• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pemanfaatan Media Penyaring dan Tumbuhan Air Setempat Untuk Pengendalian Limbah Cair Pada Sub DAS Tapung Kiri, Propinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pemanfaatan Media Penyaring dan Tumbuhan Air Setempat Untuk Pengendalian Limbah Cair Pada Sub DAS Tapung Kiri, Propinsi Riau"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

i

CAIR PADA SUB-DAS TAPUNG KIRI, PROPINSI RIAU

SYAFRANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Pemanfaatan Media Penyaring dan Tumbuhan Air Setempat Untuk Pengendalian Limbah Cair Pada Sub-DAS Tapung Kiri, Propinsi Riau, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Pustaka Acuan di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Februari 2007

(3)

iii SYAFRANI. Kajian Pemanfaatan Media Penyaring dan Tumbuhan Air Setempat Untuk Pengendalian Limbah Cair Pada Sub-DAS Tapung Kiri, Propinsi Riau. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS, M. SRI SAENI, dan SURIA DARMA TARIGAN.

Isu menurunnya kualitas air menjadi semakin kuat dengan meningkatnya jumlah industri yang membuang limbah cair ke perairan tanpa dilakukan pengolahan limbah atau kurang memadainya perlakuan yang seharusnya dilakukan oleh industri. Penelitian kajian pemanfaatan media dan tumbuhan air sebagai pengendali limbah cair, dikenal dengan konsep fitoremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui karakteristik tingkat pencemaran perairan sungai Tapung Kiri, (2) melakukan kajian efektivitas pemanfaatan media penyaring dan tumbuhan air lokal dalam mengurangi bahan pencemar dari limbah cair, (3) menyusun teknik pengolahan limbah cair dengan media penyaring dan pemanfaatan tumbuhan air lokal dalam mengurangi bahan pencemar limbah cair. Percobaan dilakukan dalam tiga tahap yang meliputi, persiapan, prapenelitian, dan percobaan utama. Percobaan utama dilakukan dengan rancangan petak terbagi (split plot design). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan sungai Tapung Kiri secara umum dari hulu ke hilir tergolong kategori tercemar berat. Kombinasi media aluvial-zeolit mampu menurun kadar bahan pencemar lebih tinggi dari media aluvial yakni 9 parameter mampu menurun kadar bahan pencemar berkisar antara 75-100%, tumbuhan air gabungan Scirpus grossus-Pistia stratiotes (wlingen-kiapu) mampu menurunkan kadar bahan pencemar lebih tinggi dari perlakuan lainnya yakni 11 parameter menurun kadar bahan pencemarnya berkisar antara 75-100%. Teknik pengolah limbah yang terbaik digunakan adalah gabungan media tanah aluvial-zeolit dengan gabungan tumbuhan air

Scirpus grossus-Pistia stratiotes, yakni 13 parameter mampu menurun kadar bahan pencemar berkisar antara 75-100%, dan diikuti Echinodorus paleafolius-Pistia stratiotes

(11 parameter) sertaLimnocharis flava-Pistia stratiotes(11parameter) .

(4)

iv SYAFRANI.The Study of Filter Media and Local Aquatic Plants Usage in Controlling Wastewater on Sub-DAS Tapung Kiri, Propinsi Riau. Under the direction of SANTUN R.P SITORUS, M. SRI SAENI and SURIA DARMA TARIGAN.

Issue on decrease of water quality become stronger following increase of industries which dispose wastewater sufficient treatment. A research that using media and aquatic plants as a wastewater controlling, as known as phytoremediation concept. Research objects are: 1) to characterize Tapung Kiri river territory pollution level. 2) Make effectiveness research using filter medium and local aquatic plant to reduce pollutant. 3) Design a wastewater processing technique using filter media and local aquatic plants for reducing pollutant. The experiment conducted in three phases including preparation, preresearch and main experiment. The main experiment conducted using split plot experimental design. Result indicate that Tapung Kiri river territory from upper course to lower course generally classified as a serious polluted categories. Alluvial-zeolite medium can reduce pollutant substance higher than Alluvial medium, which is 9 parameter can reduce pollutant about 75.0-100%, the alliance aquatic plant Scirpus grossus-Pistia stratiotes, can reduce pollutant higher than the others in 11 parameter. The best wastewater processing technique sequence are combination of alluvial-zeolite soil medium and alliance of aquatic plant Scirpus grossus-Pistia stratiotes, in 13 parameter, then Echinodorus paleafolius-Pistia stratiotes (11parameters), and also Limnocharis flava-Pistia stratiotes(11 parameters).

(5)

v

(6)

vi

LIMBAH CAIR PADA SUB-DAS TAPUNG KIRI, PROPINSI RIAU

SYAFRANI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

vii Propinsi Riau.

Nama : Syafrani

NRP : P.062024021

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus Ketua

Prof. Dr. Ir. H. M. Sri Saeni, M.S Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M. S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S

(8)

viii Puji dan syukur hanya buat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul Kajian Pemanfaatan Media Penyaring dan Tumbuhan Air Setempat Untuk Pengendalian Limbah Cair Pada Sub-DAS Tapung Kiri, Propinsi Riau, dilaksanakan mulai dari bulan Agustus 2005 sampai bulan Juni 2006. Lokasi obyek penelitian Sub-DAS Tapung Kiri, pelaksanaan percobaan di rumah kaca dan kasa Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.

Selama pelaksanaan penelitian ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. H..M. Sri Saeni, M. S, dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M. Sc, selaku Anggota Komisi Pembimbing.

2. Pimpinan dan Staf Sekolah Pascasarjana IPB, dan Pimpinan serta Staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjan IPB.

3. Koordinator Kopertis Wilayah X, beserta Staf atas izin pendidikan yang telah diberikan kepada penulis.

4. Rektor Universitas Lancang Kuning, atas izin dan bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada penulis.

5. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning, atas izin pendidikan dan penggunaan fasilitas laboratorium, rumah kaca, dan rumah kasa yang diberikan kepada penulis.

6. P.T Chevron Pacific Indonesia, beserta Staf, yang telah memberikan Beasiswa pendidikan pada penulis selama 3 tahun pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah pascasarjana IPB.

(9)

ix 9. Kepala BAPEDALDA Kabupaten Kampar beserta Staf, yang telah memberikan

fasilitas laboratorium dan bantuan selama penelitian di lapangan.

10. Kepala dan Staf Laboratorium Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Propinsi Riau, Kepala Laboratorium Kimia Analitik FMIPA UNRI, dan Kepala Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB, atas bantuan fasilitas dan kerjasama selama penelitian ini berlangsung.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu atas segala bantuan baik moril maupun materiil yang telah penulis terima.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah yang sederhana ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Februari 2007

(10)

x Penulis dilahirkan di Bagan Siapi Api, Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau pada tanggal 24 Oktober 1958 sebagai anak keempat dari pasangan Menthol Budin dan Rano. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di Jurusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Pekanbaru, dan lulus pada tahun 1985. Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1994 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB Bogor. Pada semester genap tahun akademik 2002/2003 penulis mulai terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada program studi yang sama. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari PT Chevron Pacific Indonesia-Pekanbaru Riau.

Pada tahun 1985-1989 penulis mengajar sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning Pekanbaru. Kemudian pada tahun 1989 sampai sekarang penulis diangkat sebagai staf pengajar (PNS) pada Kopertis Wilayah X Padang, dan dipekerjakan pada Fakultas Pertanian, Universitas Lancang Kuning, Propinsi Riau. Pada tahun 2002, penulis bekerjasama dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI) Propinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, melakukan kajian ekosistem perairan Pulau Arwah di Kabupaten Rokan Hilir, sebagai wilayah untuk pengembangan penyu hijau dan daerah wisata bahari.

(11)

xi

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Kerangka Pemikiran ……….. 4

1.3. Perumusan Masalah ……….. 6

1.4. Tujuan Penelitian ……….. 7

1.5. Manfaat Penelitian ……….. 8

1.6. Hipotesis ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 9

2.1. Tumbuhan Air Sebagai Pengurai Limbah ..……… 9

2.2. Penguraian Limbah Dalam Rawa ……….………... 10

2.3. Penggunaan Zeolit dan Tanah Aluvial Sebagai Media Penyaring ... 12

2.4. Bentuk Media Penyaring Buatan ………... 16

2.5. Tumbuhan Air yang Digunakan ……….. 17

2.6. Jenis Limbah Cair dan Sumbernya ………. .... 21

2.7. Indikator Parameter Pencemar ………. 23

III. METODE PENELITIAN ………. 27

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 27

3.2. Alat dan Bahan ………. 27

3.3. Pelaksanaan Penelitian ………. 27

3.3.1. Tahap Persiapan ………. 27

3.3.2. Tahap Prapenelitian dan Seleksi Tumbuhan Air ………. 29

3.3.3. Tahap Percobaan Utama ………. 30

3.3.4. Pengamatan ………. 32

3.4. Analisis Data ………. 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 34

4.1. Karakteristik Bahan Pencemar Limbah Cair yang Dibuang ke Perairan .. 34

4.2. Hasil Percobaan Pendahuluan Seleksi Tumbuhan Air ... 38

4.3. Efektifivas Media Penyaring dan Tumbuhan Air Mengurangi Bahan Pencemar ... 40

4.3.1. Parameter Dasar dan Penunjang ... 41

4.3.1.1. Padatan Tersuspensi Total (TSS) .……….... 42

4.3.1.2. Padatan Terlarut Total (TDS) ………. 47

4.3.1.3. Daya Hantar Listrik (DHL) ...………. 52

(12)

