• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - Perspektif Pendidikan KHD dan M. Syafei

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II - Perspektif Pendidikan KHD dan M. Syafei"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Berdasarkan Perspektif Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu pahlawan yang berhasil membawa perubahan rakyat bangsa Indoensia melalui cara yang berbeda, yaitu melalui pendidikan. Sekilas mengulas sejarah, beliau berasal dari keluarga bangsawan Yogyakarta. Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama RM. Suwardi Suryaningrat, setelah berumur 40 tahun tepatnya tanggal 25 Februari 1928, ia berganti nama dengan sebutan Ki Hadjar Dewantara.1 Pemikiran beliau tentang pentingnya

pendidikan untuk membebaskan diri dari penjajahan dan mengubah nasib bangsa Indonesia yang tertindas ditunjukkan dengan dibangunnya perguruan Taman Siswa. Dari perguruan inilah kemudian banyak lahir konsep pendidikan khas Indonesia, yang kemudian berbagai konsep pendidikan tersebut dituangkan kedalam buku Ki Hadjar Dewantara.

Ki Hadjar Dewantara dalam catatannya menyatakan bahwa pendidikan adalah kegiatan yang di dalamnya terdapat pengajaran tentang ilmu atau pengetahuan, serta memberi kecakapan kepada anak-anak yang keduanya dapat berfaedah untuk hidup anak-anak-anak-anak, baik lahir maupun bathin.2 Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan

manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.3 Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk

memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.4 Berdasarkan pernyataan tersebut, dalam

kegiatan pendidikan tidak dapat dipisah-pisahkan antara kecerdasan intelektual dengan pembentukan karakter dan budi pekerti, juga

1 Masnipal. Siap Menjadi Guru dan Pengelola Paud Profesional. (Kompas Gramedia. Jakarta: 2013). hlm.45

2Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan. (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta: 1977). hlm. 20.

(2)

pertumbuhan dan perkembangan fisik anak agar terjadi keseimbangan dan kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya. Salah satu pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut dipandang sangat representatif, visioner, serta penuh sarat makna dan menyeluruh, sehingga di antara para pakar pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dianggap sebagai pionir Pendidikan Nasional.

Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara pun menyatakan bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang terdapat pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setingi-tingginya.5 Adapun

cara-cara mendidik oleh seorang guru terbagi kedalam beberapa tahapan cara sebagai berikut:

1. Memberi contoh (voorbeeld)

2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming) 3. Pengajaran (leering, wulang wuruk)

4. Perintah, paksaan, dan hukuman (regeering en tucht) 5. Laku (zelfbeheersching,zelfdiscipline)

6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving)6

Selain itu, untuk keperluan pendidikan, maka Ki Hadjar Dewantara membagi kelompok usia anak didik menjadi tiga masa yaitu masa kanak-kanak pada rentang usia 1-7 tahun, masa pertumbuhan jiwa pikiran (intelectual periode) pada rentang usia 7-14 tahun, dan masa terbentuknya budi pekerti atau social periode yaitu pada rentang usia 14 – 21 tahun.7 Dikaitkan dengan cara atau tahapan mendidik yang

dikemukakan di atas, maka pengaturannya disesuaikan dengan kelompok usia tersebut.

B. Proses Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Ki Hadjar Dewantara

(3)

Berdirinya perguruan nasional Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922, dimulai dengan dibukanya sekolah bagi anak-anak dibawah usia 7 tahun yang diberi nama “Taman Lare” atau “Taman Anak”.8

Berdasarkan Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini yang ditulis oleh Mutiara Magta dengan judul “Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Pada Anak Usia Dini9, proses pendidikan anak usia dini menurut Ki Hadjar Dewantara

dipengaruhi oleh pemikiran Frőbel yang memberikan kebebasan pada anak yang diatur secara tertib dan pemikiran Montessori yang membebaskan anak-anak seakan-akan secara tak terbatas, maka Ki Hadjar Dewantara merumuskan sebuah semboyan “Tut Wuri Handayani” yakni memberi kebebasan yang luas selama tidak ada bahaya yang mengancam kanak-kanak. Inilah sikap yang terkenal dalam hidup kebudayaan bangsa kita sebagai sistem “among”.

