Hukum Lingkungan: Audit dalam Perlindungan
Lingkungan
Danil Akbar Taqwadin
1Membicarakan aturan tentang lingkungan hidup tidak lepas kaitannya dengan dampak yang
ditimbulkan oleh manusia sebagai pengelola keanekaragaman hayati dan hewani, dan juga segala
kekayaan alam yang ada di dalamnya. Menurut Hardjasoemantri (1994), kesadaran akan tugas
dan kewajiban ini, melepaskan anggapan lama, bahwa manusia, karena dikaruniai oleh sang
pencipta dalam wujud dan akal pikiran, yang berbeda dengan makhluk lain, ditugaskan untuk
menguasai dan memerintah seluruh kekayaan bumi ini sehingga diwenangkan untuk berbuat
semau-maunya kepada “kekayaan” tersebut. Anggapan lama tersebut mendasari sikap dan
pandangan manusia terhadap alam semesta yang dianggapnya sebagai “lawan” yang harus
ditundukkan dan akhirnya diperbudak guna memuaskan segala keinginan dan nafsunya.
Anggapan dan faham inilah yang merupakan dasar bag konsep hukum tentang hak milik mutlak
(“Eigendom = Propriete”), seperti yang dianut dalam sistem hukum Eropa-Amerika yang
diwarisinya dari hukum Romawi-kuno. Dalam hukum hak milik mutlak tersebut, dinyatakan
bahwa manusia sebagai pemiliknya dapat berbuat semau-maunya terhadap miliknya asal cara
penggunaannya tidak (akan) mengganggu hak orang lain dan mengindahkan sekedar peraturan
pemerintah demi ketertiban dan keamanan masyarakat. Atas dasar faham tersebut tumbuh dan
berakar kesadaran hukum bahwa hak milik mutlak tidak dapat diganggu gugat dan suci
(“Propriete est inviolable et sacre”).
1
Oleh karena itu, timbullah gerakan perlindungan lingkungan hidup yang bertujuan untuk
membebaskan manusia dari ancaman belenggu perbudakannnya terhadap alam sekitar berupa
bahaya-bahaya lingkungan buatannya sendiri. Salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam
melindungi lingkungan hidup adalah hukum atau aturan yang mengatur perlindungan lingkungan
hidup disertai dengan mekanisme-mekanisme yang sesuai dengan hukum dan aturan-aturan yang
berlaku di daerah atau sebuah Negara tertentu (Hardjasoemantri, 1994).
Berkaitan dengan mekanisme-mekanisme perlindungan lingkungan hidup yang telah dituangkan
dalam hukum dan aturan-aturan di Negara ini. Salah satunya terdapat dalam pasal 28 dan 29
UUPLH 1997 tentang pengaturan Sistem Audit Lingkungan. Pedoman pemberlakuannya
didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, yakni KEP-42/MENLH/11/94
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan.
Menurut Siahaan (2009), Audit Lingkungan dapat diartikan sebagai penilaian atas suatu kegiatan
atau usaha mengenai pentaatannya terhadap ketentuan-ketentuan hukum dan kebijakan-kebijakan
serta standar-standar yang ditetapkan kepadanya sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan atau
usahanya tersebut. Kaitannya dengan system manajemen sesuatu kegiatan atau usaha sangat
berkaitan erat dengan pelaksanaan kegiatan audit lingkungan, bukan saja berkaitan kepada segala
tindakan yang mengarah kepada tingkat produktivitas, namun juga dalam segi-segi pematuhan
hukum dan kebijakan di luar tujuan produktivitas. Karena tanpa dilakukannya pematuhan hukum
dan peraturan selama proses kegiatan/usaha, akibatnya adalah munculnya ketergangguan dan
hambatan dalam proses kegiatan/usaha tersebut.
Oleh karena itu, kegiatan audit lingkungan merupakan instrument penting bagi
dalam mentaati persyaratan lingkungan hidup yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-perundangan. Dan ianya juga harus bersifat terbuka (transparence) agar proses hasil audit
tersebut terbuka untuk umum sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian/pencermatan
atas hasil audit lingkungan tersebut (Siahaan, 2009).
Namun ditilik dari aspek perundang-undangan timbul masalah berkaitan dengan keharusan atau
tidak, seluruh usaha/kegiatan melaksanakan audit lingkungan, karena pada dasarnya kegiatan ini
bersifat voluntary. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 bahwa “Dalam rangka peningkatan
kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melakukan audit lingkungan hidup.” Dalam pasal ini bila diperhatikan, UUPLH tidak
bermaksud mewajibkan seluruh kegiatan/usaha untuk melaksanakan audit lingkungan, tapi
mendorong kegiatan/usaha untuk memverifikasi kesadaran diri atas lingkungan di sekitarnya.
Namun, sewaktu-waktu penerapan sifat yang sukarela ini dapat saja berubah menjadi sebuah
kewajiban (mandatory) apabila Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan perintah yang
mewajibkan diadakannya audit lingkungan pada kegiatan/usaha yang terdapat kejanggalan, baik
dilaksanakan oleh pihak kegiatan/usaha itu sendiri ataupun pihak luar. Apabila
kejanggalan-kejanggalan yang dimaksud terbukti melanggar ataupun mengindikasikan ketidakpatuhan
terhadap peraturan lingkungan, maka kegiatan/usaha tersebut dapat dijatuhkan sanksi atau
pertanggungjawaban hukum (liability), baik secara pidana, perdata, maupun administrasi.
Hardjasoemantri, K. (1994). Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.