• Tidak ada hasil yang ditemukan

“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH DIPENGADILAN AGAMA BANTUL ( Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH DIPENGADILAN AGAMA BANTUL ( Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )”"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

( Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )”

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

DIAJUKANOLEH :

NAMA : NENY KARTINI

NIM : 20130610443

FAKULTAS HUKUM

(2)

( Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )”

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

DIAJUKANOLEH :

NAMA : NENY KARTINI

NIM : 20130610443

FAKULTAS HUKUM

(3)

Nama : Neny Kartini

NIM : 20130610443

JudulSkripsi : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENETAPKAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH DIPENGADILAN AGAMA BANTUL

(Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl )

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan skripsi ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari diri saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Selain itu, tidak ada bagian dari skripsi ini yang telah saya gunakan sebelumnya untuk memperoleh gelar atau sertifikat akademik. Apabila dikemudian hari ternyata terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Demikaian pernyataan ini saya buat dengan sebenar - benarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 10 Maret 2017

(4)

yang beriman diantara kamu dan orang - orang yang diberi ilmu beberapa derajat ; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui. (Q.S Al - MujadillahAyat 11) “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu, Sebagai penolongmu,

sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al - Baqarah: 153)

Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan. Karena itu bila kau sudah selesai (mengerjakan yang lain). Dan berharaplah kepada Tuhanmu. (Q.S Al Insyirah : 6 - 8)

”Jika seseorang bepergian dengan tujuan mencari ilmu, maka Allah akan menjadikan

perjalanannya seperti perjalanan menuju surga” (Nabi Muhammad SAW)

“Tuntutlah ilmu di tanah rantau dengan sebaik - baiknya, jadilah kebanggan keluarga, jangan pernah berhenti berusaha dan berdoa, jangan pernah tinggalkan solatmu. Usaha yang kamu

(5)

senantiasa memberikan pertolongan, kesabaran, kekuatan, dan keteguhan hati untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini aku persembahkan kepada :

Ayahanda Abadi

Ibunda Sri Joariani

Adinda Muhammad Fatoni

Keluarga Besar Di Bengkulu

Keluarga Besar Di Yogyakarta

Sahabat – Sahabat

Terima kasih atas doa, semangat, dan motivasi yang diberikan sehingga skripsi ini dapat selesai

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah - Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH DIPENGADILAN AGAMA BANTUL (Studi Putusan Nomor : 0779/Pdt.G/2014/PA.Btl)” disusun untuk memenuhi salah satu syarat akademik guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, masih terdapat banyak kekurangan, walaupun tidak terlepas dari segla doa dan usaha dengan kemampuan yang ada

disamping itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Leli Joko Suryono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sekaligus selaku Dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan pengarahan dan petunjuk kepada penulis, dengan penuh kesabaran dan ketelatenannya.

3. Bapak Wiratmanto, SH., M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

memberikan bimbingan pengarahan dan petunjuk kepada penulis, dengan penuh kesabaran dan ketelatenannya.

4. Staf Pengadilan Agama Bantul dan segenap jajarannya yang dengan penuh keramahan

dan kesabaran membantu penulis dalam proses penelitian.

5. Ibu Latifah Setyawati, SH., M.Hum selaku Hakim Pembimbing yang telah meluangkan

waktunya untuk bersdeia menjadi narasumber dan membagikan ilmunya yang sangat bermanfaat bagi penulis.

6. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang

(7)

8. Keluargaku di Bengkulu, Pakde Suprianto, Bude Mursiti, Om Santo, Bulek Yanti, Mas

Ikhsan, Adik – adikku Nesti, Rayi, Rehan, Raka dan Dika yang selalu memberiku

semangat dan mengutakanku.

9. Keluargaku di Yogyakarta, Mbah Kakung, Mbah Putri, Bude Sri, Bude Tatik, Pakde

Susilo, Bulek Jatu, Mbak Idik, Mbak Tyas, yang telah membantuku, menolongku dan menjagaku ketika aku berada di Yogya.

10.Kakak ku Ardianto Prabowo yang sekaligus menjadi teman dan sahabat terdekatku, yang

setiap hari bersamaku, memberiku semangat, selalu membantuku, serta selalu berbagi keceriaan dan melewati setiap suka dan duka selama kuliah.

11.Sahabatku selama aku berada Yogya, Aak Ardi, Om Dimas, yang selalu menjadi tempat

aku mencurahkan isi hati ku, dan selalu membantuku.

12.Kakak – kakak ku dan Adik - adik ku tercinta Mbak Iwik, Nihla, Tami, Rafa, Lisa, Eka,

Lia dan Elsa yang selalu menjadi teman bercerita,teman curhat, penolongku dan perawatku disaat aku sakit serta butuh bantuan saat berada dikost

13.Sahabatku di bangku SMA dan SMP yuk Nung, Cipi, Agam, Sita dan Mas Danu, yang

mendoakan serta mendukungku.

14.Teman – teman hits ku Galuh, Pipit, Rizki Mus, Endah, Ferisa, Hilmi, Nurita, Lulu, Rouf,

Rifqi, Retno Dwi, Nurul Puspita, Khalis, Sukma, Arif Rianto, Dinda, Erika, Avizena, Aisyah, Aditya, Abdul, Dara, Evani, Nita, Ganis, Yudanti yang selalu asik untuk diajak bercerita, tertawa bersama, dan menyempatkan waktu untuk hadir di hari saat aku di sidang.

15.Teman – teman KKN 044 Kemukus, Ganis, Lia, Dila, Hably, Akbar, Uqi, Mas Umar,

Fadli, Annisa, Mas Jalu, Richa, Oliv, Rofiq dan Alima. Dan terima kasih juga untuk Pak Dukuh Pedukuhan Kemukus, banyak pengalaman selama 1 bulan yang aku rasakan ketika bersama kalian, bukan sekedar pengalaman tapi juga rasa kekeluargaan.

(8)

ilmu dan menggali potensi yang aku miliki.

