PEMROGRAMAN LINEAR INTEGER UNTUK BEBERAPA
SKENARIO MASALAH PENUGASAN ARMADA PADA
MASKAPAI LION AIR
FRIED MARKUS ALLUNG BLEGUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemrograman Linear
Integer untuk Beberapa Skenario Masalah Penugasan Armada pada Maskapai
Lion Air adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
RINGKASAN
FRIED MARKUS ALLUNG BLEGUR. Pemrograman Linear Integer untuk
Beberapa Skenario Masalah Penugasan Armada pada Maskapai Lion Air.
Dibimbing oleh TONI BAKHTIAR dan AMRIL AMAN.
Penugasan armada merupakan salah satu proses dalam perencanaan
maskapai. Tugas dari penugasan armada adalah untuk menentukan tipe armada
yang paling tepat dengan rute tertentu dalam jadwal, sementara mengoptimalkan
beberapa fungsi tujuan dan memenuhi berbagai kendala operasional. Salah satu
fungsi tujuan dalam penugasan armada adalah memaksimalkan keuntungan yang
diperoleh dengan meminimalkan biaya penugasan. Biaya ini mencakup dua
bagian, yaitu
operational cost dan
passenger-spill cost.
Operational cost
merupakan biaya mengoperasikan sebuah segmen penerbangan menggunakan tipe
armada tertentu dan biasanya mencakup hal-hal seperti biaya bahan bakar (fuel
cost), biaya pendaratan (landing fees), biaya penyusutan dan amortisasi
(depreciation and amortization), serta biaya layanan penumpang (passenger
service cost), sedangkan
passenger-spill cost adalah pendapatan yang hilang
ketika pesawat yang ditugaskan untuk penerbangan tertentu tidak dapat
menampung semua permintaan penumpang.
Model penugasan armada dasar yang saat ini digunakan oleh perusahaan
penerbangan dalam industri adalah model yang diajukan oleh Hane pada tahun
1995. Model tersebut terdiri dari tiga kendala, yaitu flight cover, aircraft balance
dan
fleet size dengan fungsi tujuan meminimumkan jumlah biaya penugasan
harian.
Dalam penelitian ini, model penugasan armada dimodifikasi dengan
melibatkan kendala
runway take off
dan
runway landing. Modifikasi model ini
diaplikasikan dengan menggunakan data real dari perusahaan maskapai yang
memiliki pasar terbesar di Indonesia, yaitu Lion Air. Ada tiga skenario yang
ditelaah. Tujuan dari skenario pertama adalah untuk menetapkan jenis armada
yang paling tepat untuk penerbangan sambil meminimalkan biaya. Dalam
skenario kedua, model dalam skenario pertama dimodifikasi untuk meminimalkan
banyaknya pesawat yang diperlukan untuk meng-cover seluruh penerbangan
dalam jadwal. Tujuan dari skenario ketiga adalah untuk menetapkan jenis armada
yang paling tepat untuk penerbangan sambil meminimalkan bukan hanya biaya
melainkan juga banyaknya pesawat yang diperlukan untuk meng-cover seluruh
penerbangan dalam jadwal.
Demand setiap kota asal-tujuan diperoleh dengan memanfaatkan load factor
maskapai, kapasitas tempat duduk,
market share maskapai dan pertumbuhan
penumpang transportasi udara.
Revenue per available seat mile (unit revenue)
maskapai diperoleh dengan memanfaatkan harga rata-rata tiket, demand, kapasitas
kursi, dan
operational cost per jam setiap tipe armada.
Unit revenue digunakan
untuk menghitung biaya penugasan setiap segmen penerbangan.
penerbangan dalam jadwal, yaitu 95 unit. Satu pesawat yang tidak digunakan akan
berlokasi di salah satu
hub untuk kepentingan perawatan, parkir dan persiapan
untuk tujuan lain. Penugasan dalam skenario ini semata-mata hanya
meminimalkan banyaknya pesawat yang diperlukan sehingga total biaya
penugasan harian meningkat hingga 8.27%. Dalam skenario ketiga, model
dimodifikasi dengan memanfaatkan hasil skenario kedua. Modifikasi model
memberikan jumlah minimum pesawat yang dapat meng-cover seluruh
penerbangan dalam jadwal, yaitu 95 unit, dengan biaya penugasan yang lebih
rendah dari skenario kedua. Pilihan ini dapat dipertimbangkan bila dibutuhkan
satu pesawat diistirahatkan untuk kepentingan pemeliharaan.
SUMMARY
FRIED MARKUS ALLUNG BLEGUR. Integer Linear Programming of Fleet
Assignment Problem Scenarios at Lion Air. Supervised by TONI BAKHTIAR
and AMRIL AMAN.
Fleet assignment is one of the airline planning process. The task of fleet
assignment is to match each aircraft type in the fleet with a particular route in the
schedule, while optimizing some objective function and meeting various
operational constraints. One of the objective functions in the fleet assignment is to
maximize profits by minimize the assignment cost. This cost includes two parts,
namely operating cost and passenger-spill cost. Operational cost is the cost of
operating a flight leg using a fleet type available and typically includes things like
the fuel cost, landing fees, depreciation and amortization, and passenger service
cost. Spill cost is the revenue lost when the assigned aircraft to a particular flight
cannot accommodate all passenger demands.
The basic fleet assignment model which currently used by the airlines in the
industry is the model proposed by Hane in 1995. The model consists of three
constraints, namely flight cover, aircraft balance and fleet size with the objective
function is to minimize the total daily assignment cost.
In this research, the fleet assignment model is modified to include the
runway take-off constraints and runway landing constraints. The modified model
is then applied by using real data from the airline company which has the largest
market in Indonesia, Lion Air. Three scenarios of the fleet assignment have been
analyzed. The aim of first scenario is to assign the most appropriate fleet type to
flights while minimizing the cost. In second scenario, the objective function of
first scenario is modified to minimize the number of aircraft to cover all flights in
schedule. The aim of third scenario is to assign the most appropriate fleet type to
flights while minimizing not only the cost but also the number of aircraft to cover
all flights in schedule.
The demand of every origin-destination city is obtained by using airline load
factor, the seating capacities, market share and the growth of passenger of air
transportation. Airline revenue per available seat mile (unit revenue) is obtained
by using the average of ticket prices, demand, the seating capacity, and operating
cost per hour for every fleet type. Unit revenue is used to calculate the assignment
cost for every flight leg.
