JILBAB SEBAGAI REPRESENTASI IDEALISME ISLAM DAN
KAPITALISME DALAM FILMAnalisis Semiotik Pada Film Ayat - Ayat
Cinta Karya Hanung Bramantyo
Oleh: NURFITRI NURANI ( 04220158 ) Communication Science
Dibuat: 2010-06-30 , dengan 7 file(s).
Keywords: Kata Kunci: Jilbab, Idealisme, Kapitalisme
ABSTRAKSI
Penelitian ini didasari atas fenomena atas maraknya tayangan yang
menggunakan salah satu simbol Islam, yaitu jilbab. Padahal, Pada akhir dekade 80an, jilbab masih dipandang sebelah mata. Wanita berjilbab identik dengan kekolotan dan kekunoan. Siswa, mahasiswa atau dosen berjilbab identik dengan fundamentalisme yang diterjemahkan sebagai fanatisme radikal yang harus dicurigai atau dibabat habis.Film atau sinetron yang sebenarnya exspresi dari sebuah hiburan, mampu pula membawa pesan-pesan moral. Sehingga keberadaan jilbab sudah tidak asing lagi kita dapatkan disekitar kita. Interaksi antara agama dan media massa kian waktu kian
meningkat, karena zaman pun bergeser. Kebangkitan film religius dipelopori oleh Ayat- Ayat Cinta. Film yang membawa pesan islami yang damai itu sangat memikat penonton. film ini menjadi pengobat ketika citra Islam diidentikkan dengan kekerasan dan
terorisme. Tetapi, apakah ini merupakan fenomena yang benar – benar islami? Karena pada kenyataannya adalah meskipun berjilbab, tapi kerap menggunakan pakai ketat. Lahirnya media massa mengakibatkan semakin meningkatnya komersialisasi budaya dan hiburan telah menimbulkan berbagai permasalahan dan kepentingan, sehingga menganggap komersialisasi lebih penting dari kualitas dan tantangan
intelektual. Sebuah paradoks ditemukan di sini, sebuah masa ketika segala sesuatu bisa dijual dalam kerangka kapitalisme modern. Suatu kurun ketika budaya pop menjadi kata kunci yang ada di balik semua ini. Kendati demikian, belum pernah juga terjadi suatu paradoks seperti yang kita alami sekarang ini. Busana Muslim menempati posisi terhormat, namun sekaligus juga menyeret orang memasuki konsumtvisme khas kapitalisme. Sikap Islami bertabrakan dengan gaya hidup mewah yang disimbolkan melalui kapitalisme.
Saat ini jilbab hampir sama posisinya dengan potongan rambut japanese, harajuku, celana leging, gaya punk. Artinya, ia menjadi trendsetter, komoditas. Kapitalisme dengan budaya pop-nya berhasil mengabil kesempatan emas. Jilbab
melahirkan pasar komersial bagi budaya pop, dengan menciptakan berbagai mode jilbab yang cukup menarik, bahkan tidak sesuai kriteria jilbab. Misalnya dengan model
belahan samping hingga ke bahu & punggung, yang dapat menampilkan lekuk tubuh bagian samping (padahal sesungguhnya dengan membuka sedikit demi sedikit justru terlihat lebih menarik), setiap mode jilbab membawa pesan yang tersirat pula.
Misalnya ”instant”, yang mudah dipakai dan dilepas. Hingga muncul anekdot ”jilbab sejuta umat”, karena penggunanya yang banyak. Yang lebih ekstrim lagi, dikhawatirkan
jilbab terjerumus dalam budaya pop yang lebih dalam lagi sehingga terjadi pendangkalan makna.
Melalui strategi penelitian dengan menggunakan teknik analisis semiotik,
Roland Barthes didasarkan pada beberapa pertimbangan. Barthes membagi dua sistem pemaknaan yaitu, denotasi dan konotasi. Dengan pembagian sistem dua tahap ini, yaitu tahap pertama yang disebut sistem primer (denotasi) dan tahap kedua disebut sebagai sistem sekunder (konotasi, yang pada nantinya akan menginterpretasikan makna jilbab pada film Ayat-ayat Cinta.
