• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep syura perspektif hasan al-banna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep syura perspektif hasan al-banna"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP SY

Nj

R

Ɩ

PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA

Oleh:

RACHILDA DEVINA 103033227825

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428 H/2007 M

(2)

Tidak ada kata yang mampu penulis ucapkan selain puji syukur kehadirat Allah

Swt, Tuhan semesta alam atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya yang selalu

tercurah pada setiap jejak langkah kehidupan manusia. Shalawat dan salam senantiasa

pula penulis haturkan kepada sosok panutan kita Nabi besar Muhammad Saw beserta

para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang tetap setia sampai akhir zaman.

Alhamdulillah, akhirnya skripsi yang berjudul “KONSEP SYNjRƖ

PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA” ini dapat penulis rampungkan sesuai dengan

target yang diharapkan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan mungkin

terselesaikan penulisannya apabila tidak ada bantuan baik dari segi moril maupun materil

dari berbagai pihak. Maka untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada mereka yang telah begitu berjasa kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Salam hormat dan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils., selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat dan Ibu

Dra. Wiwi Siti Syajaroh, M. Ag., selaku Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, M.A., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu

dan memberikan bimbingan serta arahannya dengan penuh kesabaran kepada penulis

(3)

4. Seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan pendidikan kepada

penulis selama mengikuti perkuliahan Program Sarjana (S-1) di Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Pimpinan serta seluruh staff Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, serta Perpustakaan Iman Jama yang telah membantu

menyediakan buku-buku yang dibutuhkan penulis guna penyelesaian skripsi ini.

6. Kepada kedua orang tua tercinta dan tersayang (Bapak H. Azmi dan Ibu Hj. Cootje

Siegar), terima kasih yang tak terhingga atas segala jasa dalam membesarkan serta

mendidik penulis dengan curahan doa dan kasih sayang yang tulus sehingga penulis

dapat memaknai arti kehidupan yang sesungguhnya.

7. Kepada orang tua “kedua” penulis, (Kel. Besar Bapak H. M. Thaha dan Ibu Hj.

Jauharah serta “Acil” Hj. Arsiah), terima kasih atas setiap nasehat dan kasih

sayangnya selama ini yang akhirnya dapat membuat penulis menjadi dewasa dan

bijak dalam menjalani kehidupan.

8. Kakakku Ihda Nailani, Anik Sugiwati dan Ading Atin Mufidah, serta

keponakan-keponakan kecilku Lutfia ES, Rizki Auliana, dan Mursyidah Khoirina, terima kasih

atas kasih sayang, perhatian, semangat dan doanya selama ini.

9. Sahabat sejatiku Nofa Rohmawati, Siti Wardah S. Fils. I, Neneng Suryanah,

“Lar-Vha” (Elly, Rovi, Nelly, Ira, Ade), Laksmy Rathmila Spd, Mi’raj FSH, dan Mira

Unpad, terima kasih atas segala bantuan, doa, dan semangatnya selama ini serta

terima kasih telah mengajarkan penulis akan indahnya arti persahabatan.

10.Teman teman KKN di Cikeusal (Badru, Zaenal, A. Yani S.Fils.I, Asep, Robby

“Gless”, Ucup, Saudi S.Fils.I, Arif, dan Awing), teman-teman kost Balance (Kak

Ade, Susan, “Mpo” Kiki, Erna, dan Cutka), teman-teman kost Kp. Utan (Kak Rara,

(4)

terima kasih atas segala bantuan dan doanya selama ini dan untuk Oktariana terima

kasih atas pinjaman Tsawabitnya.

11.Sahabat dan teman-teman seperjuangan di jurusan Pemikiran Politik Islam angkatan

2002, Teman terbaikku Tia Futiah S. Sos, NurunNisa dan Kak Anay “al-Faqir”

(semoga cepat menyusul), Maulinda S.Sos, Rahmat S.Sos, Musthofa S.Sos, Lalu

S.Sos, Inay S.Sos, Ade Irawan S.Sos, Ipul S. Sos, Khondun S. Sos Iskhori, Idham,

Al-Banna, Musthofa KAMMI, Irvan, Robeth, Edy, Kak Iis, dan semua anak kelas PPI

2002, terimakasih buat semuanya.

Selanjutnya kepada semua pihak yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini,

maka penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih semoga Allah SWT

memberikan balasan yang lebih baik didunia maupun di akhirat.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap yang membacanya.

Namun penulis menyadari bahwa tiada gading yang tak retak, tiada karya yang tak cacat.

Untuk itu dengan kerendahan hati kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis

harapkan untuk penyempurnaan skripsi ini.

Jakarta, Mei 2007

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tinjauan Pustaka... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penyusunan... 8

BAB II BIOGRAFI HASAN AL-BANNA A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan... 10

B. Pemikiran Politik dan Karya-karyanya ... 14

C. Peranannya dalam Negara... 16

1...Dalam Bidang Agama ... 16

2....Dalam Bidang Ekonomi dan Sosial... 18

3....Dalam Bidang Politik ... 19

(6)

A. Definisi Syūrā... 23

B. Isyarat Al-Qur’an dan As-Sunnah Mengenai Syūrā... 26

C. Praktik Syūrā Pada Masa Nabi ... 32

D. Praktik Syūrā Pada Masa Khulafa al-Rasyidin... 34

BAB IV KONSEP SYNjRƖ PERSPEKTIF HASAN AL-BANNA YANG TERAPLIKASI PADA GERAKAN POLITIK IKHWANUL MUSLIMIN A. Konsep Syūrā Perspektif Hasan al-Banna 1...Pelaks ana Syūrā... 46

2....Anggot a Syūrā... 50

3....Mekan isme Syūrā ... 52

B. Perbedaan Syūrā dan Demokrasi Menurut Hasan al-Banna ... 54

C. Korelasi Konsep “Syūrā yang Mengikat” dengan Kekuasaan Negara ... 60

D. Praktik Syūrā dalam Pemikiran Hasan al-Banna ... 63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran-saran... 70

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan sebuah agama yang sangat menganjurkan para pemeluknya

untuk memegang prinsip syūrā (bermusyawarah) dalam menjalani roda kehidupan.

Karena, selain terdapatnya aturan di dalam Al-Qur’an yang mewajibkan untuk mengikuti

prinsip tersebut, syūrā juga merupakan dasar kedua dari sistem kenegaraan Islam setelah

keadilan. 1

Karena sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, dan yang telah diketahui bersama

bahwasanya Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang memiliki ruh pembangkit,

penguat dan tempat berpijak serta merupakan suatu undang-undang dan konsep-konsep

global (syumul) yang dapat dijadikan acuan dalam mencari solusi bagi setiap

permasalahan umat muslim2, maka Nabi pun selalu menerapkan budaya musyawarah3 di kalangan para sahabatnya. Walaupun beliau seorang Rasul, namun beliau amat gemar

berkonsultasi dengan para pengikutnya khususnya dalam soal-soal kemasyarakatan.

Dalam hal ini Rasul tidak hanya mengacu pada satu pola saja, akan tetapi beliau

menyesuaikan dengan kondisi permasalahan yang ada. Adakalanya beliau merasa hanya

harus berkonsultasi pada beberapa sahabat senior saja atau pada orang-orang yang

memang ahli atau profesional dalam hal yang dipersoalkan, namun tidak jarang pula

1

M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 272

2

Sayyid Qutb, Fiqih Dakwah, Penerjemah Suwardi Effendi, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), cet. Ke-2, h. 1

3 Sebenarnya Bangsa Arab telah mengenal system syūrā jauh sebelum Islam datang. Syūrā

(8)

beliau melemparkan masalah-masalah pada pertemuan-pertemuan besar karena memang

masalah tersebut memiliki dampak yang luas bagi masyarakat tersebut. Adapun beberapa

penerapan syūrā yang dilakukan oleh Nabi dapat terlihat dalam sejarah Pertempuran

Badar, Perjanjian Hudaibiyah, Masalah Tawanan Badar dan Perlakuan terhadap

Jenazah Abdullah bin Ubayi bin Salul.4

Sesungguhnya selain terdapatnya dua teks ayat dalam kitab suci Al-Qur’an yang

memerintahkan untuk menerapkan atau menjalankan prinsip syūrā, beberapa hadistpun

telah mengungkapkan betapa pentingnya melakukan syūrā, karena dengan syūrā maka

jalan yang benar untuk mencapai solusi yang lebih bijaksana dan baik untuk

kemaslahatan individu maupun kelompok serta Negara akan dengan mudah didapatkan.5 Dengan melihat beberapa kelebihan yang dimiliki oleh konsep syūrā, maka hal

itulah yang kemudian melatar belakangi pemikiran para intelektual muslim untuk tidak

pernah meninggalkan tema tersebut dalam beberapa hasil karyanya, khususnya yang

berkenaan dengan pemerintahan dan kepemimpinan. Salah satu pemikir sekaligus ulama

yang sangat fenomenal adalah seperti Hasan al-Banna pun tergerak untuk membahas

dengan rinci apa dan bagaimana suatu prinsip yang ditengarai dapat menyatukan

beberapa fikiran untuk mencapai sebuah kemufakatan itu.

Dalam beberapa karyanya beliau benar-benar terlihat sangat focus dalam

membahas tema yang merupakan salah satu nilai Islam yang sangat berharga tersebut.

Hal itu dapat terbuktikan dengan adanya penerapan konsep tersebut pada gerakan yang

memang beliau dirikan yaitu gerakan Ikhwanul Muslimin.

4

Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), cet. Ke-5, h. 16-17

5

(9)

Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi yang berdiri pada tahun 1928 di

kota Isma’iliyah, sebelah timur laut Kairo, Mesir.6 Organisasi yang dalam bahasa

Indonesia memiliki pengertian Saudara-saudara Sesama Muslim ini merupakan sebuah

organisasi yang terlihat sangat matang dalam “menguasai medan” di awal

kemunculannya. Hal tersebut dapat terbuktikan dengan datangnya sambutan dan

dukungan yang sangat antusias dari masyarakat luas terhadap berbagai kegiatan moral

dan social yang memang menjadi “agenda utama” Ikhwanul Muslimin dalam sepuluh

tahun pertama.

Walaupun pada awalnya Ikhwanul Muslimin tidak pernah mengklaim dirinya

sebagai organisasi politik, namun pada akhirnya hal tersebut merupakan suatu ungkapan

yang tidak dapat terbantahkan lagi melihat awal kelahirannya yang memang merupakan

sebuah reaksi terhadap kondisi perpolitikan di Mesir pada saat itu serta tindak tanduknya

yang semakin hari semakin mencerminkan sebuah organisasi politik.7

Meskipun dalam perjalanan politiknya Ikhwanul Muslimin sempat mengalami

pasang surut dengan menghilang “di bawah tanah” atau meninggalkan Mesir dan pindah

ke Negara-negara Arab lainnya, namun akhirnya organisasi yang dalam jangka waktu 21

tahun sudah memiliki lebih dari dua ribu cabang yang tersebar di seluruh pelosok Mesir

ini terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir pada saat itu dengan

menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya Negara Israel di atas bumi

Palestina.

6

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 145

7

(10)

Mendambakan berdirinya Negara Islam di Mesir memang menjadi prioritas utama

bagi gerakan ini, namun yang pasti dalam memahami ajaran, masyarakat serta Negara

Islam, Ikhwanul Muslimin sangat terwarnai oleh pendiri organisasi tersebut.

Seperti yang telah dikatakan diatas, konsep syūrā merupakan salah satu konsep yang

sangat diusung oleh Hasan Al-Banna dan akhirnya diterapkan oleh gerakannya yaitu

Ikhwanul Muslimin. Namun penerapan belum dapat dibuktikan tanpa adanya hasil nyata

atau pengaplikasian terhadap konsep tersebut. Oleh sebab itu hal inilah yang kemudian

menjadi salah satu alasan bagi penulis untuk memilih pembahasan ini, karena selain

terdapatnya tema tersebut pada mata kuliah pemikiran dan gerakan politik Islam modern

dalam jurusan Pemikiran Politik Islam, mengetahui lebih dalam merupakan tujuan utama

dalam penulisan ini. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini para pembaca tidak

hanya mengetahui namun juga dapat memahami apa yang dimaksud dengan konsep

syūrā dan apa bukti dari penerapan konsep tersebut pada gerakan Ikhwanul Muslimin.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebagaimana pemaparan diatas, karya ilmiah ini hanya akan membatasi pada

konsep syūrā perspektif Hasan Al- Banna. Kalaupun sudah ada beberapa penulis yang

menuangkan konsep ini pada beberapa hasil karyanya , namun pada kajian ini penulis

hanya lebih menitik beratkan pada praktek atau penerapan konsep tersebut dalam gerakan

politik Ikhwanul Muslimin, karena konsep tersebut merupakan salah satu landasan dasar

dalam system politik gerakan tersebut.

Adapun perumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

(11)

2 Apakah syūrā berbeda dengan system demokrasi?

3 Sejauh mana peng-aplikasian konsep syūrā perspektif Hasan Al-Banna dalam

perjalanan politik gerakan Ikhwanul Muslimin?

C. Tinjauan Pustaka

Sebenarnya sudah ada beberapa penulis lain yang mengkaji aspek pemikiran

Politik Hasan Al-Banna, namun demikian diantara kajian-kajian para penulis lain

mempunyai aspek-aspek yang berbeda antara lain:

1 Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan,

tulisan ini lebih menitikberatkan pada pembahasan tsawabit8 jamaah Al-

Ikhwanul Muslimin yang terinspirasi oleh pemikiran Hasan Al-Banna.

2 Ustman Abdul Muiz Ruslan dalam Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin; Studi

Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota

Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya dari Tahun 1928 hingga

1954, tulisan ini lebih menitikberatkan pada pembahasan pemikiran politik Hasan

Al-Banna secara global serta pembahasan tentang pendidikan politik menurut

gerakan Ikhwanul Muslimin pada periode 1928-1954 di Mesir.

3 Prof. Dr. Taufiq Yusuf Wa’iy dalam Pemikiran Politik Kontemporer

Al-Ikhwan Al-Muslimun Studi Analitis, Observatif, Dokumentatif, tulisan ini lebih

menitikberatkan pada sejarah panjang perpolitikan gerakan Ikhwanul Muslimin

yang disertai dengan segala prinsip-prinsipnya.

8

(12)

D. Tujuan Penelitian

Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki beberapa tujuan, baik secara

umum maupun khusus.

Secara umum:

Memaparkan pemikiran Hasan Al-Banna tentang konsep syūrā yang terealisasi

dalam perjalanan politik gerakan Ikhwanul Muslimin.

Secara Khusus:

1 Memberikan panduan secara spesifik dalam memahami pandangan Hasan

al-Banna dalam mengemukakan konsep syūrā

2 Mengemukakan bahwa syūrā perspektif Hasan al-Banna berbeda dengan

demokrasi

3 Menemukan sekaligus membuktikan pengaplikasian konsep syūrā perspektif

Hasan al-Banna pada gerakan politik Ikhwanul Muslimin

E. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan data penulis mengambil dari berbagai literatur, baik dari

sumber data yang primer seperti (Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1 karya

Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2 karya

Al-Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna, Memoar Hasan al-Banna untuk Dakwah dan Para

Dainya karya Al-Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna), maupun yang bersifat sekunder

seperti (Meretas Jalan Kebangkitan Islam; Peta Pemikiran Hasan al-Banna karya Abdul

(13)

Ruslan, Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan karya Jum’ah Amin Abdul Aziz, dan

Pemikiran Politik Kontemporer al-Ikhwan al-Muslimun karya Taufik Yusuf al-Wa’iy,)9.

Penulis menggunakan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yaitu

dengan menelaah buku-buku, majalah-majalah, beberapa artikel dari surat kabar, serta

internet yang penulis anggap relevan dengan pokok permasalahan.

Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah deskripsi analitis, yaitu dengan

mendeskripsikan data-data yang ada (baik data primer maupun data sekunder), kemudian

menganalisanya secara proporsional sehingga akan nampak jelas rincian jawaban atas

persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.

Adapun metode penulisan ini berdasarkan pada Pedoman Akademik Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah tahun 2005-2006.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara garis besar dari seluruh permasalahan yang

akan dibahas serta untuk memudahkan dalam menelaahnya, maka penulis membagi

skripsi ini dalam lima bab sebagai berikut;

Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka,

tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan,

sebagai penuntun pembaca secara sistematis dalam memahami

isinya secara keseluruhan.

9

(14)

Bab kedua, Memberikan penjelasan tentang sejarah hidup Hasan Al-Banna, dari

segi pemikiran serta tindak tanduknya dalam perpolitikan.

Bab ketiga, Merupakan bab yang berisi tentang tinjauan umum tentang konsep

syūrā

Bab keempat, Mengabstraksikan pemikiran Hasan Al-Banna tentang konsep

syūrā yang teraplikasi pada gerakan politik Ikhwanul Muslimin

(15)

BAB II

BIOGRAFI HASAN AL-BANNA

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan

Imam Syahid Hasan Al-Banna adalah tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin

yang terlahir di Distrik Mahmudiyah dekat Iskandariah atau kota kecil yang terletak di

sebelah timur laut Kairo, Mesir pada tanggal 17 Oktober 1906 M/1323 H.10 Beliau

merupakan putra dari Syeikh Ahmad Abd al-Rahman al-Banna yang merupakan salah

satu mahasiswa Al-Azhar pada masa Muhammad Abduh masih mengemban tugas di

sana.

Sebelum melanjutkan studi ke Universitas Dar Al-‘Ulum, sang tokoh kharismatik

itu telah terlebih dahulu menyelesaikan studinya di sekolah guru Damanhur sejak tahun

1923 hingga tahun 1927. Dalam mengisi hari-harinya al-Banna muda sangat disibukkan

dengan berbagai kegiatan di sekolahnya, sampai akhirnya ia mendirikan sebuah

organisasi yang bernama Muharabah Al-Munkarat (Organisasi Pemberantas

Kemungkaran).

Kesibukan berorganisasi tidak membuat al-Banna terlena dan lupa akan tugasnya

sebagai pelajar, namun justru semakin membuat ia memiliki pengetahuan yang lebih

dibanding para pelajar yang lain. Hal tersebut dapat terlihat dari diperolehnya predikat

lulusan terbaik ke-5 untuk seluruh Sekolah Menengah Umum (SMU) di Mesir.

Kecerdasan otak sang imam yang sejak remaja sudah turut ambil bagian dalam

tarekat sufi Hashafiyah ini memang sudah tidak dapat diragukan lagi keabsahannya. Hal

tersebut kembali dapat ia buktikan dengan dinobatkannya sebagai mahasiswa yang

10

(16)

berhasil lulus dengan yudisium terbaik pertama tingkat Universitas yang didirikan oleh

Muhammad Abduh itu.11

Sesungguhnya disanalah kehidupan Hasan al-Banna mulai terasa semakin

“hidup”, karena di kota besar itulah beliau benar-benar memahami arti kehidupan dengan

banyak berkenalan dan berinteraksi dengan orang-orang ternama disekitarnya. Mengenal

Rasyid Ridha beserta gerakan Salafiyahnya merupakan awal pembentukan pola fikir

al-Banna muda dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan di dunia. Apalagi hal

tersebut didukung oleh rajinnya sang imam untuk membaca majalah Al-Manar yang

memang merupakan kumpulan beberapa tulisan tokoh-tokoh ternama seperti Jamaluddin

al-Afghani, Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha.

Dapat menyerap semangat pembaharuan para penulisnya memang merupakan

salah satu hikmah yang pertama kali didapatkan oleh sang imam. Namun dari beberapa

tulisan yang ada pada majalah tersebut, hasil karya Rasyid Ridhalah yang dapat

menduduki peringkat teratas di hati dan fikiran al-Banna. Ia benar-benar terpana dengan

isi atau kandungan tulisan Ridha yang lebih fokus dalam membahas tema-tema politik

dan sosial. Ridha berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan

memiliki aturan-aturan hukum yang dapat berfungsi untuk mengatur segala persoalan

yang terjadi pada umat manusia, termasuk masalah politik, ekonomi dan sosial. Oleh

karena itu, betapa perlunya didirikan Negara atau pemerintahan Islam dan

diberlakukannya hukum Islam menjadi salah satu topik andalannya.12

Setelah menyelesaikan studinya di sekolah yang sempat dimasyhurkan oleh

Muhammad Rasyid Ridha tersebut, pada September 1927 al-Banna mulai mengajar di

11

Fathi Yakan, Revolusi Hasan Al-Banna, h. 4

12

(17)

sekolah dasar di Isma’iliyah. Di tengah kesibukan kegiatan barunya, ia masih tetap

menjadi koresponden majalah Pemuda Muslim Kairo yang bernama Al-Fath serta

menjalin hubungan baik dengan kelompok Maktabah Salafiah atau penerbit jurnal

Al-Manar pimpinan Rasyid Ridha. Sampai pada akhirnya al-Banna dapat mengambil alih

jurnal tersebut untuk periode 1939 hingga 1941.13

Latar belakang keluarga yang penuh dengan keilmuan dan pengetahuan agama

merupakan dasar yang sangat dominan dalam pembentukan diri sang imam al-Banna.

Hal tersebut dapat terlihat pada perkembangan pribadi al-Banna yang sangat

mengagumkan. Ia tumbuh menjadi sosok yang sangat cerdas, kritis serta bersifat zuhud.

Sejak kecil ia selalu menerapkan atau membiasakan diri untuk shalat malam, puasa

Senin-Kamis dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Semua yang telah dilakukan al-Banna

kecil bukanlah suatu pekerjaan yang main-main, karena dengan hasil kerja kerasnya itu ia

mampu menghafal setengah Al-Qur’an (15 Juz) yang kemudian ia sempurnakan menjadi

30 Juz ketika menginjak masa akil baligh.

Dengan menjadi seorang yang religius tidaklah membuat sang pengikut tarekat

sufi Hasyafiyah ini tidak lagi perduli dengan masalah-masalah yang ada di muka bumi.

Justru karena rasa kecintaannya yang begitu dalam pada agamanya (ghirah), dia

terdorong untuk mengubah kemungkaran dengan tangannya sendiri.14

Pengalaman pertamanya dalam mengajar merupakan guru yang sangat berharga

bagi diri al-Banna, karena walaupun harus hidup ditengah situasi dan kondisi yang

kurang mendukung, ia tetap mampu untuk bertahan dan bahkan menghasilkan sebuah

gagasan. Provinsi Ismailiah yang pada saat itu sangat didominasi oleh pengaruh Inggris

13

John L Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, h. 264

14

(18)

membuat hati al-Banna terluka. Karena baginya, selain gaya kehidupan bercorak Eropa

yang membuatnya merasa berada di Inggris, ia merasa tersinggung atas perlakuan Inggris

terhadap masyarakat Mesir yang telah memandang hina dengan memperlakukan para

pekerja selayaknya seorang hamba.

Kegelisahan itupun akhirnya membawa al-Banna kepada lima rekannya untuk

menggagasi sebuah proyek pergerakan perbaikan umat dan kejayaan Islam. Pada

awalnya mereka hanya menamakan diri mereka dengan sebutan “Muslimin” saja, namun

secara spontan mereka berseru “Kita adalah ‘Ikhwanul Muslimin’, yang berarti, “para

saudara dari kaum Muslimin”.

Kesuksesan mengawali sejarah perjalanan gerakan Ikhwanul Muslimin diawal

pertumbuhannya. Hal tersebut dapat terlihat dari keberhasilannya menjadikan

masyarakat kelas miskin kepada generasi yang teladan dalam memahami nilai-nilai

aturan agama. Namun fase pasang surut memang sungguh sangat tidak dapat dihindari

dalam perjalanan sebuah pergerakan. Berkembangnya kelompok Ikhwanul Muslimin

merupakan ancaman bagi pemerintahan Raja Faruq pada saat itu. Karena dengan

peristiwa pada tahun 1947 ketika al-Banna mengutus tentara sukarelanya ke Palestina

untuk perang melawan Israel, Faruq benar-benar merasa telah menerima pelajaran pahit

dari gerakan yang mempunyai kantor pusat (Darul Ikhwan) di kota Kairo itu.

Di sinilah awal dari sejarah kelam gerakan Ikhwanul Muslimin, ketika Raja Faruq

merasa khawatir karena mulai ditinggalkan dan dikhianati oleh para sekutu Arabnya, dan

sehingga ia merasa sangat takut dengan kembalinya para mujahidin Ikhwanul Muslimin

dari Palestina. Pemerintah mulai bergerak untuk melakukan penawanan-penawanan

(19)

Ikhwanul Muslimin (Dar Asy-Syubban Al-Muslimin) pada tanggal 12 Februari 1949M /

1368 H. Dengan membawa segenggam harapan al-Banna benar-benar kembali

keharibaan Sang Pencipta.

B. Pemikiran Politik dan Karya-karyanya

Pola kehidupan berilmu, tekun menjalankan ibadah serta beramal sudah sangat

melekat pada diri Hasan al-Banna. Hal itulah yang kemudian mendominasi latar

pemikiran sang Imam untuk memahami konsep Islam dan Iman secara mendalam.

Memahami konsep fikih yang berujung pada tuntutan kehidupan secara praktis

merupakan sebuah metode yang ditawarkan oleh al-Banna dalam perjalanan dakwah

menuju amar makruf nahi munkar. 15

Keimanannya terhadap Allah Swt, Tuhan yang Maha Agung serta kitab suci

Al-Qur’an membawa pemikiran al-Banna kepada sebuah wacana tentang Negara, bangsa,

keadilan sosial, dan masyarakat. Ia berpandangan bahwa, Islam merupakan sebuah agama

yang universal karena dapat mengatur segala kehidupan manusia di muka bumi dengan

segala permasalahannya. Al-Qur’an dan As-Sunnahpun telah diturunkan sebagai

petunjuk dalam perjalanan kehidupan manusia. Intinya al-Banna tidak memisahkan

antara agama dengan kehidupan. Sampai akhirnya gerakan yang didirikannya memakai

slogan antara lain, “ Al-Qur’an Undang-Undang Dasar kami”, dan “Hanya Al-Qur’an

Konstitusi kami”, “Al-Qur’an Hukum kami dan Muhammad teladan kami”.

Selain penolakannya terhadap gerakan sekularisasi , nasionalisme Arab

sekularisasi, dan disistematisasi, al-Banna juga anti terhadap nasionalisme modern,

khususnya fasisme Eropa atau nazisme. Untuk masalah “jihad” atau berjuang di jalan

15

(20)

Allah, al-Banna sangat jauh dari pengertian yang beraroma kekerasan. Ia memang

pernah mendeklarasikan bahwa perang adalah wajib, namun hal itu ia katakan pada saat

bangsa Mesir berhadapan dengan kolonial Inggris. Kemudian ia menegaskan bahwa

untuk saat ini (pada saat itu) jihad merupakan suatu kewajiban individual bagi semua

(fardh ‘ain) dan bukan kewajiban kolektif (fardh kifayah) yang sebagian individu dapat

mewakili yang lain.16

Beberapa karya peninggalan Imam Hasan al-Banna, baik yang berupa karya tulis

maupun dalam bentuk kumpulan-kumpulan pesan masih terkesan indah bagi para

pengikutnya. Adapun di antara karya-karya tulis yang ditinggalkan oleh Imam Hasan

Al-Banna adalah; Ahaditsul Jum’ah (Pesan Setiap Jum’at), Mudzakkiratud Dakwah

wad-Da’iah (Pesan-Pesan buat Dakwah dan Da’i), Al-Ma’tsurat (Wasiat-wasiat).

Karya-karyanya yang berupa kumpulan pesan (Majmu’atur-Rasail) adalah;

Da’watuna (Misi Kita), Nahwan Nur (Menuju Kecerahan), Ila Asy-Syahab (Kepada Para

Pemuda), Bainal Amsi Wal Yaum (Antara Kemarin dan Hari Ini), Risalatul Jihad (Pesan

Jihad), Risalatut Ta’alim (Pesan-pesan Pendidikan), Al-Mu’tamar Al-Khamis (Konferensi

Kelima), Nizhamul Usar (Sistem Kelompok Kecil Pergerakan), Al-‘Aqaid

(Prinsip-prinsip), Nizhamul Hukm (Sistem Pemerintahan), Al-Ikhwan Tahta Rayatil-Quran

(Ikhwan di Bawah Bendera Al-Qur’an), Da’watuna fi Thaurin Jadid (Misi Kita dalam

Masa Baru), Ila Ayyi Syai’in Nad’un Nas (Ke Arah Mana Kita Menyeru Manusia?), dan

An-Nizham Al-Iqtishadi (Sistem Perekonomian). 17

C. Peranannya dalam Negara

16

John L.Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, h. 267

17

(21)

1. Dalam Bidang Agama

Menegakkan amar makruf nahi munkar merupakan sebuah keinginan besar

Al-Banna dalam perjalanan hidupnya. Hal itulah yang kemudian mendorong sang imam

untuk giat mendalami ilmu agama dengan bergabung kepada beberapa organisasi di sana.

Pembawaan al-Banna yang supel dan pandai bergaul membuat ia tampak dengan mudah

untuk masuk ke suatu komunitas baru. Adapun salah satu perkumpulan yang pada saat itu

sangat mendukung proses pematangan diri Al-Ustadz Al-Banna ialah perkumpulan

bersama para pemuda Al-Mahmudiyah. Perkumpulan tersebut sangat mengutamakan

konsep-konsep akhlaq Islam dalam menjalani roda kehidupan, barang siapa yang “keluar

dari rel” dan batas-batas agama maka sangsi telah menghadang dimuka.18

Selain bergabungnya al-Banna dengan para pemuda Al-Mahmudiyah,

pemikiran-pemikiran Al-Hisyafiyah juga sangat mendominasi dalam pematangan ilmu agama sang

imam. Beliau merasa, di tempat itulah ia dapat menjadikan majalah-majalah besar

sebagai bahan dialog, mengkaji kitab-kitab besar serta mendiskusikan segala persoalan

yang tampak terlihat kontroversial.

Diskusi masalah thariqat, kewalian, dunia sufi dan segala persoalan yang erat

kaitannya dengan sunnah Rasulullah saw dan bid’ah-bid’ah serta persoalan-persoalan lain

menjadi topik utama dalam diskusi yang semakin menghangat.

Pengetahuan agama yang semakin dalam inilah yang kemudian memacu seorang

al-Banna menjadi seorang yang religius. Ia tampak kerap melakukan perjalanan panjang

menelusuri jalan ibadah dan dzikir dengan cara melakukan I’tikaf di Masjid. Hal tersebut

sampai pada akhirnya menjadikan al-Banna memiliki kematangan premature karena

18

(22)

dapat mengkolaborasikan antara ilmu-ilmu fikih dengan tasawuf tanpa harus bergeser

dari koridor yang telah ditetapkan.19

19

(23)

2. Dalam Bidang Ekonomi dan Sosial

Ekonomi dan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu

dengan yang lainnya. Karena dengan masyarakat yang sejahtera dalam bidang ekonomi

pada suatu Negara maka secara otomatis akan melahirkan manusia yang berjiwa sosial

pula. Perubahan secara total merupakan sebuah cita-cita bagi al-Banna. Oleh karena

itulah, pembenahan dalam bidang ekonomi dan sosial pun masuk kedalam daftar cita-cita

pembaharuan al-Banna. Karena didukung oleh konsepnya yang tidak memisahkan antara

ilmu dengan amal, maka dalam hal inipun Banna mengadopsi dari salah satu rukun Islam,

yaitu zakat. Ia menyusun suatu sistem fiskal20 yang ketat dengan mengatakan bahwa

karena zakat diwajibkan dalam agama Islam untuk pembelanjaan sosial (menolong

orang-orang yang pailit dan miskin), maka harus diterapkan pajak-pajak sosial secara

bertahap dengan memperhitungkan kekayaan bukan keuntungan. Dalam hal ini kaum

miskin tentu saja termasuk kedalam kelompok pengecualian. Karena pajak hanya akan

dikenakan kepada orang kaya untuk meningkatkan standar hidup.

Selain itu al-Banna juga menolak sistem bunga Bank modern atau Bank

konvensional, surat obligasi (dengan suku bunga tertentu) dan bunga spekulatif, yang

disebut dengan riba, namun ia tidak mengecam dividen saham. 21

Inilah bukti dari keterkaitan antara masalah ekonomi dengan kehidupan sosial

suatu masyarakat. Menurutnya, untuk menjadikan masyarakat Islam menjadi masyarakat

yang berkeadilan sosial bukan melalui berfikir benar dan bertindak baik semata-mata,

20

Suatu hal mengenai atau berhubungan dengan keuangan atau pajak. Lihat Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Gitamedia Press, 2006), cet. Ke-1, h. 135

21

Keuntungan perusahaan yang dibagi-bagikan kepada pemenang saham. Lihat Tim Prima Pena,

(24)

melainkan juga melalui lembaga, campur tangan Negara, dan pajak atas pendapatan dan

kekayaan, termasuk perpajakan progresif.22

3. Dalam Bidang Politik

Untuk mengawali karir politiknya, pada Maret tahun 1928 al-Banna bersama

enam sahabatnya mendirikan organisasi keagamaan yang menganjurkan kepada kebaikan

dan mencegah kemungkaran di Ismailiyah. Organisasi ini merupakan cabang dari tarekat

Hashafiyah atau tarekat yang para anggotanya kerap berkumpul di Madrasah

Al-Mu’allimin, Damanhur.

Satu tahun kemudian, yaitu pada tahun 1929 organisasi ini dinamai Jam’iyah

Ikhwan Muslimin. Pertumbuhan gerakan yang pernah dimuat dalam surat kabar

Al-Ahram ini terlihat sangat pesat. Hal tersebut dapat terlihat dari terlahirnya 15 cabang pada

tahun 1932, 300 cabang pada tahun 1948 dan sampai akhirnya 2000 cabang pada tahun

yang sama. Gerakan yang memiliki 4 cabang pada saat didirikan inipun dapat memiliki

setengah juta “anggota aktif” di Mesir pada tahun 1945.

Lima tahun perjalanan Jam’iyah Al-Ikhwan Al-Muslimin membawa al-Banna

mengubah sebuah organisasi keagamaan ini menjadi organisasi politik, namun ia masih

tetap mempertahankan gelar mursyid (pembimbing) dalam perjalanan politiknya. Untuk

masalah asisten pribadi, al-Banna menunjuk dua belas sampai dua puluh anggota yang

kemudian akan diembani tugas sebagai badan pengatur organisasi. Walaupun dalam

pengambilan sebuah keputusan harus merupakan kebulatan suara, namun Banna

sendirilah yang akhirnya menentukan hasil akhir untuk sebuah putusan tersebut.

Kemudian untuk anggaran dasarnya, Banna membentuk kelompok sendiri untuk

22

(25)

mengurusnya, kelompok tersebut berupa organisasi khusus (Al-Tanzhim Al-Khash) yang

lebih dikenal dengan sebutan “Organisasi Rahasia” atau “Sayap Militer”.

Adapun faktor yang melatarbelakangi organisasi keagamaan ini mengubah diri

menjadi sebuah organisasi politik yaitu adalah karena Jamaah Ikhwanul Muslimin

merupakan bagian dari masyarakat Mesir, maka otomatis ia akan dipengaruhi dan

mempengaruhi berbagai situasi dan kondisi Mesir pada saat itu. Kecemasan para anggota

Ikhwan bermula pada saat Inggris menduduki Mesir pada 14 September 1882. Inggris

dinilai telah melakukan dominasi terhadap segala sistem masyarakat dengan cara

menghadirkan militer dan melakukan pendudukan ekonomi, politik, budaya dan

pendidikan yang berkiblat pada aturan Barat dan menyimpang dari aturan-aturan Islam.

Syaikh Hasan al-Banna menyebutkan bahwa keberadaan tentara Inggris di Ismailia

(tempat tumbuhnya Jamaah Ikhwan) membangkitkan kesedihan dalam jiwa setiap warga

dan mendorongnya untuk memperhitungkan pendudukan asing ini. Kondisi pendudukan

tersebut, berikut tidakan-tindakannya, telah mempengaruhi jiwanya dan menjadi inspirasi

bagi berbagai makna yang memiliki pengaruh besar terhadap dakwah dan da’inya.

Disamping itu ia juga mengatakan bahwa perasaan yang dirasakan oleh enam orang

pekerja Ismailia, bahwa bangsa Arab dan kaum Muslimin (di negeri Mesir) tidak lebih

dari derajat buruh yang mengekor kepada orang-orang asing, telah mendorong mereka

untuk berterus terang menginginkan terbentuknya sebuah organisasi Ikhwan yang mereka

pandang akan membawa kepada kehidupan negeri dan kemuliaan umat.23

Suasana liberalisme Barat yang sangat kental pada saat itu benar-benar membuat

“panas” para anggota Ikhwan. Dalam hal ini Hasan al-Banna menyebutkan bahwa

berbagai kondisi pemerintahan dan cara-cara menjalankan kekuasaan pemerintah pada

23

(26)

saat itu banyak berbenturan dengan Jamaah yang dirintisnya. Oleh sebab itu Ikhwan

memasukkan masalah ini ke dalam salah satu programnya dan menjadikan diantara

tujuan mereka yang berbunyikan: “melebur seluruh partai dan menyatukan

kekuatan-kekuatan umat dalam satu orientasi yang memiliki program Islami”24

Al-Banna merupakan seseorang yang sangat berpengaruh dalam setiap

perkembangan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Meskipun ia harus berjalan dengan

segala rintangan (dimusuhi pemerintah) ia tetap bersemangat untuk tetap melanjutkan

perjalanan perjuangannya walau harus dengan gerakan bawah tanah.

Walaupun kebijakan politiknya yang menyatakan tidak bersedia bergabung

dengan Partai Wafd dengan cara menasihati Raja Faruq agar membubarkan partai-partai

dan membentuk “Perserikatan Rakyat” yang akan “bekerja untuk kebaikan bangsa sesuai

dengan prinsip-prinsip Islam” dikritik dan dinilai tidak konsisten oleh partai-partai

politik, namun pada tahun 1930-an ia berhasil mendirikan sekolah Muslim dan membuka

usaha penerbitan. Banna juga menerbitkan surat kabar Al-Ikhwanul Muslimin serta

mingguan Al-Ta’aruf dari tahun 1940 hingga 1942. 25

Keputusan ketidaksediannya tersebut dikarenakan karma bagi Ikhwan partai-partai

yangmuncul pada saat ini.

24

Ustman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan “IKHWAN” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,h. 149

25

(27)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP SYNjRƖ

A. Definisi SynjrƗ

Di kalangan masyarakat luas, kata syūrā memiliki pengertian yang sangat

beragam. Sesungguhnya istilah syūrā berasal dari kata sy-wa-ra, syawir yang berarti

berkonsultasi, menasehati, memberi isyarat, petunjuk dan nasehat. Adapula yang

mengatakan bahwa kata syūrā memiliki kata kerja yaitu syāwara-yusyāwiru yang berarti

menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Adapun

bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja asyāra adalah yusyiru yang berarti memberi

isyarat, tasyāwara yang berarti berunding, saling bertukar pendapat, syāwir yang berarti

meminta pendapat, musyawarah, dan mustasyir yang berarti meminta pendapat orang

lain. Dalam bahasa Arab biasa pula dijumpai istilah syara al-a’sai yang berarti

mengeluarkan madu dari sarangnya, atau memetik, lalu mengambilnya dari sarang dan

tempatnya.26

Merujuk pada pengertian kata yang telah ada, maka syūrā dapat diartikan dengan

kata musyawarah atau yang berarti saling menjelaskan dan merundingkan atau saling

meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.

Dari uraian diatas, para intelektual muslim telah memiliki pendapat sendiri dalam

mendefinisikan kata tersebut. Menurut Imam Syahid Hasan al-Banna syūrā adalah suatu

proses dalam mencari sebuah keputusan atau kesepakatan yang berdasarkan pada suara

terbanyak dan berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan hendaklah setiap urusan

26

(28)

itu diserahkan kepada para ahlinya demi mewujudkan suatu hasil yang maksimal dalam

rangka menjaga stabilitas antara pemimpin (pemerintah) dengan rakyat.27

Dalam hal ini Hasan al-Banna sangat terinspirasi oleh dua ayat dalam Al-Qur’an

yang berisi tentang anjuran untuk bermusyawarah serta sunnah Rasulullah yang juga

telah diterapkan oleh khulafaurasyidin.

Seorang mufasir yang bernama Al-Qurtubi (w. 9 Syawal 671) mengatakan

bahwa;

“Musyawarah adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barang siapa yang menjabat sebagai kepala Negara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama (ulama) haruslah ia dipecat.”28 Selain Hasan al-Banna dan Al-Qurtubi, seorang penulis Islam seperti Fazlur

Rahman pun memiliki komentar sendiri dalam hal ini. Menurutnya, dalam rangka usaha

perbaikan terhadap dunia serta dalam menciptakan sebuah hubungan yang harmonis,

maka dibutuhkan hubungan yang baik pula antara sesama manusia yang taat terhadap

perintah Allah melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena sesungguhnya, hubungan

antara sesama manusia tidak dapat terlepas dari hubungan mereka dengan Tuhannya.

Keyakinan itulah yang kemudian memacu Fazlur Rahman untuk menegaskan betapa

pentingnya melakukan musyawarah (syūrā) dalam kehidupan manusia. Ia juga

mengatakan bahwa pelaksanaan musyawarah akan menjamin stabilitas politik bila

memang dapat dikembangkan sebagai sebuah lembaga yang efektif dan permanen.29

27

Abdul Hamid Al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, Peta Pemikiran Hasan al-Banna,

Penerjemah Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2001), cet. Ke-1, h. 262

28

Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,, 1996), cet. Ke-6, h. 18

29

(29)

Setelah dua pengertian yang terlihat ekstrim dan lebih fokus terhadap dunia

pemerintahan, Ibn Huwaiz Mandad mencoba memberikan pengertian kata tersebut.

Secara menyeluruh ia mengatakan bahwa para penguasa wajib bermusyawarah dengan

para ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan dalam soal-soal agama yang

samar-samar, penguasa wajib mengarahkan prajurit dalam soal-soal perang dan

mengarahkan orang banyak dalam soal-soal kemashlahatan. Begitu pula penguasa wajib

mengarahkan sekretaris, wazir dan para pejabat dalam hal kemaslahatan dan pengaturan

negeri.30

Dalam mengartikan kata syūrā, tidak ada perbedaan yang signifikan antara

pendapat satu dan yang lainnnya. Namun perbedaan itu jelas terlihat pada objek dari

musyawarah tersebut. Menurut salah satu tokoh panutan al-banna yaitu Muhammad

Rasyid Ridha, objek yang boleh di musyawarahkan hanyalah yang berkaitan dengan

urusan dunia saja, dan tidak untuk masalah agama. Karena hal-hal yang berkaitan dengan

urusan agama seperti, keyakinan dan masalah-masalah ibadah merupakan suatu hal yang

telah ditetapkan hukumnya dan apabila hukum-hukum tersebut dimusyawarahkan itu

berarti telah mencampuri suatu hukum yang telah disyariatkan oleh Allah swt. 31

Namun pendapat tersebut berbanding terbalik dengan pemikiran at-Tabari,

Fakhruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maragi, bagi mereka hal-hal yang boleh

dimusyawarahkan bukan saja masalah yang berkaitan dengan urusan keduniaan namun

juga masalah-masalah keagamaan. Bagi mereka, setiap permasalahan yang ada baik itu

di bidang sosial, ekonomi maupun politik, pasti memerlukan jawaban yang merujuk pada

aturan agama.

30

Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshar al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz II, (Kairo: Dar al-Sya’b, tt), h. 1491-1492

31

(30)

B. Isyarat Al-Qur’an dan As-Sunnah

Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi petunjuk dan bimbingan etik

serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun Al-Qur’an tidak pernah mengemukakan

solusi setiap permasalahan dengan jelas dan hanya berbentuk isyarat, namun isyarat

mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahanlah yang memiliki dasar fundamental

dalam Al-Quran. Isyarat tersebut dapat dilihat dari terdapatnya aturan yang mewajibkan

untuk bermusyawarah di dalam Al-Qur’an. Karena musyawarah merupakan salah satu

nilai etika politik yang konstitusional dalam kehidupan kenegaraan Islam dan termasuk

kedalam pembahasan Negara, maka pembahasan tentang prinsip syūrā pun terdapat di

dalam Al-Qur’an.32

Sesungguhnya pembahasan tentang syūrā sudah tertera sangat jelas pada tiga ayat

dalam kitab suci Al-Qur’an. Walaupun ketiga ayat tersebut terdiri dari latar belakang

masalah yang berbeda, namun pada intinya ketiga ayat tersebut berisi anjuran untuk

melakukan musyawarah dalam mencapai sebuah keputusan. Ayat yang pertama yaitu

lebih menjelaskan kepada musyawarah dalam hubungan keluarga atau rumah tangga.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 233 berbunyi;

ﻰ و

ﺔ ﺎ ﺮ ا

نأ

دارأ

ْ

ْ ﺎآ

ْ ْﻮ

هد ْوأ

ْ ْﺮ

تاﺪ اﻮْاو

رﺂ

ﺎﻬ ْ و

إ

ْ

فوﺮْ ْﺎ

ﻬ ﻮْ آو

ﻬ ْزر

دﻮ ْﻮ ْا

و

ﺎﺼ

ادارأ

ْنﺈ

ﻚ ذ

ْﺜ

ثراﻮْا

ﻰ و

ﺪ ﻮ

دﻮ ْﻮ

و

ﺎهﺪ ﻮ

ةﺪ ا

ْ آد ْوأ

اﻮ ْﺮ ْ

نأ

ْ ْدرأ

ْنإو

ﺎ ﻬْ

حﺎ

روﺎ و

ﺎ ﻬْ

ضاﺮ

اذإ

ْ ﻜْ

حﺎ

نﻮ ْ

ﷲا

نأ

اﻮ ْ او

ﷲا

اﻮ او

فوﺮْ ْﺎ

ْ اءﺂ

ْ

ﺮ ﺼ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi

32

(31)

makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apa bila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah

Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”33

Pada ayat di atas, jelas dikatakan bahwa keputusan untuk diperbolehkannya

menyapih anak sebelum mencapai usia 2 tahun akan dapat dilakukan apabila sudah

terjadi kesepakatan atau permusyawaratan antara suami dan istri (ayah dan ibu sang

anak).

Sungguh Maha Agungnya Allah yang telah menurunkan pedoman selengkap kitab

suci Al-Qur’an pada umat manusia. Karena dalam ruang lingkup terkecil saja Allah

sudah sangat dengan jelas menerangkan dan menganjurkan untuk selalu melakukan

musyawarah dalam keluarga. Hal tersebut akan memiliki pengaruh yang sangat besar

dalam pembentukan kepribadian atau karakter sang anak suatu saat kelak, karena dalam

keluarga yang baik pasti akan menghasilkan anak yang baik pula.

Kemudian ayat kedua yaitu pada surah Asy-Syura ayat 38 yang berbunyi;

ْ هﺎ ْزر

ﺎ و

ْ ﻬ ْ

ىرﻮ

ْ هﺮْ أو

ة ﺼ ا

اﻮ ﺎ أو

ْ ﻬ ﺮ

اﻮ ﺎ ْ ا

ﺬ او

نﻮ

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”34

Pada ayat kedua ini lebih mempertegas kembali kepada betapa pentingnya

melakukan syūrā dalam mengambil sebuah keputusan pada setiap permasalahan

33

Surah Al-Baqarah, ayat 233 34

(32)

kehidupan. Hal tersebut tercermin dari diletakkannya anjuran tersebut diantara kedua

perintah yang sangat vital bagi umat Islam. Selain itu, ayat inipun mengandung pujian

terhadap para pelakunya karena syūrā dapat membawa manusia kepada kenikmatan yang

bernilai ibadah kepada Allah Swt.

Adapun ayat ketiga yaitu pada surah Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:

ﻚ ْﻮ

ْ

اﻮ

ْ ْا

ﺎًﻈ

آ

ْﻮ و

ْ ﻬ

ﷲا

ﺔ ْ ر

ْ هْروﺎ و

ْ ﻬ

ْﺮ ْ ْ او

ْ ﻬْ

ْ ﺎ

ﷲا

ْ آﻮ

ْ ﺰ

اذﺈ

ﺮْ ﻷْا

آﻮ ْا

ﷲا

نإ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap

mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka

menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”35

Perintah Allah kepada Nabi untuk selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya

merupakan anjuran yang sangat baik dalam mencari sebuah kesepakatan, karena

musyawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut serta sifat terpuji bagi orang

yang melaksanakannya.

Hal ini menarik perhatian Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari untuk

menafsirkan ayat diatas. Beliau menyatakan bahwa;

“Sesungguhnya Allah swt menyururuh Nabi saw untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi saw, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun perintah tersebut ditujukan kepada Nabi saw.”

Sehubungan dengan Al-Qur’an yang diciptakan untuk seluruh umat di dunia,

maka perintah yang ada di dalam Al-Qur’an pun tidak hanya berlaku kepada Nabi saja

35

(33)

walaupun perintah tersebut memang diturunkan dan ditujukan kepada Nabi pada saat itu.

Ayat tersebut bahkan semakin menunjukkan bahwa, betapa berartinya perintah tersebut

untuk umat manusia. Karena seorang Nabi saja yang sudah dijamin kehidupan

akhiratnya sangat dianjurkan untuk melakukan syūrā, bagaimana dengan manusia yang

tidak lepas dari sifat alpha dan dosa?.

Abu Ja’far kembali mempertegas dengan mengatakan bahwa perintah yang

terkandung dalam ayat tersebut tidak hanya berlaku untuk perorangan namun juga dalam

masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga politik,

pemerintahan dan masyarakat yang merupakan subjek musyawarah dengan melibatkan

para anggotanya yang memang berperan sebagai objek untuk membicarakan segala

permasalahan yang mereka hadapi.36

Bagi umat Islam As-sunnah atau hadist merupakan landasan yang kedua setelah

Al-Qur’an. Karena terlalu seringnya Rasulullah melakukan syūrā dengan para

sahabatnya, maka pada suatu kesempatanpun Rasul pernah mengatakan bahwa

ْ

ْﺮ ْ

ﺎ ا ْ آﺪ ا رﺎ ْا اذا

“Apabila salah seorang kamu meminta nasehat kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberikan pertunjuk kepadanya”.37

Pada hadist ini, sangatlah jelas bahwa Islam merupakan agama persaudaraan.

Sangat dianjurkan bagi sesama muslim untuk saling memberi dan menerima nasehat

dalam mengatasi setiap permasalahan.

Sebab sebagaimana juga yang pernah dikatakan Rasulullah bahwa

ْﺆ

رﺎ ْ ْا

“Orang-orang yang diminta nasehatnya berarti ia dipercaya”38

36

Abdul Aziz Dahlan, dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, h. 18

37

(34)

Selain dua hadist di atas yang terlihat mengarah pada anjuran untuk melakukan

musyawarah, ada sebuah hadist yang memang dengan tegas dimaksudkan untuk

melakukan musyawarah tersebut. Adapun hadist yang telah diriwayatkan oleh Thabrani

itu berbunyi;

بﺎ

ْ ا

رﺎ

و

م

ْ ا

رﺎ

”Tidak akan gagal orang yang mengerjakan istikharah untuk menentukan pilihan

dan tidak menyesal orang yang melakukan musyawarah”.39

Dengan melihat beberapa hadist diatas dapat disimpulkan bahwa musyawarah

merupakan suatu tindakan yang dapat membuka cakrawala berfikir dalam mengatasi

setiap permasalahan. Selain itu, musyawarah juga dapat menciptakan stabilitas sosial dan

mempertahankan integritas umat di dunia, karena dengan keputusan yang diambil secara

bersama, maka akan menimbulkan sebuah kekuatan yang berdampak kepada keyakinan

untuk melaksanakan keputusan bagi para anggotanya.

38

Hadist tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Ibn majah Juz II, ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 1233

39

(35)

C. Praktik SynjrƗ Pada Masa Nabi

Ada beberapa peristiwa yang membuat Nabi harus melakukan musyawarah dalam

mengambil keputusan. Dalam hal ini Zhafir al-Qasimi mengatakan bahwa musyawarah

pada masa Rasulullah dapat diklasifikasikan kepada tiga bentuk. Pertama, Musyawarah

yang terjadi atas dasar permintaan Rasulullah sendiri. Adapun contoh dari ketegori ini

yaitu pada saat sebelum pecahnya perang Uhud. Karena kebimbangan antara dua pilihan,

apakah berdiam diri saja di dalam kota untuk menunggu atau menghadang musuh atau

pergi keluar (mencari keberadaan mereka) dalam menghadapi musuh. Akhirnya Rasul

meminta pendapat dengan mengatakan “Asyiru ‘alayya”, “Berilah pandanganmu

kepadaku”.40

Sebelum Rasul meminta pendapat para pemuka kaum muslim dan pemuka

orang-orang munafik yang telah dikumpulkannya, beliau telah mengemukakan pendapatnya

serta meminta pandangan para sahabat terlebih dahulu. Dalam hal ini, Rasul sangat

memberi kebebasan kepada para audiensnya untuk menuangkan pemikirannya.

Walaupun Rasul telah mengemukakan pendapatnya terlebih dahulu, namun hal itu beliau

lakukan tidak lain hanyalah sebagai pemberian gambaran dan bukan untuk

mempengaruhi pemikiran mereka.

Pada kasus di atas, akhirnya sampailah pada titik kesepakatan dengan mengambil

dari suara terbanyak. Namun dalam hal ini, satu hal yang perlu diingat bahwa keputusan

apapun yang didapatkan, keputusan akhir haruslah dikemukakan oleh Nabi selaku

pimpinan sidang pada saat itu. Nabi tidak akan pernah mau untuk bertindak sendiri

kecuali untuk pemecahan masalah yang memang sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.

40

(36)

Kedua, musyawarah yang dimulai oleh sahabat sendiri. Hal ini terjadi pada saat

terjadi perang Badar.41 Pada saat menjelang pertempuran, Rasul memutuskan bagi untuk menempati posisi yang dekat dengan mata air. Namun hal tersebut mengundang

pertanyaan bagi salah seorang dari kelompok Ansar yang bernama Hubab bin Mundhir.

Ia menanyakan apakah keputusan Nabi itu atas petunjuk Allah, sehingga beliau dan

pasukan Islam tidak boleh bergeser dari tempat itu, atau apakah keputusan itu beliau

ambil sebagai pemikiran strategi perang biasa. Namun pada saat itu Nabi menjawab

bahwa sesungguhnya keputusan itu beliau ambil bukanlah karena petunjuk Allah namun

hanyalah perhitungan beliau sendiri. Hubab berkata, kalau demikian halnya, wahai utusan

Allah, tempat ini kurang tepat. Karena menurut Hubab, alangkah lebih baiknya apabila

kita lebih maju kemuka, ke mata air yang paling depan. Kita bawa banyak tempat air

untuk diisi dari mata air itu, kemudian mata air itu ditutup dengan pasir. Apabila nanti

kondisinya mengharuskan pasukan Nabi untuk mundur, maka mereka masih dapat

minum dan musuh tidak. Merasa mendapat saran yang cukup masuk akal, akhirnya Nabi

pun menerima baik saran Hubab untuk bergerak maju menuju lokasi yang telah dikatakan

oleh Hubab sebelumnya.42

Ketiga, yaitu bentuk musyawarah yang posisinya menempati antara kedua bentuk

yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan kata lain, Rasulullah baru akan

mengambil suatu tindakan musyawarah pada saat menjelang saat-saat pelaksanaan. Salah

satu peristiwa yang dapat digolongkan ke dalam kategori ini adalah, pada saat Rasulullah

memutuskan untuk mengadakan perdamaian dengan kaum Gathafan ketika perang

41

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 16

42

(37)

Khandaq. Dalam kasus tersebut, Rasul telah menjanjikan sepertiga hasil buah-buahan

dari kota Madinah kepada sekutunya dengan persyaratan mereka akan menarik

pasukannya dari perang tersebut.

Ketika janji itu sudah akan dilaksanakan, Rasul sempat bermusyawarah dengan

Sa’ad ibn Mu’az dan Sa’ad ibn ‘Ubadah mengenai usul beliau, namun kedua sahabat itu

menolak dengan alasan yang cukup rasional di mata Rasul, akhir kata Rasul bersedia

mundur dari keputusan awalnya dan memilih untuk mendengar saran para sahabatnya.43

D. Praktik SynjrƗ Pada Masa Khulafa al-Rasyidin

Berbicara mengenai sejarah perjuangan Nabi, tidak terlepas dengan adanya kisah

pejuang setia para sahabat (al-Khulafa al-Rasyidin). Rasul yang diutus Allah untuk

menyempurnakan akhlaq manusia, telah menorehkan pelajaran sangat berharga di mata

para sahabat. Oleh sebab itulah dalam pemilihan atau pengangkatan empat Khulafa

al-Rasyidin tidak terlepas dari penerapan ilmu Syūrā atau musyawarah yang telah

diterapkan oleh Rasulullah Saw sebelumnya.

1 Musyawarah di Masa Abu Bakar

Ketika tersiar kabar bahwa Rasulullah wafat, para pemuka kaum Anshar langsung

berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah.44 Pertemuan yang diprakarsai oleh kaum Anshar dari Hazraj ini bermaksud untuk melantik Sa’ad ibn Ubadah sebagai pemimpin

menggantikan Rasulullah.45 Berita pertemuan di Saqifah tersebut akhirnya terdengar juga oleh dua tokoh Muhajirin yaitu Abu Bakar dan Umar. Mereka berdua dan juga ditemani

43

At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979), h. 503

44

Diantara para pemuka yang berkumpul, ada pula para perempuan yang ikut serta dalam perkumpulan tersebut. Lihat Syekh Muhammad al-Hudhari Bek, Muhadharat Tarikh Umam al-Islmaiyat, Jilid I, (Kairo: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, tt), h. 167

45

(38)

oleh Abu ‘Ubaidah datang sebagai wakil dari kaum Muhajirin untuk mengadakan

musyawarah terbuka dengan kaum Anshar.

Dalam musyawarah tersebut, mereka mengemukakan pendapatnya

masing-masing. Kaum Anshar berpendapat bahwa dari kalangannyalah yang berhak menjadi

pengganti (khalifah) Rasulullah begitupun sebaliknya, pihak Muhajirin pun berpendapat

bahwa pihaknyalah yang lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah pada saat itu.

Ditengah perdebatan yang semakin tegang, akhirnya Abu Bakar mewakili kaum

Muhajirin mengusulkan agar Muhajirin sebagai Amir dan Anshar sebagai Wazir. Usulan

tersebut langsung ditanggapi oleh seorang pemuka Anshar yang menyatakan dengan

tegas keberatanya atas usulan yang dikemukakan oleh Abu Bakar tersebut. Ia

mengusulkan agar kaum Anshar menjadi Amir dan Muhajirin pun sebagai Amir. Hal ini

jelas tidak dapat disepakati oleh kaum Muhajirin yang lebih mementingkan persatuan

dibandingkan perpecahan. Karena apabila usul tersebut terlaksana maka sama halnya

dengan membagi umat Islam kepada dua pemerintahan, dan itu akan memecah persatuan

umat Islam.46

Ketika kesepakatan belum juga didapatkan dan situasi semakin memanas,

akhirnya seorang pemuka Anshar yang bernama Basyir ibn Sa’ad menyatakan dengan

lantang kata-kata yang cukup berkesan di hati kalangan Anshar dan Muhajirin. Ia

mengatakan bahwa, “kaum Muhajirin lebih utama untuk menjadi khalifah karena Nabi

Muhammad berasal dari Qureys dan kaum Muhajirin pun berasal dari Qureys”.

Kata-kata Sa’ad tersebut akhirnya dijadikan kesempatan oleh Abu Bakar untuk

mencalonkan ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah yang notabene berasal dari kalangan Muhajirin.

46

(39)

Namun keduanya menolak pencalonan tersebut. Mereka justru berpendapat bahwa Abu

Bakarlah yang lebih pantas untuk menduduki jabatan kekhalifahan itu.

Pada saat itu juga, ‘Umar dan ‘Ubaidah secara resmi membai’at Abu Bakar dan

kemudian diikuti oleh peserta sidang lainnya. Acara pembai’atan ternyata tidak berhenti

sampai disitu, keesokan harinya Abu Bakar kembali dibai’at sekali lagi secara umum

dalam upacara di Mesjid Nabi. Dengan demikian resmilah Abu Bakar sebagai kepala

Negara atau khalifah Rasul Allah pada saat itu.

Selain dikenal sebagai orang yang berasal dari kota yang sama dengan Rasulullah

Abu Bakar juga termasuk salah seorang pembesar Qureisy pada masa-masa sebelum

kedatangan Islam. Beliau juga pernah menjabat sebagai Al-Isynaq, yakni mengadili dan

memutuskan terhadap silang selisih dan sengketa dan menetapkan hukuman dendanya

(al-Diyat) di Majelis Musyawarah suku besar Qureiys.47

Melihat cerita singkat diatas, dapatlah disimpulkan bahwa dalam pemilihan Abu

Bakar sebagai khalifah merupakan pemilihan dalam suatu musyawarah yang terbuka dan

bebas.48 Selain berasal dari kota yang sama dengan Rasulullah, hal lain yang membuat ia terpilih adalah karena ia memiliki pengalaman terlebih dahulu dalam memimpin. Ini

merupakan cara yang ampuh dalam mengambil sebuah keputusan. Karena musyawarah

sangat menjunjung tinggi kebebasan untuk mengemukakan pendapat dengan

seluas-luasnya. Apabila terjadi perbedaan di dalam proses perjalannya, hal itu merupakan hal

yang wajar dalam musyawarah.

Adapun pelaksanaan upacara pelantikan khalifah Abu Bakar dilakukan di dalam

Mesjid Nabi. Ketika berlangsungnya musyawarah, anggota sidang yang hadir adalah para

47

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 129-130

48

(40)

pemuka suku dan kabilah dari kedua golongan, namun dalam upacara pelantikan hanya

umat Islam Madinah saja yang menjadi pesertanya

2 Musyawarah di Masa Umar ibn al-Khathab

Mekanisme pemilihan seorang pemimpin melalui usulan pemimpin terdahulu

terjadi pada Umar ibn Khatab,49 dimana pada proses pengangkatannya didahului dengan suatu musyawarah di akhir masa pemerintahan Abu Bakar. Sebelum wafat, Abu Bakar

mengadakan dialog dengan beberapa sahabat yang telah dipanggilnya untuk menentukan

siapa yang akan menggantikannya kelak. Keterlibatan Abu Bakar disini bukanlah berarti

ia mengambil hak suara umat, namun ia hanya ingin bertindak sebagai umat yang ingin

menyuarakan aspirasinya.50

Dalam memenuhi rasa tanggung jawabnya terhadap umat, ia tetap melakukan

musyawarah walau dalam keadaan sakit yang cukup parah. Ia memanggil Abd

al-Rahman ibn ‘Auf untuk diajak berdiskusi untuk membicarakan tentang keinginannya

menjadikan Umar sebagai penggantinya. Walaupun pada awalnya Abd al-Rahman

meragukan keinginan Abu Bakar, namun akhirnya Abu Bakar dapat meyakinkan Abd

al-Rahman untuk menyetujui pendapatnya, begitupun dengan Usman ibn ‘Affan, sahabat

yang juga dimintai pendapatnya mengatakan bahwa sifat dalam Umar lebih baik dari sifat

luarnya. 51

Pendapat kedua sahabat sebelumnya masih ingin dipertegas kembali oleh Abu

Bakar dengan menanyakan hal yang sama dengan Aba-Abdirrahman dan Thulhah ibn

Ubaidillah. Dalam hal ini Aba-Abdirrahman terlihat ragu dan menunda memberikan

49

Sirojuddin Aly, Diktat; Ketata Negaraan Periode Khulafa al-Rasyidin, (Jakarta, 2007), h. 16

50

Asyri, Zul, Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Al-Khulafa’ al Rasyidin,h. 46-47

51

(41)

jawabannya kepada Abu Bakar sedangkan Thulhah lebih memilih menyerahkan masalah

ini pada kesepakatan orang banyak.52

Namun kesepakatan-kesepakatan yang telah ada belum dapat disahkan sebelum

dilakukannya musyawarah. Walaupun dalam kenyataannya musyawarah melahirkan

banyak perbedaan pendapat, namun Abu Bakar dapat menyikapinya dengan bijak.

Abu Bakar dengan cepat mengambil langkah dengan memerintahkan Usman agar

ia menulis sebuah surat pengangkatan. Hal ini bukanlah berarti seorang khalifah

mengangkat seorang khalifah. Tetapi penetapan tersebut hanyalah sebagai suatu

perjanjian (al-‘ahd) tertulis sebagai hasil dari suatu musyawarah.

Surat tersebut berisikan bahwa ‘Umarlah satu-satunya calon khalifah pengganti

Abu Bakar yang telah disepakati bersama melalui musyawarah walau belum diakui

keabsahannya. Karena keabsahan itu baru akan ia dapatkan ketika ia sudah mendapatkan

bai’at dari umat Madinah saat itu. Sebab bai’at bukanlah terletak di tangan khalifah tetapi

berada di tangan umat.53

Ketika perjanjian telah rampung ditulis, Abu Bakar langsung menyampaikan

keputusannya itu kepada kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan digotong di balkon

rumahnya, Abu Bakar berkata: “Apakah kamu suka dengan orang yang telah aku angkat

sebagai khalifah buat kamu? Aku tidak mengangkat orang yang bertalian keluarga

denganku. Aku telah mengangkat Umar. Pengangkatan itu bukan pendapatku saja”.

Dengan serentak mereka menjawab, “Kami dengar, Kami patuhi”.54 Hal diatas sangat jelas terlihat bahwa pengangkatan Umar memang benar berdasarkan atas keputusan

bersama yang dilakukan melalui musyawarah.

52

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 137

53

At-Thabari, Tarikh al-Umam wa al Mulk, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, 1979), h. 52

54

(42)

Aktivitas musyawarah di masa Umar terlihat lebih meningkat dibandingkan masa

sebelumnya. Hal itu dapat terlihat dari dibawanya berbagai persoalan agama dan

kenegaraan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaatan yang ia bentuk pada masa

pemerintahannya. Umar pun memanfaatkan para sahabat Nabi yang masih hidup untuk

dijadikan tokoh-tokoh ahl al- syūrā yang mempunyai hak untuk mengemukakan segala

pendapatnya.

Dalam masa kepemimpinannya Umar sangat terlihat menjunjung tinggi

musyawarah kepada umatnya. Ia senantiasa memanfaatkan berbagai kesempatan untuk

dapat berinteraksi dengan para umatnya. Seperti ketika ia memanfaatkan musim haji

untuk dijadikan “pertemuan umum” dalam memecahkan segala persoalan. Karena bagi

Umar, sidang tersebut merupakan wadah komunikasi timbal balik antara kahlifah dan

umatnya.

Selain tindakan diatas, kecenderungan kepada syūrā terlihat jelas dalam suatu

perkataanya yang mengatakan “Tidak ada kebaikan dalam suatu urusan yang diputuskan

tanpa musyawarah, dan Tidak ada Khilafat tanpa musyawarah.” 55

3 Musyawarah di Masa Usman ibn ‘Affan

Utsman Ibn Affan merupakan seorang calon pemimpin yang diangkat melalui

badan formatur yang terlebih dahulu dibentuk oleh khalifah sebelumnya yaitu Umar Ibn

Khatab diakhir pemerintahannya. Badan formatur atau Panitia Pemilihan (Election

Committee) yang beranggotakan enam orang ini berfungsi sebagai anggota dewan untuk

bermusyawarah dalam mengambil sebuah keputusan.56 Ketika Umar wafat, al-Miqdad

55

Suatu kekhalifahan tidaklah sah tanpa berdasarkan musyawarah.

56Ahl syūrā

(43)

mengumpulkan ahl syūrā yang telah dibentuk sebelumnya di rumah al-Miswar ibn

Makhramah.57 Di sana mereka dipersilahkan untuk bermusyawarah dalam menentukan

siapa seharusnya yang menjadi pengganti Umar dalam jangka waktu beberapa hari

sebagaimana yang telah ditentukan khalifah Umar sebelumnya.

Sidang pertama berakhir tanpa hasil, yang terjadi justru suatu persaingan tajam

antara Bani Umaiyah dan Bani Hasyim. Masing-masing pihak bersikeras mencalonkan

Usman dan Ali sebagai pengganti dari kepemimpinan Umar.

Melihat keadaan yang semakin rumit, akhirnya Abd al-Rahman mengusulkan

pendapatnya. Ia mencoba menawarkan bagi siapa diantara anggota dewan yang bersedia

mengundurkan diri sebagai calon, maka ia akan diberi hak penuh dalam menetapkan

siapa yang akan menjadi khalifah. Namun ternyata tidak ada yang menghiraukan usulan

Abd al-Rahman tersebut, para anggota dewan tidak cukup tertarik pada usulannya.

Melihat kenyataan yang terjadi tidak membuat Abd al-Rahman berkecil hati,

justru ia memanfaatkan situasi tersebut dengan mencabut dirinya sebagai calon dengan

maksud agar ia ditunjuk sebagai “ketua pemilihan”. Permintaan itu akhirnya disetujui

oleh semua anggota dewan. Hanya Ali saja yang bersikap diam pada saat itu, namun

setelah didesak barulah ia mengeluarkan suaranya dan itupun ia nyatakan keraguannya

terhadap Abd al-Rahman. 58

Akhirnya Abd al-Rahman memutuskan untuk meminta pendapat masing-masing

anggota dewan secara terpisah. Pada saat itu, Sa’ad menyokong Usman, Zubeir menyebut

Usman dan Ali, Usman memilih Ali dan Ali memilih Usman. Walaupun suara terbanyak

Utsman Ibn Affan, Ali Ibnu Abi Thalib, Abdurrahman Ibnu Auf, Saad Ibn Abi Waqas, Thalhah Ibn Abdullah, dan Abdullah Ibn Umar. Lihat John L Esposito, Islam dan Politik, (Bandung: Bulan Bintang, 1990), h. 10

57

Ibn al-Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Jilid II, (Beirut: Dar Shader-Dar Bairut, 1965), h. 68

58

(44)

sudah didapatkan namun Abd al-Rahman tetap saja berkeliling menemui para tokoh

terkemuka sahabat-sahabat Rasulullah, panglima perang, dan para cendekiawan yang

mendatangi Madinah untuk menanyakan dan dengar pendapat dengan orang-orang diluar

dewan.

Dari hasil pengamatannya, akhirnya sampailah pada sebuah kesimpulan yang

mengatakan bahwa mayoritas umat lebih condong kepada Usman ibn Affan. Namun

keputusan belumlah bisa didapatkan. Karena kesimpulan diatas hanyalah berfungsi

sebagai bahan pertimbangan ketua pemilih dalam mengambil keputusan. Bagi Abd

al-Rahman, khalifah yang akan dipilih bukanlah hanya milik dewan tapi juga milik umat

seluruhnya.59

Walaupun suara mayoritas memilih Ustman namun ada beberapa pendukung Ali

yang mengungkapkan pernyataan-pernyataan tajam dalam meyakinkan para audiens.

Seperti Imar ibn Yasir yang mengatakan bahwa: “Jikalau anda menginginkan umat Islam

tidak pecah, silahkan pilih Ali”. Pernyataan Imar yang dikukuhkan oleh Mikdad ibn

Aswad al-Anshari tersebut dengan cepat dibantah oleh Abdullah ibn Abi Sarah dengan

perkataan: “Jikalau anda tidak menginginkan suku besar Qureisy itu pecah, silahkan pilih

Ustman” .60

Debat kusir terus berlangsung sampai pada akhirnya Abd al-Rahman mendaulat

sang calon untuk berdiri di muka umum. Hal ini akan dapat membuktikan apakah ia akan

bertindak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah serta meneladani kedua khalifah

sebelumnya atau tidak. Agar tidak terjadi kekisruhan antara para pendukung, akhirnya

Abd al-Rahman memanggil setiap calon untuk tampil ke depan. Ketika sesampainya di

59

Asyri, Zul, Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Al-Khulafa’ al Rasyidin,h. 70

60

(45)

depan, keduanya ditanyakan pada sebuah p

Referensi

Dokumen terkait

Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit jabon pada media bioorganik yang rendah terjadi karena bioorganik yang digunakan sebagai media tanam memiliki rasio C/N yang

Melalui koreografi sederhana yang ditarikan tiga orang penari ini, penata merasa sangat tertantang untuk menghasilkan karya yang tidak menjemukan, mencoba untuk

Disisi lain, dukungan sosial orang tua, juga memberikan manfaat terhadap penyesuaian diri siswa dalam belajar, sehingga bagi siswa yang memiliki tingkat dukungan sosial dari orang

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Induksi Kalus Akasia ( Acacia mangium ) Dengan

TRANSFORMASI BIROKRASI & RULE BASED BUREAUCRACY PERFORMANCE BASED BUREAUCRACY DYNAMIC GOVERNANCE 2013 2018 2025 ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN MANAJEMEN SDM PENGEMBANGAN

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat

Sistem pendukung keputusan(SPK) penentuan dana bantuan perbaikan MCK menggunakan Metode Fuzzy Simple Additive Weighting (FSAW) ini, dibangun untuk mengatasi kesulitan dalam