• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlakuan Air Panas Diikuti Pencelupan Dalam Larutan Cacl2 Untuk Mempertahankan Kualitas Belimbing Manis (Averrhoa Carambola L.).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlakuan Air Panas Diikuti Pencelupan Dalam Larutan Cacl2 Untuk Mempertahankan Kualitas Belimbing Manis (Averrhoa Carambola L.)."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PERLAKUAN AIR PANAS DIIKUTI PENCELUPAN DALAM

LARUTAN CaCl2 UNTUK MEMPERTAHANKAN KUALITAS

BELIMBING MANIS (

Averrhoa carambola

L.)

KHOIRUL MUKHTAROM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perlakuan Air Panas Diikuti Pencelupan dalam Larutan CaCl2 untuk Mempertahankan Kualitas

Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Khoirul Mukhtarom

(4)

iv

RINGKASAN

KHOIRUL MUKHTAROM. Perlakuan Air Panas Diikuti Pencelupan dalam Larutan CaCl2 untuk Mempertahankan Kualitas Belimbing Manis (Averrhoa

carambola L.). Dibimbing oleh SUTRISNO dan ROKHANI HASBULLAH.

Belimbing (Averrhoa carambola L.) merupakan salah satu buah potensial Indonesia yang banyak dibudidayakan diberbagai daerah. Buah belimbing banyak mengandung vitamin C dan dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti batuk rejan, gusi berdarah, sariawan, gigi berlubang, hipertensi, kelumpuhan, memperbaiki fungsi pencernaan, dan radang rektum, akan tetapi buah belimbing merupakan buah yang mudah rusak (perishable), memiliki umur simpan yang pendek, dan mudah terserang oleh mikroba yang menyebabkan munculnya penyakit pascapanen. Perendaman air panas (hot water treatment) dan pencelupan dalam larutan kapur (CaCl2) adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk

mempertahankan mutu pascapanen buah belimbing.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh lama hot water treatment

(HWT) dan pencelupan larutan CaCl2 terhadap kualitas belimbing manis selama

penyimpanan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu lama perendaman HWT dan konsentrasi CaCl2. Lama perendaman HWT terdiri dari tiga taraf yaitu tanpa

perendaman, perendaman selama 5 dan 10 menit dengan suhu HWT 46±0.2 °C. Konsentrasi CaCl2 juga terdiri dari tiga taraf yaitu tanpa konsentrasi CaCl2, 1, dan

3%. Parameter yang diamati adalah laju respirasi, kualitas buah yang terdiri dari susut bobot, kekerasan, browning index, total padatan terlarut, vitamin C, kadar air dan kandungan kalsium, serta tingkat serangan penyakit yang diuji dengan nilai total mikroba. Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dan uji Duncan pada taraf (α<0.05).

HWT selama 5 dan 10 menit pada suhu 46±0.2 °C mampu menekan pertumbuhan total mikroba dan mempertahankan warna buah selama penyimpanan. HWT selama 10 menit merupakan perlakuan terbaik karena mampu menekan pertumbuhan total mikroba lebih besar dan mempertahankan warna lebih baik walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan HWT selama 5 menit. Pencelupan buah belimbing dalam larutan CaCl2 1 dan 3% tidak

direkomendasikan karena meningkatkan laju konsumsi O2 dan produksi CO2,

meningkatkan susut bobot dan total mikroba, serta menurunkan kekerasan buah yang berdampak pada umur simpan buah yang lebih pendek. Interaksi perlakuan HWT selama 5 menit dan tanpa pencelupan CaCl2 merupakan kombinasi perlakuan

terbaik berdasarkan parameter laju respirasi, susut bobot, kekerasan, browning

index, kadar air, dan kandungan total mikroba.

(5)

v

SUMMARY

KHOIRUL MUKHTAROM. Hot Water Treatment (HWT) Followed by CaCl2

Solution Immersion to Maintain the Quality of Star Fruit (Averrhoa carambola L.). Supervised by SUTRISNO dan ROKHANI HASBULLAH.

Star fruit (Averrhoa carambola L.) is one of Indonesian potential fruit which widely cultivated in various regions. Star fruit contain lots of vitamin C and can be used to treat various diseases such as whooping cough, bleeding gums, mouth ulcer, dental cavities, hypertension, palsy, improve digestive function and inflammation of rectum, but star fruit is perishable fruit, with short shelf life, and easily attacked by microbes that cause the appearance of postharvest diseases. Hot water treatment and CaCl2 solution immersion is one of the ways which can be used to maintain

post-harvest quality of star fruit.

This study aimed to evaluate the effect of hot water treatment (HWT) followed by CaCl2 solution immersion on the quality of star fruit during storage.

The experimental design used was factorial completely randomized design consisted of two factors namely soaking time of HWT and the concentration of CaCl2. HWT soaking time consists of three levels i.e without soaking, soaking for

5 and 10 minutes at 46 ± 0.2 °C. CaCl2 concentration also consists of three levels

ie without concentration CaCl2, 1 and 3%. Parameters observed in this work were

respiration rate, quality of fruit consisted of weight loss, firmness, browning index, total soluble solid, vitamin C, moisture and calcium content, as well as the level of disease attack which tested with the value of microbial total.

The result showed that the HWT for 5 and 10 minutes at 46±0.2 °C were able to suppress the growth of microbes and maintained fruit color during storage. HWT for 10 minutes was the best treatment because it could suppress the growth of total microbial larger and maintain the color better although statistically not significantly different with HWT treatment for 5 minutes. Star fruit immersion on CaCl2 1 and

3% solution not recommended because increased the rate of O2 consumption and

CO2 production, increased weight loss and microbial total, and decreased firmness

that impact on the fruit shelf life was shorter. HWT treatment for 5 minutes and without CaCl2 immersion were the best combination treatment based on respiration

rate, weight loss, firmness, browning index, moisture content, and the content of total microbes parameters.

(6)

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

vii

PERLAKUAN AIR PANAS DIIKUTI PENCELUPAN DALAM

LARUTAN CaCl2 UNTUK MEMPERTAHANKAN KUALITAS

BELIMBING MANIS (

Averrhoa carambola

L.)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

KHOIRUL MUKHTAROM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(8)

viii

(9)
(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei-Oktober 2014 ini ialah Perlakuan Air Panas Diikuti Pencelupan dalam Larutan CaCl2 untuk

Mempertahankan Kualitas Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.). Penulis mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih disampaikan kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, M.Agr dan Bapak Dr Ir Rokhani Hasbullah, M.Si, selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis;

2. Dr Ir Emmy Darmawati, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan perbaikan kepada penulis;

3. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa pascasarjana kepada penulis lewat beasiswa unggulan dalam negeri tahun 2012;

4. Sulyaden dan Bhaskara E. Nugraha, STP, selaku teknisi di Laboratorium TPPHP yang telah membantu dan memberikan masukannya selama penelitian;

5. Orang tua penulis Umi Salamah dan Imam Supardi, Kakak dan adik penulis Rijalul Fikri dan Tya Wahyun Kurniawati, serta seluruh keluarga tercinta terima kasih atas doa dan kasih sayangnya selama dalam proses studi;

6. Teman-teman program studi Teknologi Pascapanen 2012, Monik, Rozana, Dini, Mutia, Fivi, Endiyani, Fitri, Leni, Enung, Yusuf, Iman, Feru, Tutur dan Sandro yang telah banyak memberikan kritik, bantuan, saran, dan semangat kepada penulis;

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(11)

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Botani dan Karakteristik Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.) 3 Panen dan Pascapanen Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.) 5 Penyakit Pascapanen Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.) 9

Hot Water Treatment 10

Kalsium Klorida (CaCl2) 11

3 METODE 14

Waktu dan Tempat 14

Bahan dan Alat 14

Metode Penelitian 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Pengaruh HWT dan CaCl2 terhadap Laju Respirasi 21

Pengaruh HWT dan CaCl2 terhadap Mutu Buah 23

Pengaruh HWT dan CaCl2 terhadap Total Mikroba 33

5 SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 40

(12)

xii

DAFTAR TABEL

1 Komposisi buah belimbing manis per 100 gram bahan pada tingkat

kematangan yang berbeda 4

2 Beberapa jenis belimbing manis unggul di Indonesia 4 3 Persyaratan mutu belimbing manis segar sesuai dengan

SNI 01-4491-1998 5

4 Umur panen beberapa varietas belimbing manis 6

5 Indeks kematangan buah belimbing manis 7

6 Kemampuan HWT untuk mengontrol penyakit pascapanen 10 7 Pengaruh HWT dan CaCl2 terhadap total mikroba selama penyimpanan 34

8 Pengaruh HWT dan CaCl2 terhadap total kapang khamir hari ke-24 34

DAFTAR GAMBAR

1 Tingkat kematangan belimbing manis; dari kiri ke kanan: hijau tua, hijau sedikit kuning, hijau kekuningan, kuning kehijauan, kuning kehijauan,

kuning, dan orange kekuningan 6

2 Rib-edgebrowning karena luka jaringan akibat penggunaan kemasan

sintetis 8

3 Diagram alir penelitian 16

4 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap laju konsumsi O2.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 21

5 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap laju produksi CO2.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 23

6 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap kadar air.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 24

7 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap susut bobot.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 25

8 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap kekerasan.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 27

9 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap TPT.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 29

10 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap browning index.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 30

11 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap vitamin C.

a) Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit. 31 12 Kandungan kalsium belimbing manis pada berbagai perlakuan HWT

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis sidik ragam laju repsirasi O2 buah belimbing manis 40

2 Analisis sidik ragam laju repsirasi CO2 buah belimbing manis 42

3 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap laju

konsumsi O2 buah belimbing 45

4 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap laju

produksi CO2 buah belimbing 45

5 Analisis sidik ragam susut bobot buah belimbing manis 46 6 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap susut

bobot buah belimbing 46

7 Analisis sidik ragam kekerasan buah belimbing manis 47 8 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap kekerasan 48

9 Analisis sidik ragam browning index buah belimbing manis 48 10 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap

browning index 49

11 Analisis sidik ragam total padatan terlarut (TPT) buah belimbing manis 50 12 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap

total padatan terlarut 51

13 Analisis sidik ragam vitamin C buah belimbing manis 51 14 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap kandungan

vitamin C buah belimbing 52

15 Analisis sidik ragam kadar air buah belimbing manis 53 16 Uji DMRT pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap kadar

air buah belimbing 54

17 Dokumentasi Penelitian hari ke-18 54

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Belimbing merupakan salah satu dari ragam buah khas potensial Indonesia yang tersebar diberbagai daerah dan belum dikelola dengan baik menyangkut tata produksi, penanganan pascapanen, pengolahan dan pemasarannya. Data Deptan (2009) menunjukkan bahwa permintaan buah belimbing terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, 6.5% (10373.90 ribu ton) pada tahun 2000-2005, 6.8% (13900.80 ribu ton) pada tahun 2005-2009 dan diprediksi akan meningkat menjadi 8.9% (19900.90 ribu ton) pada tahun 2010-2015. Menurut data KEMENTAN (2015), jumlah produksi belimbing mengalami peningkatan pada tahun 2010-2012 dengan nilai produksi berturut-turut sebesar 69089, 80853, dan 91788 ton. Pada tahun 2013 produksi belimbing mengalami penurunan dengan nilai produksi sebesar 79634 ton dikarenakan penurunan luas panen dari 3192 Ha pada tahun 2012 menjadi 3117 Ha pada tahun 2013, akan tetapi produksi belimbing mengalami peningkatan kembali pada tahun 2014 sebesar 890 ton menjadi 80524 ton. KEMENTAN (2015) juga mencatat bahwa pada tahun 2014 jumlah ekspor belimbing segar hanya sebesar 556 kg dengan negara tujuan Maldives, Saudi Arabia, Kuwait, Oman, United Arab Emirates, dan Qatar. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa potensi pengembangan buah belimbing tanah air sebagai komoditas unggulan dan komoditas ekspor masih terbuka sangat lebar.

Buah belimbing banyak mengandung vitamin C dan dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti batuk rejan, gusi berdarah, sariawan, gigi berlubang, hipertensi, kelumpuhan, memperbaiki fungsi pencernaan, dan radang rektum (Redaksi Agromedia 2009). Akan tetapi buah belimbing merupakan buah yang mudah rusak (perishable), memiliki umur simpan yang pendek, dan mudah terserang oleh mikroba yang menyebabkan munculnya penyakit pascapanen pada buah belimbing tersebut. Usaha-usaha untuk mempertahankan mutu pascapanen belimbing banyak dilakukan dengan beberapa cara diantaranya penyimpanan dingin, edible coating, pengemasan menggunakan kemasan plastik, dan pengemasan MAP (Modified Atmosphere Packaging). Cara lain yang dapat digunakan untuk mempertahankan mutu pascapanen buah belimbing adalah dengan cara perendaman air panas (hot water treatment) dan pencelupan dalam larutan kapur (CaCl2).

(16)

2

Salah satu teknik perlakuan panas yang dapat digunakan adalah perlakuan air panas (Hot Water Treatment (HWT)/ Hot Water Dipping (HWD)). HWT sangat baik digunakan untuk disinfestasi hama dan mengontrol penyakit pascapanen (Couey 1989), mencegah pertumbuhan jamur (Lurie 1998), mencegah kebusukan serta mengurangi kerusakan kulit yang disebabkan karena penyimpanan dingin (Hofman et al. 2002). Menurut Lurie (1998), metode HWT sebagai wadah pemindah panas lebih efisien jika dibandingkan dengan udara panas atau semprotan air panas karena dapat menghantarkan air panas keseluruh bahan secara total bukan hanya permukaan saja. HWT sudah banyak diaplikasikan pada beberapa buah diantaranya pepaya, mangga, apel, tomat, melon, lemon, per, garbis dan plum.

Pencelupan dengan larutan kapur seperti CaCl2, digunakan sebagai bahan

peningkat kekerasan untuk memperpanjang umur simpan pascapanen (Luna-Guzman et al. 1999). CaCl2 juga menunda perkembangan warna kulit dan

meningkatkan daya tahan buah terhadap kebusukan akibat jamur (Schirra et al.

1999; Yu et al. 2012). Larutan kapur sebagai bahan peningkat kekerasan telah digunakan pada beberapa buah, diantaranya apel, stroberi, irisan buah pir, timun jepang, tomat, alpukat, mangga, fresh cut melon, dan jambu.

Informasi terkait dengan efektifitas aplikasi HWT dan CaCl2 pada buah

belimbing masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kombinasi HWT dan pencelupan menggunakan larutan kapur (CaCl2) dalam penelitian ini diharapkan mampu

mencegah/menghambat pertumbuhan penyakit pascapanen, serta mempertahankan kualitas belimbing manis selama penyimpanan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh lama HWT dan pencelupan larutan CaCl2 terhadap kualitas belimbing manis selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Karakteristik Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.)

Belimbing merupakan tanaman asli Indonesia dan Malaysia yang kemudian menyebar rata di Asia Tenggara seperti Philipina, Thailand, dan negara lainnya (Lingga 1992). Menurut Rukmana (1996), tanaman belimbing terdiri dari dua jenis yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola L.) dan belimbing wuluh (Averrhoa

bilimbi L.). Belimbing manis adalah belimbing yang banyak dibudidayakan

diberbagai negara tropis salah satunya di Indonesia, tumbuh didataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl dengan kemiringan lahan 5-20° pada tanah yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, aerasi, drainase yang baik, mempunyai kelembaban yang cukup dengan pH tanah sebesar 5.5-7.0 atau 5.5-6.0, dan kedalaman air tanah 50-200 cm di bawah permukaan tanah (Tim Penulis Penebar Swadaya 1998 dan Redaksi AgroMedia 2009). Tanaman belimbing manis membutuhkan sinar matahari langsung dengan lama penyinaran tujuh jam setiap hari dengan intensitas 45-50% dengan curah hujan 1500-3000 mm setahun dan suhu 25-27 °C. Belimbing manis diklasifikasikan dalam devisi Spermatophyta, subdivisi

Angiospermae, kelas Dicotyledone, ordo Oxalidales, famili Oxalidaceae, genus

Averrhoa, dan species Carambola L.(Backer dan Brink 1963).

Tanaman belimbing manis memiliki daun mejemuk menyirip ganjil, tulang daun menyirip serta bentuk daunnya lonjong dengan pangkal daun melebar, dan ujung daun yang meruncing (Priadi dan Cahyani 2011). Belimbing manis juga memiliki bentuk seperti bintang, permukaan licin seperti lilin, berlekuk-lekuk, dan memiliki penampang melintang. Rasa manis belimbing manis dipengaruhi oleh jenis, varietas (Rukmana 1996), dan tingkat kemasakan dari buah tersebut. Komposisi buah belimbing manis per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Sentra penanaman belimbing manis tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia diantaranya adalah Depok (Jawa Barat) dengan belimbing Dewi, Demak (Jawa Tengah) dengan varietas unggul Kunir dan Kapur, Blitar (Jawa Timur) dan Sumatra Utara dengan belimbing sembiring (Redaksi AgroMedia 2009). Beberapa jenis belimbing manis unggul di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

(18)

4

Tabel 2 Beberapa jenis belimbing manis unggul di Indonesia

Varietas Asal Bobot

Bangkok Thailand 165 Kuning

kemerahan

Rasa buah manis dan kandungan air banyak

Filipina 500-700 Kuning

(19)

5

170 Kuning Rasa sangat manis dan

kandungan air banyak

Sumber: Tim Penulis Penebar Swadaya 1998

Tabel 3 Persyaratan mutu belimbing manis segar sesuai dengan SNI 01-4491-1998

Komponen Mutu Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II

Keseragaman Varietas*) % Seragam Seragam

Keseragaman Berat*) % 100 75-90

Keseragaman Tingkat Kekerasan % 100 75-90

Keseragaman tingkat ketuaan buah*) % 100 75-90

Cacat dan busuk % 0 0-5

Kadar kotoran % 0 2

Serangga hidup atau mati % Tidak ada Tidak ada

Organisme pengganggu tanaman % 0 0

*) Sesuai varietas

Panen dan Pascapanen Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.)

(20)

6

kandungan pati. Cara perhitungan hari dilakukan dengan menentukan waktu panen berdasarkan hari setelah bunga mekar atau hari setelah pembungkusan (Pantastico 1986).

Umur petik buah belimbing manis dipengaruhi oleh varietas, praktek produksi, iklim, geografis pemanenan, dan lingkungan (Postharvest Handling

Technical Bulletin 2004; Samson 1992; Rukmana 1996). Menurut Samson (1992),

Rukmana (1996), dan Redaksi AgroMedia (2009), pada dataran rendah yang iklimnya basah, umur petik belimbing berkisar antara 35-60 hari setelah pembungkusan atau 65-90 hari setelah bunga mekar. Umur panen beberapa varietas belimbing manis dapat dilihat pada Tabel 4.

Buah belimbing manis merupakan buah yang respirasinya tidak mencapai puncak pasca dipetik (nonklimakterik), oleh karena itu pemanenan buah belimbing manis harus dilakukan pada saat buah matang dipohon. Ciri buah belimbing yang siap panen adalah memiliki ukuran besar (maksimal), telah matang, dan mengalami perubahan warna dari hijau menjadi putih, kuning, merah, atau variasi warna lainnya, tergantung pada varietas belimbing (Redaksi AgroMedia 2009).

Indeks kematangan yang paling banyak digunakan untuk menentukan panen buah belimbing adalah warna buah secara eksternal. Tingkat kematangan buah belimbing manis berdasarkan perubahan warna terbagi menjadi tujuh tingkat yaitu hijau tua, hijau sedikit kuning, hijau kekuningan, kuning kehijauan, kuning kehijauan, kuning, dan orange kekuningan (Gambar 1) dan penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 5 (PKHT 2007).

Tabel 4 Umur panen beberapa varietas belimbing manis

No Varietas Umur Buah

(21)

7

Tabel 5 Indeks kematangan buah belimbing manis

Indeks Warna Kuliat Buah Keterangan

1 Hijau tua (buah belum matang). Kulit buah berwarna hijau tua dan tidak mengkilap. Belum siap panen.

- berwarna lebih banyak hijau dari warna kuning mengkilap.

Untuk salad dan hiasan. Ekspor melalui udara dan laut.

4 Kuning kehijauan. Kulit berwarna kuning dengan sedikit hijau.

Untuk salad, hiasan, jus, dan dimakan segar. Ekspor melalui udara.

5 Kuning kehijauan. Kulit buah berwarna kuning dengan sedikit hijau bagian rusuk (ligir).

Untuk salad, hiasan, jus, dan dimakan segar. Ekspor melalui udara. banyak oranye daripada kuningnya.

Masih dapat dimakan, tetapi rasanya sudah tidak enak lagi. Tidak disarankan untuk ekspor.

Sumber: Acuan standar prosedur operasional (SPO) PKHT (2007).

Tingkat kematangan panen belimbing tergantung pada tujuan pasar yang dituju dan waktu yang dibutuhkan untuk memasarkan buah tersebut. Buah belimbing yang ditujukan untuk pasar ekspor harus dipanen ketika warna kuning mulai berkembang dialur antara tulang rusuk, sementara ujung tulang rusuk (sirip) tetap hijau. Buah pada tahap kematangan ini dapat disimpan dengan baik dan dapat diekspor ke pasar yang jauh. Buah akan benar-benar berwarna kuning selama penyimpanan. Buah belimbing yang akan dijual dipasar lokal dapat dipanen pada tahap hijau muda jika buah akan ditahan selama lebih beberapa minggu, atau dapat juga dipilih warna buah belimbing yang lebih kuning. Buah pada tahap kuning dipilih untuk pasar yang lebih dekat yang akan dijual dalam beberapa hari. Kadar gula buah belimbing tidak meningkat setelah dipanen, oleh karena itu jika permintaan pasar untuk buah belimbing adalah dengan tingkat kemanisan optimal, maka buah harus dibiarkan matang optimal dipohon pada tahap warna kuning. Namun, buah yang dipanen pada indeks kematangan kuning memiliki umur pasar kurang dari satu minggu (Postharvest Handling Technical Bulletin 2004).

(22)

8

diperbolehkan jatuh ke tanah, karena akan mengakibatkan dampak memar, kerusakan mekanik, dan bekas luka permukaan. Kerusakan pascapanen dari buah yang jatuh akan cepat, buah akan layu, dan bintik-bintik coklat akan berkembang pada permukaan kulit dan tulang rusuk tepi, hal tersebut akan menurunkan kualitas pasar. Penyortiran awal buah yang marketable dan unmarketable harus dilakukan pada saat pemetikan. Buah yang mengalami kerusakan harus dimasukkan dalam wadah terpisah dan dibuang ke lokasi yang jauh dari pohon belimbing untuk meminimalkan penumpukan penyakit di daerah tersebut. Buah yang dalam kondisi baik, untuk tujuan lokal maupun ekspor harus ditempatkan hati-hati dalam wadah lapangan untuk menghindari kerusakan tulang rusuk. Buah harus ditempatkan horisontal diwadah lapangan untuk mengurangi gesekan pada tepi tulang rusuk dan setiap lapisan harus ditutup dengan kertas. Selain itu wadah harus dilapisi dengan bahan yang lembut, seperti kertas atau bantalan polyfoam. Wadah tidak lebih dari 10 kg buah dan harus dimasukkan/ diletakkan kedalam daerah yang sejuk ketika penuh (Postharvest Handling Technical Bulletin 2004).

Wadah lapangan dapat berupa peti kayu yang kuat dan dapat ditumpuk tanpa merusak buah atau dapat juga menggunakan keranjang plastik yang memiliki ventilasi dan dalamnya halus. Keuntungan lain penggunaan keranjang plastik adalah mudah dibersihkan dan tidak merusak buah. Penggunaan karung sintetis tidak diperbolehkan untuk pemanenan dan pengangkutan buah belimbing. Karung sintetis menyediakan sedikit atau bahkan tidak memberikan perlindungan terhadap buah dan justru menimbulkan kerusakan tulang rusuk buah belimbing yang disebut

Rib-edge browning (Gambar 2). Selain itu pengangkutan menggunakan karung

sintetis akan meningkatkan intensitas browning karena lebih banyak air yang hilang disebabkan karung sintetis biasanya tidak memiliki ventilasi yang cukup dan mungkin berisi lebih dari 10 kg buah (Postharvest Handling Technical Bulletin

2004).

Gambar 2 Rib-edgebrowning karena luka jaringan akibat penggunaan kemasan sintetis

(23)

9

disimpan pada suhu 16 °C akan memiliki umur pasar maksimal tiga minggu, tetapi apabila disimpan pada suhu 21 °C akan memiliki umur pasar maksimal selama dua minggu. Penyimpanan belimbing pada suhu 5 °C atau lebih rendah harus dihindari karena buah akan mengalami Chiling injury (Postharvest Handling Technical

Bulletin 2004). Menurut Simson dan Stratus (2010), rekomendasi suhu dan RH

untuk buah belimbing agar memiliki umur pascapanen optimal selama 21-28 hari adalah 9-10 °C dengan RH 85-90%.

Penyakit Pascapanen Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.)

Tingkat keparahan penyakit pascapanen sangat ditentukan oleh tiga faktor penting dan utama, yaitu keberadaan mikroba patogen, inang, dan lingkungan. Masing-masing faktor mempunyai peran khusus, akan tetapi interaksi ketiga faktor tersebut sangat penting di dalam menentukan perkembangan penyakit pascapanen. Adanya mikroba patogen pascapanen yang agresif, didukung oleh inang yang rentan, dan lingkungan yang mendukung akan makin menambah keparahan penyakit pascapanen yang ditimbulkannya (Loekas 2006).

Buah belimbing merupakan buah yang mudah terserang penyakit pascapanen. Menurut Postharvest Handling Technical Bulletin (2004), penyakit pascapanen yang biasanya menyerang buah belimbing terdiri dari beberapa macam diantaranya; busuk alternaria yang disebabkan oleh jamur Alternaria alternata, antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum gloeosporioides, dan kapang hitam yang disebabkan oleh jamur Leptothyrium (Postharvest Handling Technical Bulletin 2004).

Busuk Alternaria

Busuk alternaria disebabkan oleh jamur Alternaria alternata, menginfeksi buah masih muda/hijau pada saat dipohon dan tinggal secara dormant sampai buah matang. Penyakit ini memiliki gejala berupa bercak kecil, hitam, bulat dengan diameter 0.5-1 mm pada permukaan buah. Lama kelamaan bintik akan tumbuh, membesar, dan dapat menutupi sebagian dari buah. Kemudian penyakit berkembang masuk kedalam daging, menyebabkan daging gelap, dan lunak.

