• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Influence Of Immersion Four Species Of Leaves To The Development Of Culex Quinquefasciatus Larvae

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Influence Of Immersion Four Species Of Leaves To The Development Of Culex Quinquefasciatus Larvae"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERENDAMAN EMPAT JENIS DAUN TANAMAN

TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA NYAMUK

Culex quinquefasciatus

RITA ARMUNA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Perendaman Empat Jenis Daun Tanaman terhadap Perkembangan Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

(4)

ABSTRAK

RITA ARMUNA. Pengaruh perendaman empat jenis daun tanaman terhadap perkembangan larva nyamuk Culex quinquefasciatus. Dibimbing oleh TRI HERU WIDARTO dan SULISTIJORINI.

Nyamuk adalah serangga yang merugikan manusia karena menjadi vektor berbagai macam penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media perkembangbiakan dengan rendaman empat jenis daun tanaman terhadap kemunculan dan perkembangan larva Culex quinquefasciatus. Empat jenis daun tanaman (jeruk purut, pandan wangi, sirih hijau, dan tapak dara) digunakan dalam penelitian ini. Potongan daun segar (10 g) atau daun segar yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam wadah berisi 2 liter air bersih atau air yang mengandung feses kambing. Wadah dibiarkan terbuka selama 24 jam lalu ditutup dengan kasa plastik. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Jumlah larva yang muncul dihitung dan diamati perkembangannya hingga menjadi nyamuk. Kemunculan larva pada media air tercemar lebih rendah dibandingkan kemunculan larva pada media air bersih. Rerata kemunculan yang paling rendah (<10 individu) terlihat di media air tercemar dengan daun segar jeruk purut, daun segar sirih hijau, daun kering pandan wangi dan di media air bersih dengan daun segar sirih hijau, daun kering jeruk purut. Hampir sebagian besar larva dan pupa gagal menjadi imago, sedangkan larva dan pupa yang berhasil menjadi imago membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan waktu normal dalam perkembangannya.

(5)

ABSTRACT

RITA ARMUNA. The Influence of Immersion Four Species of Leaves to The Development of Culex quinquefasciatus Larvae. Supervised by TRI HERU WIDARTO and SULISTIJORINI.

Mosquitoes are insects which are harmful to humans as vectors of various diseases. The purpose of this research was to study the effect of aquatic media containing plant leaves against the emergence and development of Culex quinquefasciatus mosquito larvae. Four species of leaves (kaffir lime, fragrant pandan, betel, vinca rosea) were used in this research. Several pieces of fresh leaves (10 g) or the dried ones were added into a pail filled with 2 litres of clean water or contaminated water containing faeces of goats. The pails were opened for 24 hours and closed by plastic screen afterward. Treatments were repeated three times. The numbers of emerging larvae in the water were counted and their development was followed until become adult mosquitos. In the media with contaminated water, the immersion of various leaves showed lower average in the emergence of larvae than in the media containing clean water. In average, the lowest emergence (<10 individual) was found in water contaminated media containing the fresh kaffir lime, fresh betel, dried fragrant pandan leaves and in clean water media containing fresh betel, dried kaffir lime leaves. Most of the larvae and pupae failed to become imago. Whereas larvae and pupae that managed to be imago required a longer time in its development.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Biologi

PENGARUH PERENDAMAN EMPAT JENIS DAUN TANAMAN

TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA NYAMUK

Culex quinquefasciatus

RITA ARMUNA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh perendaman empat jenis daun tanaman terhadap perkembangan larva nyamuk Culex quinquefasciatus”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini:

1. Kepada kedua orang tua (Abdul Halim dan Roslaini) dan saudara-saudara tercinta (Anga, Bang Anton, Bang Toni, Bang Repi, Bang Aci, dan Ipan) yang selalu memberikan nasehat, motivasi, bimbingan, kasih sayang, semangat dan doa.

2. Bapak Ir Tri Heru Widarto, MSc selaku pembimbing I, Ibu Dr Ir Sulistijorini, MSi selaku pembimbing II dan Bapak Dr Ir Ence Darmo Jaya Supena MSi selaku dosen penguji perwakilan komisi pendidikan serta Prof Dr Ir Alex Hartana, MSc atas bimbingan, saran dan kritik dalam penulisan skripsi.

3. Semua staf Laboratorium Mikroteknik Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan staf Laboratorium Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

4. Teman-teman seperjuangan Biologi angkatan 46, 47, 48, dan 49 yang telah memberikan semangat dan kesan selama menyelesaikan karya ilmiah.

5. Serta teman-teman di Institut Pertanian Bogor dan siapapun yang pernah membantu penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2016

(11)

DAFTAR ISI

 

DAFTAR TABEL x 

DAFTAR GAMBAR x 

DAFTAR LAMPIRAN x 

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Tujuan Penelitian 2 

METODE 2 

Waktu dan Tempat 2 

Bahan dan Alat 2 

Prosedur Penelitian 2 

Penyiapan daun tanaman 2 

Perlakuan media 3 

Identifikasi nyamuk dan analisis data 4 

HASIL DAN PEMBAHASAN 5 

Kemunculan Larva 5 

Perkembangan Larva 7 

Morfologi Larva dan Pupa yang Mati 11 

Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti 14 

SIMPULAN DAN SARAN 16 

Simpulan 16 

Saran 16 

DAFTAR PUSTAKA 17 

LAMPIRAN 20 

(12)

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata kemunculan larva pada media air bersih dan air tercemar 6

