• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Humus Hutan di Tahura yang Berbatasan dengan Lahan Pertanian Masyarakat, Desa Dolat Rayat Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gangguan Humus Hutan di Tahura yang Berbatasan dengan Lahan Pertanian Masyarakat, Desa Dolat Rayat Kabupaten Karo"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

GANGGUAN HUMUS HUTAN DI TAHURA YANG

BERBATASAN DENGAN LAHAN PERTANIAN

MASYARAKAT DESA DOLAT RAYAT

KABUPATEN KARO

SKRIPSI

OLEH:

BANGUN SIKETTANG 111201025/BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Gangguan Humus Hutan di Tahura yang Berbatasan dengan Lahan Pertanian Masyarakat, Desa Dolat Rayat Kabupaten Karo

Nama : Bangun Sikettang

NIM : 111201025

Program studi : Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Budi Utomo, SP, MP Afifuddin Dalimunthe, SP, MP

Ketua Anggota

Mengetahui

(3)

ABSTRAK

BANGUN SIKETTANG : Gangguan Humus Hutan di TAHURA yang Berbatasan dengan Lahan Pertanian Masyarakat, Desa Tongkoh Kabupaten Karo, dibimbing oleh BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem, mengingat hutan dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung. Salah satu komponen hutan yang memiliki peranan penting untuk ketersediaan siklus hara dalam hutan adalah humus. Humus merupakan bagian dari komponen penyusun hutan yang memiliki fungsi tersendiri dalam menjaga keseimbangan alam. Tanpa humus, maka hutan akan kehilangan fungsinya dalam menjaga kestabilan siklus hidrologi dan daur hara tanah. Berdasarkan hal tersebut, Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi perbedaan ketebalan humus pada jarak 0-500 m dari lahan pertanian masyarakat, untuk mengetahui jarak kerusakan hutan oleh masyarakat sekitar hutan desa Dolat Rayat, kabupaten Karo, dan mengetahui dampak pengambilan humus hutan terhadap vegetasi u ntuk tingkat semai dan pancang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan (ketebalan) humus di Taman Hutan Raya (TAHURA) yang berbatasan dengan lahan pertanian masyarakat adalah bervariasi dari jarak 0-500 m dan mengalami gangguan. Pengambilan humus hutan oleh masyarakat mencapai jarak 250 m, dan humus mulai stabil ketebalannya pada jarak 350 m kedalam hutan. Pengambilan humus juga berpengaruh terhadap jumlah dan jenis vegetasi yang tumbuh di dalam hutan sehingga keanekaragaman jenis suatu daerah menjadi rendah. Pada daerah yang tidak mengalami kerusakan hutan dan gangguan terhadap humus maka jumlah individu, dan keanekaragaman jenis lebih tinggi.

(4)

ABSTRACT

BANGUN SIKETTANG : Forest Humus Disturbance in TAHURA Bordering the Agricultural Land Society, Tongkoh Village Sub-Province Karo, guided by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE

The forest is seen as an ecosystem, because forest is formed or composed by many components, each component can not stand on its own, can not be separated, even interplay and interdependence. One component forests have an important role to the availability of nutrient cycling in the forest is humus. Humus is part of the composition of the forest has its own function in maintaining the balance of nature. Without humus, then the forest will lose its function in maintaining the stability of the hydrological cycle and soil nutrient cycling. Accordingly, this research aims to detect differences in the thickness of humus at a distance of 0-500 m of agricultural land society, to determine the distance to the forest by forest communities Dolat Rayat villages, districts of Karo, and determine the impact of forest humus decision on vegetation For seedling and saplings.

This research showed that the availability (thickness) humus in Forest Park (TAHURA) bordering agricultural land within the community is varied from 0-500 m and impaired. Withdrawal of forest humus reaches a distance of 250 m, and humus began to stabilize in thickness at a distance of 350 m into the forest. Withdrawal of humus also affects the amount and type of vegetation growing in the forest so that species diversity of an area to be low. In areas that do not damage the forest and humus disturbance to the number of individuals, and higher species diversity.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lae Mbereng Desa Kuta Meriah, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, pada tanggal 05 April 1993

sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari ayahanda Jong Sikettang dan ibunda Jaina Tumangger. Pada tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kerajaan,

dan tahun 2011 penulis lulus seleksi masuk USU melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan. Di Universitas Penulis memilih Program Studi Kehutanan, Minat Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah mengikuti Praktik

Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2013 di Kawasan Hutan Bukit Barisan, Hutan Pendidikan USU, Tongkoh. Penulis melakukan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Divisi Regional Unit III Jawa Barat dan

Banten pada tahun 2015 di KPH Ciamis. Pada akhir tahun 2014 penulis melaksanakan penelitian di TAHURA dengan judul: Gangguan Humus Hutan di TAHURA yang Berbatasan dengan Lahan Pertanian Masyarakat, Desa Tongkoh

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan perlindungan-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Tema dari

Penelitian ini “Gangguan terhadap Humus Hutan di TAHURA dan Dampaknya

terhadap Vegetasi”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketebalan humus hutan dengan jarak 500 meter ke dalam hutan, Untuk mengetahui jarak kerusakan hutan oleh masyarakat sekitar hutan desa Dolat Rayat, kecamatan Dolat Rayat, kabupaten Karo, dan dampak pengambilan humus hutan terhadap vegetasi untuk

tingkat semai dan pancang.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Budi Utomo, SP, MP dan Afifuddin Dalimunthe, SP, MP. atas kesediaannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan Skripsi saya. Saya juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Saya menyadari bahwa Skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu,

(7)

DAFTAR ISI

Potensi Dan Hasil Hutan... 5

Hutan Dan Masyarakat ... 6

Kondisi Umum Kawasan Hutan Pendidikan USU (TAHURA) ... 14

Alat dan Bahan ... 15

Metode Penelitian ... 15

Pelaksanaan Penelitian 1. Survei Lapangan ... 15

2. Penentuan Jalur Transek ... 16

3. Pengukuran Ketersediaan Humus ... 16

a. Penentuan titik-titik pengukuran... 16

b. Pembuatan Lubang Pengukuran ... 16

c. Mengukur Ketersediaan Humus ... 16

4. Analisis Vegetasi (Tingkat Semai dan Pancang) ... 17

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil... ... ... 20

Ketebalan Humus ... 20

Tingkat semai dan Pancang ... 22

Pembahasan ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Format tabel pengukuran ketebalan humus hutan ... 17

2. Hasil pengukuran ketebalan humus hutan ... 20

3. Data Tingkat Semai di Hutan Pendidikan USU dari Jarak 0-500 m ... 22

4. Data Tingkat Pancang di Hutan Pendidikan USU dari Jarak 0-500 m ... 23

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Desain kombinasi antara metode jalur dan metode berpetak ... 17

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

(12)

ABSTRAK

BANGUN SIKETTANG : Gangguan Humus Hutan di TAHURA yang Berbatasan dengan Lahan Pertanian Masyarakat, Desa Tongkoh Kabupaten Karo, dibimbing oleh BUDI UTOMO dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem, mengingat hutan dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung. Salah satu komponen hutan yang memiliki peranan penting untuk ketersediaan siklus hara dalam hutan adalah humus. Humus merupakan bagian dari komponen penyusun hutan yang memiliki fungsi tersendiri dalam menjaga keseimbangan alam. Tanpa humus, maka hutan akan kehilangan fungsinya dalam menjaga kestabilan siklus hidrologi dan daur hara tanah. Berdasarkan hal tersebut, Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi perbedaan ketebalan humus pada jarak 0-500 m dari lahan pertanian masyarakat, untuk mengetahui jarak kerusakan hutan oleh masyarakat sekitar hutan desa Dolat Rayat, kabupaten Karo, dan mengetahui dampak pengambilan humus hutan terhadap vegetasi u ntuk tingkat semai dan pancang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan (ketebalan) humus di Taman Hutan Raya (TAHURA) yang berbatasan dengan lahan pertanian masyarakat adalah bervariasi dari jarak 0-500 m dan mengalami gangguan. Pengambilan humus hutan oleh masyarakat mencapai jarak 250 m, dan humus mulai stabil ketebalannya pada jarak 350 m kedalam hutan. Pengambilan humus juga berpengaruh terhadap jumlah dan jenis vegetasi yang tumbuh di dalam hutan sehingga keanekaragaman jenis suatu daerah menjadi rendah. Pada daerah yang tidak mengalami kerusakan hutan dan gangguan terhadap humus maka jumlah individu, dan keanekaragaman jenis lebih tinggi.

