9
2.1. Geografis dan Demografis
2.1.1. Karakteristik Lokasi dan Wilayah
2.1.1.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah
Provinsi Aceh terletak di ujung Barat Laut Sumatera (2o00’00”- 6o04’30”
Lintang Utara dan 94o58’34”-98o15’03”Bujur Timur) dengan Ibukota Banda Aceh,
memiliki luas wilayah 56.758,85 km2 atau 5.675.850 Ha (12,26 persen dari luas
pulau Sumatera), wilayah lautan sejauh 12 mil seluas 7.479.802 Hadengan garis
pantai 2.666,27 km2. Secara administratif pada tahun 2009, Provinsi Aceh memiliki
23 kabupaten/kota yang terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota, 276 kecamatan, 755
mukim dan 6.423 gampong atau desa.
Provinsi Aceh memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas
perdagangan Nasional dan Internasional yang menghubungkan belahan dunia
timur dan barat dengan batas wilayahnya : sebelah Utara berbatasan dengan Selat
Malaka dan Teluk Benggala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera
Utara dan Samudera Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan
sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara.
2.1.1.2. Kondisi Topografi
Provinsi Aceh memiliki topografi datar hingga bergunung. Wilayah dengan
topografi daerah datar dan landai sekitar 32 persen dari luas wilayah, sedangkan
berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68 persen dari luas wilayah. Daerah
dengan topografi bergunung terdapat dibagian tengah Aceh yang merupakan
gugusan pegunungan bukit barisan dan daerah dengan topografi berbukit dan landai
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 10
Provinsi Aceh yang memiliki topografi datar (0 - 2%) tersebar di sepanjang pantai
barat – selatan dan pantai utara – timur sebesar 24.83 persen dari total wilayah; landai
(2 – 15%) tersebar di antara pegunungan Seulawah dengan Sungai Krueng Aceh, di
bagian pantai barat – selatan dan pantai utara – timur sebesar 11,29 persen dari total
wilayah; agak curam (15 -40%) sebesar 25,82 persen dan sangat curam (> 40%) yang
merupakan punggung pegunungan Seulawah, gunung Leuser, dan bahu dari
sungai-sungai yang ada sebesar 38,06 persen dari total wilayah.
Provinsi Aceh memiliki ketinggian rata-rata 125 m diatas permukaan laut.
Persentase wilayah berdasarkan ketinggiannya yaitu: (1) Daerah berketinggian 0-25
m dpl merupakan 22,62 persen luas wilayah (1,283,877.27 ha), (2) Daerah
berketinggian 25-1.000 m dpl sebesar 54,22 persen luas wilayah (3,077,445.87 ha),
dan (3) Daerah berketinggian di atas 1.000 m dpl sebesar 23,16 persen luas wilayah
(1,314,526.86 ha).
2.1.1.3. Kondisi Klimatologi
Provinsi Aceh memiliki Persentase lamanya penyinaran matahari tercatat
jumlah penyinaran matahari maksimum terjadi antara pukul 10.00 – 11.00 WIB
yaitu sebesar 8,6 persen dan jumlah penyinaran matahari terendah terjadi antara
pukul 15.00 – 16.00 Wib sebesar 4.5 persen, suhu tertinggi terjadi pada tanggal 04
September 2010 sebesar 28,4 ºC, dan rata-rata suhu terendah tercatat tanggal 29
September 2010 sebesar 25,4 persen sedangkan rata-rata kelembaban udara
tertinggi terjadi pada tanggal 29 September 2010 sebesar 91 persen dan terendah
terjadi pada tanggal 04 September 2010 sebesar 69 persen.
Sedangkan rata-rata tekanan udara terendah terjadi pada tanggal 18
September 2010 yang bernilai 1011,0 mb sedangkan rata-rata tekanan udara
tertinggi tercatat 06,27 mb dan 28 September sebesar 1012,9 mb. Untuk jumlah
penguapan di stasiun klimitologi indrapuri, September 2010 tercatat jumlah
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 11
penguapan sebesar 0.3 mm,sedangkan jumlah penguapan tertinggi terjadi pada
tanggal 10 September 2010 dengan jumlah penguapan 7,0 mm. Sementara
persentase kecepatan angin terbanyak pada kecepatan Calm (0 Knot) sebesar 57,4
persen dan persentase kecepatan angin terendah yaitu pada kecepatan 11-17 Knot
sebesar 1,3 persen. Sedangkan persentase arah angina terbanyak pada bulan Agustus
2010 didominasi arah dari Barat Laut sebanyak 8% dan arah angin terendah dari
Timur Laut dengan persentase sebesar < 1.4%.
2.1.1.4. Kondisi Hidrologi
Di wilayah Aceh terdapat 408 Daerah Aliran Sungai (DAS) besar sampai
kecil. Aceh memiliki beberapa danau seperti Danau Laut Tawar di Aceh Tengah
dan Danau Aneuk Laot di Sabang, juga memiliki rawa seluas 444.755 ha, yang
terdiri dari rawa lebak seluas 366.055 ha dan rawa pantai seluas 78.700 ha.
Untuk pengelolaan sungai sebagai sumberdaya air ditetapkan 11 Wilayah
Sungai (WS) yang terdapat di Aceh, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.11A/PRT/M/2006 ada empat kalisifikasi Wilayah Sungai (WS) yang ada
di Aceh yaiut WS Strategis Nasional (WS Meureudu-Baro, WS Jambo Aye, WS
Woyla-Seunagan, WS Tripa-Bateue) yang dikelola Pemerintah Pusat, WS Lintas
Provinsi (WS Lawe Alas-Singkil) yang dikelola Pemerintah Aceh, WS Lintas
Kabupaten/Kota (WS Krueng Aceh, WS Pase-Peusangan, WS Tamiang-Langsa,
WS Teunom-Lambesoi, WS Krueng Baru-Kluet) yang dikelola oleh Pemerintah
Aceh, WS Dalam Kabupaten/Kota (WS Pulau Simeulue) yang dikelola oleh
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 12
Tabel 2.1
Wilayah Sungai (WS) Provinsi Aceh
NO NAMA WILAYAH SUNGAI DAS KETERANGAN
1 2 3 4
1 Alas Singkil Lae Pardomuan, Lae Silabuhan, Lae Saragian, Lae
Singki, L.Kuala Baru Lintas Provinsi; Aceh-Sumatera Utara
2 Meureudu-Baro Meureudu, Baro, Tiro, Pante Raja, Utue, Putu,
Trienggadeng, Pangwa,Beuracan,Batee Strategis Nasional; Aceh
3 Jamboe Aye
Jambo Aye, Geuruntang, Reungget, Lueng, Simpang Ulim, Malehan, Julok Rayeuk, Keumuning, Ganding Idi Rayeuk, Lancang, Jeungki, Peundawa Rayeuk, Peureulak, Peundawa Puntong, Leugo Rayeuk.
Strategis Nasional; Aceh
4 Woyla-Seunagan Woyla-seunagan Strategis Nasional; Aceh
5 Tripa-Bateutue Tripa-Bateutue Strategis Nasional; Aceh
6 Krueng Aceh Aceh, Raya, Teungku, Batee Lintas Kabupaten/Kota
7 Pase-Peusangan Pase, Peusangan, Peudada, Keureuto, Mane,
Geukeuh Lintas Kabupaten/Kota
8 Tamiang-Langsa Tamiang, Langsa, Raya, Telaga Muku, Bayeuen Lintas Kabupaten/Kota
9 Teunom-Lambeusoi Teunom, Lambeusoi,Bubon, Sabe, Masen, Inong Lintas Kabupaten/Kota
10 Krueng Baru-Kluet Krueng Baru-Kluet Lintas Kabupaten/Kota
11 Pulau Simeulue Sungai-sungai di Pulau Simeulue Dalam Satu Kabupaten
Sumber: Permen PU No.11A/PRT/M/2006 dan Renstra SDA Prov Aceh 2007-2012
Arah dan pola aliran sungai yang terdapat dan melintasi wilayah Provinsi
Aceh dapat dikelompokkan atas dua pola utama yaitu: (1) Sungai-sungai yang
mengalir ke Samudera India atau ke arah barat dan (2) Sungai-sungai yang
mengalir ke Selat Malaka atau ke arah timur. Beberapa daerah aliran sungai
dikelompokkan menjadi satu wilayah sungai berdasarkan wilayah strategis
nasional dan lintas kabupaten sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 2.2, 2.3 dan 2.4.
Tabel tersebut memberikan informasi bahwa beberapa daerah aliran sungai
yang memiliki luas dan rata-rata debit yang cukup besar antara lain: DAS Kr.