Dalam hal penulisan dan penyusunan skripsi ini tentunya Penulis masih banyak terdapat kekuranga, untuk itu mohon dimaafkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi Pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

(9)

HALAMAN PERSETUJUAN ... II

HALAMAN PENGESAHAN ... III

HALAMAN PERNYATAAN ... IV

HALAMAN MOTTO ... V

HALAMAN PERSEMBAHAN ... VI

KATA PENGANTAR ... VII

ABSTRAK ... X

DAFTAR ISI ... XI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Tinjauan Mengenai Perkawinan ... 6

1. Pengertian Perkawinan ... 6

2. Tujuan Perkawinan ... 7

3. Asas – Asas Perkawinan ... 8

4. Syarat – Syarat Perkawinan ... 11

5. Sahnya Perkawinan ... 16

6. Akibat Hukum Dari Perkawinan ... 18

B. Tinjauan Mengenai Putusnya Perkawinan ... 19

1. Pengertian Perceraian ... 19

(10)

1. Tinjauan Mengenai Anak Sah ... 27

2. Tinjauan Mengenai Batasan Anak Dibawah Umur ... 29

D. Tinjauan Mengenai Hak Asuh (Hadhanah) Dan Dasar Hukum ... 31

1. Pengertian Hak Asuh Atau Hadhanah ... 32

2. Syarat – Syarat Hadhanah. ... 41

3. Pihak – Pihak Yang Berhak Atas Hadhanah ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

B. Metode Pendekatan ... 48

C. Bahan Penelitian ... 49

D. Teknik Pengumpulan Data ... 51

E. Lokasi Pengambilan Bahan ... 51

F. Narasumber ... 51

G. Teknik Pengolahan Data ... 52

H. Teknik Analisis Hasil Penelitian ... 52

BAB IV PEMBAHASAN ... 54

A. Kasus Posisi ... 54

1. Identitas Para pihak ... 54

2. Anak dari Penggugat dan tergugat ... 55

(11)

B. Analisis dan Pembahasan Rumusan Masalah ... 66

BAB V PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

(12)
(13)
(14)
(15)

anak yang berada dibawah umur, yang dalam hal ini belum berusia 12 tahun dan oleh

majelis hakim ditetapkan jatuh kepada ayahnya. Dalam hal hak asuh atau hadhanah anak

yang belum berusia 12 tahun seyogyanya dijatuhkan kepada seorang ibu sesuai apa yang diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hak asuh atau hadhanah anak yang belum berusia 12 tahun merupakan hak dari seorang ibu.

Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif yaitu penelitian

yang mengkaji asas, norma, kaidah dari peraturan perundang – undangan dan putusan

pengadilan. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan kasus yang

mana penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang

berkaitan dengan materi penelitian yang telah diputus oleh pengadilan dan telah

mempunayi kekuatan hukum tetap. Adapun bahan – bahan penelitian yang

digunakannadalah bahan hukum primer, sekunder, tersier, dan bahan non hukum. Hasil dari penelitian ini dianalisis secara preskriptif dengan menggunakan metode deduktif yakni dimana data umum tentang konsepsi hukum baik berupa asas hukum, ajaran huku, konsep hukum, dan pendapat para ahli dirangkai secara sistematis sebagai susunan fakta

– fakta hukum untuk mengkaji kemungkinan penerapannya. Kemudian memberikan

penilaian (justifikasi) tentang obyek yang diteliti apakah benar atau salah menurut hukum.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan, bahwa hak asuh atau hadhanah yang dimiliki oleh seorang ibu dapat dialihkan apabila si ibu tersebut tidak mempunyai tabiat yang baik dan kapasitas dalam mendidik. Selain itu Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang hak asuh atau hadhanah anak dibawah umur 12 tahun

merupakan hak ibu tersebut dapat dikesampingkan, jika si ibu tidak memenuhi syarat –

syarat dalam memegang hak asuh atau hadhanah. Hal ini diperkuat dengan adanya Yurisprudensi dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 126 K/ Pdt/ 2001 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 906 K/ Sip/ 1973.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan suatu peristiwa hukum yang sangat penting

terhadap manusia dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu,

hukum mengatur masalah perkawinan secara detail termasuk akibat

hukum yang timbul dari pernikahan tersebut.Pernikahan itu sendiri

mempunyai tujuan untuk membentuk suatu rumah tangga atau keluarga

yang bahagia dan kekal menurut Pasal 1 Undang - Undang Nomor 1 tahun

1974.

Tujuan itu sendiri tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja, tapi

sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang

ditujukan untuk membina suatu keluarga yang kekal dan bahagia bagi

keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.

Adapun yang dimaksut dengan keluarga adalah kesatuan yang terdiri dari

ayah, ibu dan anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat

Indonesia.Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan

keturunan, sehingga terbentuknya keturunan merupakan tujuan

perkawinan pula. Masalah keturunan merupakan hal yang penting dalam

perkawinan.1

1Subekti, 2005, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta,

(17)

Selain itu dari pernikahan tersebut muncul akibat hukum yakni hak

dan kewajiban bagi suami dan istri, baik akibat hukum antar suami dan

istri, hubungan antara orang tua dengan anak, dan terhadap harta bersama.2

Akibat hukum yang muncul akibat perkawinan tersebut harus dapat

dilakukan dan dikerjakan sesuai dengan peranannya masing - masing oleh

suami dan istri, jika hak dan kewajiban tersebut dapat terlaksanakan

secara seimbang dan tepat maka permasalahan rumah tangga yang biasa

sering terjadi dapat diatasi dan dihindari agar dapat mencapai tujuan

perkawinan itu.3

Namun jika hak dan kewajiban antara suami dan istri

tidak dapat terlaksana dengan baik maka permasalahan rumah tangga akan

sering terjadi dan tujuan dari perkawinan itu sendiri tidak akan tercapai.

Dewasa ini banyak pasangan suami istri banyak yang memilih

untuk bercerai sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri permasalahan

rumah tangga yang mereka alami. Sehingga dari perceraian tersebut akan

berakibat putusnya ikatan perkawinan diantara suami dan istri. Putusnya

ikatan perkawinan juga akan mengakibatkan timbulnya akibat hukum

tertentu, diantaranya akibat hukum perceraian terhadap anak yang lahir

dari perkawinan tersebut. Dalam Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang -

Undang Nomor 1 tahun 1974 memuat ketentuan imperatif bahwa kedua

orang tua wajib memelihara dan mendidik anak - anak mereka sebaik -

baiknya.

2

F.X. Suhardana, 2001, Hukum Perdata I, PT. Prenhallindo, Jakarta, hlm : 42 3

(18)

Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat

berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara

kedua orang tua putus.4

Jadi dapat disimpulkan kedua orang tua dari anak

tersebut memiliki kewajiban untuk mengasuh anak dari pernikahan

mereka, walaupun pernikahan tersebut telah putus.

