• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Model Pembelajaran Inquiry Training Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Formal Siswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi Model Pembelajaran Inquiry Training Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Formal Siswa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

e-ISSN: 2355-3812

Juli 2015

DOI: 10.15294/jpfi .v11i2.4679

IMPLEMENTATION OF INQUIRY TRAINING MODEL IN

LEARNING PHYSICS TO IMPROVE STUDENT FORMAL

THINKING ABILITY

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN

INQUIRY TRAINING

DALAM PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL SISWA

Derlina*, S. Mihardi

Program Studi Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan, Indonesia Diterima: 12 Januari 2015. Disetujui: 28 Maret 2015. Dipublikasikan: Juli 2015

ABSTRAK

Rendahnya kemampuan berpikir formal siswa menyebabkan hasil belajar yang mereka peroleh juga rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran inquiry training dalam meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa. Disain yang digunakan adalah kuasi eksperimen “non-equivalent groups pretest-posttest design”. Implementasi pembelajaran kelas eksperimen dibelajarkan dengan model pembelajaran inquiry training, kelas kontrol dengan model pembelajaran direct instruction. Data kemampuan berpikir formal diperoleh melalui tes kemampuan berpikir formal. Efektivitas model pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan berpikir formal ditentukan berdasarkan rerata skor gain yang dinormalisasi dengan statistik uji beda rerata, uji t. Hasil penelitian ditemukan bahwa pembelajaran dengan model inquiry training lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa dibandingkan dengan pembelajaran direct instruction. Persentase N-gain kemampuan berpikir formal untuk siswa kelas eksperimen untuk indikator berpikir hipotesis deduktif, berpikir kombinasi dan refl eksi berada pada kategori sedang, berpikir proporsional pada kategori tinggi. Untuk siswa kelas kontrol perentase N-gain rata-rata untuk berpikir hipotesis deduktif berada pada kategori rendah, sementara berpikir proporsional, berpikir kombinasi dan berpikir refl eksi berada pada kategori sedang.

ABSTRACT

Low ability of formal thinking students caused the learning outcomes they get too low. This study aims to determine the effectiveness of the inquiry learning model training in improving students’ ability to think formal. The design was used quasi-experimental “non-equivalent groups pretest-posttest design”. Implementation experimental class learning with inquiry learning model training, control class learning with direct instruction. Data obtained through a formal thinking ability test thinking ability. Learning model efectivity in improving formal thinking ability is determined based on the gain score average which normalized by average difference test of statistic, namely t test. The results of the reasearch found that the inquiry training learning model is more effective in improving students formal thinking ability compared with the direct instruction learning model. The N-gain percentage of formal thinking ability of students in the experiment class in the indicators of hypothetical deductive thinking, combination thinking and refl ection thinking are in the medium category, just proportional thinking is the high category. N-gain average percentage of control class for the hypothesis deductive thinking is just in the low category, while the proportional thinking, combination thinking and refl ection thinking are in the medium category.

© 2015 Jurusan Fisika FMIPA UNNES Semarang Keywords: Inquiry training model, formal thinking ability.

*Alamat Korespondensi:

Jln. Willem Iskandar Psr V.- Kotak Pos No. 1589 Medan 20221. Tel (061) 6625970, Fax (061) 614002-613319

E-mail: derlina.nst@gmail.com/HP 081210161520

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpfi

tujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi sumber daya manusia berkualitas dan mampu beradaptasi terhadap perkemban-gan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pening-katan kemampuan dalam rangka penyesuai-an diri dengpenyesuai-an perubahpenyesuai-an dpenyesuai-an memasuki era globalisasi antara lain dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan siswa dalam belajar

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional

(2)

ber-fi sika. Namun demikian, salah satu permasala-han penting dalam pembelajaran fi sika adalah rendahnya hasil belajar fi sika. Data Internatio-nal Education Achievement (IEA), mengatakan Indonesia mendapatkan urutan 40 dari 42 ne-gara dalam hal prestasi bidang Ilmu Pengeta-huan Alam (Wachidi, 2010; Martin 2012). Indo-nesia tertinggal jauh dari rerata negara-negara tetangga. Kebanyakan siswa hanya mampu menyelesaikan soal-soal konkrit dengan kate-gori kognitif rendah.Secara internasional soal – soal ilmu pengetahuan alam menuntut sis-wa menyelesaikan permasalahan yang abst-rak dan memiliki kemampuan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi, kemampuan-kemampuan ini merupakan kemampuan-kemampuan berpi-kir formal. Kemampuan berpiberpi-kir formal sangat menentukan keberhasilan siswa dalam belajar fi sika, sebagaimana dikatakan Erman dan Edi (2011) bahwa agar siswa memahami konsep-konsep dasar fi sika diperlukan kemampuan berpikir formal.

Eksperimen merupakan kunci keberhas-ilan dalam meningkatkan kemampuan berpikir formal. Kekuatan pembelajaran fi sika dalam mengembangkan kemampuan berpikir formal terletak pada kemampuan siswa melaksanakan eksperimen. Menurut Liliasari (2005a) kemam-puan berpikir formal tidak dapat berkembang dalam pembelajaran fi sika tanpa percobaan di laboratorium. Di sisi lain fi sika dianggap seb-agai pelajaran yang sulit karena pembelajaran fi sika memerlukan kegiatan laboratorium (Hel-ler & Hel(Hel-ler, 1999). Kesulitan siswa dalam be-lajar fi sika juga terjadi karena materi pebe-lajaran yang disajikan guru dalam pembelajaran ter-diri dari konsep-konsep yang sebagian besar bersifat abstrak, menggunakan angka-angka, lambang-lambang yang unik dan rumus-rumus (Erlina, 2011); kontennya sangat banyak dan bervariasi (Liliasari, 2005b).Selain itu Andrin-ingsih et al (2011) menyatakan bahwa fi sika memiliki konsep, hukum, serta prinsip yang abstrak sehingga dalam pembelajarannya memerlukan kemampuan berpikir abstrak. Ke-mampuan berpikir abstrak yang kurang dikem-bangkan menyebabkan siswa menganggap fi sika sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai.

Penyajian konsep yang abstrak dan konten yang sangat banyak disertai dengan rumus-rumus matematika terjadi dalam pem-belajaran fi sika di sekolah. Berdasarkan ha-sil observasi yang dilakukan tampak bahwa suasana pembelajaran fi sika masih berbasis materi, berorientasi pada guru dan siswa

cen-derung pasif. Kegiatan pembelajaran diawali dengan pemberian fakta dan konsep melalui metode ceramah, dilanjutkan dengan pembe-rian contoh soal dan pembepembe-rian tugas rumah. Model pembelajaran yang dilakukan tidak rel-evan dengan karakteristik fi sika itu sendiri, kurang melibatkan siswa dalam pembelajaran untuk melaksanakan keterampilan-keterampi-lan proses sains. Kondisi ini mengakibatkan kemampuan berpikir formal siswa rendah dan tidak berkembang sebagaimana mestinya. Rendahnya kemampuan berpikir formal siswa terlihat dari kualitas jawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan pada saat keg-iatan pembelajaran.

