• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja siswa SMP Muhammadiyah 22 Setia Budi Pamulang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja siswa SMP Muhammadiyah 22 Setia Budi Pamulang"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN EGOSENTRISME DENGAN

KOMPETENSI SOSIAL REMAJA SISWA SMP

MUHAMMADIYAH

SETIABUDI PAMULANG

Diajukan untuk memenuhi persyaratan kelulusan jenjang strata satu

Oleh: Fauzi Rahman

NIM: 102070026038

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

REMAJA SISWA SMP MUHAMMADIYAH

SETIABUDI

PAMULANG

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh: Fauzi Rahman NIM: 102070026038

Di Bawah Bimbingan: Pembimbing I,

Dra. Diana Mutiah, M.Si

19671021996032001

Pembimbing II,

Natris Indriyani, M.Psi

150411200

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDA YATU LLA H JAKARTA

(3)

iii

Skripsi yang berjudul Hubungan Egosentrisme dengan Kompetensi Sosial Remaja Siswa SMP Muhammadiyah Setiabudi Pamulang telah diujikan dalam sidang Munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 September

2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 6 September 2010

Sidang Munaqosyah Dekan/

Ketua Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D

130885522

Pembantu Dekan/ Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

195612231983032001

Anggota:

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si

196207241989032001

Gazi, M.Si

197112142007011014

Dra. Diana Mutiah, M.Si

19671021996032001

Natris Indriyani, M.Psi

(4)

iv Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fauzi Rahman

NIM : 102070026038

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Egosentrisme dengan Kompetensi Sosial Remaja Siswa SMP Muhammadiyah Setiabudi Pamulang adalah benar merupakan karya saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipan dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, September 2010

(5)

v

Ego adalah budak yang baik, namun tuan yang sangat buruk.

(Robert Frager, Ph.D)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan

bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara

kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

(6)

vi

(7)

vii

(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (B) September 2010

(C) Fauzi Rahman

(D) Hubungan Egosentrisme dengan Kompetensi Sosial Remaja (E) xv + 55 halaman + lampiran

(F) Remaja perlu memiliki kompetensi sosial, yakni sekumpulan kemampuan personal individu untuk berperilaku yang sesuai dan tepat dalam berinteraksi dengan orang lain, hingga menghasilkan hubungan sosial yang baik. Sementara itu seiring dengan perkembangan, dalam diri remaja terdapat kecenderungan pola pikir yang dapat menghambat penyesuaian tersebut, yakni adanya egosentrisme.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja serta mengungkap hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan egosentrisme dan kompetensi sosial remaja. Pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode korelasional, yakni mencari hubungan antara dua variabel yang melekat pada suatu populasi. Populasi penelitian ini adalah siswa/siswi SMP Muhammadiyah 22 Setiabudi Pamulang, kelas VII dan VIII, berjumlah 120 orang. Diambil sampel secara non-probabilitas purposif sejumlah 88 orang. Dari sampel penelitian, data dikumpulkan menggunakan dua instrumen skala perilaku model Likert. Skala egosentrisme remaja merupakan hasil modifikasi dan penyesuaian dari dua skala baku egosentrisme (Imaginary Audience Scale milik Walters, dkk. (1991), dan The New Personal Fable Scale dari Alberts, dkk. (2007)). Dan skala kompetensi sosial remaja juga merupakan hasil modifikasi dan penyesuaian dari skala baku keterampilan sosial milik Gresham & Elliot (1990).

Dari hasil uji validitas skala, pada skala egosentrisme memuat 20 aitem valid dari 25

aitem yang diuji, dan pada skala kompetensi sosial remaja memuat 23 aitem valid dari

34 aitem yang diuji. Reliabilitas kedua skala adalah kuat, sebesar α = 0,892 (N = 23) untuk skala kompetensi sosial dan sebesar α = 0,800 (N = 20) untuk skala egosentrisme remaja. Hasil uji hipotesis dengan rumus korelasi prodect moment dari Pearson, diketahui terdapat hubungan signifikan antara egosentrisme (baik imaginary audience maupun personal fable) dengan kompetensi sosial remaja. Di antara subjek penelitian tergambar bahwa rendahnya egosentrisme remaja cenderung diikuti dengan tingginya kompetensi sosial. Sementara itu, pada variabel usia dan jenis kelamin tidak didapat hubungan yang signifikan dengan egosentrisme dan kompetensi sosial remaja. Selanjutnya, untuk penelitian lebih lanjut disarankan agar memperhatikan variasi dan jumlah subjek yang diteliti, serta dapat mengembangkan instrumen penelitian yang sebaik-baiknya.

(8)

viii

Bismillâhirrahmânirrahîm.

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan nikmat, hidayah, serta pertolongan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW, beserta kepada seluruh keluarga, para sahabat, dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis merasa wajib menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas keterlibatan semua pihak yang telah memberi bantuan, dorongan, serta memfasilitasi penulis selama menjalani prosesnya. Oleh karena itu, penulis sepantasnya menyampaikan terima kasih kepada:

1) Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar, Ph.D, beserta jajaran dekanat lainnya, yakni Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si., Ibu Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, dan Bapak Bambang Suryadi, Ph.D.

2) Pembimbing I, Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si, dan pembimbing II, Ibu Natris Indriyani, S.Psi, M.Si. yang dengan ketulusan hati telah mencurahkan tenaga dan pikiran, serta meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini dengan semaksimal mungkin.

3) Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang telah membagi ilmu serta pengetahuannya kepada penulis selama studi di kampus ini.

4) Bapak dan Ibu staf Fakultas Psikologi yang telah banyak membantu memfasilitasi berbagai urusan penulis.

5) Bapak pimpinan beserta staf perpustakaan Fakultas Psikologi, perpustakaan utama Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang telah membantu memfasilitasi bahan-bahan bacaan untuk penulis selama melakukan studi dan menyusun skripsi.

(9)

ix

semua cinta, kasih, doa, motivasi, dan ketulusan yang diberikan dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini, serta semua yang telah dicurahkan untuk kebaikan ananda.

8) Kakak-adikku tercinta, Firmansyah, Fahmi Rifani beserta istri, Murniwati, dan Feny Cattleya atas dorongan, dukungan, serta semangat yang diberikan.

9) Teman-teman seperjuangan, teman-teman angkatan 2002 atas perhatian, bantuan, kerja sama, dan semangat yang diberikan.

10)Sahabat-sahabat di Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat, Ikatan Abiturient Darul Arqam, DeA 19/7, Komunitas Hijau, dan alumni SDI Muslimat atas dorongan, perhatian, celaan membangun, guyonan menggugah, serta semangat yang diberikan.

11)Pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu namun tak kalah memberikan kontribusi berarti dalam penyusunan skripsi ini.