cost than that of the second scenario. This option can be considered when it is
required to ground an aircraft for maintenance.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Matematika Terapan
PEMROGRAMAN LINEAR INTEGER UNTUK BEBERAPA
SKENARIO MASALAH PENUGASAN ARMADA PADA
MASKAPAI LION AIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Tesis : Pemrograman Linear Integer untuk Beberapa Skenario Masalah
Penugasan Armada pada Maskapai Lion Air
Nama
: Fried Markus Allung Blegur
NIM
: G551120141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Toni Bakhtiar, MSc
Ketua
Dr Ir Amril Aman, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Matematika Terapan
Dr Jaharuddin, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
27 Agustus 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini berjudul Pemrograman Linear Integer
untuk Beberapa Skenario Masalah Penugasan Armada pada Maskapai Lion Air.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Toni Bakhtiar, MSc dan
Bapak Dr Ir Amril Aman, MSc selaku pembimbing, atas semua saran, ilmu dan
kesabaran. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bib Paruhum
Silalahi, MKom selaku penguji yang telah memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada pihak maskapai Lion Air yang telah
memverifikasi data penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
2
MODEL PENUGASAN ARMADA
2
Penugasan Armada
3
Operational Cost
3
Passenger-Spill Cost
4
Teknik Time-Space Network
4
Demand
4
Load Factor
6
Market Share
6
Fleet Assignment Model
7
Skenario Penugasan Armada
8
3
LION AIR
9
Network
9
Armada
9
4
METODE PENELITIAN
10
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Data dari Maskapai Lion Air
10
Kendala Runway
14
Skenario Masalah Penugasan Armada
16
6
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
26
DAFTAR TABEL
1
Armada Lion Air
9
2
Kota-kota yang dilayani Lion Air untuk penerbangan domestik
11
3
Kota-kota yang dilayani Lion Air untuk penerbangan internasional
11
4
Karaktaristik armada Lion Air
12
5
Panjang minimum landasan pacu bandara yang dibutuhkan untuk lepas
landas pesawat
14
6
Panjang landasan pacu bandara-bandara yang dilayani oleh maskapai
Lion Air
15
7
Frequensi penugasan armada skenario pertama dan penugasan armada
yang diberlakukan pihak manajemen Lion Air
17
8
Banyaknya pesawat yang harus siaga pada malam hari di setiap bandara
untuk penerbangan hari berikutnya untuk skenario pertama
18
9
Banyaknya pesawat yang harus siaga pada malam hari di setiap bandara
untuk penerbangan hari berikutnya untuk skenario kedua
19
10
Frequensi penugasan armada untuk skenario pertama, kedua dan
penugasan armada yang diberlakukan pihak manajemen Lion Air
19
11
Banyaknya pesawat yang harus siaga pada malam hari di setiap bandara
untuk penerbangan hari berikutnya untuk skenario ketiga
23
12
Frequensi penugasan armada untuk skenario pertama, kedua, ketiga dan
penugasan armada yang diberlakukan pihak manajemen Lion Air
23
DAFTAR GAMBAR
1
Tahapan perencanaan operasional maskapai
3
2
Contoh time-space network, Bazargan (2010)
5
DAFTAR LAMPIRAN
1
Jadwal penerbangan maskapai Lion Air
26
2
Hasil perhitungan demand harian setiap segmen penerbangan
41
3
Perhitungan RASM
49
4
Biaya penugasan setiap tipe armada untuk setiap segmen penerbangan
53
5
Program LINGO untuk skenario pertama
68
6
Hasil eksekusi program LINGO skenario pertama
69
7
Penugasan armada Lion Air untuk skenario pertama
80
8
Program LINGO untuk skenario kedua
88
9
Hasil eksekusi program LINGO skenario kedua
89
10
Penugasan armada Lion Air untuk skenario kedua
100
11
Program LINGO untuk skenario ketiga
108
12
Hasil eksekusi program LINGO skenario ketiga
109
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fleet assignment problem (masalah penugasan armada) merupakan salah
satu masalah yang sulit dan komprehensif yang dihadapi dalam perencanaan
maskapai. Suatu maskapai biasanya mengoperasikan beberapa tipe armada. Setiap
tipe memiliki karakteristik yang berbeda, seperti kapasitas tempat duduk, bobot
pendaratan pesawat, awak, pemeliharaan, dan bahan bakar (Yu dan Thengvall
1999), akibatnya penugasan setiap tipe armada akan memberikan konsekuensi
biaya yang berbeda. Penetapan tipe armada untuk suatu
flight leg (segmen
penerbangan) secara efektif sangat penting dalam perencanaan maskapai, sebab
tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya maskapai. Tujuan dari penugasan
armada adalah menentukan tipe armada yang paling tepat dengan rute tertentu
dalam jadwal yang tersedia sementara mengoptimalkan beberapa fungsi tujuan
dan memenuhi berbagai kendala operasional (Abara 1989). Perencanaan ini hanya
menyangkut tipe armada, bukan pesawat tertentu.
Dalam penugasan armada, keuntungan maksimal diperoleh dengan
meminimalkan
operational cost dan
spill cost (Subramanian
et al. 1994).
Operational cost adalah biaya mengoperasikan sebuah segmen penerbangan
menggunakan tipe armada yang ditugaskan dan biasanya mencakup hal-hal seperti
biaya bahan bakar (fuel cost), biaya pendaratan (landing fees), biaya penyusutan
dan amortisasi (depreciation and amortization), serta biaya layanan penumpang
(passenger service cost).
Spill cost merupakan biaya kehilangan peluang
pendapatan akibat permintaan penumpang melebihi kapasitas pesawat, yang
karenanya ada potensi pendapatan yang hilang (Belobaba et al. 2009).
Sebuah solusi biaya minumum ditemukan dalam studi Bazargan (2010)
dengan menggunakan
Fleet Assignment Model (FAM) dasar yang diperkenalkan
oleh Hane et al. (1995). Bazargan melibatkan operational cost dalam model tugas
armada, bersama dengan spill cost, recapture rate, dsb. Recapture rate merupakan
presentase mendapatkan kembali calon penumpang yang hampir hilang. Ozdemir
et al. (2012) menggunakan FAM dalam studi kasus di Turki. Studi tersebut
menggunakan data real dari Turkish Airlines.
PT. Lion Mentari Airlines merupakan maskapai penerbangan swasta
terbesar di Indonesia yang melayani lebih dari 600 penerbangan perhari
menggunakan lebih dari 90 pesawat yang tersedia. Hal ini menyebabkan maskapai
ini memiliki konsekuensi mengeluarkan biaya penugasan dalam jumlah yang
besar setiap hari. Oleh karena itu, keputusan yang tepat terhadap penugasan
armada sangat diperlukan untuk meminimalkan biaya penugasan.
Lingkup penelitian ini adalah menyelesaikan masalah penugasan armada
terhadap seluruh segmen penerbangan, baik domestik maupun internasional dari
maskapai Lion Air. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data
real yang diperoleh dari Lion Air.
2
armada terbaik untuk setiap segmen penerbangan yang memberikan biaya
maskapai minimum. Dalam skenario kedua, model akan dimodifikasi untuk
meminimalkan total pesawat yang diperlukan untuk meng-cover seluruh
penerbangan dalam jadwal. Skenario ketiga untuk meminimumkan total biaya
maskapai sekaligus jumlah minimum pesawat yang diperlukan untuk meng-cover
seluruh penerbangan dalam jadwal.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Memodifikasi FAM
dan menerapkannya pada maskapai Lion Air untuk
memperoleh total biaya penugasan harian minimum.
2.
Menerapkan modifikasi FAM
pada maskapai Lion Air untuk memperoleh
jumlah minimum pesawat yang harus siaga pada malam hari di setiap
bandara untuk penerbangan hari berikutnya.
3.
Menerapkan modifikasi FAM
pada maskapai Lion Air untuk memperoleh
total biaya penugasan harian minimum sekaligus jumlah minimum pesawat
yang harus siaga pada malam hari di setiap bandara untuk penerbangan hari
berikutnya.
2
MODEL PENUGASAN ARMADA
Abara (1989) merupakan peneliti pertama yang mengatasi masalah realistis
penugasan armada dalam skala besar menggunakan koneksi berbasis struktur
jaringan. Dengan rumusan model yang sangat mirip dengan Abara, Rushmeier
dan Kontogiorgis (1997) menggunakan beberapa teknik pemrosesan awal yang
lebih efektif untuk memecahkan masalah tanpa harus menentukan koneksi yang
mungkin bagi setiap penerbangan.
Berge dan Hopperstad (1993) serta Hane et al. (1995) menggunakan metode
yang berada di antara para peneliti pertama yang menggunakan struktur jaringan
ini. Mereka memodelkan penugasan armada sebagai masalah
mixed-integer
multicomodity yang bergantung pada apakah ada tugas awal yang valid atau tidak.
Yan dan Young (1996) mengembangkan sebuah framework pendukung keputusan
untuk perutean
multi-fleet dan penjadwalan penerbangan
multi-stop. Pendekatan
pada penelitian ini dilakukan dengan mengembangkan model matematis untuk
menyelesaikan masalah iterasi dua fase. Desaulniers
et al. (1997)
mengembangkan masalah penentuan tipe armada dengan penentuan rute pesawat
terbang untuk
flight leg yang lebih fleksibel dalam
time windows. Berdasarkan
diskritisasi dari time windows, Rexing et al. (2000) merumuskan masalah program
linear integer dan menyelesaikannya menggunakan
algebraic preprocessor dan
skema branch-and-bound.