Ditinjau dari usia biologisnya siswa SMA seyogyanya sudah berada dalam tingkat mampuan berpikir formal, namun karena ke-cepatan pertumbuhan dan lingkungan siswa berbeda-beda sehingga masih ada siswa SMA berada dalam tingkat kemampuan berpikir konkrit. Beberapa hasil penelitian menunjuk-kan bahwa banyak siswa yang tidak dapat mengoperasionalkan kemampuan berpikirnya sesuai dengan kelompok umurnya. Hasil pen-elitian yang dilakukan oleh Susiwiet al (2008) menunjukkan bahwa 25 - 75% siswa sekolah lanjutan dan mahasiswa belum mencapai ting-kat operasional formal. Selain itu hasil pen-elitian pada mahasiswa Program Studi Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya ditemukan bahwa 80% masih berada pada tingkat kemampuan berpikir konkrit atau tidak dapat mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya (Erman dan Edi, 2011). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Harahap (2005) yang menemukan bahwa 60,9% mahasiswa MIPA Universitas Negeri Medan semester per-tama masih berada dalam tingkat kemampuan berpikir konkrit.

Fakta berdasarkan hasil observasi me-nunjukkan perlu diupayakan pembenahan terhadap pembelajaran fi sika dengan model pembelajaran yang dapat meningkatkan ke-mampuan berpikir formal siswa antara lain dengan model pembelajaran inquiry training. Menurut Joyce et al (2009) model pembelaja-raninquiry training adalah pembelajaran yang dirancang dengan melibatkan siswa secara langsung melakukan proses-proses ilmiah un-tuk belajar berangkat dari fakta menuju teori, mengharapkan siswa untuk bertanya mengapa suatu peristiwa terjadi, apa yang menyebabkan sesuatu terjadi, selanjutnya siswa melakukan penyelidikan untuk mencari jawaban, mela-kukan eksperimen, menganalisis data secara

(3)

logis sehingga dapat menemukan penyebab suatu gejala atau fakta bisa terjadi. Model pem-belajaraninquiry training terdiri dari lima fase yaitu fase: (1) menyajikan masalah, (2) men-gumpulkan dan memverifi kasi data, (3) ekspe-rimen, (4) mengorganisasi data, merumuskan dan menjelaskan, dan (5) menganalisis pro-ses inkuiri.Tahapan pembelajaran ini pro-sesuai dengan tahapan inkuiri secara umum menurut beberapa ahli (Looi, 1998; White dan Frederik-sen, 1998).

Berbeda dengan model pembelajaran

inquiry training, pembelajaran direct instructi-on menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari guru ke siswa. Siswa hanya menjadi pendengar yang pasif, mene-rima pengetahuan yang ditransfer oleh guru. Pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir formalnya.

Sintaks model pembelajaran direct instruction terdiri dari 5 fase yakni: menyam-paikan tujuan dan mempersiapkan siswa, mendemonstrasikan pengetahuan dan kete-rampilan, membimbing pelatihan, mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, serta memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan ( Arends, 2013).

Tujuan penelitian ini adalah untuk men-getahui efektivitas model pembelajaraninquiry

training dalam meningkatkan kemampuan

ber-pikir formal siswa.

METODE

Penelitian dilakukan di SMA Negeri 5 di kota Medan. Metode penelitian adalah meto-de kuasi eksperimen meto-dengan rancangan Non-equivalent Groups Pretest-posttest Experi-mental Design.Kelas eksperimen dibelajarkan dengan model pembelajaran inquiry training,

sedang siswa kelas kontrol dibelajarkan den-gan model pembelajarandirect instruction,

se-perti disain penelitian pada Tabel 1.

Data yang diperoleh pada penelitian ini yaitu data tentang skor kemampuan berpikir formal pada topik kinematika partikel yang di-ukur dengan tes kemampuan berpikir formal. Suparno (2001) menyatakan indikator kemam-puan berpikir formal adalah kemamkemam-puan ber-pikir hipotesis deduktif, berber-pikir proporsional, berpikir kombinasi dan berpikir refl eksi.

Efektivitas implementasi model pem-belajaran dalam meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa ditentukan berdasar kan rerata skor gain yang dinormalisasi, N-gain. Menurut Hake & Richard (2002) tinggi rendah-nya N-gaindapat diklasifi kasikan sebagai beri-kut: (1) jika N-gain > 70%, maka N-gain yang dihasilkan dalam kategori tinggi; (2) jika 30% ≤ N-gain≤ 70%, maka N-gainyang dihasilkan dalam kategori sedang; dan (3) jika N-gain < 30%, maka N-gainyang dihasilkan dalam kate-gori rendah. Data kemampuan berpikir formal yang berdistribusi normal dan homogen dia-nalisis dengan uji beda rata-rata uji t dengan menggunakan SPSS versi 16,0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran dalam meningkatkan kemam-puan berpikir formal siswa dilakukan pembe-lajaran yang berbeda. Kelas eksperimen dibe-lajarkan dengan model pembelajaran inquiry training dan kelas kontrol dibelajarkan dengan model pembelajaran direct instruction. Sebe-lum pembelajaran pada kedua kelas dilakukan pre tes dan setelah pembelajaran dilakukan postes.

Aktivitas pembelajaran dengan model pembelajaran inquiry training dilakukan den-gan sintaks yaitu: Fase 1 menyajikan masalah, pada fase ini guru menghadirkan suatu masa-lah dan menjelaskan prosedur inkuiri. Masamasa-lah yang disajikan adalah masalah teka-teki yang menarik perhatian siswa, sehingga siswa

ter-Tabel 1

. Disain Penelitian

Sampel Pre-Tes Perlakuan Pos-Tes

Kelas Eksperimen P1 X1 P2

Kelas Kontrol P1 X2 P2

dimodifi kasi dari McMillan Schumacher, 2001. P1= Pre-Tes

P2= Pos-Tes

X1= Perlakuan dengan model pembelajaraninquiry training

(4)

dorong untuk mencari jawaban masalahnya. Fase 2 mengumpulkan dan memverifi -kasi data, pada fase ini siswa mengumpulkan informasi dan data dari masalah, siswa diha-rapkan dapat menemukan sifat objek serta menemu kan penyebab terjadinya masalah. Verifi kasi data dilakukan dengan melakukan tanya jawab antara guru dan siswa. Guru men-garahkan siswa mengumpulkan informasi ten-tang fakta yang mereka lihat dan alami dengan mengajukan pertanyaan, bentuk pertanyaan yang diajukan hanya bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak”.

Fase 3 eksperimen, Pada fase ini siswa melakukan eksperimen, mengumpulkan data untuk menemukan jawaban permasalahan. Fase 4 mengorganisasi data, merumuskan dan menjelaskan, pada fase ini siswa diminta menjelaskan hasil eksperimen mereka kepada siswa lain. Guru bertugas membantu siswa da-lam mengorganisasi keterkaitan data sehingga dapat dijelaskan. Fase 5 menganalisis proses inkuiri, pada fase ini siswa diminta melakukan pembahasan, menganalisis proses inkuirinya, meninjau pertanyaan-pertanyaan yang efektif dan yang kurang efektif, informasi yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan, menganalisis kelemahan dari ekspe-rimen serta membandingkan hasil ekspeekspe-rimen- eksperimen-nya dengan hasil eksperimen kelompok lain.