xii

4.3.1.7. Kesadahan Total ... 68

4.3.1.8. Derajat Keasaman (pH) ... 72

4.3.1.9. Klorida ... 75

4.3.1.10.Magnesium (Mg) ... 80

4.3.1.11. Kalsium (Ca) ... 83

4.3.2. Parameter Penyubur ... 86

4.3.2.1. Amonia (NH3-N) ……….. 86

4.3.2.2. Nitrat (NO3-N) ……….. 90

4.3.2.3. Nitrit (NO2-N) ...………. 93

4.3.2.4. Ortofosfat ………. 95

4.3.3. Parameter Senyawa Organik ... 99

4.3.3.1. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) ………. 99

4.3.3.2. Minyak dan Lemak ...……….. 104

4.3.4. Parameter Logam ... 107

4.3.4.1. Timbal (Pb) ...……….. 107

4.3.4.2. Besi (Fe) ……… 111

4.4. Efek Limbah Terhadap Pertumbuhan Tumbuhan Air ………. 113

4.5. Teknik Pengolahan Limbah Cair dengan Media Penyaring dan Tumbuhan Air ... 116

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 123

5.1. Simpulan ... 123

5.2. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125

(13)

xiii Halaman

1. Berbagai jenis bahan pencemar yang terdapat dalam limbah cair ………. 14

2. Klasifikasi tingkat penecemaran bahan organik dari limbah cair………. 14

3. Beberapa jenis bahan pencemar dan sumbernya ………. 22

4. Kandungan unsur-unsur fisika dan kimia limbah cair pabrik kelapa sawit ... 22

5. Titik sampling dan segmen sungai pada Sub-DAS Tapung Kiri ………. 28

6. Kombinasi perlakuan pada percobaan utama ... 31

7. Hasil analisis parameter fisika, kimia dan mikrobiologi pada masing-masing titik sampling ... 34

8. Mutu lingkungan perairan pada masing-masing stasion berdasarkan IMLP 35 9. Perbandingan hasil analisis fisika, kimia dan mikrobiologi berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 ... 36

10. Hasil analisis sistem nilai storet (Kep-Men-LH. No. 115 tahun 2003) ... 36

11. Nilai tengah, simpangan baku dan koefisien keregaman dari masing-masing titik pengambilan sampel limbah cair ... 37

12. Seleksi tumbuhan air yang digunakan dalam percobaan ... 39

13. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar TSS pada akhir pengamatan ... 42

14. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar TSS (%) tiap periode 10, 20, dan 30 hari ... 43

15. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar TDS pada akhir pengamatan ... 48

16. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar TDS (%) tiap periode 10, 20, dan 30 hari ... 48

17. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan DHL pada akhir pengamatan ... 53

18. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya DHL (%) tiap periode 10, 20, dan 30 hari ... 53

19. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kekeruhan pada akhir pengamatan ... 57

(14)

xiv 22. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar sulfat (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 61 23. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

CO2pada akhir pengamatan ... 65

24. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar CO2(%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 66 25. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

kesadahan total pada akhir pengamatan ... 68 26. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar kesadahan total (%) tiap periode

10, 20, dan 30 hari ... 69 27. Rata-rata nilai keefektivan peningkatan nilai pH (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 73 28. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

klorida pada akhir pengamatan ... 76 29. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar klorida (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 77 30. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

magnesium pada akhir pengamatan ... 80 31. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar magnesium (%) tiap periode 10,

20, dan 30 hari ... 81 32. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar kalsium (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 84 33. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

amonia pada akhir pengamatan ... 87 34. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar amonia (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 87 35. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

nitrat pada akhir pengamatan ... 90 36. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar nitrat (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari. ... 91 37. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar nitrit (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 94 38. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

(15)

xv 40. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan nilai

COD pada akhir pengamatan ... 100 41. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya nilai COD (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 100 42. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunkan kadar

minyak dan lemak pada akhir pengamatan ... 105 43. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar minyak dan lemak (%) tiap

periode 10, 20, dan 30 hari ... 105 44. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh perlakuan menurunnya kadar

Pb pada akhir pengamatan ... 108 45. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar Pb (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 109 46. Rata-rata nilai keefektivan menurunnya kadar Fe (%) tiap periode 10, 20,

dan 30 hari ... 111 47. Persentase rata-rata tumbuhan air hidup pada masing-masing perlakuan sampai

akhir pengamatan ………... 114

48. Rata-rata pertambahan biomasa (pohon, helai daun, bunga dan roset) pada

masing-masing perlakuan ………. 115

49. Rata-rata nilai keefektivan media penyaring menurunkan kadar bahan pencemar dalam limbah cair ... 118 50. Rata-rata nilai keefektivan tumbuhan air menurunkan kadar bahan pencemar

dalam limbah cair ... 120 51. Jumlah parameter yang mampu berkurang bahan pencemarnya dikelompokan

(16)

xvi Halaman

1. Kerangka Pemikiran ……….. 7

2. Proses fitoremediasi bahan pencemar ……….. 10

3. Mekanisme pergerakan senyawa kimia pada akar tumbuhan air ……….. 11

4. Desain rawa buatan aliran horizontal (Brix, 1993) ……….. 16

5. Desain rawa buatan aliran vertical (Brix, 1993) ………... 16

6. Tumbuhan air dengan ronga udaranya ………...… 18

7. Tumbuhan wlingen (Scirpus grossus) ………... 19

8. Tumbuhan Melati air (Echinodorus paleafolius) ………... 19

9. Tumbuhan Genjer (Limnocharis flava) ………... 20

10. Tumbuhan Kiapu atau apu-apu (Pistia stratiotes) ………... 20

11. Tempat pra-penelitian ………... 30

12. Wadah yang digunakan ………... 30

13. Wadah untuk percobaan utama ...……….. 32

14. Percobaan seleksi tumbuhan air ………... 39

15. Lokasi sumber limbah ...……… 40

16. Percobaan utama di rumah kasa ……… 40

17. Limbah berwarna hitam gelap sebelum proses fitoremediasi ... 40

18. Limbah cair berwarna terang setelah proses fitoremediasi ... 41

19. Hasil pengujian berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar TSS ... 44

20. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh interaksi antara media dan tumbuhan air terhadap kadar TSS ... 45

21. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar TDS ... 49

22. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh interaksi antara media dan tumbuhan air terhadap kadar TDS ... 50

23. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap DHL ... 54

(17)

xvii 26. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air

terhadap kadar sulfat ... 62

27. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh interaksi antara media dan tumbuhan air terhadap kadar sulfat ... 63

28. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar CO2 ... 67

29. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar kesadahan total ... 70

30. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh interaksi antara media dan tumbuhan air terhadap kadar kesadahan total ... 71

31. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar klorida ... 78

32. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh interaksi antara media dan tumbuhan air terhadap kadar klorida ... 79

33. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar magnesium ... 82

34. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar amonia ... 88

35. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar nitrat ... 91

36. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar ortofosfat ... 97

37. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap nilai COD ... 101

38. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh interaksi antara media dan tumbuhan air terhadap nilai COD ... 102

39. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap kadar minyak dan lemak ... 106

40. Hasil uji berpasangan nilai tengah pengaruh media dan tumbuhan air terhadap parameter Pb ... 109

41. Pertumbuhan tumbuhan air awal dan akhir percobaan ……… 113

42. Grafik peningkatan massa masing-masing perlakuan ……… 116

(18)

xviii Halaman

1. Gambar peta DAS Tapung Kiri dan lokasi titik pengambilan sampel limbah

Cair ... 135 2. Kadar parameter fisika dan kimia pada limbah cair awal dan pada pengamtan

hari ke 30 ... 136 3. Analisis sidik ragam rancangan petak terbagi ... 138 4. Hasil uji berpasngan nilai tengah 19 parameter pengaruh media penyaring

terhadap kadar bahan pencemar pada akhir pengamatan hari ke 30 Pencemar 139 5. Hasil uji berpasangan nilai tengah 19 parameter pengaruh tumbuhan air

terhadap kadar bahan pencemar pada akhir pengamatan hari ke 30 ... 140 6. Hasil uji berpasangan nilai tengah 19 parameter pengaruh media aluvial dan

tumbuhan air terhadap kadar bahan pada akhir pengamatan hari ke 30 ... 141 7. Hasil uji berpasangan nilai tengah 19 parameter pengaruh media aluvial-zeolit

dan tumbuhan air terhadap kadar bahan pada akhir pengamatan hari ke 30 142 8. Input data rata-rata nilai parameter pada akhir percobaan untuk analisis sidik

ragam ... 143 9. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar TSS dan TDS 146 10. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar DHL dan

kekeruhan ... 147 11. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar sulfat dan CO2 148

12. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar kesadahan total

dan nilai pH ...………... 149 13. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar klorida dan Mg 150 14. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar Ca dan amonia 151 15. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar nitrat dan nitrit 152 16. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar ortofosfat dan

nilai COD ...……… 153 17. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kadar minyak dan

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai adalah salah satu dari sumberdaya alam yang bersifat mengalir yang tidak mengenal batas administrasi, sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang di hilir, pencemaran air di hulu akan menimbulkan biaya sosial di hilir, dan pelestarian di hulu akan memberi manfaat di hilir. Pada era otonomi dan pemekaran wilayah, diperlukan adanya komitmen dari semua pihak untuk bersama-sama mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya agar mampu menciptakan suatu sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tepat, sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat secara adil dan berkelanjutan.