Antraknosa

Antraknosa pada buah belimbing disebabkan oleh kapang C. Gloeosporioides

yang menginfeksi buah masih muda/hijau sebelum sampai dengan panen dan tinggal secara dormant sampai buah matang. Gejala khas dari penyakit ini adalah berupa bercak kecil hitam atau luka hitam yang lebih besar pada permukaan kulit buah. Luka akan bersatu dan menekan kedalam buah mengakibatkan buah busuk.

Kapang Hitam

(24)

10

Hot Water Treatment

Hot Water Treatment merupakan salah satu perlakuan panas yang biasa

digunakan selain uap panas (Vapor Heat Treatment (VHT)) dan udara panas (Hot Air Treatment (HAT)). HWT sebagai wadah pemindah panas lebih efisien jika dibandingkan dengan udara panas atau semprotan air panas karena dapat menghantarkan air panas dari air bersuhu tinggi ke seluruh bahan secara total bukan hanya permukaan saja (Lurie 1998).

Hot Water Treatment sangat baik digunakan untuk disinfestasi hama dan

mengontrol penyakit pascapanen seperti antraknosa dan stem end rot (Couey 1989), mencegah pertumbuhan jamur (Lurie 1998), mencegah kebusukan serta mengurangi kerusakan kulit yang disebabkan karena penyimpanan dingin (Hofman

et al. 2002). HWT efektif untuk pengendalian penyakit, khususnya untuk

mengurangi muatan atau populasi mikroba untuk hasil tanaman seperti plum, per, pepaya, garbis, dan buah-buah berbiji (Kitinoja and Kader 2003). Kemampuan HWT untuk mengontrol penyakit pascapanen dapat dilihat pada Tabel 6.

Hot Water Treatment pada suhu 46 °C lebih efektif dibandingkan dengan

HAT pada suhu 46 atau 48 °C dengan RH 58-90% dalam mengontrol penyakit antraknosa dan stem end rot padabuah mangga (McGuire 1991 dalam Thompson 2003). HWT pada suhu 48 °C selama 20 menit mampu mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporiodes (Maharaj and Sankat 1990 dalam Thompson 2003).

Hot Water Treatment pada suhu 46.5 °C selama 20 menit memberikan hasil

yang terbaik dalam mempertahankan mutu tomat dan menekan chiling injury pada penyimpanan dingin (Larasati 2003). Perlakuan HWT dengan suhu 40 °C selama 30 menit, 41 °C selama 20-30 menit, dan 42 °C selama 25-30 menit secara signifikan mampu mengurangi kerusakan kulit yang disebabkan oleh penyimpanan dingin pada buah alpukad varietas Hass (Hofman et al. 2002).

Menurut Burton et al. (1974) dalam Thompson (2003), pencelupan buah blue

berries dalam air panas pada suhu 46-55 °C selama 3 menit mampu mengurangi

busuk buah sebesar 90%, pada suhu 40 °C perlakuan HWT tidak efektif, dan pada suhu 55 °C perlakuan HWT menyebabkan buah luka. HWT pada suhu 40 °C juga efektif untuk meningkatkan umur simpan buah bidadara (Zizyphus mauritiana) dengan memperlambat kemasakan buah dan mengurangi kecepatan perkembangan etilen (Anuradha et al. 1998 dalam Thompson 2003).

Menurut Thompson (2003), HWT tidak merusak buah jika terdapat penundaan selama 48 jam antara panen dan perlakuan, akan tetapi penundaan ini dapat mempengaruhi efisiensi HWT dalam mengendalikan penyakit pascapanen.

Tabel 6 Kemampuan HWT untuk mengontrol penyakit pascapanen

Komoditi Patogen Suhu (°C) (menit) Waktu Kemungkinan kerusakan

Apel Gloeosporium sp. 45 10 Mengurangi masa

simpan

(25)

11

Komoditi Patogen Suhu (°C) (menit) Waktu Kemungkinan kerusakan

Jeruk

Kalsium Klorida (CaCl2)

CaCl2 telah digunakan secara luas sebagai agen kekerasan yang dilakukan

secara utuh atau fresh-cut untuk buah dan sayuran. Perlakuan pascapanen dengan mineral, terutama kalsium digunakan untuk meningkatkan umur simpan dan kualitas buah-buahan dan sayuran (Martin-Diana et al. 2007). Larutan kapur sebagai agen kekerasan telah digunakan pada beberapa buah, diantaranya apel, stroberi, irisan buah pir, dan timun jepang. Kekerasan dan ketahanan terhadap pelunakan buah dihasilkan dari penambahan Ca2+ yang menyebabkan setabilisasi sistem membran dan pembentukan Ca-pektat yang meningkatkan kekakuan dari

middle lamella dan dinding sel (Luna-Guzman 1999). Kalsium dianggap menjadi

(26)

12

Kalsium secara langsung terlibat dalam memperkuat dinding sel tanaman karena terjadinya ikatan silang antara gugus karboksil rantai polyuronide dari pektin yang ditemukan di middle lamella (Lara et al. 2004). Ion kalsium juga membantu dalam mensetabilkan membran sel (Picchioni et al. 1995 dalam Beirao-da-Costa et al. 2008), tekanan turgor (Mignani et al. 1995 dalam Beirao-da-Costa

et al. 2008), dan mengurangi pelunakan buah. Ion kalsium juga melindungi struktur

sel (Jones and Lunt 1967 dalam Shafiee et al. 2010) dan mencegah kerusakan fisiologi (Shear 1975 dalam Shafiee et al. 2010). Menurut Mengel (2002) dalam Nicola et al. (2009), buah dengan kandungan kalsium yang tinggi memiliki kecepatan respirasi yang lebih rendah. Ca juga memiliki pengaruh untuk mengatasi berbagai jenis cacat fisiologis lainnya pada buah apel dan pir seperti mengurangi

internal breakdown,senescence breakdown, busuk karena suhu rendah, water core,

cork spot, scald atau burik (Widjanarko 2012). Thompson (2003) menyatakan

bahwa perlakuan buah tomat dengan penyemprotan daun dan perendaman dalam larutan kalsium pascapanen merupakan perlakuan paling efektif pada peningkatan kandungan kalsium dinding sel. Aplikasi pascapanen kalsium juga menunjukkan mampu menghambat kematangan buah tomat, alpukad dan mangga. Penyerapan kalsium mampu mengurangi chiling injury dan meningkatkan resistensi terhadap penyakit pada buah yang disimpan (Yuen 1993 dalam Thompson 2003).

Scott dan Wills (1979) dalam Widjanarko (2012), melakukan penelitian untuk meningkatkan absorbsi ion Ca ke dalam buah apel dengan menggunakan berbagai jenis garam kalsium seperti; Ca laktat, Ca (OH)2, CaCO3, Ca superfosfat, Ca

glukonat, Ca H fosfat, dan CaCl2. Dari berbagai jenis garam kalsium yang

digunakan, CaCl2 adalah yang paling efektif.

Pencelupan menggunakan CaCl2 mampu meningkatkan kekerasan buah fresh cut melon Cantaloupe selamapenyimpanan 5 °C.Selain itu perlakuan kalsium juga dapat menurunkan respirasi dan kebusukan pada melon Cantaloupe. Manganaris

et al. (2007) menyarankan bahwa pencelupan dengan CaCl2 62.5 mM selama 5

menit merupakan perlakuan pascapanen potensial untuk buah persik, karena meningkatkan kekerasan jaringan buah, mengurangi kerentanan terhadap kerusakan fisiologis serta mengurangi resiko kerusakan akibat garam.

Pencelupan buah stroberi dalam larutan 1% CaCl2 merupakan perlakuan

paling efektif untuk meningkatkan kandungan kalsium pada buah, mengendalikan kebusukan buah pascapanen, serta menjaga kekerasan buah dan kandugan padatan terlarut. Perlakuan ini tidak berpengaruh terhadap kualitas sensoris dari buah (Garcia et al. 1996). Shafiee et al. (2010) menyatakan bahwa buah stroberi yang dicelup dalam larutan CaCl2 1%, asam salisilat 0.03 mM dan campuran keduanya

selama 15 menit memiliki kehilangan susut bobot dan kebusukan yang lebih kecil dan memiliki nilai a*, kekerasan dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Menurut Thompson (2003), perlakuan buah apel dengan 4% CaCl2 yang

disimpan pada suhu 18 °C memiliki tingkat respirasi lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan CaCl2. Perlakuan apel golden menggunakan 3% CaCl2, 3

(27)

13

langsung setelah pemanenan (Bernardin et al. 1994 dalam Thompson 2003). Pencelupan buah jambu selama 20 menit dalam larutan kalsium mampu menjaga kualitas pasar sampai 16 hari pada suhu 10 °C dan kelembaban 90% (Gonzaga-Neto et al. 1999 dalam Thompson 2003).

Waktu perendaman buah kedalam larutan CaCl2 bervariasi antara 10-30

menit tergantung perlakuan eksperiment yang akan dilakukan. Efektivitas pengaruh ion Ca untuk mempanjang umur simpan produk sangat tergantung pada konsentrasi larutan garam kalsium dan waktu perendaman (Widjanarko 2012).