Kelas kontrol dibelajarkan dengan model pembelajarandirect instructiondengan sintaks yaitu: Fase 1 menyampaikan tujuan dan mem-persiapkan siswa, langkah pertama diawali dengan penyampaian standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan tujuan pem-belajaran. Selanjutnya guru mempersiapkan siswa agar perhatiannya terfokus pada materi pokok yang akan dibahas.

Fase 2 mendemonstrasikan pengeta-huan dan keterampilan. Guru mendemonstra-sikan pengetahuan/ keterampilan atau me-nyajikan informasi dengan sistematis dan terstruktur tahap demi tahap. Fase 3 membim-bing pelatihan, siswa dengan bimmembim-bingan guru mengerjakan tugas yang latihan dan bimbin-gan yang diberikan sampai siswa dapat men-guasai konsep dan keterampilan yang sedang dipelajari.

Fase 4 mengecek pemahaman dan

memberikan umpan balik. Pada fase ini guru mengajukan beberapa pertanyaan dan mem-berikan tugas latihan untuk dikerjakan siswa di kelas. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh siswa direspon oleh guru sebagai umpan ba-lik bagi siswa, sehingga siswa mengetahui ja-waban yang benar atau sebaliknya dan dapat memperbaiki kesalahannya dalam menjawab latihan.

Fase 5 memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan. Pada fase terakhir guru memberikan latihan-latihan mandiri yang dibe-rikan dalam bentuk tugas rumah.

Skor kemampuan berpikir formal siswa dan % N-gain antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum (pretes) dan sesudah pembelajaran (pos tes) ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa % N- gain rata-rata kemampuan berpikir formal sis-wa pada kelas eksperimen lebih tingggi dari pada kelas kontrol. Hasil uji beda rata-rata % N-gain dengan uji t menunjukkan bahwa mo-del pembelajaran inquiry training lebih efektif meningkatkan kemampuan berpikir formal sis-wa dibandingkan model pembelajaran direct instruction. Perbedaan peningkatan kemampu-an berpikir formal siswa seperti kajikemampu-an di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Model pem-belajaran inquiry training dilakukan dengan fase: 1) menyajikan masalah, (2) mengumpul-kan dan memverifi kasi data, (3) eksperimen, (4) mengorganisasi data, merumuskan dan menjelaskan, dan (5) menganalisis proses in-kuiri. Fase-fase pembelajaran ini sangat sesu-ai dengan aktivitas pembelajaran seperti yang diharapkan Departemen Pendidikan Nasional (2003) yaitu bahwa proses pembelajaran fi si-ka menesi-kansi-kan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran fi sika di-arahkan untuk mencari tahu dan berbuat se-hingga dapat membantu siswa untuk mem-peroleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Menurut Panjaitan, et al

(2015) pembelajaran dengan inkuiri merupa-kan strategi mengenai eksplorasi pengetahuan siswa.

Kemampuan berpikir formal siswa dapat

Tabel 2.Data Skor Kemampuan Berpikir Formal Siswa

Kelas Kontrol Kelas Eksperimen

Pretes 18,13 17,38

Postes 31,25 38,13

% N- gain 41,17 63,61

(5)

ditingkatkan melalui fase-fase model pembela-jaran inquiry training karena siswa difasilitasi untuk bekerja dengan metode ilmiah, meru-muskan hipotesis dengan melakukan penala-ran secara deduktif maupun induktif. Hipotesis dirumuskan berdasarkan jawaban guru ter-hadap pertanyaan siswa. Dalam perumusan hipotesis siswa dapat menghubungkan kon-sep dan pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan konsep dan pengetahuan baru yang ditemukannnya melalui proses asimilasi dan akomodasi, sehingga siswa sendiri yang mem-bangun pengetahuan sampai terbentuk formu-lasi suatu konsep dalam dirinya. Proses siswa mengemukakan alasan untuk merumuskan hi-potesis dapat meningkatkan kemampuan ber-pikir formal (Fayakun dan Joko, 2015; Susiwi,

et al 2008).

Pengalaman belajar pada fase men-gumpulkan data untuk dapat menguji hipotesis yang mereka tetapkan dilakukan melalui eks-perimen. Eksperimen sangat dibutuhkan da-lam pembentukan kemampuan berpikir formal, bahkan menurut Liliasari (2005a) kemampuan berpikir formal kurang dapat berkembang pada pembelajaran fi sika tanpa eksperimen atau praktikum. Pada tahap eksperimen siswa di-latih melakukan kegiatan keterampilan proses melakukan pengamatan, penyelidikan, dan dis-kusi serta mengkaji fenomena fi sika, menyeli-diki fakta, fenomena atau masalah untuk mem-buat kesimpulan umum. Menurut Doyan dan Sukmantara (2014) latihan dan eksperimen dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah serta mengembangkan kemampuan berpikir formal siswa. Siswa diarahkan untuk mengamati hubungan antar konsep ataupun variabel, misalnya mengamati hubungan varia-bel kecepatan dengan perpindahan dan waktu. Aktivitas yang dilakukan siswa dalam eksperi-men memberikan kontribusi dalam pembentu-kan kemampuan berpikir formal, karena den-gan berbuat siswa mendapatkan pengetahuan sebagaimana dikatakan oleh Silberman(1996) yaitu: “Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan”.

Pengalaman belajar yang didapat dalam pembelajaran inquiry training adalah mampu menganalisa dan mengetahui efek dari suatu variabel terhadap variabel lain, berpikir kom-binasi yaitu berpikir meliputi semua komkom-binasi benda-benda, gagasan-gagasan atau proposi-si-proposisi yang mungkin, menyebabkan sis-wa memiliki kemampuan berpikir formal yang baik. Pengalaman belajar ini juga akan

mem-berikan kemampuan kepada siswa untuk dapat berpikir dengan pola penetapan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam mene-mukan jawaban suatu masalah.