Kemampuan dan strategi pemerintah daerah akan sangat menentukan besarnya manfaat yang dapat diperoleh masyarakat, serta jaminan ketersediaan sumberdaya alam di masa datang. Sumberdaya air sebagai salah satu komponen dari sumberdaya alam memerlukan konsep dan strategi pengelolaan yang holistik dan terpadu, sehingga diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi kemakmuran rakyat, karena sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakkan roda pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, propinsi, kabupaten, dan kota

Sumberdaya air merupakan bagian dari ekosistem, yang mempengaruhi jalannya pembangunan dalam berbagai sektor seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, industri, dan domestik. Arsyad (2004) menggolongkan penggunaan air oleh manusia dalam tiga golongan utama yaitu (1) pemakaian domestik, (2) pemakaian industri, dan (3) pemakaian pertanian. Lebih lanjut Arsyad (2004) menyatakan secara global pemakaian air untuk rumahtangga sebesar 8 %, pemakaian air oleh industri sebesar 23 %, dan pemakaian oleh pertanian sebesar 69 %, dari pemakaian air total oleh manusia.

(20)

air, karena air merupakan prasyarat untuk sesuatu kehidupan. Menurut proyeksi

International Food Policy Research Institute (IFPRI), kebutuhan air Indonesia tahun 2020 dibandingkan tahun 1995 akan meningkat untuk keperluan pertanian sebesar 25 %, industri 400 %, dan domestik 300 %. Secara kuantitas volume air yang ada relatif konstan bahkan yang dapat digunakan cenderung menurun akibat pencemaran, rusaknya kondisi biofisik daerah aliran sungai (DAS) (Irianto dan Rejekiningrum, 2004).

Perkembangan pembangunan dalam berbagai sektor yang sangat cepat tidak seimbang dengan usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi pencemaran yang terjadi, karena limbah sebagai hasil sampingan dari aktivitas pembangunan dibuang ke lingkungan perairan tidak melalui proses pengolahan limbah yang baik, sehingga berpotensi mencemari perairan sungai karena adanya kandungan bahan organik dan anorganik termasuk logam berat. Beberapa laporan hasil penelitian menunjukkan bahwa pencemar dari limbah domestik merupakan pencemar utama, tetapi penelitian lainnya menunjukkan bahwa industrilah penyumbang pencemaran terbesar. Prihatiningsih (1998) menyatakan pencemaran atau kerusakan lingkungan perairan sungai diperkirakan 60% berasal dari limbah industri, karena 68% dari sistem pengelolaan limbah cair belum memenuhi syarat. Hal ini diperkuat oleh laporan Kementerian Lingkungan Hidup (2004) bahwa 60% sungai di Indonesia dalam keadaan tercemar.

(21)

Pengembangan teknologi yang bersumber dari alam dengan pemanfaatan media penyaring seperti lahan rawa dan vegetasi air ini dikenal sebagai suatu teknologi yang disebut fitoremediasi (Adriano dan Strojan, 2005; Raskin, 2005). Kemampuan tumbuhan air untuk menyerap bahan pencemar organik, dan anorganik. menjadi perhatian para pakar lingkungan untuk bisa dimanfaatkan sebagai suatu teknologi pengolah limbah cair dengan menggunakan sistem lahan basah buatan, dan bisa juga digunakan sebagai indikator adanya pencemaran air dan udara (Klumpp et al., 1994; Cunningham, 2005). Beberapa keuntungan dari penggunaan teknologi fitoremediasi, dengan sistem lainnya adalah mudah dilakukan serta murah jika dibandingkan dengan cara pengolahan seperti fisika-kimia maupun bioremediasi dengan menggunakan mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan jamur (Subroto, 1996)

Aktivitas manusia untuk mengeskploitasi sumberdaya alam terus berlanjut, karena pembangunan nasional, maupun pembangunan daerah masih didominasi oleh kegiatan yang mengutamakan peningkatan di sektor industri dan pertanian. Oleh sebab itu, yang harus dicermati adalah dampak dari kegiatan tersebut. Limbah cair sebagai hasil sampingan setiap industri dan pertanian harus ditangani secara benar agar tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, manusia serta mahluk hidup lainnya (Rahardjo, 2002). Di Propinsi Riau khususnya pada DAS Tapung Kiri, menurut data dari Dinas Perkebunan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Riau (2003), terdapat 34 perkebunan besar, terdiri dari 32 perusahaan kebun kelapa sawit, dan 2 perusahaan perkebunan karet, dengan luas lahan keseluruhan 132.196,98 ha. Selain itu terdapat 20 pabrik minyak kelapa sawit, dan 2 pabrik karet yang berada di sepanjang aliran sungai.

(22)

1.2. Kerangka Pemikiran

Suatu DAS secara ekologis merupakan suatu ekosistem yang sangat kompleks, yaitu sifatnya ditentukan oleh keadaan geologi, iklim, fauna, flora, tataguna lahan dan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Subsistem-subsistem yang bersifat alamiah dan buatan ini akan saling berkaitan, sehingga dalam perencanaan pengembangan dan pengelolaan suatu DAS dilihat dari segi manfaatnya perlu diperhatikan adanya keseimbangan antara subsistem-subsistem tersebut. Subsistem-subsistem dalam DAS akan saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain melalui faktor-faktor tertentu yang sifat dan ekosistemnya dipengaruhi oleh sumberdaya air.

Di suatu DAS ada beberapa faktor lingkungan yang saling berkaitan, yaitu lingkungan pemukiman, lingkungan produksi, lingkungan industri dan lingkungan perlindungan, selain kondisi-kondisi fisik juga kondisi sosial ekonomi. Lingkungan ini berfungsi secara simultan, sehingga kualitas air di suatu sungai dan anak sungainya akan dapat mencerminkan tingkat keserasian fungsi-fungsi tersebut. Kuantitas dan kualitas air pada suatu perairan sungai dapat digunakan sebagai suatu indikator yang merupakan pencerminan pengelolaan dan pengembangan suatu DAS.

Perlu dipemahami bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang didalamnya terjadi interaksi antar komponen-komponen lingkungan. Upaya yang dilakukan oleh manusia dalam pemanfaatan lahan merupakan sumber perubahan dalam karakteristik DAS. Penggunaan lahan dalam wilayah DAS jika dikelola dengan baik akan memberikan manfaat bagi manusia dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Tidak dapat dipungkiri, selama program percepatan ekonomi sebagai tumpuan kelangsungan gerak dinamika roda perekonomian bangsa yang mengandalkan sektor pertanian dan sektor industri sebagai pilar penyangga, maka perubahan tata lingkungan sulit untuk dihindari.

(23)

mutu lingkungan perairan, dan baku mutu limbah cair kegiatan industri dan sebagainya, namun pencemaran tetap juga selalu terjadi. Hal ini disebabkan oleh pengolahan limbah cair sebelum dibuang ke perairan tidak dilakukan dengan baik.

Untuk menanggulangi makin menurunnya kualitas air oleh kegiatan industri, dan kegiatan lain yang membuang limbahnya ke perairan, maka perlu dilakukan alternatif pengolahan limbah cair hasil kegiatan usaha industri, pertanian, dan perkebunan sebelum limbah cair tersebut dibuang ke perairan dengan melakukan kajian-kajian pemanfaatan media penyaring vegetasi air lokal. Adapun kerangka pemikiran penelitian ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sumber Pencemaran

Lingkungan industri

Lingkungan pemukiman

Lingkungan perlindungan

Lingkungan produksi

Identifikasi limbah cair, karakteristik sifat fisika, kimia dan biologi

Analisis limbah cair (peraturan- perundangan)

Survei iventarisasi tumbuhan air lokasi

Adaptasi tumbuhan air terhadap limbah

Hasil seleksi tumbuhan air Sumber limbah cair

Media penyaring aluvial dan zeolit + tumbuhan air

Fitoremediasi

(24)

1.3. Perumusan Masalah

Seperti telah diketahui bahwa pencemaran lingkungan perairan telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pada awalnya, hal tersebut belum menjadi persoalan yang serius karena kebutuhan air bersih masih belum begitu mendesak. Disamping itu ketersediaan air terutama penyebaran kuantitas air tahunan relatif masih merata. Dengan kata lain, perbandingan debit harian pada musim kemarau dan musin hujan tidak terlalu mencolok. Namun demikian perlu disadari saat ini kebutuhan akan air bersih sudah menjadi pembicaraan umum.

