• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu perpustakaan, dokumentasi informasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Ilmu perpustakaan, dokumentasi informasi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Pustakawan Berkualitas

Pidato profesi disampaikan dalam acara

Dies Natalis Perpustakaan Universitas Gadjah Mada ke-65

Selasa, 1 Maret 2016

Drs. Ida F. Priyanto, MA, Ph.D.

Perpustakaan Universitas Gadjah Mada

(2)

Pimpinan dan hadirin yang saya hormati,

Sungguh saya merasa bahagia pada hari ini karena dapat berbicara di Perpustakaan UGM dalam rangka Dies Perpustakaan 2016. Perkenankan saya menyampaikan pemikiran saya terkait dengan pengembangan sumber daya manusia di dalam perpustakaan.

Pustakawan: Apa, mengapa, & harus bagaimana?

Tahun demi tahun terus saja banyak informasi tentang pustakawan Indonesia. Ada banyak informasi yang menggembirakan, ada informasi keberhasilan pustakawan, ada juga informasi tentang keluhan pustakawan, dan lain sebagainya. Namun banyak hal menggembirakan yang datang dari dunia kepustakawan Indonesia. Siapakah pustakawan Indonesia? Menurut senior kita, Lasa HS (1998), pustakawan adalah tenaga yang profesional dan fungsional dalam bidang perpustakaan, dokumentasi serta informasi, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007, pustakawan adalah:

Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (Bab 1, pasal 1, ayat 8)

________________________________________________ ________________________________________________

Dari dua definisi yang dipaparkan tersebut, ada dua hal kunci yang dapat dipetik, yaitu (1) Ilmu perpustakaan, dokumentasi & informasi, (2) Profesional dalam memberikan layanan. Kedua hal tersebut tentu saja sangat terkait dan saling mendukung. Pendidikan yang sesuai bidangnya akan membantu mengarahkan tugas-tugas dalam dunia perpustakaan secara profesional.

Ilmu perpustakaan, dokumentasi & informasi

Pada waktu ini, DIKTI sedang mempersiapkan

nomenklatur baru untuk bidang Sains Informasi (Gambar 1).

Dalam bidang ini, Sains Informasi nantinya akan menjadi

payung dari Sains Informasi itu sendiri, Kearsipan,

Perpustakaan dan Informasi, serta Perpustakaan. Sebetulnya

Sains Informasi itu sendiri merupakan anak cabang dari Ilmu

Perpustakaan, yaitu dokumentasi, yang berkembang dan

kemudian lahir sekitar tahun 1950-an. Namun karena

pesatnya perkembangan Sains Informasi, akhirnya justru Ilmu

Perpustakaan ataupun Ilmu Perpustakaan dan Informasi

kemudian menjadi bagian dari Sains Informasi. Hal seperti

itu bukanlah hal yang aneh karena dalam peta keilmuan

(Science Map) memang semua ilmu berkembang tidak hanya

(3)

interdisiplin. Hal inilah yang menjadikan perubahan menarik dalam Sains Informasi dan Perpustakaan bisa berbeda maupun saling bersinggungan dan saling membantu perkembangan.

Gambar 1. Nomenklatur Sains Informasi dan ilmu Perpustakaan

Dalam nomenklatur baru DIKTI tersebut Ilmu Perpustakaan di Indonesia tidak akan sampai jenjang S3, tetapi hanya sampai S1 atau S2 saja, sedangkan Ilmu Perpustakaan dan Informasi dan Sains Informasi dibuka dari S1 sampai S3. Hal tersebut karena Ilmu Perpustakaan lebih dilihat sebagai aspek teknis dan berbeda dengan Sains Informasi yang kajiannya juga sangat luas dan membutuhkan filsafat dan teori yang tinggi. Selain itu, Perpustakaan lebih banyak mempelajari informasi dalam konteks medianya, sedangkan Sains Informasi mempelajari informasi secara kuat dan tidak sekedar mengelola media informasinya saja. Hal tersebut juga dikatakan oleh Floridi (2002) yang melihat konsep informasi dalam ilmu perpustakaan TIDAK dalam arti kuat, tetapi “in the weaker and more specific sense of

________________________________________________ ________________________________________________

recorded data or documents” (p. 46). Itulah sebabnya

pendidikan Ilmu Perpustakaan dan Informasi menjadi lebih penting karena kajiannya tidak sekedar teknis media informasi, melainkan juga sisi-sisi kognitif dan sosial. Bagi para pustakawan, memiliki pengetahuan dalam bidangnya merupakan fondasi penting untuk menuju pustakawan yang profesional.