Aceh dengan debit rata-rata 19,10 m3/detik dengan luas 1.780 km2, DAS Kr. Pase
dengan debit rata-rata 91,12 m3/detik dengan luas 2.272 km2, DAS Kr. Peusangan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 13
No Kode
SWS Panjang Hilir Tengah Hulu Max Min Rata-rata Keterangan
(km) (m) (m) (m) m3/Det m3/Det m3/Det
A2 - 1 Alas - Singkil Lae Pardomuan
Lae Silabuhan 34.00 28.00 25.82 24.39 75.00 2.54 17.55 414.00 56.00
Lae Siragian 43.00 45.00 41.49 39.20 92.01 9.91 9.20 217.00 78.00
Lae Singkil 120.00 38.00 35.04 33.10 146.00 0.31 51.12 178.12 306.00
L. Kuala Baru
Nama SWS Sungai Nama - Nama Daerah Aliran Sungai (DAS)
Total Panjang Sungai Keseluruhan
dengan debit rata-rata 21,98 m3/detik dengan luas 1.560 km2, DAS Kr. Tamiang
dengan debit rata-rata 296,64 m3/detik dengan luas 4.683,60 km2, DAS Kr.
Teunom dengan debit rata-rata 192,91 m3/detik dengan luas 2.413 km2 dan DAS
Kr. Kluet dengan debit rata-rata 248,25 m3/detik dengan luas 2.326 km2.
Tabel 2.2
SWS Panjang Hilir Tengah Hulu Max Min Rata-rata Keterangan
(km) (m) (m) (m) m3/Det m3/Det m3/Det
A3 - 1 Meureudu - Baro Kr. Meurudu 33.00 58.00 51.04 47.56 136.66 10.79 19.61 406.80 250.00
Kr. Baro 51.00 85.00 74.80 69.70 138.20 6.56 8.38 426.00 440.00
Kr. Pante Raja 30.00 60.00 52.80 49.20 85.44 1.64 8.54 201.50 216.00
Kr. Utue 23.10 13.00 11.44 10.66 20.00 1.74 2.00 277.20 235.00
Kr. Putu 22.90 11.50 10.12 9.43 45.44 0.85 8.54 201.50 114.00
Kr. Trienggadeng 7.00 28.00 24.64 22.96 12.21 0.26 1.22 28.80 120.00
Kr. Pangwa 10.20 35.00 30.80 28.70 6.66 0.07 0.67 15.70 124.00
Kr. Beuracan 25.10 50.00 44.00 41.00 68.00 0.70 4.59 100.20 200.00
Kr. Batee 9.00 15.00 13.20 12.30 2.64 0.03 0.26 6.22 71.00
211.30
A3 - 2 Jambo Aye Kr. Jambo Aye 103.00 64.00 56.32 52.48 427.60 60.42 115.12 5,405.00 2,176.00
Kr. Geuruntang 8.00 60.00 52.80 49.20 11.32 0.11 4.46 26.70 48.00
Kr.Reungget 12.50 64.00 56.32 52.48 4.12 0.04 0.17 12.73 102.00
Kr. Leung 13.50 48.00 42.24 39.36 11.07 0.11 1.08 26.10 281.00
Kr. Simpang Ulim 128.00 109.00 95.92 89.38 23.32 0.23 2.33 55.00 1,931.00
Kr. Malehan 7.00 50.00 44.00 41.00 2.76 0.03 0.31 17.25 124.00
Kr. Julok 17.00 50.00 44.00 41.00 56.00 27.00 2.74 64.70 131.00
Kr.Rayeu 13.76 100.00 88.00 82.00 51.12 0.81 4.28 112.36 76.00
Kr.Keumuning 9.00 20.00 17.60 16.40 8.95 0.09 2.61 21.10 131.00
Kr. Gading 12.00 8.00 7.04 6.56 23.02 0.23 2.30 54.30 1,581.00
Kr. Idi Rayeuk 42.00 40.00 35.20 32.80 142.00 0.59 10.46 246.70 960.00
Kr. Lancang 8.30 31.00 27.28 25.42 5.41 0.05 0.12 18.20 61.00
Kr.Jeungki 13.60 55.00 48.40 45.10 53.13 0.78 5.31 125.30 46.00
Kr.Peundawa Reyeuk 10.00 15.00 13.20 12.30 21.58 0.46 2.16 50.90 88.00
Kr. Peureulak 165.50 62.00 54.56 50.84 338.94 6.32 43.89 1,035.20 1,700.00
Kr.Pendawa Puntong 82.00 16.00 14.08 13.12 21.62 0.41 2.16 51.00 126.00
Kr. Leugo Rayeuk 15.00 10.00 8.80 8.20 16.54 0.31 1.65 80.00 87.00
660.16
A3 - 3 Woyla - Seunagan Kr. Woyla 125.00 18.00 15.20 14.94 968.54 3.98 3.98 2,284.20 1,121.00
Kr. Seunagan 97.00 210.00 178.50 172.20 27.70 17.40 33.68 669.00 450.00
222.00
A3 - 4 Tripa - Bateue Kr. Tripa 214.20 55.00 46.75 45.10 327.20 399.00 203.00 3,163.00 1,576.00
Kr. Bateue 111.20 50.00 42.50 41.00 246.00 13.31 37.00 887.00 980.00
325.40
1,418.86
BWS SUMATERA - I PBPS PROV. NAD
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 14
Tabel 2.4
Wilayah Sungai Lintas Kabupaten/Kota
BWS Sumatera – I PBPS Provinsi Aceh
2.1.1.5. Penggunaan Lahan
Aceh memiliki 119 pulau, 35 gunung, 73 sungai besar dan 2 buah danau.
Karakteristik lahan di Provinsi Aceh pada tahun 2009, sebagian besar didominasi
oleh hutan, dengan luas 3.523.817 Ha atau 61,42 persen. Penggunaan lahan
terluas kedua adalah perkebunan besar dan kecil mencapai 691.102 Ha atau 12,06
persen dari luas total wilayah Aceh. Luas lahan pertanian sawah seluas 311.872 Ha
atau 5,43 persen dan pertanian tanah kering semusim mencapai 137.672 Ha atau
2.4 persen dan selebihnya lahan pertambangan, industri, perkampungan, perairan
darat, tanah terbuka dan lahan suaka alam lainnya dibawah 5,99 persen. No Kode
SWS Panjang Hilir Tengah Hulu Max Min Rata-rata Keterangan
(Km) (M) (M) (M) M3/Det M3/Det M3/Det
B - 1 Krueng Aceh Kr. Aceh 113.00 60.00 57.00 51.00 85.20 10.38 19.10 1,780.00 2,100.00
Kr. Raya 20.80 0.30 19.00 17.00 13.00 0.30 8.20 85.50 124.00
Kr. Teungku 25.00 51.00 48.45 43.35 7.95 0.58 5.80 136.70 62.00
Kr. Bate
158.80
B - 2 Pasee - Peusangan Kr.Pasee 75.00 54.00 51.79 48.55 280.95 42.50 91.12 2,272.00 1,214.00
Kr. Peusangan 88.00 58.00 55.62 52.14 809.00 8.09 88.90 1,907.95 1,021.00
Kr. Peudada 33.00 60.00 57.54 53.94 116.00 7.34 21.98 1,560.00 512.00
Kr. Keureuteu 77.50 68.00 65.21 61.13 408.69 31.00 39.48 931.00 3,741.00
Kr. Mane 20.00 78.00 74.80 70.12 119.30 11.90 18.60 486.20 123.00
Kr. Geukeuh 31.00 15.00 14.39 13.49 175.25 3.28 17.52 413.80 116.00
324.50
B - 3 Tamiang - Langsa Kr. Tamiang 208.00 150.00 138.00 124.50 671.80 61.00 298.84 4,683.60 3,892.00
Kr. Langsa 65.00 54.00 49.68 44.82 33.60 6.41 8.28 210.20 3,654.00
Kr. Raya 7.00 110.00 101.20 91.30 56.82 1.07 5.68 134.00 86.00
Kr. Telaga Muku 21.00 50.00 46.00 41.50 25.02 0.47 2.50 59.00 51.00
Kr. Bayeuen 50.00 250.00 230.00 207.50 154.68 4.12 15.47 364.00 1,425.00
351.00
B - 4 Teunom - Lambesoi Kr. Teunom 130.00 45.00 38.25 37.35 674.60 42.91 192.91 2,413.00 3,860.00
Kr. Lambesoi 17.00 62.00 52.70 51.46 117.87 22.40 47.20 320.00 81.00
Kr. Bubon 39.00 31.00 26.36 25.73 108.76 4.68 4.68 256.50 206.00
Kr. Woyla 125.00 18.00 15.20 14.94 968.54 3.98 3.98 2,284.20 1,121.00
Kr. Sabe 25.50 120.00 102.00 99.60 115.70 41.25 49.85 500.70 76.00
Kr. Masen 55.00 7.20 6.12 5.98 968.00 16.94 169.45 3,996.20 214.00
Kr. Inong 22.30 44.00 37.40 36.52 99.26 0.99 9.93 234.10 131.00
413.80
B - 5 Krueng Baru - Kluet Kr. Baru 23.00 71.00 60.35 58.22 335.00 5.84 16.49 389.00 620.00
Kr. Kluet 80.00 85.00 72.25 69.70 448.60 47.90 248.25 2,326.00 3,600.00
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 15
Tabel 2.5
Jenis Penggunaan Lahan Provinsi Aceh Tahun 2005 - 2008
Provinsi Aceh mempunyai beragam kekayaan sumberdaya alam antara
lain minyak dan gas bumi, pertanian, industri, perkebunan, perikanan darat dan
laut, pertambangan umum yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh.
