang sekali seorang ilustrator buku tercantum sebagai rekan penulis yang setara, tetapi dalam hal buku-buku seni kriya ini sangat jelas bahwa apresiasi Jasper terhadap Pirngadi tidak berlebihan. Buku-buku ini adalah hasil kerja suatu tim. Jasper dan Mas Pirngadie yang masing-masing cemerlang dengan caranya sendiri merupakan duo yang kuat dan saling melengkapi.

Nilai De Weefkunst Sekarang dan di Masa Depan

Jika membolak-balik halaman De Weefkunst pembaca akan secara spontan mulai tergugah untuk merenungi perubahan dalam seni tenun yang terjadi sejak observasi Jasper dan Pirngadie.

Adalah alat tenun gedogan di Aceh masih digunakan atau sudah tergeser seluruhnya oleh alat tenun bukan mesin yang tegak? Apakah implikasi dari pergantian alat tenun untuk tekstil yang kini dibuat

di Aceh? Apakah masih ada laki-laki di Gresik yang mengerjakan ikat? Apakah yang terjadi dengan seni tenun di seluruh pulau Jawa?

Teknik tenun dengan kartu, mungkin salah satu teknik tenun tertua di dunia (Bolland 1970), didokumentasikan oleh Jasper dan Pirngadie di Sulawesi Selatan. Apakah teknik kuno ini masih dipakai?

Dan seterusnya. Alat tenun Pekalongan, digambar oleh Mas Pirngadie

(hal. 192 De Weefkunst)

Peralatan tenun di Jawa, digambar oleh Mas Pirngadie (hal. 117 De Weefkunst) Benang dari lontar berfungsi sebagai lusi

(28)

Utang budi kita ke Jasper dan Pirngadie karena terbitan bersejarah mereka besar. Mereka membangun landasan yang cukup rinci untuk kita bisa mengukur perubahan dalam seni tenun Indonesia seiring ber-lalunya waktu. Cakupan buku mereka luas karena perjalanan mereka yang ekstensif. Dengan membandingkan keadaan seni tenun Nusantara kini dengan apa yang ada pada masa Jasper dan Pirngadie, mungkin beberapa pertanyaan akan bisa terjawab: Apa yang telah berubah? Bagaimana dan mengapa berubah? Apa yang telah diperoleh dan apa yang telah hilang? Kemana arah perubahan? Apa implikasi dari peruba-han yang terjadi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan berguna untuk penentuan kebijakan.

Kekuatan penting De Weefkunst adalah fokusnya pada teknik. Sejak masa Jasper dan Pirngadie, fokus pada penampilan dan simbolisme benda budaya adalah yang dipentingkan. Akan tetapi, sebagai barom-eter perubahan, teknik adalah ukuran yang sama akurat dan sensitif. Teknik adalah dasar bagi setiap bentuk seni.

Jasper diberi tugas ini adalah sebagai tanggapan terhadap kemerosot-an dkemerosot-an menghilkemerosot-angnya kerajinkemerosot-an-kerajinkemerosot-an di Nuskemerosot-antara. Jasper dkemerosot-an Pirngadie bekerja keras untuk memperbaiki kondisi untuk kerajinan. Namun kini pameran pasar dan buku-buku mereka nyaris dilupakan. Seabad kemudian, hilangnya budaya asli di seluruh dunia telah men-capai titik kritis. Ini saatnya untuk sekali lagi meninjau keadaan seni tenun di Nusantara dan untuk merancang strategi baru guna memper-baiki kondisi kerajinan asli Indonesia ini.

(29)

Lampiran 2. Daftar Pustaka Pilihan J.E. Jasper Mengenai Kriya

(Disertai terima kasih kepada Seth van Doorn yang menghimpun judul-judul ini (1997)).

Hasil Penelitian tentang Kriya

1900. De pottebakkerskunst der Javanen, Eigen Haard: geïlustreerd volkstijdschrift: 51, 52. Haarlem: Kruseman & Tjeenk Willink 1875 - 1941.

1901 De weef- en pottebakkerskunst der javanen, Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 20:208. Batavia: Kolf.

1902. Het een en ander over de metaalbewerking der Javanen. Tijd-schrift voor het Binnenlandsch Bestuur 22:212. Batavia: Kolf.

1902. Inlandsche kleurmethoden. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 22:345. Batavia: Kolf.

1902. Het een en ander over inlandsche goud- en zilversmeedkunst. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 23:265. Batavia: Kolf.

1902. De Gandroeng-Bali. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 23:414. Batavia: Kolf.

1905. Batik-motieven. Het Daghet: 335 - 343.

1906. De vlecht-industrie in de residentie Jogjakarta. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 29:1, 61. Batavia: Kolf.

1902. Over kopergiet- en zilversmeedkunst der Javanen. Het Kolo-niaal Weekblad. Orgaan van de Vereeniging Oost en West. 31 Juli dan 07 Februari. Den Haag: Het Algemeen Belang.

1903. Een kijkje in de werkplaatsen van Pak Aminah. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 24:238. Batavia: Kolf.

1903. Specimina van Indische goudsmeedkunst. Tijdschrift voor ni-jverheid en landbouw in Indie. Batavia: Nederlandsch-Indische Maatschappij van Nijverheid en Landbouw.

1904. Inlandsche methoden van hoorn-, been-, schldpad-, schelp- en paarlemoerbewerking. Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde 47:1, 11. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kun-sten en Wetenschappen.

1907. Een Tomori'sch zwaard. Weekblad voor Indië 8 Desember. Soerabaja: N.V. Soerabajasch Handelsblad en Drukkerijen.

1909. Eenige proeven van Indische houtsnijkunst. Het Huis:75. 1910. Ceramische kunst in den Indischen archipel. Elsevier's (No-vember).

1911. Inlandsche wijzen van woningbouw en -versiering. Bouwkunst 4.

1911. Indiaansche en Indische vlechtkunst. Technieken en orna-menten. Elsevier's II:248.

1911. De Inlandsche weefkunst in Nederlandsch- Indië Ceramah dan debat. Indische Mercuur:123.

1912. (Bersama Mas Pirngadie) De Inlandsche Kunstnijverheid van Nederlandsch- Indië I: Het Vlechtwerk. II. De Weefkunst. 's-Gravenhage: Mouton.

1912. Een reis in Zuid-Celebes: Ceramah. Orgaan der Vereeniging ‘Moederland en Kolonië’ 12(1). 's-Gravenhage.

Gambar

gambar. Ia juga memiliki kamera stereoskopik dan Cine-kodak tahun
gambar sesuatu yang ternyata lain dari yang ia ajarkan. Melewati

Referensi

Dokumen terkait