Pendidikan anak usia dini berdasarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara didasarkan pada pola pengasuhan yang berasal dari kata “asuh” artinya memimpin, mengelola, membimbing. Pendidikan dilaksanakan dengan memberi contoh teladan, memberi semangat dan mendorong anak untuk berkembang. Pemikiran ini sesuai dengan pernyataan Bandura, bahwa anak mengobservasi perilaku orang dewasa dan menirunya. Lebih lanjut teori kognitif sosial Bandura menyatakan bahwa perilaku, lingkungan dan orang atau kognisi merupakan faktor penting di dalam perkembangan. Perilaku dapat mempengaruhi individu dan sebaliknya individu tersebut dapat mempengaruhi lingkungan, lingkungan mempengaruhi seseorang dan seterusnya. Oleh sebab itu, keteladanan mutlak dibutuhkan oleh anak-anak, Ki Hadjar Dewantara menyebutnya Ing Ngarsa Sung Tulada, dimana guru harus menjadi teladan untuk anak didiknya.

Teori yang mendukung pemikiran Ki Hadjar Dewantara adalah teori Rousseau, yaitu orang dewasa berperan sebagai pendidik dengan

8 Ibid, hlm. 275

(4)

dukungan (support) kepada anak untuk dapat berkembang secara alami. Elkind juga percaya bahwa anak-anak membutuhkan dukungan yang kuat untuk bermain dan kegiatan yang dipilihnya sendiri dengan tujuan untuk dapat bertahan dalam stres yang ada sekarang dalam lingkungan anak. Dukungan yang diberikan dapat berupa motivasi dan penyediaan media belajar. Dalam sistem among, hal ini disebut sebagai Ing Madya Mangun Karsa. Jadi, kebebasan yang diberikan pada anak usia dini sesungguhnya memerlukan bimbingan yang bersifat keteladanan sebagai bentuk perwujudan kepemimpinan orang dewasa dan membutuhkan dorongan atau motivasi orang dewasa kepada anak dalam menjalani proses hidupnya secara alami yaitu ketika anak bermain atau kegiatan-kegiatan yang diminati anak.

Proses pembelajaran yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara kepada anak usia dini dilakukan dengan pendekatan budaya yang ada dilingkungan anak-anak. Menurutnya untuk menyempurnakan perkembangan budi pekerti anak-anak jangan dilupakan dasar “Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu mementingkan segala unsur-unsur kebudayaan yang baik-baik dimasing-masing daerah kanak-kanak sendiri, dengan maksud pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi melaksanakan “konvergensi” seperlunya, menuju kearah persatuan kebudayaan Indonesia secara evolusi. sesuai dengan alam dan jaman. Ki Hadjar Dewantara membentuk sistem pendidikan yang bersumber pada kebudayaan sendiri dan kepercayaan atas kekuatan sendiri untuk tumbuh.

(5)

pemerintah) dan konteks makrosistem (pengaruh lingkungan budaya, norma, agama, dan lingkungan sosial di mana anak dibesarkan.

Ki Hadjar Dewantara juga menyatakan bahwa mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberi pengetahuan akan tetapi baru berusaha akan sempurnanya rasa pikiran. Adapun segala tenaga dan tingkah laku itu sebenarnya besar pengaruhnya bagi hidup batin; juga hidup batin itu berpengaruh besar atas tingkah laku lahir. Jalan perantaranya didikan lahir ke dalam batin yaitu panca indera. Maka dari itu latihan panca indera merupakan pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dll).

Pemikiran tersebut dilatari oleh pemikiran Frőbel dan Montessori. Frőbel memberi pelajaran panca indera tetapi tetap yang diutamakan adalah permainan anak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indera diwujudkan menjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Sedangkan Montessori mementingkan pelajaran panca indera dengan memberikan kemerdakaan anak yang luas tetapi permainan tidak dipentingkan. Ki Hadjar Dewantara menggabungkan keduanya, menurutnya pelajaran panca indera dan permainan anak tidak terpisah. Segala tingkah laku dan segala keadaan hidupnya anak-anak sudah diisi oleh Sang Maha Among (Tuhan) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak.

(6)

C. Penerapan Teori-teori Bermain dan Perkembangan Anak Usia Dini Berdasarkan Perspektif Ki Hadjar Dewantara.

Ki Hadjar Dewantara memberi perhatian penuh terhadap permainan anak dalam hubungannya dengan pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa permainan amat sesuai dengan jiwa anak guna memenuhi daya khayal dan dorongan bergerak, maka permainan merupakan hal yang sangat penting untuk pendidikan yang banyak diberikan di Taman Indrya, Taman Anak, dan Taman Muda.10

Bermain dan permainan yang dipakai adalah permainan nasional yang terdiri dari berbagai permainan tradisional agar anak tetap dalam lingkungan kebudayaan bangsanya. Permainan bangsa asing memberi kemungkinan akan terpisahnya anak dari adat istiadat dan kesenian bangsanya sendiri. Permainan anak Jawa seperti: sumbar, ganteng, unclang itu mendidik anak agar seksama (titi pratitis), cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain sebagainya. Permainan dakon, cublak-cublak suweng, kubuk, itu mendidik anak tentang pengertian konsep perhitungan dan perkiraan. Permainan seperti gobag, trembung, raton, geritan, obrog, panahan, jamran, jelungan, dan lain-lainnya yang bersifat sport dapat melatih kekuatan fisik motorik untuk kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan, keterampilan, keberanian, ketajaman penglihatan, dan lain sebagainya. Permainan seperti mengutas bunga (ngronce), menyulam daun piang atau janur, membuat tikar itu semua berfaedah untuk pendidikan karakter, tertib, dan teratur.11

Ki Hadjar Dewantara menolak permainan-permainan tiruan dari bangsa asing karena kita telah mempunyai permainan sendiri, Ki Hadjar berpendapat bahwa barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang murni seperti kepunyaan sendiri. Hal ini dianalogikan sebagai “Kain cap meskipun indah rupanya, derajatnya tentu di bawah kain batik”. Ki Hadjar membolehkan meniru sebatas pada permainan-permainan yang

10 Eman Suparman, Dewi Agustini. Pedagogik: Teori Bermain Anak usia Dini. (PPPPTK dan PLB Bandung: 2016)hlm. 36

(7)

tidak kita punyai. Namun, Ki Hadjar Dewantara mengingatkan untuk waspada agar tidak salah meniru dan hanya meniru permainan-permainan bermanfaat. Lebih dari itu, beliau juga mengulangi peringatannya dengan berkata, “ lagi pula: jangan meniru belaka, tetapi barang baru yang hendak kita pakai itu bagus disesuaikan lebih dahulu, dengan rasa kita dan dengan keadaan hidup kita, ini yang kita namakan menasionalisasikan”.12

Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara, berpandangan bahwa permainan bagi anak, khususnya permainan tradisional, mempunyai dua manfaat, yakni manfaat jasmani atau kesehatan anak dan manfaat rohani atau kesehatan mental anak. Pertama, permainan menjadikan tubuh atau badan anak menjadi sehat dan kuat serta membentuk kelenturan bagian-bagian tubuh, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan secara optimal. Seluruh pancaindera, mata, telinga dan kaki tangannya, dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya, lancar, lembut, luwes, dan cekatan.

Kedua, bermain permainan tradisional melatih ketajaman pikiran, kehalusan rasa, serta kekuatan kemauan. Dengan kata lain, permainan dapat melatih anak-anak untuk memahami dirinya sendiri, memahami orang lain dan melakukan sikap yang bijak terhadap orang lain. Dengan demikian, bermain dan permainan anak-anak sangat bermafaat untuk melatih perasaan diri dan sosial, kedisiplinan, toleransi, mau berbagi, tenggangrasa, ketertiban, kesetiaan dan ketaatan pada aturan, ketaatan pada janji dan kesanggupan, membiasakan bersikap waspada serta siap sedia meghadapi segala keadaan dan peristiwa.

Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa nilai pendidikan yang terkandung dalam bermain dan permainan diterima oleh anak-anak tanpa paksaan atau perintah, melainkan karena kemauan serta kesenangan anak-anak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa bermain dan permainan anak-anak sangat penting untuk mempertebal rasa kemerdekaan.13 Selain itu, Ki Hadjar mengatakan dan menggaris bawahi