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini sungguh sangat menarik dan memberikan kita perhatian yang lebih besar: Kemana arah profesionalisme pustakawan Indonesia? Dengan meningkatnya pustakawan yang mengikuti pendidikan terutama S2 dan S3 di bidang lain, rasanya pemahaman terhadap perpustakaan bukan semakin mendalam (indepth) tetapi seperti semakin melihat perpustakaan dengan kacamata orang lain. Istilah dalam scholarly communication adalah pendidikan

cross-interdiscipinary, melihat satu bidang dengan keilmuan yang

berbeda. Model pendidikan semacam ini bukan mengarah ke indepth tetapi ke external vision. Dengan kata lain, kita melihat di Indonesia sedang terjadi polarisasi kepustakawanan karena terjadinya cross-disciplinary study, bukannya interdisicplinary study dalam sains informasi maupun ilmu perpustakaan dan informasi, seperti yang terjadi di kebanyakan negara lain. Faktor administratif,

Kearsipan

Perpustakaan dan Sains (Ilmu) Informasi Perpustakaan

RUMPUN ILMU TERAPAN (PROFESSION AND APPLIED SCIENCES) RUMPUN ILMU TERAPAN (PROFESSION AND APPLIED SCIENCES)

BIDANG SAINS INFORMASI

(4)

psikologis, keluarga, sosial, dan diri telah menjadikan pustakawan kita hanya belajar dari sisi praktis di lingkungan sendiri. Dibutuhkan pustakawan yang berani menerima tantangan untuk memajukan kepustakawanan Indonesia.

Professional

Dalam kamus Webster (2016), profesional diartikan sebagai “someone who does a job that requires special training, education, or skill: someone who is a member of a

profession” atau “someone who has a lot of experience or

skill in a particular job or activity.” Dengan kata lain, seorang

yang bekerja di perpustakaan memiliki pendidikan dalam bidangnya—yaitu bidang perpustakaan dan/atau informasi. Sangat penting bagi pustakawan untuk terus menekuni bidang profesinya dengan mengikuti pendidikan, apalagi bila pendidikan tersebut adalah dalam bidang yang sesuai profesinya. Pendidikan yang tidak sesuai profesinya, seperti disampaikan di atas, adalah sebuah cross-disciplinary studies, yaitu melihat perpustakaan dari luar bidangnya,

sehingga tidak melihat esensi utamanya. Penting bagi pustakawan Indonesia untuk mengikuti pendidikan yang sejalan dengan profesinya agar pemahaman mendalam bisa terbangun.

Di sisi lain, pengalaman juga mendukung tingkat profesionalitas orang yang bekerja di perpustakaan.

________________________________________________

Pengalaman tidak hanya diperoleh dari tempat bekerjanya saja, tetapi juga pengalaman dari tempat lain yang pernah dikunjungi untuk kepentingan profesinya. Kunjungan ke sebuah perpustakaan yang dilanjutkan dengan diskusi intens memberikan kita insight tentang apa yang dilakukan di perpustakaan tersebut langsung dari orang pertama. Namun mengalami sendiri berada di dalam perpustakaan sebagai suatu keseharian karena pendidikan atau pelatihan memberikan kita makna yang lebih dalam untuk memahami sistem perpustakaan yang berjalan. Apalagi bila pustakawan dapat mengikuti magang atau internship di sebuah perpustakaan yang sudah maju dengan profesionalisme yang tinggi, maka akan terbangun etos kerja yang lebih baik. Pengalaman melihat atau merasakan langsung bagaimana perpustakaan-perpustakaan dijalankan di berbagai negara memberikan kita pemahaman yang sangat baik dan akan mampu memberikan kita pemikiran tentang bagaimana perpustakaan dapat berjalan dengan baik. Itulah sebabnya, seorang pustakawan sudah sepantasnya memiliki pengalaman di berbagai perpustakaan.

Webster (2016) menambahkan bahwa professional pada umumnya “(1) characterized by or conforming to the technical or ethical standards of a profession” dan “(2)

exhibiting a courteous, conscientious, and generally

(5)

________________________________________________

pengetahuan baru secara mandiri; dan tentu saja kegiatan membaca dan menulis. Membaca untuk mendapatkan pengetahuan membutuhkan perjuangan sendiri bagi seorang yang bekerja, tetapi hal itu sangat dibutuhkan agar selalu dapat memperoleh pengetahuan baru dan tidak tertinggal oleh orang lain se profesi. Pengetahuan tentang peran perpustakaan dalam komunikasi ilmiah, pengetahuan tentang metrics dalam dunia akademik, pengetahuan tentang science mapping, generasi perpustakaan seperti experience, connection, makerspace, dsb. Demikian pula

menulis yang jelas jelas “tidak segampang ngomong.” Ketrampilan menjelaskan teknik menulis dengan berbagai aplikasi seperti zotero, mendeley, endnote tidaklah ada artinya kalau sampai saat ini tetap saja pustakawan tidak dapat menulis dan menuliskan kutipan dengan benar. Demikian halnya dalam menuliskan daftar pustaka atau menulis abstrak. Semakin banyak belajar, semakin terasa betampa banyak hal yang belum kita ketahui.

(2) Pengalaman

Pengalaman profesi menjadikan diri pustakawan mempunyai rasa percaya diri yang meningkat dan extended knowledge yang meningkat pula. Contoh

yang sangat sederhana adalah pengalaman melihat perpustakaan di negara tetangga. Walaupun hanya

________________________________________________

businesslike manner.” Jadi dapat dikatakan bahwa seseorang

yang professional selalu belajar dan mau mematuhi standar etika profesi yang berlaku. Memang salah satu ciri khas sebuah profesi adalah adanya standar etika. Etika profesi menjadi acuan dalam menjalankan profesionalisme tugas. Tentu saja dalam menjalankan profesinya sebagai pustakawan, dibutuhkan perilaku, tata karma kerja, dan penampilan professional. Sangat penting bagi pustakawan untuk menunjukkan diri sebagai pustakawan yang dapat dipercaya, meyakinkan, dan tahu posisi kerjanya yang menghadapi para pemustaka. Dalam hal ini, penampilan harus menjadi perhatian utama: Berangkat kerja sudah mengenakan pakaian pantas kerja; tidak membaca pesan WA dan kesenangan personal lain saat berada di depan customer-desk, tidak duduk di meja layanan, tempat layanan selalu rapi dan dirapikan, dan lain sebagainya.

Ada lima hal yang membedakan satu staff perpustakaan dengan staff lain perpustakaan, yaitu pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, jaringan, dan visibilitas.

(1) Pengetahuan

(6)

berkunjung ke satu negara tetangga, pengetahuan yang diperoleh tidak sekedar hanya dari apa yang dilihat di dalam perpustakaan yang dikunjungi, tetapi juga diperoleh pengetahuan tentang bagaimana pustakawan di negara lain bekerja; bagaimana pustakawan di negara lain menyambut tamu; bagaimana cara pandang pustakawan dalam menjalankan profesinya. Selain itu, ada extended knowledge yang sangat besar pengaruhnya bagi pustakawan, misalnya adalah bagaimana cara membuat paspor, apa yang disebut dengan imigrasi, bagaimana kita mengatur bagasi yang harus dibawa melalui pabean, bagaimana suasana yang sebenarnya di negara lain, dan sebagainya. Semakin banyak pengalaman, akan semakin besar rasa percaya diri dan pengetahuan teknis kita.

(3) Ketrampilan

Ketrampilan bukan hal yang sederhana dan tidak perlu dipelajari; tetapi ketrampilan sangat penting dan banyak ragamnya bila dikaitkan dengan profesi pustakawan. Banyak contoh ketrampilan yang perlu dipelajari oleh pustakawan, misalnya ketrampilan dalam menerima tamu dan memberikan hospitality kepada tamu perpustakaan; bagaimana menyapa teman kerja pada waktu datang di pagi hari; bagaimana menata meja layanan agar dapat tampil

________________________________________________

menarik, rapi, dan bersih; bagaimana cara mendisain presentasi powerpoint yang terbaca oleh 200 audiens; bagaimana agar kita bisa presentasi dengan baik dan tidak membuat audiens mengantuk; bagaimana agar kita selalu bisa mengucapkan terima kasih, trampil dalam membaca data dan cara mempresentasikannya, dan lain sebagainya.

(4) Jaringan

Jaringan pustakawan sangat luas. Apalagi bila dikaitkan dengan embedded librarianship. Seorang pustakawan seharusnya selalu berusaha membangun jaringan dan keakraban dengan banyak pihak: Dengan semua orang dari berbagai tugas di dalam sebuah perpustakaan, dengan stakeholders di dalam institusi, dengan kolega, engan pakar, dan sebagainya. Jaringan bukan sekedar tahu tentang orang lain, tetapi membangun komunikasi dan berkontribusi dalam berbagai skala sesuai dengan posisi atau jabatannya. Tidak kalah penting adalah kemitraan dengan pihak-pihak terkait dengan perpustakaan seperti peneliti, media massa, industri informasi (penerbit, vendor, perusahaan, organisasi OA, dll.), dan sebagainya.

(5) visibilitas dunia nyata & maya

(7)

Visibilitas bukan sekedar memiliki akun atau sekedar tercatat hadir dalam sebuah pertemuan. Visibilitas lebih dari sekedar hadir dalam suatu pertemuan, melainkan bagaimana membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang hadir dalam suatu kegiatan dan (kalau bisa) ada follow-up setelahnya. Visibilitas juga terkait dengan peran. Untuk menjadi pustakawan unggul, bukan sekedar hadir dalam sebuah acara dan meminta sertifikat kepesertaan saja, tetapi juga berusaha agar suatu saat nanti juga hadir dengan sertifikat yang tidak perlu pustakawan tersebut memintanya, tetapi sudah disiapkan oleh panitia karena kontribusinya dalam acara tersebut. Hal itu tentu saja tidak dapat seketika terjadi. Dibutuhkan proses panjang untuk meningkatkan visibilitas diri: Bukan dengan jalan meminta orang untuk mengundangnya sebagai pembicara, tetapi meningkatkan kemampuan diri dan selalu berkontribusi dalam berbagai acara. Singkatnya, harus memberanikan diri untuk ikut berbagi dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Tidak kalah penting adalah menunjukkan visibilitas diri dalam dunia maya—tentu saja bukan sekedar memiliki akun media sosial dan menuliskan statusnya sedang berada dimana atau menampilkan foto

________________________________________________

selfie-nya saja. Walaupun hal itu tidak boleh ditinggalkan dan tetap perlu, namun pustakawan juga perlu memiliki akun di media sosial profesional dengan menampilkan gagasan-gagasan dan pikiran-pikirannya dalam bentuk tulisan di academia.edu, research Gate, Google Scholar, Microsoft search, dan

media profesional lainnya. Tidak kalah penting adalah menulis baik berupa artikel, book-chapter, ataupun buku.

Kuncinya, sebagai pustakawan, kita perlu banyak belajar dari banyak pihak dan banyak sumber. Sebagai pustakawan, rasanya akan statis apabila setiap hari tidak ada pengetahuan baru yang diperoleh. Demikian halnya dalam membangun pengalaman. Banyak pengalaman akan menjadikan kita semakin luas pandangannya dan semakin dapat melihat berbagai hal dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Pengalaman akan mampu membangun pikiran-pikiran positif yang mampu meningkatkan kualitas diri. Berani mencoba, berani salah, berani kalah, dan berani keluar dari suatu tempat yang aman dan nyaman.

Branding pustakawan

Pustakawan masa lalu sering diidentikkan dengan wanita tua dengan kacamata ber-frame hitam tebal bertali dan dikalungkan. Itu adalah gambaran seorang pustakawan

(8)

yang dulu selalu dijadikan sebagai icon pustakawan. Hal itu juga terjadi pada pustakawan-pustakawan generasi sampai tahun 1990an yang rata-rata mengenakan kacamata bertali dan dikalungkan. Di era sesudahnya, gambaran semacam itu sudah mulai berubah, namun esensi pustakawan sebagai tenaga administrasi masih membekas—bahkan sampai sekarang. Itulah sebabnya, di masyarakat, setiap mereka mendengar kata pustakawan, bayangan yang ada adalah seorang yang bekerja sebagai penjaga buku. Trademark-nya masih seperti itu. Hal itu terjadi karena memang tidak ada perubahan paradigma untuk membangun image dalam masyarakat terkait dengan istilah pustakawan. Bahkan di masa lalu, kekhawatiran bahwa perpustakaan tidak laku lagi telah menjadikan pustakawan mengubah istilah perpustakaan menjadi taman bacaan masyarakat agar kesan perpustakaan dan pustakawan seperti yang digambarkan lain dari cara membawa diri, cara merespon dan melayani, dan cara berinteraksi. Sengaja atau tidak, pustakawan selalu melakukan komunikasi dan interaksi dan hal itu bisa menjadikan brand kita buruk atau baik, tergantung pada cara kita

membawa diri. Personal brand juga memiliki lingkup geografis yang berbeda untuk setiap orang. Brand

________________________________________________

tadi hilang. Padahal bukan itu yang diperlukan. Merehabilitasi nama agar terjadi perubahan kesan (image) dalam masyarakat mengenai pustakawan dan perpustakaan, dapat dilakukan dengan membangun branding—personal branding, utamanya.

Personal branding

Personal branding sering diartikan sebagai aset

fungsional, emosional, karakteristik produk dan jasa, identitas, dan persepsi audiens. Dengan kata lain, personal brand terbangun dari diri kita tetapi yang mengetahui dan

menetapkan brand adalah orang yang melihat kita. Wikipedia (2016) menyebutkan bahwa personal branding adalah “the practice of people marketing themselves and their careers as brands.” Dengan kata lain, personal branding

sangat mendukung profesi yang dimiliki oleh seseorang, termasuk profesi pustakawan. Personal branding pustakawan adalah suatu tindakan yang dilakukan agar pustakawan membangun kesan yang baik dalam pikiran dan rasa orang lain.

Personal branding merupakan suatu proses untuk

mengelola dan mengoptimalkan cara seseorang dipresentasikan kepada orang lain dan hal tersebut membutuhkan teknik-teknik yang jitu sehingga orang akan menilai kita dengan baik. Pustakawan akan dinilai oleh orang

(9)

kita bisa sangat sempit hanya dalam lingkup kecil lembaga saja tetapi juga bisa sampai seluruh dunia dan itu tergantung juga pada bagaimana kita membangun luasan visibilitas diri. Jadi brand bisa institusional (KW5), lokal (KW4), nasional (KW3), regional (KW2), internasional (KW1).

Brand experience

Brand experience diartikan sebagai pengalaman

berinteraksi dengan brand. Setiap interaksi akan menimbulkan persepsi—positif, negatif, atau netral. Pada waktu ada kolega atau konsumen berinteraksi dengan pustakawan, dan kemudian pustakawan terlalu kaku dalam merespon, maka brand negatif muncul. Orang akan memberikan kita brand dan kita tidak pernah bisa mengontrol orang lain dalam memberikan brand pada diri kita tersebut (Gambar 2).

________________________________________________

Gambar 2. Diadaptasi dari Alicia Falcone, The brand “You.” Di ambil

dari

http://www.slideshare.net/aliciafalcone/personal-brand-presentation-job-club Diakses tanggal 29 Januari 2016.

Perlu diketahui bahwa personal brand merupakan gabungan dari passion, talent, dan experience (Gambar 3). Passion dan talent menghasilkan value. Orang akan mengukur seberapa besar nilai kita bagi orang lain. Sementara itu talent dan experience mampu menunjukkan kekuatan kita (strength). Passion dan experience menghasilkan ideals. Dan values, strengths, dan ideals merupakan point yang menghasilkan brand.

(10)

Gambar 3. Diadaptasi dari Jay Palter, How to build a personal brand strategy and action plan. Diakses 29 Januari 2016 dari

https://www.linkedin.com/pulse/20140626014132-7549562-how-to-build-a-personal-brand-strategy-and-action-plan

Interaksi pustakawan dengan dunia luar—baik dengan pustakawan maupun (utamanya) mereka yang di luar profesi—sangat baik dilakukan guna membangun citra pustakawan. Hal itu dapat dilakukan dengan mengenal mereka yang berkecimpung di dunia media cetak, radio, televisi, seminar, maupun media online. Melalui media cetak, pustakawan dapat berkontribusi dengan tulisan yang dapat

________________________________________________

dibaca oleh masyarakat. Begitu pula dengan radio dan televisi, bila dimungkinkan. Namun demikian, pustakawan juga perlu terus membangun citra dengan lingkungan brand-nya, baik di perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan lain sebagainya. Interaksi dengan lingkungan brand bukan sekedar bertemu dengan sesama pustakawan saja, tetapi juga bertemu dengan stakeholders maupun masyarakat lingkungannya.

Terkait dengan aplikasi dan media sosial, untuk membangun citra sebaiknya seorang pustakawan memiliki identitas visual seperti gambar yang tidak banyak berganti, ada update status/informasi berkala, dan berkomunikasi dengan kolega. Dalam membangun citra diri juga di dunia maya, pustakawan harus selalu berusaha membangun kesan yang mengundang. Itulah sebabnya menulis blurb (deskripsi diri singkat) yang eye-catching tentu akan sangat baik dan perlu dan akan lebih baik lagi bila tidak terlalu sering ganti foto profil.

Selain dalam media sosial umum, pustakawan juga perlu menampilkan diri dalam media sosial profesional seperti LinkedIn, Research Gate, maupun microsoft

academic. Dengan berbagai media itulah pustakawan perlu

membangun brand karena interaksi dengan media semacam itu sangat mudah.

(11)

Pustakawan tetap harus bersikap bersahaja, tapi terus berkawan dan mencari kawan termasuk orang-orang dalam kategori top-notch people. Pustakawan juga harus selalu siap sedia untuk bertemu dan berbagi dengan peers dan institusi.

Berperan serta dalam berbagai acara dan berkontribusi dalam asosiasi akan menjadikan pustakawan semakin dikenal dan dihargai. Ada pelajaran yang dapat diambil dengan turut serta dalam berbagai acara dan dengan ketrampilan diri yang dimiliki—apapun ketrampilannya.

Personal branding penuh dengan banyak profesi,

tidak cukup mengatakan “saya pustakawan” Mengembangkan kekhususan penting untuk menunjukkan apa yang diketahui mendalam.

Spesifisitas merupakan hal signifikan.

Interaksi menghasilkan brand experience. Pustakawan yang berinteraksi dengan banyak orang baik di luar profesi maupun di dalam profesinya, pada dasarnya membangun citra diri dan sekaligus membangun citra profesi. Itulah sebabnya, personal branding juga memerlukan brand harmonization. Be

authentic, Be consistent, and be seen! (Gambar 4) Adalah slogan

dalam pengembangan diri pustakawan.

________________________________________________

Gambar 4. Diadaptasi dari Alicia Falcone, The brand “You.” Di ambil dari

http://www.slideshare.net/aliciafalcone/personal-brand-presentation-job-club Diakses tanggal 29 Januari 2016.

Membangun personal brand memberi manfaat kepada diri sendiri di antaranya adalah:

- meningkatnya audiens maupun kolega;

- Ada rewarding partnerships sebagai hasil dari bertemu orang;

- Kesempatan memimpin dalam berbagai hal yang diminati;

(12)

- Ada professional specificity yang dimiliki karena hal ini akan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya dan profesi serta ketampilan apa yang kita miliki;

- Mindshare meningkat dan berkembang karena mendapatkan banyak input dari kolega dan mitra;

- Kredibilitas pustakawan bisa meningkat;

- Dikenali & memiliki prestise dalam profesinya;

- Perceived value masyarakat terhadap pustakawan jadi meningkat

Jejaring dan embedded

Lieutenant (2013) menyebutkan bahwa embedded librarianship adalah “the integration of librarians and library

services within an organizational unit, deparment, or team”

(p. 2). Integrasi pustakawan dlm institusi, departemen, tim, lingkungan, dan sebagainya merupakan kegiatan embedded librarianship. Pustakawan diharapkan terus berkiprah dalam lembaga yang memayunginya sebagai bagian dari lembaga tersebut, bukan terpisah. Itulah sebabnya, pustakawan harus

________________________________________________

berkolaborasi dan berpikir dalam konteks makro. Pustakawan bisa menampilkan diri dalam profesinya dengan ranah yang lebih luas untuk membantu orang di luar profesi. Hal itu dapat dilakukan dengan bekerja & berkolaborasi dengan stakeholders yang non-pustakawan dan sekaligus memahami bagaimana cara berpikir mereka serta bagaimana mereka melihat perpustakaan. Pustakawan harus menjadi co-equal partner (Lieutenant, 2013) dlm tim, bukan sekedar membantu

lembaga dengan melihat tugas pokok dan fungsinya saja, melainkan juga melihat konteks kelembagaan. Dengan kata lain, pustakawan harus tetap dalam profesinya tetapi tidak terkurung dalam profesi & rutinitas diri saja. Pustakawan harus terus membangun kemitraan dengan stakeholders. Pustakawan juga dapat membangun kegiatan yang melibatkan peran masyarakat dan stakeholders sehingga partnership akan lebih terlihat lagi. Pustakawan tidak boleh merasa lebih rendah dibandingkan dengan profesi lain di dalam lembaganya.

Lebih dari itu perlu diperhatikan juga bahwa dalam membangun profesionalisme, pustakawan tentu harus:

(1) menyempatkan diri untuk dapat bertemu kawan secara formal baik di kantor maupun dalam berbagai komunikasi ilmiah kepustakawanan dan bertemu secara informal baik di rumah maupun di tempat publik yang memungkinkan

(13)

mereka dapat berbincang berbagai hal secara lebih santai dan bebas.

(2) berusaha lebih banyak mendengar & bertanya pada siapa pun terutama pakar, peneliti, kolega, senior, pemustaka aktif dan pasif; dan bahkan juga anak-anak, remaja, dan mereka yang perlu kita pahami baik dalam kaitannya dengan profesi maupun sosial.

(3) merendah dengan mengatakan bahwa kita suka mendengarkan mereka. Hal ini penting karena kita harus menunjukkan perhatian kita agar dapat menunjukkan kedekatan antara kita dan mereka. Secara formal, pustakawan dapat mendisain model-model komunikasi yang baik dengan pemustaka untuk menunjukkan bahwa pustakawan selalu mendengarkan keinginan, kebutuhan, dan keluhan pemustaka. Demikian halnya dengan stakeholders yang lain.

(4) tidak meninggalkan jejak tetapi melanjutkan (follow up) hubungan yang terjalin, terus berkomunikasi, & selalu follow-through atas rencana yang sudah dipersiapkan. Harus

diusahakan agar hubungan yang sudah berjalan tidak terhenti tetapi terus dapat menghasilkan perkembangan baru.

________________________________________________

(5) berani menghubungkan orang-orang dlm jaringan saudara & jadikan mereka orang-orang besar. Satu hal penting adalah membangun web—jaringan di dalam jaringan. Kenalkan orang-orang yang sudah kita kenal agar mereka dapat saling tahu dan dengan begitu, ke-erat-an jaringan meningkat.

(6) tidak boleh minder tetapi selalu mendekatkan diri dengan top-notch people. Sebagai seorang pustakawan, tentu

pembelajaran yang berkelanjutan menjadi faktor penting dan perlu dilakukan. Belajar dari orang-orang yang sudah berhasil akan menjadikan kita semakin memahami realita dan dapat menghasilkan suatu gagasan baru. Perlu dicatat siapa saja top-notch people yang ada dalam jaringan dan profesi kita.