Mencuatnya isu menurunnya kualitas air menjadi semakin kuat dengan semakin banyaknya kegiatan industri yang membuang limbahnya ke perairan sekitarnya tanpa dilakukan pengolahan limbah atau kurang memadainya perlakuan yang seharusnya dilakukan oleh industri pembuang limbah. Meningkatnya aktivitas pemanfaatan lahan di DAS, dapat meningkatkan jumlah komponen pencemar seperti bahan organik, anorganik termasuk logam berat yang masuk ke dalam perairan sungai, dan pada gilirannya dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kualitas perairan (Asdak, 2002).

Permasalahan umum di Sub-DAS Tapung Kiri adalah limbah cair dibuang ke perairan sungai tanpa pengolahan yang memadai, sehingga dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas air sungai serta penurunan derajat peruntukannya sampai pada tingkat terendah. Berhubung air merupakan sumberdaya alam dan komponen ekosistem, serta merupakan hak setiap orang untuk memanfaatkannya, maka kondisi kualitas air harus dilindungi dan dikelola serta dikendalikan agar tidak menjadi tercemar. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya pengendalian limbah cair dari berbagai aktivitas di sepanjang DAS melalui pendekatan teknologi yang lebih mudah dilakukan dengan biaya yang lebih murah.

(25)

Kekurangan fasilitas penampungan, pengumpul, dan penyaluran limbah, menyebabkan orang memindahkan persoalan limbah cair yang dihasilkan dengan membuangnya secara langsung ke perairan. Pada DAS Tapung Kiri dalam kawasan perkebunan sawit maupun karet biasanya banyak lahan rawa buatan, seperti parit yang ditumbuhi tumbuhan air yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk pengolah limbah cair sebelum dibuang secara langsung ke perairan umum. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan terdahulu, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana kualitas perairan sungai Tapung Kiri, akibat meningkatnya aktivitas pembuangan limbah cair tanpa perlakuan yang memadai.

2. Bagaimana kemampuan media penyaring dan tumbuhan air setempat meningkatkan kualitas limbah cair dari sumber limbah sebelum dibuang ke perairan sungai Tapung Kiri.

3. Bagaimana efisiensi media penyaring dan tumbuhan air setempat, dan waktu yang dibutuhkan untuk menyerap bahan pencemar dari sumber limbah cair yang dibuang ke perairan sungai Tapung Kiri.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun teknik peningkatan kualitas perairan tepat guna spesifik lokasi untuk mengurangi beban pencemar limbah cair yang dibuang ke perairan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa tujuan antara sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi karakteristik bahan pencemar limbah cair yang berasal dari berbagai sumber limbah cair di sub-DAS yang dibuang ke perairan sungai Tapung Kiri

2. Melakukan kajian efektivitas pemanfaatan media penyaring dan tumbuhan air setempat dalam mengurangi bahan pencemar dari limbah cair.

(26)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilaksanakan diharapkan dapat dimanfaatkan :

1. Diperolehnya rekomendasi pengembangan teknologi pengolahan limbah cair dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada suatu wilayah industri. 2. Sebagai bahan dalam pertimbangan menyusun kebijakan pengelolaan DAS dan

perencanaan tataruang wilayah.

3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi arahan perencanaan pengelolaan DAS secara terpadu antara berbagai instansi terkait antara kabupaten dan kota.

1.6. Hipotesis

1. Media penyaring berbeda kemampuannya mengurangi bahan pencemar dari 19 parameter yang terdapat dalam limbah cair

2. Tumbuhan air setempat berbeda kemampuannya mengurangi bahan pencemar 19 parameter yang terdapat dalam limbah cair

1.7. Kebaruan (Novelty)

1. Meneliti tumbuhan air setempat yang menancap pada media tanah dan yang mengapung pada permukaan air dalam upaya mengurangi kadar bahan pencemar dalam limbah cair.

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Air Sebagai Pengurai Limbah

Ekosistem rawa memiliki kemampuan alamiah untuk menghilangkan pencemaran bahan organik dan anorganik. Kemampuan ini terutama disebabkan adanya tumbuhan air yang berperan sebagai pengolah limbah. Tumbuhan air yang muncul di permukaan air mampu mengasimilasi senyawa organik dan anorganik yang terdapat dalam limbah. Oksigen ditransformasi melalui tanaman ke jaringan di bawah tanah dan keluar dari akar, selanjutnya mengoksidasi substrat di sekeliling akar (Finlayson dan Chik, 1983; Pilon-Smits, 2005). Upaya penanganan limbah dan pencemaran lingkungan dengan mengunakan vegetasi dikenal sebagai suatu proses fitoremediasi (Subroto 1996).

Konsep fitoremediasi sebenarnya sudah cukup lama dikenal, terutama untuk penanganan air limbah dengan menggunakan sistem lahan basah, lahan alang-alang dan tanaman apung (Cunninghamet al., 1995), dan untuk bioindikator adanya pencemaran air dan udara (Ornes dan Sajwan, 1993; Klump et al., 1994). Akhir-akhir ini konsep fitoremediasi tersebut telah diaplikasikan untuk tanah yang tercemar. Aplikasi fitoremediasi untuk penanganan masalah limbah dapat dilakukan baik secara in situ

(28)

Gambar 2. Proses fitoremediasi bahan pencemar

Penanggulangan masalah pencemaran dengan fitoremediasi dapat dilakukan melalui lima proses yang berbeda yaitu :1) fitostabilisasi proses remediasi diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer, 2) fitodegradasi proses metabolisme kontaminan di dalam jaringan tanaman, misalnya olah enzim dehalogenase dan oksigenase, 3) fitovolatilisasi proses remediasi terjadi ketika tanaman menyerap kontaminan dan melepaskannya ke udara lewat daun, dan dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun, 4) rizofiltrasi proses remediasi memanfaatkan kemampuan akar tanaman untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasikan logam dari aliran limbah, dan 5) fitoesktraksi proses yang mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tanaman dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tanaman seperti akar, daun atau batang (Pilon-Smits, 2003).

2.2. Penguraian Limbah Dalam Rawa

Pelepasan oksigen oleh akar tumbuhan lahan rawa menyebabkan air atau tanah di sekitar rambut akar memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan air atau tanah yang tidak ditumbuhi tumbuhan air dalam suatu lahan rawa, sehingga memungkinkan mikroorganisme pengurai seperti bakteri aerob dapat hidup. Diperkirakan oksigen yang dilepas oleh akar tumbuhan air di lahan rawa dalam satu hari berkisar antara 5 hingga 45 mg untuk setiap satu meter persegi luas akar (Reed et al.,

1988).

(29)

dengan akar yang menancap pada tanah. Kemampuan tumbuhan air mengurai bahan pencemar tergantung pada ketersedian sumberdaya, keadaan lingkungan dan adaptasinya terhadap lingkungan. Kemampuan tumbuhan air pada lahan basah untuk menyerap bahan pencemar tidaklah sama. Jika diurut berdasarkan kemampuan menyerap bahan pencemar didapat bahwa tanaman timbul  tanaman mengapung tanaman dalam air (Priyanto dan Prayitno, 2005).

Berbagai tumbuhan lahan rawa alami telah mampu beradaptasi dan tumbuh dengan baik di dalam air atau tanah yang jenuh air. Tumbuhan air telah mampu berkembang dan hidup di lingkungan yang didominasi oleh air melalui adaptasi struktur dan fisiologinya. Tumbuhan air pada lahan basah berperan aktif memompa oksigen ke dalam sistem perairan. Hal ini dapat terjadi karena organ tumbuhan air mempunyai ruang antar sel yang membentuk lubang-lubang saluran udara untuk menyimpan oksigen bebas. Daun, batang, dan akar pada tumbuhan air dapat mentransfer oksigen dari udara, yang dibebaskan kembali ke akar atau rizosfer dan rizoma sehingga membentuk suasana

aerob. Mekanisme pergerakan senyawa kimia pada akar atau rizosfer tumbuhan air disajikan pada Gambar 3 (Guntenspergenet al., 1989; Wetzel, 2001).

Gambar 3. Mekanisme pergerakan senyawa kimia pada akar tumbuhan air

(30)

plants) seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), kayambang (Lemna minor), paku air (Azolla pinnata), ki apu (Spirodella polyrrhira), 2) kelompok tumbuhan di dalam air (submerged plants) seperti Elodia, Ceratophyllum, Hydrilla, 3) kelompok tumbuhan ampfibius (amphibious plants) seperti wawalingian (Typha domingensis), mendong (Fimbristylis globulosa), kangkung (Ipomoea aquatica), genjer (Limnocharis flava), seladah air (Nosturium officinale). Tindakan pemulihan (remediasi) limbah dan pencemaran lingkungan dengan menggunakan tumbuhan air dikenal sebagai teknologi fitoremediasi, yaitu suatu konsep yang didefinisikan sebagai penggunaan tumbuhan untuk memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik senyawa organik maupun anorganik.