DAFTAR GAMBAR

1 Penyiapan daun tanaman 3

2 Pemasangan wadah 3

3 Kombinasi penelitian 4

4 Persentase larva hidup dan larva mati 7

5 Persentase larva hidup menjadi imago 9

6 Grafik kemunculan imago pertama perlakuan daun segar pada media air

bersih selama 28 hari pengamatan 9

7 Grafik kemunculan imago pertama perlakuan daun kering pada media

air bersih selama 28 hari pengamatan 10

8 Grafik kemunculan imago pertama perlakuan daun segar pada media air

tercemar selama 28 hari pengamatan 10

9 Grafik kemunculan imago pertama perlakuan daun kering pada media

air tercemar selama 28 hari pengamatan 10

10 Bentuk larva hidup dan perubahan morfologi larva yang mati pada media air bersih dengan rendaman daun segar 12 11 Bentuk pupa hidup dan perubahan morfologi pupa yang mati pada

media air bersih dengan rendaman daun segar 13

12 Bentuk nyamuk 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah nyamuk (betina dan jantan) yang diperoleh pada media air

bersih selama 28 hari pengamatan 20 

2 Jumlah nyamuk (betina dan jantan) yang diperoleh pada media air

tercemar selama 28 hari pengamatan 21

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nyamuk genus Culex dan Aedes merupakan vektor berbagai penyakit tropis seperti filariasis (kaki gajah), japanese encephalitis, demam berdarah dengue (DBD), chikungunya dan demam kuning. Penularan agen penyakit yang dilakukan oleh nyamuk tergantung pada tahap perkembangan nyamuk dari telur-larva-pupa dan imago. Nyamuk memiliki siklus hidup di habitat akuatik untuk fase pradewasa (telur, larva, dan pupa) dan habitat terestrial untuk fase dewasa (imago). Siklus hidup nyamuk sebagian besar terjadi di habitat akuatik, oleh karena itu pengendalian habitat akuatik perlu perhatian yang lebih besar untuk menekan perkembangan larva. Perkembangan larva dan pupa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik meliputi curah hujan, kelembaban, temperatur, pH dan faktor biotik seperti predator, parasit, kompetitor dan makanan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dalam keberhasilan metamorfosis nyamuk. Keberhasilan itu juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik di dalam air media habitatnya, baik senyawa bioaktif alami ataupun bahan kimia sintetis. Larva dan pupa akan tumbuh optimal pada media yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya.

Larva dan pupa dari berbagai spesies dapat ditemukan di kolam, parit, genangan air, lubang pohon dan wadah artifisial lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan nyamuk betina gravid dapat berkembangbiak pada berbagai media perkembangbiakan seperti media yang mengandung tanah, rendaman jerami, limbah cairan berminyak, dan sebagainya. Hadi et al. (2009) menunjukkan bahwa peletakan telur oleh nyamuk betina Aedes aegypti paling banyak terjadi pada media yang mengandung tanah, sedangkan yang paling sedikit pada media kaporit. Polson et al. (2002) membuktikan bahwa nyamuk Aedes aegypti mau bertelur pada ovitrap yang diisi air rendaman jerami 10% dengan jumlah telur 8 kali lebih banyak dibanding ovitrap standar. Limbah yang mengandung cairan berminyak merupakan media yang paling baik untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva Culex quinquefasciatus (Novianto 2007). Populasi mikroba pada media perkembangbiakan menghasilkan senyawa volatil sebagai semiokemikal bagi nyamuk gravid Anopheles gambiae (Sumba et al. 2004). Kehadiran bahan organik, bakteri, plankton, dan mikroorganisme air lainnya di media perkembangbiakan dapat menjadi daya tarik bagi nyamuk betina gravid karena mendukung perkembangan larva.

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media perkembangbiakan dengan rendaman empat jenis daun tanaman yaitu daun jeruk purut (Citrus hystrix), pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), sirih hijau (Piper betle) dan tapak dara (Catharanthus roseus) terhadap kemunculan dan perkembangan larva nyamuk Culex quinquefasciatus.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Januari 2015. Lokasi penelitian terletak di kebun percobaan Leuwikopo IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah daun segar dan daun kering, feses kambing, air sumur dan butiran ABATE (mengandung temephos 1% (abate 1 SG)).

Alat-alat yang digunakan yaitu wadah (TPA), kasa plastik, tali rafia, gunting, gelas ukur 1000 ml, pipet larva, gelas plastik bervolume 250 ml, kapas, senter, nampan plastik, petri dish, hand counter, termometer air, kertas lakmus, digital four in one, karet, pinset, timbangan digital, oven, kutek, steroform, jarum pinning, kertas pinning, pinning block, kloroform, label, kotak penyimpanan serangga, mikroskop stereo dan mikroskop stereo yang dilengkapi kamera optilap.

