• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Seks Sejak Dini sebagai Alat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Seks Sejak Dini sebagai Alat"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Pendidikan Seks Sejak Dini

sebagai Alat Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak

Ricky Boy Sialagan, SIK

1

Latar Belakang

SEMARANG, KOMPAS.com2 — Mengacu pada data kekerasan anak yang terus naik selama kurun lima tahun terakhir, Komnas Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), dalam laporan kerja satu tahun kepada publik tentang potret kejahatan pada anak, mengeluarkan sejumlah rekomendasi baik kepada eksekutif maupun legislatif.

Pertama, mendorong kepada Presiden RI untuk menetapkan segala bentuk kekerasan pada anak sebagai bentuk kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. "Dan segera mengeluarkan Perpu UU tentang Pemberatan Hukum Kebiri (bagi pelaku kejahatan pada anak) melalui suntik kimia," kata Sekjen Komnas Anak, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/12/2015).

Komnas Anak juga mendorong DPR RI, khususnya Komisi III, agar dalam pembahasan perubahan UU KUHP untuk menyertakan isu kekerasan anak dan penghilangan paksa hak hidup anak sebagai kejahatan luar biasa.

Ketiga, lanjutnya, pihaknya juga mendorong pada Presiden RI untuk segera mewujudkan tanggung jawab lintas kementerian atau lembaga negara, gubernur, bupati/wali kota untuk melaksanakan Inpres No 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA).

"Semua langkah itu mendesak dilakukan untuk memutus mata rantai kejahatan luar biasa terhadap anak," pungkas Samsul.

Komnas Perlindungaan Anak mencatat pada tahun 2015 ini tercatat 2.898 kasus kekerasan pada anak, 60 persennya di antaranya merupakan kejahatan seksual. Angka tersebut naik dibandingkan dari tahun 2014 yang tercatat sebanyak 2.737 kasus kekerasan pada anak di mana 52 persennya adalah kejahatan seksual, sedangkan pada tahun 2013 ada 2.676 kasus kekerasan pada anak, 54 persennya kejahatan seksual. ...

Artikel singkat berita di atas menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak memiliki perkembangan yang mengkhawatirkan, dalam pengertian kuantitasnya yang meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kuantitas ini berkisar pada rata-rata 100 kasus pertahun, yaitu + 2.600 pada tahun 2013, meningkat menjadi + 2700 pada 2014 dan bertambah lagi menjadi + 2800 pada tahun 2015. Fenomena kekerasan seksual pada anak di Indonesia, mengemuka kembali dalam beberepa bulan pada awal tahun 2016. Peristiwa kekerasan seksual yang dapat dikategorikan ke dalam peristiwa yang jauh dari nilai manusiawi terjadi beberapa kali. Seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolah SMP di Bengkulu menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh belasan pemuda yang juga sebagian masih di bawah umur. Korban yang malang tersebut diperkosa di

1 Penulis merupakan mahasiswa strata 2 angkatan V STIK PTIK. NIM 2015226010.

(2)

sebuah jalan yang cukup sepi saat ia hendak pulang ke rumahnya. Kisah lain yang tidak kalah adalah kejadian di Tangerang, yang terjadi pada tanggal 13 mei yang lalu, dimana seorang perempuan berumur + 18 tahun, dibunuh dengan menggunakan gagang cangkul yang dimasukkan ke dalam alat kemaluan korban setelah sebelumnya disetubuhi dengan paksa oleh tiga orang pelaku. Miris disini dikarenakan pelaku ternyata masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kejadian lain yang tak kalah menyentak adalah kisah seorang pengusaha yang diduga telah memperkosa 58 (lima puluh delapan) anak. Peristiwa mengejutkan ini terjadi di Kota dan Kabupaten Kediri sejak 2013 silam. Dugaan tersebut muncul dari hasil penyelidikan polisi setelah sebelumnya seorang anak melaporkan pelaku yang sehari hari berprofesi sebagai kontraktor. Sampai tulisan ini dibuat, sang kontraktor sudah divonis selama 9 tahun penjara di PN Kediri. Selain perkara yang sudah vonis tersebut, masih ada 3 (tiga) korban lain dari si pelaku yang menunggu kelanjutan perkaranya di PN Kediri. Kisah-kisah tersebut memperlihatkan bahwa kondisi keselamatan anak dalam hal seksualitas memang sangat memprihatinkan.

Kondisi memperihatinkan tersebut kiranya patut disikapi dengan pembuatan kebijakan atau bentuk intervensi lain yang tepat untuk meningkatkan jaminan keamanan seksual pada anak-anak. Intervensi atau pembuatan kebijakan tersebut kiranya merupakan tanggung jawab pemerintah. Salah satu lembaga yang mewakili kehadiran pemerintah adalah Polri. Polri kemudian dapat menjadi salah satu aktor yang mengambil tanggung jawab ini dengan turut serta melibatkan pemangku kepentingan yang lain.

Permasalahan yang akan menjadi fokus adalah pertama bentuk dari program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, kedua siapa saja pihak yang akan dilibatkan dalam program ini, ketiga hal yang menjadi kriteria keberhasilan, keempat bagaimana mengimplementasikan program agar berhasil guna.

Konsep dan Penelitian Pendukung A. Penelitian Pendukung

Berbicara seksualitas tidak selalu berfokus kepada permasalahan seputar genital dan hubungan seksual. Permasalahan yang hendak dibahas jauh lebih luas dari kedua tema umum tersebut. Sebagaimana diungkap oleh Sciaraffa dan Randolph (2011) dalam tulisan yang berjudul “You Want Me to Talk to Children About What?” – Responding to the Subject of Sexuality Development in Young Children pada halaman 2.

(3)

Teachers need to be aware of the messages they send young children, because “how a child feels about himself, how he values himself, will also be tied up with his feelings about his own body. Since the child values his body products, considers them part of his body, he acquires some of his ‘good’ and ‘bad’ feelings about himself through these early attitudes toward his body and body products”

Teachers send a message to children if sexuality is the only topic they won’t discuss openly. Honig states,

“When adults are anxious and guilty about sexuality themselves, they can create havoc with young children’s ideas of reality”.

