• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar dari Kota Surabaya Pengukuran Ku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Belajar dari Kota Surabaya Pengukuran Ku"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia

Belajar dari Kota Surabaya: Pengukuran Kualitas Objektif

untuk Menentukan Prioritas Penataan Kota

M. Syaom Barliana(1), Beta Paramita(2), Dodit Ardian Pancapana(3) , Diah Cahyani(4)

(1)

Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia. (2) Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia. (3)

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kota Bandung, Jawa Barat (4) Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengukur dan menguji perbedaan tingkat kualitas objektif kota Bandung, Surakarta, dan Surabaya, serta merumuskan prioritas penataan kota berdasarkan indikator kualitas kota. Metode penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan pengukuran observasional dimensi fisik oleh ahli berdasarkan persepsi spasial, serta dianalisis memakai uji kecenderungan dan uji beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas objektif kota Surabaya sangat tinggi, Bandung rendah, dan Surakarta sedang. Namun demikian, uji hipotesis memperlihatkan tidak ada perbedaan signifikan antara kualitas objektif kota Bandung dengan Surakarta. Penelitian juga menghasilkan keluaran berupa usulan prioritas penataan kota untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, berdasarkan indikator kualitas kota

Kata-kunci : kualitas objektif kota, pengukuran persepsi spasial, prioritas penataan kota

A. Pendahuluan

Artikel ini merupakan bagian dari keluaran penelitian yang berjudul: “Arsitektur, Urbanitas, dan Modal Sosial (Pengembangan Model Penataan Kota dan Pendidikan Budaya Berkota bagi Penguatan Modal Sosial Masyarakat)”. Artikel ini baru mengungkapkan hasil penelitian awal (tahun pertama)1, dengan fokus pada deskripsi hasil pengukuran kualitas objektif kota.

Permasalahan dillatar-belakangi oleh realitas, bahwa kota Surabaya, telah tumbuh menjadi sebuah kota di Indonesia yang dianggap berhasil. Berkat visi pembangunan walikota Tri Rismarini, dan konsistensi dalam implementasi penataan kotanya, Surabaya diakui keberhasilannya sebagai: kota ramah lingkungan; kota terbaik se Asia Pasifik dari Citynet, untuk kategori ruang publik dan partisipasi publik; juara satu tingkat nasional dalam Penyelenggaraan Pemukiman Kategori Kota Metropolitan; penghargaan bidang lingkungan hidup yakni Adipura, Adiwiyata, dan kota dengan Pengelolaan Dana Alokasi

Khusus (DAK); dan berbagai penghargaan lainnya. Keberhasilan-keberhasilan dalam mengelola kota yang didukung partisipasi waganya, patut menjadi bahan kajian untuk ajang pembelajaran.

Di sisi lain, penting pula untuk melihat keberhasilan itu, dari sisi dimensi kualitas fisik kota. Terlebih lagi, jika keberhasilan kota itu dibandingkan dengan “ketidakberhasilan” kota yang lain, sehingga akan diperoleh hasil studi komparasi yang menarik.

Kualitas kota menunjuk pada kualitas objektif kota. Kualitas objektif kota didasarkan kepada pengukuran dimensi fisik elemen-elemen arsitektur kota. Ini untuk membedakan dengan kualitas subjektif kota, yang didasarkan kepada pengukuran berdasarkan pengetahuan, perasaan, dan pengalaman pengguna.

(2)

tentang kualitas kota, tentu untuk pertama-tama harus berbicara tentang kualitas fisik.

Demikianlah, ketika kita berbicara tentang bentuk kota dengan parameter kota yang baik, maka sesungguhnya kita berbicara tentang kualitas kota dalam mewadahi kualitas hidup warganya. Sekaitan dengan ini, Shirvani (1985) menyatakan bahwa kualitas kota paling tidak ditentukan oleh tiga faktor. Pertama, kualitas fungsional, dalam arti bahwa kualitas kota baik jika ruang-ruang antar bangunan, sistem penghubung antar bangunan, serta juga sistem penghubung dengan kota lain, berfungsi dengan baik pula. Kedua, kualitas visual, mencakup estetika lingkungan, yaitu penampilan arsitektur pada skala kawasan kota dan bukan dilihat dari satuan bangunan. Ketiga, kualitas lingkungan, terdiri atas kualitas fisik dan non fisik yang menciptakan keamanan, kesehatan, dan kenyamanan lingkungan.

Jenck and Burgess (2010), menyatakan bentuk kota secara umum mencakup sejumlah karakteristik fisik seperti ukuran, bentuk, skala, peruntukan dan penggunaan lahan, tipe bangunan, tata letak blok perkotaan, distribusi ruang hijau, serta karakteristik nonfisik seperti kepadatan yang membentuk konfigurasi lingkungan sosial dan bentuk interaksi sosial.

Sejalan dengan itu, Ibrahim (2000) menyatakan, bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bentuk kota terdiri atas beberapa variabel fisik yang secara langsung dipengaruhi oleh lingkungan terbangun sendiri, yaitu: ruang terbuka, hirarki jalan, pola peruntukan, kota, distrik, garis sempadan bangunan, kepadatan, layout, pola jalan, ukuran blok, batas, nodes, jaringan ruang, lebar jalan, wujud/bentuk blok, kesatuan, massa, material, warna, focal point, bentuk, landmark, irama, bentang langit, tekstur, elevasi, pelingkup, variasi gerbang, skala manusia, dan lain lain. Variabel fisik ini jika dibandingkan dengan kriteria teoritik tentang kota yang baik, akan menunjukkan tingkat kualitas kota objektif.

