• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Visual Motif Tenun Ikat Endek Bali (Studi Kasus Motif Cepuk Dan Motif Geringsing)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Visual Motif Tenun Ikat Endek Bali (Studi Kasus Motif Cepuk Dan Motif Geringsing)"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Nama : I Dewa Gede Visnu Adchan

NIM : 51911710

Tempat/Tanggal Lahir : Singaraja, 28 Februari 1989 Jenis Kelamin : Laki - Laki

Agama : Hindu

Tinggi Badan : 173 cm Berat Badan : 63 kg

Alamat : Jl. Kusuma Yudha VI A/4, Br. Kawan, Bangli, Bali

Hp : 081804514669

Email : vibe69@yahoo.com

Pendidikan :

 TK Pertiwi Bangli

 SDN 4 Kawan Bangli

 SMPN 1 Bangli

 SMAN 1 Bangli

 Wearnes Education Center Bali

 Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Indonesia Bali

(5)

TINJAUAN VISUAL MOTIF TENUN IKAT ENDEK BALI

(Studi Kasus Motif Cepuk dan Motif Geringsing)

DK 38315/Skripsi

Semester I 2015-2016

Oleh:

I Dewa Gede Visnu Adchan

51911710

Program Studi Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(6)

iii KATA PENGANTAR

Matur Paramadewa Suksma majeng ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas berkat rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Skripsi dengan judul “Tinjauan Visual Motif Tenun Ikat Endek Bali” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari tidaklah semudah yang dibayangkan, berbagai rintangan harus dilalui oleh penulis. Tetapi semua dapat dilalui dengan bantuan dan dukungan baik moral maupun material.

Ucapan terima kasih kepada Ibunda tercinta Desak Ketut Chandrawati yang tiada henti memberikan semangat dan dukungan material, “Sang Penjaga Hati” Betty Oktaviana, yang tiada henti menunggu, Radhit dan Dana, keep strong brothers!, Thanks for support me, M. Ivan Kurniawan, M. Ds selaku pembimbing, Irwan Tarmawan, M.Ds dan Gema Ariprahara, M. Ds selaku dosen penguji, dan I Wayan Suca Sumadi selaku peneliti BPNB Bali yang telah memberikan banyak bantuan, serta semua pemilik pertenunan yang telah meberikan akses untuk penulis melakukan penelitian, Jojo dan Dede yang menjadi “sopir” pribadi saat penulis melakukan penelitian, serta pihak-pihak lain tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa semua urusan kita kembalikan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, Februari 2016

(7)

vi DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA TULIS SKRIPSI ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

I.1 Latar Belakang Masalah ...1

I.2 Identifikasi Masalah ...4

I.3 Rumusan Masalah ...4

I.4 Batasan Masalah ...5

I.5 Metode Penelitian ...5

I.6 Tujuan Penelitian ...8

I.7 Manfaat Penelitian ...8

I.8 Sistematika Penulisan ...8

BAB II TINJAUAN KEBUDAYAAN: ESTETIKA DAN TENUN IKAT ...10

II.1 Kebudayaan ...10

II.2 Estetika ...21

II.2.1Estetika Paradoks ...22

II.3 Seni dan Desain ...26

II.3.1Elemen Desain ...26

II.3.2Prinsip Desain ...28

II.3.3Hukum Desain ...30

II.4 Tenun Ikat ...33

II.4.1Tenun Ikat Lusi atau Lungsi ...34

(8)

vi

II.4.3Tenun Ikat Ganda ...34

II.5 Ragam Hias ...35

II.5.1Klasifikasi Ragam Hias ...36

BAB III TENUN IKAT ENDEK BALI...37

III.1 Sejarah ...37

III.2 Alat Produksi ...38

III.3 Proses Produksi ...39

III.3.1 Proses Pengolahan Benang Lusi ...40

III.3.2 Proses Pengolahan Benang Pakan ...41

III.3.3 Proses Penenunan ...44

III.4 Motif Ragam Hias...44

III.4.1 Motif Geometris ...44

III.4.2 Motif Flora ...45

III.4.3 Motif Fauna ...45

III.4.4 Motif Figuratif ...46

III.4.5 Motif Dekoratif ...46

III.5 Fungsi ...46

III.5.1 Fungsi Keseharian ...47

III.5.2 Fungsi Sosial Budaya ...48

III.5.3 Fungsi Ekonomi ...49

BAB IV TINJAUAN VISUAL MOTIF TENUN IKAT ENDEK BALI ...36

IV.1 Motif Cepuk ...50

IV.2 Analisa Struktur Pola Motif Cepuk ...51

IV.3 Motif Geringsing ...56

IV.4 Analisa Struktur Pola Motif Geringsing ...58

BAB IV KESIMPULAN ...64

DAFTAR PUSTAKA ...66

(9)

66

DAFTAR PUSTAKA

Adnyani, Ida Ayu Sri. (2013). Rancang Bangun Alat Pemidangan Otomatis yang Ergonomis Meningkatkan Kinerja Perajin Kain Endek di Kecamatan Blahbatuh Gianyar. Thesis - Universitas Udayana. Denpasar.

Antara, M., Ketut Satriawan, I Putu Gede Sukaatmaja, Nyoman Dayuh R., & Ida Ayu Mahatma T. (2011). Laporan Penelitian Pengembangan Komoditas/Produk/Jenis Usaha Unggulan UMKM di Provinsi Bali. Denpasar: Bank Indonesia Denpasar Bekerja Sama dengan LPPKM Universitas Udayana.

Arini, Ketut Alit. (2011). Pemertahanan Kerajinan Tenun Endek di Desa Kalianget, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja.

Bagus, I G N. (1988). Kebudayaan Bali. Dalam Kontjaraningrat (Ed). Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Cita Tenun Indonesia (ID). (2010). About Tenun: Jenis Tenun. Diakses pada 4 November 2014. W.W.W: tenunindonesia.com

Djelantik, A. A. Made. (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Hamy, Stephanus dan Debbie S. Suryawan. (2010). Chic Mengolah Wastra Indonesia: Wastra Bali. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Karthadinata, 2008. Estetika Hindu dalam Kesenenian Bali. Diakses pada 18 Januari 2016. W.W.W: journal.unnes.ac.id

Kartika, Dharsono Sony. (2007). Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Kartiwa, Suwati. (2007). Ragam Kain Tradisional Indonesia: Tenun Ikat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kartiwa, Suwati. (2009). Tenun Ikat: Ikat Within The Island. Jakarta: Ministry of Culture and Tourism Republic of Indonesia.

(10)

67

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

PaEni, Mukhlis. (2009). Sejarah Kebudayaan Indonesia Seni Rupa dan Desain. Jakarta: Rajawali Pers.

Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Schaublin, Brigitta Hauser, M. Louise Nabholz Kartaschoff, Urs Ramseyer. (1997). Balinese Textiles. Jakarta: Periplus Editions (HK) Ltd.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sulaeman, M. Munandar. (2012). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama

Sumadi, I Wayan Suca, I Made Dharma Suteja, Hartono, I Putu Putra Kusuma Yudha, I Gst. Putu Winiantara. (2014). Inventarisasi Perlindungan Karya Budaya Endek di Provinsi Bali. Denpasar: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya bali, NTB, NTT.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB Press.

Sumardjo, Jakob. (2006). Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press.

Toekio M., Soegeng. (2012). Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung: CV Angkasa

Widagdho, Djoko. (2012). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Provinsi Bali sangat terkenal hingga ke mancanegara karena kebudayaannya yang merupakan hasil dari cipta, karsa, dan rasa masyarakat Bali. Wujud kebudayaan masyarakat Bali dapat dilihat dari sistem budayanya yang berupa ide, gagasan, pola pikir, dan konsep berpikir masyarakat Bali, dari sistem sosialnya yang berupa aktivitas masyarakat yang berpola dalam berinteraksi, dan dari kebudayaan fisiknya yang berupa benda-benda atau peralatan hasil karya masyarakat Bali. Ada banyak sekali kebudayaan fisik masyarakat Bali, salah satu wujud kebudayaan fisik adalah Busana (kain tenun).

Busana (kain tenun) merupakan suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di seluruh dunia. Ditinjau dari fungsi dan penggunanya, busana dapat digolongkan paling sedikit menjadi empat golongan, yaitu (1) sebagai alat untuk menahan pengaruh dari alam sekitar, (2) sebagai lambang kebangsawanan, (3) sebagai lambang kesucian, dan (4) sebagai penutup tubuh (Koentjaraningrat, 2009). Sumardjo (2006) menambahkan bahwa tenun yang dipakai sebagai busana penutup pusar ke bawah berformat lain dengan tenun yang dipakai busana penutup bagian badan atas. Namun keduanya dipenuhi pola-pola ragam hias yang bukan hanya estetika lebih pada simbol-simbol kosmologinya.

(12)

2

aktivitas menenun dapat dilakukan di berbagai tempat bersamaan dengan aktivitas lain.