Perendaman menggunakan larutan kapur juga mampu menjaga tekstur buah apel, menjaga terhadap serangan mikroba patogen seperti Penicillium expansum

dan Phialophora molarum serta mengurangi laju kecepatan respirasi dan produksi

(28)

14

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Oktober 2014 di Laboratorium Teknik Pengolahan Bahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan (ITP), dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buah belimbing manis varietas Dewi, indeks panen 6 (PKHT 2007) dengan berat rata-rata 200-250 gram yang dipanen pada bulan September dari petani Kecamatan Sawangan Kota Depok, aquades diperoleh dari Laboratorium Ilmu Teknologi Pangan IPB, dan CaCl2 yang diperoleh dari toko bahan kimia Setia Guna Kota Bogor, serta bahan

penunjang analisis lainnya.

Peralatan yang digunakan terdiri dari Water bath, Cosmotector tipe XP-3140,

Cosmotector tipe XP-3180, Mettler scale PM-4800, Rheometer tipe CR-300DX,

Chromameter (Minolta CR200), Refractometer model N-1 Atago, Oven,

Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), Inkubator, Stomacher, Refrigerator, serta peralatan penunjang analisis lainnya.

Metode Penelitian Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu lama perendaman Hot Water Treatment

(HWT) dan konsentrasi CaCl2. Lama perendaman HWT terdiri dari tiga taraf yaitu

tanpa perendaman, perendaman selama 5 dan 10 menit dengan suhu HWT 46±0.2 °C. Konsentrasi CaCl2 juga terdiri dari tiga taraf yaitu tanpa konsentrasi

CaCl2, 1 dan 3%. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Model aditif

linier dari rancangan ini adalah sebagai berikut:

Yijk = u + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Dimana:

Yijk = nilai pengamatan pada faktor lama HWT taraf ke-i, faktor

konsentrasi CaCl2 taraf ke-j dan ulangan ke k.

µ = komponen aditif dari rataan αi = pengaruh utama faktor lama HWT

βj = pengaruh utama faktor konsentrasi CaCl2

(αβ)ij = komponen interaksi dari faktor lama HWT dan faktor konsentrasi CaCl2

εijk = pengaruh acak yang menyebar normal

(29)

15

Pengaruh sederhana (interaksi) faktor lama HWT dan konsentrasi CaCl2:

H0: (αβ)11 = (αβ)12 = ... = (βα)ab = 0 (interaksi dari faktor lama HWT

dengan faktor konsentrasi CaCl2 tidak berpengaruh terhadap respon)

H1: paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (αβ)ij ≠ 0

Variabel respon yang diukur adalah laju respirasi, kualitas buah yang terdiri dari susut bobot, kekerasan, browning index, total padatan terlarut, vitamin C, kadar air, dan kandungan kalsium serta tingkat serangan penyakit yang diuji dengan nilai total mikroba. Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan Analysis of variance

(ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila terdapat pengaruh perlakuan maka dilakukan pengujian lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test

(DMRT).

Tahapan Penelitian

Penelitian terdiri dari beberapa kegiatan diantaranya:

1. Buah belimbing yang sudah dipanen disortasi keseragaman tingkat kematangannya berdasarkan warna, ukuran, dan berat buah. Buah yang sudah disortasi kemudian dibungkus menggunakan kertas koran, diletakkan dalam keranjang plastik dan dibawa ke laboratorium TPPHP Institut Pertanian Bogor menggunakan mobil. Setelah sampai di laboratorium, buah belimbing dibuka dari pembungkusnya dan disimpan dalam ruangan berukuran 4 x 10 m, dengan suhu AC 16 °C untuk diberi perlakuan keesokan harinya.

2. Buah belimbing dibagi dalam beberapa keranjang berdasarkan perlakuan lama HWT dan konsentrasi CaCl2 yang akan diberikan. Buah belimbing

yang sudah siap, diberi perlakuan HWT pada suhu 46±0.2 °C dengan cara direndam dalam waterbath berukuran 44.5 x 44 x 34 cm selama 5 menit, 10 menit, dan tanpa perlakuan HWT kemudian ditiriskan.

3. Setelah kering buah belimbing dicelup kedalam larutan CaCl2 dengan

konsentrasi 1%, 3% dan tanpa pencelupan selama 5 menit kemudian ditiriskan. Buah yang sudah kering kemudian diletakkan dalam styrofoam

dan dikemas menggunakan plastik wrapping dan disimpan pada suhu 10 °C. Pembuatan larutan CaCl2 1 dan 3% dilakukan dengan cara

melarutkan CaCl2 1 dan 3 gram dalam 100 ml aquades. Penirisan

dilakukan dengan meletakkan buah belimbing dalam keranjang setelah perlakuan HWT dan CaCl2 dengan posisi berdiri atau pangkal buah

dibawah, pada suhu ruang menggunakan kipas angin selama 3-5 menit. 4. Pengukuran respon dilakukan setiap tiga hari sekali selama 27 hari

penyimpanan.

(30)

16

Gambar 3 Diagram alir penelitian

Pengukuran Variable Respon a. Laju Respirasi

Pengukuran gas CO2 dan O2 dilakukan setiap hari pada jam ke-6 dan

12 setelah penutupan sampai buah mengalami kerusakan. Pengukuran laju respirasi dilakukan dengan memasukkan 2 (± 450gr) buah belimbing manis yang telah mendapat perlakuan HWT dan CaCl2 kedalam stoples kaca dengan

volume 3310 ml dan menutupnya dengan tutup plastik yang dilengkapi dua buah lubang untuk pengukuran komposisi O2 dan CO2. Lubang disambung

dengan selang plastik yang dapat ditekuk dan ditutup rapat dan celah antara lubang pada tutup stoples dan selang ditutup menggunakan lilin. Pengukuran laju respirasi dilakukan secara close system yaitu dengan cara membuka lipatan selang plastik pada stopless kemudian selang plastik dihubungkan dengan Cosmotector tipe XP-3140 untuk mengukur komposisi CO2 dan

Cosmotector tipe XP-3180 untuk mengukur komposisi gas O2. Setelah

pengukuran dilakukan, penutup stopless di buka dan sampel disimpan di

Refrigerator pada suhu 10 °C dan diukur lagi keesokan harinya pada jam yang

sama. Laju respirasi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

R = W x V dxdt Belimbing

Sortasi

Penirisan

Penyimpanan

Pengukuran respon Penirisan

Pencelupan CaCl2 3%

1. Laju respirasi 2. Susut bobot 3. Kekerasan 4. Browning index 5. Total padatan terlarut 6. Vitamin C

7. Kadar air

8. Kandungan Kalsium 9. Total mikroba HWT 46 ± 0.2 °C 10 menit

HWT 46 ± 0.2 °C 5 menit Kontrol

Pencelupan CaCl2 1% Kontrol

(31)

17

Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit pada suhu 100-105 °C dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang (A). 5 g bahan kemudian dimasukkan kedalam cawan dan ditimbang (B). Cawan yang berisi bahan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100-105 °C sampai beratnya konstan, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Persentasi kadar air diukur menggunakan rumus:

Ka= B − CB − A x %

Dimana:

Ka : Kadar air (%)

A : Berat cawan (g)

B : Berat cawan dan bahan sebelum dikeringkan (g) C : Berat cawan dan bahan setelah dikeringkan (g)

c. Susut Bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan menggunakan timbangan digital

Mettler scale PM-4800. Pengukuran dilakukan sebelum buah belimbing

disimpan (bo) dan setiap kali akhir pengamatan (bt). Pengukuran dilakukan

tiga hari sekali selama penyimpanan. Nilai susut bobot diperoleh dari hasil pengurangan bobot awal (bo) dengan bobot penyimpanan hari ke-t (bt) yang

dinyatakan dalam persen (%). Rumus yang digunakan untuk mengukur susut bobot adalah:

Susut Bobot % = bo − btbo x % Dimana:

bo : berat bahan awal penyimpanan (g)

bt : berat bahan pada hari ke-t penyimpanan (g)

d. Kekerasan

Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan Rheometer

(32)

18

yaitu bagian ujung, bagian tengah dan bagian pangkal. Data yang diperoleh kemudian dirata-ratakan.

e. Total Padatan Terlarut

Totalpadatan terlarut diukur menggunakan Refractometer model N-1 Atago dengan cara menghancurkan buah belimbing manis sehingga didapatkan sarinya dan menempatkannya pada prisma refraktometer

kemudian dilakukan pembacaan nilai TPT. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pada bagian ujung, tengah dan pangkal. Besarnya padatan terlarut dinyatakan dalam satuan °Brix.

f. Browning Index (BI) (Li et al.2011)

Pengukuran browning index dilakukan menggunakan alat

chromameter (Minolta CR200). Chromameter bekerja berdasarkan

pengukuran perbedaan warna yang dihasilkan oleh sampel. Pengujian dilakukan dengan menempelkan sensor alat tersebut pada belimbing manis dan menembakkan sinar pada tiga bagian yang berbeda. Data warna yang dihasilkan dinyatakan dengan nilai L* untuk kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a* menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0-100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari warna 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai b* menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan +b (positif) dari 0-70 untuk kuning dan nilai – b (negatif) dari 0-(-70) untuk warna biru. Browning index dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

BI (Browning index) = 100(x-0.3)/0.1752, dimana x = (a* + 1.75 L*)/(5.645 L* + a*-3.012 b*)

g. Uji Vitamin C (Sudarmadji et al. 2007)

Penentuan kadar vitamin C dilakukan menggunakan metode titrasi iodin (jacobs) dengan tahapan sebagai berikut:

1. Menimbang 200-300 g bahan dan menghancurkannya menggunakan

blender sampai diperoleh slurry;

2. Sebanyak 10 gram slurry buah belimbing ditimbang, kemudian dilarutkan dengan aquades dalam labu takar 100 ml;

3. Kemudian larutan disaring dengan menggunakan kertas saring

whatman sehingga diperoleh cairan bahan jernih;

4. Mengambil 25 ml bahan kedalam tabung reaksi menggunakan pipet, lalu ditambah dengan larutan amilum 1 % sebanyak 2 ml;

5. Kemudian dititrasi dengan menggunakan larutan iod 0.01 N, sampai terbentuk warna biru;

6. Kadar vitamin C dihitung dengan menggunakan rumus:

Vitamin C mgg bahan = ml iod x .88 x F x g sampel Keterangan:

F = Faktor pengenceran

(33)

19

h. Uji Kandungan Kalsium

Uji kandungan kalsium dilakukan dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) metode dry ashing (AOAC 2005). Sampel yang sudah dikeringkan ditimbang pada cawan porselen ±1 gram dan ditanur selama 4-6 jam dengan suhu 700 °C. Kemudian ditambahkan HCl 25% sebanyak ¾ isi cawan lalu dipanaskan di atas hotplate (di ruang asam) sampai volume HCl 25% tersebut berkurang sampai ¼ cawan. Setelah itu ditambahkan HCl 10% sebanyak ¾ isi cawan, kemudian dipanaskan kembali sampai volume HCl 10%nya berkurang sampai ¼ isi cawan, lalu ditambahkan aquadest sampai 100 ml pada labu takar dan disaring.

i. Uji Total Mikroba (Rahayu dan Nurwitri 2012)

Metode perhitungan jumlah mikroba dilakukan dengan metode hitungan cawan (Colony Count Methods/CCM). Uji jumlah mikroba dilakukan untuk mengetahui total mikroba yang terdapat pada buah. Perhitungan total mikroba dilakukan pada cawan yang berisi media PCA

(Plate Count Agar). Pengujian dilakukan pada hari ke 0, 12, dan 24. Prosedur

analisisnya adalah sebagai berikut:

1. Menimbang sampel sebanyak 25 g ditambah pengencer Buffer Phospate

dan memasukkannya kedalam kantong stomacher steril untuk dihancurkan dan dihomogenkan menggunakan stomacher selama 30 detik, sehingga diperoleh suspensi dengan pengenceran 10-1;

2. Dari pengenceran 10-1 dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri seteril dan dibuat duplo;

3. Selanjutnya dari pengenceran 10-1 pipet 1 ml lalu memasukkannya kedalam 9 ml pengencer Buffer Phospate sehingga diperoleh suspensi dengan pengenceran 10-2 kemudian diambil 1 ml menggunakan pipet

dan dimasukkan kedalam cawan petri seteril dan dibuat duplo;

4. Selanjutnya dari pengenceran 10-2 diambil 1 ml menggunakan pipet dan dimasukkan kedalam 9 ml Buffer Phospate sehingga diperoleh suspensi dengan pengenceran 10-3 kemudian diambil 1 ml menggunakan pipet dan dimasukkan kedalam cawan petri seteril dan dibuat duplo;

5. Setelah itu media PCA bersuhu 42 °C dituang kedalam cawan petri yang berisi suspensi sebanyak 15-20 ml sambil diputar dan digoyang kurang lebih selama 5-10 detik agar suspensi tersebar merata, lalu membiarkannya sampai padat.

6. Setelah padat cawan petri diinkubasi pada suhu 37 °C selama ± 5 hari dengan posisi terbalik kemudian jumah koloni diamati dan dihitung.

Perhitungan banyaknya mikroba ditentukan dengan membagi jumlah koloni yang telah dihitung dengan faktor pengencer yang digunakan. Secara umum perhitungan dapat dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut:

N= Jumlah koloni pada cawan

(34)

20

Dimana:

N : Jumlah koloni per gram (jumlah koloni yang dihitung 10-150 untuk kapang dan khamir dan 25-250 untuk bakteri) CFU g-1

(coloni forming unit per gram)

n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama

n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua

d : faktor pengenceran pada pengenceran pertama

Pembuatan larutan pengencer Buffer Phospate diawali dengan pembuatan larutan stock pengencer Buffer Phospate (KH2PO4). Larutan stock

pengencer Buffer Phospate dibuat dengan menimbang KH2PO4 sebanyak 34

gram dan melarutkannya kedalam 500 ml aquades pH diatur samapi 7.2. Kemudian menambahkan aquades sampai volume 1000 ml menggunakan labu ukur. Larutan pengencer Buffer Phospate dibuat dengan mengambil 1.25 ml larutan stock pengencer Buffer Phospate (KH2PO4) dengan pipet dan

menambahkan aquades sampai volume mencapai 1000 ml menggunakan labu ukur.

Media dibuat dengan menimbang 17.5 g PCA kemudian melarutkannya dengan aquades sebanyak 1000 ml, media kemudian dipanaskan menggunakan Hotplate sambil diaduk supaya homogen hingga mendidih. Tutup dan sumbat kapas dan sterilisasi menggunakan autoklaf

(35)

21

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh HWT dan CaCl2 terhadap Laju Respirasi

Respirasi merupakan perombakan bahan yang kompleks dalam sel, seperti: pati, gula, protein, lemak, dan asam-asam organik dengan bantuan oksigen (oksidasi) menjadi molekul yang lebih sederhana, seperti: CO2, air, energi, dan

molekul lainnya yang bisa digunakan oleh sel dalam biosentesa (Widjanarko 2012; Ahmad 2013). Laju respirasi buah, sayur, dan bunga potong diukur sebagai jumlah O2 yang dipakai atau jumlah CO2 yang dihasilkan selama fase muda, pemasakan,

ripening, dan penuaan (Widjanarko 2012). Proses respirasi terdiri dari tiga jalur

yaitu glikolisis, siklus kreb, dan transpor elektron (Ahmad 2013).

Gambar 4 menunjukkan bahwa laju konsumsi O2 buah belimbing berfluktuasi

dan cenderung meningkat selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan laju konsumsi O2 berkisar antara 2.52-3.44 ml O2 Kg-1 jam-1, sedangkan pada akhir

penyimpanan laju konsumsi O2 meningkat berkisar antara 3.16-5.20 ml O2 Kg-1

jam-1. Peningkatan laju konsumsi tersebut kemungkinan disebabkan karena perubahan ketuaan buah (Warren and Sargen 2011).

Gambar 4 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap laju konsumsi O2. a)

Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1), menunjukkan bahwa perlakuan HWT memberikan pengaruh nyata pada hari penyimpanan ke-4 dan 11, sedangkan perlakuan CaCl2 memberikan pengaruh nyata pada hari penyimpanan ke-4 dan

CaCl2 0 CaCl2 1 CaCl2 3

0

CaCl2 0 CaCl2 1 CaCl2 3

0

(36)

22

tidak terjadi interaksi perlakuan diantara kedua perlakuan. Hasil uji DMRT pada taraf (α<0.05) (Lampiran 3), menunjukkan bahwa pada hari penyimpanan ke-4, buah yang diberi perlakuan HWT selama 10 menit memiliki nilai laju konsumsi O2

paling besar, berbeda nyata dengan buah yang tanpa diberi perlakuan HWT, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan buah yang diberi HWT selama 5 menit. Hasil berbeda ditunjukkan pada hari penyimpanan ke-11, dimana laju konsumsi O2

tertinggi terdapat pada buah yang tanpa diberi perlakuan HWT, diikuti dengan buah yang diberi perlakuan HWT selama 5 menit dan HWT selama 10 menit. Aguayo et al. (2008) menyatakan bahwa pencelupan buah melon Amarillo terolah minimal dalam air panas pada suhu 60 °C, dengan atau tanpa CaCl2 menunjukkan laju

respirasi yang lebih tinggi pada hari penyimpanan ke-8 dibandingkan dengan buah yang tanpa direndam dalam air panas. Lampiran 3, menunjukkan bahwa perlakuan pencelupan CaCl2 1 dan 3% meningkatkan laju konsumsi O2 buah, dimana buah

yang diberi perlakuan pencelupan CaCl2 3% memiliki laju konsumsi O2 lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Peningkatan laju konsumsi O2 disebabkan

karena buah yang diberi pencelupan CaCl2 1 dan 3% mengalami kerusakan

sehingga meningkatkan aktivitas respirasi buah belimbing manis.

Gambar 5 menunjukkan bahwa laju produksi CO2 buah belimbing

berfluktuasi selama penyimpanan. Berbeda dengan laju konsumsi O2, laju produksi

CO2 mengalami peningkatan pada awal hari penyimpanan setelah perlakuan yaitu

pada hari ke-5, kemudian mengalami penurunan dan mengalami peningkatan lagi pada hari penyimpanan ke-15 dan 18. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Mitcham dan McDonald (1993) yang menyatakan bahwa laju respirasi buah mangga mengalami peningkatan pada awal penyimpanan setelah perlakuan temperatur tinggi dan mengalami penurunan pada level yang sama atau bahkan dibawah buah yang tanpa mendapatkan perlakuan panas. Paull dan Chen (1990) juga menyatakan bahwa perlakuan panas pada suhu 43-48 °C menyebabkan kenaikan laju respirasi buah pepaya pada awal penyimpanan. Peningkatan laju repirasi pada penyimpanan hari ke-15 dan 18 kemungkinan terjadi disebabkan karena jaringan pada buah belimbing yang semakin menua serta kebusukan akibat mikroba. O’Hare (1993) menyatakan bahwa peningkatan laju respirasi pada buah belimbing terjadi berhubungan dengan kebusukan akibat mikroba atau penuaan jaringan yang terjadi setelah buah matang.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2), menunjukkan bahwa perlakuan HWT tidak memberikan pengaruh nyata terhadap laju produksi CO2 selama

penyimpanan, sedangkan perlakuan CaCl2 memberikan pengaruh nyata terhadap

laju produksi CO2 pada hari penyimpanan ke-3 dan tidak terjadi interaksi perlakuan

diantara kedua perlakuan. Hasbullah et al. (2009) menyatakan bahwa perlakuan

vapor heat treatment (VHT) pada suhu 10, 20, dan 30 menit pada buah mangga

tidak berpengaruh terhadap laju respirasi buah mangga selama penyimpanan. Hasil uji DMRT pada taraf (α<0.05) (Lampiran 4), menunjukkan bahwa perlakuan pencelupan CaCl2 3% meningkatkan nilai laju produksi CO2 buah belimbing manis.

(37)

23

Gambar 5 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap laju produksi CO2. a)

Tanpa HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit.

Pengaruh HWT dan CaCl2 terhadap Mutu Buah

Kadar Air

Kadar air merupakan faktor penting dalam penyimpanan, terutama pada peyimpanan bahan-bahan segar, karena kadar air akan berpengaruh pada konsistensi bahan dan berpengaruh terhadap keawetan bahan pangan tersebut (Winarno et al. 1997). Kadar air belimbing per 100 gram bahan adalah sebesar 89.96 gram (Narain et al. 2001). Pada awal penyimpanan kadar air berkisar antara 90.37-92.01% dan mengalami penuruan secara signifikan selama penyimpanan (Gambar 11). Setelah 18 hari penyimpanan, kadar air buah mengalami penurunan berkisar antara 0.4-2.5%, dengan kehilangan air terbesar terdapat pada buah yang diberi perlakuan HWT selama 10 menit dan CaCl2 3% dengan nilai sebesar 2.52%.

Kehilangan air dalam bahan disebabkan oleh proses transpirasi yaitu proses hilangnya air dalam berbagai bentuk dari produk melalui penguapan sebagai akibat dari pengaruh kondisi lingkungan luar (Ahmad 2013). Pantastico (1986) menyatakan bahwa setelah pemetikan buah masih mempunyai kadar air yang tinggi kemudian akan terus menurun sampai pemasakan. Menurut Ahmad (2013), penguapan air yang terkandung dalam sel memerlukan panas yang diperoleh dari lingkungan atau dari dalam produk akibat adanya proses respirasi. Uap air kemudian bergerak melalui jaringan ruang antar sel hingga mencapai lapisan dermal dimana terdapat lubang-lubang pengeluaran seperti stomata, lentisel, dan celah-celah pada kutikel. Uap air dari dalam produk hanya akan mengalir keluar

0

CaCl2 0 CaCl2 1 CaCl2 3

0

CaCl2 0 CaCl2 1 CaCl2 3

0

(38)

24

apabila tekanan uap atmosfir lingkungan lebih rendah daripada tekanan uap di dalam produk.

Gambar 6 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap kadar air. a) Tanpa HWT;

b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 15), menunjukkan bahwa perlakuan HWT memberikan pengaruh sangat nyata dan perlakuan CaCl2 memberikan

pengaruh nyata pada hari penyimpanan ke-6, dimana perlakuan HWT selama 10 menit dan pencelupan dalam larutan CaCl2 3% meningkatkan kehilangan air dalam

buah (Lampiran 16). Hazbavi et al. (2014) menyatakan bahwa buah kurma yang dibilas menggunakan air panas (hot water rinsing) pada suhu 50, 60, dan 70 °C memiliki kadar air yang berbeda, kehilangan kadar air terbesar terdapat pada buah kurma yang dibilas air dengan suhu 70 °C dengan nilai sebesar 1.9%, diikuti dengan buah kurma yang dibilas air dengan suhu 60 dan 50 °C dengan nilai kehilangan air berturut-turut sebesar 1.8 dan 1.4%, walaupun pengaruhnya tidak lebih besar jika dibandingkan dengan waktu penyimpanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa lama waktu perendaman dan suhu yang digunakan pada proses HWT berpengaruh terhadap besarnya kehilangan air pada buah.

Luna-Guzman dan Barret (2000) menyatakan bahwa buah melon cantaloupe

terolah minimal yang dicelup dalam larutan CaCl2 2.5% dan kalsium laktat 1 dan

2.5% memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan buah yang dicelup dalam larutan CaCl2 1%. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh

kekerasan disertai dengan daya ikat air yang lebih baik karena jaringan pektin lebih terikat.

CaCl2 0 CaCl2 1 CaCl2 3

82

CaCl2 0 CaCl2 1 CaCl2 3

82

(39)

25

Susut Bobot

Susut bobot menjadi basis pengukuran kuantitas produk hortikultura selama penyimpanan. Gambar 6, menunjukkan bahwa susut bobot pada semua perlakuan mengalami peningkatan seiring dengan lama penyimpanan. Pada awal penyimpanan susut bobot berkisar antara 0.5-0.94%, mengalami peningkatan pada hari penyimpanan ke-21 berkisar antara 3.99-5.41%.

Susut bobot terjadi disebabkan adanya proses respirasi dan transpirasi yang mengakibatkan komoditas hortikultura berkurang cadangan makanannya dan kehilangan air melalui penguapan. Selama respirasi, karbohidrat, protein, lemak, dan zat gizi lainnya pada produk dirombak menjadi zat-zat yang lebih sederhana melalui pelepasan energi panas, dimana energi yang dihasilkan tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh produk, akan tetapi sebagian besar hilang dalam bentuk panas yang menyebar ke lingkungan (Ahmad 2013), sehingga seiring dengan lama penyimpanan, cadangan makanan yang terkandung dalam buah akan semakin menipis yang mengakibatkan susut bobot semakin meningkat. Pantastico (1986) menjelaskan bahwa penurunan bobot juga dapat disebabkan oleh terurainya glukosa menjadi CO2 dan air selama proses respirasi walaupun jumlahnya kecil. Kehilangan

air pada produk tidak hanya menyebabkan penurunan kuantitas, akan tetapi juga menyebabkan penurunan kualitas seperti pelayuan, pengeriputan, dan pelunakan (Muhctadi 1992; Widjanarko 2012; Ahmad 2013).

(40)

26

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5), menunjukkan bahwa perlakuan HWT tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap susut bobot selama penyimpanan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Chaves-Shances et al. (2013) yang menyatakan bahwa perlakuan AHWT (antifungal hot water treatment) pada suhu 55 °C selama 0, 3, 6, dan 9 menit pada suhu penyimpanan 25 °C tidak berpengaruh terhadap susut bobot pada buah pepaya. Bassal dan El-Hamahmi (2011) juga menyatakan bahwa perlakuan pencelupan air panas (hot water dipping) pada suhu 41±1 °C selama 20 menit atau 50±1 °C selama 5 menit dengan kondisi penyimpanan awal 6 hari pada suhu 16-18 °C dan RH 45-65% tidak berpengaruh terhadap susut bobot buah jeruk W. Navel dan jeruk Valencia.

Berbeda dengan perlakuan HWT, perlakuan CaCl2 memberikan pengaruh

signifikan pada hari penyimpanan hari ke 3, 6, 15, dan 18. Hasil uji DMRT pada taraf (α<0.05) (Lampiran 6), menunjukkan bahwa buah yang tanpa diberi perlakuan CaCl2 memiliki nilai susut bobot paling kecil dibandingkan dengan buah yang

diberi perlakuan CaCl2 1 dan 3%. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa aplikasi

CaCl2 meningkatkan susut bobot buah belimbing manis selama penyimpanan.

Aplikasi CaCl2 menyebabkan permukaan buah belimbing mengalami kerusakan

berupa bintik-bintik hitam dan akhirnya ditumbuhi jamur. Kerusakan tersebut menyebabkan laju respirasi buah belimbing manis meningkat sehingga berdampak pada kehilangan susut bobot yang semakin besar. Semakin tinggi konsentrasi CaCl2

yang digunakan, kehilangan bobot pada buah akan semakin besar. Kerusakan buah belimbing akibat perlakuan CaCl2 dapat dilihat pada Lampiran 17 dan 18.

Kekerasan

Kekerasan merupakan salah satu atribut kualitas yang dapat diukur secara kualitatif oleh indra perasa (dirasakan oleh jari tangan ketika disentuh, atau oleh mulut ketika dikunyah) dan secara kuantitatif salah satunya menggunakan

rheometer. Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 7), menunjukkan bahwa tingkat

kekerasan buah belimbing cenderung menurun seiring lama penyimpanan. Penurunan kekerasan selama penyimpanan disebabkan karena perombakan komponen penyusun dinding sel yaitu pektin yang tidak larut air (protopektin) menjadi pektin yang larut air. Selama perkembangan dan pematangan buah, jumlah protopektin akan semakin menurun, sedangkan jumlah pektin yang larut air akan semakin meningkat sehingga buah semakin lunak (Winarno 2002; Fajriyati 2010). Menurut Fajriyati (2010), pektin dalam buah terdapat di dalam middle lamella

dan mudah terhidrolisa. Kandungan zat pektin di dalam buah akan mempengaruhi kekerasan (tekstur) buah tersebut. Selama proses pematangan buah, zat pektin akan terhidrolisa menjadi komponen-komponen yang larut air sehingga total zat pektin akan menurun kadarnya, dan komponen yang larut air akan meningkat jumlahnya yang mengakibatkan buah menjadi lunak.

(41)

27

pada proses transpirasi akan terjadi penguapan air yang menyebabkan buah-buahan menjadi layu dan mengkerut sehingga buah menjadi lunak (Syahfutri 2006).

Gambar 8 Pengaruh perlakuan HWT dan CaCl2 terhadap kekerasan. a) Tanpa

HWT; b) HWT 5 menit; c) HWT 10 menit.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7), menunjukkan bahwa perlakuan HWT tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kekerasan selama penyimpanan, sedangkan perlakuan CaCl2 memberikan pengaruh nyata pada hari

penyimpanan ke-9. Chaves-Shances et al. (2013) menyatakan bahwa perlakuan AHWT pada suhu 55 °C selama 0, 3, 6, dan 9 menit pada suhu penyimpanan 25 °C tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan buah pepaya selama penyimpanan. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Lamikanra dan Watson (2007) yang menyatakan bahwa HWT berpengaruh positif terhadap perubahan tekstur pada buah melon terolah minimal.

Uji DMRT perlakuan CaCl2 pada taraf (α<0.05) (Lampiran 8), menunjukkan

bahwa pencelupan buah dalam larutan CaCl2 tidak mampu mempertahankan

kekerasan buah, sebaliknya justru menurunkan kekerasan buah. Buah yang tanpa diberi perlakuan CaCl2 memiliki nilai kekerasan paling tinggi disusul perlakuan

CaCl2 1% dan perlakuan CaCl2 3%. Hasil yang sama disampaikan oleh Lamikanra

dan Watson (2007), yang menyimpulkan bahwa pencelupan buah melon terolah minimal kedalam larutan kalsium tidak berpengaruh terhadap kekerasan, hal tersebut dikarenakan buah belimbing yang diberi perlakuan CaCl2 lebih mudah

rusak (busuk) dan memiliki umur simpan yang lebih pendek. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Mengel (2002) dalam Nicola et al.(2009) yang menyatakan bahwa, buah dengan kandungan kalsium yang tinggi memiliki umur simpan yang

(42)

28

lebih lama dibandingkan buah yang kandungan kalsiumya rendah. Manganaris et al. (2007) menyatakan bahwa aplikasi kalsium dengan konsentrasi (187.5 mM atau 2.81 %Ca) tidak menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kualitas buah. Kalsium laktat dan kalsium propionat meningkatkan kandungan kalsium yang terkandung dalam buah, tetapi pada saat yang sama juga mempercepat pelunakan daging buah sebagai akibat dari gejala kerusakan permukaan buah karena kelebihan konsentrasi kapur. Bramlage et al. (1983) dan Sharples (1984) dalam Samson (1992) menyatakan bahwa kandungan kalsium yang berlebihan telah dilaporkan meningkatkan terjadinya kerusakan buah berupa tekstur yang tidak diinginkan.

Total Padatan Terlarut

Total Padatan Terlarut (TPT) dalam buah dapat digunakan sebagai penafsiran rasa manis, karena zat padat terlarut terbanyak dalam buah-buahan adalah gula (Simson dan Straus 2010; Kitinoja dan Kader 2003). Komponen-komponen yang terukur sebagai total padatan terlarut pada buah terdiri dari sukrosa, gula reduksi, asam-asam organik, dan protein (Muchtadi et al. 2010). Hasil pengukuran (Gambar 9) menunjukkan bahwa nilai total padatan terlarut berfluktuasi selama penyimpanan. Pada awal penyimpanan nilai total padatan terlarut berkisar antara 7.10-8.17°Brix, pada akhir penyimpanan total padatan terlarut mengalami peningkatan dengan nilai berkisar antara 7.88-9.57°Brix. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rathod et.al. (2011) yang menyatakan bahwa total padatan terlarut buah belimbing memiliki trend meningkat selama penyimpanan. Peningkatan total padatan terlarut pada buah belimbing disebabkan karena hidrolisis polisakarida seperti senyawa pati, selulosa, dan pektin menjadi senyawa yang lebih sederhana akibat proses respirasi. Pada beberapa titik atau hari pengamatan terdapat kandungan TPT yang mengalami penurunan, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terpakai dalam proses pernafasan, atau gula yang diproduksi dirubah menjadi senyawa lain (Winarno 2002).

Hasil analisis sidik ragam TPT (Lampiran 11), menunjukkan bahwa perlakuan HWT memberikan pengaruh yang signifikan pada hari penyimpanan ke-12, sedangkan perlakuan CaCl2 memberikan pengaruh yang signifikan pada hari

penyimpanan ke-9. Hasil uji DMRT pada taraf (α<0.05) (Lampiran 12), menunjukkan bahwa buah yang diberi perlakuan HWT selama 10 menit memiliki nilai TPT paling tinggi, berbeda nyata dengan buah yang diberi perlakuan HWT selama 5 menit akan tetapi tidak berbeda nyata dengan buah yang tanpa diberi perlakuan HWT. Begitu juga dengan buah yang diberi perlakuan pencelupan CaCl2

3%, memiliki nilai TPT lebih besar dibandingkan dengan buah yang tanpa diberi perlakuan CaCl2 dan buah yang diberi perlakuan pencelupan CaCl2 1%.

Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Bassal dan El-Hamahmi (2011) yang menyatakan bahwa perlakuan pencelupan air panas (hot water dipping) pada suhu 41±1 °C selama 20 menit atau 50±1 °C selama 5 menit dengan kondisi penyimpanan awal 6 hari pada suhu 16-18 °C dan RH 45-65% tidak berpengaruh terhadap total padatan terlarut buah jeruk W. Navel dan jeruk Valencia. Hal yang sama juga disampaikan oleh Shafiee et al. (2010) bahwa perlakuan HWT pada suhu 45 °C mengandung CaCl2 1% tidak berpengaruh terhadap total padatan terlarut pada

Gambar

Tabel 2  Beberapa jenis belimbing manis unggul di Indonesia
Tabel 3  Persyaratan mutu belimbing manis segar sesuai dengan SNI 01-4491-1998
Tabel 5  Indeks kematangan buah belimbing manis
Gambar  3 Diagram alir penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan metoda ini, agregat kasar yang ditempatkan terlebih dahulu di dalam bekisting akan saling mengunci satu sama lain (interlocking) dan menimbulkan gaya saling aksi

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan dan kasih Karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi yang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat formulasi dari tepung tempe kuning, tempe kedele hitam dengan bekatul putih dan bekatul merah

Asumsi apa yang dipegang kompetitor tentang industri dan diri mereka. Asumsi apa yang dipegang kompetitor tentang industri dan

Sebagai festival budaya, PKA berpotensi menjadi kegiatan pariwisata jika berpijak pada konsep pariwisata yang diungkapkan oleh Yoeti (dalam Dewiyanti dkk, 2017: 240)

Pembinaan terhadap anggota keluarga lainnya untuk bekerja sama menyelesaikan masalah diabetes melitus dalam keluarganya, hanya dapat dilakukan bila sudah terjalin

Pinjaman yang diberikan kepada bank-bank yang mengalami kalah kliring di dalam lembaga kliring dan bersifat jangka pendek dengan bunga yang relatif tinggi

sektor industri, transportasi, pertanian, perdagangan, pemukiman atau rumah tangga. Sektor industri telah mencemari lingkungan alam terutama sejak awal revolusi industri. Hal