Hal itu sejalan dengan parameter kualitas objektif kota, yang menjadi indikator

instrumen penelitian ini, yang merujuk kepada konsep physical form criteria, dari Smith, Nelischer, Perkins (1997). Secara umum, kategori kualitas fisik kota itu mencakup aspek-aspek dimensi fisik berikut: Community: general structure and pattern; Urban block: general structure and pattern; Buildings: general, civic, community, institutional, commercial, industrial, residential; Streets: general, byways, main streets, residential streets, laneways; Parking: general; Pedestrian ways: general, sidewalks, formal trails; Open space: general, primary areas, secondary and tertiary areas, semi-public and private areas; Vegetation: general; Feature areas: natural resources, views.

Sejalan dengan itu, Lynch (1984),

merumuskan lima kategori yang menunjuk pada teori tentang kualitas kota yang baik (good city form). Kategori tersebut mencakup vitality (kesehatan lingkungan), sense (perasaan tentang tempat, identitas), fit (penyesuaian, adaptasi), access (aksesibilitas untuk orang-orang, aktivitas, sumber daya, tempat dan informasi) dan control (tanggungjawab terhadap lingkungan). Dalam konteks penelitian keseluruhan, namun tidak dibahas dalam artikel ini, konsep dari Lynch diadopsi sebagai kualitas subjektif kota, berdasarkan persepsi pengguna.

(3)

Berdasarkan latar belakang itu, tujuan penelitian ini adalah: menganalis indikator yang menentukan kualitas kota; mengukur tingkat kualitas objektif kota (berdasarkan pengukuran fisik) kota Bandung, Solo, dan Surabaya; menguji perbedaan antara kualitas objektif antara kota Bandung, Solo, dan Surabaya; merumuskan prioritas penataan kota berdasarkan indikator kualitas kota.

Gambar 2. Area penilaian kualitas obyektif Kota Surabaya

B. Metode Peneltian

Ada bermacam cara untuk mengukur kualitas fisik kota. Pengukuran yang paling objektif tentu saja adalah pengukuran secara fisik, melalui observasi langsung, petak demi petak, lalu dibandingkan dengan parameter teoritik standar kota yang dianggap berkualitas. Namun demikian, untuk sebuah kota, yang sedemikian luas, dengan banyak dimensi fisik, pada prakteknya pengukuran semacam ini, akan sangat sangat mahal. Di sisi lain, kualitas kota yang dirasakan warga tidak melulu soal ukuran fisik, tetapi juga bersifat persepsional. Atas dasar ini, dikembangkan sejumlah parameter pengukuran kualitas kota berdasarkan persepsi.

Penelitian ini menggunakan konsep pengukuran berdasarkan persepsi spasial, yaitu pengukuran kualitas objektif kota melalui observasi terhadap elemen fisik kota oleh pakar. Pengukuran dilakukan oleh tiga orang ahli, menggunakan pedoman observasi dengan parameter kualitas berupa jawaban optional tertutup dengan numerical rating scale dan semantic differential scale.2

Disamping itu, dilakukan juga observasi on-site analysis, maps and photographic analysis. Lokasi penelitian adalah inti pusat kota. Dalam pelaksanaannya, setiap inti kota yang menjadi lokasi penelitian, dibagi menjadi empat area pengukuran. Dengan demikian setiap pakar, akan melakukan pengukuran pada empat area, sehingga secara keseluruhan, menjadi 12. Dalam analisis data, jumlah 12 ini menjadi N sampel.

Penelitian ini dilakukan pada tiga kota, yaitu Bandung, Surakarta dan Surabaya. Pemilihan objek penelitian ini didasarkan kepada pertimbangan purposif, dengan alasan sebagai berikut. Bandung dipilih dengan dugaan awal, berdasarkan studi pendahuluan, merupakan bentuk kota dan budaya berkota (urbanitas) dengan kualitas relatif kurang baik. Surakarta, dengan kepemimpinan dan visi dari Joko Widodo sebagai walikota, sedang bertransformasi menjadi sebuah kota dengan kualitas bentuk kota dan urbanitas yang baik. Surabaya dipilih sebagai model pembanding sebagai kota yang diakui keberhasilannya oleh sejumlah kalangan.

(4)

Pusat kota menjadi pertimbangan utama pemilihan lokasi studi. Meskipun pusat kota tidak kemudian menjadi gambaran dari kualitas kota secara keseluruhan, namun dengan semua kelengkapan sarana dan prasarana kota yang tersedia di pusat kota, menjadikan pusat kota menjadi pilihan yang terbaik untuk menilai kualitas kota. Pusat kota identik dengan pusat pemerintahan, dimana segala kebijakan salah satu penentu kualitas kota berasal. Hal ini semakin memperkuat pemilihan pusat kota sebagai lokasi studi.

Pusat pemerintahan, diwakili oleh kantor walikota. Kota Bandung, letak kantor walikota berada pada zona B, sementara kantor walikota Surabaya berada di zona A Surabaya dan zona A Surakarta untuk lokasi kantor walikota Surakarta.

Seperti disebut di atas, indikator kualitas objektif mengacu kepada parameter yang dikembangkan Smith, Nelischer, Perkins (1997), yaitu mencakup aspek-aspek dimensi fisik berikut: Community, urban block, buildings, streets, parking, pedestrian, open space, vegetation

Untuk memberikan gambaran mengenai masing-masing variabel kualitas objektif kota, digunakan analisis deskriptif, dengan menampilkan data frekuensi, means, mode, dan median. Selanjutnya dilakukan uji kecenderungan untuk menafsirkan data tersebut. Penafsiran data melalui uji kecenderungan didasarkan kepada means masing-masing variabel (X) yang dibandingkan dengan parameter Means Ideal (Mi) dan Standard Deviasi (SD). Means Ideal merupakan parameter tetap yang ditentukan berdasarkan perhitungan: ½ x (nilai minimum + nilai maksimum). Nilai minimum adalah hasil perkalian bobot nilai (1) dengan jumlah item pertanyaan dalam lingkup indikator penelitian dan variabel untuk keseluruhan.

Nilai maksimum adalah hasil perkalian bobot nilai (4) dengan jumlah item. Parameter means ideal tersebut, mencakup skala komparasi tiga kota, yaitu Bandung, Surabaya, dan Surakarta.