Endek merupakan tenun ikat Bali. Dari ikatan inilah tercipta motif-motif pada ragam hias endek. Motif-motif tersebut merupakan pola yang terbentuk dari pola pikir masyakat Bali. Disamping itu, endek bukan hanya sebagai produk budaya turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Dalam setiap lembar hasil karya tersebut tercermin identitas dan karakter budaya Bali. Namun, Konta Tanaya menjelaskan bahwa kain tradisonal Bali telah mengalami perubahan nilai fungsi. Pada awalnya, tenun ikat atau kain tradisional Bali ditentukan fungsinya terlebih dahulu, sebelum dibuat atau ditenun. Sekarang kain diproduksi terlebih dahulu, baru selanjutnya difungsikan. Endek yang dulu hanya berupa lembaran kain untuk busana adat dan sarana upacara ritual magis dan keagamaan di Bali, sekarang digunakan untuk fashion modern hingga dekorasi interior. Perubahan fungsi inilah yang menyebabkan terjadinya perkembangan motif-motif pada ragam hias endek Bali (wawancara, 2015).

Fenomena perkembangan motif-motif endek yang terjadi secara simultan antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali sehingga menyebabkan motif endek dari masing-masing daerah tidak dapat dibedakan secara signifikan. Di sisi lain, terdapat motif endek yang bersifat ritual magis dan keagaaman yang sangat kuat melekat dengan aktivitas kebudayaan masyarakat Bali, diantaranya: motif cepuk dan motif geringsing.

(13)

3

Disamping itu, endek cepuk juga digunakan dalam upacara berhubungan dengan kematian dan pemujaan roh-roh leluhur (upacara Pitra Yadnya) sebagai alas kajang yang ditempatkan di atas papelengkungan (pada jenazah).

Gambar I.1 Endek cepuk dalam ritual magis Sumber: Buku “Balinese Textile”, 1997

Selain endek cepuk, motif endek lain yang memiliki fungsi sebagai sarana ritual magis adalah endek motif geringsing. Motif ini adalah tenun ikat ganda atau di Bali disebut dengan endek double ikat sempurna. Tenun yang berasal dari Desa Tenganan Pegringsingan ini memiliki motif yang sangat berbeda dari daerah lain di Bali. Arini (2011) menyebutkan bahwa selain sebagai busana adat dan sarana upacara, endek geringsing oleh masyarakat Bali diyakini sebagai kain penangkal (pesikepan) dari mara bahaya atau penolak bala. Motif ini dipercaya melindungi yang memakainya dari wabah penyakit. Digunakan sebagai kemben bila ingin dijadikan pesikepan tetapi juga bisa hanya berbentuk kain sobekan kecil tepat pada bagian motif yang disakralkan.

(14)

4

magis dan keagamaan. Berdasarkan uraian di atas mengenai fenomena tersebut, mendorong peneliti untuk maninjau struktur pola yang terkandung pada motif endek Bali, khususnya pada endek yang bersifat ritual magis dan keagamaan, yaitu motif cepuk dan motif geringsing.

I.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Endek bukan hanya sebagai produk budaya turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual.

2. Motif-motif pada ragam hias endek Bali merupakan identitas dan karakter budaya Bali.

3. Dengan adanya perubahan nilai fungsi pada endek Bali menyebabkan adanya perkembangan motif. Namun tidak pada motif-motif yang bersifat ritual magis dan keagamaan.

4. Motif cepuk dan motif geringsing berfungsi untuk sarana upacara keagamaan dan busana adat, bukan hanya sebagai penutup tubuh secara fisik, namun secara implisit menggambarkan sesuatu yang tidak nampak atau hal-hal yang melampaui batas.

I.3 Rumusan Masalah

Eendek Bali mengalami perkembangan yang sangat bervariasi baik dari segi warna maupun motif-motifnya. Namun, motif endek yang tidak mengalami perubahan yaitu motif cepuk dan geringsing karena berkaitan dengan ritual magis yang ada di Bali. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah yaitu:

(15)

5 I.4 Batasan Masalah

Agar penelitian terarah sesuai dengan tujuan karena objek penelitian mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, maka penelitian terfokus pada seni menenun dengan teknik ikat yang ada di Bali, meliputi motif tenun ikat endek Bali yang bersifat ritual magis, yaitu motif cepuk dan motif geringsing. Karena begitu banyak daerah yang mempunyai endek motif cepuk, aspek tempat untuk motif cepuk adalah Nusa Penida, Klungkung, sedangkan untuk motif geringsing adalah Tenganan Pegringsingan, Karangasem.

I.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Berdasarkan karakteristiknya, penelitian kualitatif tepat untuk digunakan untuk penelitian yang terkait kebudayaan. Penelitian kualitatif dilakukan dalam kondisi alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti menjadi instrumen kunci. Menurut Bogdan & Biklen dalam Sugiyono (2012), penelitian kualitatif lebih bersifat deskripsi. Data yang terkumpul berbentuk data atau gambar, lebih menekankan pada proses dan makna. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sebagai human instrument, maka pada penelitian ini peneliti akan berinteraksi langsung dengan sumber data.

I.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Langkah yang paling strategis dalam penelitian karena bertujuan untuk mendapatkan data yang merupakan tujuan utama dari sebuah penelitian. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai tempat, berbagai sumber dan berbagai cara (Sugiyono, 2014). Berikut cara atau teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis:

1. Wawancara mendalam, dimana peneliti bertukar informasi melalui wawancara semi berstruktur yaitu wawancara bebas tanpa pedoman wawancara yang tersusun secara sistematis.

(16)

6

peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan dan sudut pandang responden yang mungkin tidak didapat dalam wawancara.

3. Studi dokumentasi, yaitu mengumpulkan informasi dengan cara mengumpulkan data atau dokumen yang dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya.

4. Studi pustaka, yaitu usaha dalam pengumpulan data untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui, laporan hasil penelitian, koran atau buku.

I.5.2 Teknik Analisa Data

Analisa data adalah upaya yang dilakukan dengan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan presentasi hasil (Moleong, 2007). Teknik analisa data yang digunakan penulis adalah analisa data model Miles dan Huberman, yaitu:

1. Reduksi Data

Proses merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal pokok dan penting, mencari pola dan membuang yang tidak perlu. Inti dalam proses reduksi data yaitu mengambil informasi yang bermanfaat sesuai dengan konteks penelitian.

2. Penyajian Data

Setelah data dikumpulkan dan melalui proses reduksi, data kemudian disusun untuk ditampilkan atau disajikan untuk membantu dalam proses penarikan kesimpulan.

3. Penarikan Kesimpulan

(17)

7 I.5.3 Kerangka Penelitian

Gambar I.2 Kerangka penelitian TENUN IKAT ENDEK BALI

METODE PENELITIAN KUALITATIF

TINJAUAN KEBUDAYAAN: ESTETIKA DAN TENUN IKAT

Tujuan Penelitian Fokus Penelitian

PENGUMPULAN DATA & ANALISA DATA

Kosmologi Masyarakat Bali

Estetika Paradoks

Tinjauan Visual Motif Tenun Ikat Endek Bali

Tahap Deskriptif

Tahap Analisis

(18)

8 I.6 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mengidentifikasi struktur pola motif tenun endek Bali, khususnya motif yang bersifat ritual magis keagamaan dalam kehidupan masyarakat Bali, yaitu motif cepuk dan geringsing.

I.7 Manfaat Penelitian

1. Kontribusi di bidang desain

a. Menambah pemahaman tentang makna motif dan pola ragam hias endek Bali sehingga dapat diterapkan dalam desain motif endek Bali. b. Memberikan pengetahuan mengenai penggunaan teknik ikat dalam

mendesain motif endek Bali. 2. Kontribusi di bidang sosial budaya

a. Menambah pengetahuan tentang seni tenun pada umumnya dan endek pada khususnya sehingga dapat membantu melestarikan proses pewarisan seni dan budaya.

b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sarana untuk mempertahankan identitas kain tradisional endek sehingga masyarakat terutama generasi muda, khususnya Bali dapat memandang endek sebagai warisan budaya.

3. Kontribusi di bidang umum

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang tertarik mempelajari lebih dalam tentang tenun ikat endek bali.

I.8 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini secara sistematis dibagi ke dalam lima bab, setiap bab menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, yaitu:

BAB I – PENDAHULUAN

(19)

9

BAB II – TINJAUAN KEBUDAYAAN: ESTETIKA TENUN IKAT

Bab ini menguraikan landasan teori yang relevan digunakan dalam penelitian, yaitu teori kebudayaan, estetika dan tenun ikat. Bahasan mengenai landasan teori ini akan menggambarkan objek penelitian lebih dalam.

BAB III – TENUN IKAT ENDEK BALI

Bab ini menguraikan data dari objek yang akan diteliti yaitu tenun ikat endek Bali, meliputi sejarahnya, alat- alat produksi, proses produksi, motif dan fungsi dari endek Bali.

BAB IV – TINJAUAN VISUAL MOTIF TENUN IKAT (ENDEK) BALI

Bab ini mendeskripsikan pembahasan hasil penelitian yang didapat, berupa interpretasi dari motif tenun ikat endek Bali sesuai landasan teori estetika paradoks sebagaimana yang telah diuraikan

BAB V – KESIMPULAN

(20)

10 BAB II

TINJAUAN KEBUDAYAAN: ESTETIKA DAN TENUN IKAT

II.1 Kebudayaan

Kata kebudayaan dalam bahasa Sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti ‘budi’ atau akal. Kata lain dari ‘budi’ adalah jiwa yang didalamnya terkandung dorongan hidup yang mendasar, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Dengan demikian budi, akal, jiwa adalah dasar dari segala kehidupan budaya manusia (Kartika, 2007, h.111). Selain itu, kebudayaan dalam dalam bahasa Belanda “cultuur”, dalam bahasa Inggris “culture” serta dalam bahasa Latin “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan (Widagdho, 2012, h.18). Menurut Djojodiguno (dalam Widagdho, 2012, h.20) mengatakan bahwa kebudayan atau budaya adalah daya dari budi, yaitu:

1. Cipta merupakan kerinduan manusia untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam pengalamannya, meliputi pengalaman lahir dan batin yang menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan.

2. Karsa merupakan kerinduan manusia akan hal yang berkaitan dengan ”sangkan paran”. Dari mana manusia sebelum lahir (sangkan), dan ke mana manusia setelah mati (paran). Kerinduan ini menghasilkan norma-norma keagamaan atau kepercayaan sehingga lahirlah bermacam-macam agama dan kepercayaan. 3. Rasa merupakan kerinduan manusia akan keindahan yang menimbulkan

dorongan untuk menikmati keindahan sehingga menghasilkan berbagai norma keindahan dan berbagai macam kesenian.

(21)

11

Kontjaraningrat (2009) menyimpulkan bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, konsep, dan pikiran manusia. Wujud ini disebut sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat. Ide dan gagasan masnusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut, satu dengan yang lain selalu berkaitan membentuk suatu sistem, yang disebut dengan cultural system (sistem budaya).

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia yang saling berinteraksi. Wujud ini sering disebut sebagai social system (sistem sosial). Sistem sosial ini bersifat konkret, dapat diamati atau diobservasi. Pola aktivitas akan ditentukan dan ditata oleh gagasan dan pikiran manusia. Karena adanya saling interaksi antara keduanya, maka pola aktivitas dapat pula menimbulkan gagasan, konsep dan pikiran baru sehingga sistem sosial tidak dapat terlepas dari sistem budaya.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Suatu kebudayaan dalam bentuk fisik yang paling konkret biasa juga disebut kebudayaan fisik. Dalam aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai keperluan hidupnya, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang bergerak.

(22)

12

Gambar II.1 Kerangka kebudayaan menurut Koentjaraningrat Sumber: Buku “Pengantar Ilmu Antropologi”, 2009

Kerangka kebudayaan digambarkan dengan suatu bagan lingkaran. Bagan berbentuk lingkaran menunjukkan bahwa kebudayaan tersebut bersifat dinamis. Kerangka kebudayaan digambarkan dengan tiga lingkaran konsentrasi. Sistem budaya digambarkan dalam lingkaran paling dalam dan merupakan inti, sistem sosial dilambangkan dengan lingkaran kedua di sekitar inti dan kebudayaan fisik dilambangkan dengan lingkaran yang paling luar. Sedangkan, ketujuh unsur kebudayaan dilambangkan dengan membagi lingkaran tersebut menjadi tujuh sektor yang masing-masing melambangkan salah satu dari ketujuh unsur tersebut. Maka tampak jelas bahwa tiap unsur kebudayaan universal itu masing-masing memiliki tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial dan kebudayaan fisik.

II.1.1 Kebudayaan Bali

Masyarakat Bali adalah suatu kelompok manusia yang terikat akan kesadaran tentang kebudayaannya. Di samping itu, agama Hindu yang telah terintegrasi ke dalam kebudayaan Bali, merupakan suatu unsur yang memperkuat kesadaran tersebut. Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Hindu-Jawa di berbagai daerah di Bali zaman Majapahit menyebabkan masyarakat Bali terbagi menjadi dua bentuk, yaitu masyarakat Bali Aga dan masyarakat Bali Majapahit (Bagus, dalam Koentjaraningrat, 1988,

(23)

13

h.286). Masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat asli Bali dan tidak mendapatkan pengaruh kebudayaan Hindu-Jawa dan mempunyai struktur tersendiri.

1. Bahasa

Bagus (dalam Koentjaraningrat, 1988) mengemukakan di dalam peninggalan prasasti-prasasti di Bali dari zaman Hindu-Bali ditemukan bahasa Bali kuno dan bahasa Sansekerta. Sedangkan, di dalam lontar-lontar kesusastraan Bali ditemukan bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi (h.287). Bahasa yang digunakan masyarakat Bali dalam berkomunikasi adalah bahasa Bali. Perbendaharaan kata dan strukturnya tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Bahasa Bali dibagi menjadi dua, yaitu bahasa hormat (basa alus) dan bahasa kasar (basa kepara). Bahasa hormat (basa alus) berdasarkan tingkat penggunaannya dibagi menjadi tiga, yaitu basa alus sor, basa alus madya dan basa alus singgih.

2. Sistem Teknologi

Dalam melaksanakan suatu pekerjaan masyakat Bali mempergunakan peralatan produksi untuk mempermudah pekerjaannya, antara lain: (1) payuk (periuk) dan kukusan merupakan peralatan dapur, (2) dungki, pencar merupakan peralatan perikanan, (3) tenggala, pacul, arit, anggapan merupakan peralatan pertanian, (4) guwungan (kandang/sangkar) merupakan peralatan peternakan. (5) boom lusi, boom kain, guun, sisir, sekoci, penamplik, pemalpalan, undar, pemaletan merupakan peralatan pertenunan.

(24)

14

Gambar II.2 Kain endek Bali

Sumber: http://nga.gov.au/

Di Bali, teknik pola yang dikenal sebagai endek sebenarnya merupakan varian dari tenun ikat yang ada secara luas di seluruh Indonesia. Proses ikat yang rumit dan memakan waktu merupakan teknik menolak pewarna benang. Alat yang digunakan untuk mengikat kulit pohon pisang atau tali plastik. Ikatan dapat diterapkan pada benang lungsi, atau pada benang pakan atau pada kedua sistem benang sekaligus (double ikat) (Schaublin, dkk, 1997, h.15).

Gambar II.3 Kain songket Bali

(25)

15

Schaublin, et al (1997) said, songket is the term used to describe a technique additional patterns are woven into a material with supplementary weft threads, either running across the entire width or covering only supplementary parts of the cloth (p.33).

Gambar II.4 Kain perada Bali

Sumber: http://nga.gov.au/

Perada adalah nama kain tradisional Bali dengan teknik dimana katun atau sutra yang dihiasi dengan serpihan emas. Biasanya diproduksi dengan menggunakan cat pigmen berwana perunggu atau plastik foil berwarna emas. Kain dasar polos sederhana, bergaris, atau kain dengan warna cemerlang dipadukan dengan pola emas yang menonjol dan mencolok (Schaublin, dkk, 1997, h.53).

3. Mata Pencaharian

(26)

16 4. Organisasi Sosial

Setiap kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat-istiadat dan norma-norma di dalam lingkungan tempat individu hidup.

Sistem Kekerabatan

Pernikahan di Bali menurut Bagus (dalam Koentjaraningrat, 1988) merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan bermasyarakat di Bali karena warga masyarakat akan memperoleh hak dan kewajiban secara penuh. Menurut sudut pandang adat lama yang dipengaruhi sistem klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan dilakukan antara warga yang mempunyai klen yang sama atau sederajat dalam kasta. Apabila terjadi perkawinan campuran atau berbeda klen, maka suami-isteri yang melakukan hal tersebut akan dibuang (maselong) untuk waktu yang lama dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, tidak pernah dijalankan lagi dan pernikahan campuran antarkasta sudah banyak dilakukan (h.294). Sesudah pernikahan, suami-isteri baru secara virilokal menempati rumah (umah) dari orang tua suami, walaupun tidak sedikit yang membangun rumah baru. Selain itu, suami-isteri baru yang menetap secara uxorilokal di rumah orang tua isteri atau disebut nyeburin atau nyentana. Tempat suami-isteri menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari keturunan mereka selanjutnya (h.295).

Sistem Kemasyarakatan

(27)

17

Keanggotaan banjar atau disebut krama banjar dibagi menjadi dua, yaitu sistem karang ayahan dan sistem mapekuren (h.21). Banjar pakraman terbagi lagi menjadi beberapa kelompok masyarakat yang lebih kecil atau disebut tempek dan ketuanya disebut klian tempek.

Organisasi pertanian di Bali, sistem pengairan sawah atau irigasi yang disebut subak. Krama subak adalah para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan yang diurus oleh organisasi krama subak serta diketuai oleh klian subak.

Organisasi yang bergerak dalam bidang yang lebih khusus berdasarkan atas fungsinya disebut seka. Seka truna, seka gong, seka bala angkep, seka pecalang dan sebagainya. Seka-seka tersebut dikepalai oleh klian seka. Perkumpulan ini merupakan organisasi yang terlepas dari organisasi desa dan banjar namun mempunyai kontribusi pada berbagai kegiatan di desa dan banjar.

5. Sistem Pengetahuan

Masyarakat Bali memiliki sistem pengetahuan di bidang pertanian mengenai tata kelola pengairan atau irigasi sawah yang disebut subak. Sistem ini telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai salah satu warisan dunia.

(28)

18 6. Religi

Sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu-Bali. Di dalam kehidupan keagamaannya, masyarakat Hindu-Bali melaksanakan ajaran-ajaran dari kitab suci yang bernama Weda. Masyarakat Hindu-Bali mempercayai satu Tuhan dengan konsep Tri Murti, yaitu Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur. Konsep Tri Murti berkaitan dengan lima kepercayaan masyarakat Bali yang disebut Panca Sradha, (1) Brahman, percaya dengan adanya satu Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan tiga sifatnya yang disebut Tri Purusa (Parasiwa, Sadasiwa dan Siwatman), (2) Atman, percaya bahwa setiap makhluk memiliki atma, (3) Karmaphala, percaya akan adanya hukum sebab akibat, (4) Samsara atau Punarbhawa, percaya dengan adanya kelahiran kembali atau berulang-ulang yang biasa disebut Reinkarnasi, (5) Moksa, percaya dengan adanya kebebasan yang abadi, terlepas dari Karmaphala dan tidak mengalami Samsara.

Konsep kepercayaan yang dijabarkan di atas dilaksanakan dengan tulus ikhlas oleh masyarakat Bali dalam berbagai bentuk upacara Yadnya. Masyarakat Hindu-Bali mengenal lima macam penggolongan upacara Yadnya yang disebut Panca Yadnya, yaitu: (1) Dewa Yadnya, upacara-upacara pemujaan kehadapan para Dewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, (2) Pitra Yadnya, upacara pemujaan kehadapan para roh leluhur, (3) Rsi Yadnya, upacara yang berkaitan dengan pengangkatan pendeta atau sulinggih, (4) Manusa Yadnya, upacara-upacara siklus hidup manusia mulai dari dalam kandungan hingga menikah, (5) Bhuta Yadnya, upacara-upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala.

7. Kesenian

(29)

19

seni rupa, kesenian yang dinikmati manusia dengan mata, (2) seni suara, kesenian yang dinikmati manusia dengan telinga.

Gambar II.5 Kerangka kesenian menurut Koentjaraningrat Sumber: Buku “Pengantar Ilmu Antropologi”, 2009

Seni rupa, seniman atau perupa di Bali mendeskripsikan ekspresi hasrat keindahan dalam bentuk rupa, diantaranya: seni patung, seni relief (seni ukir), seni lukis. Disamping itu, seni rupa lainnya adalah seni kriya tekstil (tenun).

Seni suara, masyarakat Bali membedakan seni tembang (vokal) menjadi empat kelompok, meliputi: gegendingan (sekar rare), pupuh (sekar alit), kekidungan (sekar madya), kakawin atau wirama (sekar agung). Selain seni tembang, ada seni karawitan yang mengolah bunyi benda (instrumen) tradisional atau gamelan. Berdasarkan jamannya, gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: gamelan wayah, gamelan madya dan gamelan anyar. Seni suara lainnya ialah seni sastra, kesusastraan Bali dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: tembang (puisi) , gancaran (prosa), palawakia (prosa liris).

(30)

20

Seni tari, dalam masyarakat Bali seni gerak tubuh yang mengikuti alunan nada dari gamelan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) tari wali, tarian yang bersifat sakral, (2) tari bebali, tarian yang bersifat semi sakral dan (3) tari balih-balihan, bersifat sebagai hiburan.

Seni drama, penggabungan dari seni rupa, seni suara dan seni tari. Di Bali terdapat beberapa seni pertunjukan atau seni drama, yaitu: (1) gambuh merupakan drama klasik Bali, (2) arja merupakan opera khas Bali, (3) drama gong merupakan seni drama yang memadukan pencampuran unsur tradisional dengan unsur teater modern, (4) calonarang merupakan seni pertujukan ritual magis.

II.1.2 Kosmologi Masyarakat Bali

Masyarakat Bali memandang alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Oleh sebab itu bagi masyarakat Bali kosmologi dimaknai sebagai keteraturan, keserasian, dan harmoni yang dimanifestasikan ke dalam jagad raya (makrokosmos) dan jagad alit (mikrokosmos) (Karthadinata, 2008).

Cara berpikir budaya mistis berbeda dengan cara berpikir modern yang ontologis. Pada budaya mistis manusia menyatu dengan alam di luar dirinya. Kehidupan ini merupakan kesatuan yang maha besar, antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, dan manusia dengan seluruh tata kosmos semesta ini. Manusia bertugas menyelaraskan diri dengan kosmos kalau ingin selamat di dunia fana ini. Manusia menyatukan diri dengan objek di luar dirinya, dari sinilah mereka menemukan jati dirinya (Sumardjo, 2000).

(31)

21

bersifat spiritual (niskala) yang teratur di bawah kekuatan Mahaatman (Hyang Widhi) yang menjadi pusatnya.

II.2 Estetika

Secara etimologis, Shipley menjelaskan bahwa estetika berasal dari bahasa Yunani “aistheta”, juga diturunkan dari “aisthe” yang merupakan segala sesuatu yang ditanggapi oleh indera (dalam Ratna, 2011). Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai persepsi indera (sense of perception). Djelantik (1999) menambakan bahwa estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Kesan indah tersebut terjadi melalui dua dari lima panca indera, yaitu melalui mata dan telinga. Yang melalui mata disebut visual dan yang melalui telinga disebut auditif.

Dalam sejarah estetika filsafati, ide terpenting dalam estetika sejak zaman Yunani Kuno sampai abad ke-18 adalah terkait dengan persoalan keindahan. Menurut cakupannya, harus dibedakan antara keindahan sebagai suatu kualitas abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah (Kartika, 2007). Persoalan tentang luasnya pengertian keindahan kemudian terbagi dalam kategori berikut:

1. Keindahan dalam arti luas, meliputi keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual.

2. Keindahan dalam arti estetis murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya.

3. Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan, menyangkut benda-benda yang diserap dengan penglihatan, berupa keindahan dari bentuk dan warna secara kasat mata.

(32)

22

setiap orang tidak akan ada yang benar. Konsepsi yang sulit untuk menyusun suatu teori estetik, kemudian memunculkan konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value). Menurut Kant (dalam Kartika, 2007) terdapat dua macam nilai estetis:

1. Nilai estetis atau nilai murni

Nilai estetis yang murni terdapat pada garis, bentuk, warna dan seni rupa. Gerak, tempo, irama dalam seni tari. Suara, metrum, irama dalam seni musik. Dialog, ruang, gerak dalam seni drama, dan lain-lain.

2. Nilai ekstra estetis atau nilai tambahan

Nilai ekstra estetis yang merupakan nilai tambahan misalnya pada: bentuk-bentuk manusia, alam, binatang dan lain-lain. Keindahan yang dapat dinikmati penggemar seni yang terdapat pada unsur-unsur tersebut, disebut keindahan luar estetis atau tambahan.

II.2.1 Estetika Paradoks

Pemahaman estetika masyarakat pramodern berada dalam kebudayaan mistis spritual keagamaan yang berpikir secara kosmosentris dan menempatkan manusia sebagai bagian, dan sama dengan alam semesta. Mikrokosmos manusia adalah makrokosmos semesta. Menyatunya mikrokosmos dan makrokosmos membawa manusia mencapai Sang Pencipta. Sedangkan kebudayaan modern birpikir secara antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas dan adanya jarak antara manusia dengan semesta dan Sang Pencipta. Dengan demikian, realitas tersebut tergantung pada masing-masing individunya, yaitu cara berpikirnya (Sumardjo, 2006).

(33)

23

menambahkan bahwa akeologi pikiran tersebut terbagi menjadi beberapa pola, yaitu:

1. Estetika Pola Dua

Dasar pemikiran pola dua adalah bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu konflik, karena penyatuan tidak menyenangkan. Dalam masyarakat berpola dua, jumlah kelompok sosial bukan semakin menyatu, melainkan semakin terpisah-pisah. Pola dua merasuki mitologi-mitologi masyarakat peramu dan peladang. Pandangan mereka adalah budaya perang dan bukan budaya harmoni yang mempertahankan pemisahan dan membiarkan pertentangan terus berlangsung.

Pola Berhadapan

Pola Berlawanan

Gambar II.6 Estetika pola dua

Sumber: Buku “Estetika Paradoks”, 2006

(34)

24 2. Estetika Pola Tiga

Pola tiga dalam kebudayaan pramodern Indonesia berkembang di lingkungan masyarakat primordial yang hidup dengan cara berladang. Masyarakat ini menyatukan dua unsur yang saling bertentangan dan saling melengkapi. Penyatuan tersebut menghasilkan entitas ketiga. Entitas ketiga adalah “dunia tengah” yang mengandung dua unsur pertentangan sebagai suatu penghubung atau perantara dua entitas yang saling bertentangan.

Gambar II.7 Estetika pola tiga Sumber: Buku “Estetika Paradoks”, 2006

Peristiwa paradoks pada pola tiga adalah peristiwa harmoni dari dua entitas yang bertentangan, tidak ada yang dikalahkan dan tidak ada yang dimenangkan. Keduanya adalah pemenang, bahkan melahirkan entitas yang baru (Sumardjo, 2006).

3. Estetika Pola Empat

Dalam pola empat adanya pembagian hulu dan hilir dalam budaya peladang. Bagian hulu lebih sakral daripada bagian hilir yan lebih profan. Kosmologinya terdiri dari tanah perbukitan, langit, laut dan

Paradoks Absolut

Paradoks

Dualistik

(35)

25

dunia manusianya. Segala sesuatu merupakan kesatuan kesempurnaan yang terdiri dari empat pasangan.

Gambar II.8 Estetika pola empat Sumber: Buku “Estetika Paradoks”, 2006

Alam pikiran pola empat dalam beberapa segi merupakan gabungan dari alam pikiran pola dua dan tiga. Pola ini merupakan pola masyarakat kelautan yang mengambil unsur resiprokal. Azas timbal balik yang diperhitungkan untuk memperoleh keuntungan (Sumardjo, 2006).

4. Estetika Pola Lima

Pola lima berkembang dalam suatu daerah masyarakat yang sejak awal pemukimannya di suatu daerah mengandalkan hidupnya dari bersawah. Pengaturan pola lima merupakan makna bagi praksis kehidupan. Pengaturan ini menghadirkan yang transenden ke dunia imanen atau membuat yang imanen menjadi transenden, yaitu dengan gerak yang memusat dan gerak yang menyebar. Dan menyebabkan adanya “dunia tengah” ganda yang menyatukan pasangan atas-bawah dan pasangan hulu-hilir.

Pola lima mengacu pada pembagian pola empat dan merupakan kelanjutan dari pola tiga. Pengaturan kampung mengikuti pola tiga, yaitu masyarakat terbatas yang bebas sekaligus saling terikat.

Sakral

Profan

(36)

26

Keterikatan, menghindari perkawinan incest karena diatur adanya kesatuan tiga kampung utama (Sumardjo, 2006).

II.3 Seni dan Desain

Seni adalah aktivitas yang mengahasilkan keindahan. Seni bermakna sebagai komunikasi. Hegel (dalam Kartika, 2007) berpendapat bahwa seni adalah hubungan antara ide dan gambaran indera. Lebih lanjut Hegel mengemukakan bahwa dalam tahap awal seni disebut “simbolis”, karena dalam hubungannya tidak mencapai idealisme yang stabil. Memasuki tahap “klasik” ketika seni terealisasi dari ide, dan pada akhirnya tahap “romantik” ketika hubungan antara kedua tahap tadi mencapai tingkat dimana ide yang tak terbatas tidak terealisasi kecuali di dalam. Aktivitas seni yang terbangun dalam diri sendiri merupakan suatu perasaan yang pernah dialami, kemudian melalui perantara gerakan, bentuk, warna, bunyi atau bentuk-bentuk yang diekspresikan dengan kata-kata, dapat mengubah keberadaan tersebut sehingga orang lain dapat mengalami hal yang sama.

Kesenian yang mengacu pada bentuk visual disebut bentuk perupaan, merupakan susunan atau komposisi dari unsur-unsur rupa. Struktur desain atau struktur rupa yang terdiri dari: elemen desain, prinsip desain, dan hukum desain.

II.3.1 Elemen-Elemen Seni dan Desain 1. Garis (Line)

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa garis merupakan dua titik yang dihubungkan, namun bagi seniman, garis merupakan suatu simbol emosi yang diungkapkan lewat goresan. Garis mempunyai peranan untuk memberi tanda dari bentuk logis. Garis juga merupakan suatu simbol ekspresi dari suatu ungkapan.

2. Bentuk (Shape)

(37)

27

objek terjadi perubahan wujud antara lain: stilisasi, distorsi, dan disformasi.

3. Ruang

Ruang dalam seni rupa dibagi menjadi dua macam, yaitu ruang maya dan ruang semu. Ruang semu, indera penglihatan menangkap bentuk dan ruang sebagai gambaran sesungguhnya. Ruang nyata, adalah bentuk dan ruang yang benar-benar dapat dibuktikan dengan indera peraba.

Gambar II.9 Lukisan yang mempunyai kesan ruang

Sumber: Dokumen pribadi

4. Warna

Unsur seni yang sangat penting baik di bidang seni murni maupun seni terapan, maka warna mempunyai peranan sebagai representasi alam, sebagai lambang atau simbol dan sebagai simbol ekspresi. Sistem Munsell mendasarkan pada dimensi kualitas warna yaitu:

 Hue

Hue digunakan untuk menunjukkan nama dari suatu warna, seperti merah, biru, hijau dan sebagainya.

 Value

(38)

28

 Intensity/Chroma

Sebagai gejala kekuatan atau intensitas warna (jernih/suramnya warna). Intensity penuh adalah warna yang sangat menyolok, intensity rendah adalah warna-warna yang berkesan lembut.

Gambar II.10 Warna pada sebuah karya lukis

Sumber: Dokumen pribadi

5. Tekstur

Unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan.

II.3.2 Prinsip Desain ( Penyusunan)

Berdasarkan Kartika (2007) penyusunan dari unsur-unsur estetika suatu desain merupakan prinsip pengorganisasian unsur dalam desain diantaranya:

1. Harmoni (Keselarasan)

(39)

29

Gambar II.11 Harmonisasi dalam sebuah lukisan

Sumber: Dokumen pribadi

2. Kontras (Penekanan)

Perpaduan dari unsur-unsur yang berlawanan atau berbeda tajam. Kontras merupakan bumbu komposisi dalam pencapaian bentuk untuk menimbulkan sensasi pertentangan dari eksistensi menarik perhatian.

Gambar II.12 Kesan kontras pada warna daun dan buah

Sumber: Dokumen pribadi

3. Irama (Repetisi)

(40)

30

Gambar II.13 Irama atau repetisi pada sebuah lukisan

Sumber: Dokumen Pribadi

4. Gradasi

Merupakan sistem penggambaran susunan monoton menuju dinamika yang menarik, yang dilakukan dengan penambahan atau pengurangan secara bertahap.

II.3.3 Hukum Desain 1. Kesatuan (Unity)

Kesatuan adalah kohesi, konsistensi atau keutuhan yang merupakan isi pokok dari komposisi. Keutuhan tanpa dominan, desain atau penyusunan menjadi tak sempurna. Suatu susunan hubungan unsur-unsur pendukung karya sehingga secara keseluruhan menampilkan kesan secara utuh.

Gambar II.14 Kesan menyatu atau utuh pada karya lukisan

(41)

31 2. Keseimbangan (Balance)

Keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan sehingga adanya kesan seimbang secara visual secara intensitas kekaryaan.

Gambar II.15 Lukisan yang menunjukan sebuah keseimbangan

Sumber: Dokumen pribadi

3. Kesederhanaan (Simplicity)

Unsur-unsur dalam desain atau komposisi hendaklah sederhana karena unsur yang terlalu rumit akan sulit untuk sering menjadi unsur yang menyolok dan penyendiri, asing atau terlepas serta sulit untuk diikat dalam kesatuan keseluruhan.

Gambar II.16 Kesederhanaan pada sebuah karya lukis

(42)

32 4. Aksentuasi (Emphasis)

Desain mempunyai titik berat untuk menarik perhatian. Tata letak antara unsur diatur sedemikian rupa sehingga mengarahkan perhatian ke objek yang menjadi pusat perhatian.

Gambar II.17 Dua burung kakaktua adalah titik perhatian

Sumber: Dokumen pribadi

5. Proporsi

Warna, tekstur dan garis mempunyai peranan penting dalam menentukan proporsi. Warna yang cerah terlihat lebih jelas. Tekstur memantulkan cahaya atau bidang-bidang yang bermotif akan menonjolkan suatu bidang. Garis-garis vertikal cenderung membuat suatu benda kelihatan lebih tinggi dan garis horizontal membuat suatu benda kelihatan lebih pendek dan lebar.

Gambar II.18 Proporsi pada sebuah karya lukis

(43)

33 II.4 Tenun Ikat

Bila melihat ke zaman pra sejarah, di masa itu manusia membuat pakaian dari kulit kayu. Pembuatannya dilakukan dengan cara memukul-mukul kulit kayu sehingga menjadi lebih cocok dikenakan pada tubuh. Kemungkinan besar di masa tersebut telah berkembang pula kriya tekstil, suatu bentuk bahan pakaian yang lebih halus dibandingkan dengan pakaian dari kulit kayu. Tidak adanya peninggalan tenunan dari masa tersebut yang dapat dijadikan petunjuk tentang bagaimana seni tenun berawal. Tetapi PaEni (2009) menyebutkan bahwa motif hias yang terdapat pada sejumlah periuk belanga yang berasal dari masa itu memperlihatkan kekayaan jenis motif hias yang sudah dikenal pada masa itu.

Indonesia mencapai hubungan perdagangan yang intensif dengan negara-negara Asia lainnya di era sejarah. Kehadiran barang impor menambah variasi teknik dalam menenun. Melalui perdagangan, pengaruh Hindu dan Budha mencapai Indonesia sekitar abad ke-4 dan pengaruh Islam sekitar abad ke-15, masing-masing kemudian membimbing cara hidup dan perilaku pengikutnya serta menginfiltrasi budaya lokal (Kartiwa, 2009).

Tenun merupakan hasil kerajinan manusia di atas kain yang terbuat dari benang, serat kayu, kapas, sutera, dan lain-lain dengan cara memasukkan benang pakan secara melintang pada benang yang membujur atau lungsi. Kualitas sebuah tenunan biasanya tergantung pada bahan dasar, keindahan tata warna, dan motif ragam hiasnya. Kain tenun dibentuk dengan cara menganyamkan atau menyilangkan dua kelompok benang yang saling tegak lurus sehingga membentuk kain tenun dengan konstruksi tertentu. Proses pembuatan kain yang dibentuk oleh silangan atau anyaman benang lusi dan pakan disebut menenun.

(44)

34

benang-benang yang telah diberi corak dengan cara diikat. Bersamaan pada saat kain ditenun corak pun muncul di permukaan. (Kartiwa, 2009).

II.4.1 Tenun Ikat Lusi atau Lungsi

Motif dibuat pada kumpulan benang lungsi yang dibentangkan pada alat perentang diikat dengan tali plastik berbagai warna disesuaikan dengan desain, kemudian dicelup. Setelah mengering pada bagian yang ditandai oleh warna plastik tertentu dibuka ikatannya dan dicolet dengan warna, dilakukan seterusnya sehingga tercipta motif ragam hias. Setelah kering, kemudian ditata pada alat tenun dan ditenun dengan benang pakan warna tertentu secara keseluruhan. Hasil tenun ikat lungsi banyak dijumpai di daerah NTB, NTT, Maluku, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat , Sulawesi Utara, Papua Barat (Cita Tenun Indonesia, 2010).

II.4.2 Tenun Ikat Pakan

Proses pembuatan motifnya sama dengan tenun ikat lungsi, tetapi yang diikat adalah kumpulan benang pakan disesuaikan dengan desain, kemudian ditenun pada bentangan benang lungsi yang sudah tertata pada alat tenun secara keseluruhan. Hasil tenun ikat pakan banyak dijumpai di daerah Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah. (Cita Tenun Indonesia, 2010).

II.4.3 Tenun Ikat Ganda

(45)

35 II.5 Ragam Hias

Ragam hias hadir di dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu media untuk mengungkapkan perasaan yang diwujudkan dalam bentuk visual. Oleh karena itu, proses pembuatannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Dapat dikatakan bahwa ragam hias ditujukan sebagai pelengkap rasa estetika. Di dalam ragam hias itu terdapat pula makna simbolik tertentu menurut apa yang berlaku secara konvensional (Toekio M., 2012).

Motif hias yang terdapat pada sejumlah periuk belanga yang berasal dari era Noelithic 2.000 tahun sebelum masehi memperlihatkan kekayaan jenis motif hias yang sudah dikenal pada tersebut. Pada umumnya motif-motif hiasan itu bersifat geometris, antara lain meander, segitiga (tumpal), kawung, kepala manusia, motif seperti uang Cina, dan lain-lain. Motif hias ini dipengaruhi oleh dua budaya, yaitu budaya asli dan budaya Dong-son. Motif hias dari budaya asli terutama adalah wajah manusia, sebuah motif hias yang dijumpai di berbagai tempat di Indonesia sebagai gambaran nenek moyang. Motif hias dari budaya Dong-son secara umum adalah bersifat geometris (PaEni, 2009).

(46)

36 II.5.1 Klasifikasi Ragam Hias

1. Ragam Hias Geometris

Ragam hias ini memiliki ciri pengulangan pada bentuk baku tertentu namun seimbang pada seluruh sisinya.

2. Ragam Hias Flora

Ragam hias ini merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan bagian tertentu atau secara utuh.

3. Ragam Hias Fauna

Ragam hias ini mengambil inspirasi atau merupakan stilisasi dari fauna, baik di darat, laut dan udara.

4. Ragam Hias Figuratif

Ragam hias ini merupakan penggambaran manusia dalam bentuk yang lebih sederhana atau tokoh-tokoh pewayangan secara utuh ataupun bagian-bagian tertentu.

5. Ragam Hias Dekoratif

(47)

37 BAB III

TENUN IKAT ENDEK BALI

III.1 Sejarah

Adnyana, seorang pengusaha tenun Bali (Pertenunan Putri Ayu) mengemukakan bahwa tenun ikat Bali atau yang biasa disebut endek berasal dari kata “gendekan” atau “ngendek” yang berarti diam atau tetap, tidak berubah warnanya. Peristiwa ini terjadi saat pembuatan motif endek yaitu dengan cara diikat. Saat dicelup, benang yang diikat warnanya tetap atau tidak berubah atau di Bali disebut “ngendek” (wawancara, 2015).

Sardja, seorang konsultan tenun Bali menjelaskan bahwa teknik ikat yang berkembang di Bali adalah teknik single ikat pada benang pakan dan double ikat pada kedua benang yaitu lusi dan pakan. Seiring berkembangnya pengetahuan masyarakat Bali tentang endek, teknik pembuatan motif dengan cara mengikat telah berkembang dengan teknik airbrush. Dimana teknik ini dapat mengurangi waktu pembuatan motif sehingga proses pengerjaan endek bisa lebih cepat (wawancara, 2015).

Endek merupakan kain atau wastra tradisional Bali, dimana proses pembuatan endek membutuhkan waktu yang cukup lama untuk satu motif kain endek. Kegiatan menenun atau pertenunan endek di Bali bisa dijumpai di kabupaten Karangasem, Klungkung, Gianyar, Buleleng, Negara dan kodya Denpasar.

(48)

38 III.2 Alat Produksi

Pada umumnya produksi tenun ikat endek Bali menggunakan ATBM (alat tenun bukan mesin). Meskipun terdapat beragam bentuk dan mekanisme alat tenun ini, namun fungsi dasar ATBM tetap sama yaitu sebagai tempat memasang benang-benang lungsi untuk kemudian benang-benang pakan dapat diselipkan di sela-sela benang-benang lungsi (Sumadi, dkk, 2014, h.40).

Gambar III.1 Alat tenun bukan mesin (ATBM)

http://teknologitekstil.com/

1. Boom lusi, untuk menggulung benang lusi,

2. Boom kain, untuk menggulung kain yang sudah ditenun,

3. Guun, untuk mengendalikan dan menggerakkan benang lusi agar sekoci dapat masuk di sela-sela benang lusi,

4. Injakan guun, untuk mengatur guun,

5. Sisir, untuk menyusun kerapatan benang lusi,

6. Pemberat gulungan benang lusi, untuk menjaga kekencangan benang tetap stabil.

Selain yang disebutin diatas masih terdapat alat-alat lainnya, antara lain: (1) sekoci, untuk menaruh benang pakan, (2) tempat benang kelos, untuk menaruh benang kelos saat proses pengebooman, (3) Sisir silang/sisir hani, untuk mengatur dan menyusun helaian benang, (4) Kelos, untuk menggulung helaian benang, (5)

1 2

3

4 5

(49)

39

Penamplikan, untuk membentangkan benang, (6) Pemalpalan, untuk menggulung benang pakan dan merapikan susunan helaian benang pakan yang sudah dicatri, (7) Undar, untuk membentangkan benang agar mudah dipindahkan ke dalam ulakan, (8) Pengeredegan/pengehengan, untuk menggulung benang ke dalam ulakan, (9) Pemaletan, untuk menggulung benang pakan.