Dalam hukum islam, yang dibebani tugas kewajiban memelihara

dan mendidik anak adalah bapak, sedang ibu bersifat membantu. Ibu

hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya.5

Jika perkawinan

telah putus maka Pengadilan akan menetapkan hak asuh kepada salah satu

dari kedua orang tua tersebut, atau bila di Pengadilan Agama dikenal

hadhanah (Pengasuhan). Hadhanah menurut penjelasan Muhammad Thalib, merupakan hak bagi anak- anak yang masih kecil, karena mereka

membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana urusannya, dan orang

yang mendidiknya. Ibulah yang berkewajiban melakukan hadhanah.6

Pandangan ini sesuai pula pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang

menyatakan bahwa jika terjadi perceraian orang tua, seorang anak yang

belum berusia 12 tahun menjadi hak ibunya.7

Namun, dalam kenyataannya pengadilan tidak jarang pula

menjatuhkan hadhanah kepada bapak, dengan berbagai pertimbangan

hukum dari hakim di pengadilan. Hal ini semata mata demi kebaikan dan

4

Muhammad Syaifuddin et al., 2013, Hukum Perceraian, Jakarta Timur, Sinar Grafika, hlm : 358

5

Abdul Ghofur Anshori., 2011, Hukum Perkawinan Islam (Presfektif fikih dan Hukum Positif), Yogyakarta, UII Press, hlm : 55

6

Muhammad Syaifuddin et al., Op.Cit., hlm : 361 7

(19)

kepentingan anak itu sendiri. Seperti pada kasus perceraian pada putusan

Pengadilan Agama Bantul Nomor : 779/Pdt.G/2014/PA.Btl, yang mana

dalam putusan tersebut hakim menjatuhkan hadhanah atau hak

pemeliharaan anak yang masih dibawah umur kepada pihak bapak bukan

jatuh kepada pihak ibu, seperti yang diatur pada Pasal 105 Kompilasi

Hukum Islam.

Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis bermaksud untuk

meneliti mengenai bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan penetapan hak asuh atau hadhanah kepada bapak terhadap

di bawah umur di Pengadilan Agama Bantul dengan judul “Analisis

Yuridis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Hak Asuh

Anak Dibawah Umur Kepada Ayah di Pengadilan Agama Bantul ( Studi

Putusan : Nomor 779/ Pdt.G/ 2014/ PA.Btl )”

Dari latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah dari

penelitian ini adalah apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

menetapkan hak asuh kepada ayah terhadap anak dibawah umur akibat

adanya perceraian di Pengadilan Agama Bantul.

Selain berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, penelitian ini

dilakukan dengan tujuan, yakni :

a) Tujuan Objektif : Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam

menetapkan hak asuh kepada bapak terhadap anaka dibawah umur

(20)

b) Tujuan Subjektif : Untuk memenuhi syarat menempuh gelar sarajana

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Menurut Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 dan

Pasal 2, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang

pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk

membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha esa, yang harus dilaksanakan sesuai

agamanya masing- masing, dan harus juga dicatatkan menurut

peraturan perundang- undangan yang berlaku.8

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan bahwa

perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang

sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah.9

Disamping pengertian tersebut diatas, terdapat pula pengertian

perkawinan memurut beberapa sarjana, yaitu10 :

a. Menurut Prof. Subekti, S.H., perkawinan adalah tali yang sah

8

Lihat Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 9

(22)

antar seorang laki- laki dan seorang perempuan untuk waktu yang

lama.

b. Menurut Prof. Ali Afandi, S.H., perkawinan adalah suatu

persetujuan kekeluargaan

c. Menurut Prof. Mr. Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan

hukum antara pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dan

kekal, yang diakui oleh Negara.

d. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., perkawinan

yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki- laki dan seorang

perempuan, yang memenuhi syarat- syarat yang termasuk dalam

peraturan hukum perkawinan.

e. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., perkawinan

adalah hubungan antara seorang wanita dan pria yang bersifat

abadi.

f. Menurut K. Wantjik Saleh, S.H., perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri.

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang – Undang nomor 1 tahun

1974 adalah membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang

(23)

segi lahirnya saja, tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan

batin antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu

keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya

dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.11

3. Asas – Asas Perkawinan

Asas – Asas atau prinsip – prinsip mengenai perkawinan diatur

dalam penjelasan umum dari Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974,

yaitu meliputi :

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing – masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual

dan materiil.

b. Dalam Undang – Undang dinyatakan, bahwa suatu perkawinan

adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan

(24)

monogami adalah seorang pria pada saat yang sama hanya

diperbolehkan mempunyai seorang wanita sebagai istrinya dan

seorang wanita hanya diperbolehkan mempunyai seorang pria

sebagai suaminya. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Ayat 1 Undang –

Undang Nomor 1 tahun 1974. Namun asas monogami tersebut

tidak berlaku mutlak, masih dapat disampingkan, sehingga

seorang pria dapat beristri lebih dari seorang apabila

diperbolehkan oleh hukum dan agama dari yang bersangkutan,

serta memenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh

pengadilan. Menurut Pasal 4 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 1

tahun 1974 alasan yang bersifat alternatif yang dapat diajukan

oleh seorang suami yang akan melakukan poligami adalah :

1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Seorang istri yang sudah memenuhi salah satu dari alasan

alternatif diatas, sudah dapat dijadikan alasan oleh suami untuk

berpoligami. Selain harus memenuhi alasan alternatif, juga harus

memenuhi syarat komulatif seperti yang ditentukan dalam Pasal

(25)

1) Adanya persetujuan dari istrinya,

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan

– keperluan hidup istri dan anak mereka,

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

istri dan anak mereka.

