• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Fast Fashion Hubungan Asimetris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Produksi Fast Fashion Hubungan Asimetris"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Produksi Fast Fashion : Hubungan Asimetris antara Bisnis Fashion terhadap

Kesejahteraan Pekerja Bangladesh

Fitri Handayani 071411231027

ABSTRACT

Power and Poverty has a complex relationship, but also simple. Complex because it includes everything in the world, and the simplicity that lies in the linkage relationship itself. Over the years, new changes emerge and replace the old values that are considered to be no longer implemented. Time changes lead the world community to the new lifestyle where everything can be done quickly, practical, and tend to be instant. This encourages the existence of exploration and innovation in every single aspect of life. The concept of fast-fashion has become an important part of today’ international companies acting in the fast-fashion industry. The globalization has a great impact on this quite new phenomenon. Consumers demand high fashion products and the challengers for the companies are to get the latest trend into the market in the right time. The increased demand form the consumers are leading to short product life cycles. The more mass production is, the more natural and manpower resources that needed. This article will review more about the implications of the trend of Fast Fashion, the clothes we wear, the people who make these clothes, and their impact on the world by describing how strong the relationship between power and poverty and also its consequences considering behind the concept of low-cost clothing itself.

Kata Kunci: Fast Fashion, Demand, Consequences, Power & Poverty, Global Phenomenon.

ABSTRAK

(2)

harus dilakukan. Semakin massal produksi pakaian-pakaian tersebut, semakin banyak sumber daya alam dan tenaga kerja yang dibutuhkan. Pada sisi lain, biaya dan waktu yang tak sedikit pun tentunya sangat krusial bagi rantai produksi yang panjang. Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai implikasi tren Fast Fashion, pakaian yang kita kenakan, orang-orang yang membuat pakaian, dan dampaknya pada dunia ini dengan mengupas seberapa kuatnya keterkaitan diantara power & poverty beserta konsekuensi mahal dibalik konsep low-cost clothing itu sendiri.

Keywords : Fast fashion, permintaan, konsekuensi, Kekuatan & Kemiskinan, Fenomena Global.

Proses globalisasi dunia secara konstan semakin meningkat dan membuat sekat diantara negara-negara dunia semakin menipis. Suatu fenomena mampu menghubungkan banyak negara di dunia yang kemudian menghantarkan banyak perusahaan untuk bekerjasama dibawah naungan pasar global. Hal ini mengakibatkan perbesaran jumlah perusahaan-perusahaan internasional yang turut andil dalam lingkungan global (Stiglitz 2007). Keikutsertaan pada tingkat global memang memiliki banyak keuntungan namun tantangan perubahan dan kompetisi pasar berada pada tingkatan yang lebih tinggi pada pasar global. Kompetisi yang sangat tinggi khususnya pada pergerakan industri yang cepat kemudian terepresentasikan oleh siklus hidup yang pendek dan permintaan konsumen yang dapat berubah-ubah dalam jangka beberapa minggu bahkan dapat semalaman (Sheridan et al. 2006). Industri fashion adalah suatu sektor yang memiliki kekhasan pada siklus hidup produk yang pendek, volatilitas tinggi, dan tingkat pembelian yang tinggi. Industri fashion termasuk kedalam salah satu the most globalized sectors di dunia dan selalu memiliki turnover setiap tahunnya dengan jumlah yang mencapai hingga multimilyaran (Jackson & Shaw 2016). Sehingga terbilang bahwa fashion memengan peran pemimpin pada perkembangan global.