Jakarta, September 2010

(10)

x

HALAMAN JUDUL ……… i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ………... iii

LEMBAR PERNYATAAN ………. iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Batasan Masalah ... 5

1.3. Rumusan Masalah ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

1.6. Sistematika Penulisan ... 7

(11)

xi

2.1.1. Pengertian ... 8

2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Sosial 10 2.1.3. Kompetensi Sosial Remaja ... 14

2.1.4. Aspek-aspek Kompetensi Sosial Remaja ... 19

2.2. Egosentrisme ... 20

2.2.1. Pengertian ... 20

2.2.2. Egosentrisme dalam Perkembangan Kognitif ... 21

2.2.3. Egosentrisme Remaja ... 24

2.2.4. Penyebab Egosentrisme Remaja ... 27

2.3. Kerangka Berpikir ... 30

2.4. Hipotesis ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 3.1. Jenis dan Pendekatan penelitian ... 33

3.2. Variabel Penelitian ...………... 33

3.3. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel …... 33

3.3.1. Definisi Konseptual Variabel ………... 33

3.2.2. Definisi Operasional Variabel ... 34

3.4. Populasi dan Sampel ... 35

3.4.1. Populasi ... 35

3.4.2. Sampel ... 35

(12)

xii

3.5.2. Instrumen Penelitian ... 36

3.5.3. Pengujian Instrumen dan Analisis Data ... 37

3.6. Prosedur Penelitian ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 4.1. Gambaran Subjek penelitian ... 39

4.2. Presentasi dan Analisis Data ... 40

4.2.1. Uji Instrumen Penelitian ... 40

4.2.1.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kompetensi Sosial ... 40

4.2.1.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Egosentrisme Remaja ... 41

4.2.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 43

4.2.2.1. Kategorisasi Variabel ... 43

4.2.2.2. Uji Hipotesis ... 45

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 5.1. Kesimpulan ... 49

5.2. Diskusi ... 49

5.3. Saran ... 51

(13)

xiii

(14)

xiv

Tabel . Cetak Biru Skala Egosentrisme ...

Tabel . Cetak Biru Skala Kompetensi Sosial Remaja ...

Tabel . Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia ...

Tabel . Cetak Biru Skala Kompetensi Sosial Remaja Setelah Uji

Validitas ...

Tabel . Cetak Biru Skala Egosentrisme Remaja Setelah Uji

Validitas ...

Tabel . Deskripsi Statistik Masing-masing Variabel ...

Tabel . Kategorisasi Egosentrisme ...

Tabel . Kategorisasi Kompetensi Sosial ...

Tabel . Tabulasi Silang Kategori Variabel ...

Tabel . Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial dengan Egosentrisme..

Tabel . Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial dengan Imaginary Audience ..………. Tabel . Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial Dengan Personal Fable .………... Tabel . Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial, Egosentrisme dan

Usia .……….

Tabel . Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial, Egosentrisme dan

(15)

xv

Lampiran Skala Kompetensi Sosial Remaja (tryout) Lampiran Skala Egosentrisme Remaja (tryout) Lampiran Skor Hasil Tryout

Lampiran Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Lampiran Surat Keterangan SMP Muhammadiyah Setiabudi Pamulang

Lampiran Skala Kompetensi Sosial Remaja

Lampiran Skala Egosentrisme Remaja

Lampiran Skor Penelitian

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

. Latar Belakang Masalah

Proses sosialisasi merupakan salah satu tugas perkembangan terpenting bagi anak-anak juga remaja. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya; dan kalau gagal, menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas berikutnya. Ditambahkan bahwa beberapa dari tugas-tugas perkembangan itu muncul sebagai akibat dari sejumlah faktor, pertama faktor kematangan fisik, seperti belajar berjalan; kedua faktor tuntutan budaya dari masyarakat, seperti belajar membaca; dan ketiga faktor aspirasi individual, seperti memilih dan mempersiapkan pekerjaan. Namun pada umumnya, tugas-tugas perkembangan muncul dikarenakan ketiga faktor tersebut secara sekaligus.

(17)

remaja menyebabkan kegoncangan dalam dirinya. Hingga remaja seringkali menampilkan perilaku-perilaku yang buruk, atau bahkan menyimpang dari norma. Dalam laporan tahunan dari Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), dinyatakan bahwa angka kenakalan remaja mengalami kenaikan sepanjang tahun 2009 . Kenaikan yang terjadi bahkan melonjak drastis jika di banding tahun 2008. Di tahun 2009, terjadi 26 kasus kenakalan remaja, yaitu mengalami kenaikan 160 persen jika dibanding tahun 2008 yang hanya mencapai 10 kasus (Republika, 2009/12/30).

Dalam konteks tugas perkembangan dan proses sosialisasi, fenomena kondisi remaja tersebut jelas menjadi hambatan dalam perkembangan sosialnya. Para remaja yang terjebak dalam kecenderungan perilaku-perilaku bermasalah akan mendapat stigma buruk yang kuat dari masyarakat. Akibatnya mereka akan menemui kesulitan untuk mengembangkan perilaku sosial yang baik karena lingkungan sosial terlanjur memberi cap buruk terhadap mereka. Untuk penyesuaian diri serta sosial yang baik, remaja sebenarnya dapat mengembangkan sejumlah kemampuan dan perilaku positif dalam pergaulannya di lingkungan sosial. Kemampuan itu dapat disebut sebagai kompetensi sosial. Secara sederhana, kompetensi sosial dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak secara bijaksana dalam hubungan antar manusia (Thorndike, 1920, dalam Smart & Sanson, 2003).

(18)

gangguan emosional berat (serious emotional disturbances-SEDs) dan dirawat pada sebuah pusat perawatan setempat. Hasilnya ditemukan bahwa subjek penelitian tersebut memang memiliki masalah perilaku yang serius dan kekurangan dalam kompetensi sosialnya. Jadi, terdapat hubungan negatif signifikan antara masalah perilaku remaja dengan kompetensi sosialnya.

Secara positif kompetensi sosial banyak terkait dengan sejumlah perilaku sosial yang baik dan memberi kontribusi terhadap tercapainya penyesuaian terhadap lingkungan sosial yang baik. Sebuah studi dilakukan oleh Smart & Sanson (2003) terhadap 940 anak muda Australia (41 persen laki-laki dan 59 persen perempuan) yang berusia 19-20 tahun untuk mengungkap hubungan antara kompetensi sosial dengan beberapa aspek dari penyesuaian dan kebaikan diri (seperti memiliki hubungan yang erat dengan orangtua, kemampuan komunikasi yang baik, kualitas pertemanan yang baik, dan sikap sosial yang baik). Kemudian diketahui bahwa anak-anak muda yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi diketahui lebih memiliki hubungan yang erat serta jarang mengalami konflik dengan orangtua mereka. Di samping itu, mereka juga lebih dapat memiliki hubungan pertemanan yang berkualitas dan sedikit mengalami keterasingan oleh teman-teman. Jadi disimpulkan bahwa sejumlah aspek dari kompetensi sosial yang dimiliki para subjek dapat menjadi faktor penting dalam penyesuaian dan kebaikan diri mereka.

(19)

yang memiliki body image negatif memiliki kompetensi sosial yang rendah. Selain itu, menurut hasil penelitian Santoso (2009), didapat remaja perempuan memiliki kepercayaan diri dan kompetensi sosial yang lebih tinggi ketimbang remaja laki-laki. Dari kedua penelitian tersebut, diketahui bahwa kompetensi sosial memiliki kaitan yang positif dengan kepercayaan dan pencitraan diri remaja.

Saat memasuki masa remaja mulai muncul suatu ciri pemikiran khusus yang disebut dengan egosentrisme remaja. Secara umum, egosentrisme dimaknai sebagai keterbatasan membedakan hubungan subjek-objek (Piaget, 1929 & 1958, dalam Greene, Walters, Rubin, & Hale, 1996). Secara lebih spesifik, egosentrisme remaja merujuk pada kesadaran individu bahwa ia menjadi pusat perhatian lingkungan sosialnya, dibarengi dengan pemikiran bahwa selain dirinya tidak ada orang yang memahaminya. Beberapa studi melaporkan bahwa egosentrisme berkaitan dengan hubungan interpersonal remaja, yakni tingkat egosentrisme yang tinggi pada diri remaja berhubungan dengan macam-macam masalah dalam hubungan interpersonalnya (Jahnke, HC & Blanchard-Fields, F, 1993; Vartanian, LR, 2001; Burack, JA, Flanagan, T, Peled, T, Sutton, HM, Zygmuntowicz, C, & Manly, JT, 2006; dalam Yamamoto, M, Tomotake, M, & Ohmori, T, 2008).