Dalam Pasal 5 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974

ditentukan bahwa perkecualian mengenai syarat adanya

persetujuan dari istri, yaitu bahwa persetujuan dari istri tidak

diperlukan bagi suami apabila istrinya tidak mungkin dimintai

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,

dan apabila tidak ada kabar dari istri selama sekurang –

kurangnya 2 tahun, serta apabila ada sebab lainnya yang perlu

mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

d. Undang – Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri

itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara

baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan

yang baik dan sehat.

e. Undang – Undang ini mempersukar terjadinya perceraian. Untuk

melakukan perceraian, harus ada alasan – alsan tertentu serta

(26)

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun

dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala

sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama oleh suami istri.12

4. Syarat – Syarat Perkawinan

a. Syarat materiil

Untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang – Undang

Nomor 1 tahun 1974 harus memenuhi syarat – syarat tertentu. Adapun

syarat – syarat yang harus dipenuhi adalah :

1) Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

Dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974

menyatakan bahwa “ perkawinan harus didasarkan atas

persetujuan kedua calon mempelai. Syarat perkawinan ini

memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi adanya perkawinan

(27)

mempelai wanita sudah mencapai usia 16 tahun.

4) Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak

dalam hubungan darah/ keluarga yang tidak boleh kawin.

Hubungan darah/ keluarga yang tidak boleh kawin menurut

Pasal 8 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu :

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah

dan ke atas.

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,

yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang

tua dan antara seorang dengan saudara nenek.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan

ibu/bapak tiri.

d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,

saudara susuan dan bibi/ paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih

dari seorang.

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan

lain yang berlaku dilarang kawin.

5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain

(28)

menyatakan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan

dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal

yang tersebut pada Pasal 3 Ayat 2 dan Pasal 4.

6) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami/ istri yang sama

akan dinikahi.

7) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita

yang janda.

Menurut pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975

waktu tunggu tersebut yakni :

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu

ditetapkan 130 hari,

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu

bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci

dengan sekurang – kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak

berdatang bulan ditetapkan 90 hari.

c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut sedang

dalam keadaan hami, waktu tunggu ditetapkan sampai

melahirkan.

d) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan

(29)

suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.13

b. Syarat Formil

Mengenai tata cara dan syarat untuk melaksanakan perkawinan

terdiri dari empat tahapan dan diatur dalam pasal 3, 6, dan 10 PP

Nomor 9 tahun 1975, yaitu tentang :

1) Pemberitahuan

Menurut Pasal 3 PP Nomor 9 tahun 1975, setiap orang yang

akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat

perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut

ditentukan sekurang – kurangnya 10 hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan. Jangka waktu pemberitahuan

tersebut ada pengecualiannya apabila ada alasan yang penting.

Misalnya calon mempelai akan segera ke luar negari untuk

melaksanakan tugas negara.

2) Penelitian

Setelah menerima pemberitahuan untuk melangsungkan

perkawinan, selanjutnya diadakan penelitian. Menurut Pasal 6

PP Nomor 9 tahun 1975, pegawai pencatat perkawinan

13

(30)

mengadakan penelitian apakah syarat perkawinan telah

dipenuhi dan tidak terdapat halangan perkawinan menurut

Undang – Undang.

3) Pengumuman

Apabila penelitian telah dilakukan dan ternyata semua syarat

perkawinan telah dipenuhi dan tidak ada halangan untuk

melangsungkan perkawinan, kemudian pegawai pencatat

perkawinan mengadakan pengumuman. Maksud diadakan

pengumuman ini adalah untuk memberi kesempatan kepada

umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan terhadap

perkawinan yang akan dilangsungkan, apabila diketahuinya

bertentangan dengan hukum agama dan kepercayaan dari yang

bersangkutan.

4) Pelaksanaan

Perkawinan dapat dilangsungkan setalah kesepuluh sejak

pengumuman dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan dan

tidak ada pihak lain yang mengajukan keberatan. Mengenai tata

cara pelaksanaan perkawinan menurut Pasal 10 Ayat 2 PP

Nomor 9 tahun 1975 dilakukan menurut hukum masing –

(31)

perkawinan.14

5. Sahnya Perkawinan

Mengenai sahnya perkawinan, Undang - Undang Nomor 1

Tahun 1974 telah mengatur dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai

berikut :

a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.

b. Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang –

undangan yang berlaku.

Dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang - Undang Nomor 1

tahun 1974 dinyatakan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1

ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing - masing agamanya

dan kepercayaannya itu, sesuai gengan Undang - Undang Dasar 1945.

Yang dimaksud dengan hukum masing - masing agama dan

kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang - undangan yang

berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak

bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang - Undang ini.

Dari bunyi Pasal 2 Ayat 1 beserta penjelasan Undang- Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa perkawinan harus

dilakukan menurut hukum masing - masing agamanya dan

(32)

kepercayaannya itu, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.15 Pasal

2 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa

tiap – tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang -

undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa pencatatan

tiap – tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan

peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat – surat keterangan,

suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.16

Dengan adanya pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh

pejabat yang berwenang, maka akan diterbitkan akta perkawinan yang

menunjukkan bahwa peristiwa perkawinan benar – benar terjadi. Akta

perkawinan dapat dipergunakan sewaktu – waktu apabila dibutuhkan

dan merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian

sempurna didepan hakim.Dengan demikian pencatatan perkawinan

hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar – benar terjadi,

jika semata - mata bersifat administrative, tidak menentukan sahnya

perkawinan.17

15Subekti, 2005, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta, PT.Intermasa, hal. 34

(33)

6. Akibat Hukum Dari Perkawinan

Adanya perkawinan yang sah menimbulkan akibat - akibat

hukum terhadap hubungan antar suami dan istri, hubungan antara

orang tua dengan anak, dan terhadap masalah harta benda. Menurut

Pasal 30 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 suami istri memikul

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi

sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami dan istri mempunyai hak

dan kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga

maupun dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Dalam membina rumah tangga, wajib saling cinta mencintai,

hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin. Suami

berkewajiban melindungi istri dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuia dengan kemampuannya.Istri

sebagai ibu rumah tangga dengan sebaik baiknya.18Akibat perkawinan

terhadap anak, yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik

anak - anaknya sebaik - baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat

berdiri sendiri. Kewajina ini berlangsung terus meskipun perkawinan

antara kedua orang tua putus. Kekuasaan orang tua meliputi juga

untuk mewakili anak dalam melakukan perbuatan hukum didalam dan

diluar pengadilan. Meskipun demikain kekuasaan orang tua ada

(34)

batasnya yaitu tidak boleh memindahkan atau mengggadaikan barang -

barang tetap milik anaknya, kecuali apabila kepentingan anak itu

menghendakinya, hal ini tercantum pada Pasal 48 Undang - Undang

Nomor 1 tahun 1974.19

B. Tinjauan Mengenai Putusnya Perkawinan

Menurut Pasal 38 sampai dengan 41 Undang- Undang Nomor

1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena 3 hal yaitu kematian,

perceraian, dan atas keputusan pengadilan.20Dalam hal penetapan hak

asuh atau hadhanah kepada salah satu pihak dari perkawinan yang

sah, hanya dapat ditetapkan jika dari perkawinan tersebut telah putus

akibat perceraian.

1. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan

hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

Maksudnya adalah Undang - Undang tidak memperbolehkan

perceraian dengan permufakatan saja antara suami dan isteri. Tuntutan

perceraian harus dimajukan kepada Hakim secara gugat biasa dalam

perkara perdata, yang harus didahului dengan meminta izin kepada

(35)

Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk menggugat. Sebelum izin

diberikan, hakim harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah

pihak. Di dalam Undang - Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, di kenal 2 (dua)

macam perceraian, yaitu cerai talaq, dan cerai gugat.

Cerai talaq adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap

isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami

yang bermaksud menceraikan isterinya mereka harus terlebih dahulu

mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama, sedangkan cerai

gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang

diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi

putus.21

Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya harus

lebih dahulu mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Apabila pergaulan kedua suami - isteri tidak dapat mencapai tujuan

perkawinan, maka akan mengakibatkan perpisahan, karena tidak

adanya kata kesepakatan antara suami - isteri, maka dengan keadilan

Allah SWT, dibukanya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu,

yaitu pintu perceraian. Mudah - mudahan dengan adanya jalan itu

21

Yani Tri Zakiyah, 2005, Latar Belakang Dan Dampak Perceraian (Studi Kasus Di

(36)

terjadilah ketertiban, dan ketentraman antara kedua belah pihak. Dan

masing - masing dapat mencari pasangan yang cocok yang dapat

mencapai apa yang dicita - citakan.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhmmad SAW, yang artinya sebagai berikut: “ Dari Ibnu Umar ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “Sesungguhnya yang halal yang amat

dibenci Allah adalah talaq”. Adapun tujuan Perceraian adalah sebagai

obat, dan jalan keluar bagi suatu kesulitan yang tidak dapat diatasi

lagi selain dengan perceraian. Meskipun demikian talaq masih tetap di

benci Allah.22

2. Alasan Perceraian

Menurut Pasal 19 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974

disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena beberapa alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disebutkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut

– turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

22

(37)

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayan berat

yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu piahak mendapatkan cacat badan dan penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/

istri.

f. Antara suami dan isti terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.23

3. Tata Cara Perceraian

Mengenai tata cara perceraian yang terinci dapat dilihat pada pasal

129 sampai dengan 148 Kompilasai Hukum Islam.

a. Cerai Talak

1) Seorang suami yang akan mengajukan permohonan, baik lisan,

maupun tertulis, kepada Pengadilan Agama yang mewilayah

tempat tinggal isteri, dan dengan alasannya, seorang suami

yang akan mengajukan talak kepada isterinya serta harus

meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2) Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak

permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat

meminta upaya banding atau kasasi.

(38)

3) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari

permohonan tersebut, kemudian dalam waktu yang

selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya

untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

4) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua

belah pihak, dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan

talak, serta yang bersangkutan tidak mungkin akan hidup rukun

lagi dalam rumah tangganya, Pengadilan Agama dapat

menjatuhkan putusan tentang izin bagi suami untuk

mengikrarkan talak.

5) Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami

mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama

yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

6) Apabila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6

(enam) bulan, terhitung sejak putusan Pengadilan Agama,

tentang izin ikrar talak baginya yang mempunyai kekuatan

hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak

gugur, dan ikatan perkawinan tetap utuh.

7) Setelah sidang menyatakan ikrar talak, Pengadilan Agama

membuat penetapan tentang terjadinya talak, dalam rangkap 4

(39)

isteri, helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada

pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami

untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga

masing-masing diberikan kepada suami, isteri, dan helai keempat

disimpan oleh Pengadilan Agama.

8) Gugatan cerai talak ini dapat di kabulkan atau ditolak oleh

Pengadilan Agama.24

b. Cerai Gugat

1) Gugatan diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan

Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal

penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat

kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama

memberitahukan gugatan tersebut melalui perwakilan Republik

Indonesia setempat.

2) Gugatan perceraian karena alasan:

a) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)

tahun berturut-turut, tanpa izin pihak lain, dan tanpa alasan

yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya dapat

diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak

24

(40)

tergugat meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima

apabila tergugat mengatakan, atau menunjukkan sikap

tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.

b) Antara suami - isteri terus - menerus terjadi perselisihan,

dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup

rukun lagi dalam rumah tangga. Gugatan baru dapat

diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama

mengenai sebab - sebab peselisihan, dan pertengkaran itu,

serta telah mendengar pihak keluarga juga terhadap

orang-orang yang dekat dengan suami-isteri tersebut.

c) Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau

hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung,

maka untuk mendapatkan putusan sebagai bukti

penggugat, cukup menyampaikan salinan putusan

Pengadilan yang memutuskan perkara, disertai keterangan

yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

3) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan

penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang

mungkin di timbulkannya, Pengadilan Agama dapat mengizinkan

(41)

4) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan

tergugat atau penggugat, Pengadilan Agama dapat:

a) Menentukan nafkah yang harus di tanggung oleh suami.

b) Menentukan hal - hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama

suami-isteri, atau barang - barang yang menjadi hak

suami, atau barang - barang yang menjadi hak isteri.

Gugatan perceraian gugur apabila suami, atau isteri

meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama

mengenai gugatan perceraian tersebut. 25

4. Akibat Perceraian

Menurut Pasal 41 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974,

akibat putusnya perkawinan karena perceraian antara lain:

a. Bapak ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak - anaknya, semata - mata berdasarkan

kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai

penguasaan anak - anak, pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan

dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam

25

(42)

kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan

dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau sesuatu kewajiban bagi bekas istri.26

C. Tinjauan Mengenai Anak

1. Tinjauan Mengenai Anak Sah

Dalam kamus umum bahasa indonesia dikemukakan bahwa

anak adalah keturunana kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria

dan wanita. Dalam Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan Pasal 42 disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak

yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.