Industri pakaian dan fashion telah berkembang secara signifikan terutama selama 20 tahun terakhir. Dinamika perubahan industri fashion telah memaksa ritel-ritel untuk menekan biaya dan mengusung konsep low-cost clothing namun tetap mengutamakan fleksibilitas dalam desain, kualitas, dan kecepatan pemasaran serta strategi untuk mempertahankan proposisi menguntungkan didalam perkembangan permintaan pasar (Merlin 2001; Christopher et al. 2004). Secara tradisional, para ritel fashion menggunakan jaringan mereka untuk melakukan survey permintaan pelanggan dan menerka-nerka tren fashion ready-to-wear atau tren pakaian siap pakai yang akan menaikkan penjualan mereka. Inilah yang kemudian disebut sebagai konsep fast fashion. Namun dalam beberapa tahun terakhir dapat terlihat bahwa para ritel fashion saling bersaing dengan yang lainnya dengan memastikan kecepatan pada pasar dengan kemampuan mereka untuk menyediakan fashion tren yang cepat melalui fashion show dan runways.

(3)

dewasa ini sangat kompetitif dan memiliki kebutuhan rentang waktu yang konstan agar dapat ‘menyegarkan’ kembali produk-produk mereka sehingga diperlukan pula langkah bagi para ritel untuk memperpanjang jumlah ‘musim’ fashion dimana frekuensi seluruh barang dagangan berubah (Bruce & Daly 2006). Dengan munculnya koleksi kecil barang dagangan, ritel fashion secara tidak langsung mendorong konsumen untuk mengunjungi toko mereka lebih sering lagi dengan ide ‘Here today, Gone tomorrow.” Hal ini mengindikasi siklus hidup dunia fashion yang lebih pendek. Fast fashion terbukti dapat meningkatkan rate penjualan karena terkesan lebih murah dan cepat jika dibandingkan dengan high fashion yang mahal namun hanya dapat dijangkau oleh kaum menengah keatas meskipun jika dihitung secara keseluruhan, fast fashion lebih menguras konsumen untuk selalu merasa haus dalam membeli pakaiannya.

ZARA dan H&M Sebagai Pionir Industri Fast Fashion

Tak mahal namun berkualitas. Prinsip itulah yang kemudian diangkat oleh dunia industri pakaian ditengah tuntutan pola hidup masyarakat dunia yang serba praktis sebagai ajang prestisius dalam pengembangan manufakturnya. Frasa “Fast Fashion” merujuk pada koleksi low-cost clothing didasarkan pada tren fashion terbaru yang mampu menjadi jalan pilihan konsumen terutama generasi muda tanpa perlu mengeluarkan biaya yang tinggi agar dapat menikmati gaya hidup yang luxurious. Hal ini secara langsung juga memicu para konsumen khususnya penikmat fashion untuk selalu mengikuti tren mode terbaru. Salah satu contoh sederhananya dapat terlihat pada kunci sukses ZARA, sebuah perusahaan ritel garmen terbesar di dunia dengan produksi 840 juta garmen setiap tahunnya setiap tahunnya yang tidak memajang produknya dalam waktu yang lama dengan menargetkan para konsumen untuk tidak menunda pembelian baju yang mereka inginkan agar tidak kehilangan kesempatan untuk membelinya (Sekaran & Bougie 2009). Hal ini jelas berkontradiksi dengan produk high-cost fashion seperti PRADA, Jimmy Choo, GUESS, atau Kate Spade yang cenderung affordable bagi orang menengah keatas.

(4)

Perusahaan ZARA sendiri dapat mendesain, memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk baru hanya dalam hitungan 15 hari. Hal ini membawa kemungkinan bagi ZARA untuk menawarkan desain dan fasion yang up-to-date selaras dengan permintaan konsumen Ferdows et al. 2004). Tujuan dari ZARA sendiri bukanlah untuk mendapatkan skala ekonomik namun mereka lebih suka menghasilkan dalam batch kecil dimana pabrik-pabrik memprioritaskan kualitas sebelum memaksimalkan output (Ferdows et al. 2004). ZARA memiliki integrasi rantai pasukan secara vertical yang membuat kemungkinan produksi barang baru dengan jangka waktu yang pendek yang sejalan dengan tuntutan fast fashion.

Selain ZARA, H&M juga merupakan perusahaan fashion yang terkoneksi secara kuat dengan konsep Fast Fashion. Dalam menciptakan koleksi, H&M memprioritaskan pemahaman dan pemenuhan permintaan pelanggan yang tinggi. Apapun yang diinginkan oleh pelanggan adalh kunci bagi seluruh proses yang dimulai dari ide-ide pembuatan produk baru hingga proses pembelian barang oleh para pelanggan. Proses penciptaan dan perencanaan untuk koleksi yang berbeda dibuat secara terpusat (The H&M Way 2016). Strategi H&M ketika memulai bekerja pada koleksi baru terletak pada desainer, pembuat pola dan pembeli setuju pada tren yang menjadi simpanan koleksi fashion milik H&M di musim mendatang. Tahap selanjutnya adalah untuk mencoba mencari keseimbangan atau titik tengah pada perbedaan gaya, dasar-dasar modern, fashion yang tengah menjadi trend an high fashion.

Agar dapat membangun susunan produk-produk H&M yang diletakkan pada kombinasi yang baik yang mencakup perbedaan gaya dan jumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil final. Tren yang telah tercipta pada musim sebelumnya kemudian dikombinasikan pada tren musim kedepannya dengan memperhatikan mode, warna, dan lainnya (Idea and Design 2011). Permintaan pelanggan pada tiap toko yang berbeda dan pasar merupakan dasar bagi berbagai produk. Baik ZARA dan H&M juga memperhatikan titik peletakan lokasi toko atau cabang tokonya karena masing-masing lokasi memberikan pengaruh pada pendistribusian produk. Produk high fashion kerap diproduksi dalam jumlah terbatas di toko-toko yang terletak di kota-kota besar (Planning the range 2011). Namun produk dasar seperti kemeja, blouse, jaket, celana diproduksi dalam volume yang lebih besar dan didistribusikan ke banyak toko (Hayes & Jones, 2006). Kunci konsep dari ZARA dan H&M adalah untuk mendapatkan produk yang tepat untuk toko yang tepat pada waktu yang tepat sehingga pelanggan selalu melihat sesuatu yang menarik dan baru setiap kali mereka datang ke toko. Kunci konsep ini juga menjadi tantangan bagi ZARA dan H&M serta setiap perusahaan fast fashion di ranah high fashion.

Konsep Pos-Fordisme dalam Industri Fast Fashion

(5)

informasi. Pernyataan penulis ini berbasis pada sistem survey yang dilakukan oleh pihak pusat ZARA dan H&M kepada seluruh toko cabang yang tersebar di dunia mengenai keinginan dan permintaan masing-masing pelanggan. Negara tidak lagi berperan sebagai aktor dominan dalam ranah perekonomian karena Pos-Fordisme cenderung mementingkan perbaikan pasar sebagai fokus utama dan dengan aktor-aktor non negara yang lebih mendominasi yakni perusahaan multinasional lintas negara (Castells 1996). Implementasi yang dilakukan oleh ZARA dan H&M bergantung pada inovasi dalam teknologi sebagai faktor utama jalannya perusahaan mereka dan didasari pada produksi yang fleksibel yakni bergantung pada demand dari para pelanggan. Para pekerja di kedua perusahaan fast fashion tersebut dapat mengerjakan banyak hal sekaligus seperti menentukan ide-ide desain, memulai proses desain, hingga memperkirakan tren mode kedepannya. Selanjutnya ZARA dan H&M juga melakukan proses internasionalisasi yakni menebarkan cabangnya di berbagai negara di dunia khususnya pada kota-kota besar di negara-negara tersebut. Konsep ZARA dan H&M tidak lagi terbatas pada permintaan dalam sebuah negara namun meluas. Dalam Pos-Fordisme, dorongan-permintaan atau demand-driven lebih menentukan daripada dorongan-penawaran atau supply-driven (Markantonatou 2007). Kompetisi atau persaingan antar perusahaan lebih banyak berkutat pada faktor non-harga namun dengan perbaikan kualitas dan tampilan bagi sebuah produk individual dengan sikap responsif pada pelanggan.