(8)

adanya jenis-jenis permainan khusus untuk anak laki-laki dan permainan khusus untuk anak-anak perempuan, serta permainan yang cocok untuk anak laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Dalam satu hal permainan anak-anak di Indonesia mempunyai corak yang istimewa, yaitu kebanyakan permainan anak dilakukan dengan nyanyian. Hal ini sangat sesuai dengan sifat kebudayaan Indonesia, Di mana lagu dan nyanyian mempunyai kedudukan yang penting artinya bangsa kita adalah bangsa yang sangat musikal atau gemar pada lagu dan musik. Ketika penjelasan hal ini, Ki Hadjar Dewantara mengingatkan pada sistem pengajaran yang disebut dengan istilah “antroposofis onderwifs” karya Rudolf Steiner. System antroposofis adalah sistem pengajaran yang bermaksud untuk mengembalikan cara pendidikan dan pengajaran dari sifatnya yang “intelektualistis” kepada sifat “kemanusiaan”, yang pada intinya adalah mempergunakan “rhytme”, yakni “wirama” untuk mencapai terbentuknya budi pekerti yang lurus atau “harmonis”. Berjenis-jenis latihan dan pengajaran diciptakan oleh Steiner, yang semuanya disebut “Eurhytmie” yang berarti “wirama indah” dan berisi latihan-latihan yang mengandung kesenian.14

D. Pendidikan Menurut Mohammad Syafei

Mohammad Syafei lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan diangkat jadi anak oleh Ibarahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah, kemudian dibawah pindah ke Sumatra Barat dan menetap Bukit Tinggi. Marah Sutan adalah seorang pendidik dan intelektual ternama. Dia sudah mengajar di berbagai daerah di nusantara, pindah ke Batavia pada tahun 1912 dan aktif dalam Indische Partij. Pendidikan yang ditempuh Moh. Syafei adalah sekolah raja di Bukit tinggi, dan kemudian belajar melukis di Batavia (kini Jakarta), sambil mengajar di Sekolah Kartini. Pada tahun 1922 Moh. Syafei menuntut ilmu di Negeri Belanda dengan biaya

(9)

sendiri. Di sini ia bergabung dengan "Perhimpunan Indonesia", sebagai ketua seksi pendidikan.15

Mohamad Syafei mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 oktober 1926 di Kayu Tanam, sekitar 60 km di sebelah Utara Kota Padang. Sekolah ini didirikan di atas lahan seluas 18 hektar dan dipinggir jalan raya Padang Bukit Tinggi. Pengajaran di dalam kelas menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai pelajaran bahasa asing yang pokok, dan kegiatan pembelajaran fokus pada pelajaran-pelajaran yang akan bermanfaat untuk siswa ketika mereka tuntas belajar.

INS Kayu Tanam didirikan sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. M. Syafei mempunyai pandangan bahwa Pergerakan Nasional Indonesia hanya akan berhasil mencapai tujuannya dengan cepat dan tepat, karena kemerdekaan tidak mungkin diperoleh dengan beberapa orang pemimpin saja, tetapi harus didukung oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu, rakyat juga harus ikut berjuang dan agar perjuangan dapat mencapai tujuan, maka rakyat perlu ditingkatkan kecerdasannya. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyat, pendidikan harus ditingkatkan pula, yaitu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan perjuangan mencapai Indonesia Merdeka.16

Keyakinan INS Kayu Tanam yang selalu dipegang teguh oleh M. Syafei dalam melola INS dari tahun ke tahun, dengan rasa:

a) Mendidik rakyat kearah kemerdekaan.

b) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. c) Mendidik pemuda-pemuda supaya berguna bagi masyarakat.

d)Menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggungjawab.

15Asep Yana. Pendidikan Menurut Mohammad Syafei. Diakses dari

http://asepyana666.blogspot.co.id/2013/02/pendidikan-menurut-mohammad-syafei.html. Pada tanggal 22 Januari 2017 pukul 13.30 wib.

(10)

e) Tidak mau menerima bantuan yang mengikat

Dalam menjalankan kegiatan pendidikan di INS Kayu Taman, M. Syafei berpegang teguh pada motto yang dibangunnya yaitu "cari sendiri dan kerja sendiri”.17 Tujuan pertama dari INS yaitu mendidik rakyat

ke arah kemerdekaan. Apabila rakyat Indonesia telah mengerti arti kemerdekaan dan dapat melihat kehidupan rakyat terjajah, maka mereka akan ikut secara sadar dalam setiap gerakan mencapai Indonesia Merdeka. Pendidikan kemerdekaan yang diberikan M. Syafei melalui INS adalah kemerdekaan dalam arti yang luas, yaitu kemerdekaan berfikir, berbuat, menentukan pilihan, dan berpikir berdasarkan kenyataan. Tujuan lain INS yaitu menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggung jawab, merupakan tujuan pendidikan INS yang penting bagi masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sistem ini akan memupuk kepribadian anak didik dengan kepribadian Indonesia, bukan kepribadian Barat. Anak didik akan mempunyai jiwa yang dinamis, percaya pada diri sendiri, berani berbuat, dan berani bertanggung jawab. Dengan tujuan ini M. Syafei akan membentuk kepribadian anak didik sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