Dalam pandangan hukum islam, ada empat syarat nasab anak itu

dianggap sah, yaitu :

a. Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya

normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi tidak mensyaratkan

seperti ini, menurut beliau meskipun suami istri tidak melakukan

hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang istri yang

dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah.

b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan

sedikit - dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan.

(43)

Tentang yang terjadi ijma’ para pakar hukum islam sebagai masa

terpendek dari suatu kehamilan.

c. Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa

sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihankan

oleh para pakar hukum islam.

d. Suami tidak mengingkar anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki - laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi

dalam masalah kehamilan atau batas maksimal kehamilan

terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak

yang dikandung oleh istrinya dengan cara li’an.27

Anak sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap

keluarganya, orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah

hidup, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut

sampai dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah.

Anak sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus

menjadi penerus keturunannya.28Didalam hukum islam menentukan

bahwa pada dasarnya keturunan anak adalah sah apabila pada

permulaan terjadi kehamilan antara ibu anak dan laki – laki yang

menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan

27

Abdul Manan., 2012, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Prenada media Grup, hlm : 78

(44)

perkawinan yang sah. Sedangkan menurut Pasal 99 Kompilasi

Hukum Islam anak sah adalah :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. hasil pembuahan suami istri yang sah diluar ramih dan dilahirkan

oleh istri tersebut.29

2. Tinjauan Mengenai Batasan Anak Dibawah Umur

a. Menurut Undang - Undang Perlindungan Anak

Dalam Undang - Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang

perubahan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan anak Jo. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ketentuan dalam

undang - undang di atas menerangkan bahwa anak yang masih

dalam kandungan pun di kategorikan anak sampai dengan

berusia 18 tahun.30

b. Menurut Undang - Undang Perkawinan

29

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan.., Op.cit., hlm : 275.

(45)

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lugas mengatur

mengenai kapan seorang digolongkan sebagai anak, secara

tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat

perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus

mendapat ijin orangtuanya, Pasal 7 ayat 1 Undang - Undang

Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia anak

dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di sisi lain, Pasal

47 ayat 1 Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan

bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum

melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaanorang tuanya

selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya.31

c. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan

bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak

cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan

perkawinan.32

d. Menurut Hukum Adat

31Ibid.

(46)

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan

seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak.

Hasil penelitian Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat

dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan sesorang diukur dari segi:

1) Dapat bekerja sendiri (mandiri); 2) Cakap untuk melakukan

apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya

sendiri. Dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak

berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang

nyata.Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan

tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku

bagi seseorang yang berusia dibawah 21 tahun.33

D. Tinjauan Mengenai Hak Asuh (Hadhanah) Dan Dasar Hukum

Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan

orang tua kepada Allah SWT. Anak adalah tempat orang tua

mencurahkan kasih sayangnya. Dan anak juga investasi masa depan

untuk kepentingan orang tua diakhirat kelak. Oleh sebab itu orang tua

(47)

harus memlihara, membesarkan, merawat, menyantuni dan mendidik

anak- anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.34

Kasih sayang dan tanggung jawab kepada anak tidak dapat

berhenti sekalipun perkawinan kedua orang tuanya telah putus dan

anak tersebut dikemudian hari diasuh oleh salah satu dari orang

tuanya. Karena, sudah menjadi fitrah dari kedua orang tua anak

tersebut untuk bertanggung jawab dan meberi kasih sayang selayaknya

orang tua kepada anak.

1) Pengertian Hak Asuh Atau Hadhanah

a. Menurut Fikih

Dalam perfektif islam pemeliharaan anak disebut

dengan hadhanah. Secara etimologis, hadhanah ini berarti

“disamping” atau berada “dibawah ketiak”. Sedangkan secara

terminologisnya, hadhanah artinya merawat dan mendidik

seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi

keperluannya sendiri.35Hadhanah (pengasuhan), menurut

penjelasan Muhammad Thalib, merupakan hak bagi anak- anak

34 Yunahar Ilyas., 2012, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta, Lembaga Pengkaji dan Pengamalan Islam (LPPI), hlm : 172

(48)

yang masih kecil, karena mereka membutuhkan pengawasan,

penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang

mendidiknya. Ibulah yang berkewajiban melakukan hadhanah

ini, karena Rasulullah SAW bersabda : “engkau (ibu) lebih berhak kepadanya (anak)”.

Hal ini dimaksudkan jangan sampai hak anak atas

pemeliharaan dan pendidikannya tersia - sia.36 Ulama mazhab

Hanafi dan Maliki misalnya berpendapat bahwa hak hadhanah

itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan

haknya. Tetapi menurut jumhur ulama hadanah itu menjadi hak

bersama antara orag tua dan anak. Bahwa menurut Wahbah al

-Zuhaily, hak hadahanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah

dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan

adalah hak dan kepentingan anak.37Yang dimaksut hadhanah

secara sederhana adalah kewajiban orang tua untuk memelihara

dan mendidik anak mereka dengan sebaik- baiknya.

Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan

segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.38

Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian,

baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan

36 Muhammad Syaifuddin et al., Loc.cit., hlm : 361

(49)

mendidik anak - anaknya semata - mata demi kepentingan si

anak. Jika terjadi perselisihan anatara suami dan istri mengenai

pengasuhan anak - anak maka dapat diselesaikan melalui jalur

musyawarah kekeluargaan ataupun dengan putusan

pengadilan.39Jika terjadi perpisahan antara ibu dan bapak

kandung sedangkan mereka ini punya anak, maka ibu atau

pihak istrilah yang lebih berhak terhadap anak itu daripada

ayahnya atau pihak suami, selama tidak ada suatu alasan yang

menggugurkan hak ibu melakukan pekerjaan hadhanah

tersebut, atau karena anak telah mampu memilih apakah ikut

Kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan

terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang

ayah. Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang lazimnya dimiliki

39Ibid., hlm : 295

(50)

oleh ibu akan menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara

lebih sehat.41

Senada dengan penjelasan Masdar, menurut

Muhammad Baqir al - Habsyi, sebab - sebab ibu lebih berhak

adalah, karena ibu lebih memiliki kemampuan untuk mendidik

dan memperhatikan keperluan anak dalam usianya yang masih

sangat muda itu, dan juga lebih sabar dan teliti dari pada

ayahnya. Disamping itu ibu memiliki waktu yang lebih lapang

untuk melaksanakan tugasnya tersebut dibanding seorang ayah

yang memiliki banyak kesibukan.42

b. Menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Sebenarnya dalam Undang - Undang Perkawinan

belum mengatur secara khusus tentang pengasuhan anak

bahkan didalam PP Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci.

Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989, para hakim

masih menggunakan kitab - kitab fikih. Barulah setelah

diberlakukannya Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang peradilan agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1999

(51)

tentang penyebar luasan Kompilasi Hukum Islam, masalah

hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan peradilan

agama diberi wewenang untuk memeriksa dan

menyelesaikannya.43

Namun dalam Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974

telah memberikan aturan pemeliharaan anak tersebut yang

dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan dalam

Pasal 41 yang pada intinya menyatakan bahwa ibu dan bapak

tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata

- mata berdasarkan kepentingan anak, dan jika terjadi

perselisihan mengenai pengasuhan anak pengadilan memberian

keputusannya. Dan menyangkut kewajiban orang tua terhadap

anak dimuat didalam Bab X mulai dari pasal 45 - 49.44

c. Menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam didalam pasal-pasalnya

menggunakan istilah pemeliharaan anak yang dimuat didalam

Bab XIV Pasal 98 - 106.45 Pengertian hadhanah dalam

43 Abdul Manan dan M. Fauzan., 2001, Pokok- pokok Hukum Perdata : Wewenang Peradilan Agama, Jakarta, Rajawali Pers, hlm : 69

(52)

Kompilasi Hukum Islam diatur pada Pasal 1 huruf g yaitu

pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh,

memelihara dan mendidik anak hingga dewasa maupun berdiri

sendiri.

Pasal yang secara eksplisit mengatur masalah

kewajiban anak dan harta jika terjadi perceraian hanya terdapat

didalam Pasal 105 dan 106, yang pada intinya menyatakan jika

terjadi perceraian pemeliharaan anak yang belum berumur 12

tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah

mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah

dan ibunya, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah.

Serta orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan

harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan

dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan

kecuali karena keperluan mendesak dan kepentingan anak.46

Disini tampak bahwa sengketa pemeliharaan anak tidak

dapat disamakan dengan sengketa harta bersama. Pada

sengketa harta bersama yang dominan adalah tuntutan hak

milik, bahwa pada harta bersama adalah hak suami dan ada hak

istri yang harus dipecah. Ketika harta bersama telah dipecah,

(53)

maka putuslah hubungan hukum suami dengan harta bersama

yang jatuh menjadi bagian istri, begitu pula sebaliknya.47

Akan tetapi, pada sengketa hadhanah anak, hubungan

hukum antara anak dengan orang tua yang tidak mendapat hak

asuh tidaklah putus, melainkan tetap mempunyai hubungan

hukum sebagai orang tua dan anak. Akibat logisnya adalah

meskipun hak asuh anak, misalnya, ditetapkan kepada ibu,

maka pihak ibu sekali – kali tidak dibenarkan menghalang –

halangi hubungan ayah dengan anaknya. Kesempatan harus

diberikan kepada sang ayah untuk bertemu, mencurahkan kasih

sayang kepada anaknya.48

Pasal - Pasal Kompilasi Hukum Islam tentang

hadhanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan. Lebih dari itu, Kompilasi Hukum Islam malah

memberi tugas yang harus diemban kedua orang tua kendati

mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh

oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab

ayahnya.49.

47 M. Anshary., 2010, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm : 109.

48 Ibid.

(54)

d. Menurut Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak Jo. Undang – Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pada dasarnya dalam Undang – Undang ini bukan

hanya mengatur tentang hak dan perlindungan terhadap anak

saja, namun juga mengatur pula tentang kewajiban serta

tanggung jawab keluarga dan orang tua terhadap anak. Hal ini

diatur dalam Pasal 26 Ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi

Anak;

2. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan

kemampuan, bakat, dan minatnya;

3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

4. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai

budi pekerti pada Anak.

(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui

keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat

(55)

kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.”

Dalam Pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

jika anak dibawah umur merupakan suatu tanggung jawab dari

orang tua dalam mengasuh, memelihara, mendidik dan

melindunginya. Sekalipun, jika kedua orang tua dari anak

tersebut telah bercerai, kedua orang tua dari anak tersebut tetap

bertanggung jawab dalam pemeliharaan anak tersebut. Lain

halnya jika kedua orang tua anak tersebut telah meninggal,

kewajiban dan tanggung jawab dalam memelihara anak

tersebut dapat dialihkan. Jadi, dengan kata lain anak dibawah

umur dapat diasuh atau dipelihara oleh orang tuanya atau

keluarga terdekat, jika terjadi sesuatu hal yang tidak

diinginkan, maka pengadilanlah yang menentukan dengan

menjatuhkan suatu putusan, demi kebaikan dan keperluan anak

tersebut. Selain itu, yang bertanggung jawab melindungi serta

(56)

juga pemerintah, bukan hanya dari orang tua dan keluarga

terdekat saja.50

2. Syarat - Syarat Hadhanah.

Terkait dengan karakter dan sifat pengasuhan, para ulama

menetapkan sifat - sifat atau kondisi yang berbeda antara satu dengan

yang lain. Kelompok Hanafiyah menyebutkan beberapa syarat yang

harus dimiliki sipengasuh. Syarat syarat tersebut adalah si pengasuh

(suami atau istri) tidak melakukan riddah (seorang muslim), tidak

fasik (melakukan ibadah atau menjalankan ajaran agama dengan

baik), (istri atau ibu si anak) tidak menikah lagi dengan suami baru

kecuali suami barunya tersebut mempunyai sifat penyanyang dan

baik, dan tidak meninggalkan tempat kediaman.51

Sementara menurut syafi’iyah menjelaskan bahwa terdapat

beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengasuh, yaitu berakal,

merdeka, muslim, penyayang, dapat dipercaya, berada ditempat

50

Lihat Undang – Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(57)

kediaman asal, dan tidak menikah lagi dengan suami baru, kecuali si

suami pertama rela.52

Muhammad Thalib menjelaskan bahwa seorang ibu asuh yang

menangani dan mengurusi kepentingan anak kecil yang diasuhnya

harus memiliki kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan

kecakapan ini memerlukan syarat - syarat tertentu, yakni :

a. Berakal sehat : bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya

tidak boleh menangani hadhanah. Mereka tidak dapat mengurusi

dirinya sendiri, sehingga tidak boleh diserahi mengurusi orang

lain. Orang yang tidak punya apa – apa tentulah tidak dapat

memberi apa – apa kepada orang lain.

b. Dewasa : anak kecil, sekalipun telah mummayyiz, ia tetap

membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan

mengasuhnya. Karena itu, anak kecil tidak boleh menangani

urusan orang lain.

c. Mampu mendidik : tidak boleh menjadi pengasuh, orang yang

buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan

jasmaninya, berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus,

bukan orang yang mengabaikan urusan rumahnya, sehingga

merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan orang yag

tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang

(58)

yang suka marah kepada anak – anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri.

d. Islam : anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang

bukan muslim. Sebab, hadhanah merupakan masalaha

perwalian. Sedangkan Allah SWT tidak memperbolehkan orang

mukmin dibawah perwalian orang kafir. Disamping itu,

ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akandibesarkan

dengan agama pengasuhnya, dididik dengan tradisi agamanya.

Sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan pengaruhnya, hal

ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut

e. si ibu belum kawin : jika si ibu telah kawin lagi dengan laki –

laki lain, maka hak hadhanahnya hilang. Akan tetapi, jika kawin

dengan laki – laki yang masih dekat kekerabatanya dengan si

anak kecil tersebut, misalnya paman dari anaknya maka hak

hadhanah tidak hilang, sebab si paman masih berhak dalam

masalah hadhanah. Selain itu, karena hubungan kekerabatannya

dengan anak kecil tersebut, sehingga akan bisa bersikap

mengasihi serta memperhatikan haknya. Akibatnya, akan

(59)

kecil itu, antara si ibu dengan suami yang baru (paman si anak)

ini.53

Sedangkan dalam Kitab Kifayatul Ahyar Jilid II, syarat – syarat

seseorang yang dapat diberikan hadhanah atau hak asuh anak, yakni :

a. Berakal sehat,

3. Pihak – Pihak Yang Berhak Atas Hadhanah

Dalam proses perceraian antara suami dan istri, orang yang

paling mempunyai hak asuh atau hadhanah terhadap anak yang masih

dibawah umur adalah ibunya. Namun, ada pula pihak – pihak lain

yang juga mempunyai hak asuh atau hadhanah terhadap anak tersebut,

tetaoi lebih diutamakan dari pihak ibu. Adapun urutan orang – orang

53 Muhammad Syaifuddin et al., Op.cit., hlm : 379 54

(60)

yang berhak menerima hak asuh atau hadhanah anak tersebut menurut para ahli fiqih, adalah :

a. Ibu,

b. Nenek dari pihak ibu dan terus keatas,

c. Nenek dari pihak ayah,

d. Saudara kandung anak tersebut,

e. Saudara perempuan seibu,

f. Saudara perempuan seayah,

g. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung,

h. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah,

i. Saudara perempuan ibu yang sekandung,

j. Saudara perempuan yang seibu dengannya (bibi),

k. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi),

l. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah,

m. Anak perempuan dari saudara laki – laki sekarang,

n. Anak perempuan dari saudara laki – laki seibu,

o. Anak perempuan dari laki – laki seayah,

p. Bibi yang sekandung dengan ayah,

q. Bibi yang seibu dengan ayah,

r. Bibi yang seayah dengan ayah,

s. Bibi dari pihak ibu,

(61)

u. Bibi ibu dari pihak ayahnya,

v. Bibi ayah dari pihak ayah.55

Apabila anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan

mahram atas, atau ada tetapi tidak bisa mengasuhnya, maka pengasuhan

akan beralih kepada kerabat laki – laki yang masih mahramnya atau

masih ada hubungan darah (nasab) yang sesuai dengan urutan masing –

masing dalam persoalan waris, sebagai berikut :

a. Ayah kandung anak,

b. Kakek dari pihak ayah dan terus keatas,

c. Saudara laki – laki sekandung,

d. Saudara laki – laki seayah,

e. Anak laki – laki dari saudara laki – laki sekandung,

f. Anak laki – laki dari saudara laki – laki seayah,

g. Paman yang sekandung dengan ayah,

h. Paman yang seayah dengan ayah,

i. Pamannya ayah yang sekarang,

j. Pamannya ayah yang seayah dengan ayah.56

55 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan., Op.cit., hlm :309 56

(62)

Jika tidak ada seorang kerabat dari mahram laki- laki atau tidak bisa

mengasuh abak, maka hak pengasuh anak itu beralih mahram –

mahramnya yang laki – laki selain kerabat dekat, yaitu :

a. Ayah ibu (kakek),

b. Saudara laki – laki seibu,

c. Anak laki – laki dari saudara laki- laki seibu,

d. Paman yang seibu dengan ayah,

e. Paman yang sekandung dengan ibu,

f. Paman yang seayah dengan ayah,57

(63)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian

adalah tipe penelitian normatif yakni tipe penelitian yang mengkaji

tentang asas, norma, kaidah dari peraturan perundang - undangan dan

putusan pengadilan khususnya putusan pengadilan No:

779/Pdt.G/2014/PA.Btl tentang penetapan hak asuh anak dibawah mu

kepada bapak sebagai akibat dari perceraian, yang mana seharusnya

menurut peraturan perundang- undangan hak asuh terhadap anak

dibawah umur harus dijatuhkan kepada ibu. 58

B. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan

pendekatan Kasus, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang berkaitan dengan materi

penelitian yang telah diputus oleh pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.pendekatan ini mengkaji pertimbangan dari hakim

(64)

dalam memutus suatu perkara. Bertujuan untuk mempelajari norma –

norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.59

C. Bahan Penelitian

1. Bahan hukum primer, adalah data yang diperoleh dari peraturan

perundang - undangan, yurisprudensi, dokumen kontrak, perjanjian

internasional atau keputusan pengadilan. adapun beberapa bahan

primer dalam penelitian ini,60 yaitu :

a. Sumber Hukum Islam

Al – Quran dan Hadist

b. Peraturan Perundang - undangan :

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang – Undang Nomer 7 tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan

Atas Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan

(65)

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang – Undang Nomor.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Insturksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 906 K/

Sip/ 1973

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 126 K/

Pdt/ 2001

2. Bahan hukum sekunder, adalah data yang diperoleh dari hasil

penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur

atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

penelitian, adapun beberapa bahan sekunder dalam penelitian ini,61

Referensi

Dokumen terkait