(20)

Kuczkowski, 1994, dalam Smetana & Villalobos, Lerner & Steinberg, 2009). Dari beberapa hasil temuan penelitian mengenai egosentrisme di atas dapat dikatakan bahwa fenomena egosentrisme remaja memiliki hubungan dengan sejumlah perilaku sosial remaja.

Berdasarkan fakta tersebut di atas serta menyadari pentingnya aspek kompetensi sosial pada diri remaja, maka penulis merasa tertarik untuk mengungkap hubungan antara egosentrisme remaja dengan kompetensi sosialnya melalui penelitian ini.

. Batasan Masalah

Adapun pada penelitian ini, masalah penelitian dibatasi seperti sebagai berikut:

• Egosentrisme remaja yang dimaksud adalah kecenderungan untuk memandang dunia dari perspektif pribadi seseorang tanpa menyadari bahwa orang lain bisa memiliki sudut pandang yang berbeda. Kecenderungan tersebut memiliki dua bentuk berbeda, yakni imaginary audience dan personal fable.

• Kompetensi sosial remaja adalah sejumlah kemampuan dan perilaku remaja yang digunakan untuk bertindak secara bijaksana dalam hubungan sosial. • Sebagai subjek pada penelitian ini adalah remaja awal siswa/siswi SMP

Muhammadiyah 22 Setiabudi Pamulang dengan rentang usia 11-14 tahun.

. Rumusan masalah

(21)

• Apakah terdapat hubungan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja?

• Apakah terdapat hubungan antara imaginary audience dengan kompetensi sosial remaja?

• Apakah terdapat hubungan antara personal fable dengan kompetensi sosial remaja?

• Apakah terdapat hubungan antara usia, egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja?

• Apakah terdapat hubungan antara jenis kelamin, egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja?

. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan bertujuan untuk mengungkap hubungan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja serta mengungkap perbedaan usia dan jenis kelamin dalam hubungan egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja.

. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menyediakan/menambah data-data empiris mengenai tema penelitian, sekaligus menambah khazanah dan wawasan keilmuan di bidang psikologi perkembangan atau pendidikan.

(22)

remaja sehingga dapat dikembangkan pola asuh dan didik yang sesuai dengan perkembangannya.

. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: • Bab 1, merupakan pendahuluan. Mencakup latar belakang masalah

penelitian, lalu identifikasi, pembatasan, serta rumusan masalah. Selanjutnya tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. • Bab 2, kajian teori. Berisi penjelasan teoritis mengenai permasalahan yang

diteliti, kerangka berpikir peneliti, dan pengajuan hipotesis oleh peneliti. • Bab 3, metodologi penelitian. Mengungkapkan metodologi penelitian yang

digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan penelitian, variabel-variabelnya, teknik pengambilan sampel dan pengumpulan data, serta prosedur penelitian.

• Bab 4, presentasi dan analisa data. Menjelaskan tentang hasil-hasil penelitian yang diperoleh mencakup gambaran umum responden, hasil uji instrumen penelitian, dan deskripsi hasil akhir penelitian.

(23)

BAB II

KAJIAN TEORI

. Kompetensi Sosial

. Pengertian

Definisi dari kompetensi sosial adalah sama banyaknya dengan jumlah peneliti yang mengkajinya (Rubin & Rose-Krasnor, 1992 dalam Meisels, Atkins-Burnett, & Nicholson, 1996), sekaligus memuat variasi makna yang banyak pula. Berikut beberapa pengertian kompetensi sosial menurut beberapa peneliti.

Kompetensi sosial dapat diartikan sebagai sejumlah kemampuan serta perilaku yang meliputi aspek sosial, emosional, dan kognitif yang dibutuhkan anak-anak untuk dapat menyesuaikan diri sebaik-baiknya dengan masyarakat (Welsh & Bierman, 2001).

Ford (1982), Waters & Sroufe (1983), & Zigler (1973) dalam Chen, Li, Li, Li, & Liu (2000) mendefinisikan kompetensi sosial sebagai kemampuan untuk bertindak secara efektif dan tepat pada berbagai situasi sosial. Ditambahkan bahwa aspek efektivitas dan penerimaan sosial merupakan dua hal yang paling sering ditekankan dalam pengertian kompetensi sosial. Artinya, seseorang yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi cenderung menampilkan perilaku yang efektif dan dapat diterima dalam hubungan sosialnya.

(24)

hubungan sosial yang baik dan menghindarkannya dari respon-respon sosial yang buruk. Mereka lantas mengajukan beberapa kriteria pencapaian kompetensi sosial, di antaranya:

a) Adanya kebaikan (kindness), kerja sama (cooperation), dan kerelaan yang pantas (appropriate compliance), serta tidak menampilkan sikap bermusuhan atau menentang.

b) Ekstroversi (kecenderungan untuk menampilkan minat terhadap orang atau sesuatu hal), seperti bersosialisasi secara aktif, dan tidak takut-takut atau menarik diri dalam berinteraksi dengan orang lain.

c) Memiliki kemampuan komunikasi sosial, misalnya mampu memahami bahasa non-verbal orang, mampu berhumor dan menanggapi humor orang, serta mampu secara tepat mengajukan dan merespon usul.

Selanjutnya, Gresham & Elliot (1990, dalam Smart & Sanson, 2003) memaknai kompetensi sosial sebagai cara-cara berperilaku yang dipelajari agar seseorang dapat berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Cara-cara tersebut meliputi sejumlah tindakan dan respon individu yang pantas secara sosial, seperti berbagi, menolong, bekerja sama, memulai hubungan interpersonal, peka dalam berinteraksi dengan orang, dan menghadapi situasi konflik dengan baik.

(25)

. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Sosial

Fabes, Gaertner, & Popp (dalam McCartney & Philips, 2006) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi sosial. Ke semuanya menggambarkan berbagai kondisi dasar yang dapat memberi kontribusi terhadap pencapaian kompetensi sosial di kemudian hari. Di antaranya adalah sebagai berikut.

a) Temperamen

Istilah temperamen secara umum digunakan untuk merujuk pada pola perilaku secara mendasar dan menjelaskan perbedaan individu dalam bertingkah laku sejak dari tahun pertama masa kanak-kanak awal. Perilaku yang dimaksud mencerminkan kondisi khas emosi, motorik, dan perhatian terhadap stimulus bagi setiap individu; dan perilaku tersebut secara potensial mempengaruhi kemampuannya dalam membentuk hubungan sosial yang positif.

Chess & Thomas (1977, 1987, 1991, dalam Santrock, 2002) mengemukakan bahwa sejak kanak-kanak, seorang individu telah memiliki kecenderungan memiliki temperamen tertentu, seperti sebagai berikut.

1) Anak bertemperamen sedang (easy child), pada umumnya memiliki suasana hati yang positif, cepat membangun rutinitasnya yang teratur pada masa bayi, dan mudah menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalaman baru.

(26)

rutin sehari-hari secara tidak teratur, dan lambat menerima pengalaman-pengalaman baru.

3) Anak bertemperamen rendah (slow-to-warm-up child), memiliki tingkat aktivitas yang rendah, agak negatif, memperlihatkan daya adaptasi yang rendah, dan memperlihatkan intensitas suasana hati yang rendah.