Teachers don’t wait to talk with young children about nutrition or traffi c safety; they need to treat sexuality in the same way. For example, a toddler teacher can indirectly provide information about sexuality when she changes a child’s diaper. She sends the toddler an infl uential message about her body if she wrinkles up her nose and tells her,

“Your poop is stinky. It’s time for you to learn to poop in the toilet.”

If instead the teacher tells the child,

“I’m going to change your diaper now, but one day you will use the potty all on your own,”

she can teach the child that there is nothing shameful about bodily functions. Adults who are open and positive help children develop a healthy attitude about their bodies, about being a boy or a girl, about having close relationships with others, and about asking questions about their bodies.

Bila anak memiliki pemahaman sedini mungkin tentang seksualitas yang benar, paling tidak anak dapat memberikan penghargaan terhadap tubuhnya, ia mengerti bagian mana yang tidak boleh disentuh orang lain. Sang anak mengerti apa itu malu dan bisa berkata tidak pada maksud buruk pelaku kejahatan. Kita bisa megharapkan sang anak untuk mempertahankan dirinya paling tidak secara verbal terhadap modus para pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak. Selain itu, anak yang sadar sejak dini tentang pemahaman dasar seksualitas juga dapat diharapkan untuk tidak melakukan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak yang lain. Bilamana sang anak memiliki gejala untuk mengembangkan kepribadian sedemikian, maka perilaku tersebut kiranya dapat diubah sejak dini. Berikut adalah penjelasan tentang perilaku-perilaku seksual secara umum yang sesuai dengan perkembangan kedewasaan anak yang disajikan oleh Stop it Now

(4)

behavior can be redirected with a simple instruction. Of particular concern are uncommon behaviors that a child seems unable to control after being asked to stop.

Preschool (0 to 5 years of age) – masa pra sekolah

Common: Sexual language relating to differences in body parts, bathroom talk, pregnancy and birth. Genital stimulation at home and in public. Showing and looking at private body parts.

Uncommon: Discussion of specific sexual acts or explicit sexual language. Adult-like sexual contact with other children.

School-age children (6 to 12 years of age) – masa sekolah

May include both pre-pubescent children and children who have already entered puberty, when hormonal changes are likely to trigger an increase in sexual awareness and interest.

Before puberty

Common: Questions about relationships and sexual behavior, menstruation and pregnancy. Experimentation with same-age children, often during games, kissing, touching, exhibitionism and role-playing. Private genital stimulation.

Uncommon: Adult-like sexual interactions, discussing specific sexual acts or public genital stimulation.

After puberty begins

Common: Increased curiosity about sexual materials and information, questions about relationships and sexual behavior,using sexual words and discussing sexual acts, particularly with peers. Increased experimenting including open-mouthed kissing, body-rubbing, fondling. Masturbating in private.

Uncommon: Consistent adult-like sexual behavior, including oral/genital contact or intercourse. Masturbating in public.

Adolescence (13 to 16 years of age) –masa remaja

Common: Questions about decision making, social relationships, and sexual customs. Masturbation in private.Experimenting between adolescents of the same age, including open-mouthed kissing, fondling and body rubbing, oral/genital contact. Also, voyeuristic

behaviors are common. Intercourse occurs in approximately one-third of this age group.

Uncommon: Masturbating in public and sexual interest directed toward much younger children (for example, non-peers).

Bila anak berumur di bawah 5 tahun memiliki ketertarikan untuk membahas tentang permasalahan tertentu seputar seksualitas atau sering melakukan kontak fisik yang melambangkan aktivitas seksual orang dewasa, maka sang anak tersebut harus diperhatikan lebih mendalam oleh orang tua maupun gurunya. Perilaku anak remaja yang tertangkap tangan melakukan masturbasi di tempat umum dan atau anak tersebut memiliki ketertarikan secara seksual terhadap anak yang jauh lebih muda umurnya dari dirinya, juga harus diperhatikan. Kedua perilaku ini adalah contoh dari bentuk perilaku yang tidak umum dalam perkembangan seksualitas anak berdasarkan tahapan kedewasaannya.

(5)

kekerasan seksual terhadap anak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pencegahan kekerasan seksual terhadap anak adalah hal yang sangat mungkin untuk dilakukan.

Selain Stop it Now, ada organisasi non profit yang juga bergerak dalam bidang pencegahan anak menjadi korban kekerasan seksual yang menguraikan langkah-langkah pencegahan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pencegahan tersebut ada 7 (tujuh) langkah yang dijelaskan dalam booklet yang dicetak dan disebarluaskan oleh organisasi non-profit yang berlokasi di Charleston, South Carolina, Amerika. Ketujuh langkah yang disebutkan dalam booklet dapat menjadi permulaan karena langkah-langkah tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman dan kesadaran pada para pihak yang berkepentingan tentang hal-hal seputar kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Langkah tersebut antara lain :

Step 1. Learn the facts. Understand the risks.

Pada awalnya, para orangtua, guru, maupun setiap pihak yang berkepentingan dengan pencegahan kekerasan terhadap anak, harus menyadari realita bahwa kekerasan seksual dapat terjadi sekalipun di lingkungan yang kelihatannya indah, aman dan tentram. Booklet mengutip bahwa hampir 70% dari kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi pada korban 17 tahun ke bawah, 9 tahun adalah umur median dari umur para korban kekerasan seksual yang dilaporkan, 20% korban dari kekerasan seksual berumur kurang dari 8 tahun dan kebanyakan korban anak-anak tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Fakta-fakta seperti ini harus disadari terlebih dahulu oleh para pemangku kepentingan yang memiliki andil dalam aksi pencegahan kekerasan seksual.

Step 2. Minimize opportunity.

(6)

Step 3. Talk about it.

Children often keep abuse secret, but barriers can be broken down by talking openly about it. Bila para orang tua, penyidik Polri maupun aktivis hak perempuan dan anak, menyadari bahwa anak-anak sulit untuk mengatakan hal-hal memalukan yang menimpa mereka. Penyebabnya misalkan :

Pelaku kekerasan seksual mengajari anak di bawah umur yang menjadi korbannya bahwa hal itu terjadi karena si anak yang menginginkan hal itu, atau bila ia hendak menceritakan kejadian yang ia alami kepada orang tuanya, mereka akan marah dan kecewa; Pelaku dapat membuat anak yang menjadi korbannya bingung tentang apa yang baik dan apa yang dilarang;

Anak-anak umumnya tidak mau mengecewakan atau membuat ayah-ibunya marah serta banyak anak yang masih terlalu muda untuk mengerti.