2.3. Penggunaan Zeolit dan Tanah Aluvial Sebagai Media Penyaring

Banyak cara yang dilakukan untuk melakukan pengolahan terhadap air limbah. Pengolah limbah yang banyak dikenal ialah teknik penyaringan, pengendapan, penyerapan dan penjerapan. Media yang sering digunakan adalah pasir, ijuk, arang batok, kerikil, tawas, bubuk kapur. Saat ini zeolit banyak digunakan sebagai media penyaring. Zeolit merupakan senyawa alumino-silikat terhidrasi yang terutama tersusun oleh kation-kation alkali dan alkali tanah. Senyawa ini berstruktur tiga demensi dan mempunyai pori-pori atau ruang yang dapat diisi oleh kation lain ataupun molekul air. Penelitian dan penggunaan zeolit di sektor pertanian, perikanan, peternakan, industri, dan pengontrol polusi telah banyak dilakukan. Dari hasil penelitian tersebut, pada 10 tahun terakhir telah merubah kedudukan zeolit dari bahan yang hampir tidak mempunyai nilai ekonomis menjadi mineral yang ekonomis untuk dikembangkan (Poerwadi, 1997).

Penggunaan zeolit pada umumnya didasarkan kepada sifat-sifat kimia dan fisika zeolit, seperti zeolit mempunyai kemampuan menukar kation-kation dengan kation lain, seperti kation yang dibutuhkan oleh tanaman kalium dan kalsium. Zeolit juga mempunyai daya jerap yang baik terhadap ammonium (Goto, 1990). Zeolit juga berperan sebagai adsorpsi yang selektif, sebagai penukar kation. Kation-kation dalam zeolit dapat dipertukarkan dengan kation lain dalam suatu larutan, zeolit juga bisa sebagai penukar anion.

(31)

mengubah kation suatu limbah dalam jumlah yang besar secara selektif. Zeolit mempunyai spesifikasi secara umum, komposisi kimia : SiO2 55-56%, Al2O3 28-30%,

Fe2O2 0.5%, CaO, MgO 2%, TiO2 0.03%, Na2O 0.05%, K2O 7%. Zeolit sebagai

pengontrol limbah telah digunakan pada limbah radioaktif, limbah rumahtangga, limbah peternakan, limbah pabrik asam sulfat (Arifin, 1991; Tsitsishviliet al., 1992). Di Jepang dan Amerika zeolit telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan, baik sebagai bahan industri, untuk meningkatkan hasil pertanian, maupun untuk perbaikan lingkungan (Suwardi. 1995).

Poerwadi (1997) melaporkan, bahwa zeolit mempunyai kapasitas tukar ion dan sebagai adsorpsi yang selektif terhadap kation NH4+, Pb2+, Zn2+, Cu2+ , Fe2+, dan Mn2+,

sedangkan untuk anion fosfat, sulfat, dan nitrat, ukuran zeolit yang digunakan adalah 40 mesh atau 0.37 cm. Untuk limbah organik mampu dikurangi sampai kurang-lebih 35%. Tanah aluvial (inceptisol, fluvisol, entisol) merupakan tanah muda, dan belum berkembang lanjut, tanah ini biasanya cukup subur, kandungan pasirnya kurang dari 60% (Hardjowigeno, 1987). Tanah aluvial sering dijumpai dari dataran rendah sepanjang aliran sungai, rawa air tawar, pasang surut, teras sungai, sampai ke dataran dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (dpl), yang merupakan tanah yang sangat produktif untuk pertanian (Buckman dan Brady, 1982; Foth, 1994; Hakimet al.,1986).

Secara umum limbah cair dapat diolah dengan menggunakan kombinasi teknologi fisika, kimia, dan biologi. Bioteknologi biasanya diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair dalam bentuk senyawa yang larut dalam air, dan yang tidak dapat diendapkan seperti koloida, pati serta bahan organik terlarut (Barnes, 1990). Metode yang biasa dipakai adalah dengan menggunakan mikroorganisme seperti bakteri, khamir dan mikroalga. Namun penggunaan mikroorganisme ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah kemampuan tanaman yang kurang pada konsentrasi limbah yang tinggi dan resiko pencemaran lingkungan sekitar oleh mikroorganisme itu sendiri.

(32)

sebagai penyerap bahan pencemar banyak digunakan untuk pengolahan limbah cair dengan tingkat pencemaran sedang dengan kadar kebutuhan oksigen biologi (BOD5)

kurang dari 300 mg/l (Gray dan Biddlestone, 1995).

Pemanfaatan tumbuhan air dengan media penyaring rawa buatan secara langsung pada limbah cair dengan konsentrasi bahan pencemar yang tinggi bisa menyebabkan tumbuhan tidak mampu beradaptasi dengan baik dan akhirnya tumbuhan akan mati. Hal ini dapat dipahami mengingat teknologi yang digunakan biasanya sangat sederhana. Untuk pengolahan limbah cair dengan tingkat pencemaran BOD5 lebih besar dari 300

mg/l dapat digunakan enzim yang diektrak dari tanaman (Gray dan Biddlestone, 1995). Tabel 1. Berbagai unsur dan zat pencemar yang terdapat dalam limbah cair.

Jenis Unsur Bentuknya

Senyawa yang mudah terdegradasi (diukur sebagai BOD5)

Senyawa yang lambat terdegradasi dan senyawa yang tidak mudah terdegradasi (diukur sebagai COD)

Terdapat dalam berbagai bentuk (diukur sebagai N-total, N-organik, NH4–N, NO3-N dan NO2–N).

Terdapat dalam berbagai bentuk (diukur sebagai orthofosfat dan fosfat total).

Seperti Fe, Mn, Pb, Zn, dan unsur logam lainnya

Diukur dalam unit pembentukan koloni per gram bobot kering atau bobot basah.

Sumber: Gray dan Biddlestone, (1995)

Tabel 2. Klasifikasi tingkat pencemaran bahan organik dari limbah cair

Tingkat Pencemaran Nilai BOD5(mg/l) Sumber limbah

Lemah

Efluen dari pengolahan limbah sekunder Efluen dari pen golahan limbah primer Limbah industri

Limbah industri

Sumber: Gray dan Biddlestone, (1995)

(33)

Ipomea aquatica Forsk dan Sagittaria sagittifoliaK, mampu menyerap N-total sebesar 92%, dan fosfat-total 99% (Ozaki, 1999).

Tumbuhan air yang timbul dan tumbuhan air mengapung lebih banyak digunakan dalam melakukan kajian pengolahan limbah cair dengan lahan rawa buatan. Jenis vegetasi yang timbul seperti Scirpus californicus, Zizaniopsis miliaceae, Panicum helitomom, Pontederia cordat, Sagitaria lancifolia, dan Thypa latifolia, adalah jenis tumbuhan air yang telah dicoba pada pengolahan limbah cair yang berasal dari daerah peternakan, dengan memanfaatan lahan rawa buatan berbasis tumbuhan air (Surrency, 1993).

Jenis tumbuhan mengapung seperti Eichornia crassipes, Silvinia natans, Azolla pinnata di Indonesia telah lama digunakan untuk pengolahan limbah cair secara tradisioanl, dan bahkan proses pencucian limbah terjadi secara alamiah di hulu sungai. Tumbuhan air yang mengapung banyak digunakan karena tingkat pertumbuhan tumbuhan air yang tinggi dan kemampuannya untuk langsung menyerap hara secara langsung dari lahan basah. Karena akar tanaman berfungsi sebagai filtrasi dan mampu mengadsorpsi padatan tersuspensi serta tempat hidup mikroorrganisme yang mampu menghilangkan unsur hara dari lahan rawa (Reddy dan deBusk, 1985).

Sejak tahun 1970-an di AS telah dibangun sekitar 1600 unit rawa buatan, dan di Eropa beroperasi sekitar 5000 unit rawa buatan untuk membersihkan air limbah. Pada tahun 2002, jumlah rawa buatan untuk membersihkan air telah melebihi 8000 unit, yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara maju. Sedangkan rawa alami yang terdapat di sekitar danau atau laut, yang dulunya direklamasi untuk pertanian atau terbengkalai karena dieksploitasi secara berlebihan, sekarang direstorasi untuk pembersih air dan pelestarian lingkungan hidup (Khiatudin, 2003).

Dalam suatu kajian awal di Swedia dengan memanfaatkan air limbah yang telah diolah, sehingga tahap pengolahan kedua, telah dicoba digunakan untuk mengairi tanaman Salix viminalis yang dibudidayakan untuk bahanbakar. Dari hasil percobaan tersebut dilaporkan bahwa tanaman tersebut mampu menghilangkan senyawa fosfor antara 90 - 97% dan BOD5antara 74 - 82% dari air limbah, dan nitrogen antara 82 - 93%.

(34)

2.4. Bentuk Media Penyaring Buatan

Sistem pengolahan limbah dengan media penyaring buatan yang berbasiskan tumbuhan air, secara umum berdasarkan aliran air yang digunakan dapat digolongkan dalam dua bentuk yaitu, aliran horisontal dan aliran vertikal. Dalam sistem aliran horisontal, air memasuki rawa dari satu titik mengalir dalam rawa buatan kemudian keluar dari titik di ujung rawa, seperti disajikan pada Gambar 4. Sedangkan dalam lahan rawa buatan secara vertikal, air mengalir secara vertikal dari atas ke arah bawah atau dapat juga dibuat dari bawah keatas dan keluar di titik ujung rawa, seperti disajikan pada Gambar 5 (Brix, 1993).

Gambar 4. Desain lahan rawa buatan aliran horisontal (Brix, 1993)

Gambar 5. Desain lahan rawa buatan aliran vertikal (Brix, 1993)

(35)

perairan. Dalam pengolahan limbah dengan rawa buatan berbasiskan tumbuhan air dapat dilakukan dengan satu jenis tumbuhan saja atau kombinasi diantara tumbuhan tersebut (Brix, 1993).