Secara umum, penetapan Wilayah Pengembangan (WP) di Aceh
dikelompokkan berdasarkan posisi geografis, yaitu: (1) Banda Aceh dan sekitar,
(2) Pesisir Timur, (3) Pegunungan Tengah, dan (4) Pesisir Barat. Wilayah
Pengembangan yang dimaksud memiliki beberapa pusat kegiatan di wilayah
tersebut yang dapat merupakan: Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat
Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 16
pemerintah, dan telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN). Sementara PKL ditetapkan dalam RTRW Provinsi, sesuai
dengan ketentuan pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP)
No.26/2008 tentang RTRWN. Penetapan wilayah pengembangan berdasarkan
rencana tata ruang Provinsi Aceh secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. 6.
Tabel 2.6
Penempatan Wilayah Pengembangan (WP)
1 2 3 4 5
1
WP Basajan PKNp Banda Aceh Kota Banda Aceh
PKW/PKSN Sabang Kota Sabang
WP Tengah 1 PKW Takengon Kab. Aceh Tengah
(Takengon-Sp. Tiga Redelong PKL Sp. Tiga Redelong Kab. Bener Meriah
WP Tengah 2 PKL Kutacane Kab. Aceh Tengah
(Kutacane-Blangkejeren) PKL Blangkejeren Kab. Gayo Lues
4
WP Barat 1 PKW Meulaboh Kab. Aceh Barat
PKL Calang Kab. Aceh Jaya
PKWp Jeuram-Suka Mamue Kab. Nagan Raya
WP Barat 2 PKL Tapaktuan Kab. Aceh Selatan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 17
Demikian juga dengan rencana penetapan kegiatan unggulan pada kawasan
budidya lainnya sebagaimana Tabel 2.7
Tabel 2.7
Penetapan Kawasan Unggulan pada Kawasan Budidaya Lainnya
Dalam kawasan andalan Aceh – WP (KAA-WP)
Kawasan Andalan Aceh-WP Kabupaten/Kota Luas KAA-WP Luas Kaw. Luas Kaw. Bud. Luas Kaw. Kegiatan Unggulan Pada (KAA-WP) Yang Tercakup (Ha) Lindung (Ha) Strat.Aceh (Ha) Bud. Lain (Ha) Kaw. Budidaya Lainnya
1.Kawasan Andalan Aceh - Kota Banda Aceh 308.087,76 159.166,60 50.919,40 62.953,60 - Permukiman Perkotaan
WP Timur 1 Kab. Aceh Tamiang - Permumiman Perdesaan
(Langsa-Kuala Simpang-Idi Kab. Aceh Timur - Perkebunan
WP Timur 2 Kab. Aceh Utara - Permumiman Perdesaan
(Lhokseumawe-Bireuen-Lhok Kab. Bireuen - Pertanian
WP Timur 3 Kab. Pidie Jaya - Permumiman Perdesaan
(Sigli-Meureudu) - Pertanian
WP Tengah 1 Kab. Bener Meriah - Permumiman Perdesaan
(Takengon-SpTRedelong) - Perkebunan
- Pariwisata - Perikanan
6.Kawasan Andalan Provinsi - Kab. Aceh Tenggara 971.953,52 873.350,00 35.657,54 29.472,46 - Permukiman Perkotaan
WP Tengah 2 Kab. Gayo Lues - Permumiman Perdesaan
(Kutacane-Blangkejeren) - Perkebunan
- Pariwisata - Pertanian
7.Kawasan Andalan Aceh - Kab. Aceh Barat 1.018.069,37 702.493,32 31.868,36 276.981,64 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 1 Kab. Aceh Jaya - Permumiman Perdesaan
(Meulaboh-Calang-Suka Mak- Kab. Nagan Raya - Perkebunan
WP Barat 2 Kab. Aceh Barat Daya - Permumiman Perdesaan
(Tapaktuan-Blangpidie) - Perkebunan
- Pertanian - Perikanan - Pariwisata
9.Kawasan Andalan Aceh - Kota Subulussalam 302.158,51 390.073,00 7.867,86 107.542,14 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 3 Kab. Aceh Singkil - Permumiman Perdesaan
(Subulussalam-Singkil) - Perkebunan
- Perikanan - Pariwisata
10.Kawasan Andalan Aceh - Kab. Simeulue 182.721,93 121.752,10 3.085,00 50.685,00 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 4 (Sinabang) - Permumiman Perdesaan
- Perkebunan - Perikanan - Pariwisata
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 18
2.1.3. Wilayah Rawan Bencana
Potensi ancaman bencana di Aceh tidak akan berkurang secara signifikan
dalam tahun-tahun ke depan. Mengingat kondisi geografis, geologis, hidrologis dan
demografis Aceh maka diperlukan suatu upaya menyeluruh dalam upaya
penanggulangan bencana, baik ketika bencana itu terjadi, sudah terjadi, maupun
potensi bencana di masa yang akan datang. Konsekuensi dari kondisi geomorfologis
dan klimatologis serta demografis, maka ancaman bahaya (hazard) di Aceh
mencakup ancaman geologis, hidro-meteorologis, serta sosial dan kesehatan.
Secara geologis, Aceh berada di jalur penunjaman dari pertemuan lempeng
Asia dan Australia, serta berada di bagian ujung patahan besar Sumatera (sumatera
fault/transform) yang membelah pulau Sumatera dari Aceh sampai Selat Sunda
yang dikenal dengan Patahan Semangko. Zona patahan aktif yang terdapat di
wilayah Aceh adalah wilayah bagian tengah, yaitu di Kabupaten Aceh Besar,
Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Nagan
Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hal ini dapat menyebabkan Aceh
mengalami bencana geologis yang cukup panjang.
Berdasarkan catatan bencana geologis, tsunami pernah terjadi pada tahun
1797, 1891, 1907 dan tanggal 26 Desember tahun 2004 adalah catatan kejadian
ekstrim terakhir yang menimbulkan begitu banyak korban jiwa dan harta.
Kawasan dengan potensi rawan tsunami yaitu di sepanjang pesisir pantai wilayah
Aceh yang berhadapan dengan perairan laut yang potensial mengalami tsunami
seperti Samudera Hindia di sebelah barat (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya,
Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Simeulue), perairan Laut
Andaman di sebelah utara (Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang), dan perairan
Selat Malaka di sebelah utara dan timur (Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara,
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 19
Gempa bumi yang terjadi selama kurun waktu 2007-2010 di Aceh
sebanyak 97 kali dengan kekuatan >5 sampai dengan 7,5 Skala Richter. Kejadian
diprediksi akan berulang karena Aceh berada diatas tumbukan lempeng dan
patahan. Dampak yang ditimbulkan selama kurun waktu tersebut yaitu korban
jiwa sebanyak 62 orang, kerusakan harta benda diperkirakan mencapai 25–50
Milyar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20–40 persen, sedangkan cakupan
wilayah yang terkena gempa sekitar 60–80 persen, dan 5 persen berpengaruh
terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata pencaharian).
Kabupaten/Kota yang diperkirakan akan terkena dampak adalah: Banda Aceh,
Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil,
Aceh Selatan, Subulussalam, Sabang, Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, Gayo Lues
dan Aceh Tenggara.
Disamping persoalan pergerakan lempeng tektonik, Aceh juga memiliki
sejumlah gunung api aktif yang berpotensi menimbulkan bencana. Khususnya
gunung api yang tergolong tipe A (yang pernah mengalami erupsi magmatik
sesudah tahun 1600). Di Aceh terdapat 3 gunung api tipe A, yaitu gunung Peut
Sagoe di Kabupaten Pidie, Gunung Bur Ni Telong dan Gunung Geureudong di
Kabupaten Bener Meriah , gunung Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar dan
Cot. Simeuregun Jaboi di Sabang.
Potensi bencana gas beracun diindikasikan pada kawasan yang berdekatan
dengan gunung berapi aktif. Dengan demikian kawasan dengan potensi rawan
bahaya gas beracun adalah relatif sama dengan kawasan rawan letusan gunung
berapi. Kawasan potensi rawan bahatya gas beracun tersebut adalah di Bener
Meriah (G. Geureudong dan Bur Ni Telong), Pidie dan Pidie Jaya (G. Peut Sagoe),
Aceh Besar (G. Seulawah Agam), dan Sabang (Cot. Simeuregun Jaboi).
Potensi bencana tanah longsor biasa terjadi di sekitar kawasan pegunungan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 20
yang basah dan bebatuan yang lapuk, curah hujan yang tinggi, gempa bumi atau
letusan gunung berapi yang menyebabkan lapisan bumi paling atas dan bebatuan
berlapis terlepas dari bagian utama gunung atau bukit. Tanda tanda terjadinya
longsor dapat ditandai dengan beberapa parameter antara lain keretakan pada
tanah, runtuhnya bagian bagian tanah dalam jumlah besar, perubahan cuaca
secara ekstrim dan adanya penurunan kualitas landskap dan ekosistem.