(13)

ABSTRACT

BANGUN SIKETTANG : Forest Humus Disturbance in TAHURA Bordering the Agricultural Land Society, Tongkoh Village Sub-Province Karo, guided by BUDI UTOMO and AFIFUDDIN DALIMUNTHE

The forest is seen as an ecosystem, because forest is formed or composed by many components, each component can not stand on its own, can not be separated, even interplay and interdependence. One component forests have an important role to the availability of nutrient cycling in the forest is humus. Humus is part of the composition of the forest has its own function in maintaining the balance of nature. Without humus, then the forest will lose its function in maintaining the stability of the hydrological cycle and soil nutrient cycling. Accordingly, this research aims to detect differences in the thickness of humus at a distance of 0-500 m of agricultural land society, to determine the distance to the forest by forest communities Dolat Rayat villages, districts of Karo, and determine the impact of forest humus decision on vegetation For seedling and saplings.

This research showed that the availability (thickness) humus in Forest Park (TAHURA) bordering agricultural land within the community is varied from 0-500 m and impaired. Withdrawal of forest humus reaches a distance of 250 m, and humus began to stabilize in thickness at a distance of 350 m into the forest. Withdrawal of humus also affects the amount and type of vegetation growing in the forest so that species diversity of an area to be low. In areas that do not damage the forest and humus disturbance to the number of individuals, and higher species diversity.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu sasaran konservasi yang berkaitan erat dengan berhasilnya

konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi

kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga) (Hardjasoemantri, 1993).

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem, mengingat hutan dibentuk atau

disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri

sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung (Indriyanto, 2006). Hutan juga merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia. Dalam penelitian ini defenisi hutan yang dimaksud mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat 2,

yakni hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dan dijelaskan pada

ayat 3 kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh

pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Mempertahankan fungsi hutan sebagai bagian dari sistem biogeofisik tentu

saja adalah dengan mempertahankan fungsi setiap komponen hutan untuk dapat berjalan sebagaimana mestinya. Humus merupakan bagian dari komponen penyusun hutan yang memiliki fungsi tersendiri dalam menjaga keseimbangan

alam. Tanpa humus, maka hutan akan kehilangan fungsinya dalam menjaga

(15)

masyarakat yang terjadi beberapa tahun belakangan ini adalah sebuah fenomena

unik dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kendati bukan

berupa kegiatan pembukaan wilayah hutan, pengambilan humus hutan dapat memberikan dampak ekologis yang cukup berarti dalam proses alam. Pengambilan humus hutan oleh masyarakat merupakan gangguan terhadap

kestabilan fungsi hutan. Berbagai dampak kelak dikemudian hari akan timbul apabila permasalahan ini tidak diselesaikan dengan pendekatan dan tinjauan yang

ilmiah. Tinjauan ilmiah permasalahan ini mencakup hampir semua bidang kehutanan, meliputi aspek sosial budaya, ekonomi, dan ekologis (dalam hal studi pengaruh pengambilan humus terhadap ekosistem) (Nopandry dkk, 2005)

Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam metode dengan petak dan tanpa petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak

digunakan adalah kombinasi antara metode jalur (untuk risalah pohon) dengan metode garis petak (untuk risalah permudaan). Supaya data penelitian yang akan

diperoleh bersifat valid, maka sebelum melakukan penelitian dengan metode sampling kita harus menentukan terlebih dahulu tentang metode sampling yang akan digunakan, jumlah, ukuran, dan peletakan satuan-satuan unit contoh.

Pemilihan metode sampling yang akan digunakan bergantung pada keadaan

morfologi jenis tumbuhan dan penyebarannya, tujuan penelitian dan biaya serta tenaga yang tersedia (Latifah, 2005).

Desa Tongkoh merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan

Dolat Rayat Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo secara

(16)

Timur dengan curah hujan rata-rata 2.100-3200 mm/tahun dan suhu rata-rata

18,4-19,3ºC. Kecamatan Dolat Rayat memiliki jenis tanah andosol dengan topografi

datar sampai curam. Sebagian besar lahan di desa Tongkoh terdiri dari lahan hutan dan pertanian (BPS Kabupaten Karo, 2014).

Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi perbedaan ketebalan humus pada jarak 0-500 m dari lahan pertanian masyarakat.

2. Untuk mengetahui jarak kerusakan hutan oleh masyarakat sekitar hutan desa

Dolat Rayat, kabupaten Karo.

3. Untuk mengetahui dampak pengambilan humus hutan terhadap vegetasi untuk tingkat semai dan pancang.

Hipotesis Penelitian

1. Ketersediaan humus pada jarak terjauh sepanjang jalur pengukuran kedalam hutan akan memiliki ketersediaan humus yang lebih tinggi.

2. Pengambilan humus berpengaruh terhadap jumlah dan pertumbuhan

vegetasi khususnya tingkat semai dan pancang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi kepada semua

pihak terutama masyarakat sekitar hutan tentang dampak dari pencurian humus

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Hutan

Menurut Helms (1999), hutan merupakan salah satu sumberdaya alam

yang besar peranannya baik segi ekonomi maupun segi sosial yang sangat penting bagi masyarakat yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat tidak

langsung. Manfaat hutan tersebut dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan social dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan

sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna

mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan.

Fungsi hutan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan

kehidupan dan lingkungan. Dengan diterimanya posisi masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan sumberdaya hutan di semua fungsi hutan (produksi, lindung, dan konservasi), maka semangat dan kesadaran masyarakat dapat

didorong untuk membangun, memelihara, dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. Ketergantungan antara hutan dan masyarakat dapat dilihat dari

ketergantungan masyarakat terhadap produksi dan jasa hasil hutan. Hutan sebagai sumberdaya juga memerlukan masyarakat untuk pengelolaannya (Awang, 2004).

Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang dan jasa (sumber daya dan

lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku pengambilan keputusan

(18)

pengelolan hutan dapat memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti

pengambilan keputusan pengelolaan, perencanaan dan lain-lain (Bahruni, 1999).

Potensi Dan Hasil Hutan

Kehutanan merupakan salah satu sektor terpenting yang perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat lebih dari 67% luas daratan Indonesia

berupa hutan. Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting peranannya dalam kehidupan manusia. Hutan juga dapat memberikan manfaat

yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia yaitu berupa manfaat langsung (tangible) dan manfaat yang tidak langsung (Intangible). Manfaat hutan

tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberi peranan nyata apabila dalam pemanfaatan hutan itu menerapkan prinsip

kelestarian hasil (Sustainable Yield Principle) yaitu pemanfaatan hutan yang harus diikuti dengan kegiatan pelestarian sehingga manfaat hutan tersebut dapat selalu

dirasakan (Zain, 1998).

Selain itu hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan perekonomian masyarakat, seperti yang di sebutkan di

atas, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible

yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat yang tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, serta pencegahan erosi

(19)

Hutan mempunyai banyak manfaat (multi benefit) yang sangat berguna

bagi kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Manfaat hutan luar

biasa besarnya selain menyediakan kayu dan produk-produk lainnya, hutan menyimpan sejumlah besar informasi genetik, mengatur iklim dan tata air, melindungi dan memperkaya tanah, mengendalikan hama dan penyakit, mengatur

penyerbukan tumbuhan bermanfaat dan menyebarkan benihnya, menjaga kualitas air, menyediakan pemandangan indah dan memperkaya kita secara spritual

(Santoso dan Robert, 2002).

