• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN KERUSUHAN PADA ACARA KONSER MUSIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN KERUSUHAN PADA ACARA KONSER MUSIK"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN KERUSUHAN PADA ACARA KONSER MUSIK

Oleh

M.YUSUF

Kepolisian sebagai aparat negara memiliki peran penting terhadap terselenggaranya acara konser musik dimulai dari sebelum terselenggaranya, pada saat terselenggaranya dan setelah terselenggaranya suatu acara konser musik, seperti memberikan pelayanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta penegakan hukumnya. Namun sampai saat ini masih selalu ada kerusuhan pada acara konser musik yang dapat berakibat buruk ketika terjadi tindak pidana, tindak pidana yang sering terjadi pada acara konser musik adalah pengeroyokan dan perusakan. Permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimanakah peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik?; (2) apakah faktor penghambat kepolisian dalam upaya penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik?.

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer, data sekunder, dan data tersier yang diperoleh dari studi lapangan dan studi kepustakaan yang kemudian diolah dengan proses editing, sistematis data, dan seleksi data, yang kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menarik kesimpulan secara induktif.

▸ Baca selengkapnya: proposal konser musik sekolah

(2)

ii M. Yusuf danmengedepankan penyelesaian secara damai, faktor sarana atau fasilitas, yaitu kurangnya sarana atau fasilitas yang memadai seperti kualitas gedung dan panggung konser musik, faktor masyarakat, yaitu karakteristik masyarakat yang terlibat dalam acara konser musik berbeda-beda, faktor kebudayaan, yaitu kurang tertibnya penonton dalam mengantri sehingga menyebabkan kondisi menjadi tidak kondusif.

Saran yang diajukan ialah kepolisian lebih meningkatkan upaya pencegahan kerusuhan pada acara konser musik dengan cara merangkul semua pihak yang terlibat serta memberikan pengarahan kepada masyarakat agar kerusuhan pada acara konser musik tidak terulang kembali dan dapat dihindari.

(3)

PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN KERUSUHAN PADA ACARA KONSER MUSIK

Oleh M. Yusuf

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERAN KEPOLISIAN TERHADAP PENANGGULANGAN KERUSUHAN PADA ACARA KONSER MUSIK

(Skripsi)

Oleh: M.YUSUF

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………... i

HALAMAN JUDUL……… iii

HALAMAN PERSETUJUAN……… iv

HALAMAN PENGESAHAN………. v

RIWAYAT HIDUP………. vi

MOTTO………... vii

PERSEMBAHAN……… viii

SANWACANA……… ix

DAFTAR ISI……… xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Tindak Pidana Pengeroyokan dan Perusakan ... 16

B. Tugas dan Wewenang Kepolisian... ... 17

C. Teori Peran... 22

D. Teori Penanggulangan Kejahatan... ... 24

(6)

III. METODE PENELITIAN ... 33

A. Pendekatan Masalah... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 34

C. Penentuan Narasumber... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36

E. Analisis Data ... 37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Karakteristik Narasumber ... 38

B. Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Kerusuhan Pada Acara Konser Musik ... 39

C. Faktor Penghambat Dalam Upaya Penanggulangan Kerusuhan Pada Acara Konser Musik... 49

V. PENUTUP ... 57

A. Simpulan ... 57

B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA……… 60

(7)
(8)
(9)

MOTO

Pengalaman merupakan pelajaran hidup yang sangat berharga.

Hasil tidak akan menghianati prosesnya.

(10)

PERSEMBAHAN

Dengan segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat hidayah-Nya dan dengan segala kerendahan hati,

Kupersembahkan Karya Kecilku ini kepada : Kedua Orang Tua Tercinta,

Bapak (M. Nazir) Ibu (Lamyana),

Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukungku, terima kasih untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga aku bisa menjadi seseorang yang kuat

dan konsisten kepada cita-cita

Semua Kakak-Kakakku Tercinta dan Terbaik,

(Yuni Anita Nazir, Amd. Keb., Mirza Arnandes Nazir, S.E., Feri Onasis Nazir, S.Ip. )

Yang selalu mendampingi dan membantuku dalam segala hal,

Tumbuh besar dalam suatu keluarga membuatku kuat dan mengerti akan arti hidup sesungguhnya

Seluruh keluarga besar yang memotivasi dan memberikan doa untuk keberhasilanku

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap dari penulis adalah M. yusuf, penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 11 maret 1994. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan bapak M. Nazir dan ibu Lamyana.

Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar di SDN 3 kotabumi pada tahun 1999 hingga tahun 2005, Madrasah Tsanawiyah di MTs N 1 Kotabumi pada tahun 2005 hingga tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Kotabumi pada Tahun 2008 hingga tahun 2011. Penulis terdaftar sebagai mahasiwa Fakultas Hukum melalui jalur Undangan pada tahun 2011.

(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PERAN KEPOLISIAN

TERHADAP PENANGGULANGAN KERUSUHAN PADA ACARA

KONSER MUSIK” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P Harianto, M.S., sebagai Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku PD 1 Fakultas Hukum Universitas Lampung;

4. Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

5. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H, M.H., sebagai Pembimbing I atas kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

(13)

7. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., sebagai Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini; 8. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., sebagai Pembahas II yang telah

memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini. 9. Ibu Siti Azizah S.H,. M.H., Pembimbing Akademik atas bimbingan dan

pengarahan kepada penulis selama menjalankan masa studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

10. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi; 11. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ayah M. Nazir

yang penulis banggakan dan Ibu Lamyana tercinta yang telah banyak memberikan dukungan dan pengorbanan baik secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan;

12. Kakak-kakak ku, Yuni Anita Nazir, Amd. Keb., Mirza Arnandes Nazir, S.E., Feri Onasis Nazir, S.Ip. atas semua dukungan moril, motivasi, kegembiraan, dan semangatnya.

13. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum 2011: Akautsar Firdaus, Arahmat Panca, Asep Eli Nudin, Asep Rian Bintang, Arnold Sialagan, Amirudin Suhendra Fima Agatha, Febri Setiawan, M. Rizky Arief S, Muhammad Akbar, Hendra ari, Fietra Albajuri, Rabsanjani, Arviando Josua, Andre Pratama Saputra, Putu Indrajaya serta teman-teman angkatan 2011 lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

(14)

dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua doa, bantuan dan dukungannya.

16. Almamater Tercinta.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Oktober 2015 Penulis,

(15)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Konser musik banyak diselenggarakan di daerah maupun di kota dengan berbagai jenis musik dan tujuannya. Konser musik diselenggarakan dengan tujuan memberikan hiburan kepada masyarakat dengan melibatkan kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang berperan penting dalam terselenggaranya acara konser musik.

Aparat penegak hukum memiliki peran yang penting sebagai jembatan pelaksanaan suatu aturan (Sollen) agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan sosial, dimana dalam kenyataannya (Sein), dapat dikaji sejauh manakah pelaksanaan itu di terapkan. Dalam proses pelaksanaan mekanisme hukum, timbul dua variabel penting, yaitu hak dan kewajiban. Dimana pelaksanaan hukum pada masyarakat berlaku secara umum kepada setiap warga negara, dengan adil, proporsional dan tidak diskriminatif.1

Kepolisian sebagai aparat negara memiliki peran penting terhadap terselenggaranya acara konser musik dimulai dari sebelum terselenggaranya, pada saat terselenggaranya dan setelah terselenggaranya suatu acara konser musik, seperti memberikan pelayanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum,

1

(16)

2

serta penegakan hukumnya. Namun, sampai saat ini masih selalu ada kerusuhan pada acara konser musik yang dapat berakibat buruk ketika terjadi tindak pidana, sehingga menyebabkan tergangunya keamanan dan ketertiban umum.

Peran dari Kepolisian Negara telah dituangkan dalam Undang Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam pasal 2 dari Undang Undang ini disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.2

Berdasarkan kepada Undang Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka salah satu peran kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor. Dan Petunjuk Lapangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. Pol / 2 / XII / 95 tentang Perizinan dan Pemberitahuan kegiatan masyarakat. Serta Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki.

2

(17)

3

Tindak pidana yang sering terjadi ketika terjadinya kerusuhan pada cara konser musik adalah pengeroyokan dan perusakan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memuat pasal yang mengatur tentang tindak pidana pengeroyokan dan perusakan, aturan tersebut terdapat pada Pasal 170 KUHP yaitu perbuatan yang dengan terang-terangan dan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan luka-luka dan barang yang menyebabkan perusakan barang dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Contoh kasus terjadinya tindak pidana yang ada di konser musik yaitu, konser musik band Sheila on 7di Bandar Lampung pada tahun 2002 yang menyebabkan 4 orang meninggal akibat amukan penonton yang tidak memiliki karcis mendesak masuk sehingga jumlah penonton melebihi kapasitas.3 Dalam kasus ini terlihat kurangnya peran kepolisian dalam hal pengamanan dan pengawasan sehingga menyebabkan 4 orang meninggal dunia. Kasus terbaru ialah kerusuhan konser musik band UNGU pada bulan Mei 2015 di Desa Tunggal Banjar Agung, Tulang Bawang. Konser musik mengakibatkan penonton jatuh pingsan dan terinjak-injak serta seorang pemuda babak belur dikeroyok penonton lain sehingga konser musik dihentikan oleh aparat.4