Tanah longsor yang terjadi selama kurun waktu 2007-2009 di Aceh
sebanyak 26 kali. Dampak kerusakan harta benda yang ditimbulkan diperkirakan
mencapai 50 – 100 Miliar rupiah, kerusakan sarana dan prasarana 20 – 40 persen,
sedangkan cakupan wilayah yang terkena longsor sangat luas 20 – 40 persen, serta
berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat (terganggunya mata
pencarian) sebesar 5 – 10 persen. Bencana tanah longsor yang berdampak pada
masyarakat secara langsung adalah pada jalur jalan lintas tengah, yaitu yang
terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, sekitar Takengon di
Kabupaten Aceh Tengah, dan di sekitar Tangse – Geumpang Kabupaten Pidie.
Aceh memiliki tingkat kompleksitas hidro-meteorologis yang cukup
tinggi. Dimensi alam menyebabkan Aceh mengalami hampir semua jenis bencana
hidro-meteorologis seperti puting beliung, banjir, abrasi dan sedimentasi, badai
siklon tropis serta kekeringan. Puting beliung terjadi di Aceh hampir merata di
berbagai daerah terutama terjadi di pesisir yang berhadapan dengan perairan laut
yang mengalami angin badai. Berdasarkan kejadian yang pernah terjadi
sebelumnya adalah di Aceh Timur, Aceh Utara di pesisir timur dan Aceh Barat di
pesisir barat. Namun, dari data kejadian 3 tahun terakhir (2006-2009) terjadi 30
kali bencana puting beliung di 14 kabupaten/kota. Kabupaten Aceh Utara terdata
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 21
Banjir hampir merata terjadi di berbagai wilayah Aceh. Namun, dari data
kejadian 3 tahun banjir (2006-2009) terjadi 106 kali bencana banjir di 22 dari 23
kabupaten/kota. Elemen berisiko yang rentan ketika terjadi banjir adalah lahan
pertanian, peternakan, perdagangan dan jasa di 22 kabupaten/kota di Aceh,
kecuali Kabupaten Simeulue. Kawasan rawan banjir yang peluangnya tinggi
dengan hamparan yang relatif luas terdapat di pesisir timur dan utara yang dilalui
sungai-sungai yang relatif besar, yaitu di Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie, Pidie
Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh
Tamiang. Selain itu kawasan rawan banjir yang peluangnya tinggi adalah pada
hamparan yang merupakan flood plain atau limpasan banjir sungai-sungai di
pesisir barat, yang terletak di Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat
Daya, Subulussalam, Aceh Singkil, dan juga di tepi Lawe Alas di Aceh Tenggara.
Sumber kerentanan bencana banjir ini berasal dari pembalakan liar (illegal
logging) di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), pendangkalan sungai, rusak atau
tersumbatnya saluran drainase, dan terjadinya perubahan fungsi lahan tanpa
sistem tatakelola yang baik yang memperhatikan kapasitas DAS dalam
menampung air. Kabupaten Aceh Utara mencatat kejadian tertinggi
dibandingkan Kabupaten Kota lainnya.
Selain bencana yang disebabkan oleh fenomena alam, bencana juga dapat
disebabkan oleh perilaku manusia antara lain karena kelalaian, ketidaktahuan,
maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat atau disebut bencana
sosial. Bencana sosial dapat terjadi dalam bentuk kebakaran, pencemaran
lingkungan (polusi udara dan limbah industri) dan kerusuhan/konflik sosial.
Potensi rawan kebakaran seperti kebakaran hutan terjadi pada hutan-hutan yang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 22
kawasan hutan pinus dan lahan gambut yang cenderung mudah mengalami
kebakaran pada musim kemarau. Indikasi potensi rawan kebakaran hutan tersebut
adalah di Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat
Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Tengah.
Bencana sosial dapat juga muncul sebagai akibat bencana alam, baik yang
disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia dalam memandang dan
memanfaatkan sumberdaya alam (faktor antropogenik). Kejadian bencana sosial
yang menonjol di Aceh adalah konflik yang berlatar belakang ideologi dan
ekonomi, serta Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti penyakit menular dan atau
tidak menular yang dipicu oleh perilaku manusia itu sendiri.
Isu bencana yang diuraikan di atas masih belum diantisipasi secara baik.
Lokasi-lokasi rawan bencana yang disajikan dalam bentuk peta risiko bencana
provinsi Aceh seperti peta risiko gempa bumi, tsunami, letusan gunung api,
angin puting beliung dan kekeringan dengan skala 1:50.000 masih dalam tahap
proses penyelesaian yang diharapkan dapat selesai pada tahun 2011. Peta risiko
bencana tersebut dibuat dengan skala 1:50.000 sehingga masih perlu didetilkan
lagi dengan skala 1: 5000 dan disosialisasikan ke masyarakat, khususnya yang
berdomisili pada daerah risiko bencana. Sementara itu, beberapa peta risiko
bencana lainnya seperti peta risiko banjir, longsor, cuaca ekstrim dan kebakaran
hutan masih belum ada. Demikian juga dengan building code untuk daerah
risiko gempa masih belum sempurna sehingga belum dapat disosialisasikan ke
seluruh kabupaten/kota.
Bencana yang muncul dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur
publik dan aset masyarakat. Merehabilitasi dan merekonstruksi infrastruktur
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 23
dan kemampuan lokal. Beberapa lokasi yang berada pada zonasi aman
direncanakan sebagai kawasan pengembangan seperti kawasan agro-industri
yang tidak hanya menghasilkan produk yang mempunyai nilai tambah, tetapi
juga dapat mendukung proses penanganan pasca bencana.
Bencana lain dapat juga diakibatkan oleh kelalaian manusia (man-made
disaster) akibat dari tidak sesuainya perencanaan dan implementasi suatu industri
pengolahan sumberdaya alam, sehingga diperlukan suatu penelitian yang
berkesinambungan dengan melibatkan multi-displin dan multi-sektoral untuk
mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap dampak bencana.
2.1.4. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
Konflik berkepanjangan dan bencana gempa bumi dan tsunami tanggal 26
Desember 2004 telah menempatkan Aceh pada jurang ketertinggalan yang jauh
dan Aceh kembali ketitik nol. Akibat konflik ekonomi Aceh menjadi tersendat,
Aceh menjadi satu-satunya Provinsi di Indonesia yang terus-menerus mengalami
tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif. Bencana alam melengkapi
penderitaan dengan banyaknya korban nyawa selain kerusakan infrastruktur fisik,
ekonomi dan sosial pada skala masif. Wilayah pesisir sepanjang tidak kurang dari
800 km, dari Kabupaten Singkil ke selatan, memutar ke Banda Aceh di utara
hingga ke Aceh Timur terkena dampak bencana.
Pemerintah segera menanggapi dengan mengambil langkah-langkah yang
konkrit dan dipandang perlu untuk menangani dampak bencana dan
meringankan beban persoalan. Diantaranya, ditetapkan Bencana ini sebagai
bencana Nasional dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi bantuan
Internasional, secara paralel mendorong tercapainya perjanjian damai dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 24
termasuk penetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi di bawah
koordinasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) secara penuh, dan
mendorong pembentukan Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA).
Setelah 4 tahun BRR NAD-Nias melaksanakan tugas berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2005
tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005. BRR NAD-Niasa
menyelesaikan tugasnya secara resmi pada 16 April 2009. Secara keseluruhan
capaian BRR NAD-Nias hingga akhir masa tugasnya adalah 94,7 persen dari Key
Performance Indicators (KPI) yang ditetapkan di dalam Peraturan Presiden
Nomor 47 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 30
Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias
Provinsi Sumatera Utara.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun
2009, dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, agar kesinambungan
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Wilayah Pascabencana dilakukan secara
terkoordinasi, dibentuklah Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam;
Dalam rangka menindaklanjuti amanah Perpres tersebut pada tanggal 8
April 2009 Gubernur Aceh telah menetapkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 25
Rekonstruksi Aceh dan berlaku efektif sejak tanggal 17 April 2009. Tugas utama
BKRA adalah mengkoordinasikan pelaksanaan kesinambungan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Aceh yang
dilaksanakan oleh kementrian/lembaga, Pemerintah Aceh, Lembaga/Perorangan
Nasional dan/atau Asing di wilayah Provinsi Aceh. Secara umum capaian selama
4 tahun dari kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (RR) disajikan pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8
Capaian Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
No Dampak Bencana Capaian 4 Tahun RR
1 2 3
1 635.384 orang kehilangan tempat tinggal
2 127.720 orang meninggal dan 93.285 orang hilang
3 104.500 Usaha Kecil dan Menengah (UKM) lumpuh 155.182 tenaga kerja terlatih, 195.726 UKM menerima bantuan
4 139.195 rumah rusak atau hancur 140.304 rumah permanen dibangun
5 73.869 hektare lahan pertanian hancur 69.979 hektare lahan pertanian direhabilitasi
6 1.927 guru meninggal 39.663 guru dilatih
7 13.828 kapal nelayan hancur 7.109 kapal nelayan dibangun atau dibagikan
8 1.089 sarana ibadah rusak 3.781 sarana ibadah dibangun atau diperbaiki
9 2.618 kilometer jalan rusak 3.696 kilometer jalan dibangun
10 3.415 sekolah rusak 1.759 sekolah dibangun
11 517 sarana kesehatan rusak 1.115 sarana kesehatan dibangun
12 669 bangunan pemerintah rusak 996 bangunan pemerintah dibangun
13 119 jembatan rusak 363 jembatan dibangun
14 22 pelabuhan rusak 23 pelabuhan dibangun
15 8 bandara atau airstrip rusak 13 bandara atau airstrip dibangun
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 26
Meskipun capaian RR dan efek pengganda kegiatan-kegiatannya telah
mengantarkan perekonomian Aceh lebih maju dari situasi pasca bencana, beberapa
indikasi ketertinggalan masih terlihat, yaitu masih tingginya tingkat kemiskinan
dan pengangguran. Dua indikator ekonomi makro tersebut memberikan sinyal yang
kuat bahwa meskipun sejumlah perbaikan dirasakan akibat kegiatan RR, namun
kemajuan dimaksud belumlah mampu menutupi ketertinggalan selama masa
konflik 3 dekade. Hal lain yang juga penting adalah kemajuan yang kini diraih
dinilai tidaklah berkelanjutan. Sektor-sektor pendorong pertumbuhan, yaitu sektor
konstruksi, transportasi dan jasa, yang berjaya selama masa RR, menurun tajam
kegiatannya pasca 2008 (World Bank, 2008).