Hutan Dan Masyarakat

Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di kawasan

hutan baik yang memanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung hasil hutan tersebut. Hutan bagi masyarakat di sekitarnya merupakan sumber untuk memperoleh pangan, papan, obat-obatan, kayu bakar, lahan perluasan pertanian

dan pemukiman, tempat penggembalaan, tempat melakukan kegiatan spiritual, dan lain-lain. Dalam masyarakat biasanya terdapat perbedaan status diantara

anggota masyarakatnya. Perbedaan tersebut dapat berasal dari faktor keturunan, ekonomi, pendidikan, keterampilan, agama, atau sumber-sumber lain yang bernilai penting bagi masyarakat. Reaksi kelompok sosial menurut statusnya akan

berbeda beda terhadap suatu objek, termasuk terhadap objek berupa hutan.

Masyarakat sekitar hutan mempunyai sistem hubungan sosial, ekonomi dan budaya tersendiri dengan lingkungan (Warsid, 2000).

Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

(20)

memang merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan

dan sekaligus tempat tinggal meraka. Bahkan ada sebagian masyarakat tradisional

yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai spiritual, yakni percaya bahwa hutan atau komponen biotik dan abiotik yang ada di dalamnya sebagai obyek yang memiliki kekuatan atau pesan supranatural yang mereka patuhi (Purwoko, 2002).

Dan hingga saat ini sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan hidup dengan memanfaatkan hasil hutan. Hutan sebagai tempat

sumber mata pencaharian mereka sehingga hubungan antara manusia dengan lingkungannya dalam hal ini hutan sangatlah erat sehingga dapat dianggap bahwa masalah manusia adalah merupakan masalah lingkungan dan sebaliknya masalah

lingkungan juga menjadi masalah manusia, sebab masalah lingkungan akan muncul apabila hubungan manusia dengan lingkungan tidak sejalan, yang pada umumnya dipacu oleh pertambahan manusia yang semakin meningkat namun

tidak diimbangi dengan perkembangan lingkungan (Bambang, 1995).

Ketergantungan inilah yang tanpa pengelolaan dengan prinsip hutan lestari

yang menurut Rido (2003) menjadi faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan hutan antara lain adalah: (1) pertambahan penduduk (2) berkurangnya lahan pertanian (3) perladangan berpindah (4) sempitnya lapangan pekerjaan (5)

kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi hutan.

Ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan bukan saja terhadap hasil hutan kayu tetapi juga terhadap hasil hutan non kayu merupakan manfaat langsung hasi hutan yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat

(21)

haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest

management, hasil hutan non kayu (HHNK) atau Non Timber Forest Products

(NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. HHNK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar hutan (BPDAS Jenebrang, 2010).

Humus Hutan dan Koloid Tanah

Humus merupakan bagian dari komponen penyusun hutan yang memiliki

fungsi tersendiri dalam menjaga keseimbanagan alam. Tanpa humus, maka hutan akan kehilangan fungsinya dalam menjaga kestabilan siklus hidrologi dan daur hara tanah. Pengambilan humus hutan oleh masyarakat merupakan gangguan

terhadap kestabilan fungsi hutan. Berbagai dampak kelak di kemudian hari akan timbul bila permasalahan ini tidak pernah diselesaikan dengan pendekatan dan tinjauan yang ilmiah (Nopandry dkk, 2005).

Koloid tanah adalah bagian tanah yang terdiri atas butir yg berukuran sangat halus. Koloid merupakan penyusun tanah yang berperan aktif dalam reaksi

kimia tanah yang mempunyai diameter < 1 mikron. Koloid mempunyai sifat-sifat bidang permukaan yang luas, tersuspensi dalam air, dan bermuatan positif maupun negatif. Koloid tanah adalah bahan organik dan bahan mineral tanah yang

sangat halus sehingga mempunyai luas permukaan yang sangat tinggi persatuan

berat. Koloid tanah terdiri dari liat (koloid anorganik) dan humus (kolod organik). Koloid berukuran kurang dari 1 µ, sehingga tidak semua fraksi liat (kurang dari 2 µ) termasuk koloid. Koloid anorganik terdiri dari mineral liat Al-silikat,

(22)

dan haolisit banyak ditemukan pada tanah-tanah merah (coklat) yaitu tanah-tanah

yang umumnya berdrainase baik, sedangkan montmorilonit ditemukan pada

tanah-tanah yang mudang mengembang dan mengerut serta pecah-pecah pada musim kering misalnya tanah vertisol. Ilit ditemukan pada tanah-tanah berasal dari bahan induk yang banyak mengandung mika dan belum mengalami

pelapukan lanjut. Adanya muatan negatif pada mineral liat disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) Kelebihan muatan negatif pada ujung-ujung patahan

kristal baik pada Si-tetrahedron maupun Al-oktahedron, (2) Disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal, (3) Substitusi isomorfik (Sparks, 1995).

Siklus Hara Tanah

Tanah hutan adalah tanah yang terbentuk di bawah pengaruh vegetasi hutan. Hal ini didasarkan atas dalamnya perakaran; organisne tanah yang spesifik

dan hasil proses dekomposisi bahan organis berupa unsur basa-basa seperti N, P, K, Ca dan Mg selain dihasilkan pula berupa asam-asam humin seperti asam posfat

dan asam nitrat serta yang lainnya. Jadi secara alami keperluan unsur hara bagi tanaman dapat terpenuhi melalui siklus hara yang relative tertutup yang terjadi antara tanaman dan tanah hutan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tanah

menjadi miskin akan hara, diantaranya adalah karena diserap oleh tanaman;

penebangan pohon untuk diambil kayunya, kebakaran hutan, pencucian oleh air yang masuk kedalam tanah dan erosi (Yamani, 2012).

Konsep pertanian berkelanjutan, secara ideal sering disepadankan dengan

(23)

terjadi campur tangan manusia, siklus karbon biologis dan unsur lainnya terjadi

secara tertutup in situ, sehingga berdampak terhadap keberlanjutan kehidupan

biota penyusun ekologi. Perubahan komposisi biota apabila terjadi lebih disebabkan oleh kompetisi antarspesies, menuju kepada dominasi oleh biota yang paling bugar, tetapi secara spasial dan periodikal jangka panjang, kehidupan biota

terus berlangsung dalam harmoni yang teratur dan berkesinambungan. Kondisi kehidupan yang demikian disebut sebagai sistem biologi yang berkelanjutan, yang

dicirikan oleh terlestarikannya komponen sumber daya alam dan biota yang hidup di dalamnya. Hal ini dimungkinkan karena pada ekologi alamiah tidak terjadi perpindahan berbagai senyawa karbon dan energi (Sumarno at al., 2009).

Bahan organik pada tanah hutan merupakan komponen penting ditinjau dari siklus hara, siklus hidrologi, produktivitas hutan, dan neraca karbon global. Secara global, tanah mengandung cadangan karbon lebih besar daripada kawasan

daratan lainnya dan bahan organik pada tanah hutan merupakan ekosistem yang sangat dinamis (Jobággy dan Jackson 2000). Kandungan bahan organik tanah

dapat berubah sebagai akibat proses alami seperti suksesi dan akumulasi biomassa dan adanya faktor antropogenik, seperti konversi spesies penutup lahan. Hasil penelitian Sabaruddin et al. (2009) menunjukkan bahwa langkah konversi hutan

alam menjadi lahan yang dikelola manusia, baik HTI (Hutan Tanaman Industri)

maupun ladang, menyebabkan penurunan kandungan bahan organik secara signifikan. Bahan organik peka terhadap gangguan, maka setiap perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem dapat menyebabkan percepatan perubahan

(24)

penebangan dan pasca penebangan hutan terhadap dinamika C organik tanah

penting dilakukan sebagai data dasar untuk memprediksi keberlanjutan ekosistem

lokal dan pertukaran C antara tanah dan atmosfir.

Salah satu faktor penyebab pengurasan persediaan hara tanah karena adanya aliran hara keluar ekosistem hutan tanaman yang berupa kehilangan unsur

hara pada saat pemanenan, yaitu berupa kandungan unsur hara dalam batang dan kulit kayu yang dikeluarkan dari lahan. Jenis pohon merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi besarnya akumulasi hara pada biomassa tegakan hutan. Unsur-unsur hara yang diimmobilisasikan pada vegetasi cenderung meningkat seiring dengan makin dewasanya tegakan (Hartati, 2008).

Analisis Vegetasi

Menurut Marsono (1977), analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari

masyarakat tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi

diperlukan data-data jenis, diameter, dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas

tumbuhan. Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi,

kerapatan dan dominasi setiap jenis.

Menurut Indrawan (1988) analisis vegetasi dalam ekologi tumbuhan adalah cara untuk mempelajari struktur vegetasi dan komposisi jenis

(25)

a. Cara petak tunggal, cara ini hanya mempelajari satu petak sampling yang

mewakili suatu tegakan hutan.

b. Cara petak ganda, pada cara inipengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata.

c. Cara jalur atau trasek, cara ini di gunakan untuk mempelajari suatu kelompok

hutan yang luas, dan belum diketahui keadaan sebelumnya, dan paling efektif untuk mempelajari perubahan kaadaan vegetasi tanah, topografi, dan evelasi.

d. Cara garis berpetak, cara ini merupakan modifikasi dari cara jalur,

Menurut pernyataan Magurran (1988) yang menyatakan bahwa besaran Keanekaragaman shanon Wiener (H’) menunjukkan keanekaragaman jenis pada suatu daerah. Dengan ketentuan jika H’<2 maka ini menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, jika H’= 2 – 3 maka ini menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan jika H’>3 ini menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi. Keanekaragaman Shanon Wiener (H’) diperoleh dari perhitungan jumlah individu yang dianalisis pada suatu daerah,

hasilnya diperoleh dari kerapatan (K), Kerapatan Relative (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relative, untuk analisis tingkat semai dan pancang, dan untuk tingkat tiang dan pohon ditambah perhitungan Dominansi (D), dan Dominansi relative).

Desa Tongkoh

Kecamatan Dolat Rayat sebagai salah satu kecamatan di kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara, terletak 13 km dari kantor bupati Kabanjahe. Kecamatan ini, di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang, sebelah selatan

(26)

Luas wilayah kecamatan Dolat Rayat adalah 32,25 km2 atau 1,52 persen dari total

luas kabupaten Karo. Seluruh wilayah kecamatan Dolat Rayat berada pada

ketinggian antara 1200-1420 meter diatas permukaan laut. Jumlah PNS dan honor di kecamatan Dolat Rayat tahun 2013 sebnayak 150 orang. Menurut hasil proyeksi penduduk pertengahan tahun 2013, penduduk kecamatan Dolat Rayat

(27)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan

Desember 2014, yang meliputi penyusunan usulan penelitian, survei lapangan, hingga pengumpulan data. Penelitian ini dilakukan di desa Tongkoh, kecamatan

Dolat Rayat, kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Kondisi Umum Kawasan Hutan Pendidikan USU (TAHURA)

Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 48 Tahun l988 tanggal 19 November 1988 Kawasan Hutan Sibolangit telah ditetapkan menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan dengan luas areal seluruhnya 51.600 Ha, yang

meliputi 4 (empat) wilayah kabupaten. Kawasan tersebut, sebagian besar merupakan hutan lindung, yaitu hutan lindung Sibayak I, hutan lindung Simacik,

hutan lindung Sibayak II, hutan lindung Simacik II, hutan lindung Sinabung dan Suaka Margasatwa Langkat Selatan. Universitas Sumatera Utara bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara melakukan peresmian Hutan

Pendidikan USU di wilayah Tahura Bukit Barisan seluas 1.000 Ha tepatnya di Desa Tongkoh Kecamatan Dolat Rayat Kabupaten Karo. Hutan Pendidikan

tersebut nantinya menjadi lokasi pendidikan, praktek, penelitian, pelatihan, penyuluhan, dan kegiatan lain, bagi masyarakat terutama pelajar dan mahasiswa

khususnya USU. Dipilihnya Tahura BB di Tongkoh Kab. Karo sebagai lokasi itu dikarenakan yang paling representatif dan memenuhi banyak kriteria terutama aksesibilitas yang mudah serta dekat dengan kampus yakni ± 40 km dari kampus

(28)

diketahui struktur dan komposisi vegetasi serta polakomunitas vegetasinya,

sehingga dibutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjutdalam rangka pengelolaan

kawasan hutan pendidikan ini, apalagi kawasan iniakan dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompas, cangkul, parang, meteran, tali plastik, penggaris, alat tulis, dan kamera. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah humus hutan dan Tally Sheet.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jalur. Metode dibuat dengan membuat jalur pengukuran pada setiap jarak 50 m ke dalam hutan sampai mencapai jarak 500 m dan dilakukan sebanyak 5 petak pengukuran, jarak

antar petak pengukuran adalah 100 m.

Pelaksanaan Penelitian 1. Survei Lapangan

Pada tahap ini dilakukan pengamatan langsung ke dalam hutan berdasarkan jarak yang akan dilakukan pengukuran yaitu dengan jarak 500 m ke dalam

hutan. Tahap ini dilakukan bertujuan untuk melihat kondisi di lapangan secara langsung agar memudahkan pelaksanaan-pelaksanaan tahap berikutnya terutama penentuan jalur pengukuran. Pengamatan juga

(29)

2. Penentuan Jalur Pengukuran

Setelah survei lapangan selesai dilakukan, kemudian ditentukan titik-titik

untuk jalur pengukuran berdasarkan jarak kedalam hutan. Jumlah petak ditentukan sebanyak lima petak untuk setiap jarak. Jarak antara petak satu dengan petak lain adalah 100 m sehingga untuk lebar areal hutan yang

diukur ketersediaan humusnya yaitu 500 m. 3. Pengukuran Ketersediaan Humus

Tahapan dalam pengukuran ketebalan humus: 1. Penentuan titik-titik pengukuran

Pengukuran ketebalan humus hutan dilakukan pada jarak 500 m ke dalam

hutan dan jarak pengambilan sampel humus dilakukan pada setiap jarak 50 meter.

2. Pembuatan Lubang Pengukuran

Pada jalur transek, tempat-tempat yang akan diukur ketebalan humusnya dilakukan penggalian, penggalian dilakukan sampai batas humus dengan

lapisan berikutnya. Lubang pengukuran dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm dan pada batas humus dengan lapisan yang lain dibuat tanda dengan menancapkan kayu kecil yang berwarna cerah dan terang agar memudahkan

pengukuran dan dokumentasi.

3. Mengukur Ketersediaan Humus

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris pada tanda yang telah dibuat setelah penggalian yaitu pada batas lapisan humus dengan

(30)

4. Analisis Vegetasi (Tingkat Semai dan Pancang)

Analisis vegetasi pada tingkat semai dan pancang dalam penelitian ini

dilakukan dengan mengkombinasikan dua metode, yaitu metode jalur dan metode garis berpetak. Desain kombinasi metode jalur dan metode garis berpetak disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Desain kombinasi antara metode jalur dan metode berpetak Keterangan :

Petak a : petak ukur untuk semai dan tumbuhan bawah dengan ukuran 2 × 2 m

Petak b : petak ukur untuk pancang dengan ukuran 5 × 5 m Kriteria

1. Semai : permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi

kurang dari 1,5 m.

2. Pancang : permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan

berdiameter <10 cm.

5. Analisis Data 1. Ketebalan Humus

Tabel 1. Pengukuran ketebalan humus hutan pada jarak 50-500 m Jarak Kedalam

Hutan Petak I Petak II Petak III Petak IV Petak V 50 m

(31)

200 m

Data pengukuran yang telah didapat kemudian dibandingkan antara jalur

transek satu sampai jalur transek kelima. Selain itu juga diperhatikan pada masing-masing transek pada petak keberapa ketebalan humusnya sama atau stabil

dengan petak-petak berikutnya. 2. Tingkat Semai dan Pancang

Untuk tingkat semai dan panjang hanya mengidentifikasi jenis dan

jumlahnya saja. Data hasil pengukuran kemudian dicatat pada tallysheet yang telah disiapkan sebelumnya. Kemudian data yang didapat dianalisis, dengan menghitung (1) kerapatan (ind/ha), (2) frekuensi, dan (3) indeks nilai penting

(INP) dari masing-masing jenis, serta (4) Indeks keanekaragaman dari tiap

ekosistem.

Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

(32)

5. Indeks Nilai Penting :

INP = KR + FR

6. Indeks keanekaragaman Jenis dari Shannon – Wiener

H’ = -

s

i

N ni/ )

[( 1n (ni/N)]

Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener S = jumlah jenis

ni = jumlah jenis ke – i N = total keseluruhan jenis

Keanekaragaman shanon Wiener (H’) menunjukkan keanekaragaman jenis

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Ketebalan Humus

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan pada ketebalan (ketersediaan humus) humus hutan di hutan pendidikan USU (TAHURA) yang berbatasan

dengan lahan pertanian masyarakat yang dilakukan antara jarak 0-500 m ke dalam hutan diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil pengukuran ketebalan humus hutan pada jarak 50-500 m Jarak Kedalam

Berdasarkan hasil pengukuran ketebalan humus yang disajikan pada tabel 2 menunjukkan bahwa ketebalan humus dari jarak 50 m sampai jarak 500 memberikan hasil yang berbeda-beda. Pada jarak 50-100 m, rata-rata ketebalan

humus tertinggi memiliki ketebalan 1 cm, sedangkan rata-rata ketebalan humus

terendah dengan ketebalan humus 2 cm, rata-rata ketebalan humus pada jarak ini adalah 1,8 cm. Pada pada jarak 100-200 m, dapat dilihat bahwa pada jarak ini memiliki rata-rata ketebalan terendah sebesar 0 cm dan rata-rata ketebalan humus

tertinggi sebesar 3,5 cm. Apabila dibandingkan antara jarak 50-100 m dengan jarak 100-200 m dapat dilihat bahwa ketebalan humus terendah terdapat pada

(34)

hal pertama yang diperhatikan pengambil humus adalah jarak pengambilan humus

dengan jalan angkutan selain itu juga memperhatikan areal yang bagus untuk

dilakukan pengambilan humus seperti arealnya datar dan ketebalan humusnya tinggi.

Dari tabel yang disajikan juga dapat dilihat bahwa pada jarak 200-300 m

terdapat satu petak pengukuran yang ketebal;annya berbeda secara signifikan yaitu pada petak 2 sebesar 4,5 cm sedangkan pada petak lain antara 2-2,5 cm.

Rata-rata ketebalan humus pada jarak ini adalah sebesar 2,8 cm. Pada tabel pengukuran ketebalan humus menunjukkan bahwa ketersediaan humus hutan mulai stabil dengan jarak berikutnya terdapat pada jarak 300-500 m kedalam

hutan. Ketebalan humus dikatakan stabil karena ketebalan humus antara petak I dengan petak yang lain tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata Ketebalan humus tertinggi dari jarak 50-500 m terdapat pada jarak 400-500 m kedalam hutan

yang merupakan jarak terjauh pengukuran dengan ketersediaan humus sebesar 5,5 cm.

Dari hasil pengukuran ketebalan humus yang diperoleh dapat dilihat bahwa dari jarak 50-500 m menunjukkan rata-rata ketebalan humus hutan tertinggi terdapat pada jarak 400-500 m kedalam hutan dan jarak ini merupakan jarak

pengukuran terjauh. Rata-rata ketebalan humus pada jarak ini adalah sebesar 3,9

cm. Rata-rata ketebalan humus dari jarak 50-500 m memiliki rata-rata ketebalan yaitu 1,8 cm, 2,2 cm, 2,8 cm, 3,15 cm, dan 3,9 cm. berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata ketebalan humus terdapat peningkatan ketebalan

(35)

2.

Tingkat Semai dan Pancang

Dari hasil pengamatan analisis vegetasi hutan yang dilakukan di hutan Pendidikan USU (yang berbatasan dengan lahan pertanian masyarakat), maka didapat hasil berdasarkan kriteria tumbuhan tingkat semai dari jarak 0-500 m

kedalam hutan adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Data Tingkat Semai di Hutan Pendidikan USU dari Jarak 0-500 m

Jarak (m) Nama Jenis Nama Ilmiah K(ind/ha) KR F FR INP

0-100 Jambu hutan Syzygium sp. 1000 16,67 0,2 12,50 29,17

Kayu manis Cinnamomum verum 1000 16,67 0,2 12,50 29,17

Macaranga Macaranga tanarius 500 8,33 0,2 12,50 20,83

Pinus Pinus merkusii 500 8,33 0,2 12,50 20,83

Macaranga Macaranga tanarius 2500 16,67 0,4 15,38 32,05

Ndelleng Sapium sp 1000 6,67 0,2 7,69 14,35

Macaranga Macaranga tanarius 3500 18,42 0,6 15 33,42

Ndelleng Sapium sp 3000 15,78 0,4 10 25,78

Macaranga Macaranga tanarius 2000 8,51 0,2 4,54 13,05

Ndelleng Sapium sp 1500 6,38 0,4 9,09 15,47

(36)

Hasil analisis vegetasi di hutan Pendidikan USU untuk tingkat pancang

mulai dari jarak 0-500 m kedalam hutan diperoleh data sebagai berikut: Tabel 4. Data Tingkat Pancang di Hutan Pendidikan USU dari Jarak 0-500 m

Jarak

0-100 m Nama Jenis Nama Ilmiah K KR F FR INP

Gerutu Parashorea lucida 400 14,71 0,6 15,79 30,49

Jambu hutan Syzygium sp 240 8,82 0,4 10,53 19,35

Kayu Manis Cinnamomum verum 240 8,82 0,4 10,53 19,35

Macaranga Macaranga tanarius 640 23,53 0,8 21,05 44,58

Ndelleng Sapium sp 480 17,65 0,6 15,79 33,43

Rasamala Altingia excelsa 560 20,59 0,8 21,05 41,64

Sigadaung-dueng Shimingtonia populnea 160 5,88 0,2 5,263 11,14 Jarak

100-Sigadaung-dueng Shimingtonia populnea 400 13,89 0,4 11,11 25 Jarak

200-300 m Nama Jenis Nama Ilmiah K KR F FR INP

Gerutu Parashorea lucida 480 15,38 0,6 13,04 28,42

Jambu hutan Syzygium sp 320 10,26 0,8 17,39 27,64

Kayu manis Cinnamomum verum 240 7,69 0,4 8,696 16,38

Macaranga Macaranga tanarius 640 20,51 1 21,74 42,25

Ndelleng Sapium sp 240 7,69 0,4 8,696 16,38

Rasamala Altingia excelsa 720 23,08 0,8 17,39 40,46

Sigadaung-dueng Shimingtonia populnea 480 15,38 0,6 13,04 28,42 Jarak

300-400 m Nama Jenis Nama Ilmiah K KR F FR INP

Gerutu Parashorea lucida 400 10,87 0,6 11,54 22,40

Jambu hutan Syzygium sp 400 10,87 0,6 11,54 22,40

Kayu manis Cinnamomum verum 320 8,69 0,4 7,692 16,38

Macaranga Macaranga tanarius 480 13,04 0,8 15,38 28,42

Ndelleng Sapium sp 560 15,22 0,8 15,38 30,60

Pinus Pinus merkusii 80 2,17 0,2 3,846 6,020

Puspa Schima wallichii 240 6,52 0,4 7,692 14,21

Rasamala Altingia excelsa 720 19,57 1 19,23 38,79

Sigadaung-dueng Shimingtonia populnea 480 13,04 0,4 7,692 20,73 Jarak

400-500 m Nama Jenis Nama Ilmiah K KR F FR INP

Gerutu Parashorea lucida 480 11,11 0,8 13,79 24,90

Jambu hutan Syzygium sp 400 9,26 0,6 10,34 19,60

Kayu manis Cinnamomum verum 320 7,40 0,4 6,897 14,30

Macaranga Macaranga tanarius 880 20,37 1 17,24 37,61

Ndelleng Sapium sp 480 11,11 0,6 10,34 21,45

Pinus Pinus merkusii 160 3,70 0,4 6,897 10,6

Puspa Schima wallichii 240 5,56 0,4 6,897 12,45

Rasamala Altingia excelsa 1040 24,07 1 17,24 41,31

(37)

Pada tabel 3 yang disajikan menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP)

tertinggi pada tingkat semai jarak 0-100 m terdapat pada jenis Rasamala dan INP

yang terendah terdapat pada jenis Pinus dan Macaranga. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Rasamala merupakan jenis yang paling banyak berada di tingkat ini. Jumlah individu dari lima spesies tersebut adalah 12, setengah dari jumlah total

individu adalah jenis Rasamala. Hal tersebut menunjukkan bahwa Rasamala mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut.

Tabel di atas menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada jarak 100-200 m terdapat pada jenis Rasamala dan yang terendah terdapat pada jenis Jambu hutan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Rasamala merupakan jenis

yang paling banyak berada di tingkat ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa Rasamala mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut . Nilai frekuensi relatif yang ditemukan pada beberapa plot

membuktikan bahwa jenis Rasamala memiliki Frekuensi sebesar 23,07 % artinya jenis ini merupakan jenis yang nilai kerapatan dan frekuensinya dapat dianggap

sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada seluruh plot. INP masing-masing spesies juga bervariasi dari yang terendah sebesar 11.02 untuk jenis Jambu hutan sampai dengan INP tertinggi sebesar 53,07 pada jenis Rasamala.

Hasil yang disajikan dari tabel diatas di dapat nilai INP yang terbesar pada jarak 200-300 m ditemukan pada jenis Rasamala sebesar 46,31 %, sedangkan hasil

yang terendah ditemukan pada Jambu hutan sebesar 15,26 %. Jadi beberapa spesies penting yang paling dominan di temukan untuk tingkat semai pada jarak

(38)

Kayu manis, dan Rasamala sebesar 20 % dan terkecil sebesar 10 % pada jenis

Gerutu, Jambu hutan, dan Ndelleng.

Hasil analisis membuktikan bahwa Indeks Nilai penting (INP) yang tertinggi pada tingkat semai jaak 300-400 m terdapat pada jenis Rasamala yang mencapai 54,64 dari total keseluruhan yaitu 200. INP terendah pada jarak ini ditemukan

pada jenis Macaranga. Apabila dilihat dari kerapatan, jumlah individu, kerapatan relative, maka jenis Rasamala merupakan jenis yang mampu beradaptasi dengan

baik di daerah ini.

Hasil terakhir pada tingkat semai pada jarak 400-500 m menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat semai terdapat pada jenis

Rasamala dan yang terendah terdapat pada jenis Beringin, dan Gerutu. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Rasamala merupakan jenis yang paling banyak berada di tingkat ini. Nilai kerapatan setiap jenis yang terdapat pada Tabel menunjukkan

bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan sembilan spesies yang ditemukan. Jumlah individu dari sembilan spesies tersebut adalah 60 dengan nilai

kerapatan relativ tertinggi sebesar 20% untuk jenis Rasamala. Nilai kerapatan terendah sebesar 5% ditemukan pada jenis Beringin, dan Gerutu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Rasamala mempunyai kemampuan adaptasi dan reproduksi

yang tinggi pada lokasi tersebut.

Dari tabel yang disajikan dapat dilihat bahwa nilai kerapatan setiap jenis yang terdapat pada jarak 0-100 m menunjukkan bahwa terdapat variasi yang mencolok mengenai kerapatan dari spesies yang ditemukan. Jumlah individu dari

(39)

kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi pada lokasi tersebut. Nilai KR

terendah sebesar 5,88% ditemukan pada jenis Sigadaung-dueng. Nilai INP

tertinggi ditemukan pada jenis Macaranga yaitu sebesar 44,58 dan yang terendah terdapat pada jenis Sigadaung-dueng. Hal tersebut menunjukkan bahwa Macaranga mempunyai peranan penting pada lokasi tersebut.

Pada tabel 4. menunjukkan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat pancang pada jarak 100-200 m terdapat pada jenis Macaranga, dan Rasamala, sedngkan untuk INP terendah terdapat pada jenis kayu manis. Nilai

kerapatan setiap jenis yang menunjukkan bahwa terdapat variasi yang tidak terlalu mencolok mengenai kerapatan spesies yang ditemukan. Jumlah individu dari 7

spesies tersebut adalah 36 dengan nilai kerapatan tertinggi sebesar KR 30,56% untuk jenis Rasamala. Nilai KR terendah sebesar 2,78% ditemukan pada jenis Kayu manis.

Pada jarak 200-300 m dapat dilihat bahwa nilai INP tertinggi ditemukan pada spesies Macaranga dengan nilai 42,25 %, sedangkan terendah ada pada jenis

Kayu manis dan Ndelleng dengan nilai 16,39 %. Nilai kerapatan setiap jenis pada tingkat pancang berbeda-beda satu sama lain. Jumlah individu yang ditemukan pada jalur ini adalah 39 dari total 7 spesies. Spesies yang paling dominan adalah

jenis Rasamala.

Dari hasil pengamatan dan analisis data yang diperoleh, diketahui bahwa pertumbuhan vegetasi tingkat pancang pada jarak 300-400 m terdapat 9 jenis tumbuhan. Dari kesembilan jenis tersebut paling banyak jumlahnya ialah terdapat

(40)

sebanyak 1 anakan semai dengan indeks nilai penting 6,02%. Berdasarkan

frekuensi dan kerapatan di atas bahwa Rasamala memiliki kemampuan adaptasi

tertinggi untuk dapat tumbuh pada lokasi tersebut. Sehingga tumbuhan ini paling banyak ditemukan.

Dari hasil pengamatan dan analisis data yang diperoleh, diketahui bahwa

pertumbuhan vegetasi tumbuhan tingkat pancang terdapat 9 jenis tumbuhan. Dari kesembilan jenis tersebut paling banyak ditemui ialah jenis Rasamala. INP

tertinggi terdapat pada jenis Rasamala dengan nilai sebesar 41,31 dan yang paling jarang ditemui ialah Pinus sebanyak 2 batang, dengan indeks nilai penting sebesar 10,6 %. Jenis Rasamala merupakan jenis tumbuhan yang memiliki kerapatan

tertinggi diantara jenis tumbuhan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Rasamala memiliki kemampuan terbaik untuk beradaptasi dengan kondisi lahan di lokasi ini.

Tabel 5. Keanekaragaman Jenis pada Tingkat Semai dan Pancang Jarak Kedalam

Berdasarkan nilai INP yang diperoleh pada masing-masing jarak kedalam hutan, maka spesies yang mendominasi dari jarak 0-500 m adalah Jenis Rasamala.

Keanekaragaman jenis yang tertinggi pada tingkat semai terdapat pada jarak

400-500 m dengan H’>2 dengan keanekaragaman sedang. Berdasarkan nilai INP yang diperoleh pada masing-masing jarak kedalam hutan, maka spesies yang

(41)

yang tertinggi pada tingkat semai terdapat pada jarak 300-500 m dengan H’>2

dengan keanekaragaman sedang. Nilai H’ pada jarak 300-400 m adalah 2,09 dan

nilai H’ untuk jarak 400-500 m yaitu 2,04. Berdasarkan hasil analisis pada tabel empat dapat dilihat bahwa keanekaragaman jenis dari jarak 0-300 m adalah rendah karena dari tabel menunjukkan bahwa H’<2. Hal ini menunjukkan bahwa spesies yang tumbuh di daerah tersebut jumlahnya sedikit. Pada jarak 300-400 m

dapat dilihat bahwa H’>2 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman jenis

sedang.

Pembahasan

Dari hasil pengukuran yang dilakukan pada ketebalan humus hutan di hutan pendidikan USU sebanyak lima petak pengukuran dengan jarak 50-500 meter ke dalam hutan yang berbatasan dengan lahan pertanian masyarakat dapat

dilihat bahwa ketebalan humus yang didapat memiliki perbedaan ketebalan pada setiap petak pengukuran. Dari tabel yang disajikan dapat dilihat bahwa ketersediaan humus hutan mengalami peningkatan dari jarak 50-100 m memiliki

rata-rata 1,8 cm sampai dengan jarak 500 m memiliki rata-rata 3,9 cm. Rata-rata ketebalan humus tertinggi terdapat pada petak I yaitu pada jarak 400-500 m

dengan rata-rata ketebalan 5,5 cm, sedangkan untuk rata-rata ketebalan humus terendah terdapat pada petak I dengan jarak 100-200 m kedalam hutan. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan terhadap humus hutan dilakukan secara acak di

(42)

Gambar 2. Vegetasi yang terganggu dan tidak terganggu

Dari hasil pengukuran yang didapat menunjukkan bahwa ketebalan humus

hutan terendah sampai ketebalan humus tertinggi tidak berurutan dari petak satu sampai dengan petak kelima walaupun rata-rata ketebalannya meningkat dari jarak 500-500 m, tetapi ketebalan humus naik turun pada setiap petak. Hal ini

disebabkan karena berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa pengambilan humus hutan oleh masyarakat dilakukan secara acak di dalam hutan. Masyarakat yang mengambil humus tidak

terfokus pada jarak terdekat dari jalan pengangkutan, tetapi juga memperhatikan areal yang cocok dan mudah untuk melakukan pengambilan humus seperti

kelerengan dan kandungan humus yang terdapat pada areal yang diambil humusnya.

Melakukan pengambilan humus di hutan merupakan mengganggu fungsi

dan komponen dalam hutan, mengganggu siklus ekologi yang seharusnya

berlangsung secara alami di dalam hutan, apabila humus diambil berarti zat makanan tidak lagi tersedia untuk pertumbuhan vegetasi di hutan. Hal ini sesuai dengan studi Novandry dkk (2005) yang menyatakan bahwa humus merupakan

(43)

menjaga keseimbanagan alam. Tanpa humus, maka hutan akan kehilangan

fungsinya dalam menjaga kestabilan siklus hidrologi dan daur hara tanah.

Pengambilan humus hutan oleh masyarakat merupakan gangguan terhadap kestabilan fungsi hutan. humus yang terbentuk didalam hutan terjadi secara alami di alam dengan siklus tertutup di bawah pengaruh vegetasi hutan. Hal ini sesuai

studi Yamani (2012) bahwa secara alami, keperluan unsur hara bagi tanaman dapat terpenuhi melalui siklus hara yang relative tertutup yang terjadi antara

tanaman dan tanah hutan. Berbagai dampak kelak di kemudian hari akan timbul bila permasalahan ini tidak pernah diselesaikan dengan pendekatan dan tinjauan yang ilmiah. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Sumarno at al. (2009)

dalam ekologi alamiah yang tidak terjadi campur tangan manusia, siklus karbon biologis dan unsur lainnya terjadi secara tertutup in situ, sehingga berdampak terhadap keberlanjutan kehidupan biota penyusun ekologi.

Dari analisis data yang diperoleh dapat dilihat dari jarak 0-500 m baik ditingkat semai maupun ditingkat pancang bahwa jumlah individu tertinggi

rata-rata terdapat pada jenis Rasamala, kecuali pada jarak 0-100 m jumlah tertinggi trdapat pada Macaranga. Hal ini menunjukkan bahwa jenis Rasamala merupakan jenis yang memiliki kemampuan adaptasi tertinggi untuk dapat tumbuh pada

lokasi tersebut, sehingga tumbuhan ini paling banyak ditemukan mulai dari jarak

0-500 m. Tabel yang disajikan menunjukkan bahwa jumlah individu tertinggi pada tingkat semai ditemukan pada jarak 400-500 m dengan jumlah individu 60. Sedangkan jumlah individu terendah terdapat pada jarak 0-100 m dengan jumlah

(44)

Hasil perhitungan untuk keanekaragaman jenis suatu daerah dapat dilihat

bahwa keanekaragaman tertinggi terdapat pada jarak 400-500 m untuk tingkat

semai dengan nilai Shanon Whiener (H’)=2,1 sehingga keanekaragaman jenis

pada tingkat ini adalah keanekaragaman sedang dimana H’>2. Sedangkan untuk jalur transek lainnya memiliki nilai keanekaragaman kurang dari 2, sehingga

keanekaragaman jenis tergolong rendah dimana H’< 2. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Magurran (1988) yang menyatakan bahwa besaran Keanekaragaman

shanon Wiener (H’) menunjukkan keanekaragaman jenis pada suatu daerah. Dengan ketentuan jika H’<2 maka ini menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, jika H’= 2 – 3 maka ini menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan jika H’>3 ini menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi.

Pada tingkat pancang dapat dilihat bahwa keanekaragaman tertinggi

terdapat pada jarak 300-500 m ke dalam hutan. Hal tersebut dibuktikan dengan

nilai H’>2 sehingga keanekaragaman tergolong sedang. Hasil ini juga membuktikan bahwa semakin kedalam hutan maka vegetasi semakin bagus pertumbuhannya karena gangguan yang kemungkinan terjadi sedikit. Tinggi rendahnya Keanekaragaman jenis pada suatu daerah dilihat dari hasil analisis

vegetasi pada daerah tersebut. Apabila hasil analisis yang didapat pada suatu areal

hutan tergolong rendah berarti menunjukkan bahwa vegetasi yang ada dalam hutan tersebut mengalami gangguan baik diganggu secara sengaja maupun tidak disengaja. Salah satu gangguan secara langsung adalah berupa pengambilan

(45)

dan Jackson (2000) bahwa bahan organik pada tanah hutan merupakan komponen

penting ditinjau dari siklus hara, siklus hidrologi, produktivitas hutan, dan neraca

karbon global. Secara global, tanah mengandung cadangan karbon lebih besar daripada kawasan daratan lainnya dan bahan organik pada tanah hutan merupakan ekosistem yang sangat dinamis.

Dari hasil pengamatan di lapangan juga terlihat bahwa saat humus hutan dikuras dari dalam hutan maka dalam waktu yang sama juga dilakukan bahwa

anakan yang ada disekitarnya menjadi terganggu karena dianggap mempersulit dan memperlambat saat pengambilan humus dilakukan. Pengambilan humus merupakan pengurasan unsur hara dari dalam ekosistem hutan dan akan

menyebabkan ketersediaan hara dalam hutan menjadi berkurang. Sesuai pernyataan Hartati (2008) Salah satu faktor penyebab pengurasan persediaan hara tanah karena adanya aliran hara keluar ekosistem hutan tanaman yang berupa

kehilangan unsur hara pada saat pemanenan, yaitu berupa kandungan unsur hara dalam batang dan kulit kayu yang dikeluarkan dari lahan.