Artinya, parameter bukan didasarkan pada parameter teoritik masing-masing kota, tetapi angka tetap mean ideal yang berlaku untuk semua kota. Dengan demikian, sebagai contoh, suatu indikator kota termasuk kualitas sangat tinggi atau rendah hanya jika dibandingkan dengan kota lainnya yang menjadi objek penelitian.

Kriteria penafsiran tersebut, dirumuskan sebagai berikut:

Tabel 1. Kriteria Penafsiran Pengukuran Deskriptif

Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD

Uji hipotesis perbedaan antar variabel dilakukan melalui uji Tanda Wilcoxon. Sementara itu, untuk melihat signifikasi perbedaan antara variabel, dianalisis dengan menggunakan parameter: (1) Jika probabilitas/nilai Sig (two-tailed) < = 0.05, maka perbedaan kedua variabel signifikan; (2). Sebaliknya, jika nilai Sig > 0.05, maka perbedaan antar kedua variabel tidak signifikan.

C. Analisis dan Diskusi

1. Analisis Data Penelitian

Interpretasi hasil penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tabel 2, terlihat bahwa untuk kualitas objektif kota, kota Bandung, secara umum dapat disimpulkan termasuk pada kategori rendah.

(5)

Kualitas rendah tampak pada indikator jalan umum, jalan perumahan, dan vegetasi.Kualitas sedang atau cukup tinggi ruang publik, urban blok, bangunan umum, bangunan pemerintahan, bangunan residensial (perumahan), jalan utama, gang, ruang terbuka secara umum, dan ruang terbuka inti kota. Selanjutnya, hanya ada satu indikator yang termasuk kategori kualitas tinggi, yaitu bangunan komersial.

Hasil penelitian kualitas objektif kota, kota Surabaya, dapat dilihat pada tabel 3. Secara umum, tampak bahwa Surabaya termasuk pada kategori sangat tinggi.

Jika dilihat pada masing-masing indikator, tampak bahwa variasi kategori tersebar pada semua indikator, namun tidak ada indikator yang berkualitas sangat rendah.

Rinciannya adalah sebagai berikut. Kualitas rendah tampak hanya pada indikator area parkir umum. Kualitas sedang atau cukup tinggi tampak pada indikator jalan jalan kecil, jalan perumahan, gang, jalur sepeda, ruang terbuka secara umum. Kualitas tinggi ada pada bangunan umum, bangunan pemerintahan, bangunan perumahan, jalan secara umum, pedestrian secara umum, dan vegetasi.

Selanjutnya, indikator yang termasuk kategori kualitas sangat tinggi, yaitu ruang publik, urban blok, bangunan komersial, jalan utama, pedestrian trotoar, dan ruang terbuka pusat kota.

Tabel 4, mempertunjukkan kualitas objektif kota untuk kota Surakarta. Secara umum dapat disimpulkan kualitas kota Surakarta termasuk pada kategori sedang atau cukup tinggi.

Gambar 4. Lokasi Studi Bagian B Kota Bandung

N Mean

Std.

Deviation Mi Kesimpulan

KO_total_Bandung 12 371.67 51.18 405 Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD Ruang_Publik 12 51.75 9.34 55 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Urban_Blok 12 30.42 2.75 30 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Bangunan_Umum 12 48.75 4.99 47.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Bangunan_Pemerintahan 12 19.08 2.35 20 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Bangunan_Komersial 12 21.42 3.20 17.5 Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD Bangunan_Residensial 12 36.58 6.43 37.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Jalan_Umum 12 17.17 2.72 20 Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD

Parkir_Umum 12 10.75 1.66 15 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD

Jalan_Kecil 12 5.83 1.19 7.5 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD

Jalan_Utama 12 21.75 2.73 22.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Jalan_Perumahan 12 10.67 1.83 12.5 Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD

Gang 12 7.00 1.41 7.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD

Pedestrian_Umum 12 16.42 2.19 22.5 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD Pedestrian_Trotoar 12 9.75 1.48 12.5 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD

Jalur_Sepeda 12 6.92 1.83 10 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD

Ruang_Terbuka_Umum 12 12.42 4.70 15 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Ruang_Terbuka_Pusat_Kota 12 17.83 5.92 17.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD

Vegetasi 12 29.67 5.58 32.5 Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD

Valid N (listwise) 12

(6)

Jika dilihat pada masing-masing indikator, tampak bahwa variasi kategori tersebar pada semua indikator, namun tidak ada indikator yang termasuk kategori tinggi.

Kualitas sangat rendah tampak pada indikator area parkir umum, gang, jalan kecil, jalur sepeda, dan ruang terbuka secara umum. Kualitas rendah tampak pada indikator jalan perumahan dan ruang terbuka pusat kota.

Kualitas sedang atau cukup tinggi terlihat pada ruang publik, urban blok, bangunan umum, bangunan pemerintahan, bangunan residensial, jalan umum, jalan kecil, pedestrian secara umum, pedestrian trotoar, dan vegetasi. Selanjutnya, hanya ada satu indikator yang termasuk kategori kualitas sangat tinggi, yaitu jalan utama.

Hasil penelitian yang dijelaskan pada tabel 5, memperlihatkan bahwa: (1) Hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, yang berarti“terdapat perbedaan signifikan antara kualitas kota Bandung dengan Surabaya”; (2) Hipotesis nol diterima dan hipotesis penelitian ditolak, yang berarti “tidak terdapat perbedaan signifikan antara kualitas kota Bandung dengan Surakarta”; (3) Hipotesis nol ditolak

dan hipotesis alternatif diterima, yang bermakna “terdapat perbedaan signifikan antara kualitas kota Surabaya dengan Surakarta”.

b. Diskusi Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil uji perbedaan, tampak tidak ada perbedaan signifikan kualitas objektif kota antara Bandung dengan Surakarta. Artinya, sejumlah perbedaan dalam kualitas indikator kualitas objektif kota dalam data deskriptif, dapat diabaikan, karena secara umum kualitas objektif kota Bandung dan Surakarta sama. Sebaliknya, terdapat perbedaan signifikan

Gambar 5. Lokasi Studi Bagian D Kota Surabaya

N Mean

Std.