(6)

Konsumen menjadi lebih menuntut dan menyebabkan ritel fashion terpaksa untuk menyediakan produk yang tepat pada waktu yang tepat pula di pasar. Dalam dunia digital dimana informasi dan tren baru dapat diakses dengan mudah di seluruh dunia dengan kecepatan tinggi, konsumen cenderung memiliki lebih banyak pilihan dan berbelanja lebih sering. Perubahan gaya hidup karena faktor sosiokultural dan butuhnya esensi unik pada masing-masing merk memaksa ritel fashion untuk memperbaharui barang secara terus menerus untuk berurusan dengan meningkatnya kompetisi di pasar. Tuntutan konstan konsumen memiliki dampak proses ‘peramalan’ dan perencanaan produk bergeser ke mereplikasi desain terkenal dari gaya dan majalah mode serta penggalangan fashion show dalam skala kecil namun sering (Rosenblum 2015).

Pengaruh Demand terhadap Perkembangan Negara Penyedia Outsourcing

Dorongan permintaan pelanggan yang tinggi oleh fast fashion yang selalu mengejar target pemasaran yang berganti-ganti dalam hitungan bulan, minggu, bahkan hari, membuat perusahaan-perusahaan yang mengangkat mode fashion tersebut untuk melebarkan jaringan outsourcing atau sumber daya diluar negaranya. Meskipun mengusung konsep ‘cepat’ namun fast fashion tetaplah butuh untuk melewati proses panjang yang bertahap untuk memproduksi satu helai pakaian. Rantai proses pakaian dimulai dari ketersediaan bahan baku, mempersiapkan ornament, hingga sampai pada tahap produksi dan distribusi. Hal ini yang kemudian menjadikan perusahaan fashion internasional untuk menjaring pabrik-pabrik di negara berkembang. Alasannya cukup sederhana, yakni karena upah buruh di negara-negara berkembang terhitung relatif murah jika harus dibandingkan di industri negara maju. Bangladesh merupakan salah satu industri pakaian yang mendasarkan industri garmen sebagai divisi ekspor utama dan sumber utama devisa negaranya. Negara ini bahkan menduduki peringkat eksportir garmen yang terbesar kedua di dunia setelah China yang memberikan suplai garmen kepada perusahaan-perusahaan multinasional dunia. Saat ini negara tersebut telah menghasilkan milyaran produk garmen yang terekspor hingga penjuru dunia meski pada satu sisi negara ini juga terkenal dengan kekurangan kesejahteraan buruh pakaiannya. Rendahnya tingkat kesejahteraan buruh garmen Bangladesh menjadi paradoks tersendiri mengingat sektor industri pakaian adalah lahan kehidupan masyarakat Bangladesh yang sebelumnya telah mengalami masa peralihan dari lahan-lahan pertanian hingga memasuki era industrialisasi (Hossain 2002, 84). Fakta membuktikan bahwa industri garmen menyumbangkan kurang lebih 194 triliun rupiah setiap tahunnya dengan kisaran 79% dari pendapatan negara tersebut. Bangladesh memiliki lebih dari 5000 pabrik garmen dengan lebih dari 3 juta pekerja secara keseluruhan dan 80% dari pekerja tersebut adalah perempuan (Rashid 2002, 109).

(7)

fluktuasi terkait mode fashion yang selalu berubah-ubah sehingga menciptakan ketidakpastian yang ekstrim pada proses produksi. Para pekerja dipaksa untuk bekerja dalam atmosfir yang penuh ketidakpastian karena persaingan yang intens (Kabeer & Mahmud 2004, 143). Pemilik pabrik ditantang untuk mampu menanggung banyak resiko seperti membayar kain bahkan sebelum pabrik tersebut menerima pembayaran untuk pesanan. Apabila pembeli tidak puas dengan pengiriman atau karena pengiriman terlambat, maka perusahaan harus mengurangi harga dalam rangka untuk memastika bahwa produk tersebut tetap terjual dan mampu menutupi hutang perusahaan dan membayar para tenaga kerja. Disisi lain tidak ada yang dapat menjamin bahwa pesanan akan datang secara teratur atau pengiriman kain dapat diterima oleh para pembeli (Kabeer & Mahmud 2004, 143).