III.3 Proses Produksi

Pada dasarnya, endek merupakan jenis tenun yang menggunakan teknik ikat pada benang pakannya. Pakan merupakan benang yang dimasukkan secara mendatar saat menenun dan pemberian motif dilakukan pada benang ini. Sedangkan lusi atau lungsi adalah benang yang di pasang vertikal atau tegak lurus dan biasanya berwarna polos tanpa motif, namun Adnyana (dalam wawacara, 2015) mengemukakan bahwa seiring berkembangnya pengetahuan pengerajin/penenun, teknik ikat dilakukan pada benang pakan atau benang lusi atau pada keduanya (double ikat). Sumadi, dkk (2014) menambahkan bahwa pada prinsipnya kain tenun tercipta dari hasil persilangan antara dua benang tersebut diatas yang saling terjalin tegak lurus satu sama lain, benang lusi/lungsi yang mengikuti panjang kain (vertikal) serta benang pakan yang mengikuti lebar kain (horizontal).

(50)

40

Gambar III.2 Proses produksi tenun ikat endek Bali

1. Proses Pengolahan Benang Lusi a. Pengkelosan

Pengkelosan adalah proses memintal. Benang dalam gulungan besar dipintal menjadi gulungan-gulungan kecil. Adnyani (2013) menyebutkan, dari satu pak benang dengan berat 5 kilogram, akan menjadi 30 buah kon benang yang sudah tergulung.

b. Pencelupan warna

Proses pemberian warna pada benang dilakukan dengan cara dicelup. Hal ini dimaksudkan agar hasil pewarnaan merata. Ada pula pertenunan yang merebus benang terlebih dahulu selama 30 menit sebelum dilakukan pencelupan warna.

c. Penganihan (proses merapatkan benang)

Proses ini dikenal juga sebagai proses pengebooman. Benang lusi diatur dan digulung pada boom lusi dengan sistem penggulungan sejajar. Ukuran panjang dan lebar kain endek ditentukan pada proses ini. Satu putaran boom

(51)

41

setara dengan kain berukuran dua meter. Untuk membuat kain sepanjang satu meter membutuhkan 16.000-18.000 benang. Proses pengebooman ini, pertama ujung benang lusi diambil, dijepit dengan kayu selebar boom lusi yang dipergunakan, kemudian digulung sesuai kebutuhan. Boom lusi disetel sedemikian rupa sehingga kedudukannya tepat berada di gulungan lusi, boom kemudian diputar sesuai keinginan dan kebutuhan kain tenun yang akan dibuat.

d. Pencucukan

Proses ini merupakan proses pemasukan benang lusi yang dilakukan secara dua tahap, yaitu proses pencucukan pada mata guun dan yang kedua ke sisir tenun. Mata guun menjadi tempat memasukkan benang lusi sehingga gerakan benang menjadi terkendali saat menenun. Serat/sisir berfungsi mengatur kerapatan benang pakan dan digunakan sebagai pengarah teropong penggerak benang pakan. Benang yang telah melalui tahap pencucukan selanjutnya digulung secara hati-hati untuk nantinya memasuki tahapan penenunan.

2. Proses Pengolahan Benang Pakan a. Pengkelosan

Proses pengkelosan pada benang pakan sama dengan proses pengelosan pada benang lusi.

Gambar III.3 Proses pengkelosan benang pakan

(52)

42 b. Pemindangan atau mempen

Benang yang sudah dikelos (30 kones) dimasukan ke dalam rak benang, kemudian ditata ke dalam penamplik/pemidangan untuk menghitung jumlah putaran dengan tujuan untuk menentukan besar kecilnya motif yang diinginkan.

Gambar III.4 Proses pemidangan benang

Sumber: Dokumen pribadi

c. Pengikatan

Proses pengikatan menggunakan tali berbahan plastik atau kupas dari pelepah pohon pisang sesuai dengan desain yang telah ditentukan.

Gambar III.5 Proses pengikatan motif

Sumber: Dokumen pribadi

d. Pencelupan

(53)

43 e. Pencoletan atau nyatri

Pencoletan atau pengisian warna disesuaikan dengan desain yang telah ditentukan. Kemudian dijemur sampai kering.

Gambar III.6 Proses pencoletan atau nyatri Sumber: Dokumen pribadi

f. Pengobatan/Fiksasi

Fiksasi dilakukan dengan cairan yang bernama fixanol. g. Penginciran

Penataan benang dengan cara digulung ke dalam suatu alat penginciran, untuk mempermudah dalam tahap pemaletan.

Gambar III.7 Penginciran Sumber: Dokumen pribadi

h. Pemaletan

(54)

44

Gambar III.8 Proses pemaletan Sumber: Dokumen pribadi

3. Proses Penenunan

Selama penenunan lakukan pengendalian/pengecekan terhadap kemungkinan putus benang lusi dan pakan dengan cara mengamati selama proses penenunan.

Gambar III.9 Proses penenunan atau penyetelan

Sumber: Dokumen pribadi

III.4 Motif Ragam Hias

1. Motif Geometris

(55)

45

Gambar III.10 Endek Motif geometris

Sumber: http://nga.gov.au/

2. Motif Flora

Tenun ikat endek dengan motif flora atau tumbuh-tumbuhan merupakan stilisasi dari tumbuhan yang didesain sedemikian rupa. Pola ragam hias rapat dan sangat harmonis.

Gambar III.11 Endek motif flora

Sumber: http://nga.gov.au/

3. Motif Fauna

Endek dengan motif fauna merupakan penggambaran atau stilisasi dari fauna, baik darat, laut maupun udara. Karena keterbatasan teknik pembuatannya maka bentuk-bentuk fauna tersebut dipakai sebagai pengisi atau penekanan di dalam kerangka bentuk ragam hias keseluruhan.

Gambar III.12 Endek motif fauna

(56)

46 4. Motif Figuratif

Motif manusia atau figuratif merupakan penggambaran bentuk manusia atau tokoh/figure pewayangan dalam bentuk yang lebih sederhana, baik secara utuh atau hanya pada bagian tertentu.

Gambar III.13 Endek motif figuratif

Sumber: http://nga.gov.au/

5. Motif Dekoratif

Motif dekoratif atau campuran atau di Bali disebut prembon merupakan penggabungan dari seluruh motif yang sudah ada sebelumnya dan didesain sesuai keyakinan masyarakat Bali atau cerita pewayangan.

Gambar III.14 Endek motif dekoratif

Sumber: Dokumen pribadi

III.5 Fungsi

(57)

47

aktivitas menenun masih tetap dilakoni wanita Bali dan bahkan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Bali. Sumadi, dkk (2014) menyebutkan, tenun ikat endek memiliki sebutan yang beragam di setiap daerah, endek yang dibuat di Kabupaten Gianyar dikenal dengan nama endek Gianyar, di Klungkung terkenal dengan nama endek Klungkung. Fenomena kain tradisional di atas menunjukkan gambaran kain tradisional dalam masyarakat dari segi sosial dan ekonomi. Kain tradisional merupakan salah satu unsur budaya yang dapat dilihat dari bermacam aspek. Kain tradisional dilihat sebagai suatu sistem memiliki beberapa unsur, yaitu: unsur budaya (terdiri dari gagasan ide bahkan nilai luhur yang terkandung dalam kain tradisional), unsur pesona (keterampilan pengrajin dalam merancang dan membuat kain tradisional), serta unsur prasarana (alat-alat yang digunakan dalam proses menenun).

1. Fungsi Keseharian

Kain tenun endek merupakan produk budaya yang awalnya hanya digunakan oleh para orang tua atau kalangan bangsawan tertentu, tetapi kini sebagian besar masyarakat Bali sudah menggunakannya baik untuk upacara besar, sembahyang ke pura ataupun sebagai seragam kantor. Kain-kain, yang disebut wastra dalam bahasa Bali, memiliki peran yang sangat penting dalam upacara-upacara adat. Dalam siklus hidupnya, sejak lahir hingga meninggal, mulai pagi hari ketika matahari terbit hingga terbenam, kehidupan masyarakat Bali tidak terlepas dari kegiatan upacara adat. Oleh karena itu, keberadaan dan fungsi kain endek sangat erat kaitannya dengan upacara keagamaan. Beberapa diantaranya memiliki ragam hias yang dihubungkan dengan upacara sakral dan hanya boleh digunakan oleh orang tertentu.

(58)

48

kain endek pun kian banyak dikembangkan, mulai dari kipas, tas, hingga dekorasi ruangan kini banyak ditemukan.

2. Fungsi Sosial Budaya

Di Bali, kain tidak hanya dipakai sebagai penutup tubuh (pakaian). Kain juga digunakan untuk menghias tempat-tempat upacara di pura, rumah maupun di pusat desa. Bahkan, mereka mempercayai ada kain tertentu yang dapat berfungsi sebagai penolak bala misalkan kain tenun endek asli seperti endek gringsing, endek cepuk dan endek bebali.

Arini (seperti dikutip Sumadi dkk, 2014) menyebutkan bahwa terdapat beberapa jenis ragam hias tenun endek yang sampai saat ini diyakini oleh masyarakat memiliki fungsi sebagai penangkal bahaya wabah penyakit atau kematian. Kepercayaan tersebut diyakini secara turun temurun. Motif gringsing isi dan sanan empeg merupakan dua diantaranya. Endek bermotif gringsing diyakini dapat digunakan sebagai penangkal wabah penyakit. Penggunaannya untuk penangkal (pasikepan) tidak harus dipakai kamben, tetapi bisa juga hanya berbentuk kain sobekan kecil dan sobekan tersebut tepat pada bagian motif yang diskralkan.