Deviation Mi Kesimpulan

Ruang_Publik 12 70.75 7.81 55 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD Urban_Blok 12 38.50 3.29 30 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD Bangunan_Umum 12 55.17 5.37 47.5 Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD Bangunan_Pemerintahan 12 21.75 3.11 20 Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD Bangunan_Komersial 12 22.67 2.42 17.5 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD Bangunan_Residensial 12 44.67 5.19 37.5 Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD Jalan_Umum 12 24.92 3.75 20 Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD Parkir_Umum 12 13.58 2.84 15 Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD Jalan_Kecil 12 9.67 2.35 7.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Jalan_Utama 12 31.92 2.15 22.5 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD

Jalan_Perumahan 12 11.75 2.26 12.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Gang 12 6.83 2.69 7.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Pedestrian_Umum 12 26.33 3.06 22.5 Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD Pedestrian_Trotoar 12 15.67 1.67 12.5 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD

Jalur_Sepeda 12 11.08 3.09 10 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Ruang_Terbuka_Umum 12 15.50 1.83 15 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Ruang_Terbuka_Pusat_Kota 12 24.17 3.01 17.5 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD

Vegetasi 12 41.08 5.21 32.5 Tinggi = Mi + 1.5 SDi > X ≥ Mi + 0.5 SD KO_Surabaya_Total 12 486.00 45.12 405.00 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD Valid N (listwise) 12

(7)

antara kualitas objektif kota Bandung dan Surakarta dengan Surabaya. Sebelum uji hipotesis perbedaan pun, sudah terlihat pada data deskriptif, bahwa secara umum kualitas objektif kota Surabaya berada pada kategori sangat tinggi, sedangkan Bandung berkategori rendah, dan Surakarta berkategori sedang.

Menarik untuk mendiskusikan lebih lanjut gambaran tentang indikator-indikator kota yang termasuk kualitas sangat tinggi pada kota Surabaya. Indikator yang termasuk kategori kualitas sangat tinggi, yaitu ruang publik, urban blok, bangunan komersial, jalan utama, pedestrian trotoar, dan ruang terbuka pusat kota, yang dapat dianalisis dan dideskripsikan sebagai berikut.

Pertama, ruang publik. Sangat wajar jika hasil pengukuran kualitas objektif, menempatkan struktur dan pola ruang publik kota Surabaya secara umum pada kategori sangat tinggi, jika dibandingkan dengan kota Bandung dan Surakarta.

Bandung dan Surakarta hanya termasuk kategori sedang. Hasil observasi menunjukkan bahwa ruang-ruang publik di pusat kota Surabaya, terutama berkaitan dengan ruang terbuka yang bisa diakses secara gratis oleh masyarakat umum, sangat hidup. Masyarakat

merayakan keberadaan ruang publik itu, bukan saja pada malam Minggu atau hari Minggu dan hari-hari libur lainnya, pada pada hari-hari biasa sepanjang minggu pun – meskipun dengan intensitas yang menurun- tetap terlihat aktivitas pengguna pada ruang publik tersebut3.

Realitas itu bisa dipahami dengan menelaah aspek-aspek yang berkaitan dengan kualitas ruang publik. Ada sejumlah ruang publik di kota Surabaya, diantaranya adalah Taman Bungkul, Taman Pelangi, Taman Suryo (Balai Kota), Taman Monumen Kapal Selam, Taman Prestasi (Jl. Ketabang Kali), Taman Apasari (didepan gedung Grahadi), Taman Sulawesi (Jl. Sulawesi), Taman DR. Soetomo (Jl. DR. SoetomoDarmo), Taman Mayangkara (di depan Rumah Sakit Islam), Taman Ronggo Lawe (Jl. GunungSari), Taman Buah (Jl. Undaan).

Tempat yang paling diminati, tampaknya adalah taman Bungkul4. Taman Bungkul sendiri awalnya dibangun sebagai sarana olahraga, pendidikan dan hiburan.Taman ini dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas, seperti trek skateboard dan sepeda, trek jogging, alun-alun (dengan panggung terbuka yang disediakan untuk berbagaimacam hiburan yang tampil secara langsung / live), akses internet, telepon umum, area khusus

N Mean

Std.

Deviation Mi Kesimpulan

Ruang_Publik 12 54.00 11.02 55 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Urban_Blok 12 28.92 2.71 30 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Bangunan_Umum 12 41.25 4.49 47.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Bangunan_Pemerintahan 12 24.08 2.97 20 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Bangunan_Komersial 12 18.75 3.14 17.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Bangunan_Residensial 12 41.67 3.03 37.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Jalan_Umum 12 20.33 2.46 20 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Parkir_Umum 12 9.92 1.38 15 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD

Jalan_Kecil 12 9.50 1.57 7.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Jalan_Utama 12 26.83 2.66 22.5 Sangat Tinggi = X ≥ Mi + 1.5 SD

Jalan_Perumahan 12 10.50 2.43 12.5 Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD Gang 12 5.75 0,75 7.5 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD

Pedestrian_Umum 12 21.00 5.74 22.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Pedestrian_Trotoar 12 12.92 3.34 12.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Jalur_Sepeda 12 5.33 1.72 10 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD

Ruang_Terbuka_Umum 12 11.75 1.86 15 Sangat Rendah = X < Mi - 1.5 SD Ruang_Terbuka_Pusat_Kota 12 15.00 3.10

17.5 Rendah = Mi - 0.5 SD > X ≥ Mi - 1.5 SD Vegetasi 12 33.58 4.21 32.5 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD KO_Surakarta_Total 12 391.08 31.39 405.00 Cukup Tinggi = Mi + 0.5 SD > X ≥ Mi - 0.5 SD Valid N (listwise) 12

(8)

penjaja makanan (Pujasera) dan air keran siap minum.