Melihat beberapa kasus kerusuhan konser musik tersebut dari tahun 2002 sampai 2015, terlihat belum adanya peran maksimal yang dilakukan oleh kepolisian sebagai aparat hukum dalam menanggulangi kerusuhan pada saat konser musik.

3

http://www.suaramerdeka.com/harian/0304/20/nas9.htm Diakses pada tangaal 20 mei 2015 pada pukul 07:23 WIB

4

(18)

4

Akibat sering terjadinya kerusuhan yang ada di konser musik akan membawa dampak negatif yang menimbulkan keresahan serta kekhawatiran masyarakat dalam menyaksikan konser musik dan memungkinkan kembali terjadinya tindak pidana dalam konser musik tersebut.

Berdasarkan latar belakang ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik?

2. Apakah faktor penghambat dalam upaya penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik?

2. Ruang Lingkup

(19)

5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan

Berdasarkan permasalahan di dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian skripsi antara lain:

1. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas dan rinci mengenai peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik. 2. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas dan rinci mengenai faktor

penghambat dalam upaya penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis :

1. Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan hukum pidana, pembuat undang-undang serta akademisi khususnya mengenai peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik.

2. Kegunaan praktis

(20)

6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.

Menurut Soerjono Soekanto, Peran adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, peran terbagi menjadi:

a. Peranan yang seharusnya (expected role)

Peran yang seharusnya adalah peran yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku pada kehidupan masyarakat.

b. Peranan ideal (ideal role)

Peranan ideal adalah peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem.

c. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau di masyarakat sosial yang terjadi secara nyata.5

Penanggulangan kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif dan represif. 1. Tindakan Preventif

Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik

5

(21)

7

kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.6 Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan adalah :

Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan preventif dalam arti sempit meliputi :

a. Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu berbuat jahat.

b. Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, mislanya memperbaiki ekonomi (pengangguran, kelaparan), memperbaiki peradaban, dan lain-lain.

Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;

a. Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik b. Sistem peradilan yang objektif

c. Hukum ( perundang-undangan ) yang baik.7 2. Tindakan Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana.8 Tindakan ini dapat dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini

6

A. Qirom Samsudin Meliala,Eugenius Sumaryono.Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi Psiologis dan Hukum.Yogyakarta: Liberti.1985.Hlm. 46.

7

Bonger.Pengantar Tentang Kriminologi.Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia.1981.Hlm. 15.

8

(22)

8

meliputi cara aparat hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaaan di pengadilan, eksekusi, dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.

Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekan jumlah kejahatan dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan dengan jalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan,

dalam arti:

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosisal; b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penaggulangan kejahatan

dengan penal dan non penal.9

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science terdiri dari

tiga komponen ”Criminology”, ”Criminal Law”, dan “Penal Policy”.

Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan untuk menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan. Penggunaan upaya “penal” (sanksi/hukum pidana) dalam

9

(23)

9

mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakikatnya merupakan

bagian dari dari suatu langkah kebijakan (“policy”).10

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau

politiek” (belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan

hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam

kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau

strafrechts politiek

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “politik hukum” adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.11

Menurut A. Mulder, “strafrechtpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan :

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

10

Barda Nawawi Arief.Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana.Bandung: Citra Aditya Bakti. 2005, hlm. 75.

11

(24)

10

c. Cara bagaimana pendidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.12

Definisi Mulder diatas, bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut

Marc Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme pelaksannan (pidana).

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum

pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan

hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politk atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. 12

(25)

11

Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum pidana harus memerhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahtan dan mengadakan pencegahan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).13

Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat di tempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

13

(26)

12

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat

dibagi 2 (dua), yaitu melalui jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non penal”

(bukan/diluar hukum pidana). Menurut pendapat G. P. hoefnagel pada butir (b) dan (c) merupakan upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal.