Banyak peneliti meyakini temperamen telah menjadi karakteristik yang tetap pada diri individu sejak masa yang amat muda (bayi), tetapi dapat terus terbentuk dan diperbarui oleh pengalaman-pengalaman hidup seiring dengan perkembangannya (Goldsmith, 1988; Thomas & Chess, 1987, dalam Santrock 2002). Jadi, seseorang terlahir dengan memiliki karakteristik tertentu pada temperamennya, namun pada perkembangan selanjutnya temperamen tersebut dipengaruhi oleh respon-respon yang diterima selama dalam pengasuhan orangtua dan juga pengalaman hidup individu dalam lingkungan sosialnya.

b) Faktor keterampilan sosio-kognitif

(27)

Dengan demikian, saat individu berinteraksi dengan orang lain, atau berperilaku dalam situasi sosial pikirannya membantu mengatur tingkah laku yang akan dimunculkan sedemikian rupa hingga memungkinkannya bersosialisasi secara efektif.

Paling tidak terdapat dua hal penting dalam kognisi sosial, yaitu pemrosesan informasi dan pengetahuan sosial. Dodge (1983, dalam Santrock, 2002) meyakini bahwa ketika seseorang melakukan interaksi sosial, ia melampaui lima tahap dalam memroses informasi tentang dunia sosialnya, yaitu membaca kode/sandi isyarat-isyarat sosial, menginterpretasikan, mencari suatu respon, memilih respon yang optimal, dan bertindak. Jadi, bagaimana seseorang berperilaku dalam interaksi sosialnya ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsi perilaku-perilaku orang lain, dan juga bagaimana pikirannya memberi pertimbangan tentang pilihan respon/tindakan yang akan diambil orang tersebut.

Di samping itu, pengetahuan sosial juga dilibatkan dalam kemampuan individu agar dapat akrab dengan lingkungan sosialnya. Yaitu pengetahuan tentang arti dan tujuan-tujuan dari relasi sosial, nilai-nilai yang berlaku dalam berhubungan sosial, pentingnya membangun interaksi sosial yang baik, serta pengetahuan tentang kondisi emosi dirinya ataupun orang lain. Semua pengetahuan tersebut terus berkembang sesuai dengan pengalaman individu menjalani interaksi sosial dari waktu ke waktu, dan sejalan dengan pengertian yang ditanamkan oleh pengasuh atau orangtua.

(28)

Bahasa merupakan cara utama bagi seseorang untuk membangun interaksi, mengelola hubungan dengan orang lain, dan membangun kontak interpersonal. Dapat dipahami bahwa individu dengan keterampilan bahasa yang rendah tidak dapat menjalin hubungan sosial dengan baik. Kapasitas untuk memahami orang lain, serta menunjukkan kebutuhan, pikiran, dan tujuan-tujuan individu seringkali tergantung pada kemampuan berbahasanya. Jika seseorang mampu mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhnnya dengan baik dalam interaksi sosialnya, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah orang yang kompeten secara sosial. Bagaimanapun, bahasa dan komunikasi merupakan sarana terpenting dalam hubungan sosial atau proses sosialisasi.

Di samping tiga hal di atas beberapa faktor lain dapat pula memberi kontribusi terhadap kompetensi sosial anak, di antaranya yaitu:

a) Faktor keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial paling awal bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Kompetensi sosial seseorang berkembang seiring pengalamannya mendapat perlakuan sosial dalam keluarga. Atkinson, Atkinson, Smith, & Biem (1990) mengungkapkan, cara bagaimana orangtua merespon terhadap kebutuhan-kebutuhan anaknya – secara sabar, dengan kehangatan dan perhatian, atau secara kasar, dengan sedikit kepekaan – akan mempengaruhi hubungan si anak dengan orang lain hingga kelak di kemudian hari setelah ia dewasa.

(29)

Seseorang yang di masa kecilnya mengikuti program pendidikan prasekolah atau mendapatkan kesempatan lebih awal untuk berinteraksi sosial dengan pihak selain keluarga, cenderung lebih mudah mencapai kompetensi sosial yang matang. Ketersediaan kesempatan yang luas sejak masa paling dini memungkinkan seseorang memperoleh latihan dan pengalaman sosial yang kaya hingga dapat mendukung terhadap pencapaian kompetensi sosial yang tinggi. Hurlock (1980) menyatakan, kalau pada saat anak berusia empat tahun telah mempunyai pengalaman sosialisasi pendahuluan, biasanya ia mengerti dasar-dasar permainan kelompok, dan sadar akan pendapat orang lain. Pengertian akan dasar-dasar interaksi sosial dalam permainan serta kesadaran akan adanya pandangan orang lain sangatlah penting dalam menunjang kompetensi sosial anak.

Dari beberapa faktor di atas, tiga yang awal dapat dikategorikan sebagai faktor internal (inheren dalam diri individu) dan dua yang terakhir merupakan faktor eksternal (berasal dari luar diri individu). Meskipun faktor-faktor internal cenderung dipahami sebagai faktor-faktor bawaan, tapi faktor-faktor-faktor-faktor tersebut terus berkembang sesuai dengan pengalamannya belajar dalam lingkungan sosial.

. Kompetensi Sosial Remaja

(30)

yang berhubungan dengan penyesuaian sosialnya. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.

Agar mencapai perkembangan sosial yang optimal, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Di antara yang paling penting adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya (peers). Selama masa kanak-kanak, seseorang baik laki-laki atau perempuan sangat terorientasi pada peran orangtua. Ketika memasuki remaja, peran orangtua menjadi berkurang dan digantikan oleh peran kelompok sebaya yang pengaruhnya begitu kuat. Hurlock (1980) mencontohkan, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka memakai pakaian yang sama dengan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minuman alkohol, obat-obat terlarang, atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri akan akibatnya.

(31)

terjadi pula pengelompokan sosial baru. Teman-teman di masa kanak-kanak dulu berangsur-angsur berganti dengan teman-teman baru disertai adanya pola hubungan yang lebih serius dan matang ketimbang masa kanak-kanak.

Penyesuaian yang juga penting bagi remaja adalah karena munculnya nilai-nilai baru dalam pola pergaulan remaja. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai dalam seleksi persahabatan, dalam dukungan dan penolakan sosial, serta dalam memilih pemimpin kelompok (Hurlock, 1980). Para remaja tidak lagi memilih teman berdasarkan kemudahannya sebagaimana halnya pada masa kanak-kanak. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa nyaman, dan yang kepadanya ia dapat mempercayakan hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua ataupun guru. Remaja juga mempunyai nilai baru dalam menerima atau menolak teman-teman sebaya sebagai bagian dari kelompok. Utamanya didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk menilai anggota-anggota kelompok. Dalam hal menentukan pemimpin kelompok, remaja menginginkan pemimpin yang berkemampuan tinggi yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang-orang lain, dan dengan demikian akan menguntungkan mereka. Ini didasari pada pemikiran bahwa pemimpin kelompok sebaya mewakili diri mereka dalam masyarakat yang lebih besar.

(32)

(youngsters) untuk mengatasi sekaligus melampaui macam-macam kesulitan dalam proses penyesuaian.

Dalam studinya Smart & Sanson (2003) memberi gambaran tentang kompetensi sosial remaja. Remaja dengan kompetensi sosial yang tinggi sedikit sekali mengalami perasaan tertekan (depressed), cemas (anxious), ataupun stres. Mereka juga amat kurang menampilkan perilaku yang buruk, dan merasa sangat puas dengan kehidupan yang dijalaninya.