Dalam peranan sosial, kain tenun endek dapat dipergunakan untuk pelindung tubuh, ikatan komunikasi menyama braya, yaitu ikatan tali persaudaraan sebagaimana kemben, bisa dipinjamkan kepada tetangga atau teman dan dapat juga sebagai cinderamata.

(59)

49

merupakan upacara yang diadakan untuk butha dan kala atau roh pengganggu manusia. Contoh upacara yang menggunakan kain bebali sebagai unsur ritualnya adalah upacara nelu bulanan dan ngaben. Kain endek bali juga biasa digunakan dalam pementasan kesenian tradisional.

3. Fungsi Ekonomi

Berdasarkan data statistik, hasil tenunan masyarakat Bali ini memang memperlihatkan dampak yang positif. Dalam artikel Endek Bali Berpotensi Besar di Pasar Ekspor (2013) disebutkan, devisa dari hasil ekspor

meningkat dari rata-rata 8 juta dolar AS per bulan menjadi 10 juta dolar AS lebih. Devisa dari ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) senilai 125,54 juta dolar AS selama 2011, meningkat 14,10 persen dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 110,03 juta dolar AS. Devisa selama 2011 itu diperoleh dari pengiriman mata dagangan TPT sebanyak 14,18 juta potong, meningkat cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 42,89 juta potong. TPT mampu memberikan andil 27,68 persen dari total ekspor Bali sebesar 497,86 juta dolar AS selama 2011. Dalam Laporan Penelitian Pengembangan Komoditas/Produk/Jenis Usaha Unggulan UMKM di Provinsi Bali, Antara, dkk (2011) menyebutkan bahwa perdagangan ekspor kain tenunan Bali masih berfluktuasi setiap bulan.

(60)

50 BAB IV

TINJAUAN VISUAL MOTIF TENUN IKAT ENDEK BALI

IV.1 Motif Cepuk

Cepuk berasal dari kata cepukang” yang berarti mempertemukan. Motif cepuk banyak macamnya. Namanya disesuaikan dengan daerah atau desa dimana cepuk itu dibuat. Misalnya motif cepuk tanglad adalah cepuk yang berasal dari desa Tanglad (Nusa Penida), motif cepuk lembongan, motif cepuk badung, dan sebagainya. Ada juga yang diberikan nama sesuai dengan nama benda seperti motif cepuk sari, cepuk madu dan sebagainya. Terdapat banyak motif cepuk, namun penulis hanya mengambil satu contoh sebagai bahan penelitian.

Di berbagai ritual dan perayaan menghasilkan gambaran jelas mengenai peran yang dimiliki endek cepuk sebagai busana adat dalam ritual magis keagamaan (panca yadnya), dalam pertunjukan drama tari ritual magis, dalam penyembuhan tradisional, dan dalam upacara penobatan raja pada era kerajaan.

Gambar IV.1 Endek cepuk dalamupacara Dewa Yadnya

(61)

51

Kekuatan supranatural endek cepuk juga berasal dari warna mereka. Motif cepuk selalu diberi empat warna utama dari putih, merah, kuning dan biru (hitam atau hijau). Dan sebagai efek keseluruhan, warna seluruh spektrum dikombinasikan. Warna ini berkorelasi dengan sistem kepercayaan masyarakat Bali, yakni Dewa Iswara di timur, Brahma di selatan, Mahadewa di barat, Wisnu di utara dan Siwa di tengah. Dalam masyarakat Nusa Penida, motif cepuk merupakan asal dari segala hal magis dipersonifikasikan dalam sosok yang menyeramkan dari Ratu Mas Mecaling yang merupakan sesuhunan atau kepercayaan masyarakat Nusa Penida. (Schaublin, dkk, 1997).

Gambar IV.2 Endek cepuk dalamdrama Calonarang

Sumber: Buku “Balinese Textiles” 1997

IV.2 Analisa Struktur Pola Motif Cepuk

(62)

52

Gambar IV.3 Endek motif cepuk

Sumber: Buku “Balinese Textiles” 1997

Visual Deskripsi

Bentuk stilisasi dari angket (cepluk) yang digambarkan simetris merupakan konsep dualistik.

Dua bidang geometris merupakan stilisasi menggambarkan gigi barong atau duri pohon canging (dedap).

Dua bidang geometris yang menghadap atas dan bawah menjadi satu merupakan lambang paradoks.

Bentuk stilisasi dari flora atau tumbuhan yang membentuk suatu harmoni.

Tiga buah garis yang melambangkan tiga “dunia”.

(63)

53

Berdasarkan analisa visual motif cepuk menggambarkan paradoks dualisme. Dilihat dari unsur warnanya, yaitu merah, putih, hijau, hitam. Putih melambangkan dunia atas, merah dan hijau melambangkan dunia tengah (alam manusia), hitam melambangkan alam bawah.

Gambar IV.4 Bagian yang menggambarkan paradoks

Paradoks merupakan satu kesatuan dua unsur yang saling bertentangan atau disebut dengan dualisme antagonistik antara transenden dan imanen. Dengan pola saling berhadapan atau berbalikan yang menghadirkan peristiwa harmoni. Peristiwa tersebut sesuai dengan kosmologi masyarakat Bali bahwa Sekala (transenden) dan Niskala (imanen) yang merupakan pertemuan antara yang transenden dengan yang imanen, yang vertikal dengan yang horisontal.

Gambar IV.5 Pola yang menunjukan tiga paradoks

Paradoks

ATAS

BAWAH

Gambar yang melambangkan dunis atas (paradoks absolut)

Peristiwa yang melambangkan harmoni dunia tengah (paradoks dualistik)

(64)

54

Perkawinan “Dunia Atas atau Langit” dan “Dunia Bawah atau Bumi” menghasilkan entitas ketiga, yaitu kehidupan. Sesuai dengan kosmologi masyarakat Bali yang mempercayai bahwa langit itu adalah “Purusa”

melambangkan laki-laki dan Bumi itu adalah “Pertiwi” melambangkan perempuan. Kehidupan hadir di tengah-tengah langit dan bumi. Langit mempunyai daya-daya transenden yang tidak dipunyai kehidupan di muka bumi. Daya-daya tersebut merupakan daya akrodati karena “Dunia Tengah” tergantung hidupnya dari daya-daya kedua dunia lainnya. Ketiga “dunia” tersebut merupakan satu kesatuan yang membuat kehidupan ini tetap ada.

Gambar IV.6 Pola harmoni paradoks

Pola yang terbentuk dari bidang geometris yang merupakan stilisasi dari gigi barong atau duin canging. Kesatuan dari dua bidang geometris ini, peristiwa bidang geometris B (Dunia Atas) mengarah ke bawah dan bidang geometris A (Dunia Bawah) mengarah ke atas. Keduanya saling menyambung secara berulang-ulang yang menyebabkan peristiwa harmoni paradoks antara “Dunia Atas” dan “Dunia Bawah”.

Gambar IV.7 Pola oposisi biner pada motif cepuk

ATAS

BAWAH

BATAS

Harmoni

Paradoks

A

B B

Gambar

Gambar II.6 Estetika pola dua
Gambar II.7 Estetika pola tiga
Gambar II.8 Estetika pola empat
Gambar II.9 Lukisan yang mempunyai kesan ruang Sumber: Dokumen pribadi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kuesioner yang telah diisi oleh operator tenun ikat tersebut kemudian akan direkap sesuai dengan skala yang mereka isi, selanjutnya setelah semua bagian terisi maka dilakukan

Penentuan ruang lingkup maupun objek penelitian supaya kajian dilakukan dengan lebih terarah, fokus pada sasaran yang akan dikaji, serta menghindari perluasan masalah

Dengan begitu luasnya permasalahan variabel sosial, maka pada penelitian ini ruang lingkup penelitian terfokus pada variabel usia dan etnik yaitu, etnik Bali dan etnik Jawa

Ruang lingkup penelitian digunakan agar penelitian lebih terfokus, maka peneliti membatasi penelitian dengan beberapa karakteristik, yaitu objek pada penelitian ini

Penelitian yang dilakukan berkonsentrasi pada makna nilai-nilai moral tradisional dalam ragam budaya tenun ikat dengan rumusan masalah sebagai berikut: (1) apa sajakah ragam

Peneliti membatasi ruang lingkup dari penulisan penelitian agar penelitian lebih fokus, terarah, dan menghindari pembahasan yang terlalu luas dengan menggunakan tiga dimensi

krisis tenaga kerja pada industri tenun ikat ATBM di Kota Tegal yang juga.. turut mempengaruhi produktivitas industri tenun ikat ATBM di

Oleh karena itu, dalam penelitian ini objek utamanya adalah studi terkait alur pengadaan barang dan jasa pada Perum PNRI, dengan ruang lingkup penelitian hanya berfokus pada studi