Hasil penelitian pada Film Ayat-Ayat Cinta menunjukkan Masuknya jilbab
dalam ranah film, membuat jilbab dalam dua persimpangan jalan; idealisme Islam dan kapitalisme. Kapitalisme tidak tinggal diam, Islam merupakan agama dengan pengikut terbanyak di dunia. Ini merupakan peluang bagi kapitalisme untuk menjadikan jilbab sebagai komoditas. Merongrong makna lain dibalik balik balutan jilbab. Tampak pada film tersebut Adanya motif inkonsistensi penggunaan jilbab. Terkadang jilbab yang ditampilkan dengan ukurun menutupi dada seperti yang termpir dalam kriteria jilbab
syar’i, namun tak jarang pula juga dengan ukuran jilbab diatas dada. Hal ini terjadi pada
tokoh Aisyah dan Nurul. Kemudian, Adanya benturan idealisme dan kapitalisme dalam selembar jilbab yang dipakai, masing-masing saling mengokohkan diri. Kebutuhan
untuk dinilai syar’i, alim, santun, tidak mengumbar aurat dikalahkan oleh kebutuhan
untuk dinilai modis, seksi, modern, glaomour.
Atas hasil tersebut, bisa direkomendasikan kepada para pembuat film agar
mengangkat hikmah-hikmah jilbab sesuai dengan syariat dan juga masyarakat memiliki kesadaran dan pemikiran kritis dalam memilih dan menyaksikan tayangan atau adegan model berjilbab yang disuguhkan oleh film, Masyarakat juga diharapkan memiliki pemahaman tentang jilbab, sehingga tidak mengikut dengan buta. Pemahaman yang utuh dapat menghasilkan keikhlasan. Kebutuhan untuk tampil indah, modern sangat
diperlukan akan tetapi tidak mengalahkan kriteria syar’inya.
ABSTRACT
This research is based on the phenomenon of the glowing condition of TV
programs which apply Islamic symbol, that is veil. Whereas, in the end of 1980s decade the veil was still viewed discriminately. Veiled women were identical with oldfashioned and conservative styles. Veiled pupils, university students, and also lecturers
were identical with fundamental things which is interpreted into radical and fanatism thought then it must be impeached and eradicated at all. Movie or film which is actually is an expression of entertainment has capability to bring morality values so the existence of the veil is not strange anymore in our society. The interaction between religion and mass media is getting more increase and increase day to day because of the changing era. Ayat-Ayat Cinta The Movie is the pioner of Islamic renaissanc. The islamic morality values movie is so attractive for its audience. This movie is the wonder drug when the Islamic image is identical with the war and terorism. However, is it the real Islamic phenomenon? In the fact, even the women are wearing the veil they are still wearing tight clothes.
The arising of mass media which cause the increasing of commercial culture and entertainment has created so many kinds of problems and business so
contrary position of luxurious life style which is identical with capitalism.
Nowadays the veil has similar position with Japanese hair style, “Harajuku”, “leging” trousers or shirts, and punk style. It means that it is as the trendsetter and
commodity. Capitalism of pop culture is successful to take a golden opportunity. The veil is created commercial market for pop culture by creating any kinds of the
interesting veil even they are not based Islamic veil standard such as the type of veil which has cutting in side style until the shoulder and back. It may show indentation of side body (whereas in fact by open little by little of the body, it will make the body
more interesting). Every type of the veil has its own values such as “instant” which is easy to wear and put off it until it creates anecdote “the veil for many mankind because
so many people wear it. There is one more extreme phenomenon which is worried about the veil that it will plunge into more dangerous pop culture so it creates smattering meaning.
Through research strategy which applies semiotics analyze technique, based on
one of the Saussure theory’s follower, Roland Barthles, which formulates one
systematical model in analyzing the meaning of signs. Barthes focuses on concept of two levels significance. By using Roland Barthes semiotics, it is based on several considerations. Barthes divides those two conceptual systems. They are denotation and connotation. By dividing them, which the first step is called by primary system
(denotation) and the second system is namely secondary system (connotation), then both of them will be applied to interpreted the meaning of veil in Ayat-Ayat Cinta The Movie.
The result of Ayat-Ayat Cinta The Movie which presents the entering of veil in the film industy creates the veil into two intersecting street, they are Islamic idealism and capitalism. Capitalism does not hold peace. Islam is the only one religion with the biggest obeyers. It is a chance for capitalism to change the veil as their commodity. They undermine anoher meaning of the veil. It seems in the movie which shows the longer size (covering the chest) as it may be seen in appendix of the Islamic veil criteria. Besides, it often appears the short veil (just covering the neck) which Aisyah and Nurul wear it. Then there is contradiction between idealism and capitalism on a sheet of the
actress’ veil, each type of them maintain its self. The needs to be Islamic, religious, well
behaved, not being free of “aurat” style is gone down before by the needs to be stylish,
sexy, modern, and glamourous women.