Prosedur Penelitian

Penyiapan daun tanaman

(15)

3

Gambar 1 Penyiapan daun tanaman: (a) Potongan daun segar tapak dara (Catharanthus roseus) (b) Potongan daun kering jeruk purut (Citrus hystrix)

Perlakuan media

Perlakuan terdiri dari tiga faktor yaitu 4 jenis daun, 2 kondisi daun (segar, kering) dan 2 kondisi air dengan masing-masing 3 ulangan. Kondisi air yang digunakan dalam penelitian ini yaitu air sumur tanpa feses kambing (representasi air bersih) dan air sumur dengan feses kambing (representasi air tercemar bahan organik) sebanyak 1 gram/L air. Feses kambing dihaluskan, ditimbang dan diaduk ke dalam wadah. Perlakuan kontrol terdiri dari 3 macam yaitu air sumur (kontrol 1), air sumur + 0,1 g abate®/L air (kontrol 2), air sumur + 1 g feses kambing/L air (kontrol 3). Sebanyak 57 wadah terbuat dari ember plastik berwarna hitam, berdiameter atas/bawah 26.5/18.5 cm dan tinggi 21 cm ditempatkan di satu lokasi kebun percobaan Leuwikopo IPB. Setiap wadah diisi 2 L air sumur (1/3 volume wadah). Setelah 24 jam dibiarkan terbuka, wadah ditutup menggunakan kasa plastik.

Gambar 2 Pemasangan wadah : (a) Pembukaan wadah dibuka selama 24 jam, (b) Penutupan wadah setelah 24 jam menggunakan kasa plastik.

Setiap hari wadah diamati untuk melihat ada tidaknya larva. Larva dalam nampan plastik dihitung lalu dipindahkan menggunakan pipet larva ke dalam wadah gelas plastik berisi air. Volume air di dalam wadah ditentukan berdasarkan jumlah larva. Jika jumlah larva 1-10 individu maka wadah diisi dengan 50 ml air, 11-20 larva wadah diisi dengan 100 ml air dan seterusnya 21-30 larva dengan 150

a b

(16)

4

ml air, 31-40 larva dengan 200 ml air, dan 41-50 larva dengan 250 ml air. Wadah berisi larva ditutup dengan wadah lain yang bagian atasnya ditutup dengan kasa plastik, di antara wadah pertama, kedua dibatasi oleh kardus berlubang. Wadah kedua untuk menampung nyamuk yang berasal dari larva di wadah pertama. Larva, pupa dan nyamuk yang ditemukan tidak diberi pakan. Pengamatan yang dilakukan meliputi jumlah larva hidup, larva mati, jumlah imago, perubahan morfologi larva dan pupa yang mati, morfologi imago, dan parameter lingkungan.

Gambar 3 Kombinasi Penelitian. K1 =kontrol (air bersih), K2 = kontrol (air bersih + abate), K3 = kontrol (air tercemar), JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, TD = tapak dara.

Identifikasi nyamuk dan analisis data

Nyamuk diawetkan dengan cara kering metode pinning lalu disimpan di dalam kotak penyimpanan serangga. Identifikasi nyamuk menggunakan mikroskop stereo (kamera optilab®) dengan acuan kunci identifikasi nyamuk Culex (DEPKES 2008b) dan kunci identifikasi nyamuk Aedes (DEPKES 2008a). Analisis data dilakukan terhadap data kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif adalah gambar larva dan pupa mati yang mengalami perubahan morfologi dan morfologi imago. Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis tersebut menggunakan perhitungan sebagai berikut:

Rata-rata kemunculan larva

Rerata kemunculan larva adalah perbandingan total jumlah individu larva yang ditemukan terhadap banyak ulangan.

Rata-rata kemunculan larva (individu) =      D

B  

Persentase larva hidup

(17)

5

Persentase larva hidup (%) =      

         D x 100%

Persentase larva mati

Persentase larva mati adalah perbandingan jumlah larva yang mati terhadap total jumlah individu larva yang ditemukan dan dinyatakan dalam persen.

Persentase larva mati (%) =      

         D x 100%

Persentase imago

Persentase imago adalah perbandingan jumlah individu yang berhasil menjadi imago terhadap jumlah larva yang hidup dan dinyatakan dalam persen.

Persentase imago (%) =      B    

      x 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemunculan Larva

Rata-rata kemunculan larva pada media air tercemar sebanyak 258 individu lebih rendah dibandingkan kemunculan larva pada media air bersih sebanyak 797 individu (Tabel 1). Rendahnya rata-rata kemunculan larva pada media air tercemar diduga disebabkan oleh adanya interaksi berbagai senyawa yang berasal dari rendaman daun tanaman dan feses kambing. Hasil penelitian ini menunjukkan media air tercemar kurang menarik bagi nyamuk betina gravid dalam oviposisi (peletakan telur). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Wurisastuti (2013) yang menunjukkan nyamuk Aedes aegypti paling suka meletakkan telurnya pada media air tercemar feses sapi dan nyamuk Culex quinquefasciatus juga tertarik dengan bau feses ayam (Cooperband et al. 2008). Perbedaan hasil penelitian ini diduga disebabkan oleh adanya interaksi antara senyawa rendaman daun dan senyawa feses kambing kondisi kering. Senyawa-senyawa volatil yang dapat menarik nyamuk seperti octenol, amonia, karbondioksida, dan lainnya yang terkandung dalam feses kambing kondisi kering diduga telah berkurang (Braks et al. 2001; Guerenstein dan Hildebrand 2008). Penelitian pendahuluan (preliminary) menunjukkan jumlah larva lebih banyak di wadah yang ditambahkan 12 butir feses kambing kondisi segar dibandingkan di wadah tanpa penambahan feses kambing.

(18)

6

rendah (<10 individu) masing-masing sebanyak 0 individu, 0 individu, dan 2 individu. Daun segar sirih hijau dan daun kering jeruk purut di media air bersih juga memiliki rata-rata kemunculan larva yang rendah masing-masing sebanyak 7 individu dan 0 individu. Media perkembangbiakan dengan daun-daun tersebut diduga dapat mencegah (deterrent) peletakan telur sehingga nyamuk tidak dapat berkembangbiak.