2.1.5. Demografi
Jumlah penduduk Aceh pada akhir 2009 adalah 4.363.477 jiwa, dengan
total jumlah kepala keluarga atau rumah tangga adalah 1.073.481 kepala
keluarga/rumah tangga. Laju pertumbuhan penduduk Aceh selama 5 tahun
(2006-2009) terakhir sebesar 1,66 persen. Kota Sabang memiliki laju pertumbuhan
penduduk yang terendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Aceh yakni sebesar
0,10 persen, sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Aceh Jaya yakni sebesar
7,90 persen. Sebaran penduduk di wilayah aceh masih belum merata.
Kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten Aceh
Utara (532.535 jiwa) dan jumlah penduduk terkecil adalah Kota Sabang (29.184
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 27
Tabel 2.9
Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Aceh Tahun 2006 - 2009
2.2.
Syariat Islam dan Sosial Budaya
2.2.1. Syariat Islam
Sejak tahun 2001, Provinsi Aceh telah mendeklarasikan pelaksanaan
Syariat Islam. Pemberlakuan ini berdasarkan pada Undang-Undang Republik
Indonesia No 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Republik Indonesia No 18
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 28
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak pemberlakuan syariat Islam
secara legal formal, beberapa instrumen pelaksanaan telah dilengkapi seperti
pendirian beberapa lembaga/dinas/badan dan pemberlakuan qanun. Dalam rangka
penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh telah dibentuk antara lain Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU), Mahkamah Syar’iyah, Baitul Maal, Dinas Syariat
Islam dan Wilayatul Hisbah. Dari sisi peraturan pada tahun 2002 telah disahkan
Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Peradilan Syariat Islam, Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 11
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam. Pada tahun 2003 Pemerintah Aceh juga telah mengesahkan 4 qanun
berkaitan dengan penyelenggaraan syariat Islam, yakni Qanun Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003 tentang Hubungan Tata Kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama dengan Eksekutif, Legislatif dan Instansi Lainnya; Qanun
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman
Khamar dan Sejenisnya; Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 13
Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian); dan Qanun Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
Dalam pengelolaan zakat, harta waqaf dan harta agama di Aceh, mulanya
dilaksanakan secara tradisional, yaitu zakat hanya dipahami terbatas pada zakat
fitrah, zakat maal terbatas pada zakat hasil tanaman makanan pokok (zakat padi)
dan sedikit zakat perniagaan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat
tentang zakat, maka pada tahun 1973 pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan
Penertiban Harta Agama, pada tahun 1975 pengelolaan zakat dilakukan oleh
Badan Harta Agama, tahun 1993 pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 29
Nomor 18 tahun 2003 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Badan
Baitul Maal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sehubungan dengan tugas dan fungsi Badan Baitul Maal dalam pengelolaan
zakat, maka Pemerintah Aceh pada awalnya telah menetapkan Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan zakat,
selanjutnya dalam rangka pelaksanaan Syariat Islam dan mengoptimalkan
pendayagunaan zakat, wakaf, dan harta agama sebagai potensi ekonomi umat
Islam, perlu dikelola secara optimal dan efektif oleh sebuah lembaga profesional
yang bertanggungjawab serta sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) huruf d,
Pasal 191 dan Pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, berkenaan dengan zakat, wakaf, dan harta agama dikelola
oleh Baitul Maal yang diatur dengan Qanun Aceh, qanun tersebut telah dicabut
dan digantikan dengan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Maal.
Lembaga ini mempunyai fungsi dan kewenangan mengurus dan mengelola zakat,
wakaf, dan harta agama; melakukan pengumpulan, penyaluran dan
pendayagunaan zakat; melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama
lainnya; menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai lagi wali nasab, wali
pengawas terhadap wali nashab, dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang
tidak cakap melakukan perbuatan hukum; menjadi pengelola terhadap harta yang
tidak diketahui pemilik atau ahli warisnya berdasarkan putusan Mahkamah
Syari’ah; dan membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga untuk
meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip saling
menguntungkan.
Dengan hadirnya lembaga Baitul Maal ini, penerimaan zakat mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 11,87 persen dalam 3 tahun terakhir. Walaupun
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 30
kepada Baitul Mal Aceh masih relatif kecil dari potensi zakat di Aceh. Hal ini
disebabkan karena hanya segmen pegawai negeri sipil (zakat profesi) yang
tergarap, sedangkan dari jenis zakat dan sumber profesi lainnya belum optimal
penerimaannya.
Kedudukan Ulama dalam Pemerintahan Aceh menempati posisi yang
penting dan strategis. MPU yang merupakan representasi dari alim ulama dan
cendikiawan muslim Aceh disejajarkan kedudukannya sebagai mitra Pemerintah
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). MPU merupakan badan yang
bersifat independen berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan
daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta
tatanan ekonomi yang islami. Fatwa yang ditetapkan oleh lembaga ulama ini
menjadi rujukan pengambilan kebijakan Pemerintah Aceh.
Beberapa kendala masih dirasakan dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh
terutama disebabkan karena masih kurangnya pemahaman, penghayatan dan
pengamalan ajaran agama di kalangan masyarakat. Berbagai perilaku masyarakat
masih banyak yang bertentangan dengan moralitas dan etika agama.
Pemahaman dan pengamalan agama di kalangan peserta didik (sekolah dan
madrasah) juga belum memuaskan disebabkan antara lain: masih kurangnya
materi dan jam pelajaran agama dibandingkan dengan pelajaran umum. Pada sisi
lain derasnya arus globalisasi memungkinkan terjadinya infiltrasi budaya asing yang
negatif dan tidak sejalan bahkan bertentangan dengan tuntunan Syariat Islam,
sehingga mempengaruhi dan mendorong perilaku masyarakat ke arah negatif.
2.2.2. Sosial Budaya
Provinsi Aceh memiliki tiga belas suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang
(Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 31
Aceh Tengah dan Gayo Lues), Pakpak, Lekon, Haloban dan Singkil (Aceh
Singkil), Kluet (Aceh Selatan), Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa
dan pola pikir masing-masing.
Suasana kehidupan masyarakat Aceh bersendikan hukum Syariat Islam,
kondisi ini digambarkan melalui sebuah Hadih Maja (peribahasa), “Hukom
ngoen Adat Lagee Zat Ngoen Sifeut”, yang bermakna bahwa syariat dan adat
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam sendi kehidupan
masyarakat Aceh. Penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh bukanlah hal yang
baru, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan,
syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.
Budaya Aceh juga memiliki kearifan di bidang pemerintahan dimana
kekuasaan Pemerintahan tertinggi dilaksanakan oleh Sultan, hukum diserahkan
kepada Ulama sedangkan adat-istiadat sepenuhnya berada di bawah permaisuri
serta kekuatan militer menjadi tanggungjawab panglima. Hal ini tercermin
dalam sebuah Hadih Maja lainnya, yaitu “Adat Bak Po Teumeureuhom Hukom
Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang Reusam Bak Laksamana”. Dalam
kontek kekinian Hadih Maja tersebut mencerminkan pemilahan kekuasaan
yang berarti budaya Aceh menolak prinsip-prisip otorianisme.
Disamping itu pengelolaan sumber daya alam merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari budaya Aceh. Hal ini tergambar dari beberapa institusi
budaya yang mengakar dalam kehidupan ekonomi masyarakat Aceh, seperti
Panglima Laot yang mengatur pengelolaan sumber daya kelautan, Panglima
Uteun yang mengatur tentang sumberdaya hutan, Keujruen Blang yang
mengatur tentang irigasi dan pertanian serta kearifan lokal lainnya.
Kearifan adat budaya ini juga diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana kedudukan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 32
independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi
penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian
gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Wali Nanggroe berhak
memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau
lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya diatur
dengan Qanun Aceh.