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan

terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat“preventive”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.14 Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat

tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik hukum kriminal secara makro dan global, maka upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa ada beberapa faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan,yaitu:

a. Faktor hukumnya itu sendiri atau peraturan itu sendiri

14

(27)

13

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

d. Faktor masyarakat yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

e. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta rasa yang didasarkan pada karya manusia didalam pergaualan hidup.15

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara Konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.16

Adapun batasan batasan tersebut adalah : a. Peran

Peran adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau lembaga dalam suatu peristiwa .17

b. Kepolisian

Kepolisian adalah segala hal - ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang- undangan.18

c. Penanggulangan

Penanggulangan adalah Perlindungan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat.19

15

Soerjono Soekanto. Op.Cit. Hlm. 8. 16

Soerjono Soekanto.Penelitian Hukum Normatif.Jakarta: Rajawali Pers.1986.hlm 132. 17

Soerjono Soekanto.Op.Cit.Hlm 20. 18

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 19

(28)

14

d. Tindak pidana

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.20

e. Kerusuhan

Kerusuhan adalah tindakan suatu kelompok yang minimal 12 (dua belas) orang yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.21

f. Konser

Konser adalah Pertunjukan musik yang di lakukan di tempat umum.22

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini menggunakan sistematika penulisan yang sistematis untuk membahas permasalahan yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui keseluruhan isi dari penulisan skripsi ini, maka dibuat suatu susunan sistematika secara garis besar sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan menguraikan tentang latar belakang, permasalahan, dan ruang lingkup. Selain itu di dalam bab ini memuat tujuan, kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual serta sistematika penulisan.

20

Bambang Poernomo.Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta:Ghalia indonesia.1992.hlm 130. 21

www.akademiasuransi.orgDiakses pada tanggal 24 April 2015 pada pukul 11:00 WIB. 22

(29)

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik.

III. METODE PENELITIAN

Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang pendekatan masalah, sumber, jenis data, prosedur pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan penjelasan dan pembahasan mengenai permasalah yang ada yaitu peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik serta apa saja faktor penghambat dalam upaya penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik.

V. PENUTUP

(30)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Pengeroyokan dan Perusakan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) telah memuat pasal yang mengatur tentang tindak pidana yang dengan terang-terangan dan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan luka-luka dan barang yang menyebabkan perusakan barang. Tindak pidana ini sering disebut dengan tindak pidana pengeroyokan dan perusakan.

Pengeroyokan dan perusakan adalah istilah pidana tentang Tindak pidana pada Pasal 170 KUHP:

(1) Barangsiapa terang terangan dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam:

Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

(31)

17

Ke-3. Dengan pidana paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

(3) Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini ( Pasal 170 KUHP )

Pada Pasal 170 ayat (2) KUHP memuat unsur-unsur sebagai berikut:

1. Unsur barang siapa;

2. Unsur dengan terang-terangan dan tenaga bersama;

3. Unsur menggunakan kekerasan terhadap orang atau perusakan terhadap barang;

4. Unsur yang mengakibatkan luka-luka atau penghancuran barang. B. Tugas dan Wewenang Kepolisian

Tugas dan wewenang kepolisian diatur dalam Pasal 13-19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, berdasarkan ketentuan Pasal 13-19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; dan

(32)

18

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang- undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk- bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya;

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

i. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

j. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

k. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

(33)

19

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barangbukti;

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang

undangan lainnya berwenang :

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik

(34)

20

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian

internasional;

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lan jut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeri ksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

(35)

21

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

“Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya diseluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.”

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang -undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(36)

22

(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.1

C. Teori Peran

Peran adalah seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai posisi tertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut merupakan peran. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peran (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.2

Secara sosiologis, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia telah menjalankan suatu peran. Pentingnya peran adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses.

Peranan mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut:

a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.

1

Pasal 13-19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 2

(37)

23

b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.3

Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, peran terbagi menjadi: a. Peranan yang seharusnya (expected role)

Peran yang seharusnya adalah peran yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku pada kehidupan masyarakat.

b. Peranan ideal (ideal role)

Peranan ideal adalah peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem.

c. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)

Peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau di masyarakat sosial yang terjadi secara nyata.4

Selain itu, peranan atau role juga memiliki beberapa bagian, yaitu:

1. Peranan nyata ( Anacted Role ) adalah suatu cara yang betul-betul dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan.

2. Peranan yang dianjurkan (Prescribed Role ) adalah cara yang diharapkan masyarakat dari kita dalam menjalankan peranan sesuatu.

3. Konflik peranan ( Role Conflick ) adalah suatu kondisi yang dialami seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut harapan dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain.