3
Penugasan Armada
Perencanaan operasional maskapai dapat dibagi menjadi tiga masalah yang
saling berkaitan, yaitu penentuan penerbangan yang akan ditawarkan, pesawat
mana yang digunakan pada setiap penerbangan, dan awak yang akan melakukan
penerbangan tersebut. Langkah-langkah perencanaan operasional maskapai
ditunjukkan pada Gambar 1.
Aircraft assigment (penugasan pesawat) adalah proses yang mendefinisikan
pesawat mana yang akan melakukan penerbangan setiap segmen dalam jadwal.
Langkah pertama dari proses ini adalah fleet assignment (penugasan armada) yang
bertujuan untuk menentukan tipe armada yang paling tepat pada segmen
penerbangan tertentu dalam jadwal yang tersedia agar
demand penumpang yang
telah diramalkan terpenuhi tanpa menggunakan pesawat melebihi persediaan dan
memastikan
aircraft balance di setiap bandara, sementara mengoptimalkan
beberapa fungsi tujuan dan memenuhi berbagai kendala operasional.
Operational Cost
Operational cost untuk penerbangan bergantung pada tipe armada yang
ditugaskan untuk penerbangan tersebut. Setiap tipe armada memiliki karakteristik
yang berbeda sehingga
operational cost seiap armada juga berbeda. Karakteristik
armada antara lain kapasitas tempat duduk, bobot pendaratan, awak, pemeliharaan,
dan bahan bakar (Yu dan Thengvall 1999). Beberapa penelitian sebelumya,
seperti yang dilakukan Bazargan (2010) dan Ozdemir
et al. (2012), penentuan
operational cost dialakukan dengan cara sebagai berikut:
Biaya operasi penerbangan = CASM armada × jarak × banyaknya kursi di
pesawat,
di mana CASM (Cost per Available Seat Mile) atau 'unit cost' adalah biaya
rata-rata terbang satu kursi untuk satu mil (kilometer).
Agar lebih realistis, perhitungan operational cost penugasan armada harus
dilakukan sesuai dengan karakteristik armada yang ditugaskan dan kebijakan
maskapai, di antaranya biaya bahan bakar, biaya pendaratan, biaya penyusutan
dan amortisasi setiap kali pesawat digunakan, serta biaya pelayanan kepada
penumpang selama penerbangan.
Flight Definition
Route
Development
Schedule
Generation
Aircraft Assignment
Fleet
Assignment
Maintenance
Routing
Crew Assignment
Crew
Pairing
Crew
Rostering
4
Passenger-Spill Cost
Suatu faktor yang penting dalam penugasan tipe armada adalah
demand
(tingkat permintaan) penumpang untuk setiap segmen penerbangan. Penggunaan
pesawat berkapasitas besar untuk segmen penerbangan dengan tingkat permintaan
yang rendah menyebabkan rendahnya pemanfaatan dan akibatnya banyak kursi
kosong yang diterbangkan yang disebut
low
load-factor untuk maskapai. Di sisi
lain, penggunaan pesawat berkapasitas kecil untuk segmen penerbangan dengan
tingkat permintaan yang tinggi menyebabkan adanya pendapatan yang hilang
(spill cost).
Passenger-spill adalah tingkat permintaan rata-rata yang melebihi
kapasitas yang ditawarkan.
Passenger-spill cost adalah pendapatan yang hilang
karena tingkat permintaan melebihi kapasitas kursi.
Passenger-spill cost dapat
dihitung dengan cara sebagai berikut:
Spill cost untuk armada = banyaknya penumpang yang tidak terangkut × RASM ×
jarak penerbangan,
dengan RASM merupakan
Revenue per Available Seat Mile (Kilometer), atau
‘
unit revenue’
maskapai.
Teknik
Time-Space Network
Teknik
time-space network digunakan membangun model penjadwalan dan
rute penerbangan dengan tujuan memaksimalkan keutungan dengan demikian
meminimalkan biaya maskapai. Teknik ini juga mempermudah melihat jadwal
dan rute penerbangan yang telah dibangun. Tiap jaringan menunjukkan
pergerakan satu tipe armada dengan periode waktu tertentu pada beberapa bandara
tertentu.
Dua komponen penting dalam
time-space network adalah
node dan
arc.
Node menunjukkan bandara pada waktu tertentu, sedangkan
arc
menunjukkan
aktivitas
penerbangan.
Dalam
fleet
assignment,
node
menunjukkan
keberangkatan/kedatangan dari suatu segmen penerbangan pada bandara tertentu
pada waktu tertentu, sedangkan arc menunjukkan penerbangan dari suatu bandara
ke bandara yang lain. Wrap-around arc adalah ground arc yang menghubungkan
node terakhir ke node pertama dalam satu bandara tertentu. Arc ini menunjukkan
pesawat yang bersiaga di bandara untuk penerbangan hari berikutnya (Gambar 2).
Aliran arc menunjukkan aliran pesawat dalam jaringan.
Demand
5
Perkiraan
demand penerbangan merupakan elemen kunci dalam kegiatan
perencanaan penugasan armada. Identifikasi yang tepat terhadap faktor-faktor
penyebab dan mengukur efeknya berkontribusi pada pemahaman dasar
demand
perjalanan udara dan memungkinkan prediksi yang masuk akal dari respon
demand terhadap berbagai skenario masa depan, termasuk berbagai tingkat
kemacetan, konektivitas jaringan, ukuran pesawat dan frekuensi, harga bahan
bakar, serta faktor-faktor lainnya. Perkiraan ini mempengaruhi hampir semua
tahapan proses perencanaan, termasuk dalam masalah penugasan armada (Hsiao
2008).
Menganalisis
demand perjalanan udara merupakan bagian integral dari
rencana bandara yang mencerminkan pemanfaatan kapasitas, yang akan
dipertimbangkan untuk membuat keputusan. Menurut Lyneis (2000),
demand
perjalanan udara dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan
internal. Asumsi tentang permintaan dan kinerja masa depan sangat penting untuk
keputusan bisnis. Lyneis menilai tiket pesawat sebagai faktor internal, serta
Produk Domestik Bruto (PDB) dan penduduk sebagai faktor eksternal.
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
Bandara A
Bandara B
Bandara C
Bandara
D
Bandara E
Armada Tipe 1
Armada Tipe 2
Armada Tipe 3
Keterangan:
6
Load Factor
Rata-rata
load factor mempunyai peran penting dalam menentukan
frekuensi penerbangan antara pasangan kota asal-tujuan. Load factor merupakan
rata-rata persentase kursi pesawat yang terisi penumpang. Parameter yang
mempengaruhi
load factor seperti waktu penerbangan, frekuensi, jenis layanan
dan, tentu saja, tingkat tarif.
Load factor yang lebih tinggi tidak selalu
diterjemahkan ke dalam pendapatan yang lebih tinggi bagi penerbangan
(Bazargan 2010).
Load factor mengacu pada rasio lalu lintas terhadap output maskapai, yang
merupakan proporsi dari output maskapai yang dijual atau dikonsumsi. Output
dari sebuah maskapai penerbangan penumpang dapat direpresentasikan dalam
berbagai cara, termasuk jumlah keberangkatan penerbangan yang dioperasikan
dan jumlah kursi yang diterbangkan.
Ada dua ukuran
load factor dalam penerbangan penumpang, yakni sebagai
berikut:
1.
Rata-rata load factor, yaitu rata-rata sederhana dari
load factor dua segmen
penerbangan. Ukuran ini lebih tepat untuk analisis kapasitas permintaan atau
tingkat layanan penumpang pada serangkaian keberangkatan segmen
penerbangan (misalnya, pada rute tertentu dalam jangka waktu lebih dari
satu bulan).
2.
Jaringan rata-rata atau sistem
load factor merupakan ukuran yang lebih
umum, dan digunakan dalam sebagian besar laporan keuangan dan lalu
lintas kinerja sistem maskapai.
Untuk segmen penerbangan tunggal (yaitu, operasi
non-stop),
load factor
dapat didefinisikan sebagai jumlah penumpang dibagi dengan jumlah kursi di
penerbangan. Misalnya penerbangan dengan jumlah penumpang 140 orang dan
jumlah kursi yang tersedia 200 buah, maka
load factor dapat dihitung sebagai
penumpang yang diangkut dibagi dengan kursi yang tersedia, yakni 70%
(Belobaba et al. 2009).
Market Share
Market share maskapai didefinisikan sebagai proporsi dari total permintaan
pasar yang diperoleh suatu maskapai.
Market share dinyatakan dalam pangsa
penumpang yang diangkut oleh maskapai penerbangan, atau bisa juga dapat
dinyatakan dalam hal pangsa
Revenue Passenger Kilometer (RPK) pasar atau
pendapatan.
Persaingan maskapai untuk mendapatkan penumpang dan meningkatkan
market share berdasarkan faktor-faktor berikut:
1.
Frekuensi penerbangan dan jadwal keberangkatan pada setiap rute yang
disajikan.
2.
Harga yang dibebankan, relatif terhadap maskapai lain, sejauh tidak
melanggar peraturan yang memungkinkan untuk persaingan harga.
7
Penumpang akan memilih kombinasi jadwal penerbangan, harga dan
kualitas produk yang meminimalkan total disutilitasnya. Setiap penumpang ingin
memiliki layanan terbaik dalam penerbangan yang berangkat pada saat yang
paling nyaman, untuk harga terendah. Namun, penumpang jarang dapat
menemukan jadwal sempurna dan kualitas layanan tertinggi untuk harga serendah
mungkin, sehingga mereka harus meng-trade off faktor-faktor ini untuk
meminimalkan disutilitasnya, tergantung pada keterbatasan anggaran.
Fleet Assignment Model
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pembangunan FAM
adalah sebagai
berikut:
1.
Satu siklus terdiri dari 1 hari (24 jam) yang berulang dalam 1 minggu.
2.
Tidak ada deadheading.
3.
Jumlah pesawat dari setiap armada terbatas.
4.
Tingkat permintaan dan standard deviasi untuk setiap segmen penerbangan
diketahui.
5.
Jenis penerbangan adalah penerbangan langsung tanpa transit.
FAM yang diusulkan oleh Hane et al. (1995) adalah sebagai berikut:
Himpunan:
: Himpunan penerbangan.
: Himpunan tipe armada.
: Himpunan node terakhir, node di mana pesawat berlandas pada malam
hari di bandara dalam jaringan untuk penerbangan hari berikutnya.
: Himpunan node-node dalam jaringan.
Indeks:
: merupakan indeks penerbangan,
: merupakan indeks untuk tipe armada,
: merupakan indeks untuk node.
Parameter:
: Biaya menugaskan armada tipe
untuk penerbangan
.
: Banyaknya pesawat yang tersedia di armada tipe
.
:
{
Variabel keputusan:
:
{
: Variabel keputusan bulat yang mewakili jumlah pesawat armada tipe
yang sedang berlandas di simpul
.
Fungsi objektif:
Fungsi objektf dari masalah ini adalah meminimumkan total biaya harian yang
harus dikeluarkan untuk menerbangkan seluruh segmen penerbangan dalam
jadwal dengan menggunakan berbagai tipe armada yang tersedia, yaitu:
∑ ∑
8
Kendala:
1.
Masing-masing segmen penerbangan hanya dapat dilayani oleh satu tipe
armada. Kendala ini disebut dengan kendala flight cover.
∑
2.
Kendala
aircraft balance untuk memastikan bahwa pesawat dengan tipe
armada yang tepat akan tersedia di tempat yang tepat pada waktu yang tepat.
∑
3.
Banyaknya pesawat yang digunakan tidak melebihi ketersediaan pesawat
dalam maskapai. Kendala ini disebut dengan kendala fleet size.
∑
4.
Variabel keputusan untuk
adalah bilangan biner.
{ }
5.
Variabel keputusan untuk
adalah bilangan bulat.
Skenario Penugasan Armada
Penelitian ini akan menelaah tiga skenario berkaitan dengan masalah
optimalisasi penugasan armada. Ketiga skenario dimaksud adalah sebaga berikut:
1.
Skenario pertama menyajikan penugasan armada terbaik untuk setiap
flight
leg yang memberikan biaya maskapai minimum. Skenario ini menggunakan
FAM yang telah dimodifikasi, dengan fungsi objektif:
∑ ∑
2.
Skenario kedua menyajikan penugasan armada terbaik untuk setiap
flight
leg yang memberikan jumlah minimum pesawat yang harus disiagakan pada
malam hari di setiap bandara untuk penerbangan hari berikutnya. Dengan
demikian diperoleh jumlah minimum pesawat yang harus ditugaskan untuk
meng-cover seluruh segmen penerbangan dalam jadwal. Penelaahan
skenario ini menggunakan modifikasi FAM, dengan fungsi objektif:
∑ ∑
3.
Skenario ketiga menyajikan penugasan armada terbaik untuk setiap
flight
leg yang memberikan biaya maskapai minimum sekaligus memberikan
jumlah minimum pesawat yang harus disiagakan pada malam hari di setiap
bandara untuk penerbangan hari berikutnya. FAM dimodifikasi untuk
menelaah skenario ini. Fungsi objektifnya merupakan
multi-objective
problem, yaitu sebagai berikut:
∑ ∑
9
Table 1 Armada Lion Air
Tipe Armada
Jumlah Pesawat
Boeing 737-300
3
Boeing 737-400
3
Boeing 737-800
21
Boeing 737-900
67
Boeing 747-400
2
Sumber: Lion Air (2014)
3
LION AIR
Network
PT. Lion Mentari Airlines, beroperasi sebagai Lion Air adalah maskapai
penerbangan swasta terbesar di Indonesia, berkantor pusat di Jakarta. Lion Air
merupkan anggota dari Lion Group yang melayani penerbangan ke kota-kota di
Indonesia, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia serta Arab Saudi dengan basis
utama di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta. Maskapai-maskapai
di Lion Group melayani penerbangan terjadwal dengan jaringan yang luas dari
Jakarta ke 79 tujuan. Untuk penerbangan domestik, Lion Group melayani 700
penerbangan dari dan ke 60 kota tujuan.
Lion Air sendiri melayani 605 penerbangan domestik untuk 34 kota
asal-tujuan dan 26 penerbangan internasional untuk 7 kota asal-asal-tujuan. Karena banyak
penerbangan yang harus dilayani dengan tingkat permintaan yang tinggi tersebar
di seluruh Indonesia, maka Lion Air menentukan empat bandara sebagai
hub,
yaitu Bandar Udara Internasional Seokarno-Hatta Jakarta (CGK), Bandar Udara
Internasional Juanda Surabaya (SUB), Bandar Udara Internasional Hang Nadim
Batam (BTH), dan Bandar Udara Internasiona Sultan Hasanuddin Makassar
(UPG).
Armada
10
4
METODE PENELITIAN
Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan sebagai berikut:
1.
Mengumpulkan data network (hub dan spokes).
2.
Mengumpulkan data
resource, yaitu jumlah tipe armada dan banyaknya
pesawat dari tiap tipe armada yang tersedia.
3.
Mengumpulkan data jadwal penerbangan harian Lion Air.
4.
Menghitung biaya penugasan setiap segmen penerbangan untuk setiap tipe
armada.
5.
Menghitung demand setiap segmen penerbangan dalam jadwal.
6.
Memodifikasi FAM kemudian menerapkannya. Tahapan ini sebagai sebagai
skenario pertama.
7.
Analisis skenario pertama.
8.
Memodifikasi model skenario pertama untuk menentukan jumlah minimum
pesawat yang harus disiagakan untuk penerbangan berikutnya. Tahapan ini
sebagai skenario kedua.
9.
Analisis skenario kedua.
10.
Memodifikasi model skenario pertama untuk menentukan menentukan total
biaya minimum sekaligus menentukan jumlah minimum pesawat yang harus
disiagakan untuk penerbangan berikutnya. Tahapan ini sebagai skenario
ketiga.
11.
Analisis skenario ketiga.
12.
Mengambil kesimpulan.
13.
Memberi saran/rekomendasi.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data dari Maskapai Lion Air
Masalah penugasan armada (Fleet Assignment Problem) penulis terapkan
pada meskapai Lion Air menggunakan data real dari pihak Lion Air yang
diperoleh pada tanggal 24 April 2014, sebagian diantaranya diperoleh melalui
situs resmi Lion Air dan sebagian lagi diperoleh langsung dari pihak manajemen
Lion Air. Maskapai Lion Air melayani 605 penerbangan domestik untuk 34 kota
asal-tujuan dan 26 penerbangan internasional dari dan ke empat kota di luar negeri.
Kota-kota yang dilayani maskapai Lion Air untuk penerbangan domestik disajikan
dalam Tabel 2, sedangkan untuk penerbangan internasional disajikan dalam Tabel
3. Jadwal penerbangan yang dilayani oleh Lion Air disajikan dalam Lampiran 1.
11
Tabel 2 Kota-kota yang dilayani Lion Air untuk penerbangan domestik
No.
Kota
Kode Bandara
Nama Bandara
1
Ambon
AMQ
Pattimura
2
Balikpapan
BPN
Sultan Aji Muhammad Sulaiman
3
Banda Aceh
BTJ
Sultan Iskandar Muda
4
Bandar Lampung
TKG
Radin Inten II
5
Bandung
BDO
Husein Sastranegara
6
Banjarmasin
BDJ
Syamsudin Noor
7
Batam
BTH
Hang Nadim
8
Bengkulu
BKS
Fatmawati Soekarno
9
Denpasar
DPS
I Gusti Ngurah Rai
10
Gorontalo
GTO
Jalaluddin
11
Jakarta
CGK
Soekarno-Hatta
12
Jambi
DJB
Sultan Thaha Syaifuddin
13
Jayapura
DJJ
Sentani
14
Kendari
KDI
Wolter Monginsidi
15
Kupang
KOE
El Tari
16
Lombok
LOP
Lombok
17
Makassar
UPG
Hasanuddin
18
Manado
MDC
Sam Ratulangi
19
Medan
KNO
Kualanamu
20
Merauke
MKQ
Mopah
21
Padang
PDG
Minangkabau
22
Palangkaraya
PKY
Tjilik Riwut
23
Palembang
PLM
Sultan Mahmud Badaruddin II
24
Palu
PLW
Mutiara
25
Pangkal Pinang
PGK
Depati Amir
26
Pekanbaru
PKU
Sultan Syarif Kasim II
27
Pontianak
PNK
Supadio
28
Semarang
SRG
Achmad Yani
29
Solo
SOC
Adi Sumarmo
30
Surabaya
SUB
Juanda
31
Tanjung Pinang
TNJ
Raja Haji Fisabilillah
32
Tarakan
TRK
Juwata
33
Ternate
TTE
Sultan Babullah
34
Yogyakarta
JOG
Adi Sutjipto
Sumber: Lion Air (2014)
Tabel 3 Kota-kota yang dilayani Lion Air untuk penerbangan internasional
No.
Kota
Negara
Kode Bandara
Nama Bandara
1
Jeddah
Arab Saudi
JED
King Abdulaziz
2
Kuala Lumpur
Malaysia
KUL
Kuala Lumpur
3
Penang
Malaysia
PEN
Penang
4
Singapura
Singapura
SIN
Changi Singapura
12
Tabel 4 Karaktaristik armada Lion Air
Tipe Armada
Kapasitas
aOperational Cost
per Jam ($)
bBoeing 737-300 (B733)
149
3,283
Boeing 737-400 (B734)
168
3,283
Boeing 737-800 (B738)
189
3,536.54
Boeing 737-900 (B739)
213
3,233.05
Boeing 747-400 (B747)
505
9,443.76
a
Sumber: Lion Air (2014); bSumber: Vasign et al. (2012)
Pihak Lion Air tidak dapat menyediakan data demand untuk masing-masing
rute penerbangan berdasarkan kota asal-tujuan, sehingga perkiraan
demand
diperoleh dengan memanfaatkan informasi frequensi penerbangan per hari selama
6 bulan (184 hari) dan tipe armada yang digunakan oleh semua maskapai yang
melayani rute-rute tersebut. Tipe armada diperlukan dalam perkiraan ini untuk
mengetahui kapasitas penumpang yang diangkut. Perhitungan perkiraan ini juga
menggunakan
load factor Lion Air serta rata-rata
load factor maskapai lainnya
yang melayani rute penerbangan yang sama. Selain itu,
growth total penumpang
transportasi udara tahun 2012 juga digunakan dalam perhitungan ini. Data-data ini
diperoleh dari Statistik Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
Langkah-langkah perhitungan perkiraan demand adalah sebagai berikut:
1.
Menghitung frequensi penerbangan setiap kota asal-tujuan selama 6 bulan
(184 hari).
2.
Menghitung jumlah maksimum penumpang yang dapat diangkut oleh
maskapai Lion Air dan maskapai lainnya pada setiap kota asal-tujuan
selama 6 bulan. Perhitungan ini didasarkan pada karakteristik kapasitas dari
setiap tipe armada yang digunakan pada setiap kota asal-tujuan.
3.
Menghitung perkiraan penumpang yang diangkut oleh maskapai Lion Air
dan maskapai lainnya selama 6 bulan untuk setiap kota asal-tujuan dengan
cara mengalikan
load factor dengan jumlah maksimum penumpang yang
memungkinkan untuk diangkut selama 6 bulan.
4.
Menghitung market share Lion Air untuk setiap kota asal-tujuan, yaitu rasio
antara jumlah perkiraan penumpang yang diangkut selama 6 bulan untuk
setiap kota asal-tujuan oleh maskapai Lion Air dengan total penumpang
yang diangkut oleh seluruh maskapai selama 6 bulan.
5.
Menghitung pertumbuhan perkiraan penumpang untuk setiap kota
asal-tujuan dengan cara mengalikan
growth dengan perkiraan penumpang yang
diangkut selama 6 bulan untuk setiap kota asal-tujuan oleh Lion Air dan
maskapai lainnya.
6.
Menghitung total pertumbuhan perkiraan penumpang untuk setiap kota
asal-tujuan selama 6 bulan untuk seluruh maskapai, kemudian membaginya
dengan 184 hari untuk memperoleh perkiraan penumpang harian yang
diangkut oleh seluruh maskapai untuk setiap kota asal-tujuan.
7.
Menghitung demand Lion Air untuk masing-masing kota asal-tujuan dengan
cara mengalikan market share Lion Air dengan perkiraan penumpang harian
yang diangkut oleh seluruh maskapai untuk setiap kota asal-tujuan.
13
load factor maskapai-maskapai lain sebesar 82.1%. Growth penumpang domestik
transportasi udara pada tahun tersebut sebesar 14.53%, sedangkan untuk
penerbangan internasional sebesar 8.64% (Kementerian Perhubungan, 2013).
Berdasarkan hasil perhitungan
demand, selanjutnya akan dihitung biaya
passenger-spill untuk masing-masing segmen penerbangan. Dalam perhitungan
ini, dibutuhkan nilai RASM yang diperoleh melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
Menghitung rata-rata harga tiket setiap kota asal-tujuan selama 184 hari.
2.
Menghitung rata-rata pendapatan sekali terbang menurut kota asal-tujuan,
yaitu dengan cara mengalikan hasil perhitungan langkah pertama dengan
demand setiap kota asal-tujuan.
3.
Menghitung operational cost per jam setiap kota asal-tujuan, di mana
operational cost ini mengacu pada tipe pesawat yang paling sering
digunakan dalam penerbangan masing setiap kota asal-tujuan.
4.
Menghitung operational cost sekali terbang dari setiap kota asal-tujuan,
yakni dengan cara mengalikan hasil perhitungan langkah ketiga dengan
durasi penerbangan setiap kota asal-tujuan.
5.
Menghitung keuntungan dalam sekali terbang menurut kota asal-tujuan,
yakni dengan cara mengurangi hasil perhitungan langkah kedua dengan
hasil perhitungan langkah ke-4.
6.
Menghitung rata-rata keuntungan per penumpang dalam sekali terbang
menurut kota asal-tujuan, yakni dengan cara membagi hasil perhitungan
langkah ke-5 dengan kapasitas kursi pesawat yang paling sering digunakan
dalam penerbangan setiap kota asal-tujuan.
7.
Menghitung rata-rata keuntungan per penumpang per mil (RASM), yakni
dengan cara membagi total rata-rata keuntungan perpenumpang dalam
sekali terbang dengan total jarak.
Dengan langkah-langlah perhitungan ini, diperoleh aproksimasi RASM
untuk Lion Air yaitu sebesar $0.05 (rincian perhitungan disajikan dalam Lampiran
3).
Perhitungan selanjutnya adalah menjumlahkan passenger-spill cost dengan
operational cost untuk memperoleh biaya penugasan setiap tipe armada pada
masing-masing segmen penerbangan. Sebagai contoh, untuk penerbangan JT273
(LOP-JOG) untuk tipe armada B737-900 dan B737-400 dengan kapasitas
masing-masing 213 dan 168 kursi. Jarak LOP ke JOG adalah 406 mil dan
demand untuk
kota asal-tujuan ini sebesar 194. Oleh karena itu,
passenger-spill dari kedua
armada masing-masing adalah 0 dan 26. Sehingga,
Spill cost untuk B737-900
.
Spill cost untuk B737-400
.
14
masing-masing tipe armada adalah $4,377.33 dan $4,715.39. Dengan demikian,
total biaya kedua tipe armada ketika ditugaskan untuk penerbangan JT273 adalah
Total biaya B737-900
.
Total biaya B737-400
.
Demikian pula dengan penentuan 630 segmen penerbangan lainnya. Hasil
perhitungan biaya penugasan untuk seluruh segmen penerbangan dalam jadwal
disajikan dalam Lampiran 4.
Kendala
Runway
Runway (landasan pacu) adalah suatu tempat di mana tersedianya areal yang
cukup (optimal) yang memenuhi persyaratan untuk landasan suatu pesawat
terbang yang berfungsi sebagai tempat
landing (pendaratan) dan
take off (lepas
landas) pesawat terbang (Horonjeff
et al. 1993). Berdasarkan referensi yang
tertuang dalam Airport Design Manual (dokumen standar yang dikeluarkan oleh
ICAO), salah satu faktor yang menentukan panjang landasan pacu sebuah bandar
udara adalah kinerja (performance) jenis pesawat yang akan digunakan.
Setiap tipe pesawat mempunyai karakteristik dan kinerja yang spesifik
sesuai dengan kriteria desain pada pesawat tersebut. Selain itu, berat pesawat juga
berpengaruh terhadap kebutuhan panjang landasan pacu untuk tinggal landas
maupun pendaratan. Panjang minimum landasan pacu sebuah bandara disesuaikan
dengan
Maximum Take Off Weight
(MTOW) pesawat yang akan melayani
penerbangan pada bandara tersebut. MTOW
adalah berat maksimum pesawat
untuk dapat melakukan lepas landas dengan aman. MTOW meliputi berat pesawat
itu sendiri, berat bahan bakar, dan total berat muatan (penumpang dan kargo).
Bandara tidak dapat melayani lepas landas pesawat yang membutuhkan
landasan pacu lebih dari panjang landasan pacu bandara. Sebagai contoh, pesawat
Airbus A380-800 dan Boeing 747-800, pada keadaan MTOW, masing-masing
membutuhkan landasan pacu sepanjang 2,750 m dan 3,292 m, sementara Bandara
Minangkabau dan Bandara Soekarno-Hatta masing-masing memiliki panjang
landasan pacu 2,750 m dan 3,661 m. Dengan demikian, Bandara Minangkabau
Padang hanya dapat melayani operasional pesawat Airbus A380-800, sedangkan
Bandara Soekarno-Hatta dapat melayani operasional pesawat Airbus A380-800
dan Boeing 747-800.
Tabel 5 Panjang minimum landasan pacu bandara yang dibutuhkan untuk lepas
landas pesawat
Tipe Armada
Panjang Minimum Landasan Pacu (m)
Boeing 737-300 (B733)
1,600
Boeing 737-400 (B734)
2,000
Boeing 737-800 (B738)
2,300
Boeing 737-900 (B739)
2,300
Boeing 747-400 (B747)
3,300
15
Tabel 6 Panjang landasan pacu bandara-bandara yang dilayani oleh maskapai
Lion Air
No.
Kode Bandara
Panjang Landasan
Pacu (m)
1
AMQ
2,501
2
BPN
2,495
3
BTJ
2,501
4
TKG
2,501
5
BDO
2,250
6
BDJ
2,501
7
BTH
4,040
8
BKS
2,239
9
DPS
3,001
10
GTO
2,501
11
CGK
3,661
12
DJB
2,220
13
DJJ
2,501
14
KDI
2,250
15
KOE
2,501
16
LOP
2,750
17
UPG
3,100
18
MDC
2,651
19
KNO
3,003
20
MKQ
2,501
21
PDG
2,750
22
PKY
2,501
23
PLM
3,001
24
PLW
2,251
25
PGK
2,250
26
PKU
2,240
27
PNK
2,250
28
SRG
2,680
29
SOC
2,600
30
SUB
3,001
31
TNJ
2,250
32
TRK
2,250
33
TTE
2,100
34
JOG
2,200
35
JED
3,299
36
KUL
4,124
37
PEN
3,352
38
SIN
2,748
Sumber: Lion Air (2014)
16
yang memiliki panjang landasan pacu tidak kurang dari kebutuhan minimum
panjang landasan pacu untuk lepas landas pesawat tersebut, sebab pesawat
tersebut akan lepas landas pada bandara yang sama untuk penerbangan yang lain.
Lion Air memiliki 5 tipe armada yang mana masing-masing tipe
mempunyai kebutuhan panjang minimum landasan pacu untuk lepas landas
sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Armada-armada ini melayani penerbangan
dari dan ke 34 bandara yang memiliki panjang landasan pacu sebagaimana
disajikan pada Tabel 6. Oleh karena panjang landasan pacu bandara berpengaruh
terhadap operasional pesawat terbang, maka perlu dibangun fungsi kendalanya
untuk dilibatkan dalam FAM agar diperoleh hasil optimasi yang lebih realistis.
Dinotasikan:
: Panjang landasan pacu bandara asal untuk penerbangan
.
: Panjang landasan pacu bandara tujuan untuk penerbangan
.
: Panjang minimum landasan pacu bandara yang diperlukan untuk lepas landas
dan mendarat armada tipe
.
Kendala
take off runway yaitu kebutuhan minimum panjang landasan pacu
pesawat yang akan lepas landas lebih pendek dari panjang landasan pacu bandara:
∑
Kendala
landing runway yaitu kebutuhan minimum panjang landasan pacu
pesawat yang akan mendarat lebih pendek dari panjang landasan pacu bandara:
∑
Skenario Masalah Penugasan Armada
Penugasan armada bertujuan menentukan tipe armada yang paling tepat
untuk melayani penerbangan rute tertentu dalam jadwal yang tersedia dengan
meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan. FAM merupakan suatu model
yang baik untuk menyelesaikan masalah ini dalam skala besar. Pada bagian ini
akan ditelaah tiga skenario yang berkaitan dengan penugasan armada. Skenario
yang pertama adalah melibatkan kendala landasan pacu dalam FAM untuk
meminimumkan biaya, skenario kedua adalah modifikasi model pada skenario
pertama untuk mengetahui banyaknya pesawat minimum yang harus disiagakan
pada malam hari di setiap bandara untuk penerbangan hari berikutnnya,
sedangkan skenario ketiga adalah modifikasi model pada skenario pertama untuk
meminimumkan biaya sekaligus meminimumkan banyaknya pesawat yang harus
disiagakan pada malam hari di setiap bandara untuk penerbangan hari berikutnya.
Skenario Pertama
17
∑ ∑
Kendala:
∑
∑
∑
∑
∑
{ }
Program linear ini memiliki 9,465 variabel (3,155 biner dan 6,310 integer)
dan 7,653 kendala. Model ini diselesaikan dengan menggunakan program LINGO
11.0 yaitu
software linear programming. Program untuk model ini disajikan
dalam Lampiran 5, sedangkan penyelesaiannya disajikan dalam Lampiran 6.
Lampiran 7 (kolom 1 - 4) merupakan hasil penugasan armada skenario pertama.
Penyelesaian ini menyajikan hasil terbaik dari penugasan armada terhadap setiap
segmen penerbangan dalam jadwal, yakni biaya minimum yang diperoleh sebesar
$3,602,545.60. Ini berarti bahwa jika pihak manajemen melakukan penugasan
yang berbeda dari penyelesaian ini, maka biaya penugasan yang dikeluarkan akan
lebih besar.
Kebijakan penugasan oleh pihak Lion Air berbeda dengan hasil pada
skenario ini (Lampiran 7 kolom 5), sehingga biaya penugasan yang dikeluarkan
lebih besar, yakni $3,604,749.09. Perbedaan frequensi penerbangan setiap tipe
armada antara skenario pertama dengan kebijakan Lion Air tersaji dalam Tabel 7.
Tabel 7 Frequensi penugasan armada skenario pertama dan penugasan armada
yang diberlakukan pihak manajemen Lion Air
Tipe Armada
Frequensi Penugasan Armada
Skenario
Pertama
Manajemen
Lion Air
737-900
497
459
737-800
114
160
737-400
6
2
737-300
10
8
747-400
4
2
18
Tabel 8 Banyaknya pesawat yang harus siaga pada malam hari di setiap bandara
untuk penerbangan hari berikutnya untuk skenario pertama
Banyaknya
Pesawat
Tipe Pesawat
B733 B734
B738
B739
B744
1
TKG,
UPG,
KNO
CGK BPN, BTJ, BDO,
BTH, LOP, MDC,
KNO, PLW, PNK,
SOC, TRK, TTE,
JOG, KUL
TKG, BKS, GTO,
DJB, DJJ, KOE,
LOP, KNO, PDG,
PLM, PLW, PKU,
SRG, JOG, KUL
CGK,
KNO
2
BTH SUB
DPS, PKY, TRK
3
BDJ, MDC
4
BPN, SUB
5
CGK
UPG
27
CGK
Adapun penyelesaian optimal ini juga memberikan solusi banyaknya
pesawat yang harus disiagakan pada setiap bandara untuk penerbangan hari
berikutnya sebagaimana disajikan dalam Tabel 8. Pada Tabel 8 terlihat bahwa
seluruh pesawat yang tersedia ditugaskan setiap malam di hampir seluruh bandara
dalam jaringan Lion Air untuk penerbangan hari berikutnya. Hal ini diulangi
setiap hari, akibatnya semua pesawat akan disibukkan setiap hari untuk melayani
semua segmen penerbangan dalam jadwal. Dengan demikian hanya sedikit waktu
saja (yang paling memungkinkan adalah pada malam hari) untuk dilakukan
perawatan pesawat. Padatnya tugas pesawat tentu berdampak pada performa
mesin dan ketepatan waktu serta tingkat keamanan terbang pesawat.
Skenario Kedua
Pada bagian ini model pada skenario pertama dimodifikasi untuk
memperoleh solusi jumlah minimum pesawat yang harus disiagakan pada malam
hari di setiap bandara untuk penerbangan hari berikutnya. Tentu konsekuensinya
adalah biaya penugasan akan menjadi lebih besar sebab pada skenario pertama
biaya penugasan yang diperoleh merupakan biaya penugasan yang minimum
untuk melayani seluruh segmen penerbangan dalam jadwal.
19
∑ ∑
Kendala:
∑
∑
∑
∑
∑
{ }
Tabel 9 Banyaknya pesawat yang harus siaga pada malam hari di setiap bandara
untuk penerbangan hari berikutnya untuk skenario kedua
Banyaknya
Pesawat
Tipe Armada
B733
B734
B738
B739
B744
1
BPN,
CGK,
MDC
CGK,
UPG,
SUB
TKG, BTH,
BKS, GTO,
MDC, PDG,
SUB
BTJ, TKG, BTO,BDJ,
DJB, DJJ, KOE, KNO,
PLM,
PKU,
PNK,
SRG, SOC, TTE, KUL
KNO,
KUL
2
BPN,
BDJ,
UPG, KNO
BPN, BTH, DPS, LOP,
MDC,
PKY,
PLW,
JOG
3
UPG, TRK
4
SUB
6
CGK
25
CGK
Tabel 10 Frequensi penugasan armada untuk skenario pertama, kedua dan
penugasan armada yang diberlakukan pihak manajemen Lion Air
Tipe Armada
Jumlah Penugasan Armada
Skenario
Pertama
Skenario
Kedua
Manajemen
Lion Air
737-900
497
439
459
737-800
114
138
160
737-400
6
21
2
737-300
10
21
8
747-400
4
12
2
20
Program linear ini melibatkan jumlah variabel dan kendala yang sama
dengan skenario pertama. Solusi jumlah minimum pesawat yang dapat ditugaskan
untuk meng-cover semua segmen penerbangan dalam jadwal adalah 95 pesawat
dengan biaya penugasan sebesar $3,900,573.05, lebih mahal $298,027.45 dari
skenario pertama. Ini berarti bahwa, untuk jadwal yang tersedia, ketersediaan
pesawat cukup untuk melayani seluruh segmen penerbangan dalam jadwal. Solusi
feasible tidak akan diperoleh jika jumlah pesawat yang tersedia untuk melayani
seluruh penerbangan kurang dari 95. Solusi optimal tidak akan berubah jika ada
penambahan jumlah pesawat sebab banyaknya pesawat yang ditugaskan untuk
skenario ini merupakan jumlah minimum. Satu pesawat B737-900 tidak
digunakan. Pesawat ini akan berlokasi di salah satu hub untuk parkir, perawatan,
dan persiapan untuk tujuan lain.
Tabel 9 menyajikan rincian jumlah pesawat minimum yang harus
disiagakan pada malam hari di setiap bandara guna melayani seluruh segmen
penerbangan dalam jadwal. Program untuk model ini disajikan dalam Lampiran 8,
sedangkan penyelesaiannya disajikan dalam Lampiran 9. Lampiran 10 merupakan
hasil penugasan armada skenario kedua.
Terdapat perbedaan frquensi penugasan setiap tipe armada antara skenario
pertama dengan skenario kedua sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Pada
skenario kedua, frequensi penugasan armada B737-900 berkurang sedangkan
frequensi penugasan armada lainnya bertambah. Hal ini disebabkan karena model
berusaha meminimumkan jumah pesawat yang harus diopresikan dengan cara
memaksimumkan frequensi terbang setiap pesawat yang akan ditugaskan.
Perbedaan penugasan tipe armada juga dapat dilihat pada beberapa segmen
penerbangan. Pada skenario pertama armada B737-900 ditugaskan untuk rute
UPG-AMQ dengan nomor penerbangan JT880, sedangkan pada skenario kedua
armada B737-800 ditugaskan untuk penerbangan yang sama. Demikian juga
untuk beberapa segmen penerbangan yang lain.