Agar pengolahan limbah cair lebih efektif dengan lahan rawa buatan yang berbasiskan tumbuhan air, maka lahan basah harus didesain sedemikian rupa menyerupai lahan rawa alami. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal yang sangat menentukan dalam pemanfaatan lahan rawa buatan ini yaitu, 1) substrat yang digunakan seperti tanah, pasir, kerikil, dan bahan lainnya dengan memperhatikan berbagai tingkat konduktivitas hidrologisnya, 2) tumbuhan air yang dapat hidup dalam kondisi anaerob pada media yang jenuh air atau tergenang air, 3) genangan air baik yang berada di dalam substrat maupun di atas substrat, 4) pupulasi organisme aerob dan anaerob (Hammer dan Bastian, 1989).

Substrat yang umum digunakan adalah kerikil bersih dengan ukuran tertentu. Batuan sungai yang berbentuk bulat lebih banyak digunakan, hal ini untuk menghindari substrat mengeras. Pasir atau campuran kerikil merupakan alternatif yang baik, sedangkan batuan kapur tidak baik digunakan karena mudah mengeras. Diameter kerikil yang digunakan bisa berukuran antara 0.5-1,3 cm, bahkan ada juga yang menggunakan ukuran 5.0 cm, tetapi kerikil yang kecil lebih mendukung pertumbuhan tumbuhan. Selain pasir bisa juga digunakan substrat yang mengandung tanah dan lumpur (Martin et al., 1993).

2.5. Tumbuhan Air yang Digunakan

Tumbuhan yang hidup dalam air atau perairan di dalam ilmu botani dikenal sebagai tumbuhan hydrophyt. Tumbuhan air memiliki keistimewaan di dalam hal penyediaan oksigen untuk kebutuhan hidupnya. Di dasar perairan tanaman memiliki akar dan rimpang, serta batang-batang tanaman akan muncul di permukaan air yang memiliki rongga-rongga udara di antara sel-selnya. Rongga udara ini banyak sekali jumlahnya dan terdapat sampai di permukaan daun atau tangkai bunga yang muncul ke permukaan air seperti yang disajikan pada Gambar 6 (PIP, 1996).

(36)

berdasarkan bentuk hidupnya (life-form) meliputi, 1) tumbuhan riparian, 2) tumbuhan air terapung bebas di permukaan air, 3) tumbuhan air tenggelam dalam air, 4) tumbuhan air mencuat ke permukaan, akarnya menancap pada sedimen atau tanah di dasar air, dan 5) tumbuhan air yang melayang-layang atau menempel, seperti fitoplankton, epifiton, bentos dan lainnya (Rifani, 1998) .

Gambar 6. Tumbuhan air dan bagian rongga batang sebagai aliran udara

Perkembangan dan dominasi tumbuhan lahan rawa bersifat spesifik yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti air (tawar, payau, dan asin), fisiologi lahan, kesuburan tanah dan tingkat kemasaman. Dalam penelitian ini tumbuhan air yang digunakan, merupakan tumbuhan air yang mudah dibudidayakan serta banyak terdapat di daerah penelitian. Dari hasil seleksi yang dilakukan pada pra-penelitian ditetapkan empat jenis tumbuhan air yaitu, dua jenis tumbuhan air yang banyak dijumpai dalam wilayah penelitian, dan dua jenis lagi merupakan jenis tumbuhan air yang dibudidayakan oleh masyarakat sebagai tanaman hias. Keempat jenis tumbuhan air ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu tiga tumbuhan yang hidupnya menancap pada tanah, daun dan batangnya muncul dipermukaan air, serta satu tumbuhan mengapung di permukaan air. Jenis tumbuhan air yang digunakan meliputi :

1). Wlingen (Scirpus grossus)

(37)

Tumbuhan wlingen ini sebelum digunakan sebagai bahan dalam penelitian dibudidayakan terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7.Wlingen (Scirpus grossus ) 2). Melati air(Echinodorus paleafolius)

Tumbuhan melati air yang termasuk sukuAlimataceae banyak tumbuh di daerah tropis terutama di Amerika Selatan. Tumbuhan ini bisa mencapai tinggi antara 10-60 cm, mempunyai bunga berwarna putih mirip bunga melati. Bunganya tersusun berkelompok sepanjang tangkai tanaman yang bertekstur lunak. Daunnya berwarna hijau, dapat diperbanyak dengan menggunakan anakan tunas, yang tumbuh pada pangkal batang tanaman. Tumbuhan melati air ini sebelum digunakan sebagai bahan dalam penelitian dibudidayakan terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Melati air (Echinodorus paleafolius) 3). Genjer (Limnocharis flava)

Tumbuhan genjer (Limnocharis flava), yang termasuk suku Butamaceae

(38)

yang terdapat di antara daun dan bisasanya berwarna kuning pucat tampa buah (Soerjani

et al., 1987; Haradaet al., 2002).

Di Indonesia tumbuhan genjer ditemukan di Sumatra dan Jawa. Tumbuh di tempat-tempat becek atau terendam, di parit-parit, kolam air tawar, dan terutama di sawah-sawah yang berair, tumbuh dalam bentuk bergerombol dalam jumlah yang besar. Tumbuhan genjer ini sebelum digunakan sebagai bahan dalam penelitian dibudidayakan terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 .Genjer (Limnocharis flava) 4). Kiapu atau apu-apu(Pistia stratiotes)

Tumbuhan kiapu termasuk dalam suku Araceae, merupakan tumbuhan air yang mengapung pada permukaan air. Sekarang tumbuhan ini banyak digunakan sebagai tanaman hias. Kiapu ini banyak ditemui pada daerah rawa atau sungai. Tumbuhan ini berakar serabut dan akar rimpang yang bergantungan dalam air dengan panjang antara 20 – 40 cm, tumbuhan didominasi oleh warna daun yang hijau cerah dengan tekstur tebal serta berambut halus menyerupai beludru. Kiapu mempunyai akar menyerupai rambut yang tumbuh mengantung tepat dibawah roset daunnya. Perbanyakan kiapu dilakukan dengan memotong batang kecil yang menjalar. Tumbuhan sebelum digunakan sebagai bahan dalam penelitian dibudidayakan terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Gambar 10.

(39)

2.6. Jenis Limbah Cair dan Sumbernya

Dalam sebuah DAS, terdapat berbagai penggunaan lahan, seperti hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan persawahan, pemukiman, perikanan, industri, dan sebagainya. Semua aktivitas dari kegiatan tersebut akan menghasilkan bahan pencemar atau limbah, yang selalu dibuang ke perairan tanpa dilakukan pengolahan dengan baik. Hal ini akan memberikan dampak pada lingkungan perairan sungai. Secara ekologis terjadinya perubahan ekosistem DAS bagian hulu akan mempengaruhi kelangsungan ekosistem di daerah tengah dan hilir (Manan, 1992; Ramadanet al.,2003).

Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke perairan dapat menggangu kehidupan biota perairan baik di tempat limbah tersebut dibuang maupun di daerah hilir sungai. Limbah dari daerah pertanian seperti pupuk, pestisida, dan limbah cair dari agroindustri, yang tidak dilakukan pengelolaan dengan baik masuk ke perairan sungai akan memberikan dampak seperti meningkatnya nilai BOD5, COD, nitrogen, fosfat,

senyawa-senyawa beracun, logam berat, pH, total padatan tersuspensi, minyak dan lemak dan sedimentasi (Manik, 2003).

Proses pencemaran terjadi pada saat bahan pencemar yang dihasilkan dari aktivitas manusia dibuang ke lingkungan, sehingga menyebabkan perubahan yang buruk terhadap lingkungan yang menerima. Hal ini terjadi bila laju produksi suatu zat melebihi laju pembuangan atau penggunaan zat tersebut. Beberapa jenis pencemar dan sumbernya, yang dapat mempengaruhi lingkungan ditampilkan pada Tabel 3 (Soemarwoto, 1990; Davis dan Cornwell, 1991; Connell dan Miller, 1995).

(40)

Tabel 3. Beberapa jenis bahan pencemar dan sumbernya

Keterangan:x = dihasilkan oleh sumber limbah ; -= tidak dihasilkan oleh sumber limbah

Limbah yang di hasilkan oleh perkebunan besar seperti kelapa sawit, dan karet, cukup potensial mencemari lingkungan, baik yang berasal dari penggunaan pupuk, dan pestisida, maupun yang berasal dari limbah cair pabrik, seperti proses pengolahan minyak sawit yang menghasilkan, TSS, BOD5, COD, minyak dan lemak, pH, serta bau yang

tidak sedap. Limbah ini sangat potensial mencemari badan air dan lingkungan sekitarnya. Kandungan unsur kimia dan fisika dari limbah pabrik kelapa sawit yang dibuang ke lingkungan ditampilkan pada Tabel 4 (Kurniaet al., 2003).

Tabel 4. Kandungan parameter fisika dan kimia limbah cair pabrik kelapa sawit

Parameter Satuan Nilai

Sumber: PT. Sawindo Kencana,2002dalamKurniaet al, (2003).