Berdasarkan kondisi daun segar pada media air tercemar dan air bersih masing-masing sebanyak 104 individu dan 367 individu lebih rendah, dibandingkan daun kering pada media air tercemar dan air bersih sebanyak 154 individu dan 430 individu. Kondisi daun yang kering dapat menyebabkan kemunculan larva yang tinggi, hal ini disebabkan oleh pengeringan daun yang dapat mempengaruhi kualitas daun (perubahan kadar fitokimia), sehingga kadar senyawa volatil diduga meningkat.

Tabel 1 Rata-rata kemunculan larva pada media air bersih dan air tercemar.

Keterangan: K1 = kontrol (air bersih), K2 = kontrol (air bersih + abate), K3 = kontrol (air tercemar), JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, TD = tapak dara

Tawatsin et al. (2006) melaporkan efek senyawa volatil terhadap pencegahan oviposisi, daun lada telah mencegah peletakan telur sebanyak 82% dan daun sirih hijau sebanyak 78.9%. Minyak atsiri dapat mempengaruhi oviposisi nyamuk betina Aedes aegypti (Dias dan Moraes 2014) dan menurut Wang et al. (2008) terpenoid secara biologis aktif sebagai pengusir nyamuk. Metil eugenol merupakan komponen terbesar (sebanyak 36.2%) pada ekstraksi minyak atsiri daun sirih hijau (Row dan Ho 2009). Senyawa citronellol dalam minyak atsiri jeruk purut merupakan senyawa yang bersifat repellent (Santya dan Hendri 2013).

Faktor-faktor pencegah oviposisi diduga berasal dari kandungan senyawa metabolit daun tanaman yang digunakan. Senyawa-senyawa volatil yang berasal dari rendaman berbagai jenis daun tanaman diduga telah menganggu saraf

(19)

7 penciuman (olfaktori) nyamuk betina gravid. Lokasi oviposisi dipengaruhi oleh kondisi fisikokimiawi dan penciuman nyamuk (McCall dan Cameron 1995). Menurut Davis dan Bowen (1994) nyamuk dapat memilih atau menolak lokasi oviposisi dengan sinyal kimia yang terdeteksi oleh reseptor sensorik pada antena. Nyamuk Cx. quinquefasciatus betina gravid juga mampu membedakan tempat yang terdapat stimulasi oviposisi hingga jarak 10 meter (Otieno et al. 1988). Namun pada perlakuan kontrol media perkembangbiakan (K1 dan K3) tidak ditemukan adanya larva. Hal ini diduga karena pengaruh dari aroma senyawa-senyawa yang berasal dari wadah dengan rendaman daun sehingga wadah kontrol tidak didatangi oleh nyamuk betina gravid. Beberapa perlakuan pada media air bersih seperti media dengan rendaman daun segar tapak dara, daun kering tapak dara, dan daun kering pandan wangi dapat menyebabkan kemunculan larva yang tinggi.

Perkembangan Larva

Secara umum persentase larva mati di media air bersih maupun di media air tercemar lebih rendah dibandingkan persentase larva hidup (Gambar 4). Larva nyamuk memiliki viabilitas yang cukup tinggi hingga memasuki instar III.

Gambar 4 Persentase larva hidup dan larva mati. K1 =kontrol (air bersih), K2 = kontrol (air bersih + abate), K3 = kontrol (air tercemar), JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, TD = tapak dara

(20)

8

Persentase mortalitas larva yang tinggi terjadi pada media air bersih dengan rendaman daun kering pandan wangi dan media air tercemar dengan rendaman daun kering tapak dara masing-masing sebanyak 94.8% dan 100%. Kedua media perkembangan tersebut diduga dapat berpotensi sebagai larvasida karena terjadi mortalitas larva yang tinggi. Ekstrak petroleum eter daun tapak dara telah menyebabkan mortalitas larva instar III nyamuk Anopheles stephensi sebanyak 38% pada perlakuan 20 g/L dan meningkat sebanyak 77% pada perlakuan 140 g/L (Panneerselvam et al. 2013). Daun tapak dara juga menunjukkan nilai LC50 terhadap Cx. quinquefasciatus sebesar 3.469.70 ppm pada 24 jam setelah pemaparan (Rohananto 2013). Susanna et al. (2003) menyatakan bahwa ekstrak daun pandan wangi mempunyai pengaruh terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti, semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka tingkat kematian larva semakin tinggi pula.

Metamorfosis larva dan pupa menjadi imago terjadi selama ± 4 minggu. Daya tahan hidup dari persentase mortalitas individu larva atau pupa sangat rendah. Mortalitas yang tinggi terjadi hampir pada semua media perkembangan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 5. Namun beberapa media perkembangan memiliki persentase imago yang cukup tinggi seperti pada media air bersih dengan rendaman daun segar jeruk purut sebanyak 21.1%, rendaman daun kering pandan wangi sebanyak 27%, dan pada media air tercemar dengan rendaman daun segar pandan wangi serta daun kering pandan wangi menunjukkan persentase imago sebanyak 32% dan 28.5%. Hal ini diduga karena daun-daun tanaman yang digunakan tidak diekstrak tetapi hanya berupa rendaman sehingga senyawa bioaktif yang larut dalam media perkembangan diduga hanya sedikit. Ekstraksi keempat jenis daun tanaman ini telah dilaporkan dapat menyebabkan mortalitas pada larva nyamuk (Susanna et al. 2003; Row dan Ho 2009; Rohananto 2013; Adrianto et al. 2014).