Permasalahan kesejahteraan sosial merupakan hal-hal yang berkaitan
dengan perlindungan anak, perempuan dan lanjut usia, keterlantaran, kecacatan,
ketunasosialan, bencana alam, serta bencana sosial. Penanganan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya fakir miskin yang tidak
dilakukan secara tepat akan berakibat pada kesenjangan sosial yang semakin
meluas, dan berdampak pada melemahnya ketahanan sosial masyarakat, serta
dapat mendorong terjadinya konflik sosial, terutama bagi kelompok masyarakat
yang tinggal di daerah terpencil dan perbatasan.
Permasalahan kesejahteraan sosial merupakan permasalahan yang sangat
kompleks, yang diakibatkan oleh berbagai faktor penyebab. Masalah kemiskinan
dewasa ini bukan saja menjadi persoalan yang dihadapi Pemerintah Aceh, akan
tetapi sudah menjadi persoalan Bangsa Indonesia dan negara-negara lain.
Permasalahan kemiskinan yang dihadapi masyarakat Aceh, selain disebabkan oleh
ekses negatif pembangunan dan konflik sosial yang berkepanjangan, juga
disebabkan oleh faktor bencana alam yang sering terjadi di Provinsi Aceh.
Masalah kesejahteraan sosial juga meliputi Populasi Komunitas Adat
Terpencil (KAT). Di Provinsi Aceh, populasi komunitas adat terpencil yang belum
ditangani berjumlah 9.705 KK, yang sedang diberdayakan 254 KK dan yang sudah
diberdayakan sebanyak 2.493 KK. Lokasi populasi KAT tersebar di 14 kabupaten,
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 33
Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan, Singkil dan Simelue. Populasi terbesar terdapat di Singkil (2.818
KK), Aceh Selatan (1.263 KK) dan Simelue (1.044 KK). Selain itu, populasi Wanita
Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di Provinsi Aceh berjumlah 42.767 jiwa dan yang
telah ditangani sejak tahun 2006 berjumlah 7.200 jiwa.
Populasi penyandang cacat di Provinsi Aceh mencapai 27.710 jiwa, dan
diantaranya sebanyak 4.289 jiwa adalah para penyandang cacat eks kusta.
Penyebaran populasi penyandang cacat terdapat diseluruh wilayah kabupaten/
kota, baik cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu-wicara dan cacat
ganda. Dari seluruh populasi penyandang cacat hanya 1.106 orang yang
mendapatkan pelayanan atau santunan.
Populasi penyandang masalah ketunaan (tuna sosial) yang meliputi:
gelandangan, pengemis, tuna susila, bekas narapidana dan penderita HIV/AIDS di
Provinsi Aceh. Menurut data populasi PMKS yang terdapat pada Dinas Sosial
Aceh sampai dengan akhir tahun 2009, terdapat 1.884 jiwa gelandangan dan
pengemis, 1.156 jiwa bekas narapidana dan 320 jiwa tuna susila. Selain itu,
sampai akhir tahun 2009 tercatat lebih dari 100 ribu jiwa anak mengalami
permasalahan sosial, diantaranya terdapat 83.114 jiwa anak terlantar, 1.823 jiwa
anak nakal, anak jalanan sebanyak 590 jiwa dan selebihnya mengalami kekerasan,
eksploitasi dan trafficking. Begitu juga dengan populasi para lanjut usia terlantar
yang mencapai 13.649 jiwa dan kondisi ini mengalami kecenderungan meningkat
setiap tahunnya. Dinas Sosial Aceh tahun 2008 juga mencatat 7.160 anak yang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 34
2.3.
Kesejahteraan Masyarakat
2.3.1. Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi
2.3.1.1. Pertumbuhan Ekonomi
Selama lima tahun terakhir (2005-2009), nilai Product Domestic Regional
Bruto (PDRB) Aceh yang dihitung atas harga konstan mengalami perkembangan
yang kurang menggembirakan. Pasca tsunami, ekonomi Aceh sempat terpuruk
sampai ke tingkat yang sangat memprihatinkan. PDRB Aceh pada tahun 2005
hanya mencapai Rp 36,29 triliun atau turun 10,12 persen dari tahun sebelumnya.
Lima dari sembilan sektor ekonomi yang membentuk struktur PDRB mengalami
kontraksi yang besar yaitu pertanian turun 3,89 persen, pertambangan dan
penggalian turun tajam sampai 22,62 persen, demikian juga industri pengolahan
jatuh 22,30 persen, konstruksi turun 16,14 persen, serta sektor jasa turun 9,53
persen. Perkembangan nilai PDRB Aceh dalam lima tahun terakhir secara
berturut-turut adalah sebesar 36.29 triliun rupiah (2005), 36.85 triliun rupiah
(2006), 35.98 triliun rupiah (2007), 34.09 triliun rupiah (2008) dan 32.18 triliun
rupiah (2009).
Berdasarkan persentase pertumbuhan PDRB, secara berturut-turut
pertumbuhan ekonomi Aceh (dengan Migas) adalah -10,12 persen (2005), 1,56
persen (2006), -2,36 persen (2007), -5,27 persen (2008) dan -5,58 persen (2009).
Sedangkan nasional secara berturut-turut adalah 6,60 persen (2005); 6,10 persen
(2006); 6,90 persen (2007); 6,50 persen (2008); dan 4,20 persen (2009). Semakin
menurunnya pertumbuhan ekonomi Aceh selama kurun waktu tersebut terutama
akibat semakin menurunnya kontribusi sub sektor migas. Sebagaimana diketahui
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 35
sub sektor migas sehingga perubahan sumbangan sektor ini memberi pengaruh
signifikan terhadap nilai PDRB Aceh secara keseluruhan.
Tanpa memperhitungkan sumbangan sub sektor migas, PDRB Aceh terus
mengalami peningkatan namun besaran pertumbuhannya sangat fluktuatif. Pada
tahun 2005 PDRB Non Migas Aceh tumbuh hanya sebesar 1,22 persen,
selanjutnya secara berturut-turut 7,72 persen (2006), 7,02 persen (2007), 1,89
persen (2008) dan 3,92 persen (2009). Sejak tahun 2006, seluruh sektor mengalami
pertumbuhan positif setelah sempat terpuruk di tahun 2005 akibat bencana
Tsunami. Dalam kurun waktu tersebut, sektor Pertanian yang merupakan sektor
dominan (kontribusi rata-rata 33 persen) setiap tahunnya mengalami
pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu
sebesar 3,60 persen, pertumbuhan tersebut terutama terjadi pada sub sektor
perkebunan yang diikuti oleh tanaman pangan dan perikanan. Sedangkan sektor
lainnya seperti Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi
disamping mengalami pertumbuhan yang signifikan, kontribusinya juga
mengalami peningkatan. Akan tetapi sektor-sektor tersebut kontribusinya masih
relatif kecil terhadap PDRB yaitu masih dibawah 15 persen.
Pertumbuhan ekonomi non migas terutama didorong oleh aktifitas
rehabilitasi dan rekonstruksi dan kondisi keamanan yang semakin kondusif pasca
MoU Helsinki. Selama periode tersebut tingginya anggaran pembangunan di Aceh
dari berbagai sumber ikut memberi peran positif terhadap pertumbuhan ekonomi
non migas.
2.3.1.2. Laju Inflasi
Laju inflasi yang terjadi di Aceh selama periode 2005-2009 menunjukkan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 36
2005 akibat bencana tsunami. Pada tahun 2005 laju inflasi yang terjadi di Aceh
yang diamati di dua kota yaitu Banda Aceh dan Lhokseumawe. Laju inflasi di
Banda Aceh sebesar 41,11 persen sedangkan di Lhokseumawe sebesar 17,57
persen. Selanjutnya secara berturut-turut laju inflasi di Banda Aceh sebesar 9,54
persen (2006), 11,00 persen (2007), 10,27 persen (2008) dan 3,50 persen (2009).
Sedangkan di Kota Lhokseumawe secara berturut-turut sebesar 11,47 persen
(2006), 4,18 persen (2007), 13,78 persen (2008) dan 3,96 persen (2009). Sejak 2007
perbedaan laju inflasi antara Aceh dan nasional semakin mengecil, kondisi
nasional secara berturut-turut sebesar 17,11 persen (2005), 6,60 persen (2006),
6,59 persen (2007), 11,06 persen (2008) dan 2,78 persen (2009).