(41)

dan padatan tersuspensi. Selanjutnya Environmental protection agency(EPA, 1987) juga melaporkan bahwa 75% danau, 64% sungai, dan 19% estuaria juga telah tercemar oleh bahan pencemar yang berasal dari lahan pertanian. Dari hasil analisis kualitas air pada 11 sub-DAS Shenango di Pennnsylnania,telah terjadi degradasi kualitas air yang disebabkan bahan pencemar yang berasal dari daerah pertanian, seperti nitrogen-nitrat, fosfat, bakteri coli, dan oksigen-terlarut.

2.7. Indikator Parameter Pencemaran

Pengelolaan lingkungan perairan diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk menilai lingkungan perairan apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya. Hal ini dilakukan karena kebutuhan akan air tidak hanya menyangkut kuantitasnya, tetapi juga kualitas. Usaha pengendalian pencemaran air memerlukan informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran air. Ada tiga cara untuk mengevaluasi tingkat pencemaran air yaitu , 1) cara kriteria dan standar kualitas air , 2) cara uji hayati dan, 3) cara indeks kualitas air atau pencemaran (Mahbud, 1990; Soemarwoto, 1991).

Secara umum indeks mutu kualitas air merupakan alat yang dapat digunakan untuk memantau dan menyampaikan status kualitas air secara holistik dan kuantitatif yang didasarkan pada standar yang berlaku, dengan menggunakan indeks mutu lingkungan perairan berdasarkan National Sanitation Foundation Water Quality Index,

pengambil kebijakan dapat melihat kondisi kualitas perairan di masa yang akan datang (Husin dan Syaiful, 1991). Ada beberapa parameter yang dapat digunakan dalam melihat kualitas lingkungan perairan berdasarkan indeks mutu lingkungan seperti nilai pH, suhu, oksigen-terlarut, total padatan, fosfat, nitrat, BOD5, kekeruhan (Ott, 1978 ).

(42)

2.7.1. Parameter Fisika

Parameter fisika yang biasa digunakan untuk melihat kualitas suatu perairan meliputi, suhu, kecerahan dan kekeruhan, warna, konduktivitas atau daya hantar listrik, padatan tersuspensi. Parameter-parameter ini biasa saling berhubungan satu sama lainnya, seperti kecerahan yang mempengaruhi intensitas cahaya sebagai sumber energi utama dalam suatu ekosistem perairan, cahaya yang dapat mempengaruhi perubahan suhu, serta sangat berperan pada proses fotosintesis (Jeffries dan Mill, 1996).

Perubahan suhu perairan berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Peningkatan suhu juga dapat mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, volatilitas, dan juga dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, seperti gas O2, CO2, N2, CH4, dan gas lainnya. Kenaikan suhu air dapat menyebabkan

nilai oksigen-terlarut menurun, sehingga dapat menimbulkan bau tidak enak pada badan air, sebagai akibat terjadinya degradasi bahan organik secara anaerobik (Haslam, 1995; Jeffries dan Mill, 1996).

Kecerahan dan kekeruhan merupakan ukuran transparansi perairan, dan mempunyai hubungan yang positif dengan padatan tersuspensi. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan akan semakin tinggi. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan organisme aquatik. Dari segi estetika, meningkatnya kekeruhan dalam air, bisa disebabkan oleh adanya bahan pencemar yang berasal dari limbah cair dari berbagai aktivitas, seperti limbah domestik, industri, pertanian, dan kawasan hutan (Fardiaz, 1992; Suriawiria, 2003).

(43)

2.7.2. Parameter Kimia

Pencemaran perairan oleh senyawa dan unsur kimia merupakan masalah bangsa, baik secara regional maupun lingkungan global. Hal ini sangat berhubungan dengan penggunaan lahan, serta pencemaran udara. Sumber bahan pencemar ini akan selalu berbeda-beda tergantung dari aktivitas yang ada dalam wilayah tersebut. Air merupakan pelarut yang sangat baik, oleh karena itu badan-badan air banyak mengandung bahan kimia, seperti bahan organik, anorganik, dan mikroorganisme (Darmono, 2001; Achmad, 2004 ).

Pencemaran oleh bahan organik seperti limbah industri, minyak, pestisida, pupuk, dan sumber bahan organik yang terdapat dalam bentuk karbohidrat, protein, lemak, yang membentuk organisme hidup, dan senyawa-senyawa lainnya, bila mengalami perombakan atau terurai, akan mempengaruhi nilai parameter kimia perairan seperti, oksigen-terlarut, pH, BOD5, COD, padatan terlarut, total padatan terlarut, konduktivitas

atau DHL, salinitas, nitrit, nitrat, amonia, fosfat, CO2. Sedangkan bahan pencemar kimia

dalam bentuk anorganik di perairan umumnya dalam bentuk logam berat yang bersifat toksik seperti, arsen (As), kadmium (Cd), merkuri (Hg), timbal (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), besi (Fe), dan mangan (Mn), unsur atau senyawa anorganik ini berasal dari limbah industri, limbah domestik, dan limpasan air perkotaan (Davis dan Cornwell, 1991; Connel dan Miller, 1995; Kusnoputranto, 1995).

Banyak logam berat yang bersifat toksik maupun yang esensial terlarut dalam air, dan mencemari air tawar maupun air laut yang bersumber dari pertambangan, peleburan logam, industri, dan juga berasal dari lahan pertanian (Darmono, 2001; Setyorini et al., 2002). Di dalam air biasanya logam berikatan dalam bentuk senyawa kimia atau dalam bentuk ion logam, tergantung pada kompartemen tempat logam itu berada. Logam berat biasanya ditemukan sangat sedikit dalam air secara alamiah. Konsentrasi logam toksik seperti, Cd, Pb, Hg dan As dalam lingkungan perairan secara alamiah biasanya sangat kecil.

2.7.3. Parameter Biologi

(44)

sebagai indikator telah tercemarnya suatu badan air, adalah bakteri yang tergolong

Escherichia coli, yang merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia dan hewan. Oleh karena itu, disebut koliform fekal (Abel, 1989; Fardiaz, 1992).

(45)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan Agustus 2005 sampai Juni 2006 dan dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama meliputi persiapan, survai identifikasi lokasi titik pengambilan sampel air limbah, inventarisasi jenis tumbuhan air yang ada di lokasi pengambilan sampel, dan pengumpulan data sekunder. Tahap kedua, pengambilan sampel air limbah dan analisis karakteristik sifat kimia, fisika, dan biologi, budidaya tumbuhan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning, seleksi tumbuhan terhadap air limbah. Tahap ketiga pelaksanaan percobaan utama, yang meliputi persiapan peralatan sebagai wadah untuk percobaan, media penyaring tanah aluvial dan zeolit, limbah cair buangan akhir pabrik kelapa sawit, dan tumbuhan air yang digunakan. 3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam menunjang penelitian dan percobaan ini meliputi : pH meter, thermometer, botol pengambil sampel, Global Positioning System GPS, timbangan, botol plastik untuk sampel, jerigen, Water Quality Checker (WQC), karung plastik, alat tulis, komputer dan printer, kalkulator, kran plastik, pipa paralon, drum plastik untuk wadah percobaan dengan ukuran diameter 60 cm x tinggi 45 cm. Bahan-bahan yang digunakan adalah limbah cair buangan akhir pabrik kelapa sawit, aqua destilata, asam sulfat pekat, asam nitrat pekat, es, kertas tissue, tanah aluvial, zeolit no 1, kerikil dan tumbuhan air : wlingen, melati air, genjer, dan kiapu.

3.3. Pelaksanaan Penelitian 3.3.1. Tahap Persiapan

(46)

dengan pertimbangan bahwa lokasi pengambilan sampel diduga mengalami pencemaran oleh limbah cair, dari beberapa aktivitas yang berada dalam daerah penelitian pada Sub-DAS Tapung Kiri.

Tabel 5. Titik sampling dan pembagian segmen sungai pada Sub-DAS Tapung Kiri.

No. Lokasi Sampling Titik Koordinat Segmen

Sungai 1. Outlet danau Bukit Suliki 1000.05!.19,7!!BT-000.34!.44,4!!LU Hulu

2 Sungai Tandun 1000.39!.04,0!!BT-000.35!.29,2!!LU Hulu

3. Anak Sungai Lembu 1010.04!.00,0!!BT-000.35!.00,0!!LU Tengah

4. Sungai Dasmiasi 1010.05!.19,7!!BT-000.34!.44,1!!LU Tengah

5. Sungai Kandis 1010.16!.27,1!!BT-000.33!.07,4!!LU Hilir

6.. Muara Sungai Tapung Kiri 1010.18!.47,1!!BT-000.36!.03,7!!LU Hilir

Wilayah pengambilan sampel dibagi dalam tiga segmen yaitu daerah bagian hulu, tengah, dan hilir dengan karakteristik lokasi pengambilan sampel limbah cair di lapangan dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Muara danau Bukit Suliki terletak di Desa Sungai Kuning. Pengambilan sampel air pada lokasi ini dengan pertimbangan bahwa air yang berasal dari danau ini merupakan sumber air pada bagian hulu sungai tapung kiri. Kawasan di daerah danau ini meliputi kawasan hutan lindung dan hutan produksi serta perkebunan kelapa sawit. Lokasi pengambilan sampel dari muara danau berjarak 50 meter. Lebar penampang basah sungai 2.80 meter, kecepatan arus rata-rata 0.29 m/ detik, kedalaman sungai dibagi menjdai 3 bagian: 0.30 m, 0.40 m, dan 0.23 m.