Teori Modern World System dalam Ekonomi Politik Internasional

Fenomena tersebut dapat dikaji melalui studi Ekonomi Politik Internasional melalui teori Modern World System. Gilpin (1987) menyebutkan bahwa Teori Modern World System merupakan teori yang menganggap bentuk kapitalisme yang menciptakan kelas-kelas sosial sebagai sebuah fenomena global. Ekonomi Politik Internasional dianggap memiliki tatanan dan struktur yang hierarki yang terbagi menjadi core dan periphery. Kecenderungan negara periphery adalah sebagai penyedia sumber daya yang tereksploitasi oleh negara core atau perusahaan milik negara core yang memiliki kedudukan sebagai puncak pada kemampuan industrialnya sedangkan negara periphery hanya mampu memproduksi bahan mentah atau bahan setengah jadi sebelum dijual kepada MNC negara core tersebut. Pada kasus fast fashion dapat terlihat signifikansi teori Modern World System dimana perusahaan multinasional seperti ZARA dan H&M yang notabene merupakan perusahaan negara core memiliki hubungan erat dengan Bangladesh sebagai negara periphery. Hubungan tersebut bukan terjalin secara ekuivalen karena Bangladesh dijadikan subordinasi MNCs sebagai sumber kekayaan outsourcing negara core. Permintaan dari ZARA dan H&M tentulah sangat mempengaruhi produksi Bangladesh yang sejatinya berupaya untuk merubah roda perekonomiannya dan mewujudkan perekonomian yang lebih baik.

(8)

Keterkaitan dan Problematika Tatanan Kelas Sosial Dunia dalam Industri Garmen

Umumnya apabila suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi maka secara tidak langsung kepentingan dan kesejahteraan masyarakat akan terakomodir dan terpenuhi secara ideal. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus memberlakukan liberalisasi ekonomi agar pemasukan arus investasi asing dapat dipermudah sekaligus dapat mengangkat tingkat produktivitas ekonomi negara. Pemerintah Bangladesh berharap bahwa hal tersebut dapat mereduksi angka kemiskinan dengan tingginya kuantitas arus investasi asing berbentuk Foreign Direct Investment atau FDI (Kabeer & Mahmud 2011, 140). Akan tetapi upaya ambisi pemerintah Bangladesh hanya sekedar terbatas pada penghapusan tingkat kemiskinan yang ekstrim saja dengan mengabaikan aspek-aspek krusial lainnya seperti keamanan manusia, kesejahteraan buruh dan kesejahteraan masyarakat yang sejatinya adalah kunci utama pada keberhasilan pertumbuhan ekonomi Bangladesh menuju tingkat yang lebih baik. Seharusnya dengan populasi penduduk yang padat, jumlah industri garmen yang mencapai lebih dari 5000 dengan pekerja buruh sebanyak lebih dari 3 juta yang mencakup 70% populasi Bangladesh, privilise demographic dividen dapat diwujudkan. Dividen demografi adalah kombinasi rendahnya biaya hidup dengan kepadatan jumlah populasi penduduk dan upah buruh industri pakaian yang dijamin oleh para industri pakaian di Bangladesh (Rashid 2002, 109-10). Namun kenyataan dan ekspektasi memang tidak selalu sejalan. Upah buruh di Bangladesh masih terhitung sangat kecil bahkan tidak dapat memenuhi tingkat kesejahteraan yang memadai dan layak. Bangladesh masih menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan upah buruh industri termurah di dunia yakni sebesar 0.25 dollar Amerika per jam. Hal ini jelas mencerminkan bahwa kesejahteraan buruh industri di Bangladesh terbilang buruk bahkan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan kehidupan lainnya yang fundamental keluarga seperti pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan makanan (Kadeer & Mahmun 2004, 145). Ironis memang ketika pekerja pakaian kesulitan dalam membeli pakaian itu sendiri.