2.3.1.3. Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita penduduk dihitung berdasarkan PDRB dibagi
dengan jumlah total penduduk. PDRB perkapita 2005-2008 dengan Migas atas
dasar harga konstan menunjukkan penurunan dimana pada tahun 2005 PDRB
perkapita 9.000.897,66 rupiah per jiwa, 8.872.811,43 rupiah per jiwa (2006),
8.519.060,77 rupiah per jiwa (2007) dan 7.938.091,46 rupiah per jiwa (2008)
sedangkan PDRB perkapita atas harga konstan tanpa migas (non-migas) pada
tahun 2005 sebesar 5.588.811,26 rupiah per jiwa, 5.842.632,36 rupiah per jiwa
(2006), 6.160.802,29 rupiah per jiwa (2007) dan 6.173.990,40 rupiah per jiwa
(2008). Terjadinya penurunan PDRB dengan migas disebabkan menurunnya
pendapatan dari migas Aceh sebagai akibat menurunnya cadangan deposit
migas. Pendapatan perkapita non-migas cenderung meningkat disebabkan oleh
besarnya kontribusi sektor-sektor non-migas terutama sektor pertanian, pada
tahun 2005 sebesar 21,37 persen, 21,36 persen (2006), 22,67 persen (2007) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 37
2.3.1.4. Ketimpangan Pendapatan
Untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat dapat
dilakukan dengan mengevaluasi Rasio Gini yang memiliki kisaran nilai 0 - 1. Jika
bernilai nol artinya pemerataan sempurna dan sebaliknya jika bernilai satu berarti
ketimpangan sempurna. Rasio Gini lebih kecil dari 0,4 menunjukkan tingkat
ketimpangan rendah, nilai 0,4-0,5 menunjukkan tingkat ketimpangan sedang dan
nilai lebih besar dari 0,5 menunjukkan tingkat ketimpangan tinggi.
Rasio gini Provinsi Aceh pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 0,27,
meningkat menjadi 0,29 tahun 2009. Meskipun terjadi peningkatan nilai
ketimpangan pendapatan masyarakat, namun nilai tersebut masih dalam
kelompok tingkat ketimpangan rendah.
2.3.1.5. Pemerataan Pendapatan
Berdasarkan kriteria World Bank, menyebutkan bahwa proporsi jumlah
pendapatan dari penduduk yang masuk katagori 40% terendah terhadap total
pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen dikatagorikan ketimpangan
pendapatan rendah. Sementara itu, distribusi pendapatan penduduk Aceh untuk
tahun 2007 pada kelas 40% terendah sebesar 22,63 persen, kelas 40% menengah
sebesar 39,38 persen dan kelas 20% tinggi sebesar 37,99 persen. Sedangkan pada
tahun 2008 distribusi pendapatan penduduk pada kelas 40% terendah sebesar
22,64 persen, kelas 40% menengah sebesar 38,68 persen dan kelas 20% tinggi
sebesar 38,68 persen (BPS, 2009). Dengan demikian maka Provinsi Aceh termasuk
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 38
2.3.1.6. Ketimpangan Regional
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi dalam
pemerataan antar daerah maka dapat digunakan indicator pemerataan yaitu
Indeks Williamson (IW). Nilai IW lebih besar dari nol menunjukkan adanya
kesenjangan ekonomi antar wilayah, semakin besar indeks yang dihasilkan
semakin besar tingkat kesenjangan antar wilayah.
Hasil evaluasi nilai PDRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Aceh
menunjukkan bahwa nilai IW Provinsi Aceh yang dievaluasi dengan PDRB
perkapita migas pada tahun 2007 sebesar 2,27 yang menurun menjadi 2,20 pada
tahun 2008. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan indeks disparitas antar
wilayah masih relatif kecil. Selanjutnya IW provinsi Aceh yang dievaluasi dengan
PDRB perkapita non-migas pada tahun 2007 sebesar 1,29 menurun menjadi 1,20
pada tahun 2008. Indeks Williamson yang dihitung dengan PDRB perkapita migas
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari nilai IW PDRB perkapita non migas. Hal
ini menggambarkan bahwa beberapa kabupaten/kota (seperti Lhokseumawe,
Aceh Utara dan Aceh Timur) memberikan kontribusi yang besar terhadap
peningkatan nilai IW.
Sementara itu, Depkeu (2010) melaporkan bahwa IW Indonesia pada
tahun 2007 sebesar 0,49 dan sebesar 0,48 pada tahun 2008. Data di atas
menunjukkan bahwa nilai IW Provinsi Aceh masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan nilai IW Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa masih
terdapat ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Aceh menurut ukuran
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 39
2.3.2. Kesejahteraan Sosial
2.3.2.1. Pendidikan
A. Angka Melek Huruf
Menurut BPS (2009) angka melek huruf di provinsi Aceh (2005-2009)
mengalami peningkatan, pada tahun 2005 sebesar 93,98 persen dan meningkat
menjadi 96,39 persen pada tahun 2009. Jika dibandingkan antara daerah
perkotaan dengan daerah pedesaan terlihat bahwa masih ada ketimpangan
pendidikan yaitu sebesar 98,93 persen di daerah perkotaan dan 95,33 persen di
2 Aceh Singkil 89.66 88.86 85.88 90.71 93.91
3 Aceh Selatan 92.10 90.84 89.82 93.67 95.02
4 Aceh Tenggara 92.68 95.32 95.89 97.27 96.63
5 Aceh Timur 93.93 97.00 95.69 97.35 97.51
6 Aceh Tengah 96.74 96.84 96.97 98.08 97.48
7 Aceh Barat 91.57 86.82 94.06 93.60 93.05
8 Aceh Besar 96.15 93.10 94.63 96.44 93.98
9 Pidie 93.46 91.93 93.55 95.51 94.29
10 Bireuen 97.54 98.34 95.87 98.09 97.59
11 Aceh Utara 93.74 96.04 94.72 95.12 97.69
12 Aceh Barat Daya 90.40 91.47 93.14 96.22 94.43
13 Gayo Lues 82.12 83.65 77.65 84.41 94.04
14 Aceh Tamiang 93.41 95.46 97.04 97.87 98.25
15 Nagan Raya 85.76 83.45 89.60 88.59 93.58
16 Aceh Jaya 89.36 91.06 91.78 93.73 93.31
17 Bener Meriah 96.24 95.56 97.19 97.06 98.61
18 Pidie Jaya 92.56 93.83 92.93
19 Banda Aceh 99.05 98.56 98.09 98.95 99.10
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 40
Menurut jenis kelamin angka melek huruf penduduk laki-laki masih tetap
lebih tinggi dari pada peduduk perempuan masing-masing sebesar 97,95 persen
dan 94,99 persen. Di daerah perkotaan kesenjangan angka melek huruf antara
penduduk laki-laki dan perempuan lebih kecil yaitu sebesar 0,79 persen,
sedangkan di daerah perdesaan lebih besar yaitu sebesar 3,83 persen.
B. Angka Rata-rata Lama sekolah
Angka rata-rata lama sekolah provinsi Aceh (2005-2009) mengalami
peningkatan, pada tahun 2005 sebesar 8,4 tahun menjadi 8,63 tahun pada tahun
2009. Pada tahun 2009 kabupaten/kota yang memiliki angka rata-rata lama
sekolah terendah adalah Aceh Singkil sebesar 7,74 tahun dan yang tertinggi
Kota Banda Aceh sebesar 11,91 tahun (Tabel 2.11).
Tabel 2.11
Angka Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Aceh (dalam tahun) Tahun 2005 - 2009
2005 2006 2007 2008 2009
1 Simeulue 6.10 6.20 7.60 8.00 8.30
2 Aceh Singkil 7.70 7.70 7.70 7.70 7.74
3 Aceh Selatan 8.20 8.20 8.20 8.20 8.28
4 Aceh Tenggara 9.30 9.30 9.30 9.30 9.34
5 Aceh Timur 8.30 8.40 8.40 8.40 8.49
6 Aceh Tengah 9.00 9.00 9.27 9.29 9.44
7 Aceh Barat 8.20 8.20 8.20 8.20 8.23
8 Aceh Besar 9.40 9.40 9.48 9.48 9.51
9 Pidie 8.50 8.60 8.60 8.60 8.65
10 Bireuen 9.10 9.20 9.20 9.20 9.23
11 Aceh Utara 9.00 9.10 9.10 9.10 9.12
12 Aceh Barat Daya 7.40 7.50 7.50 7.50 7.63
13 Gayo Lues 8.60 8.70 8.70 8.70 8.71
14 Aceh Tamiang 8.30 8.40 8.40 8.40 8.77
15 Nagan Raya 6.40 6.70 7.32 7.32 7.34
16 Aceh Jaya 8.70 8.70 8.70 8.70 8.71
17 Bener Meriah 8.00 8.10 8.49 8.49 8.53
18 Pidie Jaya 8.00 8.00 8.00 8.38
19 Banda Aceh 11.20 11.20 11.86 11.86 11.91
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 41
C. Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar
Pembangunan pendidikan Aceh telah menghasilkan beberapa kemajuan
terutama dalam hal pemerataan akses terhadap pendidikan dasar, hal ini terlihat
dari beberapa indikator-indikator, seperti Angka Partisipasi Murni (APM) dan
Angka Partisipasi Kasar (APK). APM dan APK secara umum mengalami
peningkatan untuk periode 2007 sampai 2009.
Angka Partisipasi Murni (APM) Aceh untuk tingkat SD/MI/Paket A pada
tahun 2007 sebesar 94,66 persen meningkat menjadi 95,50 persen pada tahun
2009. Untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB/Paket B, pada tahun 2007 sebesar 86,62
persen meningkat menjadi 92,59 persen pada tahun 2009. Demikian juga untuk
tingkat SMA/MA/SMK/SMALB/Paket mengalami peningkatan, pada tahun 2007
sebesar 65,92 persen menjadi 70,26 pada tahun 2009 (Tabel 2.12). Selain itu,
diperkirakan terdapat 2,85 persen siswa kelompok usia sekolah dasar yang belajar
pada pendidikan non formal dan Dayah tradisional.