Gambar 5. Lokasi Studi Bagian C Kota Surakarta

Dapat diamati, bahwa taman ini memang memenuhi syarat kualitas ruang publik yang baik. Pertama, dari segi aksesibilitas bagi keragaman berbagai kelompok masyarakat, ruang publik ini sangat terbuka dimasuki oleh berbagai kelompok masyarakat berbagai usia,

gender, status sosial dan ekonomi, dan lain-lain.Taman ini juga didefinisikan dengan batas-batas yang jelas oleh jalan utama dan jalan sekunder, dengan jalur dan hirarki sirkulasi yang jelas untuk masuk atau keluar area maupun ketika di dalam area. Taman ini juga dirancang dengan keragaman karakter visual dan keseimbangan aksentuasi desain, yang dibangun oleh perpaduan ragam material; tataan lansekap furnitur; permainan tinggi rendah tempat duduk, panggung, area bermain; skala manusiawi; variasi warna dan cahaya malam hari; serta keragaman dan keteduhan vegetasi.

Dari segi ukuran, dengan banyaknya pengguna, terutama pada saat musim puncak, yaitu malam minggu dan malam libur lainnya, taman ini terasa sesak. Artinya, ukuran area publik ini tampaknya sudah terlalu kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan pengunjung. Namun demikian, dengan dimensi luas yang ada sekarang, taman ini masih mampu mengakomodasi keragaman perilaku pemakai. Paling tidak, yang diamati, terdapat lebih dari lima aktivitas pemakai yang KO_Total_Surabaya -

KO_total_Bandung

KO_Total_Surakarta - KO_total_Bandung

KO_Total_Surakarta - KO_Total_Surabaya

Z -3.062a -1.020a -3.061b

Asymp. Sig. (2-tailed) .002 .308 .002

Tabel 5. Hasil Uji Perbedaan Kualitas Objektif Kota

Indikator kualitas objektif kota Kualitas saat ini Target peningkatan

kualitas

Level peningkatan kualitas

Parkir secara umum Rendah Sangat tinggi Tiga

Jalan kecil Sedang Sangat tinggi Dua

Jalan perumahan Sedang Sangat tinggi Dua

Gang Sedang Sangat tinggi Dua

Jalur sepeda Sedang Sangat tinggi Dua

Ruang terbuka secara umum Sedang Sangat tinggi Dua

Bangunan umum Tinggi Sangat tinggi Satu

Bangunan pemerintahan Tinggi Sangat tinggi Satu

Jalan secara umum Tinggi Sangat tinggi Satu

Pedestrian secara umum Tinggi Sangat tinggi Satu

(9)

dilakukan di taman ini dalam satu waktu yang bersamaan, seperti duduk-duduk dan ngobrol, kencan, membaca, makan-makanan ringan, bermain musik atau ngamen, berfoto, permainan anak-anak seperti sepeda, skate board, autopet, dan lain-lain.Berbagai percampuran kegiatan ini, tanpa disadari, tidak saling mengganggu dan tetap dalam keseimbangan. Kegiatan inipun terbuka dilakukan pada siang dan malam hari.

Dilihat dari skala kota, taman Bungkul tampaknya merupakan bagian dari tataan kota yang terkordinasi dengan baik dalam percampuran tata guna lahan. Dengan posisi diantara jalan pada ketiga sisinya, maka ketinggian maksimum bangunan di sekelilingnya tidak menjadi hambatan, baik dari aspek visual maupun orientasi lingkungan. Disamping itu, dengan banyaknya pohonan dan vegetasi lainnya, taman ini pun cukup responsif terhadap orientasi pada iklim mikro. Dalam hal lain, berkaitan tingkat akomodasi terhadap moda transportasi, taman ini cukup akomodatif dan mudah dicapai, karena berada di pusat kota dan jalan utama.

Kedua, urban blok. Urban blok berkaitan dengan kualitas blok inti kota, yang ditentukan

oleh aspek-aspek berikut. Pedestrian inti kota Surabaya, menjangkau atau melalui area blokinti kota yang luas, meskipun masih mencakup pedestrian di jalan-jalan utama. Lebar pedestrian trotoar rata-rata lebih dari empat meter dengan kualitas menerus, dan tidak terputus-putus, sehingga cukup memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki. Artinya, pedestrian inti kota Surabaya cukup mengakomodasi hak pejalan kaki, dan tidak semata-mata berpihak pada kendaraan. Sebagian trotoar juga mengakomodasi hak kaum difabel, dengan memberi penanda perbedaan penutup lantai dan raam. Dengan demikian, secara umum, dibandingkan dengan kota Bandung dan Surakarta, inti kota Surabaya cukup memberi kemudahan dan kenyamanan bagi pejalan kaki.

Dilihat dari segi setback bangunan, garis sempadan bangunan dari batas jalan cukup pendek (5-10 meter). Namun demikian, dengan lebar jalan utama dan lebar trotoar yang cukup lebar, memberi ruang bernafas dan jarak untuk mengalami kenyamanan visual. Sekaitan dengan ini, beberapa segmen inti kota juga menampilkan ekspresi arsitektural yang cukup estetis.

Indikator kualitas objektif kota Kualitas saat ini Target peningkatan kualitas

Level peningkatan kualitas

Parkir secara umum Sangat rendah Tinggi Tiga

Jalan kecil Sangat rendah Tinggi Tiga

Pedestrian secara umum Sangat rendah Tinggi Tiga

pedestrian trotoar Sangat rendah Tinggi Tiga

Jalur sepeda Sangat rendah Tinggi Tiga

Jalan secara umum Rendah Tinggi Dua

Jalan perumahan Rendah Tinggi Dua

Vegetasi Rendah Tinggi Dua

Ruang publik Sedang Tinggi Satu

Urban blok Sedang Tinggi Satu

Bangunan umum, Sedang Tinggi Satu

Bangunan pemerintahan, Sedang Tinggi Satu

Bangunan residensial Sedang Tinggi Satu

Jalan utama Sedang Tinggi Satu

Gang Sedang Tinggi Satu

Ruang terbuka secara umum, Sedang Tinggi Satu

Ruang terbuka inti kota Sedang Tinggi Satu

(10)

Dari segi luasan inti kota, sebagai sebuah ibu kota propinsi dan kota metropolitan yang terus berkembang, ukuran blok area inti kota berkembang meluas. Hal ini terjadi akibat pengembangan percampuran kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya.