Implementasi model pembelajaran inqui-ry training dapat meningkatkan kemampuan berpikir formal terjadi karena siswa diberi ke-sempatan berlatih menemukan fakta, konsep dan prinsip-prinsip fi sika melalui pengalaman dan berinteraksi langsung dengan objeknya. Menurut Deghani (2011) kemampuan menga-nalisis suatu konsep akan melatih siswa berpikir kompleks. Interaksi langsung dengan objeknya menimbulkan rangsangan yang menstimulus kemampuan berpikir formal siswa. Hal yang sama dikatakan oleh Erlina (2012) bahwa per-kembangan kemampuan formal tergantung kepada kualitas dan frekuensi aktivitas yang dilakukan oleh siswa dari interaksinya dengan lingkungan.Interaksi siswa dengan lingkungan melalui kegiatan eksperimen menjadikan sis-wa mengkonstruksi dan menemukan sendiri pengetahuannya sehingga pengetahuan itu lebih mudah dipahami dan lebih lama diingat oleh siswa, sesuai dengan pernyataan Dahar (1991) bahwa hasil belajar dengan menemu-kan sendiri lebih lama diingat oleh siswa dari pada hasil belajar lainnya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa da-lam pembelajaran inquiry training guru berpe-ran hanya sebagai fasilitator, siswa dengan aktif melakukan perbuatan belajar. Berbeda halnya dengan pembelajaran direct instructi-on yang orientasinya adalah transfer pengeta-huan, tidak memberikan kesempatan kepada siswa melakukan eksperimen, siswa hanya diharapkan menguasai konsep-konsep fi sika sebanyak-banyaknya, kurang memperhatikan proses perolehan produk fi sika itu sendiri se-hingga siswa cenderung menghafal konsep dari pada memahami konsepnya, tidak ada rangsangan dan aktivitas yang memacu per-kembangan kemampuan formal siswa.

Fisika terdiri dari konsep-konsep yang sifatnya abstrak. Menurut Mustofa,et al (2013) kemampuan berpikir formal memiliki peranan yang penting dalam memahami konsep abst-rak. Dengan kemampuan berpikir formal siswa dapat memahami konsep dan gejalagejala fi -sika dengan baik sehingga memiliki hasil be-lajar yang lebih baik. Berkaitan dengan hal ini Iman dan Harahap (2015) menyatakan bahwa hasil belajar siswa yang memunyai kemampu-an berpikir formal tinggi lebih baik dari siswa yang mempunyai kemampuan berpikir formal rendah.

(6)

Persentase N-gain kemampuan berpi-kir formal siswa dijabarkan pada indikator ke-mampuan berpikir formal (hipotesis deduktif, proporsional, kombinasi dan refl eksi) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata persentase N-gain untuk setiap indikator ke-mampuan berpikir formal kelas eksperimen le-bih tinggi dari kelas kontrol. Persentase N-gain

kemampuan berpikir formal untuk siswa kelas eksperimen untuk indikator berpikir hipotesis deduktif, berpikir kombinasi dan refl eksi berada pada kategori sedang dan berpikir proporsional pada kategori tinggi. Untuk siswa kelas kontrol perentase N-gainrata-rata untuk berpikir hipo-tesis deduktif berada pada kategori rendah, se-mentara berpikir proporsional, berpikir kombi-nasi dan berpikir refl eksi berada pada kategori sedang. Hasil tersebut menunjukkan model pembelajaraninquiry training lebih efektif me-ningkatkan kemampuan berpikir formal siswa dibandingkan dengan model pembelajaran di-rect instruction.

Berdasarkan indikator kemampuan ber-pikir formal, ternyata kemampuan persentase N-gain teringgi untuk materi pokok kinema-tika partikel terjadi pada indikator berpikir pro-porsional. Hal ini dimungkinkan karena pada pembelajaran dengan model pembelajaran

inquiry training siswa diberikan berpikir bukan hanya pada berdasarkan pada fakta atau pada benda-benda dan gejala-gejala yang konkrit yang bisa diamati oleh siswa melainkan juga dapat meninjaunya berdasarkan proposisi yang berlawanan dengan fakta. Kemampuan proporsional siswa berkembang dengan baik ketika siswa melakukan manipulasi variabel misalnya manipulasi variabel jarak dan waktu. Siswa dituntut berpikir proporsi untuk mempre-diksi kelajuan dan kecepatan dari suatu ob-jek yang bergerak lurus. Siswa dapat meny-elesaikan suatu masalah dengan kemampuan

berpikirnya, karena siswa dilatih bekerja seb-agaimana seorang ilmuwan yaitu memecahkan masalah melalui metode ilmiah. Pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah dan dilanjutkan dengan analisis masalah sampai pada penemuan konsep, ataupun prinsip fi sika dapat memacu perkembangan kemampuan berpikir formal siswa. Senada dengan hal ini Sadia (2007) menyatakan bahwa memecah-kan masalah merupamemecah-kan wahana yang sangat baik dalam mengasah dan melatih puan berpikir tingkat tinggi, termasuk kemam-puan berpikir formal. Menurut Mariati (2012) pembelajaran fi sika dengan pemecahan ma-salah memungkinkan siswa menyadari bagai-mana merancang, memonitor dan mengkontrol apa yang diketahui, apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir formalnya.

Selain itu kegiatan pembelajaran den-gan pemecahan masalah juga mengembang-kan kemampuan berpikir hipotesis deduktif, berpikir kombinasi dan refl eksi siswa karena pada kegiatan pembelajaran siswa diarahkan melakukan kegiatan bertanya, merumuskan hi-potesis, melakukan eksperimen, menganalisis data serta menarik kesimpulan. Semua aktivi-tas tersebut memberikan peluang bagi siswa untuk mengasah kemampuan berpikirnya. Se-mentara di kelas kontrol siswa tidak diberikan kesempatan untuk melakukan berbagai akti-vitas, sebab kegiatan pembelajaran dominan dikendalikan oleh guru. Kalaupun ada gejala atau fakta yang bisa diamati oleh siswa, por-sinya sangat terbatas

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pembelajaran dengan model inquiry training lebih efektif dalam meningkatkan

ke-Tabel 3.Hasil Analisis Statistik Persentase N-Gain Kemampuan Berpikir Formal Siswa

Indikator kemampuan berpikir formal Kelompok Rata-rata Peningkatan gain Sign. (p) Kategori Kete-rangan Pretes postes N-gain Hipotesis Deduktif Eksperimen 5,00 10,63 56,82 30,14 0.000 Sedang signifi kan Kontrol 5,63 8,13 26,68 Rendah

Proporsional Eksperimen 4,00 12,00 72,73 27,56 0.000 Tinggi signifi kan

Kontrol 4,88 9,13 45,17 Sedang

Kombinasi Eksperimen 4,50 8,00 64,29 30,95 0.000 sedang signifi kan

Kontrol 4,50 8,75 33,33 sedang

Refl eksi Eksperimen 3,88 7,50 67,32 36,46 0.000 sedang signifi kan

(7)

mampuan berpikir formal siswa dibandingkan dengan pembelajaran direct instruction. Per-sentase N-gain kemampuan berpikir formal untuk siswa kelas eksperimen untuk indikator berpikir hipotesis deduktif, berpikir kombinasi dan refl eksi berada pada kategori sedang, ber-pikir proporsional pada kategori tinggi.Untuk siswa kelas kontrol perentase N-gain rata-rata untuk berpikir hipotesis deduktif berada pada kategori rendah, sementara berpikir proporsio-nal, berpikir kombinasi dan berpikir refl eksi be-rada pada kategori sedang. Dengan demikian model pembelajaraninquiry training dapat dija-dikan solusi untuk meningkatkan kemampuan berpikir formal siswa pada materi pokok kine-matika partikel. Kepada guru disarankan dapat mencoba model pembelajaraninquiry training

pada materi pokok yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Andriningsih, Sriyono, dan Arif Maftukhin. (2011). Pengaruh Pola Pembelajaran dan Kemam-puan Berpikir Formal Siswa terhadap Kreati-vitas Kognitif Siswa pada Mata Pelajaran IPA Fisika Kelas VIII SMP Negeri Se-Kabupaten Purworejo Tahun Pelajaran 2011/2012.Junal RadiasiVol.1. No. 1, 83- 86.