INS berusaha mendidik supaya anak dapat berdiri sendiri dalam keadaan yang bagaimanapun. Tujuan ini merupakan reaksi langsung terhadap sistem pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang selalu membuat hasil didikannya tergantung kepada mereka. Segala bantuan yang akan mengikat tidak boleh diterima, karena kerja sendiri, dan usaha sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan dengan sistem belajar sambil bekerja. M. Syafei berusaha membangkitkan watak yang baik terhadap anak didiknya di samping aktif, kreatif dan efisien dalam bekerja. Bahan serta alat pelajaran diambilkan dari lingkungan dan mudah memperolehnya. Anak didik dibiasakan bekerja dengan alat sederhana untuk mencapai tujuan pendidikan.

(11)

E. Prinsip Pendidikan Menurut Mohammad Syafei (INS Kayu Tanam).

Prinsip pertama yang dipegang teguh oleh M. Syafei dalam pendidikannya adalah "belajar, bekerja, dan berbuat".18 Apabila siswa

hanya mendengarkan saja ilmu pengetahuan yang diajarkan guru melalui kata-kata yang kadang-kadang tidak dimengerti, tidak akan berguna bagi siswa karena mereka tidak tahu dan tidak akan pandai mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya atau untuk memperbaiki tingkat kehidupannya kelak di kemudian hari sesudah tamat belajar. Siswa hanya akan dipenuhi oleh bermacam pengetahuan yang tinggi dan muluk-muluk, tetapi apabila sudah memasuki kehidupan masyarakat yang sesungguhnya mereka akan bingung dan serba tanggung, sebab mereka tidak pandai mempergunakan ilmu yang banyak mereka miliki itu. Dengan demikian ilmu yang telah diperoleh tidak bermanfaat bagi diri siswa sendiri, dan orang lain, ibarat sepotong emas yang terbenam di dalam lumpur. Sistem pendidikan yang demikian hanya akan membuat murid menjadi orang suka meniru, karena sudah dibiasakan barang siapa yang pandai menirukan apa yang dikatakan gurunya, dialah yang akan mendapatkan nilai yang tinggi atau dianggap tinggi prestasinya.19

M. Syafei menghendaki supaya pendidikan itu didapat melalui pengalaman yang terus-menerus untuk dapat membentuk kebiasaan. Supaya kebiasaan yang akan diperoleh siswa sesuai dengan yang diharapkan, maka pendidikan yang akan dialaminya itulah yang diarahkan. Kurikulum sekolah harus disesuaikan dengan kebiasaan siswa yang diharapkan itu. Kebiasaan yang sudah menetap pada diri seorang siswa, menyebabkan mereka terbiasa pula berpikir secara terpola, karena kebiasaan yang sudah menetap itu didapatnya melalui pengalaman yang sudah direncanakan terlebih dahulu. Jadi, dengan memberikan

18Kementrian Agama. M.Syafei sejarah INS Kayu Tanam. Diakses dari http://www.pendis.kemenag.go.id/pai/index.php?a=detilberita&id=4674 pada tanggal 22 Januari 2017 pukul 14.00 wib.

(12)

pengalaman dengan berulang-ulang akan menimbulkan kebiasaan dan kebiasaan ini akan menimbulkan cara berpikir yang lebih aktif, karena pikirannya sudah biasa dilatih melalui pengalaman yang terarah secara terus-menerus.

Supaya anak berpikir secara aktif dan kritis, bagi M. Syafei nilai anak didiknya tidak menjadi masalah yang nomor satu. Yang diutamakan adalah bagaimana proses kerja untuk mencapai hasil tersebut. Melalui pengalaman suatu proses kerja yang telah dilalui dan diketahui dengan baik dapat pula dipergunakan untuk mengerjakan hal lain yang sejenis. Lebih diharapkan apabila proses kerjanya baik dan hasil kerjanya juga baik. Dengan demikian M. Syafei mempergunakan dalam sistem pendidikannya proses kerja yang baik dengan hasil yang baik.