(7) terus menerus mempelajari jaringan orang-orang yg berhasil & pemimpin dlm profesi saudara, & kemudian mengikuti kepemimpinannya. Mengetahui dan kemudian mengenal orang-orang yang sudah berhasil dan berguru pada mereka merupakan bagian penting dalam membangun kualitas diri. Itulah mengapa kita perlu belajar dari orang-orang yang kita lihat berhasil dalam bidangnya. Jangan menjadikan orang-orang berhasil menjadi orang yang kita tinggalkan karena kita merasa bukan ‘level’nya atau karena pikiran negatif kita tentang mereka.

(14)

dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman yang tentu akan bermanfaat di waktu yang akan datang.

(12) lebih banyak memberi kepada kawan. Ada pepatah jejaring “Give as much as you can” yang maksudnya adalah memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan bantuan kepada orang lain tidak akan mengurangi apa yang dimiliki tetapi justru akan semakin meningkatkan banyak hal dalam diri sendiri. Itulah mengapa pustakawan sebaiknya selalu berusaha untuk membantu dan memberikan apa yang bisa diberikan untuk orang lain.

Penutup

Sekali lagi, marilah kita bangun kualitas SDM perpustakaan yang mampu meningkatkan dan mengharumkan nama perpustakaan. Pustakawan bukan sekedar robot yang bekerja dan menuliskan semua kegiatan sesuai rancangan SKP, tetapi orang yang memiliki profesi berbasis keilmuan yang sesuai, dilengkapi dengan pengalaman dan ketrampilan yang kuat, dan akan mampu menembus tembok tembok tantangan dan kesempatan apabila mendapatkan dorongan, dukungan, dan pengingkatan rasa percaya diri dan kemampuan.

________________________________________________

(8) berusaha mencari mentors!!! Dan kita belajar dengan melakukan berbagai hal seperti mereka. Pasti di dalam dunia perpustakaan ada orang-orang yang telah berjuang dan berhasil. Mengenali mereka dan menjadikan mereka sebagai mentor merupakan pilhan bijak karena kita dapat belajar dari mereka.

(9) menghindarkan diri dari kegalauan. Pustakawan harus percaya diri untuk mencapai yang terbaik. Kegalauan seringkali menjadi alat yang dapat menyandera inisiatif dan keinginan diri untuk berkembang. Fokus pada tujuan akan menjadikan diri sendiri makin melihat secara jernih tentang siapa diri kita yang sesungguhnya.

(10) banyak meminta pendapat dari banyak kawan. Untuk memperkaya pola pikir dan pengembangan pemahaman profesi, kita perlu banyak belajar dari orang lain. Untuk itulah pustakawan perlu banyak belajar dan meminta pendapat dari orang lain. Dalam hal ini, pendapat dari kawan yang lebih berpengetahuan akan sangat baik sebagai tempat meminta pendapat.

(11) mencoba untuk memiliki aktifitas dengan bertanya kepada kawan-kawan se-profesi apa yang dapat dilakukan/ dibantu. Dalam hal ini ada dua manfaat yang dapat diperoleh: pengetahuan baru dan kolaborasi. Proaktif dalam bidangnya akan menjadikan seorang pustakawan mendapatkan rewards

(15)

Semoga perpustakaan-perpustakaan di Indonesia pada umumnya, dan DIY khususnya serta UGM lebih khususnya, akan mampu menghasilkan pustakawan dan/atau staf perpustakaan yang penuh dedikasi, berwawasan, penuh inovasi, dan mampu memberikan warna profesi untuk bangsanya.

Selamat hari jadi yang ke-65 dan semoga Perpustakaan UGM terus melangkah dengan penuh perencanaan dan realisasi nyata di waktu yang akan datang.

Terima kasih.

Ida F. Priyanto BA (UGM), Drs. (UGM), MA (Loughborough University of Technology), PhD (University of North Texas)

Email: idafp75@gmail.com

________________________________________________

Referensi

Falcone, A. (n.d.) The brand “You.” Diakses 1 Februari 2016 dari http://www.slideshare.net/aliciafalcone/ personal-brand-presentation-job-club

Floridi, L. (2002). On defining library and information science as applied philosophy of information. Social Epistimology, 16(1), 37–49.