Arends, Richard I.(2013). Learning to Teach.New York: McGraw-Hill Companies. (Made Frida Yulia Trans). Copyright 2013 by McGraw -Hill Education (Asia) and Salemba Empat. Dahar,R.W.(1991).Teori-teori Belajar. Jakarta:

Er-langga.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kuriku-lum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelaja-ranFisika SMA/MA.Jakarta: Depdiknas.

Deghani, M. (2011). Relationship Between Stu-dents Thinking and Self Effi cacy Beliefs in Fardowsy University of Mashhad: Procedia Social and Behavioral Sciences, 15, 2952 – 2955.

Doyan, A., Sukmantara, I.K.Y, 2014. Pengemban-gan Web Intranet Fisika untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Pemecahan Ma-salah Fisika Siswa SMK. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia,10 (2), 117 – 127.

Erlina. (2011). Deskripsi Kemampuan Berpikir For-mal Mahasiswa Pendidikan Kimia Universi-tas Tanjung Pura. Jurnal Visi Ilmu Pendidi-kan, Vol.6. No.3.

Erman& Edi Mintarto. (2011). Memacu Kemampuan berpikir Formal Siswa Melalui Pembelajaran IPA Sejak Dini. Jurnal Pendidikan Dasar Uni-versitas Negeri Surabaya,Vol.5. no. 2, 89-97. Fayakun, M. dan Joko, P. (2015). Efektivitas Pem-belajaran Fisika Menggunakan Model Kon-tekstual (CTL) dengan metode Predict, Observe, Explain terhadap Kemampuan

Ber-pikir Tingkat Tingg.Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 11 (1), 49 -58.

Hake & Richard, R. (2002). Relationship of Indi-vidual Student Normalized Learning Gains in Mechanics with Gender, High-School Phys-ics, and Pretest Scores on Mathematics and Spatial Visualization.

Heller, K., & Heller, P. (1999).Problem-Solving Labs. Introductory Physics I Mechanics. Coopera-tive Group problem-solving in physics. Harahap, Mara Bangun. (2005). Efek

Pembelaja-ran Konstruktivis Kognitif Sosial dan Non Konstruktivis Konvensional Terhadap Hasli Belajar Fisika Dasar Mahasiswa FMIPA Uni-versitas Negeri Medan. (Unpublished Doc-toral dissertation). Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Hidayat, M. I dan Harahap. M.B. (2015). Efek Model Inquiry Training Berbasis Multi Media Lectora dan Kemampuan Berpikir Formal terhadap Hasil Belajar Fisika. Jurnal Online Pendidi-kan Fisika Pascasarjana Unimed,Volume 4, Nomor 1, 25-32.

Joyce Bruce, Marsha Weil and Emily Calhoun. 2009.

Models of Teaching,Eight Edition. NewJer-sey: Allyn and Bacon.

Liliasari. (2005a). Membangun Keterampilan Ber-pikir Manusia Indonesia Melalui Pendidikan Sains.Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Be-sar Tetap dalam Ilmu Pendidikan IPA pada FPMIPA. UPI.

Liliasari. (2005b). Membangun Masyarakat Melek Sains Berkarakter Bangsa melalui Pembela-jaran.MakalahDisajikan pada Seminar Na-sional Universitas Negeri Semarang. Looi, C.K. (1998). Interactive Learning Environments

for Promoting Inquiry Learning. Journal of Education Technology System, 27,1, 3-22. Martin, Michael. (2012). TIMSS 2011 International

Result in Science. USA and Netherlands: TIMSS PIRLS International Study Center and IEA

McMillan, J.H. & Schumacher, S. (2001). Research in Education: A Conceptual Introduction

(Fiveth ed).New York: Addision Longman, Inc.

Mustofa, Masrid Pikoli, Nita Suleman. (2013). Hubungan antara Kemampuan Berpikir For-mal dan Kecerdasan Visual-Spasial dengan Kemampuan Menggambarkan Bentuk Mole-kul Siswa Kelas XI MAN Model Gorontalo Ta-hun 2010/2011.Jurnal Entropi, Volume VIII, Nomor 1, 51-61.

Panjaitan, M. B, M. Nur, Jatmiko, B. (2015). Model Pembelajaran Sains Berbasis Proses Kreatif-Inkuiri untuk Meningkatkan Kemampuan Ber-pikir Kreatif dan Pemahaman Konsep Siswa SMP. Jurnal PendidikanP.S. Fisika Indone-sia, 11 (1), 8-22.

Mariati, P.S. (2012). Pengembangan Model Pembe-lajaran Fisika Berbasis Model Problem Solv-ing untuk MenSolv-ingkatkan Kemampuan

(8)

Metak-ognisi dan Pemahaman Konsep Mahasiswa.

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 8 (2012), 152-160.

Sadia, I. Wayan. (2007). Pengembangan Kemam-puan Berpikir Formal Siswa SMA Melalui Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Cycle Learning dalam Pembelajaran Fisika. UNDIKSHA: Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Nomor 1, Tahun XXXX.

Silberman, M. (1996).Active Learning: 101 Strate-gies to Teach Any Subject. Boston: Allyn & Bacon.

Suparno, Paul. (2001).Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget.Yogyakarta: Kanisius.

Susiwi, Achmad A.Hinduan, Liliasari, dan Sadijah Ahmad. (2008). Analisis Penguasaan

Kon-sep Kimia Siswa SMA dalam Model Pembe-lajaran Praktikum D-Ei-Hd. Makalah Disa-jikan pada Seminar Nasional Kimia dalam Rangka Dies Natalis ke-52 Jurusan Pendidi-kan Kimia FMIPA UNY.

Wachidi. (2010). Kedudukan dan Peran Guru dalam Mengembangkan Kurikulum Tingkat Satu-an PendidikSatu-an (KTSP) untuk MeningkatkSatu-an Mutu Pendidikan. Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Universitas Bengkulu. White, B. Y. Dan Frederiksen, J.R. (1998). Inquiry,

Modeling, and Metacognition: Making Sci-ence Accepsible to All Students. Cognition and Instruction. 16, 3-118.

---.2003.UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sis-diknas.Jakarta: Depdiknas.