(13)

dapat mengembangkan seluruh pancainderanya dengan aktif.20

F. Prinsip Dasar Pendidikan menurut M. Syafei

Berikut ini beberapa prinsip dasar yang digunakan M. Syafei dalam konsep pendidikan yang dilaksanakan di INS Kayu Taman:

a. Nasionalisme

Nasionalisme merupakan salah satu prinsip dasar yang digunakan Mohammad Syafei dalam melaksanakan pendidikan di INS Kayu Tanam. Berdasarkan pada cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya yang dinamakan perilaku aktif dan kreatif untuk menguasai alam semangat nasionalisme. b. Developmentalisme

Pandangan pendidikan Mohammad Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran Develomentalisme, terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan John Dewey dan George Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang dikembangkan Jan Ligthar. Menurut Kerschensteiner, tugas utama pendidikan adalah pengembangan warga negara yang baik dan sekolah aktivitasnya berusaha mendidik warga negara yang berguna dengan jalan:

1. Membimbing anak untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri; 2. Menanamkan dalam dirinya gagasan bahwa setiap pekerjaan

mempunyai tempatnya masing-masing dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.

3. Mengajarkan kepada anak bahwa melalui pekerjaannya, ia akan memberi sumbangan dalam turut serta membantu masyarakat untuk kearah suatu kehidupan bersama lebih sempurna.

Gagasan dan model sekolah yang dikembangkan Kersschenteiner tersebut sangat mempengaruhi konsep dan praktik pendidikan Mohammad Syafei di INS Kayu Tanam.21

20 Loc.cit

(14)

G. Proses Pendidikan di INS Kayu Tanam oleh M. Syafei

Kurikulum yang dikembangkan Moh. Syafei merupakan kurikulum untuk pendidikan dasar. Meskipun demikian, untuk tahun-tahun awal sekolah dasar ia menghendaki kurikulum berupa materi pendidikan prasekolah. Contohnya kegiatan bermain main dengan pasir, kertas dan lain-lain mendapat perhatian istimewa. Dengan demikian dari segi ini kurikulum pendidikan dasar. Beberapa mata pelajaran dibahas Syafei secara khusus, yaitu bahasa ibu, menggambar, membersihkan sekolah dan kelas, berkebun dan bemain-main.

Selain kuiukulum, M. Syafei pun mengembangkan metode pendidikan diantaranya:

a. Sekolah Kerja

Pemikiran Syafei tentang pendidikan banyak dipengaruhi oleh pemikiran pendidikan awal abad 20 di Eropa, yaitu pemikiran pendidikan yang dikembangkan berdasarkan konsep sekolah kerja atau sekolah hidup atau sekolah masyarakat. Menurut konsep ini sekolah hendaknya tidak mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat. Berdasarkan pemikiran tersebut, M.Syafei menghendaki guru mengaktifkan pengajaran, maksudnya membuat murid menjadi aktif dalam proses pengajaran. Metode dari pengajaran demikan ialah pekerjaan tangan.

b. Produksi/kreasi

Secara umum dapat dikatakan bahwa pengajaran hendaknya mengupayakan aktivitas seoptimal mungkin pada siswa. Pengajaran jangan terperangkap dan berhenti dalam bentuk reseptif dan reproduktif. Dasar pendidikan yang dikembangkan oleh Moh. Syafei adalah kemasyarakatan, keaktifan, kepraktisan, serta berpikir logis dan rasional. Berkenan dengan itulah maka isi pendidikan yang dikembangkannya adalah bahan-bahan yang dapat mengembangkan pikiran, perasaan, dan ketrampilan atau yang dikenal dengan istilah 3 H, yaitu Head, Heart dan Hand.22

Referensi

Dokumen terkait

daya agar hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Perencanaan adalah proses penentuan tujuan atau sasaran yang. hendak dicapai dan menetapkan jalan dan

lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir. pendidikan Islam. Tujuan

panduan guru, sumber belajar lain berupa muatan lokal, materi kekinian, konteks pembelajaran dari lingkungan sekitar yang dikelompokkan menjadi materi untuk

Ibid ., hlm. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoris dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner , PT.. betapapun guru menguasai materi ajar, dapat

Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor: 35.. berdasarkan jatidiri koperasi dan pola syariah secara profesional sesuai

Menanamkan nilai-nilai moral keagamaan, sikap dan perilaku juga memerlukan pendekatan atau metode yaitu dengan memberikan penghargaan dan hukuman. Penghargaan perlu

Sebagai konsekuensi dari tugas dan tanggungjawab tersebut, maka apabila pengurus menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan mengakibatkan kerugian Yayasan