Lasa-HS, (1998). Kamus Istilah Perpustakaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lieutenant, E. (2013). Embedded librarianship in online learning environments. Diakses pada 30 Januari 2016

dari http://www.slideshare.net/ElizabethLieutenant/ elizabeth-lieutenant-embedded-librarianship-555

Merriam-Webster (2016). Professional. Diambil dari http:// www.merriam webster.com/dictionary/professional

Palter, J. (n.d.) How to build a personal brand strategy and action plan. Diakses 29 Januari 2016 dari https://

www.linkedin.com/pulse/20140626014132-7549562- how-to-build-a-personal-brand-strategy-and-action-plan

(16)

Biografi singkat penulis

Ida Fajar Priyanto dilahirkan di Yogyakarta, 2 Januari 1964. Pendidikan Sarjana Muda (BA) diperoleh di UGM dalam bidang Sastra Inggris tahun 1986 dan Kemudian S1 (sarjana) dalam bidang Sastra Inggris juga diperoleh di UGM pada tahun 1989. Pendidikan M.A. in Information and Library Studies diperoleh dari Loughborough University of Technology, UK dan Ph.D. in Information Science diperoleh dari University of North Texas, USA. Pendidikan khusus dalam bidang digital librariesberasal dari University of Wales, UK.

Selain mengikuti program pendidikan di atas, Ida F Priyanto juga pernah mengikuti leadership Institute di Shantou University, China dan Hong Kong University dalam bidang libraries future. Pendidikan scientific writing dari St. Michael College, Burlington, VT, USA. Dia juga pernah magang di London School of Hygiene and Tropical Medicine dan Wellcome Trust, London. Beberapa penghargaan yang diperoleh termasuk Frasser McConnell Award, USA dan Southeast Asia Student Award, selain juga beasiswa Fulbright Presidential dan the British Government.

Beberapa bookchapters telah diterbitkan oleh IGI New York dan Guyte de Saur, Jerman, serta pernah menyampaikan presentasi internasional dalam beberapa forum seperti IFLA World Congress, ALA Annual Conference, Texas Conference on Digital Libraries, Asia-Pacific Library and Information Education and Practice Conference, International Knowledge Conference, Rizal Library International Conference, dan Ohio State-Indonesia Focus Conference. Selain itu juga menjadi

________________________________________________

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 43 tahun 2007 tentang

Perpustakaan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Wikipedia (2016). Personal branding. Diakses 30 Januari 2016 dari https://en.wikipedia.org/wiki/

Personal_branding

(17)

pembicara/kuliah tamu di School of Library and Information Studies, Lund University, Swedia; Cologne University of Applied Sciences, Jerman; dan dosen tamu di Faculty of Liberal Arts, Prince of Songkhla University, Thailand.

Ida F Priyanto menjadi anggota Dewan Pembina Perpustakaan UGM 1996-1998, supervisor Perpustakaan Fakultas Kedokteran UGM 1994-2002, Kepala Perpustakaan UGM 2002-2012, dan Ketua Dewan Perpustakaan DIY, 2011-2015. Sekretaris Forum Perpustakaan Perguruan T inggi Indonesia 2010-2014, Wakil Ketua Forum Koordinasi Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri Indonesia 2010-2012, dan Steering Committee Kongres Perpustakaan Digital Indonesia 2010-2012. Kegiatan saat ini sebagai staf Perpustakaan UGM, pengajar di MIP, Sekolah Pascasarjana, UGM, anggota American Library Association (ALA), dan aktif dalam Satellite Meeting IFLA Library Building and Design.

Gambar

Gambar 2. Diadaptasi dari Alicia Falcone, The brand “You.” Di ambil
Gambar 3. Diadaptasi dari Jay Palter, How to build a personal
Gambar 4. Diadaptasi dari Alicia Falcone, The brand “You.” Di ambil

Referensi

Dokumen terkait

Kajian pengembangan hidden curriculum yang menunjang pendidikan anti korupsi memiliki arti penting bagi pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar. Hidden

Jabatan Kesihatan Negeri Sarawak telah mengisytiharkan satu (1) kluster tamat iaitu Kluster Rayang, Serian setelah tiada kes baharu dikesan atau dilaporkan dalam tempoh

Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa tanggapan responden terhadap.. pernyataan bahwa nasabah BRI syariah tidak akan terpengaruh oleh produk Perbankan lain

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat

Oleh sebab itu, peran guru dalam mengembengkan multimedia pembejaran berbasis video sangatlah membantu pesrta didik karena semua kegiatan belajar mengajar

LOKASI KULIAH KERJA NYATA TEMATIK UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2015/2016.. LOKASI : KABUPATEN

Judul Skripsi : Pengaruh Model Pembelajaran Word Square dengan Menggunakan Media Flash Cards terhadap Kemampuan Membaca Permulaan Anak Usia 5-6 Tahun.. Skripsi ini

SRIYANA : Perbandingan Hasil Belajar Matematika Antara Penerapan Tes Formatif Pilihan Ganda Alternatif dan Uraian Terstruktur Pada Pokok Bahasan Bangun Datar