Untuk mencegah anak menjadi menutup diri berkenaan dengan permasalahan seksualitas, orang terdekat dari anak-anak harus mengajarkan hal berikut :

Mengajarkan anak sedini mungkin tentang bagian bagian tubuh mereka terutama bagian genital, mana bagian tubuh yang terlarang untuk disentuh oleh orang yang tidak dikenal;

Anak harus mengerti bahwa pelaku kekerasan seksual terhadapnya bisa saja berasal dari orang-orang terdekatnya;

Awali sedini mungkin dan sesering mungkin. Gunakan kesempatan setiap hari untuk mendiskusikan tentang kekerasan seksual;

Orang tua harus pro aktif. Bila anak menjadi resisten terhadap percakapan, tanyakan alasannya.

Step 4. Stay alert.

(7)

membawa anak mereka kepada ahli yang memiliki spesialisasi dalam bidang kejahatan seksual terhadap anak.

Step 5. Make a plan.

Learn where to go, whom to call and how to react. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi institusi atau lembaga yang ada di kota atau kabupaten atau daerah tertentu, yang memiliki kualifikasi untuk membantu anak-anak yang menjadi korban kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.

Step 6. Act on suspicions.

The future well-being of a child is at stake. Kesadaran tentang kejahatan kekerasan seksual pada anak akan dapat ditingkatkan bila masyarakat memiliki keberanian untuk melaporkan hal-hal yang mencurigakan. Bila pelapor belum yakin seutuhnya tentang situasi yang sedang ia hadapi (minimnya bkti dan saksi) pelapor tetap dapat berkonsultasi dengan ahli yang memiliki kompetensi dalam hal assessment kondisi kejiwaan anak misalnya.

Step 7. Get involved.

Volunteer and financially support organizations that fight the tragedy of child sexual abuse.

Kesadaran tentang bahaya kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dan keinginan untuk terlibat dalam pencegahannya dapat dilanjutkan dengan identifikasi awal terhadap kemungkinan seseorang menjadi pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Ciri umum yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi calon pelaku dapat dikutip dari artikel yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh Stop It Now. Prevent Child Sexual Abuse: Fact about sexual abuse and how to prevent it. Halaman 7 dari artikel tersebut menjelaskan bahwa, orang dewasa, remaja atau anak di bawah umur yang memperlihatkan tanda-tanda berikut, dapat dicurigai memiliki niat untuk melakukan kejahatan kekerasan seksual bila situasinya memungkinkan :

Makes others uncomfortable by ignoring social, emotional or physical boundaries or limits?

Refuses to let a child set any of his or her own limits? Uses teasing or belittling language to keep a child from setting a limit?

Insists on hugging, touching, kissing, tickling, wrestling with or holding a child even when the child does not want this physical contact or attention?

Frequently makes sexual references or tells sexual or suggestive jokes with children present?

(8)

Has secret interactions with teens or children (such as games, sharing drugs, alcohol, or sexual material) or spends excessive time emailing, text messaging or calling children or youth?

Seems “too good to be true,” for example, baby sits different children for free; takes children on special outings alone; buys children gifts or gives them money for no apparent reason?

Allows children or teens to consistently get away with inappropriate behaviors?

Kesadaran akan fakta-fakta tentang kejahatan kekerasan seksual dan identifikasi ciri umum pelaku kejahatan kekerasan seksual dapat diikuti dengan identifikasi ciri umum anak di bawah umur yang menjadi korbannya. Ciri umum tersebut misalnya:

Nightmares, sleep problems, extreme fears without an obvious explanation Sudden or unexplained personality changes; seems withdrawn, angry, moody, clingy, “checked-out” or shows significant changes in eating habits

An older child behaving like a younger child (for example,bedwetting or thumb-sucking)

Develops fear of certain places or resists being alone with an adult or young person for unknown reasons

Shows resistance to routine bathing, toileting or removing clothes even in appropriate situations

Play, writing, drawings or dreams of sexual or frightening images Refuses to talk about a secret he or she has with an adult or older child Stomach aches or illness, often withno identifiable reason

Leaves clues that seem likely to provoke a discussion about sexual issues Uses new or adult words for body parts

Engages in adult-like sexual activities with toys, objects or other children

Develops special relationship with older friends that may include unexplained money, gifts or privileges

Intentionally harms himself or herself, for example, drug/alcohol use, cutting, burning, running away, sexual promiscuity

Becomes increasingly secretive around use of the Internet or cell phone

Develops physical symptoms such as unexplained soreness, pain or bruises around genital or mouth, sexually-transmitted disease, or pregnancy

(9)

saja serta dapat menimpa siapa saja, dapat menjadi modal awal atau langkah pertama para pihak yang berkepentingan dengan program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak untuk melibatkan diri dalam program tersebut.

Pendidikan di sekolah menjadi langkah berikutnya dalam aksi pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Pilihan ini ‘dilegitimasi’ oleh beberapa penelitian yang mengkonfirmasi tentang kebergunaan pendidikan dini tentang seksualitas kepada anak. Sebagaimana dijelaskan oleh Cohcrane Developmental, Psychological and Learning Problems Groups dalam review penelitian tentang School-based Education Programmes for the prevention of child sexual abuse3,

Background and review question

School-based education programmes for the prevention of child sexual abuse have been implemented on a large scale in some countries. We reviewed the evidence for the effectiveness of these programmes in the following areas: (i) children's skills in protective behaviours; (ii) children's knowledge of child sexual abuse prevention concepts; (iii) children's retention of protective behaviours over time; (iv) children's retention of knowledge over time; (v) parental or child anxiety or fear as a result of programme participation; and (vi) disclosures of past or current child sexual abuse during or after programmes. The evidence is current to September 2014.