Tabel 2.12
Angka Partisipasi Murini dan Angka Partisipasi Kasar
Tahun 2007 – 2009
2007 2008 2009
1 SD/MI/Paket A 94,66 95,06 95,50
2 SMP/MTs/SMPLB/Paket B 86,52 89,49 92,59
3 SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 65,92 68,50 70,26
1 SMP/MTs/SMPLB/Paket B 96,59 97,16 101,28
2 SMA/MA/SMK/SMALB/Paket C 72,06 73,60 74,75
3 Perguruan Tinggi 19,00 19,15 19,40
Sumber: Dinas Pendidikan, 2010
A. Angka Partisipasi Murni (APM) :
B. Angka Partisipasi Kasar (APK) :
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 42
Angka Partisipasi Kasar (APK) pada tahun 2007 untuk tingkat
SMP/MTs/SMPLB/Paket B sebesar 96,59 persen meningkat menjadi 101,28 persen
pada tahun 2009. APK untuk tingkat SMA/MA/SMK/SMALB/Paket mengalami
peningkatan pada tahun 2007 sebesar 72,06 persen menjadi 74,75 pada tahun
2009. Demikian juga APK untuk tingkat Perguruan Tinggi pada tahun 2007
sebesar 19,00 persen meningkat menjadi 19,40 persen pada tahun 2009.
D. Angka Pendidikan yang Ditamatkan
Berdasarkan data statistik kependudukan tahun 2008, komposisi penduduk
Aceh berdasarkan tingkat pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut 24,20
persen tidak/belum tamat SD/sederajat, sebesar 26,84 persen menamatkan
SD/sederajat, 21,05 persen tamat SLTP/sederajat, 21,65 persen telah menamatkan
SLTA/sederajat, 2,82 persen telah menamatkan D-I/II/III, 3,27 persen
menamatkan D-IV/S1 dan 0,17 persen menamatkan S2/S3.
Berdasarkan tempat tinggal, penduduk perdesaan yang menamatkan
SD/sederajat sebesar 29,71 persen, SLTP/sederajat 22,28 persen, SLTA/sederajat
17,33 persen, D-I/II/III 2,42 persen, D-IV/S1 1,74 persen dan S2/S3 0,05 persen.
Sementara itu, penduduk perkotaan yang menamatkan SD/sederajat sebesar 18,28
persen, SLTP/sederajat 20,11 persen, SLTA/sederajat 35,90 persen, D-I/II/III 4,97
persen, D-IV/S1 7,48 persen dan S2/S3 0,49 persen.
2.3.2.2. Kesehatan
A. Angka Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi (AKB) Aceh mengalami penurunan dari tahun 2007
sebesar 35/1.000 Kelahiran Hidup (KH) menjadi 16/1.000 KH pada tahun 2009
(BPS, 2010). Penyebab utama kematian bayi adalah asfiksia, berat badan lahir
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 43
pedesaan, pada ibu yang berpendidikan rendah, dan masyarakat miskin.
Tantangan utama dalam penurunan kematian bayi adalah peningkatan akses
penduduk miskin terhadap pusat pelayanan kesehatan, ketersediaan sumberdaya
kesehatan yang memadai dan kualitas pelayanan.
Kematian bayi berhubungan juga dengan cakupan imunisasi. Secara umum
cakupan imunisasi yang telah dicapai provinsi Aceh menurut Riskesdas adalah
BCG 75,2 persen, Polio 66,2 persen, DPT 58,3 persen, HB3 54,3 persen dan
campak 71,4persen. Cakupan imunisasi BCG, Polio 3, DPT 3, Hepatitis B 3 dan
Campak pada anak usia 12-59 bulan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan
perdesaan, antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang menyolok
walaupun sedikit lebih tinggi pada perempuan (Riskesdas, 2007).
Secara umum persentase cakupan imunisasi dasar yang telah dicapai secara
lengkap di Provinsi Aceh sebesar 32,9 persen, tidak lengkap 53,2 persen dan tidak
sama sekali 13,9 persen. Cakupan imunisasi lengkap di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan perdesaan, dan antara laki-laki dan perempuan mempunyai
persentase yang hampir sama. Perbedaan cakupan imunisasi antara
kabupaten/kota dikarenakan perbedaan kemampuan dari tiap daerah seperti SDM
kesehatan, kurangnya kegiatan untuk menjangkau masyarakat yang disebabkan
oleh rendahnya anggaran operasional, persediaan vaksin yang kurang tepat
waktu, keterbatasan vaksin tiap daerah, cold chain yang sudah tua, dan masih
rendahnya peran serta masyarakat.
B. Angka Usia Harapan Hidup
Salah satu indikator utama untuk menunjukkan keberhasilan
pembangunan kesehatan adalah Usia Harapan Hidup (UHH) yang juga merupakan
salah satu komponen dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2008
ke-Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 44
19 (RPJP Kesehatan 2005-2025, 2009). Sedangkan secara internal Provinsi Aceh,
masih terdapat disparitas pencapaian UHH yaitu yang tertinggi di Kabupaten
Bireuen mencapai 72,28 tahun dan yang terendah di Kabupaten Simeulue
mencapai 62,84 tahun (Profil Kesehatan Aceh, 2009).
Selama periode 2007-2009 angka harapan hidup di Provinsi Aceh
mengalami peningkatan yaitu dari 68,4 menjadi 68,6. Hal ini menggamba bahwa
anak yang lahir pada tahun 2008 diperkirakan akan mampu bertahan hidup
rata-rata sampai berumur 68,4 tahun dan tahun 2009 terjadi peningkatan menjadi 68,6
tahun, berarti derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Aceh mengalami
peningkatan (Tabel 2.13).
2 Aceh Singkil 63.20 64.00 64.27 64.46 64.69
3 Aceh Selatan 65.70 66.50 66.61 66.71 66.82
4 Aceh Tenggara 68.90 69.10 69.11 69.16 69.19
5 Aceh Timur 69.10 69.30 69.41 69.52 69.63
6 Aceh Tengah 69.10 69.20 69.31 69.42 69.53
7 Aceh Barat 68.90 69.60 69.69 69.78 69.87
8 Aceh Besar 70.00 70.30 70.42 70.52 70.64
9 Pidie 68.40 68.70 68.94 69.11 69.32
10 Bireuen 72.20 72.20 72.22 72.28 72.32
11 Aceh Utara 69.10 69.30 69.41 69.52 69.63
12 Aceh Barat Daya 65.40 66.00 66.30 66.49 66.74
13 Gayo Lues 66.20 66.60 66.73 66.84 66.96
14 Aceh Tamiang 67.80 68.00 68.09 68.18 68.27
15 Nagan Raya 69.10 69.20 69.31 69.42 69.53
16 Aceh Jaya 67.00 67.80 67.84 67.91 67.97
17 Bener Meriah 66.40 67.20 67.31 67.41 67.52
18 Pidie Jaya 68.80 68.91 69.02 69.13
19 Banda Aceh 68.70 69.60 69.99 70.24 70.56
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025 45
C. Persentase Balita Gizi Buruk
Angka prevalensi balita menurut status gizi didasarkan pada indikator
Tinggi Badan per Usia (TB/U). Prevalensi masalah balita yang pendek secara
provinsi masih tinggi yaitu sebesar 44,6 persen. Selanjutnya, indikator lainnya
untuk menentukan anak harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah
indikator sangat kurus. Prevalensi balita sangat kurus menurut provinsi masih
cukup tinggi yaitu 9,2 persen. Secara umum, prevalensi balita kurus+sangat kurus
di propinsi Aceh adalah 18,3 persen, dan sudah berada di bawah batas kondisi
yang dianggap serius menurut indikator status gizi Berat Badan per Tinggi Badan
(BB/TB) yaitu 10 persen. Sedangkan prevalensi kegemukan di Aceh menurut
indikator BB/TB adalah sebesar 15,2 persen. Status gizi BB/U balita ditinjau dari
kelompok usia, maka terlihat bahwa prevalensi balita gizi kurang+buruk di
provinsi Aceh sudah tinggi pada semua kelompok usia dan meningkat menjadi
lebih tinggi mulai usia 24 bulan, kemudian menurun kembali pada kelompok usia
di atas 36 bulan.
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif juga memberikan pengaruh bagi
tumbuh kembang anak. Sebesar 35,7 persen bayi baru lahir diberikan Inisiasi
Menyusu Dini setelah melahirkan dan 28,3 persen diberikan ASI dalam jam
pertama kelahiran. Namun, terdapat 60,4 persen bayi baru lahir yang diberikan
selain ASI (DHS, 2008). Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 10.39
persen (Profil kesehatan Aceh, 2009).
D. Angka Kesakitan
Di sisi status kesakitan di Provinsi Aceh, penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) dan diare merupakan penyebab kesakitan tertinggi anak