4. Kesenjangan peranan ( Role Distance ) pelaksanaan peranan secara emosional.

3

Soerjono Soekanto.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.Hlm. 213.

4

(38)

24

5. Kegagalan peran ( Role Failure ) adalah kegagalan seseorang dalam menjalankan peranan tertentu.

6. Model peranan (Role Model) adalah seseorang yang tingkah lakunya kita contoh, tiru, diikuti.

7. Rangkaian atau lingkup peranan ( Role Set ) adalah hubungan seseorang dengan individu lainnya pada saat dia sedang menjalankan perannya. 8. Ketegangan peranan ( Role Strain ) adalah kondisi yang timbul bila

seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidaksesuaian yang bertentangan satu sama lain.5

D. Teori Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif dan represif. 1. Tindakan Preventif

Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.6

5

Ibid.Hlm 214.

6

(39)

25

Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan adalah :

Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan preventif dalam arti sempit meliputi :

a. Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu berbuat jahat.

b. Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, mislanya memperbaiki ekonomi (pengangguran, kelaparan), memperbaiki peradaban, dan lain-lain.

Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;

a. Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik b. Sistem peradilan yang objektif

c. Hukum ( perundang-undangan ) yang baik.7 2. Tindakan Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana.8 Tindakan ini dapat dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini meliputi cara aparat hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaaan di pengadilan, eksekusi, dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.

7

Bonger.Pengantar Tentang Kriminologi.Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia.1981.Hlm. 15.

8

(40)

26

Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekan jumlah kejahatan dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan dengan jalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan,

dalam arti:

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosisal;

b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penaggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.9

Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari

tiga komponen ”Criminology”, ”Criminal Law”, dan “Penal Policy”.

Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan untuk menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan. Penggunaan upaya “penal” (sanksi/hukum pidana) dalam

mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakikatnya merupakan

bagian dari dari suatu langkah kebijakan (“policy”).10

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau

politiek” (belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan

hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam

9

Barda Nawawi Arief. Op. Cit. Hlm. 4

10

(41)

27

kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau“strafrechts

politiek

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum

maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “politik hukum” adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.11

Menurut A. Mulder, “strafrechtpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan :

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. Cara bagaimana pendidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.12

Definisi Mulder diatas, bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut

Marc Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum

11

Op. Cit. hlm 24.

12

(42)

28

pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme pelaksannan (pidana).

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum

pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan

hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politk atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:

(43)

29

materil spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahtan dan mengadakan pencegahan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).13

Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat di tempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat

dibagi 2 (dua), yaitu melalui jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non penal”

(bukan/diluar hukum pidana). Menurut pendapat G. P. hoefnagel pada butir (b)

13

(44)

30

dan (c) merupakan upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada

sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan

terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat“preventive”

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.14

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat

tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik hukum kriminal secara makro dan global, maka upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.

E. Teori Faktor Penghambat Penanggulangan Kejahatan

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa ada beberapa faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan, yaitu:

a. Faktor hukumnya itu sendiri atau peraturan itu sendiri

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum

14

(45)

31

merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat serta harus diaktualisasikan.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.

Sarana dan prasarana yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

(46)

32

e. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta rasa yang didasarkan pada karya manusia didalam pergaualan hidup.

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka semakin mudah dalam penegakannya.15

15

(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah dan mengkaji konsep-konsep, teori-teori serta peraturan perundang undangan yang berhubungan dengan peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung. Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam toeri-teori dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

(48)

✁ ✂

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dari penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan, sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.

1. Data Pimer

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber utama melalui penelitian yang dilakukan dari hasil langsung di lapangan dan hasil wawancara yang berupa data-data informasi atau keterangan dari para pihak terkait mengenai peran kepolisian terhadap penanggulangan kejahatan pada acara konser musik di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan menelusuri literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada dalam skripsi ini. Jenis data sekunder dalam skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dalam studi dokumen, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, yang diperoleh melalui studi literatur.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara umum atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan yang terdiri dari perundang-undangan dan peraturan lain yang berkaitan dengan permasalahan, bahan hukum primer pada penelitian ini yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang Hukum Pidana.

(49)

✄ ☎

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer yaitu :

a. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor.

c. Petunjuk Lapangan : 02/XII/95 tentang Perijinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat

d. Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti, sumber yang diperoleh dari literatur-literatur yang mencakup dokumen resmi penelitian pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik.