Study characteristics

This review included 24 studies, conducted with a total of 5802 participants in primary (elementary) and secondary (high) schools in the United States, Canada, China, Germany, Spain, Taiwan, and Turkey. The duration of interventions ranged from a single 45-minute session to eight 20-minute sessions on consecutive days. Although a wide range of programmes were used, there were many common elements, including the teaching of safety rules, body ownership, private parts of the body, distinguishing types of touches and types of secrets, and who to tell. Programme delivery formats included film, video or DVD, theatrical plays, and multimedia presentations. Other resources used included songs, puppets, comics, and colouring books. Teaching methods used in delivery included rehearsal, practice, role-play, discussion, and feedback.

Key results

This review found evidence that school-based sexual abuse prevention programmes were effective in increasing participants' skills in protective behaviours and knowledge of sexual abuse prevention concepts (measured via questionnaires or vignettes). Knowledge gains (measured via questionnaires) were not significantly eroded one to six months after the intervention for either intervention or control groups. In terms of harm, there was no evidence that programmes increased or decreased children's anxiety or fear. No studies measured parental anxiety or fear. Children exposed to a child sexual abuse prevention programme had greater odds of disclosing their abuse than children who had not been exposed, however we were more uncertain about this effect when the analysis was adjusted to account for the grouping of participants in classes or schools. Studies have not yet

3 Diterbitkan secara online pada 16 April 2015. Nama peneliti yang terlibat a.l Kerryan Walsh, Karen Zwi, Susan Woolfenden dan Aron Shlonsky.

(10)

adequately measured the long-term benefits of programmes in terms of reducing the incidence or prevalence (or both) of child sexual abuse in programme participants.

Paragraph singkat di atas menjelaskan pada bagian key note bahwa program pencegahan penyalahgunaan seksual terhadap anak yang dilakukan di sekolah cukup efektif dalam rangka meningkatkan kemampuan peserta tentang perilaku dan pengetahuan untuk melindungi anak. Sebagai tambahan, pengetahuan yang diperoleh tidak akan mudah hilang sampai 6 (enam) bulan ke depan dari program pencegahan penyalahgunaan seksual terhadap anak. Anak yang diikutsertakan dalam program pencegahan penyalahgunaan seksualitas terhadap anak juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengungkapkan kondisi mereka daripada anak-anak yang belum diikutsertakan dalam program tersebut.

Penelitian selanjutnya yang juga mengungkapkan pentingnya pendidikan tentang seksualitas sejak dini adalah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Ira Paramasastri di daerah Yogyakarta dengan lokasi penelitian beberapa SD Yogyakarta. Pihak yang menjadi informan adalah siswa SD kelas 4, orang tua murid dan guru. Secara singkat, penelitian tersebut menunjukkan bahwa untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual, hal yang sangat dibutuhkan adalah pendidikan seksual sedini mungkin kepada anak.

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa program pencegahan kekerasan seksual pada anak sangat diharapkan untuk dilakukan. Hal tersebut dimaksudkan agar korban kekerasan seksual pada anak tidak terus bertambah. Semua subjek sependapat bahwa upaya pencegahan kekerasan seksual tersebut merupakan tanggungjawab semua pihak. Meskipun demikian, subjek sangat mengharapkan pihak‐pihak yang berinisiatif untuk menggerakkan upaya pencegahan tersebut.

Sasaran utama program pencegahan adalah anak, sedangkan sasaran sekunder adalah orangtua dan guru. Program pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan model diskusi kelompok (kelompok kecil dengan jenis kelamin yang sama dan usia sebaya), dengan media komik (cerita bergambar). Sementara itu, fasilitator diharapkan memiliki jenis kelamin sama dengan sasaran. Satu hal yang terpenting adalah bahwa dalam penggunaan media, jangan sampai justru membuat pesan yang keliru kepada sasaran. Selain itu juga dalam program tersebut perlu diselipkan mengenai UU PA sebagai upaya sosialisasi UU PA4.

Hal senada juga diungkapkan oleh situs texasattorney, hal yang dibutuhkan untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual adalah pendidikan kepada orang tua yang memiliki anak di bawah umur. Orang tua dapat menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya bila ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk mendidik anak. Kedua pasangan suami istri yang baru memiliki anak, biasanya mendidik anak mereka berdasarkan cara orang tua mereka dahulu mendidik mereka. Perubahan zaman tentunya menuntut perubahan pula dalam cara mendidik anak. Hal ini mengindikasikan bahwa orang tua dapat

(11)

menyebabkan anaknya menjadi korban kekerasan bila keduanya hanya mendidik anak berdasarkan pengalaman mereka saat dididik oleh orang tuanya dahulu. Model pendidikan yang mungkin lebih mengedepankan otoritas orang tua kemudian diadopsi padahal seharusnya si anak dididik dengan cara yang lebih demokratis dan menempatkan orang tua sebagai teman alih alih sebagai pimpinan. Penjelasan singkat tersebut kiranya dapat membuka mata kita dan menunjukkan bahwa, orang tua dapat menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri baik secara sadar maupun tidak disadari.

Risty Justicia dalam tulisannya tentang Program Underwear Rules Untuk Mencegah Kekerasan Seksual Pada Anak Usia Dini menjelaskan bahwa tujuan pemberian pendidikan seks sejak dini kepada anak antara lain :

memberikan pelajaran tentang peran jenis kelaminterutama tentang topik biologis seperti kehamilan, haid, pubertas, dll;

memberikan pemahaman tentang bagaimana sikap dan cara bergaul dengan lawan jenis;

mencegah terjadinya penyimpangan seksual;

mampu membedakan mana bentuk pelecehan atau kekerasan seksual dan mana yang bukan;

mencegah agar anak tidak menjadi korban atau–bahkan pelaku– pelecehan atau kekerasan seksual;

menumbuhkan sikap berani untuk melapor bila terjadi atau menjadi korban kekerasan seksual terhadap anak.

Bila tulisan sebelumnya mengungkapkan pentingnya program pendidikan seksualitas pada anak sejak dini, tulisan Anwar Fuadi (2011) yang berjudul Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomenologi, menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan seksual dari 3 (tiga) faktor:

1. Faktor kelalaian orang tua: banyak orang tua tidak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan serta pergaulan anaknya yang membuat sang anak rentan menjadi korban kekerasan seksual;

2. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku: pelaku kekerasan atau kejahatan seksual pada umumnya tidak memiliki moral dan mental yang bertumbuh dengan baik. Hal ini membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu dan pikirannya;

3. Faktor ekonomi: salah satu cara yang digunakan oleh pelaku untuk menjerat korbannya adalah dengan memberikan iming-iming secara ekonomis kepada korban, agar korban menuruti kemauannya.