(9)

oleh konstruksi bangunan yang dibentuk ilegal, dibangun hingga empat lantai melebihi izin perencanaan pembangunan yang diajukan pada pemerintah setempat. Media setempat sempat melaporkan adanya keretakan pada bangunan tersebut sehari sebelum insiden itu terjadi dan meminta evakuasi untuk menutup bangunan. Alih-alih menuruti himbauan, para pekerja garmen justru tidak mendengarkan peringatan tersebut dan memilih untuk tetap bekerja karena tuntutan dari pemimpin perusahaan yang diakibatkan oleh permintaan produksi yang tinggi. Pihak manajemen perusahaan Ether Tex bahkan dilaporkan mengancam para pekerja untuk tidak membayar upah bulanannya apabila mereka mendengarkan himbauan itu. Dua dari pabrik di gedung sebelumnya telah diaudit oleh BSCI atau Business Social Compliance Initiative, sebuah organisasi kepemimpinan bisnis yang gidunakan oleh lebih dari 1000 ritel merk terkemuka. Namun resiko audit ini masih belum teridentifikasi dan tidak ada upaya pencegahan yang dilakukan.

Pada titik ini penulis melihat bahwa tatanan Ekonomi Politik Internasional berbasis pada teori Modern World System yang membagi struktur sosial negara-negara dunia menjadi core dan periphery memang sengaja dijaga dan diimplementasikan. Dengan adanya instabilitas tersebut, ZARA, H&M, dan ritel fashion lainnya yang notabene berasal dari negara-negara core kapitalis dapat bergantung kepada negara periphery seperti Bangladesh sebagai penunjang sumber bahan bakunya tanpa mengkhawatirkan biaya yang mahal dan proses yang tidak diinginkan. Hal ini didasarkan pada tingginya rasa kebutuhan negara periphery untuk memperbaiki tingkat perekonomiannya sehingga cenderung berani untuk mengambil segala resiko tanpa mempertimbangkan peluang yang sejatinya dapat mereka terapkan dan dapat mengangkat tingkat perekonomian mereka lebih baik lagi. Adanya perusahaan kapitalis sama sekali tidak berkontribusi terhadap perbaikan perkembangan negara berkembang bahkan justru beralih menjadi momok tersendiri bagi para pekerjanya karena dengan tingginya permintaan produksi, industri garmen yang mewadahi mereka membuat para pekerjanya terpacu untuk menyelesaikan produk dalam hitungan yang cepat bahkan hingga hitungan hari.

(10)

hak-hak pekerja internasional dalam kongres yang dilaksanakan tiga bulan setelah tragedi tersebut terjadi (BBC 2015)

Jelas bahwa masalah keamanan yang dihadapi industri garmen Bangladesh merupakan masalah yang serius dan meluas, terkecuali apabila adanya tindakan yang dapat mengkoordinasi lebih dari 3 juta pekerja Bangladesh agar mereka tidak membuat pakaian secara terus menerus tanpa memperhatikan resiko kehidupannya. Meskipun dapat terbilang saat ini banyak sekali pembicaraan mengenai hal tersebut, sayangnya hal itu tidak diiringi dengan tindakan atau aksi perubahan. Berbagai pertemuan internasional diselenggarakan, namun lagi-lagi hanya diisi oleh orang-orang yang saling menyalahkan satu sama lain mengenai kegagalan industri tersebut. Penulis beropini bahwa para brands dan retail fashion juga harus menerima tanggung jawab meskipun mereka secara tidak langsung memiliki pabrik yang memproduksi barang-barang mereka, para ritel dapat dan harus berbuat lebih banyak untuk mencegah insiden seperti itu seperti memastikan apakah industri garmen yang mereka pekerjakan telah memenuhi prasyarat legal atau tidak. Ritel juga harus memverifikasi bahwa pabrik yang akan bekerjasama dengan mereka telah menggunakan standar praktek yang layak serta berkenan membangun fasilitas perbaikan. Pemilik pabrik pun harus berkomitmen untuk memfasilitasi dan mendukung siklus manajemen keselamatan berdasarkan kesepakatan manajemen dan serikat pekerja. Pemerintah Bangladesh harus memainkan peran penting dalam jangka panjang yakni perubahan yang berkelanjutan dengan memperbaharui undang-undang dan melaksanakan peraturan, meningkatkan inspeksi pabrik dan membangun kerangka tripartite yang diperlukan untuk hubungan seimbang antara buruh dan pemangku kepentingan.