Pengalihan tugas ini semata-mata hanya mengurangi banyaknya pesawat
yang diperlukan, akibatnya dengan tingginya frequensi penugasan armada
berukuran besar dengan operational cost yang sangat besar, B747-400, total biaya
penugasan harian ikut meningkat hingga 8.27% dari skenario pertama. Selain itu,
pengalihan tugas ini tanpa memperhatikan biaya yang harus dikeluarkan sebab
model ini tidak melibatkan biaya, akibatnya model bisa saja memutuskan untuk
menugaskan armada tertentu pada segmen penerbangan tertentu yang memberikan
biaya sangat besar. Sebagai contoh, pada penerbangan JT694 dan JT111,
masing-masing melayani rute CGK-SUB dan JED-CGK. Pada skenario pertama, JT694
dilayani oleh armada B737-900 dengan biaya $12.833, namun pada skenario
kedua segmen ini dilayani oleh B747-400 dengan biaya $39,297. Demikian pula
dengan penerbangan JT111, pada skenario pertama dilayani oleh B747-400
dengan biaya $248,881, namun pada skenario kedua dialihkan pelayanannya ke
armada B737-900 dengan biaya $4,539,174.8. Demikian juga dengan segmen
penerbangan lainnya.
21
ini disebabkan karena model akan memaksimalkan pelayanan penerbangan
(banyaknya segmen penerbangan yang dilayani) oleh setiap pesawat yang
ditugaskan, sehingga menghindari biaya pinalti yang dikeluarkan akibat adanya
passenger-spill. Kebijakan menambah jumlah armada B737-900 merupakan
kebijakan yang baik mengingat armada ini memiliki kapasitas yang besar dan
operational cost yang tidak terlalu besar serta kebutuhan landasan pacu yang
cukup untuk sebagian besar bandara di Indonesia, sehingga ketika skenario ini
diterapkan akan memberikan solusi optimal dengan biaya penugasan yang lebih
rendah.
Skenario Ketiga
Pada bagian ini, model pada skenario pertama akan dimodifikasi lagi untuk
memperoleh solusi minimum biaya penugasan armada sekaligus meminimumkan
banyaknya pesawat yang harus disiagakan pada malam hari di setiap bandara
untuk penerbangan hari berikutnya. Dengan demikian ada dua fungsi objektif
yang diperlukan, yang pertama adalah fungsi objektif meminimumkan total biaya
penugasan, dan yang kedua adalah meminimumkan banyaknya pesawat yang
harus disiagakan pada malam hari di setiap bandara. Sedangkan fungsi kendalanya
sama dengan fungsi kendala pada skenario pertama, yaitu kendala
flight cover,
aircraft balance,
fleet size dan landasan pacu. Modifikasi model yang dihasilkan
adalah model pemrograman linear integer multiobjektif, yaitu sebagai berikut:
∑ ∑
∑ ∑
Kendala:
∑
∑
∑
∑
∑
{ }
22
∑ ∑
Kendala:
∑
∑
∑
∑ ∑
∑
∑
{ }
Kendala dalam skenario ini bertambah menjadi 7,654 buah. Dengan
menggunakan
software LINGO 11, diperoleh biaya penugasan sebesar
$3,612,300.14, lebih besar $9,754.54 dari skenario pertama dengan jumlah
minimum pesawat yang harus disiagakan pada malam hari di setiap bandara
adalah sebanyak 95 unit. Hasil ini merupakan solusi biaya minimum dari masalah
meminimumkan jumlah pesawat yang harus disiagakan pada malam hari di setiap
bandara untuk penerbangan hari berikutnya. Biaya penugasan pada skenario ini
lebih murah $288,272.91 dari biaya penugasan pada skenario kedua, sebab pada
skenario kedua model berusaha meminimumkan jumlah pesawat yang harus
ditugaskan tanpa mempedulikan besar biaya yang harus dikeluarkan. Sedangkan
pada skenario ketiga, model mempertahankan jumlah minimum pesawat yang
harus ditugaskan, yaitu 95 pesawat sambil meminimumkan biaya penugasan.
Tabel 11 menyajikan rincian jumlah pesawat tiap tipe armada yang harus
disiagakan pada malam hari di setiap bandara guna melayani seluruh segmen
penerbangan dalam jadwal. Program untuk model ini disajikan dalam Lampiran
11, sedangkan penyelesaiannya disajikan dalam Lampiran 12. Penugasan armada
skenario ketiga disajikan dalam Lampiran 13.
23
Tabel 11 Banyaknya pesawat yang harus siaga pada malam hari di setiap bandara
untuk penerbangan hari berikutnya untuk skenario ketiga
Banyaknya
Pesawat
Tipe Armada
B733 B734
B738
B739
B744
1
TKG,
UPG,
KNO
CGK BPN, BTJ, BDO, BTH,
LOP,
UPG,
MDC,
KNO,
PLW,
PNK,
SOC, SUB, TRK, TTE,
JOG, KUL
TKG, BKS, GTO,
DJB, DJJ, KOE,
LOP, PDG, PLM,
PLW, PKU, SRG,
JOG, KUL
CGK
2
BTH
DPS, KNO, PKY,
TRK
3
BDJ, MDC
4
BPN, UPG
5
CGK
SUB
26
CGK
Tabel 12 Frequensi penugasan armada untuk skenario pertama, kedua, ketiga dan
penugasan armada yang diberlakukan pihak manajemen Lion Air
Tipe
Armada
Jumlah Penugasan Armada
Skenario
Pertama
Skenario
Kedua
Skenario
Ketiga
Manajemen
Lion Air
737-900
497
439
497
459
737-800
114
138
114
160
737-400
6
21
6
2
737-300
10
21
10
8
747-400
4
12
4
2
Biaya ($)
3,602,545.60 3,900,573.05 3,612,300.14 3,604,749.09
Dalam Tabel 12 terlihat kesamaan frequensi penugasan setiap tipe armada,
namun biaya penugasan kedua skenario berbeda. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan tipe armada yang ditugaskan pada beberapa segmen penerbangan yang
sama. Pada skenario pertama penerbangan JT880 untuk rute CGK-KNO dilayani
oleh armada B737-900, sedangkan pada skenario ketiga untuk penerbangan yang
sama dilayani armada B747-400. Demikian juga untuk beberapa segmen
penerbangan yang lain.
24
6
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan data real yang diperoleh dari pihak maskapai Lion Air, masalah
penugasan armada diselesaikan menggunakan FAM yang telah dimodifikasi.
Diperoleh biaya penugasan minimum serta jumlah minimum pesawat yang dapat
ditugaskan untuk melayani seluruh penerbangan dalam jadwal. Rincian utama
penyelesaian masalah diuraikan dalam simpulan berikut:
1.
Hasil terbaik dari penugasan armada terhadap setiap segmen penerbangan
dalam jadwal memberikan biaya minimum $3,602,545.60. Penugasan
melibatkan seluruh armada yang tersedia, yaitu 96 pesawat.
2.
Jumlah minimum pesawat yang harus disiagakan pada malam hari di setiap
bandara untuk penerbangan hari berikutnya adalah 95 pesawat, di mana satu
pesawat B737-900 tidak digunakan. Pesawat ini akan berlokasi di salah satu
hub untuk parkir, perawatan, dan persiapan untuk tujuan lain. Karena model
untuk menyelesaikan masalah ini semata-mata hanya mengurangi
banyaknya pesawat yang diperlukan, maka frekuensi penugasan armada
dengan
operational cost yang mahal, B747-400, sangat tinggi. Hal ini
meningkatkan operational cost harian hingga 8.27%.
3.
Model dapat dimodifikasi untuk mendapatkan biaya penugasan yang lebih
rendah dengan jumlah pesawat minimum yang dapat meng-cover seluruh
penerbangan dalam jadwal. Dengan membatasi jumlah pesawat hingga 95
unit, penugasan armada dapat ditata ulang sehingga mengurangi biaya
penugasan harian. Pilihan in