Sementara itu, lay out pola jalan inti kota Surabaya cukup sesuai dengan konteks lingkungan sekeliling, dengan pola grid dan hirarki jalan yang didefinisikan secara jelas. Jalan utama yang lebar, sebagian diantaranya berupa jalan dua arah namun dipisahkan oleh ruang terbuka hijau berupa boulevard yang lebar (antara 4 – 6 meter), cukup memberi karakter kota yang kuat. Namun demikian, seperti banyak kota-kota lain di Indonesia, Surabaya pun mengalami persoalan dalam hal transportasi publik dan parkir. Alat transportasi masih didominasi kendaraan pribadi, sehingga kemacetan dan parkir di kedua sisi jalan, masih menjadi masalah yang harus diselesaikan.

Indikator kota dengan kualitas objektif sangat tinggi lainnya, adalah area bangunan komersial. Kualitas ini ditandai oleh keragaman pilihan jenis hiburan yang dapat diakses oleh masyarakat, baik jenis hiburan komersial

maupun hiburan yang dapat diakses secara gratis oleh publik. Antara lain, akses terhadap ruang publik dengan tingkat partisipasi publik yang sangat tinggi.

Demikian pula dengan keragaman pasar retail. Di Surabaya terdapat banyak pusat perbelanjaan, paling tidak ada 11 pasar tradisional (besar) dan 15 mall5, dengan sejumlah pasar tradisional kecil. Di inti kotanya sendiri terdapat enam pasar tradisional6. Keragaman jenis barang dan perbedaan karakter, menyebabkan pasar dan mall ini memiliki pangsa pasar yang berbeda. Umumnya, retail ini memiliki keterkaitan langsung dengan jalan, sehingga memudahkan akses bagi pengunjung.

Dilihat dari aspek kekhususan distrik, kota Surabaya memiliki koridor komersial jalan Tunjungan yang dapat diidentifikasi sebagai koridor komersial bersejarah bagi kota Surabaya. Meskipun dalam perkembangannya kemudian, desain arsitektur modern yang diterapkan pada mall dan pusat perbelanjaan lainnya kurang terintegrasi dengan konteks kualitas historis ini, koridor jalan Tunjungan merupakan area komersial utama dengan Tunjungan Plaza sebagai pusatnya.

Indikator kualitas objektif kota Kualitas saat ini Target peningkatan

kualitas

Level peningkatan kualitas

Area parkir umum, Sangat rendah Tinggi Tiga

Gang, Sangat rendah Tinggi Tiga

Jalan kecil,. Sangat rendah Tinggi Tiga

Jalur sepeda Sangat rendah Tinggi Tiga

Ruang terbuka secara umum Sangat rendah Tinggi Tiga

Jalan perumahan Rendah Tinggi Dua

Ruang terbuka pusat kota Rendah Tinggi Dua

Ruang publik Sedang Tinggi Satu

Urban blok Sedang Tinggi Satu

Bangunan umum Sedang Tinggi Satu

Bangunan pemerintahan Sedang Tinggi Satu

Bangunan residensial Sedang Tinggi Satu

Jalan umum Sedang Tinggi Satu

Jalan kecil Sedang Tinggi Satu

Pedestrian secara umum Sedang Tinggi Satu

Pedestrian trotoar Sedang Tinggi Satu

Vegetasi Sedang Tinggi Satu

(11)

Poerbantano7 menyatakan bahwa kekhususan koridor jalan Tunjungan lebih signifikan bila dilihat dari sudut; kualitas sejarah, kualitas estetika, kualitas sosial, dan kualitas ilmu pengetahuan yang melekat padanya.

Berkaitan dengan industri non-toxic, observer tidak melakukan pengukuran langsung dengan melihat limbah industri yang ada di kota Surabaya. Namun dengan menelaah kebersihan sungai dan kejernihan air sungai yang membelah kota, maka dibandingkan dengan Bandung dan Surakarta, pemerintah dan masyarakat kota Surabaya dapat disimpulkan cukup berhasil mengelola limbah industri dan rumah tangga yang mencemari sungai.

Diskusi berikutnya berkaitan dengan indikator jalan utama, sebagian sudah disinggung di atas. Kualitas objektif jalan utama kota juga ditentukan oleh prinsip jalan masuk kota Surabaya yang memberi kejelasan arah, kualitas kerataan jalan yang bagus, hambatan jalan yang minimal kecuali akibat kemacetan dan sebagian parkir di kedua sisi jalan. Ukuran jalan utama cukup lebar yaitu kebih dari dua puluh meter untuk jalan dua arah yang dipisahkan oleh boulevard taman hijau kota hampir sepanjang jalan utama. Keberadaan boulevard, pada satu sisi sangat membantu artikulasi estetis jalan dan ruang terbuka hijau, namun juga menjauhkan persilangan untuk berputar kembali. Artikulasi bentuk bangunan sepanjang utama, memang sangat beragam, namun pada beberapa bagian jalan cukup artikulatif menampilkan karakter arsitektur modern.

Berkaitan dengan indikator pedestrian trotoar, sebagian juga sudah disinggung di atas. Dibandingkan dengan Bandung dan Surakarta, kualitas objektif trotoar inti pusat kota Surabaya memang jauh lebih baik. Lebar trotoar antara 4 sampai 6 meter, sejajar dengan jalan, dan dengan tingkat kenyamanan yang cukup baik karena trotoar tidak terputus-putus oleh jalan masuk ke bangunan. Beberapa penggal jalan, memang masih menghadapi persoalan okupasi oleh aktivitas lain seperti pedagang kaki lima. Namun dibandingkan dengan Bandung, okupasi oleh pejalan kaki lima relatif lebih sedikit.