Kesimpulan

(11)

makin tinggi pula sumber daya yang diperlukan dan tenaga kerja untuk menghasilkan hal itu. Disisi lain, rantai produksi yang begitu kompleks membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara strategis yang dilakukan oleh ritel fashion kenamaan untuk dapat mewujudkan hasil pakaian yang cepat dengan harga terjangkau adalah menjalin kemitraan perdagangan dengan negara berkembang sebagai outsourcingnya. Alasannya sederhana, karena biaya produksi pabrik negara berkembang jauh lebih terjangkau jika dibandingkan pabrik di negara maju.

Dengan adanya tuntutan produksi yang banyak itu, pada akhirnya pabrik garmen di negara berkembang yakni Bangladesh harus berpikir keras untuk menekan segala kemungkinan buruk yang terjadi seperti penolakan desain kain, ekstensi waktu atau pemotongan waktu, hingga deadline produksi secara cepat. Para pemilik pabrik garmen Bangladesh kemudian menjadi lalai dalam menjaga prioritas keselamatan dan kesejahteraan pekerja hanya karena target-target yang ditentukan oleh perusahaan besar itu. Hal inilah yang kemudian penulis lihat sebagai wujud implementasi teori World Modern System yang dimana dunia terbagi menjadi kelas-kelas sosial, menciptakan aktor kapitalis tidak sebagai senjata perbaikan negara berkembang tapi justru pihak yang mengeksploitasi negara berkembang itus ecara habis-habisan. Insiden robohnya Rana Plaza di Dhaka, Bangladesh menjadi bukti terbesar pada kelalaian pihak industri hanya karena target pencapaian yang ditetapkan oleh pihak kapitalis yang bahkan merenggut ribuan nyawa pekerja. Ironinya adalah dibalik konsep low-cost fast clothing tersebut, masih ada harga yang sangat mahal untuk dibayarkan.

Referensi Buku

Castells, Manuell, 1996. “The Informational Economy and the Process of Globalization”. Dalam The Rise of the Network Society. Oxford: Basil Blackwell Ltd., pp.66-150.

Dunford, Michael, 2000. “Globalization and Theories of Regulation”. Dalam Global Political Economy: Contemporary Theories. London: Routlledge, pp. 143-167.

Fernie, J. & Sparks, L. (2004) Logistics and Retail Management: insights into current practice and trends from leading experts, Kogan Page Limited, London

Gilpin, Robert, 1987. “The Dynamics of International Political Economy”, dalam The Political Economy of International Relations. Princeton : Princeton University Press, pp. 65-117.

Hossain, I. (2002). “Export processing zones in Bangladesh and industrial relations”. Chapter 7 in Muqtada, M. et al. (eds), Bangladesh: Economic and Social Challenges. of Globalisation, study prepared for the ILO, Geneva, UPL, Dhaka.

Kabeer, Naila Simeen Mahmud. 2004. “Rags, Riches and Women Workers: Export-Oriented Garment Manufacturing in Bangladesh”. Dalam Chains Final. Dhaka : Dhaka Press.