Kemunculan imago pertama terjadi pada hari ke-10 (rendaman daun segar jeruk purut dan pandan wangi) dan hari ke-24 (rendaman daun segar sirih hijau) di media air bersih. Rendaman daun kering imago muncul pada hari ke-11 (pandan wangi) dan ke-20 (sirih hijau dan tapak dara). Media air tercemar menunjukkan kemunculan imago dengan rendaman daun segar terjadi pada hari ke-11 (pandan wangi dan tapak dara). Kemunculan imago dengan rendaman daun kering terjadi pada hari ke-12 (jeruk purut), ke-10 (pandan wangi), dan ke-23 (sirih hijau).

(21)

9

Gambar 5 Persentase larva hidup menjadi imago. K1 =kontrol (air bersih), K2 = kontrol (air bersih + abate), K3 = kontrol (air tercemar), JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, TD = tapak dara

Gambar 6 Grafik kemunculan imago pertama perlakuan daun segar pada media air bersih selama 28 hari pengamatan. JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau; untuk perlakuan daun tapak dara tidak ditemukan imago

Larva hidup menjadi imago (%)

(22)

10

Gambar 7 Grafik kemunculan imago pertama perlakuan daun kering pada media air bersih selama 28 hari pengamatan. PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, TD = tapak dara; untuk perlakuan daun jeruk purut tidak ditemukan imago

Gambar 8 Grafik kemunculan imago pertama perlakuan daun segar pada media air tercemar selama 28 hari pengamatan. PW = pandan wangi, TD = tapak dara; untuk perlakuan daun jeruk purut dan daun sirih hijau tidak ditemukan imago

(23)

11

Morfologi Larva dan Pupa yang Mati

Larva mati pada media perkembangan mengalami perubahan morfologi dari larva hidup (10a-e). Larva hidup menunjukkan bagian kepala, toraks dan abdomen yang utuh (Gambar 10a). Larva yang mati mengalami pigmentasi bagian kepala dan terjadi lisis pada rongga hemosol bagian toraks dan abdomen sehingga larva mengalami pengkerutan. (Gambar 10b). Larva mati mengalami pigmentasi bagian kepala dan penggembungan bagian toraks dan abdomen (Gambar 10c, 10d, dan 10e). Pupa mati pada media perkembangan juga mengalami perubahan morfologi dari pupa hidup (11a-f). Pupa yang mati mengalami peregangan bagian abdomen (Gambar 11b) sehingga pupa tersebut berbeda dari pupa hidup yang melengkung ke bawah dan mengarah ke anterior (Gambar 11a). Pupa mengalami kematian saat memasuki tahap awal, hal ini dapat dilihat dari sefalotoraks dan abdomen yang belum dilengkapi kutikula tebal dan tubuh yang masih berwarna cokelat muda (Gambar 11c). Larva mengalami kegagalan moulting dari tahap larva ke pupa (Gambar 11d) dan kegagalan ekslosi dari tahap pupa ke nyamuk dapat dilihat pada Gambar 11e dan 11f.

Perubahan morfologi larva dan pupa yang mati diduga disebabkan oleh berbagai faktor seperti kandungan senyawa bioaktif daun tanaman, cara masuk dan kerja senyawa bioaktif, kondisi fisiologis larva (hormon), kepadatan populasi larva dan pupa, ketersediaan makanan serta lingkungan. Senyawa bioaktif dari empat jenis daun tanaman yang dapat larut di dalam air yaitu saponin, flavonoid dan tanin. Menurut Cantrell et al (2010), senyawa-senyawa larvasida dapat masuk melalui kutikula, saluran pernapasan (spirakel) dan saluran pencernaan (ingesti). Flavonoid bekerja sebagai racun perut yang menurunkan nafsu makan (Shaalan et al. 2006). Saponin dapat menghambat proses metamorfosis, pembentukan kulit larva, dan menyebabkan kematian larva (Sarwar et al. 2009). Tanin dapat menurunkan nafsu makan, tingkat pertumbuhan dan kemampuan bertahan (Novizan 2002).

(24)

12

Gambar 10 Bentuk larva hidup dan perubahan morfologi larva yang mati pada media air bersih dengan rendaman daun segar: (a) Larva hidup perlakuan daun pandan wangi, (b) Larva mati perlakuan daun jeruk purut, (c) Larva mati perlakuan daun pandan wangi, (d) Larva mati perlakuan daun sirih hijau, (e) Larva mati perlakuan daun tapak dara. SM, sikat makan; MM, mata majemuk; K, kepala; TH, torak; AB, abdomen; SD, saluran digesti; SP, siphon pernapasan; LRH, lisis rongga hemosol; PK, pigmentasi kepala; PTH, penggembungan torak; PAB, penggembungan abdomen; RK, kepala renggang

e

PTH

PAB

SP

d PTH

RK SD

c

PK

PTH

PAB

b

LRH SM

SP a

K AB

MM SD

(25)

13

Gambar 11 Bentuk pupa hidup dan perubahan morfologi pupa yang mati pada media air bersih dengan rendaman daun segar: (a) Pupa hidup perlakuan daun pandan wangi, (b) Pupa mati perlakuan daun jeruk purut, (c) Pupa mati perlakuan daun pandan wangi, (d) Pupa mati perlakuan daun sirih hijau, (e) Pupa mati perlakuan daun tapak dara, (f) Pupa mati perlakuan daun tapak dara. CT, sephalotoraks; MM, mata majemuk; AB, abdomen; TP, terompet pernapasan; RAB, peregangan abdomen; KBT, kutikula belum tebal; GM, gagal moulting; EL, eksoskeleton larva; GE, gagal ekslosi; S, sayap; TABT, tungkai dan abdomen terperangkap

a TP

CT

AB

f

GE S

TABT e

GE

GM

EL d

c TP

KBT

MM

b

RAB

(26)

14

Kondisi lingkungan (geografis) seperti musim, curah hujan, persentase kelembaban, suhu dan sebagainya juga mempengaruhi siklus perkembangan nyamuk. Suhu dan kelembaban lokasi penelitian pada saat pemasangan wadah yaitu 33ᴼC dan 53%, suhu dan pH larutan dari masing-masing wadah berkisar antara 27-31ᴼC dan 5-6. Kondisi suhu dan pH mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva. Berdasarkan hasil penelitian Widiyanti et al. (2004) diketahui bahwa larva tumbuh normal dalam air pada suhu optimal 25-35ᴼC dan larva akan mati pada pH ≤3 dan ≥12 (Clark et al. 2004). pH netral juga sangat mendukung pertumbuhan plankton sebagai sumber makanan larva (Hadi et al. 2009).

Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti

Hasil identifikasi menunjukkan total imago yang diperoleh sebanyak 169 individu dari 1.055 individu larva hidup. Hal ini menunjukkan hanya 16% larva yang dapat menjadi imago dari 100% larva hidup. Imago Cx. quinquefasciatus lebih banyak dibandingkan imago Ae. aegypti, dari total imago sebanyak 169 individu, hanya 3 individu imago Ae. aegypti. Sedikitnya jumlah imago ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya perbedaan jumlah telur yang dihasilkan, perbedaan respon terhadap senyawa bioaktif, dan perbedaan viabilitas larva serta pupa. Nyamuk Cx. quinquefasciatus mampu meletakkan telurnya 100-400 butir secara berkelompok di atas permukaan air dan berbentuk seperti rakit (Hadi dan Koesharto 2006), sedangkan nyamuk Ae. aegypti meletakkan telurnya secara tunggal. Berdasarkan penelitian Soonwera (2015) nyamuk betina gravid yang berbeda spesies memiliki perilaku berbeda dalam oviposisi dimana Cx. quinquefasciatus lebih sensitif dibandingkan Ae. aegypti terhadap 8 minyak atsiri. Penelitian Danga et al. (2014) menyebutkan bahwa spesies nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih tahan terhadap ekstrak daun Plectranthus glandulosus (lamiaceae) dibandingkan spesies nyamuk An. gambiae dan Ae. aegypti.

(27)

15

Gambar 12 Bentuk nyamuk : (a) Cx. quinquefasciatus betina perlakuan rendaman daun kering tapak dara di media air bersih, (b) Cx. quinquefasciatus jantan perlakuan rendaman daun segar jeruk purut di media air bersih, (c) Ae. aegypti betina perlakuan rendaman daun kering sirih hijau di media air tercemar, (d) Ae. aegypti jantan perlakuan rendaman daun kering sirih hijau di media air tercemar. P, probosis; BA, bulu antena; TH, toraks; S, sayap; T, tungkai; LS, lyra shaped; TB, tungkai belang

S T

TH P

a

d

TB

BA

P LS

b

T

S BA

TH

c

TB LS

(28)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rendaman empat jenis daun tanaman terlihat berpengaruh terhadap kemunculan dan perkembangan larva nyamuk pada media perkembangbiakan. Media perkembangbiakan dengan rendaman daun segar jeruk purut, daun segar sirih hijau, daun kering pandan wangi pada media air tercemar dan daun segar sirih hijau dan daun kering jeruk purut pada media air bersih diduga dapat mencegah kemunculan larva sehingga nyamuk tidak dapat berkembangbiak. Waktu yang diperlukan dalam perkembangan larva dan pupa menjadi imago lebih lama di media air tercemar rendaman daun kering sirih hijau dan media air bersih rendaman daun segar sirih hijau, daun kering sirih hijau, daun kering tapak dara.

Saran

(29)

17

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto H, Yotopranoto S, Hamidah. 2014. Efektivitas ekstrak daun jeruk purut (Citrus hystrix), jeruk limau (Citrus amblycarpa), dan jeruk bali (Citrus maxima) terhadap larva Aedes aegypti. Aspirator. 6(1):1-6.

Al-Doghairi M, El-Nadi A, Elhag E, Al-Ayedh H. 2004. Effect of Solenostemma argel on oviposition egg hatchability and viability of Culex pipiens L. larvae. Phytother Res. 18(4):335-338.doi:10.1002/ptr.1432.

Braks MAH, Meijerink J, Takken W. 2001. The response of the malaria mosquito, Anopheles gambiae, to two components of human sweat, ammonia and L -lactid acid, in an olfactometer. Phys Entomol. 26(2):142-148.doi:10.1046/j.1365-3032.2001.00227.x.

Cantrell CL, Pridgeon JW, Fronczek FR, Becnel JJ. 2010. Structure activity relationship studies on derivates of Eudesmanolides from Inula helenium as toxicants against Aedes aegypti larvae and adults. Chem Biodivers. 7(7):1681-1697.doi: 10.1002/cbdv.201000031.

Clark TM, Flis BJ, Rennold SK. 2004. pH tolerances and regulatory abilities of freshwater and euryhaline Aedine mosquitoes larvae. J Exp Bio. 207(13):2297-2304.doi:10.1242/jeb.01021.