Keanekaragman jenis suatu daerah dapat diketahui dengan melakukan analisis terhadap vegetasi yang ada dalam hutan. Analisis vegetasi dapat mempermudah dan mempercepat perhitungan dan pengamatan di lapangan, serta

dapat mengetahui tingkat kerusakan yang terjadi pada suatu areal hutan. Selain itu

juga data yang diperoleh merupakan data yang sudah mewakili daerah yang dianalisis. Analisis vegetasi juga untuk mengetahui struktur dari masyarakat tumbuh-tumbuhan di dalam hutan. Sesuai pernyataan Marsono (1977) bahwa

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ketersediaan humus tertinggi pada jarak 50-500 m kedalam hutan adalah

sebesar 6 cm yang terdapat pada jarak 150 m (petak 2) dan jarak 500 m (petak 1), ketersediaan humus terendah sebesar 0 cm dan tersebar pada semua petak pengukuran.

2. Ketersediaan humus hutan mulai stabil terdapat pada jarak 350-500 m, sehingga jarak pengambilan humus oleh masyarakat rata-rata sampai pada jarak 300 kedalam hutan dan pengambilannya dilakukan secara acak..

3. Pengambilan humus hutan mengganggu dan merusak pertumbuhan vegetasi

terutama pada tingkat semai dan pancang karena menyebabkan keanekaragaman jenis menjadi rendah.

Saran

Diharapakan perhatian yang serius dari pemerintah untuk memberikan arahan dan melakukan pengawasan kepada masyarakat agar tidak mengambil humus dari dalam hutan, melainkan mencari solusi untuk mengubah pola

pertanian masyarakat tidak menggunakan humus hutan tetapi menggunakan

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S. A. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Bigrafi Publishing. Yogyakarta.

Bahruni, 1999. Penilaian Sumber Daya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 1-26.

Bambang, 1995. Hutan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. PT. Gramedia, Jakarta.

BPDAS Jenebrang, 2010. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Walanae.

BPS Kabupaten Karo, 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo Koordinator Statistik Kecamatan Dolat Rayat. Sumatera Utara.

D.L. Sparks. 1995. Environmental Soil Chemistry. Academic Press. San Diego. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun

1999 Tentang Kehutanan. Jakarta.

Encyclopaedia Britannica, 1990. Humus. In: The New Encyclopaedia, Britannica, Micropaedia, vol. 6., Encyclopaedia Britannica, Inc., p. 147.

Hardjosoemantri, Koesnadi. 1993. Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Edisi Pertama. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hartati, W. 2008. Evaluasi Distribusi Hara Tanah dan Tegakan Mangium, Sengon dan Leda pada Akhir Daur untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman di Umr Gowa Pt Inhutani I Unit Iii Makassar. Jurnal Hutan dan Masyarakat Vol. 3 No. 2 :111-234.

Helms, J. A. 1980. Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi dan Penghijauan Hutan Alam Rakyat. Lokakarya Pemilihan Jenis Tanaman Reboisasi. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Herawaty. 2004. Pengaruh Perambahan Hutan terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Lembaga Kerja Sama Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

(48)

Latifah, S. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement, Chapman and Hall: USA.

Marsono, 1977. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Tiga. Terjemahan TjahjonoSamingan.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Nopandry, B., Pian Z. A, dan Rahmawaty. 2005. Pengambilan Humus hutan oleh Masyarakat. Peronema Forestry Science journal Vol.1, No.1:1-8.

Purwoko, A., 2002. Kajian Akademis Hutan Kemasyarakatan: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rahmawaty, 2004. Hutan: Fungsi Dan Peranannya Bagi Masyarakat. USU. Medan.

Rido, M.S.B., 2003. Hubugan antara kegiatan Perambahan hutan oleh masyarakat pendatang dengan kondisi sosial ekonomi di kawasan ekosistem leuser: fakultas pertanian, USU, Medan.

Sabaruddin, Fitri. S. N. A., Lestari. L. 2009. Hubungan antara Kandungan Bahan Organik Tanah dengan Periode Pasca Tebang Tanaman HTI Acacia Mangium Willd: Hubungan Kandungan Bahan Organik Tanah Hutan. J. Tanah Trop., Vol. 14, No. 2: 105-110.

Sabaruddin, Fitri. S. N. A., Lestari. L. 2009. Hubungan antara Kandungan Bahan Organik Tanah dengan Periode Pasca Tebang Tanaman HTI Acacia Mangium Willd: Hubungan Kandungan Bahan Organik Tanah Hutan. J. Tanah Trop., Vol. 14, No. 2: 105-110. Dalam Jobággy E.G. and R.B Jackson. 2000. The vertical distribution of soil organic carbon and its relation to climate and vegetation. Ecol. Appl. 10: 423-36.

Santoso, L dan Robert Nasi, 2002. Indonesian Polex (Indopolex) http://www.cifor.cgiar.org/dock/_ref/polex/Indonesia (20 September 2014). Spurr, S. H. And V. B. Burton. 1980. Forest Ecology. Second edition. The Ronald

Press Company. New York.

Sumarno, Kartasasmita. U. G, dan Pasaribu, D. 2009. Pengayaan Kandungan Bahan Organik Tanah Mendukung Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah: Pengayaan Kandungan Bahan Organik Tanah Sawah. Jurnal Iptek Tanaman Pangan. Vol. 4, No. 1:18-32.

(49)

Yamani, A. 2012. Analisis Kadar Hara Makro Tanah pada Hutan Lindung Gunung Sebatung di Kabupaten Kotabaru. Jurnal Hutan Tropis Vol 12. No. 2:1-7.

(50)

LAMPIRAN

Gambar (a) Pengukuran Humus Gambar (b) Kondisi Vegetasi terganggu

Gambar (c) Pengambilan humus merusak vegetasi Gambar (d) Gangguan terhadap tingkat semai dan pancang saat pengambilan humus

(51)

Data Pengukuran Ketebalan Humus

Jarak Kedalam

Hutan Jalur Transek Berdasarkan Jarak Kedalam Hutan (m) Petak I Petak II Petak III Petak IV Petak V

50 0 cm 0 cm 1 cm 0 cm 0 cm

100 3 cm 4 cm 3 cm 3 cm 4 cm

150 0 cm 6 cm 0 cm 3 cm 4 cm

200 0 cm 1 cm 4 cm 4 cm 0 cm

250 0 cm 4 cm 2 cm 3 cm 0 cm

300 5 cm 5 cm 3 cm 2 cm 3 cm

350 4 cm 2 cm 2 cm 2 cm 4,5 cm

400 4 cm 3 cm 3 cm 3 cm 4 cm

450 5 cm 3 cm 3 cm 2 cm 4 cm

Gambar

Gambar 1. Desain kombinasi antara metode jalur dan metode berpetak
Tabel 2. Hasil pengukuran ketebalan humus hutan pada jarak 50-500 m
Tabel 3. Data Tingkat Semai di Hutan Pendidikan USU dari Jarak 0-500 m
Tabel 4. Data Tingkat Pancang di Hutan Pendidikan USU dari Jarak 0-500 m
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

mampu menpekerjakan lebih banyak lagi buruh di poruaaha-.. Perjanjian kerja bersama dapat juga tidak ter-. Trujud karena tidak adanya keoopakatan antara

This paper investigates associations between evaluations of activity based costing (ABC) systems, contextual factors, and factors related to the ABC implementation process

Guru mengapresiasi jawaban siswa yang mau menjawab dengan meminta siswa tersebut untuk menunjukkan bagian tubuh sesuai dengan jawabannya.. Guru memancing siswa

There is no interaction between the presence or absence of a superior and a subordinate's culture (Anglo-American or Chinese) a€ect- ing the subordinate's propensity to

Sebaliknya di dalam zone kelebihan antigen, semua antibodi telah bereaksi dengan antigen (tidak ada antibodi di dalam supernatan), tetapi kompleks yang terbentuk tetap dapat

Kebanyakan konsumen akan menjadi konsumen apabila mereka merasa cocok terhadap produk atau jasa yang ditawarkan, untuk itu diperlukan waktu yang tepat yaitu pada waktu

trust (kepercayaan organisasi) memiliki hubungan positif dengan komitmen organisasi serta kinerja dari individu (Golembiewski &amp; McConkie, 1975) dalam.