(12)

Stiglitz, J. (2007) Fungerande Globalisering, Daidalos, Sweden.

Thun, Eric, 2008. “The Globalization of Production”. Dalam Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press, pp. 346-372.

Quddus, M. and Rashid, S. (2000). “Entrepreneurs and economic development: The remarkable story of garment exports from Bangladesh”. University Press Limited, Dhaka.

Artikel

Doyle, S., Moore C & Morgan L, (2006) Supplier management in fast moving fashion retailing, dalam Journal of Fashion Marketing and Management, Vol 10. No 3. pp 272-281.

Dutta, D. (2002), Retail at the speed of fashion, Third Eyesight Articles

Ferdows, K & Lewis, M.A & Machuca, J.A.D (2004) Rapid-fire fulfillment, Harvard Business Review Vol. 82, No 11. pp 104-110.

Hayes, S & Jones, N (2006) Fast fashion: a financial snapshot, Journal of Fashion Marketing and Management, Vol. 10, No. 3, pp. 282-300

Jacobs, D (2006) The promise of demand chain management in fashion, Journal of Fashion Marketing and Management, Vol 10. No 1. pp 84-96.

Artikel Jurnal Online

Markantonatou, Maria. 2007. “The Ideal-typical Transition from Fordism to Post-Fordism: A Neopositivist Problem Setting” dalam European Research Studies,Volume X, Issue (1 2)

Rosenblum, Paula. 2015. Fast Fashion Has Completely Disrupted Apparel Retail. [online]. Tersedia: http://www.forbes.com/sites/paularosenblum/2015/05/21/fast-fashion-has-completely-disrupted-apparel-retail/#682070e718b6. Diakses pada 24 Juni 2016.

Lain-Lain

The H&M Way. 2016. Living by Our Values and Guidelines Every Day. [online] dalam: https://www.google.com/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwic2N_OucXNAhUGO hQKHc-kC5cQFggdMAA&url=https%3A%2F%2Fabout.hm.com%2Fcontent%2Fdam%2Fhm

%2Fabout%2Fdocuments%2Fen%2Fhm-way%2FHM

%2520Way_en.pdf&usg=AFQjCNEAU5L_siGoq6yeXakXRAk2EyOxBg&sig2=RmUDtP3zcHXasn SCH4Pg3g. diakses pada 23 Juni 2016.

From Idea to store, 2016. Tersedia:

http://about.hm.com/us/abouthm/factsabouthm/fromideatostore__fromideatostore.nhtml. Diakses pada 26 Juni 2016

(13)

http://about.hm.com/us/abouthm/factsabouthm/fromideatostore/ideaanddesign__fromideatostoreideaa nddesign.nhtml. Diakses pada 24 Juni 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Lintasan belajar matematika mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan oleh siswa

Verifikasi dilakukan dengan memasukan data eksperimen ke dalam model Renko sehingga diperoleh nilai parameter model baru untuk memprediksi pola pengendapan yang terbbentuk..

No Ka NIK NAMA TGL LAHIR VERIVIKASI

Perendaman telur ikan gurami (O. gouramy) pada larutan ekstrak kunyit (C. domestical) dengan konsentrasi yang berbeda ternyata efektif terhadap daya tetas telur

Dalam beberapa kasus, menjadi social entrepreneur dalam konteks ini mengabdi sebagai volunteer atau amil lembaga zakat belumlah menjadi pilihan utama sebagian

Jika dalam hasil penelitian menunjukkan mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki orientasi internal locus of control, namun dalam lingkungan mereka tinggal teman menjadi salah

Pengabdian masyarakat yang dilakukan di desa Batuyang dengan program “meningkatkan Kesejahteraan Perekonomian Masyarakata Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE)”

baru yang diperoleh dari Yordania di samping Ekonomi Syariah adalah adanya Lembaga Pengelolaan Harta Anak Yatim yang dikelola oleh Negara. Pengadilan Agama dalam