Welsh & Bierman (2001) mengungkapkan bahwa remaja yang menampilkan tingkat kompetensi sosial yang tinggi selalu dapat diterima dengan baik dalam komunitas sosialnya. Mereka begitu bersahabat, mudah bekerja sama, dan bercakap-cakap dengan amat baik dengan orang lain. Teman-teman sebaya sering menggambarkan mereka sebagai orang yang suka menolong, baik, pengertian, atraktif, serta bagus dalam permainan. Remaja yang kompeten dalam hubungan sosial, biasanya mampu menyadari cara pandang orang lain dan mampu menghadapi situasi konflik dengan tetap tenang.

(33)

mempunyai pemahaman dan kecakapan hubungan sosial yang tidak matang dan terbelakang (Groot, 2009).

Selanjutnya Smart & Sanson (2003) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan tingkat kompetensi sosial di antara remaja laki-laki dan perempuan. Berbagai kecakapan yang menjadi bagian dari kompetensi sosial cenderung ditampilkan lebih menonjol oleh remaja perempuan ketimbang remaja laki-laki. Dijelaskan bahwa dorongan dari norma serta harapan sosial yang menginginkan remaja perempuan agar lebih kooperatif (penurut, hormat terhadap figur orangtua/guru), dan memiliki tanggung jawab (taat, memenuhi tugas-tugas yang diberikan) lebih membantu mereka dalam mengembangkan kompetensi sosial ketimbang remaja laki-laki. Demikian pula, proses sosialisasi dalam keluarga dan pengalaman-pengalaman mendapat pengasuhan selama kanak-kanak turut menyokong perkembangan emosional dan rasa empati para remaja perempuan, sementara remaja laki-laki kurang mendapatkan dorongan tersebut.

(34)

. Aspek-aspek Kompetensi Sosial Remaja

Sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal, kompetensi sosial didefinisikan dengan amat bervariasi oleh para ilmuwan. Dengan demikian, aspek-aspek yang berkaitan dengannya juga bervariasi. Misalnya, Hair, Jager, & Garrett (2001) mengajukan bahwa kompetensi sosial meliputi dua ranah, yaitu macam-macam keterampilan dalam hubungan interpersonal (interpersonal skills), dan sejumlah atribut personal (personal attributes). Termasuk dalam keterampilan-keterampilan dalam hubungan sosial di antaranya, kemampuan penyelesaian konflik/masalah, keakraban dengan orang lain, dan perilaku prososial. Dan yang termasuk di antara atribut personal, yaitu kemampuan pengendalian diri, kepercayaan sosial (social confidence) meliputi perilaku asertif, efikasi diri, dan inisiatif dalam hubungan sosial, serta sikap empati dan simpati.

Berikut merupakan aspek-aspek kompetensi sosial remaja sebagaimana dikemukakan oleh Gresham & Elliott (1990, dalam Smart & Sanson, 2003).

a) Assertif, yaitu perilaku berinisiatif seperti menanyakan informasi kepada orang lain, memperkenalkan diri, dan menanggapi tindakan orang lain.

b) Kooperatif, meliputi perilaku seperti menolong orang, berbagi sesuatu, menaati aturan, serta memenuhi permintaan orang.

(35)

d) Tanggung jawab, yaitu menggambarkan kemampuan berkomunikasi dengan orang dewasa dan penghormatan terhadap kepemilikan benda atau pekerjaan yang dilakukan.

e) Pengendalian diri, yaitu perilaku-perilaku yang muncul saat situasi konflik, meliputi tindakan tepat ketika menghadapi hal-hal yang mengganggu, atau berkompromi akan sesuatu.

Aspek-aspek kompetensi sosial menurut Gresham & Elliott di atas akan digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur tingkat kompetensi sosial subjek.

. Egosentrisme

Pengertian

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, egosentrisme didefinisikan sebagai sifat dan kelakuan yang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat segala hal. Sedangkan dalam wikipedia, istilah egosentrisme (egocentrism) disebutkan berasal dari kata bahasa Yunani dan Latin “ego” yang artinya saya, aku, atau diri. Egosentrisme merupakan istilah psikologi yang bermakna diferensiasi yang tidak sempurna antara diri (the self) dengan dunia di luar diri (the world), termasuk orang lain; kecenderungan individu untuk melihat (perceive), memahami (understand), dan menafsirkan (interpret) dunia menurut pandangan dirinya.

(36)

didefinisikan sebagai kecenderungan menilai obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa berdasarkan kepentingan pribadi dan menjadi kurang sensitif terhadap kepentingan-kepentingan atau hal-hal yang menyangkut orang lain; menurut Piaget, merupakan ketidakmampuan memahami bahwa orang lain juga mempunyai kepentingan atau pandangan yang mungkin berbeda dengan yang dimilikinya (Kartono & Gulo, 2003).

Shaffer (2009) mendefinisikan egosentrisme sebagai kecenderungan untuk memandang dunia dari perspektif pribadi seseorang tanpa menyadari bahwa orang lain bisa memiliki sudut pandang yang berbeda.

Dari beberapa pengertian umum yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil titik temu bahwa egosentrisme adalah kemampuan persepsi yang terbatas pada kepentingan dan/atau kebutuhan pribadi, tidak berorientasi pada pemisahan/pembedaan antara diri sendiri dengan orang/objek lain.

. Egosentrisme dalam Perkembangan Kognitif

Diketahui bahwa terminologi egosentrisme berhubungan dengan teori perkembangan kognitif Piaget (1896-1980). Maka perlu dibahas secara singkat mengenai salah satu pokok teori Piaget tersebut, yaitu tentang stadium perkembangan kognitif. Berdasarkan observasinya, Piaget menjadi yakin bahwa kemampuan berpikir dan bernalar anak berkembang melalui sejumlah stadium yang berbeda secara kualitatif bersamaan dengan kematangan mereka (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1990).

(37)

Selama masa ini, perkembangan mental dicirikan oleh beberapa kemampuan bayi (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem, 1990).

a) Diferensiasi antara diri dengan objek, yaitu kesadaran pemikiran bayi bahwa dirinya terpisah/berbeda dari dunia luar.

b) Bayi mengenali dirinya sebagai subjek/pelaku dari suatu tindakan dan mulai bertindak dengan sengaja, misalnya menggoyang-goyangkan mainan untuk menghasilkan bunyi.

c) Mencapai kepermanenan objek (object permanency), yaitu menyadari bahwa benda-benda terus ada walaupun tidak lagi tertangkap indera.

Stadium kedua adalah praoperasional. Berlangsung mulai usia 2 hingga 7 tahun. Ciri-ciri perkembangan mental yang utama di antaranya, anak mulai belajar menggunakan bahasa dan merepresentasikan objek melalu citra dan kata-kata; munculnya egosentrisme, yaitu keterbatasan pemikiran yang kesulitan dalam memandang dari sudut pandang orang lain; dan mengklasifikan objek dengan ciri tunggal, contohnya mengelompokkan semua balok merah tanpa memandang bentuknya atau semua balok persegi tanpa memandang warnanya.

(38)

dan mampu mengklasifikasikan objek menurut beberapa ciri sekaligus dapat mengurutkannya secara serial mengikuti dimensi tunggal, seperti ukuran.

Stadium perkembangan kognitif yang terakhir adalah operasional formal. Dimulai sejak usia 11 tahun hingga tahun-tahun selanjutnya. Pada tahap ini individu telah sampai pada model pemikiran dewasa atau mencapai tahap kematangan intelektual. Di antara cirinya seperti, mampu berpikir secara logis tentang masalah abstrak lalu menguji hipotesis secara sistematik. Selain itu, dengan kematangan pemikiran yang diperoleh, individu dapat memahami masalah-masalah kompleks seperti cinta, masa depan, atau yang menyangkut dengan idealisme.

Dari penjelasan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif di atas, diketahui bahwa masing-masing tahap memiliki ciri-ciri yang khas dari kemampuan berpikir individu. Meski egosentrisme disebut sebagai salah satu ciri yang menonjol dari pemikiran praoperasional, namun diyakini bahwa egosentrisme (sebagai keterbatasan dalam membedakan hubungan subjek-objek) timbul pada permulaan tiap-tiap pencapaian kemampuan kognitif baru. Piaget (1962, dalam Alberts, Elkind, & Ginsberg, 2007) menyatakan bahwa egosentrisme dapat terwujud secara unik dalam pemikiran-pemikiran serta tindakan-tindakan pada setiap tahap perkembangan mental.

(39)

bisa saja memiliki nama yang berbeda, begitu pula bahwa nama bisa saja diubah untuk objek yang sama. Setelah usia 6 atau 7 tahun dan mencapai pemikiran operasional konkret, anak terbebas dari egosentrisme kata-kata dan benda, tetapi terkena “sasaran” timbulnya bentuk baru dari egosentrisme. Pada tahap ini anak tidak mampu membedakan antara ‘diri’ yang dibangun dalam pikiran dengan yang ada pada kenyataan. Ketika sedang bermain sebuah permainan yang memerlukan strategi, anak usia sekolah lebih terpaku pada strategi awal dan mencoba memaksakan fakta-fakta baru agar cocok dengan pemikiran akan strategi awal tersebut. Ketika pemikiran operasional formal tercapai, individu terbebas dari model pemikiran egosentrisme hipotetis seperti yang dilakukan anak sekolah tersebut. Tetapi muncul sebuah tipe baru dari egosentrisme, yaitu egosentrisme yang menimbulkan keyakinan bahwa pikiran-pikiran orang lain tertuju pada diri subjek.

. Egosentrisme Remaja

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, egosentrisme remaja terjadi dalam transisi dari pemikiran operasional konkret menuju operasional formal. Elkind (1967, 1976, & 1978, dalam Santrock, 2003) mengemukakan dua bentuk egosentrisme remaja, yaitu imaginary audience dan personal fable. a) Imaginary audience

(40)

amat besar terhadap diri mereka sebesar perhatian mereka sendiri, dan melebihi dari apa yang sesungguhnya terjadi.

Greene, Rubin, & Hale (1995) menambahkan, para remaja yang terlalu memperhatikan dirinya secara berlebihan memperluas keasyikannya tersebut dan menganggap bahwa orang lain sama asyiknya seperti mereka dalam memperhatikan diri mereka.

Santrock (2003) mengemukakan bahwa gejala imaginary audience mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian seperti keinginan agar kehadirannya diperhatikan, semua aktivitasnya disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian. Ditambahkan bahwa remaja terutama merasa bahwa mereka “ada di atas panggung” dan beranggapan bahwa merekalah pemeran utamanya, sementara orang lain adalah penontonnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gejala imaginary audience lebih merupakan produk dari pikiran atau hanya ada dalam pikiran remaja, dan bukan yang sebenarnya terjadi.

b) Personal fable

(41)

Alberts, Elkind, & Ginsberg (2007) menjelaskan bahwa personal fable merupakan akibat wajar dari imaginary audience. Dengan remaja berpikir bahwa dirinya sebagai pusat perhatian orang lain membuatnya percaya bahwa perhatian orang tersebut adalah karena dirinya spesial dan unik. Greene, Walters, Rubin, & Hale (1996) menyatakan bahwa personal fable dicirikan oleh ketidakmampuan untuk membayangkan bahwa diri (the self) bisa saja sama dengan orang lain, dan menghasilkan perasaan ke-diri-an yke-diri-ang ekstrim (extreme individuation). Keyakinan akan keunikan tersebut membuat remaja berpikir seperti misalnya, orang lain bisa saja tidak menyadari keinginan mereka, tapi saya tidak demikian; atau, orang lain bisa saja kecanduan narkoba, tapi saya tidak akan seperti itu, dan sebagainya. Karenanya, gejala-gejala dari personal fable dipercaya sebagai pemicu sejumlah perilaku ceroboh remaja

(42)

orang lain dan sanggup menghadapi berbagai kesulitan, dan kekhususan (speciality), yaitu perasaan bahwa diri remaja sangat khusus dan unik, serta tidak ada orang lain yang dapat memahaminya.

Greene, Walters, Rubin, & Hale (1996) mengungkapkan bahwa secara teoritis egosentrisme remaja (imaginary audience dan personal fable) semestinya muncul di usia 11 atau 12 dengan dimulainya transisi pemikiran menuju operasional formal. Dan tergantung pada proses perkembangan, biasanya egosentrisme mulai berkurang di usia 16 atau 17, atau mungkin saja di usia 15. Secara umum, egosentrisme memiliki hubungan terbalik (inversely related) dengan usia, artinya semakin bertambahnya usia maka egosentrisme akan semakin berkurang.

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa egosentrisme remaja adalah fenomena yang wajar dan umum terjadi di masa remaja sebagai bagian dari perkembangan kognitifnya. Egosentrisme remaja merupakan sebuah fase transisi model pemikiran yang terjadi sebelum remaja mencapai model pemikiran yang lebih matang sesuai perkembangannya. Secara akademis, mengkaji egosentrisme remaja lebih lanjut adalah penting. Bertujuan untuk mengungkap berbagai aspek yang berkaitan dengannya hingga gambaran yang lebih utuh mengenai fenomena tersebut dapat diperoleh.

. Penyebab Egosentrisme Remaja

(43)

Santrock (2003) mengemukakan bahwa Elkind (1985) sebagai penggagas utama ide egosentrisme remaja dan beberapa ilmuwan lain berbeda pandangan dalam memahami bagaimana egosentrisme remaja muncul. Dinyatakan bahwa Elkind (1985 dalam Santrock, 2003)) meyakini munculnya egosentrisme remaja adalah disebabkan oleh adanya cara berpikir operasional formal.

Menurut Elkind (1976), cara berpikir operasional formal memungkinkan remaja untuk menyadari betul segala perasaan dan pikiran yang dimilikinya, serta yang dimiliki oleh orang lain. Dengan keasyikannya (preoccupation) memikirkan dan memperhatikan berbagai perubahan fisik serta kemunculan perasaan-perasaan baru pada dirinya, remaja lalu membentuk anggapan bawa orang lain turut memperhatikan apa yang diperhatikannya. Elkind (1976) menyebut hal tersebut sebagai assumptive psychologies, yakni anggapan bahwa apa yang khas dimiliki olehnya, merupakan sesuatu yang umum bagi orang-orang lain; dan apa yang umum bagi orang kebanyakan adalah sesuatu yang unik bagi dirinya. Pikiran semacam inilah yang menjadi dasar atas timbulnya pemikiran egosentrisme pada remaja berupa imaginary audience dan personal fable.

(44)

pengambilalihan cara pandang (perspective-taking) (Gray & Hudson, 1984; Jahnke & Blanchard-Fields, 1993; Lapsley, 1985, 1990, 1991, 1993; Lapsley, dkk., 1986; Lapsley & Murphy, 1985; lapsley & Rice, 1988; O’Coor &Nikoli, 1990; dalam Santrock, 2003). Berdasarkan teori dari Robert Selman (1980, dalam Santrock, 2003), perspective-taking dimaknai sebagai kemampuan untuk mempergunakan cara pandang orang lain dan memahami pemikiran serta perasaan orang tersebut.

Di samping itu, sejalan dengan pendapat para ilmuwan di atas, secara tegas Lapsley (1991 & 1993, dalam Greene, Walters, Rubin, & Hale, 1996) bahkan membantah pendapat Elkind dengan menyatakan bahwa egosentrisme remaja tidak berkaitan dengan perkembangan kognitif, tetapi berhubungan dengan perkembangan ego remaja. Jadi, egosentrisme pada diri remaja muncul seiring dengan perkembangan kesadaran remaja akan dirinya (self).

(45)

laki-laki, berhubungan dengan aspek personal fable yang menonjol (Schonert-Reichl, 1994, dalam Smetana & Villalobos, Lerner & Steinberg, 2009).

Dengan demikian diketahui bahwa paling tidak terdapat dua pandangan pokok tentang fenomena egosentrisme remaja. Yakni pandangan yang berdasar pada perkembangan kognitif, dan pandangan yang berdasar pada perkembangan ego. Pendapat-pendapat mengenai penyebab timbulnya egosentrisme pada remaja tampaknya berkisar pada dua poros pandangan tersebut.

. Kerangka Berpikir

Salah satu tugas perkembangan yang paling sulit bagi remaja adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosialnya. Oleh karena itu, remaja perlu mengembangkan sejumlah kecakapan untuk membantunya melakukan berbagai penyesuaian baru dalam hubungan sosial, yakni kompetensi sosial. Kompetensi sosial dapat diartikan sebagai sekumpulan kemampuan personal individu untuk berperilaku yang sesuai dan tepat dalam berinteraksi dengan orang lain, hingga menghasilkan hubungan sosial yang baik.

(46)

terlampau percaya diri dalam berperilaku dalam situasi sosial. Sementara itu, sejumlah perilaku nekat dan ceroboh oleh remaja disinyalir merupakan hasil dari pemikiran personal fable. Menurut Elkind (1976), cara berpikir remaja yang amat menonjol dalam egosentrisme seringkali menimbulkan salah pengertian dari orang lain. Gejala-gejala egosentrisme seperti dikemukakan di atas sering membuat remaja menampilkan sikap dan perilaku yang tidak bisa diterima dengan baik oleh lingkungan sosial, terutama orang-orang dewasa seperti orangtua dan guru.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa egosentrisme remaja (baik imaginary audience maupun personal fable) sebagai keterbatasan fungsi kognitif memiliki hubungan dengan pencapaian kompetensi sosial remaja. Menonjolnya egosentrisme pada diri remaja baik dalam imaginary audience maupun personal fable mungkin bisa menghambat pencapaian kompetensi sosial yang optimal. Demikian pula sebaliknya, bila egosentrisme pada diri remaja tidak mewujud dengan kuat, maka remaja dapat mengembangkan kompetensi sosialnya secara optimal.

Gambar .

Bagan Kerangka Berpikir

Egosentrisme Remaja

Imaginary Audience

Personal Fable

(47)

. Hipotesis

Penulis mengajukan hipotesis penelitian seperti sebagai berikut: a) Hipotesis alternatif (Ha)

• Terdapat hubungan signifikan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja.

• Terdapat hubungan signifikan antara imaginary audience dengan kompetensi sosial remaja.

• Terdapat hubungan signifikan antara personal fable dengan kompetensi sosial remaja.

• Terdapat hubungan signifikan antara usia, egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja.

• Terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin, egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja.

b) Hipotesis nol (H0)

• Tidak terdapat hubungan signifikan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja.

• Tidak terdapat hubungan signifikan antara imaginary audience dengan kompetensi sosial remaja.

• Tidak terdapat hubungan signifikan antara personal fable dengan kompetensi sosial remaja.

• Tidak terdapat hubungan signifikan antara usia, egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja.

(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional. Menurut Sevilla (1993) penelitian korelasi dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang menggunakan data-data berupa angka yang kemudian diolah memakai teknik statistik.

. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable).

Variabel bebasnya adalah egosentrisme remaja. Dan variabel terikatnya adalah kompetensi sosial remaja.

. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel

. Definisi Konseptual Variabel

(49)

Sedangkan variabel terikat yaitu kompetensi sosial remaja didefinisikan sebagai cara-cara berperilaku yang dipelajari agar seseorang dapat berinteraksi secara efektif dengan orang lain (Gresham & Elliott, 1990 dalam Smart & Sanson, 2003).

. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional dari egosentrisme remaja yakni skor yang didapat dari skala perilaku egosentrisme remaja yang terdiri dari sub-skala imaginary audience dan sub-skala personal fable yang meliputi 2 dimensi yaitu:

a) Kekhususan (speciality) yaitu pikiran bahwa diri remaja sangat khusus dan unik, serta tidak ada orang lain yang dapat memahaminya.

b) Ketangguhan (invulnerability) yaitu pikiran bahwa dirinya tidak terancam bahaya seperti orang lain dan sanggup menghadapi berbagai kesulitan.

Sedangkan definisi operasional dari kompetensi sosial yakni skor yang didapat dari skala perilaku kompetensi sosial remaja yang meliputi beberapa aspek, yakni:

f) Perilaku assertif, yaitu perilaku berinisiatif seperti menanyakan informasi kepada orang lain, memperkenalkan diri, dan menanggapi tindakan orang lain.

g) Kerja sama, meliputi perilaku seperti menolong orang, berbagi sesuatu, menaati aturan, serta memenuhi permintaan orang.

(50)

i) Tanggung jawab, yaitu menggambarkan kemampuan berkomunikasi dengan orang dewasa dan penghormatan terhadap kepemilikan benda atau pekerjaan yang dilakukan.

j) Pengendalian diri, yaitu perilaku-perilaku yang muncul saat situasi konflik, meliputi tindakan tepat ketika menghadapi hal-hal yang mengganggu, atau berkompromi akan sesuatu.

. Populasi dan Sampel

. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Muhammadiyah 22 Setiabudi Pamulang, kelas VII dan VIII. Secara keseluruhan berjumlah 120 orang.

. Sampel

Sampel diambil secara non-probabilitas dengan jenis purposive sampling (pengambilan sampel bertujuan). Artinya penarikan sampel dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan dengan strata ataupun random, tapi didasarkan pada tujuan tertentu (Arikunto, 2006). Menurut, Danim (2004), sampel yang diambil secara purposif harus dipilih peneliti dengan pertimbangan bahwa sampel tersebut betul-betul sesuai dengan apa yang hendak ditelitinya. Oleh karenanya, dengan mempertimbangkan kecenderungan teori peneliti menentukan sampel dengan menggunakan syarat-syarat sebagai berikut:

(51)

• Berusia minimal 11 tahun, dan maksimal 14 tahun.

• Pada saat pengumpulan data dilakukan subjek hadir dan menyatakan bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.

. Pengumpulan Data

. Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen skala perilaku model Likert, baik untuk variabel bebas maupun variabel terikat.

. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 2 pokok skala. Yaitu skala egosentrisme remaja yang terdiri dari 2 sub-skala (skala imaginary audience dan skala personal fable) serta skala kompetensi sosial remaja.

(52)

Tabel .

Sementara skala kompetensi sosial remaja yang digunakan merupakan hasil modifikasi dan penyesuaian dari skala keterampilan sosial (social skills) sebagaimana dikembangkan oleh Gresham & Elliot (1990, dalam Smart & Sanson, 2003). Berikut adalah cetak biru dari skala kompetensi sosial remaja.