(12)

diidentifikasi sejak usia anak-anak sampai dengan remaja. Bila faktor psikologi ini dapat diketahui sejak awal, maka ada kemungkinan calon pelaku dapat memperbaiki pemahaman dan penghargaannya tentang seksualitas. Faktor ekonomi yang menjadi faktor ketiga dapat dicegah dengan pendidikan seks sejak dini dimana anak diberikan pengertian tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya. Anak dapat melakukan penolakan secara verbal, ataupun dapat menjelaskan kepada orang tuanya bilamana telah terjadi suatu kejahatan kekerasan seksual.

Penjelasan di atas adalah hal-hal yang kiranya menurut penulis memberikan penekanan tentang pentingnya program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk pendidikan terhadap orang tua si anak dan anak itu sendiri. Garda paling awal dan paling depan dalam pencegahan tentunya adalah sang orang tua itu sendiri mengingat si anak masih belum memiliki pemahaman yang utuh mengenai kekerasan seksual.

B. Aturan Hukum

Amanat untuk memberikan perlindungan kepada anak dari ancaman kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, telah diundangkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan. Perlindungan terhadap anak dipandang perlu mengingat setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi serta bentuk eksploitasi lain baik secara ekonomi, seksual, penelantaran, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya. Selain itu, masih banyak anak yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis sehingga diperlukan upaya untuk melakukan pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak.

Naskah Akademik dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan menjelaskan bahwa peraturan tersebut hendak menghadirkan program pencegahan kekerasan terhadap anak di tiga lokasi yaitu di lingkungan keluarga, di masyarakat dan di lingkungan pendidikan. Penjelasan yang diberikan untuk masing-masing program adalah:

a) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga

Peningkatan pemahaman HAM termasuk di dalamnya hak anak dan kesetaraan gender;

Peningkatan kesadaran hukum dan dampak kekerasan terhadap anak; Pengintegrasian program pencegahan kekerasan terhadap anak dalam program pemberdayaan keluarga;

(13)

b) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan masyarakat

Peningkatan pemahaman terhadap HAM termasuk di dalamnya hak anak dan kesetaraan gender;

Peningkatan kesadaran masyarakat tentang hukum dan dampak kekerasan terhadap anak;

Pengintegrasian program pencegahan kekerasan terhadap anak dalam program pemberdayaan masyarakat;

Penguatan peran komunitas peduli anak melalui pelatihan pola pengasuhan anak;

Mendorong upaya penegakan ketentuan peraturan perundang undangan untuk mencegah kekerasan terhadap anak.

c) Program pencegahan kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan.

Peningkatan pemahaman tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik tentang hak anak dan kesetaraan gender;

Pengembangan tata tertib dan peraturan sekolah yang ramah anak dan berspektif gender;

Adapun lembaga yang diberikan tugas sebagai pelaksana dari program-program yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementrian Agama, Lembaga Masyarakat, Perguruan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Sosial, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Media Massa, Kementrian Kesehatan, BKKBN, Pemda Provinsi/Kab/Kota, Mabes Polri (Polda, Polres dan Polsek). Peran dari Polri sendiri dijelaskan dalam bagian Program Pencegahan Kekerasan Di Lingkungan Masyarakat pada butir mendorong upaya penegakan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Output yang diharapkan dari program ini adalah pemberian sanksi hukum yang berat terhadap pelaku kekerasan terhadap anak. Selain itu, pada bagian kegiatan dan pelaksanaan, dijelaskan bahwa peran Polri ada pada posisi memberdayakan pemolisian masyarakat (polmas) dalam pencegahan kekerasan terhadap anak yang selayaknya dilakukan oleh Polri dan jajarannya dari Sabang sampai Merauke.

(14)

lingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan. Perluasan peran ini dapat dilakukan dengan memfungsikan Bhabinkamtibmas.

Dasar hukum bagi Bhabinkamtibmas untuk berperan dalam program pencegahan kekerasan terhadap anak secara khusus pencegahan kekerasan seksual adalah pasal 16 Peraturan Kapolri nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat. Kekerasan Seksual yang terjadi terhadap seorang anak di lingkungan pemukiman tertentu, umumnya akan menjadi sebuah permasalahan sosial yang dapat mempengaruhi kondisi kamtibmas di lingkungan tersebut. Stabilitas kondisi kamtibmas tersebut adalah salah satu tugas Bhabinkamtibmas sebagaimana diatur dalam PerKap tentang Polmas. Isi pasal tersebut yang mengatur tentang tugas pengemban Polmas antara lain :

1) Melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, negosiasi/mediasi, identifikasi dan mendokumentasi data komunitas di tempat penugasannya yang berkaitan dengan kondisi kamtibmas;

2) Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat atau komunitas di tempat penugasannya tentang Kamtibmas;

3) Melaksanakan komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat atau komunitas di tempat penugasannya tentang pemeliharaan Kamtibmas; dan 4) Melaksanakan konsultasi dan diskusi dengan masyarakat atau komunitas

di tempat penugasannya tentang pemecahan masalah Kamtibmas.