2. Desa Tandun, terletak di jalan raya Pasir Pengaraian-Bangkinang. Dipilihnya desa ini sebagai tempat pengambilan sampel, karena desa ini terletak pada sungai Tapung Kiri bagian hulu. Kawasan ini meliputi daerah pemukiman, pertanian, dan perkebunan sawit dan perkebunan karet. Lokasi pengambilan sampel dilakukan 50 meter dari jembatan tandun kearah hilir jembatan. Lebar penampang basah sungai 10.80 meter, kecepatan arus rata-rata 0.34 m/detik, kedalaman sungai dibagi menjadi 5 bagian: 0.30 m, 1.0 m, 1.60 m, 1.25 m, dan 0.50 m.

(47)

mengalirkan limbah cair. Pengolahan limbah dilakukan secara land application.

Land aplication ini merupakan pemanfaatan limbah cair dari pabrik kelapa sawit ke lahan perkebunan sawit. Pada lokasi ini terdapat aktivitas perkebunan, pabrik sawit dan pemukiman penduduk. Lokasi pengambilan sampel dilakukan 100 meter dari jembatan yang berada di jalan utama dalam perkebunan sawit. Lebar penampang basah sungai 4.10 meter, kecepatan arus rata-rata 0.60 m/detik, kedalam sungai dibagi menjadi 3 bagian: 0.26 m, 0.40 m, dan 0.23 m.

4. Sungai Dasmiasi, merupakan anak sungai Tapung Kiri, terdapat di kecamatan Petapahan. Sungai ini merupakan sungai alam yang digunakan oleh Pabrik Kelapa Sawit PT. Sewanggi Sawit Sejahtera sebagai tempat pembuangan limbah cair. Pabrik ini melakukan pengolahan limbah cair. Pada lokasi ini terdapat aktivitas perkebunan sawit dan pebrik kelapa sawit. Lakosi pengambilan sampel air dilakukan 5 meter arah muara dari saluran pembuangan limbah cair pabrik Lebar penampang basah sungai 3.80 meter, kecepatan arus rata-rata 0.30 m/detik dengan kedalam sungai dibagi menjadi 3 bagian: 0.63 m, 0.80m, dan 0.59 m.

5. Sungai Kandis, terdapat di desa galuh merupakan anak sungai Tapung Kiri yang terdapat di kecamatan Tapung. Sungai ini merupakan sungai alam yang bermuara ke sungai Tapung Kiri. Sungai ini merupakan aliran limbah cair yang berasal dari PTP V Sungai Galuh yang mengolah limbah cair secara land aplication. Pada lokasi ini terdapat aktivitas perkebunan sawit, perkebunan karet, dan pabrik sawit serta pemukiman penduduk. Lokasi pengambilan sampel air dilakukan 50 meter dari jembatan sungai Kandis arah ke muara. Lebar penampang basah sungai 7.80 meter, kecapatan arus rata-rata 0.51 m/detik, kedalaman sungai dibagi menjadi 5 bagian: 0.87 m, 0.98 m, 1.60 m, 1.40 m, dan 1.20 m.

(48)

3.3.2 . Tahap Prapenelitian dan Seleksi Tumbuhan Air

Prapenelitian dilaksanakan pada bulan September 2005 sampai Desember 2005, yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan tumbuhan air beradaptasi terhadap limbah cair yang digunakan dari enam lokasi. Tumbuhan air yang digunakan sebanyak 5 jenis yaitu wlingen, genjer, enceng gondok, melati air, dan kiapu. Pra-penelitian, seleksi, dan budidaya tumbuhan air untuk percobaan dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, seperti yang disajikan pada Gambar 11. Seleksi tumbuhan ini dilakukan dalam wadah yang terbuat dari ember plastik, seperti yang disajikan pada Gambar 12. Ember diisi dengan tanah aluvial setinggi 16 cm, selanjutnya dialirkan air limbah dari masing-masing lokasi mencapai ketinggian 14 cm, pengamatan dilakukan selama 30 hari.

Gambar 11.Tempat pra-penelitian Gambar 12. Wadah yang digunakan 3.3.3. Tahap Percobaan Utama

Tahap ketiga percobaan utama dilaksanakan pada bulan Desembar 2005 sampai dengan Juni 2006. Percobaan dilaksanakan secara eksperimen dengan mengambil salah satu sumber limbah cair dari ke enam titik sampling yang dilakukan pada penelitian pendahuluan, yakni limbah cair pada lokasi sungai Dasmiasi yang merupakan limbah cair buangan pabrik kelapa sawit, menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design), yaitu, empat jenis tumbuhan air tunggal, tiga jenis tumbuhan air gabungan, dua jenis media yaitu tanah alivial dan aluvial-zeolit. Percobaan dilakukan dengan tiga ulangan, sehingga unit percobaan sebanyak 7 x 2 x 3 = 42 unit percobaan. Rincian satuan percobaan yang dilakukan disajikan pada Tabel 6.

(49)

tinggi 45 cm. Masing-masing wadah dilengkapi satu buah kran dan pipa tempat keluarnya limbah cair yang telah mengalami perlakuan. Wadah yang digunakan disajikan pada Gambar 13. 3) Wadah diisi dengan masing-masing media yang digunakan, yakni tanah aluvial dan kombinasi tanah aluvial-zeolit, 4) Sebelum dilakukan penanaman, media dijenuhkan terlebih dahulu dengan air yang belum tercemar, dibiarkan selama 3 hari. Selanjutnya air dikeringkan dan dibiarkan selama satu hari. Setelah itu baru dilakukan penanaman.

Tumbuhan air yang digunakan adalah tumbuhan tunggal wlingen 22 pohon, melati air 7 pohon, genjer 6 pohon, dan kiapu 22 roset, sedangkan untuk kombinasi digunakan tumbuhan air masing-masing wlingen-kiapu (22 pohon + 16 roset), melati air-kiapu (7 pohon+ 16 roset), dan genjer-kipau (6 pohon + 16 roset). Jumlah tumbuhan air ini digunakan didasarkan pada percobaan pendahuluan bahwa kapasitas wadah yang digunakan dengan pengamatan selama satu bulan telah dipenuhi oleh tumbuhan air.

Tabel 6. Kombinasi perlakuan pada percobaan utama

Media Tumbuhan Air Kode Perlakuan

Scirpus grossus m1v1

Echinodorus paleafolius m1v2

Limnocharis flava m1v3

Pistia strationes m1v4

Scirpus grossus- Pistia strationes m1v5

Echinodorus paleafolius- Pistia strationes m1v6

Aluvial (m1)

Limnocharis flava Pistia strationes m1v7

Scirpus grossus m2v1

Echinodorus paleafolius m2v2

Limnocharis flava m2v3

Pistia strationes m2v5

Scirpus grossus- Pistia strationes m2v6

Echinodorus paleafolius- Pistia strationes m2v6

Aluvial-Zeolit(m2)

Limnocharis flava Pistia strationes m2v7

(50)

keperluan analisis, air yang diserap oleh tumbuhan, dan air yang menguap sehingga air dalam wadah kembali seperti keadaan awal percobaan.

Gambar 13. Wadah untuk percobaan utama 3.3.4. Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi, karakteristik limbah cair yang dibuang ke perairan, dengan melakukan analisis terhadap parameter fisika, kimia dan biologi. Sedangkan untuk percobaan utama diamati pertumbuhan tumbuhan, jumlah tumbuhan mati, lama waktu penyerapan bahan pencemar oleh tumbuhan dan media diamati secara periodik 10 hari, 20 hari dan 30 hari, dengan lama pengamatan selama 30 hari. Limbah yang telah mengalami proses perlakuan secara periodik setiap 10 hari dianalisis parameter fisika, dan kimia.

3.4. Analisis Data

Analisis data meliputi :

1) Analisis parameter fisika, kimia dan biologi, dilakukan berdasarkan metode standar dilaksanakan di Laboratorium Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Propinsi Riau, dan Laboratorium Kimia Analitik FMIPA Universitas Riau

2) Analisis indeks mutu lingkungan perairaan berdasarkan metode National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF-WQI), dan status mutu air menggunakan sistem nilai dari Storet-EPA (Ott, 1976; Canter, 1977; KLH, 2003 ).

3) Untuk menghitung keefektivan hasil pengolahan limbah cair dengan media penyaring dan tumbuhan air digunakan persamaan :

(Cin - Cout)

EP = x 100%

(51)

EP = keefektivan pengolahan limbah dengan media penyaring dan tumbuhan air; Cin = kadar parameter limbah cair yang masuk pada sistem media penyaring, dan

Cout = kadar parameter limbah cair yang keluar dari sistem media penyaring dan

tumbuhan air.

Gambar

Tabel 1. Berbagai unsur dan zat pencemar yang terdapat dalam limbah cair.
Gambar 7.Wlingen (Scirpus grossus )
Gambar 9 .Genjer (Limnocharis flava )
Gambar 12. Wadah yang digunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait