• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Effect of Variation in Temperature and Duration on Deoxygenation and Cracking Reaction of RPO in Bioavtur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Effect of Variation in Temperature and Duration on Deoxygenation and Cracking Reaction of RPO in Bioavtur"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONDISI SUHU DAN LAMA REAKSI

DEOKSIGENASI DAN

CRACKING

RPO

DALAM SINTESIS

BIOAVTUR

SHINTA PERMATASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kondisi Suhu dan

Lama Reaksi Deoksigenasi dan

Cracking

RPO dalam Sintesis

Bioavtur

adalah benar

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis

ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Shinta Permatasari

(4)

RINGKASAN

SHINTA PERMATASARI. Pengaruh Kondisi Suhu dan Lama Reaksi Deoksigenasi dan Cracking RPO dalam Sintesis Bioavtur. Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI dan DWI SETYANINGSIH.

Minyak nabati dapat diubah menjadi bioavtur karena minyak nabati merupakan trigliserida yang dapat dikonversi melalui deoksigenasi dan cracking menjadi hidrokarbon bioavtur. Minyak sawit rafinasi (RPO) yang merupakan trigliserida minyak nabati diharapkan dapat dikonversi menjadi bioavtur dengan mekanisme serupa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi RPO menjadi hidrokarbon yang setara dengan avtur melalui deoksigenasi dan cracking dengan variasi suhu dan lama reaksi. Pada penelitian pendahuluan, RPO dibuat melalui proses degumming CPO, dipanaskan dengan katalis padat NiMo di dalam reaktor pada suhu 300, 400, dan 450 oC, disertai penambahan hidrogen pada tekanan 50 bar dan pengadukan selama 5 jam dengan sampling setiap 1 jam untuk memperoleh kondisi suhu yang cocok. Pada penelitian utama dilakukan reaksi yang sama pada kondisi suhu terpilih (450 oC) dengan sampling setiap 30 menit setelah pemanasan awal selama 1 jam. Pengamatan yang dilakukan meliputi densitas, perubahan fase pada suhu rendah (-15 dan -55 oC) serta analisis GC-MS dan FTIR.

Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa hanya pada suhu 450 oC dihasilkan produk yang tetap memiliki fase cair pada suhu hingga -55 oC dan memiliki densitas setara avtur. Pada kondisi suhu tersebut (450 oC), hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi deoksigenasi dan cracking terbaik adalah pada tekanan 50 bar selama 3 jam. Sifat fisik produk tersebut yakni memiliki reaksi deoksigenasi terbaik, memiliki sifat setara avtur yaitu memiliki densitas 0.8105 g/cm3, tetap berbentuk cair pada pada suhu rendah hingga -55 oC dengan komposisi hidrokarbon C7-C12 terbanyak.

(5)

SUMMARY

SHINTA PERMATASARI. The Effect of Variation in Temperature and Duration on Deoxygenation and Cracking Reaction of RPO in Bioavtur Synthesis. Supervised by ERLIZA HAMBALI and DWI SETYANINGSIH.

Vegetable oils can be converted into bioavtur because they have triglycerides that can be converted through deoxygenation and cracking into bioavtur hydrocarbon. Refined Palm Oil (RPO) is also vegetable triglyceride that may be converted into bioavtur by similar mechanism. This study aims to convert RPO into hydrocarbons equal to avtur through deoxygenation and cracking with various temperature and reaction duration.

In the preliminary research, RPO was made from degumming process of CPO, heated with solid catalyst NiMo in a reactor at temperature of 300, 400 and 450 oC, with addition of hydrogen at pressure of 50 bar and stirring for 5 h with sampling every hour to obtain the suitable temperature conditions. At principal research, the same reaction was conducted at selected temperature conditions with sampling every 30 minutes after initial heating for 1 h. Observation was conducted for parameters density, phase change at low temperatures (-15 and -55

o

C), GC-MS and FTIR analysis.

Preliminary research showed that only at temperature of 450 oC, the product had liquid phase up to -55 oC and the density equal to jet fuel. At this temperature condition (450 oC ), the results showed that the best deoxygenation and cracking reaction was at pressure of 50 bar, in 3 h duration. The physical properties of the products were having the best deoxygenation reaction, having similar properties with aviation fuel, and density of 0.8105 g/cm3, still on liquid phase at low temperature up to -55 oC with the composition of mostly C7 - C12 hydrocarbons.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

PENGARUH KONDISI SUHU DAN LAMA REAKSI

DEOKSIGENASI DAN

CRACKING

RPO

DALAM SINTESIS

BIOAVTUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengaruh Kondisi Suhu dan Lama Reaksi Deoksigenasi dan Cracking RPO dalam Sintesis Bioavtur

Nama : Shinta Permatasari NIM : F351114011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Erliza Hambali Ketua

Dr Dwi Setyaningsih, STP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Prof Dr Ir Machfud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai bulan Oktober 2013 dengan judul Pengaruh Kondisi Suhu dan Lama Reaksi Deoksigenasi dan Cracking RPO dalam Sintesis Bioavtur.

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada Ibu Prof Dr Erliza Hambali selaku pembimbing pertama dan Ibu Dr Dwi Setyaningsih selaku pembimbing kedua yang telah banyak meluangkan waktu dan senantiasa memberikan arahan dan saran dalam penyelesaian penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dadi (LIPI Serpong) yang telah membantu selama proses penelitian dengan reaktor dan Bapak Dr Hery Haerudin (Pertamina) yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan memberikan sumbang saran pra penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami (Syamsu Rijal, SHut MSi), ayah (Dr Tri Panji), ibu (alm Dra Nelti Yetti, MS dan Wondo Sutyowaty), serta seluruh keluarga, atas segala dorongan, masukan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kehidupan yang jauh lebih baik.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 1

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

3 METODE

3.1 Penelitian Pendahuluan 5

3.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 Bar 5 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sintesis Bioavtur pada Suhu 300, 400, 450 oC dengan Tekanan 50 bar 5 4.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 bar 7 4.3 Densitas dan Fase Produk pada Suhu Rendah 8 4.4 Komposisi Gugus Fungsi dan Senyawa Volatil 10 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan 16

5.2 Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

(12)

DAFTAR TABEL

2.1 Rangkuman jenis bahan, metode, kondisi proses, serta produk hasil

sintesis bioavtur 4

4.1 Hasil pengamatan deskriptif produk deoksigenasi dan cracking pada suhu 300, 400, dan 450 oC dengan tekanan 50 bar 6 4.2 Hasil pengamatan deskriptif produk fase gas yang telah terkondensasi

dari hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dan tekanan

50 bar 8

4.3 Hasil pengamatan perubahan fase produk hasil deoksigenasi dan

cracking pada suhu rendah 10

DAFTAR GAMBAR

4.1 Pengaruh variasi waktu sampling terhadap densitas produk fase gas yang telah terkondensasi pada sintesis bioavtur 8

4.2 Profil FTIR 11

4.3 Perbandingan kromatogram GC-MS dari produk hasil deoksigenasi

dan cracking 13

4.4 Mass spektra hidrokarbon-hidrokarbon yang terdeteksi pada produk

hasil deoksigenasi dan cracking 14

4.5 Kandungan hidrokarbon bioavtur produk 15

4.6 Kandungan senyawa aromatik dan alkena 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Syarat Mutu Bahan Bakar Pesawat Berdasarkan International Air

Transport Association 18

2 Gambar Reaktor Bioavtur 20

3 Prosedur Analisis Sifat Fisiko Kimia Bioavtur 21

4 Diagram Alir Penelitian 23

5 Sifat Fisiko Kimia Senyawa Hidrokarbon Bioavtur C7-C12 24

6 Nilai % Luas Area Puncak Kromatogram TIC Hidrokarbon Bioavtur,

Alkena, dan Aromatik 25

(13)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelangkaan energi merupakan fenomena global yang menjadi salah satu isu penting permasalahan dunia internasional saat ini. Konsumsi bahan bakar pesawat di dunia diproyeksikan terus meningkat. Konsumsi bahan bakar pesawat tahun 2007 yang hanya 2 270 000 barrel diproyeksikan menjadi sekitar 5 283 000 barrel pada tahun 2026 (Ditjen Migas 2012). Menurut Ditjen Migas, konsumsi avtur Indonesia pada tahun 2011 mencapai 20 900 barrel, sedangkan produksinya hanya 18 200 barrel. Peningkatan konsumsi avtur ini mendorong upaya pencarian bahan bakar pesawat alternatif sebagai pengganti suplai energi berbasis minyak bumi. Indonesia memiliki sumber bahan baku avtur yang berasal dari bahan terbarukan yaitu minyak sawit rafinasi (Refined Palm Oil /RPO), yang berasal dari minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) melalui proses degumming untuk menghilangkan gum dan destilasi untuk menghilangkan asam lemak bebas. Selain karena harganya yang murah, ketersediaan CPO di Indonesia sangat melimpah. Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia dengan luas lahan lebih kurang 8.4 juta Ha dan dengan produksi CPO mencapai lebih kurang 26.8 juta ton pada tahun 2011. Saat ini sebanyak 50.5% produksi minyak sawit diekspor dalam bentuk CPO, sedangkan hanya 49.5% yang diolah di dalam negeri (Ditjen Migas 2012).

Bioavtur merupakan produk bahan bakar pesawat serupa avtur (aviation turbine) yakni hidrokarbon dengan komposisi utama C7-C12 (Seames dan Aulich

2008) yang dihasilkan oleh serangkaian proses konversi minyak nabati. Menurut Syahrir (2009), pembuatan bahan bakar yang dihasilkan dari minyak sawit ini telah diteliti dan hasilnya lebih ramah lingkungan karena mengurangi potensi pencemaran yang terjadi pada saat pembakaran yakni bebas nitrogen dan sulfur.

Penggunaan bioavtur memiliki keuntungan dari sisi kesesuaian dengan regulasi tentang pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 5% yang dicanangkan oleh Uni Eropa. Upaya penurunan gas rumah kaca dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, mencampurkan bioavtur ke avtur sebagai bahan bakar pesawat jet komersial. Kedua, mengganti pesawat yang terbang melewati kawasan Eropa dengan pesawat tipe tertentu yang menghasilkan emisi rendah. Bahkan beberapa tahun ke depan, pesawat yang masuk ke negara Uni Eropa disyaratkan menggunakan bahan bakar bioavtur. Berbagai alasan tersebut mendorong untuk terus dilakukannya pengembangan bahan bakar alternatif untuk pesawat terbang baik pesawat terbang komersil maupun pesawat militer.

Kajian konversi RPO menghasilkan bioavtur dengan menggunakan reaksi deoksigenasi dan cracking menjadi kajian utama yang meliputi penentuan kondisi operasi yang dapat menghasilkan produk dengan reaksi deoksigenasi dan cracking terbaik.

1.2 Perumusan Masalah

(14)

2

1. Apakah variasi suhu dan lama reaksi deoksigenasi dan cracking RPO berpengaruh pada sintesis bioavtur?

2. Berapa suhu dan lama reaksi yang menghasilkan reaksi deoksigenasi dan cracking terbaik?

3. Apakah produk yang dihasilkan sudah memenuhi sifat setara avtur? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh suhu dan lama reaksi deoksigenasi dan cracking RPO pada proses sintesis bioavtur menggunakan katalis NiMo sehingga menghasilkan senyawa hidrokarbon yang memiliki spesifikasi yang sesuai dengan spesifikasi bahan bakar pesawat.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

a. Bahan baku minyak sawit yang digunakan adalah RPO.

b. Reaksi deoksigenasi dan cracking menggunakan reaktor bioavtur berpengaduk magnetic kapasitas 150 cc, dengan bahan stanless steel 316, tekanan maksimum 80 bar, suhu maksimum 500 oC.

c. Reaksi deoksigenasi dan cracking dilakukan pada variasi waktu sampling dan suhu (300, 400 dan 450 oC) dan tekanan tetap 50 bar.

d. Karakterisasi bioavtur dengan analisis komponen volatil menggunakan alat Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GC-MS) dan analisis gugus fungsi menggunakan alat Fourier Transform Infra Red (FTIR), serta pengamatan densitas dan perubahan fasa pada suhu rendah (sampai -55

o

C).

2

TINJAUAN PUSTAKA

Upaya mengatasi kelangkaan bahan bakar alternatif bagi pesawat terbang dilakukan dengan berbagai upaya pengembangan sumber energi baru melalui riset bahan bakar maupun energi terbarukan (renewable). Penelitian tentang teknologi proses sintesis bioavtur telah dilakukan oleh Seames dan Aulich (2008) menggunakan bahan baku minyak kedelai dan minyak canola. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh McCall et al. (2009) menggunakan bahan baku minyak kedelai rafinasi (Refined Bleached Deodorized/RBD) dan Bradin (2011) dengan bahan baku minyak kedelai mentah, minyak kedelai murni, minyak jagung, minyak rapseed, serta minyak biji kapas.

RPO mengandung asam lemak dengan komposisi utama C16 (palmitat) dan

C18 (stearat, oleat, dan linoleat). Menurut Wijanarko et al. (2006), kandungan

(15)

3 hidrokarbon dengan suhu dan tekanan tinggi untuk memotong rantai karbon hingga sesuai dengan rantai karbon bioavtur (berkisar antara C7 hingga C12).

Proses sintesis bioavtur dimulai dengan proses deoksigenasi yang diikuti dengan proses cracking menggunakan katalis untuk cracking minyak sawit. Beberapa katalis yang dapat digunakan untuk cracking minyak sawit adalah NiMo dan H-ZSM5. Nasikin et al. (2009) menyatakan bahwa katalis yang biasa digunakan untuk cracking minyak sawit pada reaktor batch adalah katalis NiMo, sedangkan katalis H-ZSM5 digunakan pada proses catalytic cracking minyak sawit pada reaktor fixed batch (Twaiq et al. 1999; 2004). Katalis NiMo yang digunakan pada penelitian ini merupakan katalis hasil penelitian Pertamina Research and Development yang telah dipreparasi untuk proses sintesis bioavtur.

Deoksigenasi merupakan proses mengurangi jumlah oksigen yang terkandung dalam RPO. Proses ini membutuhkan hidrogen. Reaksi dimulai dengan terjadinya hidrogenasi trigliserida yang mengandung asam lemak tak jenuh menghasilkan trigliserida yang semua asam lemaknya jenuh. Hidrogenasi berikutnya akan memecah ester (gliserida) tersebut menjadi asam lemak dan hidrokarbon propana. Reaksi deokasigenasi diakhiri dengan reaksi dekarboksilasi asam lemak menjadi hidrokarbon yang berkesesuaian (hidrokarbon rantai panjang) dan karbon dioksida (Boyas et al. 2012).

Cracking merupakan reaksi pemecahan senyawa hidrokarbon yang memiliki molekul besar menjadi molekul-molekul yang lebih kecil pada suhu tinggi (melebihi 350-400 oC) dengan atau tanpa bantuan katalis. Proses cracking terdiri dari tiga macam, yaitu: thermal cracking atau pirolisis, catalytic cracking, dan hydrocracking. Thermal cracking terjadi pada suhu lebih dari 1000 K. Catalytic cracking terjadi pada suhu 200-600oC dan tekanan 1 atm di berbagai reaktor (tubular, plug flow, mixed bed, dan fluidzed bed) dengan bantuan katalis yang langsung kontak dengan reaktan. Hydrocracking merupakan proses mengubah umpan berupa minyak berat menjadi produk-produk minyak yang lebih ringan dengan kehadiran hidrogen dan bantuan katalis, menggunakan tekanan tinggi dan suhu tinggi (Savitri 2013).

Deoksigenasi dan cracking terjadi pada reaktor yang sama secara hampir bersamaan. Kondisi proses sintesis bioavtur yang dilakukan mengacu kepada riset dari berbagai referensi (Tabel 2.1). Pada umumnya, cracking akan lebih cepat pada kondisi suhu yang lebih tinggi. Namun suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan laju cracking tidak terkendali sehingga menghasilkan hidrokarbon dengan rantai yang terlalu pendek.

(16)

4

Bahan bakar pesawat haruslah memenuhi spesifikasi Internasional yang sangat ketat karena akan digunakan oleh maskapai penerbangan dengan tuntutan tingkat kemanan yang sangat tinggi. National Aeronautics and Space Administration menyatakan bahwa bioavtur harus memenuhi standar minimal bahan bakar pesawat, tidak merusak lingkungan, serta bahan baku yang digunakan tidak berasal dari bahan pangan.

Setiap negara memiliki standar avtur yang berbeda-beda. Namun dalam spefikasi, setiap standar sudah memiliki ketentuan yang berdasarkan pada International Air Transport Association (Lampiran 1). Parameter yang terdapat dalam standar avtur diantaranya composition, volatility, fluidity, combustion, corrosion, thermal stability, contaminant dan lain-lain (Milton 2005).

Tabel 2.1 Rangkuman jenis bahan, metode, dan kondisi proses sintesis bioavtur

No Sumber Bahan Metode Kondisi 1. Seames dan

Aulich (2008)

Minyak Canola, minyak kedelai

Thermal dan

catalytic cracking

Suhu 100-600

o

C, tekanan 207 bar, waktu tinggal 3 jam

2. Bradin (2011)

Minyak kedelai mentah, minyak kedelai rafinasi, minyak jagung, minyak rapeseed, minyak biji kapas

Thermal dan

hydro-cracking

menggunakan katalis

Suhu melalui 2 tahapan. Tahapan pertama antara 150-250 oC, sedangkan tahapan kedua antara 400-600

o

C 3. McCall et

al. (2009)

RBD minyak kedelai Deoksi- genasi tekanan rendah dan selective cracking Tekanan 34.5 bar. Suhu 288-345 oC

4. Mercader (2010)

Minyak rapeseed

dan minyak biji bunga matahari High pressure thermal treatment (HPTT), hydro-deoxygenation Suhu 230-340 o

(17)

5

3

METODE

3.1 Sintesis Bioavtur pada Suhu 300, 400 dan 450 oC dengan Tekanan 50 bar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan suhu terbaik sintesis bioavtur yang disesuaikan dengan spesifikasi aman reaktor. Variasi suhu yang digunakan ialah 300, 400, dan 450 oC dengan tekanan tetap 50 bar. RPO sebanyak 100 ml dipanaskan di dalam reaktor bioavtur berpengaduk dengan kapasitas 150 ml. Gambar reaktor bioavtur dapat dilihat pada Lampiran 2. Katalis NiMo yang digunakan setiap batch proses sebanyak 1% dari massa RPO. Reaktor kemudian ditutup dan gas hidrogen dilewatkan dengan pengaturan tekanan awal 25 bar. Secara bertahap, suhu dinaikkan hingga mencapai suhu yang diinginkan. Setelah tekanan mencapai 50 bar dan suhu mencapai nilai yang diinginkan, sampling dilakukan pada keran sampling gas yang dihubungkan dengan kondensor dan keran sampling cairan. Pengambilan sampel dilaksanakan setiap satu jam selama lima jam proses. Produk yang dihasilkan kemudian diamati dan dilakukan pengujian terhadap penyimpanan suhu rendah (sampai -15 oC). Metode pengujian terhadap penyimpanan suhu rendah dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 bar

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan maka diperoleh suhu terbaik untuk sintesis bioavtur, yakni suhu 450 0C dengan sampel gas yang telah terkondensasi menjadi cairan. Uji lanjut dilakukan pada kondisi suhu terbaik dengan reaksi yang sama yang dilakukan melalui pengambilan sampling setiap 30 menit. Penyampelan ini dilakukan setelah pemanasan awal selama satu jam.

RPO sebanyak 100 ml dipanaskan di dalam reaktor dengan pengaturan suhu, pengadukan, penambahan katalis dan pengaturan gas hidrogen seperti reaksi pada suhu 300 dan 400 oC sebelumnya. Suhu dinaikkan secara bertahap hingga mencapai 450 oC setelah pemanasan selama satu jam dan tekanan telah mencapai 50 bar. Sampling dilakukan hanya pada keran sampling gas yang telah dihubungkan dengan kondensor setiap 30 menit selama 3.5 jam (210 menit). Bioavtur yang dihasilkan pada proses tersebut kemudian diuji lanjut melalui serangkaian pengamatan meliputi densitas, perubahan fase pada suhu rendah (sampai -55 oC) serta analisis GC-MS dan FTIR. Metode analisis dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan diagram alir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sintesis Bioavtur pada Suhu 300, 400 dan 450 oC dengan Tekanan 50 bar

(18)

6

tidak memenuhi spesifikasi utama bioavtur. Uji dan pengamatan pada suhu tersebut hanya menghasilkan produk atau sampling cairan, sedangkan hasil produk atau sampling gas hanya dihasilkan pada hasil sintesis suhu 450 oC dan tekanan 50 bar. Hasil pengamatan deskriptif produk deoksigenasi dan cracking pada suhu 300, 400 dan 450 oC dengan tekanan 50 bar dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan bahwa hanya produk hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dapat menghasilkan produk yang tetap berfase cair pada suhu hingga -55 oC dan memiliki densitas setara avtur. Produk tersebut dihasilkan dari sampling gas. Dari hasil pengamatan produk dapat disimpulkan bahwa senyawa hidrokarbon avtur telah dihasilkan pada produk hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dan tekanan 50 bar dari hasil sampling gas.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa variasi perlakukan ketiga suhu yang berbeda menghasilkan variasi sampel yang berbeda. Sampel yang dihasilkan berupa cairan dan gas hanya ditemukan pada suhu 450 0C sedangkan pada suhu lainnya hanya menghasilkan sampel berupa cairan saja. Pengamatan lanjutan berdasarkan kategori warna dan fase juga menunjukkan beberapa perbedaan pada percobaan perlakuan suhu yang semakin tinggi (300 hingga 450 0C). Jika dilihat dari hasil yang ditunjukkan maka dapat dideskripsikan bahwa upaya peningkatan perlakuan suhu pada sampel bahan dari suhu rendah (300 0C) ke suhu tinggi (450

0

C) mengakibatkan perubahan warna yang semakin gelap (hitam) serta bentuk Tabel 4.1 Hasil pengamatan deskriptif produk deoksigenasi dan cracking pada

suhu 300, 400, dan 450 oC dengan tekanan 50 bar Perlakuan

Suhu (oC)

Sampling Sampel

Warna Sampel Bentuk Sampel

300

Cairan Hijau

kekuningan

Semua produk padat pada suhu ruang, seperti lilin

Gas - -

400

Cairan Hitam Semua produk kental

sampai padat pada suhu ruang

Gas - -

450

Cairan Hitam Semua produk cair pada suhu ruang Gas Putih bening

hingga merah seperti iodin

(19)

7 Hasil yang lain yang ditunjukkan dari Tabel 4.1 bahwa hanya pada suhu 450

0

C yang menghasilkan gas yang kemudian ditampung dalam wadah melalui teknik kondensasi gas melalui sistem buka tutup keran gas pada reaktor. Sampel gas yang telah berbentuk cair karena proses kondensasi memiliki variasi warna putih bening hingga merah. Selain itu, fase cair dapat dipertahankan hingga suhu -55

o

C.

Perbedaan fase dan warna pada produk disebabkan terjadinya reaksi deoksigenasi yang dilanjutkan dengan reaksi cracking. Produk dengan perlakuan suhu 300 dan 400 oC berbentuk padat pada suhu ruang karena adanya proses hidrogenasi trigliserida dan dekarboksilasi asam lemak menjadi hidrokarbon jenuh rantai panjang. Namun proses cracking yang menghasilkan hidrokarbon rantai pendek baru terjadi pada proses sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC. Hal ini dapat dilihat dari bentuk produk yang tetap berbentuk cair pada suhu ruang, bahkan produk dari hasil sampling gas tetap berbentuk cair hingga suhu -55 oC. Dari hasil penelitian pendahuluan ini dapat disimpulkan bahwa proses deoksigenasi dan cracking telah berlangsung baik pada perlakuan suhu 450 oC dan penyamplingan yang dilakukan pada sampling gas.

Justifikasi ini diperkuat melalui analisis FTIR dimana pada profil FTIR RPO terlihat bahwa adanya puncak yang tajam pada bilangan gelombang pada gugus karbonil. Puncak tersebut terlihat semakin mengecil pada profil FTIR produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC yang menandakan bahwa proses deoksigenasi mulai terjadi pada kondisi suhu 450 oC. Pada kromatogram GC-MS produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450

o

C juga menunjukkan bahwa hidrokarbon C7-C12 telah terdeteksi yang

menandakan bahwa proses cracking telah terjadi.

4.2 Sintesis Bioavtur pada Suhu 450 oC dan Tekanan 50 bar

Sesuai hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan pada tiga kondisi suhu berbeda, diketahui bahwa produk deoksigenasi dan cracking telah berlangsung baik pada saat penyamplingan gas. Senyawa hidrokarbon ini dihasilkan hanya pada suhu 450 oC dengan tekanan 50 bar, sehingga penelitian lanjutan hanya dilakukan pada suhu 450 oC dengan tekanan 50 bar. Pada proses ini, sampling dilakukan setiap setengah jam (30 menit) setelah pemanasan awal selama 1 jam (60 menit). Hasil pengamatan deskriptif produk hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dan tekanan 50 bar dapat dilihat pada Tabel 4.2.

(20)

8

Sesuai dengan pengamatan deskriptif produk dapat disimpulkan bahwa reaksi cracking yang menghasilkan hidrokarbon rantai pendek telah terjadi. Hal ini ditandai dengan fase produk yang berbentuk cair. Justifikasi ini diperkuat melalui analisis FTIR dimana pada profil FTIR produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC terlihat bahwa puncak pada bilangan gelombang untuk gugus karbonil mulai mengecil yang menandakan proses deoksigenasi mulai terjadi. Hasil analisis GC-MS produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC turut memperkuat justifikasi ini. Dari kromatogram GC-MS terlihat bahwa produk hasil sintesis bioavtur dengan perlakuan suhu 450 oC telah menghasilkan hidrokarbon dengan komposisi utama C7-C12 yang

menandakan proses cracking telah terjadi. Produk-produk tersebut kemudian dilakukan uji lanjut untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama reaksi deoksigenasi dan cracking.

4.3 Densitas dan Fase Produk pada Suhu Rendah

Menurut UOP (Holmgren 2008), densitas yang sesuai dengan spesifikasi bahan bakar pesawat JP-8 berkisar antara 0.775-0.840 g/cm3. Hasil uji densitas produk yang sesuai dengan standar bahan bakar pesawat adalah sampel dengan lama proses sintesis 1.5 jam, 2 jam, 2.5 jam dan 3 jam. Pengaruh lama proses terhadap hasil uji densitas dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Pengaruh variasi waktu sampling terhadap densitas produk fase gas 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1

0 1 1.5 2 2.5 3 3.5

D e si tas p ad a 15 oC (g/c m 3)

Waktu Sampling (Jam)

Tabel 4.2 Hasil pengamatan deskriptif produk fase gas yang telah terkondensasi dari hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu 450 oC dan tekanan 50 bar

Waktu Sampling (Jam)

Warna Sampel Bentuk Sampel

1.5 Fase bawah bening,

fase atas kuning

Cair, terdapat dua fase

2 Cokelat tua Cair

2.5 Merah seperti iodine Cair

3 Cokelat kemerahan Cair

(21)

9

Gambar 4.1 yang menunjukkan bahwa densitas bioavtur yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan densitas RPO (waktu sampling jam ke-0). Proses deoksigenasi dan cracking menyebabkan penurunan densitas produk melalui mekanisme pemotongan hidrokarbon rantai panjang. Namun, pengaruh waktu proses sintesis bioavtur terhadap densitas menunjukkan bahwa waktu tidak banyak memberikan pengaruh perubahan terhadap densitas. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1 yakni perubahan densitas cenderung konstan pada nilai 0.75 hingga 0.85 g/cm3. Waktu pengambilan sampel yang semakin lama menunjukkan pengaruh terhadap densitas yang meningkat secara perlahan dan cenderung stabil pada nilai densitas 0.8 g/cm3. Nilai densitas tersebut kemungkinan terjadi karena adanya reaksi siklisasi pada rantai hidrokarbon. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis FTIR yang menunjukkan bahwa munculnya puncak pada bilangan gelombang 623.76-937.05 cm-1. Puncak tersebut terlihat makin tajam pada produk hasil sintesis bioavtur pada waktu sampling 3 dan 3.5 jam (Gambar 4.2 E dan F).

Tantangan utama dalam penggunaan CPO sebagai bahan bakar jet komersial adalah kecenderungannya untuk membeku pada suhu rendah saat penerbangan dan stabilitas penyimpanan biofuel (Dagget et al. 2007), sehingga diperlukan pengamatan perubahan fase produk pada penyimpanan suhu rendah. Pengamatan produk pada suhu rendah dilakukan dengan penyimpanan dalam dua kondisi suhu yaitu -15 dan -55 oC, untuk mengetahui pengaruh lama reaksi proses sintesis bioavtur terhadap perubahan fase produk pada suhu rendah. Hasil pengamatan ini dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pengaruh suhu yang diuji dengan waktu pengujian memperlihatkan hasil yang menarik yang kemudian dapat disesuaikan dengan nilai spesifikasi avtur. Freezing point yang sesuai dengan spesifikasi bahan bakar pesawat JP-8 menurut UOP (Holmgren 2008) adalah -47 oC. Jika sampel telah membeku pada suhu di atas -47 oC maka sampel tersebut tidak memenuhi spesifikasi bahan bakar pesawat JP-8. Menurut data hasil pengamatan perubahan fase produk hasil sintesis bioavtur saat pengujian suhu rendah, hanya produk yang dihasilkan pada proses sintesis 3 dan 3.5 jam yang tidak mengalami perubahan fase pada suhu -15 dan -55 oC. Hasil sintesis pada kedua waktu sampling ini menunjukkan bahwa bioavtur yang dihasilkan telah layak atau memenuhi kriteria dan spesifikasi avtur. Dari hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa produk dengan waktu sampling 3 dan 3.5 jam telah mengalami proses cracking yang menghasilkan hidrokarbon rantai pendek yang sesuai dengan hidrokarbon avtur. Kesimpulan ini didukung dengan hasil analisis GC-MS yang menunjukkan bahwa hidrokarbon rantai pendek yang sesuai dengan hidrokarbon avtur (C7-C12) telah terdeteksi yang menunjukkan bahwa proses

(22)

10

Titik beku produk bioavtur dipengaruhi oleh sifat fisiko kimia hidrokabon penyusunnya. Hidrokarbon penyusun bioavtur memiliki titik beku yang cukup rendah, sehingga produk bioavtur tidak membeku pada suhu rendah. Titik beku hidrokarbon penyusun bioavtur terendah dimiliki oleh senyawa heptana (C7) yaitu

-90.56 oC, sedangkan yang tertinggi adalah dodekana (C12) yaitu -9.6 oC (Aurora

2006). Bioavtur yang dihasilkan pada suhu proses 450 oC dan tekanan 50 bar merupakan hidrokarbon yang memiliki komposisi utama C7 hingga C12 sehingga

masih berbentuk cair pada suhu -55 oC. Sifat fisiko kimia hidrokarbon penyusun produk bioavtur dapat dilihat pada Lampiran 5.

4.4 Komposisi Gugus Fungsi dan Senyawa Volatil

Perubahan struktur pada RPO sebelum dan sesudah mengalami deoksigenasi dan cracking dapat dianalisis menggunakan FTIR. Metode ini digunakan untuk melihat perubahan gugus-gugus fungsi dari senyawa kimia selama reaksi berlangsung. Spektrum RPO dan produk hasil deoksigenasi dan cracking dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Pada spektrum RPO terdapat puncak tajam pada bilangan gelombang 1743.31 cm-1, sedangkan pada spektrum produk hasil deoksigenasi dan cracking dengan lama proses sintesis 1.5, 2, 2.5, 3 dan 3.5 jam terjadi sedikit pergeseran (pada bilangan gelombang 1711.93-1713.48 cm-1) dan bentuk puncak semakin mengecil. Menurut Williams dan Fleming (1973), wilayah bilangan gelombang 1500-1800 cm-1 menunjukkan gugus ikatan rangkap, baik C=C, C=O, C=N, maupun N=O. Minyak sawit tidak mengandung C=N maupun N=O, sehingga puncak pada daerah bilangan gelombang itu hanya mungkin berasal dari vibrasi C=C dan C=O.

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa semakin lama proses deoksigenasi dan cracking berlangsung, bertambah pula jumlah gugus ikatan tunggal pada produk. Hal ini dapat dilihat dari munculnya puncak pada bilangan gelombang 2955.27-2956.72 cm-1. Bilangan gelombang 2852,43-2956,72 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi ikatan tunggal CH3-CH2- yang dihasilkan dari reaksi hidrogenasi.

Reaksi hidrogenasi dapat mengubah trigliserida yang mengandung asam lemak tak jenuh menjadi trigliserida yang semua asam lemaknya jenuh.

Tabel 4.3 Hasil pengamatan perubahan fase produk hasil deoksigenasi dan cracking pada suhu rendah.

Suhu Perlakuan (oC)

Waktu Sampling (Jam)

1.5 2 2.5 3 3.5 -15 cair cair cair cair cair

(23)

11

A

B

C

D

E

F

Gambar 4.2 Profil FTIR ARPO, Produk dengan lama proses sintesis B1.5 jam, C2 jam, D2.5 jam, E3 jam dan F 3.5 jam.

Bilangan gelombang 1711.93-1743.31 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi karbonil dan asam lemak. Gugus fungsi C=O ini terlihat sangat tinggi pada RPO, namun dengan perlakuan proses deoksigenasi dan cracking semakin lama, kandungan grup karbonil pada produk menjadi semakin rendah. Gambar 4.2 menunjukkan bahwa bentuk puncak spektrum produk pada bilangan gelombang

2 9 0 0

1 7 0 0

1 4 0 0

1 1 0 0

(24)

12

1711.93-1713.48 cm-1 semakin mengecil. Hal ini menandakan bahwa semakin lama proses deoksigenasi dan cracking, gugus C=O dan C=C yang terkandung pada produk semakin kecil dan bereaksi atau terlepas menjadi ikatan tunggal C-C dan C-O sebagai akibat reaksi deoksigenasi.

Gugus fungsi C-O juga dapat dilihat pada bilangan gelombang 1116.29-1286.05 cm-1 . Puncak tajam pada bilangan gelombang 1116.29 cm-1 terlihat pada spektrum RPO. Puncak tersebut hampir tidak terlihat pada spektrum produk, bahkan sama sekali tidak muncul pada spektrum produk hasil sintesis bioavtur pada lama proses 3 dan 3.5 jam (Gambar 4.2 E dan F). Hal ini menandakan reaksi deoksigenasi pada produk telah terjadi. Bentuk puncak pada panjang gelombang tersebut juga menunjukkan tahapan proses deoksigenasi.

Reaksi ini merupakan tahapan akhir proses deoksigenasi yang dinamakan reaksi dekarboksilasi. Reaksi tersebut dapat mengubah asam lemak menjadi hidrokarbon rantai panjang dan karbon dioksida. Bentuk puncak terlihat makin tajam dari bilangan gelombang 1376.94-1464.86 cm-1 pada spektrum produk hasil sintesis bioavtur pada lama proses 3 dan 3.5 jam (Gambar 4.2 E dan F) yang menandakan gugus fungsi alkana yang terbentuk semakin banyak.

Puncak pada Gambar 4.2 B, C, dan D menunjukkan bahwa proses hidrogenasi telah terjadi, namun proses dekarboksilasi belum berlangsung sempurna. Puncak pada Gambar 4.2 E dan F menunjukkan bahwa proses hidrogenasi dan dekarboksilasi telah berlangsung dengan baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa reaksi deoksigenasi telah berlangsung sempurna pada hasil sintesis bioavtur pada lama proses 3 dan 3.5 jam, ditandai dengan tidak adanya puncak pada area tersebut. Bilangan gelombang 623.76-937.05 cm-1 dengan puncak yang cukup tajam menunjukkan gugus fungsi alkena dan gugus fungsi aromatik. Menurut Srivastava (2007), bilangan gelombang tersebut menunjukkan proton (H) streching untuk gugus –CH3 pada senyawa aromatik. Untuk

mengetahui senyawa yang terjadi pada proses cracking, maka senyawa yang terbentuk pada semua lapisan dianalisis dengan alat GC-MS.

Berdasarkan data GC-MS dapat dipilih fraksi yang memiliki jumlah rantai karbon setara dengan rantai karbon avtur. Data GC-MS menunjukkan bahwa reaksi deoksigenasi dan cracking menghasilkan banyak senyawa, terlihat dari banyaknya puncak TIC (Total Ion Current) (Gambar 4.3). Hidrokarbon yang terdeteksi antara lain adalah nonana (C9), dekana (C10), dan undekana (C11).

Gambar 4.3 menunjukkan kromatogram GC-MS dari produk hasil deoksigenasi dan cracking.

Hasil analisis GC-MS tersebut menunjukkan pula bahwa terdapat kemiripan komposisi kimia antara bahan bakar pesawat JP-8 (Seames dan Aulich 2008) dengan produk. Avtur JP-8 dan produk sama-sama memiliki alkana C9 (nonana),

C10 (dekana), dan C11 (undekana) dengan komposisi yang cukup tinggi dan

didominasi dengan alkana C7-C12. Namun komposisi produk hasil deoksigenasi

dan cracking RPO ini mengandung senyawa-senyawa lain, sedangkan komposisi Avtur JP-8 terdiri dari alkana C7-C16. Pada kromatogram GC-MS, nonana muncul

(25)

13

Gambar 4.3 Perbandingan kromatogram GC-MS dari produk hasil deoksigenasi dan cracking dengan lama proses A1.5 jam, B2 jam, C2.5 Jam, D3 jam. E3.5 jam.

Hasil mass spektra pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa produk memiliki gugus fungsi hidrokarbon (CH3). Panji (2012) mengemukakan bahwa jenis gugus

fungsi dapat dikenali dari tipe ion paling sederhana yang dihasilkan pada fragmentasi.

(26)

14

85.1 43.1 57.1 71.1

Gambar 4.4 Mass spektra hidrokarbon-hidrokarbon yang terdeteksi pada produk hasil deoksigenasi dan cracking: ANonana, BDekana, CUndekana. Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa seri ion yang dihasilkan sesuai dengan seri ion gugus fungsi hidrokarbon. Molekul dengan ion molekul 156.2 dan pola 43.1, 57.1,71.1, 85.1 dan seterusnya merupakan hidrokarbon undekana (Gambar 4.4 C). Molekul dengan ion molekul 142.2 dan dengan pola fragmentasi 43.1, 57.1, 71.1, 85.1 dan seterusnya yang merupakan hidrokarbon dekana (Gambar 4.4 B). Molekul dengan ion molekul 128.2 dan pola fragmentasi 43.1, 57.1, 71.1, 85.1 dan seterusnya merupakan hidrokarbon nonana (Gambar 4.4 A).

Gugus fungsi hidrokarbon avtur telah muncul mulai dari produk hasil deoksigenasi dan cracking dengan lama proses 1.5 jam. Gambar 4.5 menunjukkan kandungan hidrokarbon bioavtur yang terdapat pada produk dengan pendekatan % luas area puncak pada kromatogram TIC.

Pendekatan % luas area puncak pada kromatogram TIC digunakan untuk mengetahui kandungan hidrokarbon avtur pada produk hasil deoksigenasi dan cracking. Hal ini dilakukan karena GC-MS yang digunakan tidak memiliki kromatogram standar untuk bioavtur.

Teori Effective Carbon Respon (ECR) menyatakan bahwa respon puncak pada kromatogram GC tergantung dari jumlah karbon dan gugus fungsi suatu senyawa. Namun, dengan membandingkan % luas area puncak hidrokarbon bioavtur dapat diketahui kondisi reaksi yang menghasilkan hidrokarbon bioavtur tertinggi. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa semakin lama sampling dilakukan, kandungan hidrokarbon bioavtur C-C semakin menurun.

128.2

142.2

(27)

15

Gambar 4.5. Kandungan hidrokarbon bioavtur produk hasil deoksigenasi dan cracking dengan pendekatan % luas area puncak kromatogram TIC ( ) C7-C12 dan ( )C9-C11 terhadap variasi waktu sampling

Hasil ini berbeda dengan kandungan hidrokarbon bioavtur C9-C11 yang

cenderung sama pada variasi waktu sampling. Kandungan hidrokarbon ini seharusnya semakin meningkat sejalan dengan lamanya proses deoksigenasi dan cracking. Penurunan kandungan hidrokarbon bioavtur disebabkan oleh banyaknya hidrokarbon avtur yang menguap menjadi gas, mengingat bobot molekul hidrokarbon bioavtur lebih rendah dibandingkan senyawa lainnya pada produk. Nilai % luas area puncak kromatogram TIC hidrokarbon bioavtur dapat dilihat pada Lampiran 6.

Pendekatan % luas area puncak pada kromatogram TIC juga dapat digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa aromatik dan alkena yang terdapat pada produk (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Kandungan senyawa aromatik dan alkena pada produk hasil deoksigenasi dan cracking dengan pendekatan % luas area puncak kromatogram TIC terhadap variasi waktu sampling

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

1.5 2 2.5 3 3.5

%

Lu

as Ar

e

a

Waktu Sampling (Jam)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

1.5 2 2.5 3 3.5

%

Lu

as Ar

e

a

(28)

16

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa kandungan senyawa aromatik dan alkena produk semakin meningkat sejalan dengan lamanya waktu sampling. Hal ini sesuai dengan hasil analisis FTIR (Gambar 4.2) yang menunjukkan puncak yang semakin tajam akibat perbedaan variasi waktu sampling pada bilangan gelombang untuk gugus fungsi aromatik dan alkena.

Nilai % luas area puncak kromatogram TIC senyawa alkena dan aromatik dapat dilihat pada Lampiran 6. Senyawa-senyawa aromatik dan alkena yang terdapat pada produk dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari hasil analisis FTIR dan GCMS tersebut dapat disimpulkan bahwa proses deoksigenasi dan cracking terbaik terdapat pada produk hasil sintesis pada lama reaksi tiga jam.

5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi deoksigenasi dan cracking terbaik adalah pada suhu 450 oC pada tekanan 50 bar selama tiga jam dengan pertimbangan memiliki kriteria deoksigenasi sempurna, menghasilkan produk dari sampel gas yang memiliki sifat setara avtur, yaitu memiliki densitas 0.8105 g/cm3, tetap berbentuk cair pada suhu rendah hingga -55 oC, dan memiliki komposisi hidrokarbon C7-C12.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji kinerja produk pada hasil deoksigenasi dan cracking terbaik (suhu 450 oC, tekanan 50 bar, proses selama 3 jam) yang sesuai dengan metode analisis kerja bahan bakar pesawat.

DAFTAR PUSTAKA

Aurora A. 2006. Hydrocarbons (Alkanes, Alkenes, and Alkynes). New Delhi (IN): Discovery Publishing House.

Boyas RS, Zarraga FT, Loyo FJH. 2012. Hydroconvertion of Triglycerides into Green Liquid Fuels. In tech 8: 187-216.

Bradin, D. 2011. Process for Producing a Renewable Fuel in the Gasoline or Avtur Range. United States Patent No. US 7928 273 B2.

Dagget DL, Hendricks RC, Walther R, Corporan E. 2007. Alternate Fuels for Use in Commercial Aircraft. Boeing Commercial Airplane, Seattle.

(29)

17 McCall MJ, Marker TL, Marinangeli RE, Kocal JA.. 2009. Production of Aviation Fuel from Biorenewable Feedstocks. US Patent Application Publication No. US 2009/0162264 A1.

Milton B. 2005. World Jet Fuel Specifications with Avgas Supplement. UK: Technical Department Leatherhead.

Nasikin M, Susanto BH, Hirsaman MA, Wijanarko A. 2009. Biogasoline from Palm Oil by Simultaneous Cracking and Hydrogenation Reaction over NiMo/Zeolite Catalyst. World Applied Sci J 5: 74-79.

Panji T. 2012. Teknik Spektroskopi untuk Elusidasi Struktur Molekul. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.

Savitri. 2013. Pembuatan Cumene (Isopropil Benzena) dari Minyak Gondorukem (Rosin Oil) Melalui Reaksi Perengkahan dan Dehidrogenasi Menggunakan Katalis HZSM-5 Termodifikasi. [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Surfactant and Bioenergy Research Center. 2013. SOP for Densitymeter Anton

Paar DMA 4500m. Bogor (ID): SBRC.

Seames WA and Aulich T. 2008. Method for Cold Stable Biojet Fuel. US Patent Application Publication No. US 2008/0092436 A1.

Srivastava A dan Singh VB. 2007. Theoritical and Experimental Studies of Vibrational Spectra of Naphtalene an its Cation. Indian J Pure & Appl Phys 45: 714-720.

Syahrir I. 2009. Proses Perengkahan Asam Oleat Basis Minyak Sawit Menjadi Fraksi Gasoline dengan Katalis HZSM-5. J Teknik Kim 3 (2): 227-233. Twaiq FA, Noor A, dan Subhash B. 2004. Performance of Composite Catalysts in

Palm Oil Cracking for the Production of Liquid Fuels and Chemicals. J Fuel Processing Technol 85: 1283-1300.

Twaiq FA, Noor A, dan Subhash B. 1999. Catalytic Covertion of Palm Oil to Hydrocarbon: Performance of Various Zeolite Catalysts. J Ind Eng Chem Res 38: 3230-3237.

Wijanarko A, Mawardi DA, Nasikin M. 2006. Produksi Biogasoline dari Minyak Sawit Melalui Reaksi Perengkahan Katalitik dengan Katalis γ-alumina. Makara Teknol 10 (2): 51-60.

(30)

18

Lampiran 1. Syarat Mutu Bahan Bakar Pesawat Berdasarkan International Air Transport Association

Issuing Agency: Specification: Latest Revision date Grade Designation:

IATA Guidance Material (5th Edition) January 2004 Jet A

Kerosine

Jet A-1 Kerosine

Test Method ASTM

IP

COMPOSITION

Appearance C & B (1) C & B (1)

C & B (1) C & B (1)

Acidity, Total (mg KOH/g) M ax.

0.10 0.015 D3242 354

Aromatics (vol %) M

ax.

25 25.0 D1319 156

or Total Aromatics (vol %) M ax

. --- 26.5 436

Sulphur, Total (wt %) M

ax

0.30 0.30 D1266,

D1552, D2622, D4294, D5453 107, 243, 336, 373

Sulphur, Mercaptan (wt %) M ax.

0.003 0.0030 D3227 342

or Doctor Test Negative Negative D4952 30

H/P Components (vol%) Report

Severely H/P Components (vol%) (2)

Report

VOLATILITY

Distillation Temperature: D86 123

Initial BP (°C) --- Report

10% Recovery (°C) M

ax.

205 205.0

50% Recovery (°C) M

ax.

Report Report

90% Recovery (°C) M

ax.

Report Report

Final BP (°C) M

ax.

300 300.0

Distillation Residue (vol %) M ax.

1.5 1.5

Distillation Loss (vol %) M ax.

1.5 1.5

Flash Point (°C) M

in.

38 38.0 D56, D3828 170,

303

Density @ 15°C (kg/m3) 775-840 775.0-840.0 D1298,

D4052

160, 365 FLUIDITY

Freezing Point (°C) M

ax

-40 -47.0 D2386,

D5972

16

Viscosity @ -20°C (cSt) M

ax.

8.0 8.000 D445 71

COMBUSTION

Net Heat of Comb. (MJ/kg) M in.

42. 8 42. 80 D3338,

D4529, D4809

12, 381, 355

(31)

19 Lampiran 1. Syarat Mutu Bahan Bakar Pesawat Berdasarkan International Air

Transport Association (lanjutan…)

Issuing Agency: Specification: Latest Revision date Grade Designation:

IATA Guidance Material (5th Edition) January 2004 Jet A

Kerosine

Jet A-1 Kerosine

Test Method ASTM

IP

COMBUSTION

or Smoke Point (mm) M

in.

18 19.0 D1322 57

and Naphthalenes (vol %) M

ax.

3.0 3.00 D1840

CORROSION

Copper Strip (2h @ 100°C) M ax.

1 1 D130 154

THERMAL STABILITY

JFTOT ÆP @ 260 ºC(mm Hg) M

ax.

25 25 D3241 323

Tube Deposit Rating (Visual) M ax

. <3 (4) <3 (4)

CONTAMINANTS (5)

Existent Gum (mg/100 mL) M

ax.

7 7 D381 131

Water Reaction Interface M

ax.

1b 1b D1094 289

MSEP Rating (6) D3948

Fuel without SDA M

in.

--- 85

Fuel with SDA M

in.

--- 70

OTHER

Conductivity D2624 274

At Point of Use M

ax.

450

At Time and Temp of 50-450

Custody Transfer

BOCLE wear scar diameter (mm)

M ax.

--- 0.85 D5001

ADDITIVES

Anti-icing (vol %) Agreement Agreement

Antioxidant Option Option (7)

Corrosion Inhibitor Agreement Agreement

Metal Deactivator Option Option

Static Dissipator Option Mandatory

(32)

20

(33)

21 Lampiran 3. Prosedur Analisis Sifat Fisiko Kimia Bioavtur

Prosedur Analisis Sifat Fisiko Kimia Bioavtur: 1. Prosedur Analisis Densitas (SBRC 2013)

Prosedur Analisis untuk pengamatan uji densitas dilakukan dengan menghidupkan UPS terlebih dahulu, sampai berbunyi bip yang panjang. Kemudian alat dihidupkan melalui tombol yang ada dibagian belakang alat dan lakukan Warming up sekitar 15 menit. Metode untuk pengujian densitas dipilih, misalnya : Lubricant, Fuel, Oil, Brix atau yang lain. Kemudian selang pompa disambungkan ke adapter dan pompa diaktifkan. Setelah pompa dimatikan, nilai density udara dipasikan pada suhu 20 °C adalah 0,00120±0.00005 g/cm3. Alat siap untuk digunakan. Sampel diambil sebanyak ± 2 ml menggunakan syringe khusus density meter. Syringe digunakan secara selektif untuk menghindari kontaminasi, dan dipisahkan menjadi 4 buah misalnya untuk air, lubricant, crude oil dan solvent pelarut.

Contoh diinject ke dalam density meter lalu startdi klik untuk memulai pengukuran. Setelah pembacaan contoh valid, density meter akan menunjukkan densitas sampel (g/cm3). Setelah selesai, dilakukan pembersihan density dengan solvent pelarut (misalnya aquades atau acetone). Kemudian dilakukan pembilasan minimal 5 kali dengan syringe pada U-tube, dan bila kurang, dibilas lagi sampai benar-benar bersih. Berikutnya adalah menyambungkan selang pompa ke adapter, lalu pompa aktifkan. Pompa akan berhenti dengan otomatis setelah 10 menit, tetapi pompa dapat dimatikan kapan saja bila diyakini tabung U di dalam density meter sudah bersih dan kering. Alat siap untuk digunakan untuk sampel selanjutnya atau dimatikan.

2. Pengamatan produk pada suhu rendah

(34)

22

3. Prosedur Analisis Analisis FTIR

Prosedur Analisis FTIR dilakukan dengan menggunakan metode LP-PPK yang telah dikembangkan (belum dipublikasi) oleh laboratorium penganalisa (Lap. Karet, Riset Perkebunan Nusantara). Prosedurnya dimulai dengan mengoleskan sampel-sampel pada plat yang telah tersedia pada alat FTIR yang terhubung langsung dengan seperangkat komputer. Radiasi infra merah yang dilewatkan melalui sampel sebagian akan diserap (absorbsi) dan sebagian lagi akan diteruskan (transmisi). Spektrum yang dihasilkan merupakan hasil penyerapan dan transmisi molekul, membuat sidik jari molekul suatu sampel. Dari spektrum FTIR dapat diidentifikasi jejak molekul yang dihubungkan dengan gugus fungsi senyawa tersebut. Hasil pengamatan kemudian ditunjukkan dan dicatat melalui software Komputer yang telah ada. Hasil ini kemudian di print out untuk diuraikan kemudian.

4. Prosedur Analisis GC-MS

Prosedur analisis GC-MS dilakukan dengan metode Solid Phase Micro Extraction (SPME). Sampel dimasukkan ke dalam vial yang tertutup, lalu injector yang dilengkapi microfiber menyerap senyawa volatile yang terkandung di dalam sampel. Ekstraksi dilakukan pada suhu 30oC selama 15 menit dengan fiber carboxen-polydimethylsiloxane (CAR/PDMS).

(35)

23 Lampiran 4. Diagram Alir Penelitian

RPO

DEOKSIGENASI & CRACKING

UJI DENSITAS DAN PENGAMATAN PRODUK PADA SUHU PENYIMPANAN

-15oC dan -55oC

PRODUK BIOAVTUR TERBAIK SUHU 300oC,

400oC, 450oC

PENGAMATAN KUALITATIF DAN PINYIMPANAN SUHU RENDAH SAMPLING BIOAVTUR SETIAP 1 JAM

(SELAMA 5 JAM)

ANALISIS GC-MS DAN FTIR KONDISI TERPILIH

SUHU 450oC

SAMPLING BIOAVTUR SETIAP 30 MENIT SETELAH 1 JAM PROSES

(SELAMA 3,5 JAM)

PENGAMATAN KUALITATIF

PENELITIAN PENDAHULUAN

(36)

24

Lampiran 5. Sifat Fisiko Kimia Senyawa Hidrokarbon Bioavtur C7-C12

Nama Senyawa

Titik Beku (oC) Titik leleh (oC) Titik didih (oC) Titik nyala (oC)

(37)

25

Lampiran 6. Nilai % Luas Area Puncak Kromatogram TIC Hidrokarbon Bioavtur, Alkena, dan Aromatik

Waktu Retensi

Senyawa Hidrokarbon

% Luas Area Puncak Kromatogram TIC 1.5 Jam 2 Jam 2.5 Jam 3 Jam 3.5 Jam 8.68 - 8.79 Heptane 14.878 8.056 0 0 0 12.06 - 12.22 Octane 11.523 10.748 9.087 7.976 7.588 16.56 - 16.69 Nonane 7.984 9.143 8.432 7.548 7.531 21.39 - 21.51 Decane 4.180 5.110 5.071 4.066 3.952 25.87 - 25.97 Undecane 3.079 3.651 3.068 1.989 1.610 29.76 - 29.85 Dodecane 1.782 2.501 2.195 1.170 1.044

Total C7-C12 43.427 39.210 27.853 22.750 21.726

Total C9-C11 15.244 17.904 16.571 13.604 13.094

Total Senyawa Alkena

(38)

26

Lampiran 7. Senyawa Aromatik dan Alkena yang Terkandung dalam Produk

Waktu Retensi Nama Senyawa Senyawa Aromatik

7.8151 Benzena 10.9733 Toluene 14.9049 Ethylbenzene

17.8271 Benzene, (1-methylethyl)- 19.2203 Benzene, propyl-

19.7043 Benzene, 1-ethyl-2-methyl- 20.5603 Benzene, 1-ethyl-2-methyl-

22.5792 Benzene, 1-methyl-4-(1-methylethyl)- 23.8307 Benzene, 1-methyl-2-propyl-

24.0196 Phenol, 2-methyl-

24.5569 Benzene, 1-methyl-2-propyl- 25.0763 Benzene, 2-ethyl-1,3-dimethyl- 26.1685 Benzene, 1,3-diethyl-5-methyl- 26.2865 Benzene, 2-ethyl-1,4-dimethyl- 26.6171 Benzene, 2,4-diethyl-1-methyl- 26.8296 Benzene, 1,2,4,5-tetramethyl-

27.4849 Benzene, 1-methyl-4-(1-methylpropyl)- 27.8273 Benzene, 1,3-diethyl-5-methyl-

28.1224 Benzene, 2-ethenyl-1,4-dimethyl- 28.5003 Benzene, 1,3-diethyl-5-methyl- 28.7305 Benzene, 2,4-diethyl-1-methyl-

28.9902 Benzene, 1-methyl-4-(1-methylpropyl)- 29.5451 Naphthalene

30.2771 1-Naphthalenol, 5,8-dihydro-

30.407 Benzene, 1-(1,1-dimethylethyl)-4-ethyl- 30.6136 Benzoxazole, 2-methyl-

30.8557 Benzene, 1-(1-methylethenyl)-3-(1-methylethyl)- 31.2394 Benzene, (1-ethyl-1-propenyl)-

32.4968 (1-Methylbuta-1,3-dienyl)benzene

32.6267 Naphthalene, 1,2,3,4-tetrahydro-5,7-dimethyl- 32.8215 Benzene, 1-(2-butenyl)-2,3-dimethyl-

33.4767 Naphthalene, 2-methyl- 34.0493 Naphthalene, 2-methyl-

34.4213 Naphthalene, 1,2,3,4-tetrahydro-1,4-dimethyl- 34.7282 Benzene, 1,3-hexadienyl-

35.047 Naphthalene, 1,2,3,4-tetrahydro-6,7-dimethyl- 35.2654 Benzene, 1,4-bis(1-methylethenyl)-

35.5429 Benzene, 1,4-bis(1-methylethenyl)- 35.6551 Naphthalene, 1,2,3,4-tetrahydro-6-propyl- 35.9266 (1-Methylpenta-1,3-dienyl)benzene 36.1391 Benzene, 1,3-bis(1-methylethenyl)- 36.5996 Naphthalene, 1-ethyl-

(39)

27 Lampiran 7. Senyawa Aromatik dan Alkena yang Terkandung dalam Produk

(lanjutan…)

Waktu Retensi Nama Senyawa Senyawa Aromatik

39.5394 Naphthalene, 1,4,6-trimethyl- 39.7696 Naphthalene, 2,3,6-trimethyl- 39.9172 Naphthalene, 1,4,6-trimethyl- 40.2655 Naphthalene, 1,4,6-trimethyl- 40.484 Naphthalene, 1,6,7-trimethyl- 40.9208 Naphthalene, 2,3,6-trimethyl- 41.3635 Naphthalene, 1,6,7-trimethyl- 42.2313 1-Isopropenylnaphthalene

42.7685 1-Acenaphthylenol, 1,2-dihydro-1-methyl- 43.4651 Benzene, 1-(chloromethyl)-4-(1,1-dimethylethyl)- Senyawa Alkena

7.089 1-Pentene, 4-methyl- 7.827 1-Pentene, 2-methyl- 9.403 1-Pentene, 2,3-dimethyl- 10.4125 Cyclohexene, 1-methyl- 17.1364 cis-2-Nonene

17.5732 Cyclooctene, 3-methyl-

17.768 3-Cyclohexene-1-carboxaldehyde, 1-methyl- 20.8495 1-Decene

21.5875 cis-3-Decene 21.9712 2-Decene, (E)-

(40)

28

RIWAYAT HIDUP

Shinta Permatasari lahir di Bandung, tanggal 26 September 1989. Penulis merupakan putri pertama dari Dr. Tri Panji, MS dan Dra. Nelti Yetti, MS (alm). Penulis tercatat sebagai mahasiswa S1 Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB tahun 2007 dan berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 2011. Penulis lalu melanjutkan pendidikan program magister pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB pada semester genap tahun akademik 2011/2012 2011 (tahun 2012).

Selama mengikuti aktifitas perkuliahan, penulis aktif pula di lembaga kemahasiswaan Pascasarjana IPB yakni Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forum Wacana) IPB dengan jabatan sebagai sekretaris 2. Selain itu, penulis juga berperan aktif di berbagai kepanitiaan pada kegiatan seminar dan pelatihan yang diadakan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB.

Hasil penelitian ini telah dimasukkan pada jurnal TIP dengan judul

“Pengaruh Kondisi Suhu dan Lama Reaksi Deoksigenasi dan Cracking RPO

dalam Sintesis Bioavtur”. Bagian dari penelitian ini juga telah disampaikan pada seminar MAKSI tanggal 25 September 2013 di IPB International Convention Center dan dimasukkan ke dalam prosiding MAKSI serta poster yang berjudul

Gambar

Tabel 2.1 Rangkuman jenis bahan, metode, dan kondisi proses sintesis bioavtur
Tabel 4.1 Hasil pengamatan deskriptif produk deoksigenasi dan cracking pada suhu 300, 400, dan 450 oC dengan tekanan 50 bar
Tabel 4.2 Hasil pengamatan deskriptif produk fase gas yang telah
Gambar 4.2 Profil FTIR ARPO, Produk dengan lama proses sintesis B1.5 jam, C2

Referensi

Dokumen terkait

Harap diisi dengan lengkap dan benar serta gunakan huruf KAPITAL / CETAK. Unit Kerja : UPTD

Social Mapping Metode Pemetaan Sosial : Teknik Memahami Suatu Masyarakat Atau Komuniti.. PT Raja GrafindoPersada

Dalam obyek rancang ini yang digunakan adalah salah satu jenis Arsitektur Narasi, yaitu sequence narrative dimana pengguna bisa menikmati alur dari desain tetapi bebas

Satar Mese Barat maka dengan ini kami mengundang saudara/I untuk melakukan Pembuktian Kualifikasi terhadap Dokumen Penawaran saudara yang akan dilaksanakan pada :. Adapun

Alhamdulillahirabbil’alamin peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat hidayah dan inayah-Nya akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini

NKM Applied Training Program Succession Planning Internal Portal Rewarding Program FGD Coaching Mentoring Informal Communication Capturing Tacit Knowledge..

Farmakoterapi kerap kali diberikan kepada anak-anak yang mengalami gangguan hiperaktif. Farmakologi yang sering digunakan adalah dekstroamfetamin,

sebagai dosen wali saya yang selalu memberikan semangat dan saran yang membangun dan semua dosen yang tidak tidak mampu tersebutkan satu –persatu, terimakasih telah membantu