(9)

e-ISSN: 2355-3812

Juli 2015

DOI: 10.15294/jpfi .v11i2.4218

MULTILAYER POROUS COMPOSITE FROM WASTE GLASS FOR

WATER FILTRATION

KOMPOSIT PORI BERLAPIS DARI LIMBAH KACA UNTUK

FILTER AIR

M.P. Aji*, P.A. Wiguna, N. Rosita, Susanto, M.I. Savitri, M.A.N. Said, Sulhadi

Departement of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Science Universitas Negeri Semarang,

Indonesia

Diterima: 12 Januari 2015. Disetujui: 28 Maret 2015. Dipublikasikan: Juli 2015 ABSTRAK

Komposit pori berlapis telah dihasilkan dengan proses pemanasan pada temperatur T=7000C selama 2.5 jam. Komposit pori satu lapis dibuat dengan variasi persen massa polimer PEG 1% hingga 10%. Komposit pori dua lapis dibuat dengan susunan porositas (4:3)%, (4:2)% dan (3:2)%, sedangkan komposit pori tiga lapis memiliki susunan porositas (4:3:2)%. Kinerja komposit pori berlapis untuk fi lter air dengan polutan methylene blue 100 ppm diestimasi dari spektrum absorbansi. Rejeksi polutan methylene blue dari komposit pori satu lapis meningkat saat fraksi polimer PEG cenderung lebih kecil dalam matrik komposit. Sedangkan, komposit pori dua lapis memiliki kemampuan untuk degradasi polutan methylene blue yang lebih baik dari satu lapis. Komposit pori tiga lapis memiliki kinerja yang baik untuk fi lter air dimana seluruh polutan methylene blue mampu disaring.

ABSTRACT

Multilayer porous composite have been produced through the heating process at temperature T=7000C for 2.5 h. Single layered porous composite was made with a varied mass percentage of from PEG polymer 1% to 10%. Double-layered porous composite were made by the arrangement of porosity (4:3)%, (4:2)% and (3:2)%, while the three-layers porous composite have an arrangement (4:3:2)%. Performance of multilayer porous composite for water fi ltration with pollutants of methylene blue 100 ppm was estimated from the absorbance spectrum. Rejection of methylene blue pollutants from single layered porous composite increases when the fraction of PEG polymer tend to be smaller in the matrix. Meanwhile, the double layered porous composite has a degradation of methylene blue pollutants are better than one layer. Triple layered porous composite have good performance for the water fi ltration where all the pollutants of methylene blue be able to be fi ltered.

© 2015 Jurusan Fisika FMIPA UNNES Semarang Keywords: porous, composite, waste, glass, water.

*Alamat Korespondensi:

Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229 E-mail: mahardika190@gmail.com

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpfi

pass through the pores so that the fl uid which has been fi ltered from impurities and then re-sulted fl uids are clean. Various types of porous medium has been developed with a base mate-rial such as clay, zirconia, zeolites, porous car-bon and membrane polymer (Unuacar-bonah et. al., 2014; Franus et. al., 2014, Konrad et. al., 2014, Ryu et. al, 2012). Masturi et. al. (2012) using clay from the region Plered Purwakarta-Indonesia as a base material of porous ceramic for water fi ltration with organic pollutants

met-INTRODUCTION

Porous medium has been commonly used in the fl uid fi ltration process such as wa-ter purifi cation (Allesinaet. al., 2014; Takeiet. al., 2012). Filtration process is carried out by fl owing a fl uids in a porous medium and impuri-ties contained in fl uids are expected not able to

(10)

hylene blue. And also clay was used by Craver dan Smith (2008) because clay have some pro-perties that are not corrosive, non-toxic, have a high compressive strength and formable. Me-anwhile, Gestelet. al. (2006) developed a fi lter by combining the role of pores formed by the particles of zirconia (ZrO2) and photocatalytic properties of inorganic materials such as titani-um dioxide (TiO2). Natural zeolites are used by Aslanzade (2011) as a fi lter because it has a high absorption.

The use of clay as a raw material in the manufacturing of fi lter requires a very high combustion temperature T~900C-1200C (Baccouret. al., 2009). Meanwhile, the use of inorganic material of TiO2 as a photocatalyst is only effective for the decomposition of organic pollutants during radiation photons of UV light or sunlight (Aliahet. al., 2012).

Porous medium is relatively safe to use in the fi ltration process because there is no residue from the reaction product such as acid and carbon dioxide gases CO2 that occurred in the water purifi cation process by a photocatalyst. Mechanism process of fi ltration porous medium is mechanical process in which the process is dependent on the pore size of the medium. Thus, the presence of pores in the medium is very important. Porous medium in combustion process at relative low temperature T~700C had been developed with waste glass as base material (Sulhadi et. al. 2014). With a melting temperature is lower than its constituent materials such as silica (SiO2) and alumina (Al2O3), fabrication of porous medium of waste glass powder can be produced by tuning the time and temperature during the process of combustion. Medium pore size in the composite of waste glass powder is smaller with increasing of time and temperature combustion (Sulhadiet. al., 2015).

Porous medium of composite waste glass has been used as a water fi ltration. The results show that porous medium effectively separates water and large size of pollutants (in the order of hundreds of micrometers), where pollutants are still able to settle. However, the porous medium of composite waste glass can not separate the small size of pollutant, where the particles dispersed in water such as par-ticles of dye, like methylene blue in water.

Based on the simple mechanism in the fi ltration in which the process is conducted in a layered medium so porous medium of glass powder composites developed with layered ar-rangement (multilayer). Porous medium with

layered arrangement for water fi ltration, where the pollutant is dispersed become a focus of the study.

METHODS

Waste glass are washed, chopped by the grinder, and fi ltered to obtain a homogeneous glass powder. Fabrication of pore was done by mixing polyethylene glycol (PEG) as a pore-forming agent and glass powder as a matrix composites. The heating process let the PEG polymer evaporate and leave empty spaces is called pore in the matrix composite. Illustra-tions of pore formation is shown in Figure 1.

The formation of pores in the matrix glass powder is determined by the fraction of the PEG polymer in the composites. Multilayer porous composites were made based on the value of porosity from a single layered porous composite. Engineering pores for single laye-red composite made with a variation of mass fraction from PEG polymer about 1% until 10%. PEG polymer mixture and glass powder were burned at a temperature T=700C for 2.5 hours.

(a).

(b).

Pore

Figure 1. Illustration of (a) composite before

the heating process and (b) pores formed after the heating process.

Multilayer porous composite was made based on the principle of the fi ltration process in which a layer structure were arranged from the layer that have porosity from the large to small, as illustrated in Figure 2.

(11)

Figure 2. Illustration the arrangement of multilayer porous composite with a porosity

ABc.

Performance of porous composite sing-le, doubsing-le, and triple layered were done by wa-ter fi ltration with organic pollutant of methylene blue with a concentration of 100 ppm. Filtration process was carried out by fl owing the dirty wa-ter of methylene blue through the medium of multilayer porous composite with pressures of 0.5 bar. The fi ltration was observed and ana-lyzed by using UV-Vis-NIR Ocean Optics USB type 4000.

RESULTS AND DISCUSSION

The porosity value of single layered po-rous composite as shown in Figure 3 becomes a basic of making a multilayer porous compos-ite with double and triple layered. Single lay-ered porous composite is defi ned that porous composite formed from fi rst composition of the mass fraction of PEG polymer and glass powder. The value of porosity from the single layered porous composite increases with the increasing of mass fraction of PEG polymer in matrix composites. It caused the pore formed by the PEG polymer which evaporated in ma-trix composites. Composite porosity with mass fraction composition of PEG polymer 1% could not be measured because the fraction of PEG polymer was small in which the structure of ma-trix composite is very dense. While the compo-site with composition of mass fraction of PEG polymer 10% has a fragile structure, so the

po-rosity could not be measured.

Figure 3. The distribution of porosity value of

porous composite one layer.

In the early stages of development of multilayer porous composite were conducted the test of performance from single layered porous composite as a water fi ltration. The re-sults of water fi ltration process with pollutant of methylene blue is shown in Figure 4. The results showed that there are changes in the intensity of blue color of the methylene blue so-lution. In simple terms, changing in the intensity of blue color describes the changing of the con-centration of methylene blue particles in water. Single layered porous composite suffi -ciently capable to reduce particles of methylene blue that dispersed in water, as shown in Figu-re 4. The intensity of color from methylene blue solution decreased by using single layered po-rous composite with smaller fraction of PEG. These observation results can be explained easily by using the illustrations mechanism of pore formation in Figure 1. Porous composite with higher of PEG fraction will produce pores with a fraction which increasingly large, corres-ponding from the measurement results of po-rosity in Figure 3. Similar result was declared by Sooksaenet. al. (2008) who was observed that the use of higher PEG fraction

increasing-Figure 4. (a). Methylene blue solution from water fi ltration process through single layered porous

composite with varied fraction of PEG : (b). 9%, (c) 8%, (d) 7%,(e) 6%, (f) 5%, (g) 4%, (h) 3% and (i) 2%.

(12)

ly higher will produce pores with a large size in ceramics. Thereby, methylene blue particles will be much arrested when through a medium of porous composite single layered with less PEG polymer mass fraction.

The absorption spectrum of single laye-red porous composite were observed by using UV-Vis-NIR Ocean Optics type USB 4000. Ab-sorption spectrum from water of the result of fi ltration process using single layered porous composite with a variation of mass fraction of PEG polymer in the matrix composites was shown in Figure 5.

Absorption spectrum in Figure 5 shows the characteristic of the spectrum of methye-lene blue that has absorption region in the wa-velength range of 500 nm to 700 nm (Aliahet. al., 2012). The intensity of absorption spectrum from methylene blue solution decreased with smaller fraction of PEG polymer. This result corresponds with Figure 4 where the color de-gradation of methylene blue solution causes decreasing the absorption intensity. The chan-ging of absorbance intensity from methylene blue solution describes a changes in the con-centration of methylene blue particles. In ge-neral, the relationship between intensity of ab-sorption and concentration is declared in the Lambert-Beer equation (Rätyet. al., 2003) :

0 C t II e  0 log t I C A I    (1)

with absorption coeffi cientα, path length

, absorption A, I

0 and It are intensity of light

come and passed. From Lambert-Beer equa-tion, degradation of the intensity of absorption indicates a decrease in the concentration of the solution.

Absorption spectrum of methylene blue solution which was observed from the results of single layered porous composite indicates that the porous composite is not optimal enough. The development stage of porous composi-te with layered arrangement, that are double and triple layered of porous composite. Double layered porous composites have 3 types, with formation of porosity (i) 4% and 3%; (ii) 4% and 2%; (iii) 3% and 2%. While the triple layered porous composite prepared by composition of porosity 4%, 3% and 2%.

The performance results of double and triple layered porous composite are shown in Figure 6. The results of the fi ltration process shows that the degradation of methyelene blue solution increase. Degradation of methylene blue solution are better than single layered porous composite, although there are still a particles of methylene blue in the water. While the results of fi ltration process with triple laye-red porous composite yielded clear water and without a methylene blue particles. The

(13)

vation of color degradation of methylene blue solution corresponding to the absorption rum measurement results. Absorption spect-rum of methylene blue particles was found in the water fi ltration process results. Meanwhile, water fi ltration process results show that triple layered porous composite can arrest absolutly the methylene blue particle in water. Thereby, triple layered porous composite can be effecti-vely used as a water fi ltration to the type of pol-lutants with a size of constituent particles are very small such as pollutants methylene blue.

Reduction of pollutant concentrations from the fi ltration process known as rejection (Rj). Rj value is proportional to the number of particles that are not able to escape from the porous medium. Whereas, the concentration of particles in solution from the results of fi ltrantion process known as retention (Rt) (Masturi et. al., 2012). Rt value is the ratio between the concentration of water fi ltration process results (Cf) with initial concentration (Ci). The relationship between Rj and Rt value is expressed in Equation 2.

1

j t

RR  (2)

The distribution of Rj value from the fi lt-ration process using the porous composite one layer, double and triple layered are shown in Figure 7. The linkage of concentration and in-tensity of absorption from Lambert-Beer equa-tion is the basis for estimating Rj value from intensity of absorbance spectrum. Methylene blue particles have a characteristic of intensity of absorption spectrum at wavelength of 664 nm (Aliahet. al., 2012).

The rejection Rj of porous composite single layered increases at the smaller mass fraction of PEG polymers. In this condition, a lot of fi ltered particles, so that the concentration of methylene blue particles in the water is lower. At double layered porous composite, Rj value is higher, with the lower concentration of met-hylene blue particles. Rj value is close to the value 1 where all the methylene blue particles in water are fi ltered by triple layered porous composite.

Porous composite with layered arrangement effectively as a water fi ltering. Pollutants through a porous composite medium is assumed to get different resistances on each layer. Fluid fl owing through porous composite medium can be regarded as electrons charged particles which fl owing in a conductor with

Figure 6. (a). Methylene blue solution; the results of water fi ltration process in porous composite

(b) double layered, (c) triple layered; and (d) absorption spectrum from the water results of fi ltra-tion process.

(14)

resistance R. The simple illustration show that the water with pollutants of methylene blue through the porous composite medium with resistance R is shown in Figure 8. In the single layered porous medium is assumed has one resistance R1, double layered with two resistance R2 and R3 (R2R3), while triple layered namely R4, R5 and R6 (R4R5R6).

Figure 7. Distribution of pollutant rejection

value from single, double, and triple layered of porous composite.

The resistance of fl uid in a porous me-dium is declared by Abdullah and Khairurrijal (2009): P R Q  

(3)

withP : pressure and Q : debit. Expres-sion of the Equation (3) is similar to Ohm's law. With P = 0.5 bar is equal for each process fi ltration, debit Q of methylene blue pollutants will be smaller in the layer with smaller porosity, so that the resistance of fl uid is increased. The-se results are agree with a model of resistance for the multilayer porous composite in Figure 8, where resistance R is greater on the layer with smaller porosity.

Figure 8.Illustration of a resistance model of

fl uid through the multilayer porous composite medium.

Multilayer porous composite was made with the arrangement from large porosity to small so that the fl uid will have greater resis-tance with higher amount of smaller pore size. This is due to the confl uence of two different pore sizes in each layer. This mechanism is a process where the particles of methylene blue in water was fi ltered in each layer. Thus, the process of fi ltration with multilayer porous com-posite is a repeatable fi ltration process. The fi ltration process using double layered porous composite will conduct double-fi ltration, while the triple layered porous composite will conduct triple-fi ltration process with different porosity.