Terakhir kualitas objektif sangat tinggi ada pada indikator ruang terbuka inti kota. Seperti telah dicatat di atas, Surabaya memperoleh penghargaan sebagai kota terbaik se Asia Pasifik dari Citynet, untuk kategori ruang publik dan partisipasi publik. Hasil observasi menunjukkan memang kualitas objektif ruang terbuka memang sangat tinggi, hal ini ditandai dengan inti kota yang sebagian berpusat pada ruang terbuka hijau, serta menjadi pusat estetika visual, seperti Taman Balaikota, Taman Bungkul, dan boulevard sepanjang jalan utama. Di beberapa bagian ruang terbuka hijau tersedia koridor untuk rekreasi, seperti di taman Bungkul, taman Pelangi, taman Monumen Kapal Selam, dan disejumlah taman kecil serta koridor jalan lainnya. Ruang-ruang terbuka yang sekaligus Ruang-ruang publik ini, dapat langsung diakses dari jalan utama, serta sebagian menyediakan fasilitas untuk beragam aktivitas seperti bermain, olahraga, wisata kuliner, dan lain-lain. Dengan partisipasi publik yang tinggi, lokasi-lokasi ruang publik itu menjadi pusat komunitas untuk berinteraksi sosial.

Berdasarkan perbedaan level kualitas objektif Bandung, Surabaya, dan Surakarta, maka dapat dianalisis, implikasi tingkat prioritas indikator kota yang harus ditingkatkan kualitasnya. Dengan pertimbangan penataan kota yang berdimensi jangka pendek (lima tahun), jangka menengah (10 tahun), dan jangka panjang (20 - 25 tahun), maka peningkatan kualitas indikator kota dapat ditetapkan maksimum tiga level untuk penataan jangka panjang.

Berdasarkan hal itu, pada kota Surabaya, sasaran atau target peningkatan kualitas indikator kota seharusnya adalah kategori sangat tinggi pada semua indikator. Dengan demikian, fokus peningkatan adalah pada indikator yang masih rendah, sedang, dan tinggi, seperti dinyatakan dalam tabel 6.

(12)

D. Kesimpulan

Pertama, kota Surabaya secara umum memiliki kualitas objektif kota sangat tinggi. Jika dilihat per indikator kota, aspek dengan kualitas sangat tinggi terdapat pada ruang publik, urban blok, bangunan komersial, jalan utama, pedestrian trotoar, dan ruang terbuka pusat kota. Kualitas objektif kota Bandung dan Surakarta tidak memiliki perbedaan signifikan, termasuk kategori rendah sampai sedang.

Kedua, kualitas objektif kota sangat penting untuk terus menerus ditingkatkan, dan ini merupakan tanggung pemerintah daerah. Kota Surabaya, dengan walikota yang memiliki visi tentang kota yang baik, telah membuktikannya. Di sisi lain, masyarakat harus terus ditingkatkan keterlibatannya dalam aktivitas komunitas untuk mencintai dan menghargai kotanya, serta interaksi dan interrelasinya di ruang publik.

Ketiga, pada kota Surabaya, sasaran atau target peningkatan kualitas indikator kota seharusnya adalah kategori sangat tinggi pada semua indikator. Dengan demikian, fokus peningkatan adalah pada indikator yang masih rendah, sedang, dan tinggi. Untuk kota Bandung dan Surakarta, target peningkatan kualitas dapat ditetapkan pada kategori tinggi, dengan orientasi jangka waktu pendek, menengah, dan panjang

E. Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini, terutama kepada sponsor dana penelitian skema Strategis Nasional 2012, Dikti-Kemendikbud RI. Penghargaan kami sampaikan pula kepada serta para anggota Komunitas Ontel, Komunitas Aleut, dan Komunitas Sahabat Kota di Kota Bandung; Komunitas Sepeda Onthel, Komunitas Solo Kota Kita, Komunitas Kampung Kita, dan Komunitas Rebon (Diskusi Arsitektur) di Surakarta; Komunitas Kami Arsitek Jengki, Komunitas Manic Street Walkers, Komunitas Jurnalis Pecinta Lingkungan, Komunitas Surabaya Tempo Doeloe di kota Surabaya,

serta anggota masyarakat pengguna ruang publik yang bersedia menjadi sampel penelitian. Terimakasih pula kepada Bappeda Kota Bandung, Surabaya, dan Surakarta, yang telah mengijinkan kami untuk mengakses data kebijakan penataan kota. Terakhir, kami sampaikan terima kasih kepada rekan Adi Ardiansyah dan kepada mahasiswa kami, Intan, Rani, dan Siti yang telah membantu dalam pengumpulan data lapangan.

Daftar Pustaka

Ibrahim, H. (2000). An analytical comparative approach to the relationships between spontaneus and vernacular settlement. SEP. Egypt: Faculty of Engineering, Cairo University. On Tamer Abdel Aziz and Indjy M.Shawket / Energy Procedia 6 (2011) 228–235. On 1876–6102 © 2011 Published by Elsevier Ltd. doi:10.1016/j.egypro.2011.05.026 Jenks, Mike and Burgess, Rod (2010)

Compact Cities : Sustainable Urban Forms for Developing Countries. New York : Spon Press

Lynch, Kevin (1984).

Good City Form

. Cambrigde: The MIT Press

Poerbantanoe, Benny (1999). The Lost-City dan Lost-Space karena Perkembangan Pengembangan Tata Ruang Kota. Kasus: Koridor Komersial Jalan Tunjungan, Kotamadya Surabaya. Dimensi Teknik Arsitektur VOL. 27, NO. 2, Desember understanding the relationship between quality and physical form. Landscape and Urban Planning 39 (1997) 229-241, Elsevier Science Ltd.

Catatan Kaki

(13)

dan pendidikan untuk menjadi warga kota yang baik. Tujuan penelitian, ingin mempertemukan antara kebijakan dan implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam penataan kota dengan kesadaran dan tindakan masyarakat dalam mengapresiasi dan meningkatkan kualitas kotanya. 2

Observasi berdasarkan persepsi spasial ahli. Artinya sebagai observer, pakar tidak melakukan pengukuran langsung secara fisik. Misalnya, tentang lebar pedestrian, observer tidak mengukur dengan alat ukur meteran, tetapi berdasarkan perkiraan visual persepsial saja. Pedoman observasional dilengkapi dengan optional parameter tertutup tentang kualitas kota objektif, sehingga observer tinggal memilih parameter yang dianggap paling tepat. Tidak dilakukan analisis induktif (validitas) pada instrumen ini, karena pengukuran dilakukan langsung oleh pakar, yaitu: (1) M. Syaom Barliana, Guru Besar pada bidang Sosiologi Arsitektur, Universitas Pendidikan Indonesia; (2) Diah Cahyani, Magister Arsitektur dalam bidang Perumahan dan Permukiman, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia; (3) Adi Ardiansyah, Magister Arsitektur bidang Perancangan Kota, Dosen Universitas Pendidikan Indonesia.

3

Berkaitan dengan kualitas ruang publik dan partisipasi masyarakat ini, kota Surabaya terpilih sebagai kota terbaik se Asia Pasifik versi Citynet. Warga dan pemerintah kota Surabaya dinilai proaktif dalam menghidupkan aktivitas publik dan perekonomian kota, sehingga berhak memperoleh penghargaan City to City. Lihat: Kompas, Kamis 12 Juli 2012

4

Taman tersebut sendiri awalnya dibangun sebagai makam untuk Mbah Bungkul. Mbah Bungkul, merupakan “Sunan” atau yang menyebarkan agama Islam pada saat itu di Pulau Jawa, seperti halnya: Syah Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat(Klaten), KI Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dll. Lihat: http://www.surabaya. go.id/wisata

5

.Lihat: Info Pasar di Surabaya. http://pasar

surabaya.wordpress.com/pasar-dan-mall. 6

Surabaya Pusat adalah tempatnya pasar-pasar berkumpul, karena setidaknya ada enam pasar berada di wilayah ini. Pasar Bunga Kayaoon pilihan lain untuk membeli bunga selain pasar Bunga Bratang, Pasar Genteng menawarkan barang-barang elektronik, Pasar Turi yang melegenda, Pasar Blauran tempat wisata kuliner, Pasar Keputran, dan Pasar Buah Widodaren yang merupakan pusat penjualan buah-buahan tropis.

7

Lihat: Benny Poerbantanoe (1999). The Lost-City dan Lost-Space karena Perkembangan Pengembangan Tata Ruang Kota. Kasus: Koridor Komersial Jalan Tunjungan, Kotamadya Surabaya. Dimensi Teknik Arsitektur VOL. 27, NO. 2, Desember

1999: 31 - 39. Menurutnya: Kualitas sejarah,

koridor komersial jalan Tunjungan merupakan saksi

dan bukti perkembangan kota Surabaya. Di sini telah nama tercatat tokoh dan peristiwa yang mempunyai signifikansi sejarah bertaraf nasional. Kualitas Estetika, karakter bangunan dikoridor komersial jalan Tunjungan yang terbentuk dari struktur koridor komersial sejak awal keberadaannya telah membentuk karakter arsitektur yang unik dan khas, yang diwakili oleh tiga langgam arsitektur, yaitu; Empire style, Arsitektur Indische, Arsitektur

New Bouven. Ciri masing-masing langgam yang

dibentuk oleh elemen-elemen arsitekturnya mempunyai karakter yang khas dan unik sehingga memberikan kualitas signifikansi yang tinggi bagi kroridor ini secara keseluruhan. Kualitas Sosial. Koridor komersial jalan Tunjungan sejak awal keberadaannya hingga kini telah berperan sebagai koridor sosial tempat orang meluangkan waktu, berbelanja atau hanya sekedar lewat. Walaupun kualitas tersebutmengalami fluktuasi sejalan dengan perkembangan sejarah. Koridor ini sebagai bagian penting dari kota Surabaya tetap memiliki signifikansi sosial yang tinggi (ingat lagu; Rekayo

rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan). Kualitas Ilmu

Gambar

Gambar 1. Area penilaian kualitas objektif kota
Gambar 2. Area penilaian kualitas obyektif Kota Surabaya
Gambar 4. Lokasi Studi Bagian B Kota Bandung
Tabel 3. Hasil Pengukuran Kualitas Objektif Kota - SurabayaStd.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, self efficacy pejalan kaki pada fasilitas pedestrian berkaitan dengan aksesibilitas, kenyamanan dan keamanan menunjukan skala sangat

Berdasarkan hasil plot tersebut yang di overlay dengan type curve Ganesh Thakur, maka dapat dilihat bahwa hasil plot berhimpitan dengan type curve nomor 2,

Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa 1) Untuk menghasilkan materi problem posing berbasis komputer, pertama, guru harus memilih konsep yang ingin disampaikan. Kemudian,

Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis .Jakarta: Trans Info Media..

Dari pemaparan di atas, maka penulis menyimpulkan daripada penafsiran Buya Hamka tentang pengaruh makanan terhadap kehidupan manusia yaitu akan dijadikan Allah seorang

Amerika Serikat memanfaatkan keadaan dimana banyak negara yang membutuhkan bantuan ekonomi untuk memperbaiki negaranya (dengan menanamkan pengaruhnya) jika tidak maka

Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten

Dunia seni pertunjukan adalah dunia yang identik dengan praktis dan keilmuwan seni, tanpa ditunjang dengan bekal mata kuliaah umum lain, maka akan melahirkan individu yang hanya