Cooperband MF, McElfresh JS, Millar JG, Carde RT. 2008. Attraction of female Culex quinquefasciatus Say (Diptera: Culicidae) to odors from chicken feces. J Ins Phys. 54(7):1184-1192.doi:10.1016/j.jinsphys.2008.05.003. Danga YSP, Nukenine EN, Younoussa dan Esimone CO. 2014. Phytochemicals

and larvicidal activity of Plectranthus glandulosus (Lamiaceae) leaf extracts against Anopheles gambiae, Aedes aegypti and Culex quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Int J Pure Appl Zool. 2(2):160-170.

Davis EE dan Bowen FM. 1994. Sensory physiological basis for attraction in mosquitoes. J Am Mosq Control Assoc. 10(2):316-325.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008a. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008b. Kunci Identifikasi Nyamuk Culex. Jakarta (ID): Dit. Jen. PP & PL.

[DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dias CN, Moraes DFC. 2014. Essential oil and their compounds as Aedes aegypti L. (Diptera: Culicidae) larvicides: review. Parasit Res. 113(2):565-592.doi:10.1007/s00436-013-3687-6.

Gimnig JE, Ombok M, Otieno S, Kaufman MG, Vulule JM dan Walker ED. 2002. Density-dependent development of Anopheles gambiae (Diptera: Culicidae) larvae in artificial habitats. J Med Entomol. 39(1):162-172.

Guerenstein PG, Hildebrand JG. 2008. Roles and effects of environmental carbon dioxide in insect life. Ann Rev Entomol. 53:161-178.doi:10.1146/annurev.ento.53.103106.093402.

(30)

18

Hadi UK, Agustina E, Sigit SH. 2009a. Habitat perkembangan jentik Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) pada berbagai jenis air terpolusi. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk (Bogor, 10 Agustus 2009). Pp. 143-153. Bogor: APNI.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit, Pengenalan, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Karmegam N, Sakthivadivel M, Anuradha V, Daniel T. 1997. Indigenous-plant extracts as larvacidal agents against Culex quinquefasciatus say. Biores Tech. 59(2-3):137-140.

[KEMENKES RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) dalam Pengendalian Vektor. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

McCall PJ and Cameron MM. 1995. Oviposition pheromones in insect vectors. Parasit Tod. 11(9):352-355.doi:10.1016/0169-4758(95)80192-8.

Novianto IW. 2007. Kemampuan hidup larva Culex quinquefasciatus Say. pada habitat limbah cair rumah tangga [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Otieno WA, Onyango TO, Pile MM, Laurence BR, Dawson GW, Wadhams LJ dan Pickett JA. 1988. A field trial of the synthetic oviposition pheromone with Culex quinquefasciatus Say (Diptera: Culicidae) in Kenya. Bull Entomol Res. 78(3):463-470.doi:10.1017/S0007485300013213.

Panneerselvam C, Murugan K, Kovendan K, Mahesh K, Ponarulselvam S, Amerasan D, Subramaniam J, Hwang J-S. 2013. Larvicidal efficacy of Catharanthus roseus Linn. (family: Apocynaceae) leaf extract and bacterial insecticide Bacillus thuringiensis against Anopheles stephensi Liston. Asian Pac J Trop Med. 6(11):847-853.doi:10.1016/s1995-7645(13)60151-0. Polson KA, Curtis C, Seng CM, Olson JG, Chanta N, Rawlins SC. 2002. The use

of ovitrap baited with hay infusion as a surveillance tool for Aedes aegypti mosquitoes in Cambodia. Dengue Bull. 26: 178-184.

Rohananto R. 2013. Efektivitas ekstrak daun tapak dara (Catharanthus roseus) sebagai larvasida nyamuk Culex quinquefasciatus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Row LCM, Ho JC. 2009. The antimicrobial activity, mosquito larvacidal activity, antioxidant property and tyrosinase inhibition of Piper betle. J Chin Chem Soc. 56(3):653-658.doi:10.1002/jccs.200900097.

Santya RNRE dan Hendri J. 2013. Daya proteksi ekstrak kulit jeruk purut (Citrus hystrix) terhadap nyamuk demam berdarah. Aspirator. 5(2):61-66.

Sarwar M, Ahmad N, Toufiq M. 2009. Host plant resistance relationships in chickpea (Cicer arietinum L.) against gram pod borer (Helicoverpa armigera H.). Pak J Bot. 41(6):3047-3052.

Shaalan EAS et al. 2006. Efficacy of botanical extracts from Callitris glaucophylla against Aedes aegypti and Culex annulirostris mosquitoes. Trop Biomed. 23(2):180-185.

(31)

19 Soonwera M. 2015. Efficacy of essential oils from Citrus plants against mosquito

vectors Aedes aegypti (Linn.) and Culex quinquefasciatus (Say). J Agri Tech. 11(3):669-681.

Sumba LA, Guda TO, Deng AL, Hassanali A, Beier JC, Knols BGT. 2004. JC, Knols BGT. 2004. Mediation of oviposition site selection in the African malaria mosquito Anopheles gambiae (Diptera: Culicidae) by semiochemicals of microbial origin. Int J Trop Insect Sci. 24(3): 260-265.doi:10.1079/IJT200433.

Susanna D, Rahman A, Pawenang ET. 2003. Potensi daun pandan wangi untuk membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Jurnal ekologi kesehatan. 2(2):228-231.

Tawatsin A, Asavadachanukorn P, Thavara U, Wongsinkongman P, Bansidhi J, Boonruad T, Chavalittumrong P, Soonthornchareonnon N, Komalamisra N, Mulla MS. 2006. Repellency of essential oils extracted from plants in Thailand against four mosquito vectors (Diptera: Culicidae) and oviposition deterrent effects against Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Southeast Asian J Trop Med Public Health. 37(5):915-931.

Telang A, Frame L, Brown MR. 2007. Larval feeding duration affects ecdysteroid levels and nutritional reserves regulating pupal commitment in the yellow fever mosquito Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). J Exp Biol. 210(5):854-864.

Tsai TF. 2000. New initiatives for the control of Japanese encephalitis by vaccination: Minutes of a WHO/CVI meeting, Bangkok, Thailand, 13-15 October 1998. Vaccine. 18(2):1-25.

Tun-Lin W, Burkot TR, Kay BH. 2000. Effects of temperature and larval diet on development rates and survival of the dengue vector Aedes aegypti in north Queensland, Australia. Med Vet Entomol. 14(1):31-37.

Utami T. 2003. Studi pengaruh ekstrak daun bengkuang (Pachyrrhizus erosus (L).urban) terhadap perkembangan pradewasa nyamuk Culex quinquefasciatus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wang Z, Song J, Chen J, Song Z, Shang S, Jiang Z, et al. 2008. QSAR study of mosquito repellents from terpenoid with a six-member-ring. Bioorg Med Chem Lett. 18(9):2854-2859.doi:10.1016/j.bmcl.2008.03.091.

Widiyanti, NLPM, Muyadihardja S. 2004. Uji Toksisitas Jamur Metarhizium anisopliae terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti. Media Litbang Kesehatan. 14(3):25-30.

(32)

20

LAMPIRAN

Lampiran 1 Jumlah nyamuk (betina dan jantan) yang diperoleh pada media air bersih selama 28 hari pengamatan

Perlakuan Hari ke- Jumlah nyamuk (individu)

Betina Jantan

Daun segar JP 10 6 12

11 7 8 12 3 9 20 2 1 23 4 10 24 4 4

PW 10 - 5

12 - 10

22 - 3

25 - 5

SH 24 1 1

TD - - -

Daun kering JP - - -

PW 11 4 3

22 - 1

SH 20 - 1

25 1 -

TD 20 2 1

23 3 4

24 7 -

25 1 -

Total 45 78

(33)

21 Lampiran 2 Jumlah nyamuk (betina dan jantan) yang diperoleh pada media air

tercemar selama 28 hari pengamatan

Perlakuan Hari ke- Jumlah nyamuk (individu) Betina Jantan

Daun segar JP - - -

PW 11 3 -

12 2 7

20 - 1

22 1 10

23 1 3

SH - - -

TD 11 3 -

Daun kering JP 12 1 -

20 4 -

22 1 1

23 1 1

PW 10 1 -

12 1 -

SH 23 1 -

24 - 2

25 - 1

TD - - -

Total 20 26

Keterangan: JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, dan TD = tapak dara *Perlakuan daun kering sirih hijau terdapat 3 ekor nyamuk Aedes aegypti (1 ekor betina

(34)

22

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Penyiapan daun tanaman: (a) Potongan daun segar tapak dara (Catharanthus roseus) (b) Potongan daun kering jeruk purut (Citrus hystrix)
Gambar 3  Kombinasi Penelitian. K1 =kontrol (air bersih), K2 = kontrol (air bersih + abate), K3 = kontrol (air tercemar), JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, TD = tapak dara
Tabel 1 Rata-rata kemunculan larva pada media air bersih dan air tercemar.
Gambar 4  Persentase larva hidup dan larva mati. K1 =kontrol (air bersih), K2 = kontrol (air bersih + abate), K3 = kontrol (air tercemar), JP = jeruk purut, PW = pandan wangi, SH = sirih hijau, TD = tapak dara
+6

Referensi

Dokumen terkait

Yang menjadi latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya nilai hasil belajar IPA/ Kimia siswa Kelas VIII yang tidak mencapai 75 pada Kompetensi Dasar

Langkah- langkah dalam bimbingan terstruktur yang terkonsep dengan baik yaitu dengan perencanaan, pelaksanaan yang menggunakan teknik berkelompok sesuai dengan tingkat kemampuan

Komite audit yang aktif mengadakan pertemuan minimal empat kali dalam satu tahun dan hadirnya auditor eksternal Big 4 sebagai mekanisme pengawasan independen yang berfungsi

Salah satu ketentuan yang diatur dalam Bahagian II Undang-undang ini adalah berkaitan dengan pencatatan perkawinan yang terdapat pada pasal 22 ayat (1) yang berbunyi

Abstrak: Masalah umum dalam penelitian ini adalah Apakah dengan menggunakan metode inquiry pada pembelajaran sifat-sifat cahaya dapat menigkatkan hasil belajar siswa

Pada tahap pra tindakan membuk- tikan bahwa rendahnya hasil belajar IPA pesera didik kelas IVA SDN-3 Langkai Palangka Raya bersumber dari peserta didik dan guru

Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, adalah seorang sufi yang telah berhasil meruntuhkan kekuasaan Syah Iran dengan landasan nilai-nilai tasawuf yang kuat.. Dalam

Pengambilan data arus lalu lintas kendaraan dilakukan dengan cara merekam pergerakan kendaraan, geometri simpang dilakukan dengan cara mengukur langsung menggunakan roda