C. Program dan Pemangku Kepentingan yang terlibat

Contoh materi atau isi dari Program Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang dapat menjadi bahan bimbingan dari Bhabinkamtibmas kepada masyarakat di wilayah tugasnya antara lain:

Program Underwear yang dijelaskan oleh Risty Justicia (2016) , dimana program ini sejatinya merupakan program yang dipelopori oleh organisasi di Inggris yang mengkhususkan diri dalam perlindungan anak dan pencegahan kekerasan terhadap anak. Organisasi tersebut adalah NSPCC (The National Society for the Prevention of Cruelty to Children). Program ini pada intinya memberikan penekanan pada 5 hal yang disingkat dengan PANTS

(15)

o Always remember your body belongs to you – Anak harus diajarkan bahwa tubuhnya adlah istimewa dan tidak boleh ada orang lain yang boleh melakukan sesuatu dengan tubuh sang anak. Bila ada orang yang hendak atau sudah melakukan hal tersebut, sang anak agar tidak segan untuk melaporkan hal tersebut pada orang yang ia percaya.

o No means no – anak harus berlajar untuk berkata tidak pada orang yang hendak menyalahgunakan kepercayaan sang anak dalam hal seksualitas.

o Talk about secret that upset you – orang tua dan keluarga mengajarkan anak untuk tidak malu menceritakan rahasia atau isi hati yang ada dalam pikirannya. Harus dibedakan antara rahasia yang baik dan rahasia yang buruk, terutama buruk bagi perkembangan jiwa sang anak. Anak harus diperkenalkan dengan kejujuran dan kenyamanan saat membicarakan apa yang ia rasakan dengan orang tuanya atau orang lain yang dapat dipercaya.

o Speak up, someone can help – orang tua dapat mendorong anak untuk selalu membicarakan permasalahan yang ia hadapi tidak selalu dengan orang tua, tetapi juga dapat dibicarakan dengan paman, bibi, guru, teman sekolah atau orang lain yang ia percaya.

Materi program yang disampaikan oleh US Department of Health and Human Services. Program yang dijelaskan oleh Lembaga ini terutama ditujukan pada instansi yang banyak diisi atau diikuti oleh anak usia remaja. Beberapa materi5 tersebut antara lain :

o One-on-one interactions

Some organizations have a policy to limit one-on-one interactions between youth and adults (i.e., having at least two adults present at all times with youth). The goal of such a policy is to prevent the isolation of one adult and one youth, a situation that elevates the risk for child sexual abuse. This strategy must be modified based on the mission of your organization.

Limit one-on-one interactions whenever possible by having at least two adults present at all times with youth.

Choose one of three options relating to this policy:Make this a mandatory policy at all times.

Make this policy dependent on the risk of the activity or situation, such as overnight trips.

Maintain other safeguards such as extra supervision or contact with youth and 5US Department of Health and Human Services. Preventing Child Sexual Abuse Within

(16)

employees/volunteers and more stringent screening if the mission of your organization requires one-on-one time between employees/volunteers and youth (e.g., mentoring programs).

o Prohibitions and restrictions on certain activities

Some activities, such as hazing and secret ceremonies, overnight trips, bathing, changing, bathroom interactions, and nighttime activities, pose greater risks for child sexual abuse. Prohibiting or restricting such activities will depend largely on the context of your organization. For example, a sleep-away camp would not be able to prohibit overnight trips or bathing

o Caregiver information and permission

Your organization should obtain addresses and contact information for youth and caregivers (i.e., parents and guardians). This information should never be released to unauthorized individuals. Your organization also should obtain permission from caregivers for youth to participate in certain activities, such as field trips, late-night activities, and overnight trips.

 Inform caregivers about what their children/youth will be doing and where they will be going.

 Allow caregivers to have input on what activities or interactions they are comfortable with for their children.

Peran Polri dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dapat dilaksanakan melalui Polmas dengan cara membina masyarakat di lingkungan tugas Bhabinkamtibmas agar memahami kejahatan kekerasan seksual pada anak. Materi program pencegahan tidak harus mengikuti contoh materi yang penulis berikan di atas tetapi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi antropologis, sosiologis dan demografis wilayah penugasan Bhabinkamtibmas.

Selain Polri, aktor lain yang dapat diikutsertakan dalam program pencegahan kekerasan terhadap anak sebagaimana diamanatkan oleh Peratuan Menteri nomor 6 tahun 2011 adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Masyarakat dan Media Massa. Bentuk program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dengan demikian adalah kerjasama Polri dengan dengan para pemangku kepentingan lainnya dalam hal pemberian pendidikan seputar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak dan orang tua. Peran Polri dalam program pencegahan anak menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual adalah sebagai inisiator program pendidikan dan pengenalan seksualitas yang sehat sejak dini terhadap anak dan orang tua. Sebagai inisiator, Polri dapat menjadi penggerak pertama program dan mengajak pihak-pihak terkait lainnya untuk ikut terlibat.

(17)

PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) dari Satuan Fungsi Reserse Kriminal. Unit PPA yang memiliki kewenangan penyidikan pidana yang berhubungan dengan anak dan perempuan, dapat menjadi ujung tombak pencegahan kekerasan seksual terhadap anak bersama dengan Bhabinkamtibmas sekaligus agen pelaksana penindakan. Ketua Pelaksana dengan demikian dilaksanakan oleh Kasat Binmas dan wakil pelaksana adalah Kasat Reskrim yang dilaksanakan oleh Kepala Unit PPA. Tim kecil ini bertanggung jawab langsung kepada Kapolres dalam setiap pelaksanaan tugas.

Langkah-langkah pelaksanaan program antara lain :

1. Menyamakan persepsi antara institusi kepolisian, Kementrian dan atau Pemda serta Lembaga Masyarakat dan Media Massa tentang pentingnya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di domain atau wilayah administratif masing-masing;

2. Pertemuan antara masing-masing pimpinan Institusi atau lembaga untuk membicarakan teknis pelaksanaan program, terutama tentang anggaran yang akan digunakan;

3. Menyusun nota kesepahaman antara masing-masing institusi tentang Program Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap anak;

4. Kepala Satuan Wilayah Polri mengeluarkan Surat Perintah untuk Kasat Binmas dan Kanit PPA untuk bekerja sama dengan perwakilan dari Kementrian dan atau Pemda serta Lembaga Masyarakat dan Media Massa;

Gambar 1 Program dan Aktor yang terlibat

(18)

5. Lokasi atau wilayah yang menjadi sasaran program terutama adalah kawasan padat penduduk, atau daerah yang tinggi angka kriminalitas terutama kejahatan seksual.

Kriteria Keberhasilan

Objek yang menjadi sasaran dari program ini terutama adalah semua siswa sekolah dasar dan sekolah menengah di wilayah hukum Kesatuan Polri serta seluruh orang tua yang memiliki anak. Masing-masing anak dan orang tua yang sudah mendapatkan pendidikan tentang seksualitas dan pendidikan tentang metode parenting yang baik kemudian akan didatakan untuk menjadi bahan analisa, bila di masa depan mereka terlibat dalam perkara kekerasan terhadap anak baik dalam posisi sebagai pelaku maupun sebagai korban.

Program Pencegahan Kekerasan terhadap anak dapat dianggap sebagai program yang hendak menularkan perilaku yang lebih baik dari orang tua terhadap anak dan pemahaman yang lebih baik dari masing-masing anak terhadap permasalahan seputar seksualitas. Perilaku parenting yang baik dan pemahaman anak sejak dini terhadap seksualitas ini selanjutnya diharapkan meluas kepada orang tua dan anak-anak lainnya. Bila dapat diterapkan di sekolah, terutama pada tingkat SD, awal SMP dan awal SMA, maka diharapkan jumlah anak yang memahami tentang makna seksualitas akan semakin bertambah kuantitas dan kualitasnya.

Orang tua dan anak yang telah ‘terjangkit’ dengan ‘virus’ kesadaran bahaya kekerasan seksualitas terhadap anak akan menjadi agen perubahan di lingkungannya masing-masing. Kesadaran ini harus ditumbuhkan oleh petugas Bhabinkamtibmas di wilayah hukumnya masing-masing. Kasat Binmas dapat menjadi motor penggerak untuk memastikan program berjalan dan agen perubahan bekerja untuk ‘menularkan’ ‘virus kesadarannya’.

Implementasi Program

a) Strategi Implementasi

(19)

bukan hanya bagi Polri saja. Hubungan Tata Cara Kerja dari masing-masing institusi atau lembaga dilaksanakan dan dihormati. Tetapi hasil akhir yang hendak dicapai tentu berupa pemangkasan birokrasi.

b) Menjual rencana

Program ini akan menjadi perhatian dari para pemangku kepentingan karena pada dasarnya program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak ini sederhana dan tidak rumit. Sasaran yang hendak dicapai adalah keseluruhan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah yang memahami tentang pendidikan seksualitas dan keterwakilan orang tua dari masing-masing desa atau kelurahan untuk menjadi agen perubahan yang dapat menularkan ‘virus kesadaran’ akan pentingnya metode parenting yang tepat dalam mendidik anak terutama dalam hal mengajarkan pendidikan seksual sejak dini. Aksi yang harus dilakukan dalam hal ini terutama adalah pendataan tentang jumlah anak dan jumlah perwakilan orang tua serta perkiraan waktu yang dibutuhkan. Kedua variable tersebut akan menjadi dasar perhitungan untuk menentukan jumlah petugas yang harus dilibatkan, berapa banyak fasilitas bangunan dan sarana lainnya yang dibutuhkan serta jumlah anggaran yang harus digunakan. Sukses tidaknya program ini dapat diukur dari kuantitas jumlah murid dan jumlah orang tua yang sudah mendapatkan pendidikan tentang seksualitas sejak dini.

c) Evaluasi rencana

Program Pencegahan Kekerasan Seksualitas terhadap anak dapat dievaluasi dari 4 sisi yaitu :

i) Dukungan personil;

Jumlah murid Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah serta jumlah orang tua dari masing-masing desa atau kelurahan dapat menjadi ukuran untuk menentukan jumlah personil yang harus dilibatkan dalam program.

ii) Dukungan anggaran;

Masing-masing lembaga dan institusi negara dapat memutuskan untuk mengalokasikan dana sebanyak jumlah personil dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran program. Dana yang dibutuhkan misalnya untuk biaya makan, biaya alat tulis, biaya komunikasi, dan lain lain.

(20)

Infratruktur yang dibutuhkan dapat disumbangkan oleh Polri (gedung FKPM) , Dinas Pendidikan dan kesehatan maupun Kepala Daerah tingkat Desa atau kelurahan Gedung Balai desa).

iv) Dukungan teknologi

Teknologi yang dibutuhkan untuk melaksanakan program terutama adalah teknologi yang didukung oleh media sosial. Hal ini dibutuhkan agar komunikasi antar masing-masing pelaksana program dapat berjalan maksimal, memudahkan birokrasi dan memperluas jaringan informasi dari semua lembaga atau institusi negara. Dukungan teknologi juga dapat menjadi cara untuk mengidentifikasi apakah sepasang orang tua dan anak mereka telah mendapatkan pendidikan seksualitas sejak dini dalam rangka untuk mencegah kekerasan seksual terhadap anak.

d) Menjalankan rencana : Program Pencegahan Kekerasan Seksual tehadap anak yang melibatkan beberapa institusi atau lembaga pemerintah tentunya harus dilaksanakan dengan menggunakan alternative dipimpin oleh salah satu lembaga atau berupa model kolaborasi atau jaringan interorganisasi. Mengingat Program ini melibatkan beberapa organisasi tetapi dalam pelaksanaannya masing-masing petugas dari setiap organisasi harus berkolaborasi dalam pelaksanaan program, maka model pelaksanaan dari program ini tentunya dalam bentuk model kolaborasi antar masing-masing institusi. Kolaborasi dapat dijelaskan dengan penjelasan tentang peran dari masing-masing pemangku kepentingan.

 Peran Polri:

i. Menjadi inisiator berjalannya program Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak;

ii. Memberikan materi pelatihan terhadap Bhabinkamtibmas dan unit PPA dalam hal pendidikan seksualitas sejak dini pada anak;

iii. Bekerjasama dengan para pemangku kepentingan lain untuk menjalankan program;

iv. Memberdayakan FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) sebagai wadah pembinaan bagi warga di wilayah penugasan Bhabinkamtibmas.

 Peran Pemda atau Kementrian

(21)

ii. Merumuskan materi program Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak yang akan diberikan kepada masyarakat. Hal ini terutama dapat diamanatkan kepada dinas kesehatan dan dinas pendidikan;

iii. Merumuskan kebijakan publik yang dapat mendukung program Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak;

iv. Mengalokasikan anggaran sebagaimana ditegaskan dalam pasal 11 Peraturan Menteri nomor 6 tahun 2011, bahwa Penganggaran dilakukan sesuai dengan kemampuan anggaran daerah.

 Peran Lembaga Swasta dan atau Media Massa :

i. Memberikan pendidikan melalui berita yang mendidik dan tidak vulgar; ii. Pemberitaan yang berimbang dan memperhatikan aspek psikologis anak dalam artikel yang berhubungan dengan korban atau pelaku kekerasan seksual pada anak;

iii. Meningkatkan peran masyarakat dan memaksimalkan pengawasan terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik terhadap pelaku Kejahatan Kekerasan terhadap Anak;

 Peran Orang tua :

i. Turut serta dan aktif dalam program Pencegahan Kekerasan terhadap Anak;

ii. Menginformasikan kepada petugas Bhabinkamtibmas tentang hal-hal yang berkenaan dengan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak di tempat tinggalnya atau di lokasi manapun yang ia ketahui;

iii. Memberikan pendidikan tentang seksualitas sejak dini terhadap anak sesuai dengan materi program yang diberikan oleh Bhabinkamtibmas atau Kanit PPA.

(22)

Keinginan untuk mencegah anak menjadi korban Kekerasan Seksual dapat dilaksanakan dengan mengajari anak agar sadar tentang seksualitas sejak dini. Bila anak dan orang tua memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang seksualitas, anak tidak akan menjadi santapan para pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dengan mudahnya.

Lambannya perkembangan program Pencegahan Kekerasan terhadap Anak yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan nomor 6 tahun 2011 kiranya dapat diakselerasi bila Polri berkenan untuk menjadi inisiator dalam rangka memulai program pencegahan kekerasan seksual terhadap anak karena jajaran Polri memiliki ujung tombak Bhabinkamtibmas selaku pengembang fungsi Polmas yang diatur dalam PerKap nomor 3 tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA

(23)

Freddy Rangkuti. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Analisis SWOT. PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan ketujuh belas. 2013.

Ronald L Akers. Teori Teori Kriminologis-Pengantar dan Evaluasi. PTIK, Jakarta 2013.

Slide kuliah Dr Bambang Indriyanto, Mata Kuliah Manajemen Strategis. Diberikan pada Kuliah mahasiswa PTIK S2 angkatan V. 2016.

e- Jurnal (soft copy)

Judith V. Becker. Offenders: Characteristics and Treatment. The Futur of Children. SEXUAL ABUSE OF CHILDREN. Vol.4. no.2. University of Arizona. 1994.

Booklet. 7 Steps To Protecting Our Children – A Guide For Responsible Adults. www.darkness2light.org/7steps/7steps bibliography.asp. 2007

Janet Saul dan Natalie C.A. US Department of Health and Human Services. Preventing Child Sexual Abuse Within Youth-serving Organizations: Getting Started on Policies and Procedures. 2007

Stop it Now. Prevent Child Sexual Abuse. Facts about sexual abuse and how to prevent it. . www.stopitnow.org. 2008

Ira Paramastri, et all. Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children. Jurnal Psikologi. Vol 37, no.1. Fakultas Psikologi , Universitas Gajahmad, Juni 2010.

Valerie Wright, Ph.D. Deterrence in Criminal Justice.Evaluating Certainty vs Severity of Punishment. The Sentencing Project. November 2010.

Kelly K, Ph.D. Sexual Offender Laws and Prevention of Sexual Violence or Recidivism. Am J Public Health.v.100(3). Maret 2010.

Fuadi, Anwar. Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam (JPI). Lembaga Penelitian Pengembangan Psikologi dan Keislaman (LP3K) Vol 8 no.2 Januari 2011

Mary Sciaraffa dan Theresa Randolph. “You Want Me to Talk to Children about What”-Responding to the Subject of Sexuality Development in Young Children. National Association for the Education of Young Children. www.naeyc.org/yc/permissions . 2011.

NSPCC. Child Sexual Abuse-an NSPCC Research Briefing. July 2013.

Ryan A McRae. Child Abuse: Signs, Symptoms, and the role of the School Counselor. Winona State University 2016.

Risty Justicia. Program Underwear Rules Untuk Mencegah Kekerasan Seksual Pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Usia Dini. Universitas Pendidikan Indonesia. 2016.

(24)

Fred S Berlin, et all. Pedopilia:Diagnostic Concepts Treatment, and Ethical Considerations. Johns Hopkins University.

Triwijati, Endah. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya dan Savy Amira Women’s Crisis Center

Peraturan

Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor 6 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan terhadap anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan.

Peraturan Kapolri nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat.

Laman Maya

Kerryann Walsh, et all. Cochrane Library

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD004380.pub3/ full#CD004380-bbs2-0157. Diterbitkan online April 2015.

Mecasa. Maine Coalition Against Sexual Assault. http://www.mecasa.org/child-sexual-abuse-prevention/

Gambar

Gambar 1  Program dan Aktor yang terlibat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil-hasil penelitian pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa faktor psikologi individu seperti sifat kepribadian merupakan salah satu variabel penting yang

dsarnya dalam hisab awal waktu salat adalah menghitung kapan matahari menempati posisi tertentu yang sekaligus menjadi penunjuk masuknya awal waktu salat. Faktor penyebab

Pembentukan identitas Kota Bogor dari karakter streetscape -nya, dipengaruhi oleh pola sirkulasi kota yang menyebabkan koridor tertentu menjadi lebih sering dilalui

peningkatan dari umur tegakan damar dan umur tegakan damar memiliki hubungan dengan biomasa serta cadangan karbon tegakan damar dan pola hubungan yang

Namun, efek penting yang bisa diamati pada performa neutronik bahan bakar blok VHTR adalah ketergantungan k ∞ pada radius kernel berkurang seiring dengan berkurangnya radius

Penulis dapat mengatakan bahwa pelaksanaan pengawasan tahunan yang dilakukan oleh Inspektorat Kota Baubau terhadap capaian kinerja Badan Kepegawaian Daerah Kota Baubau

Merujuk praktek reform di Kota Solo misalnya, kewenangan baru dapat berbuah perubahan (actual power) ketika bertemu dengan sejumlah faktor lain, seperti kemampuan aktor membangun

Dengan algoritma ant colony optimization ini nantinya akan diperoleh rute distribusi dengan jarak yang optimal, jumlah truk, serta biaya yang dibutuhkan dalam