C. Penentuan Narasumber

(50)

✆6

Adapun narasumber/responden/informan yang diwawancarai adalah:

1. Polisi Satuan Intelejen Keamanan Polresta Bandar Lampung = 1 Orang 2. Polisi Satuan Sabhara Polresta Bandar Lampung = 1 Orang 3. Polisi Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung = 1 Orang 4. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 Orang

Jumlah 4 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil peneletian ini digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengadakan studi lapangan field research. Studi lapangan dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden sebagai usaha mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan library research. Studi kepustakaan dilakukan dengan serangkaian dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, serta bahan-bahan ilmiah lainya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Prosedur Pengolahan Data

(51)

37

Kegiatan pengolahan data dilakukan sebagai berikut:

a. Editing data, yaitu meneliti data yang keliru, menambah dah melengkapi data yang kurang lengkap.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data menurut bahas yang ditentukan. c. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara

sistematis hingga memudahkan interprestasi data. E. Analisis Data

(52)

V. PENUTUP A. Simpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Peran kepolisian terhadap penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik adalah:

(53)

✝8

2. Faktor penghambat kepolisian dalam upaya penanggulangan kerusuhan pada acara konser musik:

a. Faktor hukumnya, yaitu kepolisian dalam menjalankan tugas masih memaklumi kesalahan dari penyelenggara acara yang berkaitan dengan waktu pemberkasanan waktu pengarahan sehingga kepolisian kesulitan dalam melakukan perkiraan singkat karena dilakukan dengan jangka waktu yang terbatas. Kepolisian dalam menyelesaikan masalah kerusuhan konser musik lebih mengedepankan upaya penyelesaian secara damai atau tidak dilanjutkan ke pengadilan.

b. Faktor penegak hukum, yaitu kurangnya jumlah personil, memerlukan bantuan dari satuan lain dan satuan yang lebih tinggi serta instansi lain seperti Poolda, Brimob dan TNI. Kepolisian lebih mengedepankan penyelesaian secara damai atau hanya diselesaikan pada tingkat kepolisian saja.

c. Faktor sarana atau fasilitas, yaitu kurangnya sarana atau fasilitas yang memadai seperti kualitas gedung yang digunakan dalam acara konser musik serta kualitas panggung yang akan dipakai dalam penyelenggaraan acara konser musik tersebut.

(54)

59

e. Faktor kebudayaan, yaitu kebudayaan penonton di indonesia yang sulit untuk mengantri sehingga menyebabkan kondisi diarea konser musik menjadi tidak kondusif akibat saling berdesak-desakan.

B. Saran

Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Bonger. 1981. Pengantar tentang Kriminologi. Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1976. Penanggulangan Kejahatan ( Crime Prevention ). Bandung: Alumni.

Husin, Budi Rizki. Rini Fathonah. 2014. Studi Lembaga Penegak Hukum.

Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Meliala Samsudin, A. Qirom, Eugenius Sumaryono. 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari segi Psikologis dan Hukum.Yogyakarta: Liberti.

Nawawi Arief, Barda. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

---. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penangulangan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

---. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Poernomo, Bambang. 1992. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

(56)

Soekanto, Soerjono. 1986. Penelitian Hukum Normatif.Jakarta. Rajawali Pers.

---. 2010.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Rajawali Pers.

---.2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Jakarta. Rajawali Pers.

Penelusuran Web

http://www.polri.go.id/banner/berita/95

http://www.suaramerdeka.com/harian/0304/20/nas9.htm

http://www.liputan6.com/tag/konser-ricuh

http://kbbi.web.id/

www.akademiasuransi.org

Peraturan Perundang Undangan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Susunan dan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor.

Petunjuk Lapangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. Pol / 2 / XII / 95 tentang Perizinan dan Pemberitahuan kegiatan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan melakukan wawancara kepada narasumber, yaitu Kepala Bidang

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian berupa hasil pengumpulan data primer dari wawancara, dengan sub bab sebagai berikut: 1) Proses pengungkapan suatu tindak

Data Primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak terkait yang mengetahui

Jenis data yang peneliti gunakan ialah data primer yang berupa data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti berupa dokumen-dokumen atau arsip dari Koperasi Kopdit

Data primer adalah data yang diperoleh dari peneliti langsung dari objek penelitian di lapangan (Field Research) yang dilakukan dengan cara wawancara secara langsung,

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung baik dari hasil observasi peneliti, maupun dari responden atau informan kunci dengan tehnik wawancara

Data Primer Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan pihak Kepolisian Daerah Lampung untuk

Data primer Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti kepada informan, Data primer dapat berupa opini subjek orang