CONCLUSION

Multilayer porous composite from waste glass effectively used as a water fi ltration with pollutants of methylene blue. Degradation of methylene blue pollutants are infl uenced by the number of layer on a porous composite. Single layered porous composite can reduce pollutants of methylene blue until 0.5 rejection. Whereas fi ltration process with double layered porous composite has a rejection about ~0.8 and triple layered porous composite can redu-ce all methylene blue pollutants with rejection of 0.98. Thus, triple layered porous composite have the best performance as a water fi ltration with pollutants of methylene blue. Multilayer po-rous composites have repeatable mechanisms of fi ltration processes, so that the rejection from pollutant of methylene blue is more optimal.

REFERENCES

Abdullah, M. and Khairurrijal, (2009), Gelation Mod-el for Porosity Dependent Fluid Permeability in Porous Material, Jurnal Matematika dan. Sains 14, 15-19.

Aliah, H., Aji, M.P., Masturi, Sustini, E., Budiman, M. and Abdullah, M., (2012), TiO2 Nanoparticles-Coated Polypropylene Copolymer as Photo-catalyst on Methylene Blue Photodegrada-tion under Solar Exposure,American Journal of Environmental Sciences 8, 280-290. Allesina, G., Pedrazzi, S., Montermini, L., Giorgini,

L., Bortolani, G., and Tartarini,P., (2014), Po-rous Filtering Media Comparison Through Wet and Dry Sampling of Fixed Bed Gasifi -cation Products,Journal of Physics : Confer-ence Series 547, 1-9.

Aslanzade, N.R., (2011), H-zeolite Softening of Wa-ter with a Reduced Amount of Reagents and Wastewaters on Double-Flow and Counter-Streaming Filters,Journal of Water Chemis-try and Technology 33, 107-110.

(15)

Baccour, H., Medhioub, M., Jamoussi, F. and Mhiri, T., (2009), Infl uence of Firing Temperature on the Ceramic Properties of Triassic Clays from Tunisia,Journal of Materials Processing Technology 209, 2812-2817.

Craver, V.A.O. and Smith, J.A., (2008), Sustainable Colloidal-Silver-Impregnated Ceramic Filter for Point of Use Water Treatment, Environ-mental Science & Technology 42, 927-933. Franus, W., Wdowin, M. and Franus, M., (2014),

Synthesis and Characterization of Zeolites Prepared from Industrial Fly Ash, Environ-mental Monitoring and Assessment 186, 5721-5729.

Gestel, T.V., Kruidhof, H., Blank, D.H.A, and Bouw-meester, (2006), ZrO2 and TiO2 Membranes for Nanofi ltration and Pervaporation Part 1. Preparation and Characterization of a Corro-sion-Resistant ZrO2 Nanofi ltration Membrane with a MWCO < 300, Journal of Membrane Science 284, 128–136.

Konrad, C.H., Völkl, R. and Glatzel, U., (2014), A Novel Method for the Preparation of Porous Zirconia Ceramics with Multimodal Pore Size Distribution,Journal of the European Ceram-ic Society 34, 1311-1319.

Masturi, Silvia, Aji, M.P., Sustini, E., Khairurrijal and Abdullah, M., (2012), Permeability, Strength and Filtration Performance for Uncoated and Titania-Coated Clay Wastewater Filters,

American Journal of Environmental Sciences

8, 79-94.

Räty, K., Peiponen, K.E., and Asakura, T., (2003),

UV-Visible Refl ection Spectroscopy of

Liq-uids, Springer Series in Optical Sciences, Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg GmbH.

Ryu, K.J., Song, D.J. and Kang, D.J., (2012), Experi-mental Study of Optimum Filter System De-sign of High Purity Polymer Thread Machine,

Journal of Mechanical Science and Technol-ogy 26, 2759-2764.

Sooksaen, P., Suttiruengwong, S., Oniem, K., Ngam-lamiad, K., and Atireklapwarodom, (2008), Fabrication of Porous Bioactive Glass-Ce-ramics via Decomposition of Natural Fibers,

Journal of Metals, Materials and Minerals 18, 85-91.

Sulhadi, Savitri, M.I., Said, M.A.N., Muklisin, I., Wicaksono, R. and Aji, M.P., (2014), Fabri-cation of Mesoporous Composite from Waste Glass and Its Use as a Water Filter,AIP Con-ference Proceedings 1586, 139-142. Sulhadi, Susanto, Wiguna, P.A., Savitri, M.I., Said,

M.A.N and Aji, M.P., (2015), Heating Time Dependent Pore Size of Porous Composite from Waste Glass, Advanced Materials Re-search 1123, 397-401.

Takei, T, Ota, H., Dong, Q., Miura, A., Yonesaki, Y., Kumada, N. and Takahashi, H., (2012). Prep-aration of Porous Material from Waste Bottle Glass by Hydrothermal Treatment,Ceramics International 38, 2153-2157.

Unuabonah, E.I. and Taubert A., (2014), Clay-Poly-mer Nanocomposites (CPNs): Adsorbents of The Future for Water Treatment,Applied Clay Science 99, 83-92.

Gambar

Tabel  2  menunjukkan  bahwa  %  N-  gain rata-rata    kemampuan  berpikir  formal   sis-wa  pada  kelas  eksperimen  lebih  tingggi  dari pada  kelas  kontrol
Tabel  3  menunjukkan  bahwa  rata-rata persentase  N-gain  untuk  setiap  indikator   ke-mampuan berpikir formal kelas eksperimen  le-bih tinggi dari kelas kontrol
Figure  1.  Illustration  of  (a)  composite  before
Figure 4. (a).  Methylene blue solution from water fi ltration process through single layered porous
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ukuran statistik vital kambing Senduro jantan yang meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan memiliki hubungan yang sangat

Oleh yang demikian, bertitik tolak daripada permasalahan yang dikemukakan, satu kajian makna dalam PS dan PM berunsurkan haiwan wajar dilakukan dengan menggunakan TSSOR untuk

Environmental conditions are offered on scenario-11 (S11), namely the reduction of the noise level of 15 dB(A) through quality improvement and rehabilitation of the garden and the

a. Audit internal yang terkadang disebut audit pihak pertama, dilaksanakan oleh, atau atas nama organisasi itu sendiri untuk kaji ulang manajemen dan tujuan internal lainnya,

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan

Perancangan sensor pendeteksi garis terdiri dari tujuh buah sensor yang terletak pada sisi depan robot dan pada sisi tengah robot.. Sisi depan robot terdiri dari lima

Rasio Tanda-Tanda Pertumbuhan ( Sign of Growth ) pada perhitungan rasio pertumbuhan aset dan pertumbuhan simpanan saham berada pada kondisi ideal. Sementara itu pinjaman

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan ulat kantong ( Metisa plana Walker) terhadap umur tanaman kelapa sawit di Kebun Matapao PT Socfin Indonesia pada