Tabel .

Cetak Biru Skala Kompetensi Sosial Remaja Setelah Uji Validitas

(53)

. Pengujian Instrumen dan Analisis Data

Sebelum instrumen penelitian digunakan untuk mengumpulkan data, akan diuji terlebih dahulu melalui uji validitas dan reliabilitas skala. Validitas skala diuji dengan teknik korelasi product moment dari Pearson. Sedangkan reliabilitas skala diuji melalui teknik alpha dari Cronbach. Dan untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan uji korelasi product moment dari Pearson.

. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa prosedur: a) Persiapan

Pada tahap ini peneliti merumuskan masalah, menentukan variabel, dan melakukan studi kepustakaan. Di samping beberapa hal tersebut, peneliti juga mempersiapkan instrumen, melakukan uji coba, serta mempersiapkan lapangan penelitian.

b) Pengambilan dan pengolahan data

Pada tahap ini peneliti mulai memasuki lapangan penelitian. Dan segera setelah data diperoleh maka langsung dilakukan pengolahan, berupa pemberian skor

c) Analisis data

(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

. Gambaran Subjek Penelitian

Keseluruhan subjek dalam penelitian ini (populasi) adalah remaja awal yakni, siswa/siswi kelas VII dan VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah 22 Setiabudi Pamulang yang berjumlah 120 orang. Dari keseluruhan populasi diambil sampel secara accidental sejumlah 88 orang. Berikut gambaran jelas mengenai subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia.

Tabel .

Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia

No Jenis Kelamin Usia Jumlah

th th th th

1. Laki-laki 3 25 13 1 42 (48%)

2. Perempuan 5 24 17 - 46 (52%)

Jumlah 8 (9%) 49 (56%) 30 (34%) 1 (1%) ( )

(55)

. Presentasi dan Analisis Data

. Uji Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 2 pokok skala. Yaitu skala egosentrisme remaja yang terdiri dari 2 sub-skala (skala imaginary audience dan skala personal fable) serta skala kompetensi sosial remaja. Sebelum instrumen penelitian digunakan untuk mengumpulkan data dilakukan pengujian instrumen terlebih dahulu (try out). Uji instrumen dilakukan pada 26 Agustus 2010 dengan sampel berjumlah 60 orang, keseluruhannya merupakan siswa-siswi SMP Nusantara Ciputat. Penghitungan uji instrumen menggunakan program SPSS versi 17 for Windows. Berikut merupakan hasil uji validitas dan reliabilitas untuk dua skala yang digunakan.

. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kompetensi Sosial

Remaja

Hasil penghitungan yang didapat dengan menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson dengan taraf signifikansi sebesar 0,05 yakni x > 0,3. Dari total 34 aitem didapatkan butir-butir aitem yang tidak valid berjumlah 11 butir aitem dan yang valid berjumlah 23 butir, dan semuanya masih mewakili tiap aspek yang hendak diukur.

(56)

Tabel .

Cetak Biru Skala Kompetensi Sosial Remaja Setelah Uji Validitas

No. Aspek

Pengujian reliabilitas instrumen menggunakan rumus alpha dari Cronbach. Dari hasil penghitungan diperoleh skor reliabilitas α = 0,892 (N aitem = 23). Dengan demikian, merujuk pada klasifikasi koefisien reliabilitas Guilford yang menyebut bahwa skor reliabilitas 0, 7 – 0,9 adalah relaibel, maka skala kompetensi sosial remaja yang digunakan pada penelitian ini adalah reliabel.

. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Egosentrisme Remaja

(57)

koefisian validitas diturunkan dengan melihat nilai kritik pada tabel r product momen, menjadi x > 0,213 (N subjek = 85, dengan taraf signifikansi 0,05). Hingga kemudian didapat aitem valid berjumlah 20 butir. Penurunan standar koefisien validitas tersebut adalah dimungkinkan mempertimbangkan pendapat dari Azwar (2003) yang menyatakan bahwa seringkali suatu tes yang memiliki koefisien validitas kurang tinggi masih berguna dalam membantu keputusan. Berikut cetak biru (blue-print) dari skala egosentrisme remaja.

Tabel .

Cetak Biru Skala Egosentrisme Setelah Uji Validitas

No. Aspek Aitem Jumlah Maka instrumen egosentrisme remaja reliabel dan layak digunakan dalam penelitian ini.

. Deskripsi Hasil Penelitian

(58)

Kategorisasi variabel dibuat untuk mengetahui tingkat egosentrisme dan kompetensi sosial pada subjek penelitian. Kategorisasi dibuat menggunakan kategorisasi jenjang ordinal. Kategorisasi jenjang ordinal bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah menurut suatu kontinum berdasar pada atribut yang diukur (Azwar, 2004). Tingkatan masing-masing variabel dibuat dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berikut penghitungan statistik untuk kategorisasi kedua variabel.

Tabel .

Deskripsi Statistik Masing-masing Variabel

Mean Std. Deviation N

Egosentrisme 39.6818 6.32191 88

Kompetensi Sosial 61.0227 9.76150 88

Tabel .

Kategorisasi Egosentrisme

Kategori Klasifikasi Skor Interval Jumlah Persentase

Tinggi X > (M + 1SD)

Kategori Klasifikasi Skor Interval Jumlah Persentase

(59)

X > (61 + 10) yang masuk dalam kategori kompetensi sosial yang tinggi berjumlah 14 orang (16%), sedang 67 orang (76%), dan rendah 7 orang (8%).

Tabel .

Tabulasi Silang Kategori Variabel Kategori Egosentrisme

Total

Rendah Sedang Tinggi

Kategori

Dari data hasil tabulasi silang sebagaimana di atas, diketahui bahwa di antara subjek penelitian, yang terbanyak adalah yang masuk kategori sedang pada dua variabel sekaligus, yaitu berjumlah 50 orang. Dan tidak ada subjek yang masuk kategori tinggi pada egosentrisme yang memiliki kompetensi sosial rendah. Sama hal dengan sebaliknya, tidak ada subjek yang termasuk kategori rendah dalam egosentrisme yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi.

. Uji Hipotesis

(60)

pertama, yakni hubungan dari variabel kompetensi sosial dan egosentrisme remaja, diperoleh hasil hitung seperti sebagai berikut:

Tabel .

Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial dengan Egosentrisme

Kompetensi sosial Egosentrisme

Kompetensi sosial Pearson Correlation 1 .327**

Sig. (2-tailed) .002

N 88 88

Egosentrisme Pearson Correlation .327**

1

Sig. (2-tailed) .002

N 88 88

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari hasil tersebut diketahui bahwa antara variabel kompetensi sosial dan egosentrisme remaja diperoleh skor korelasi sebesar 0,327 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,002, jadi x < α = 0,01. Maka, di antara kedua variabel terdapat hubungan yang signifikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hipotesis nihil (H0) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja adalah ditolak, dan hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja adalah diterima.

Penghitungan rumus korelasi Pearson untuk menguji hipotesis kedua, yakni hubungan antara variabel kompetensi sosial dengan imaginary audience, diperoleh hasil seperti berikut:

Tabel . .

Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial dengan Imaginary Audience

(61)

Kompetensi sosial Pearson Correlation 1 .261

Sig. (1-tailed) .007

N 88 88

Imaginary audience

Pearson Correlation .261 1

Sig. (1-tailed) .007

N 88 88

Dari hasil tersebut diketahui bahwa antara variabel kompetensi sosial dengan imaginary auidience diperoleh skor korelasi sebesar 0,261 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,007, jadi x < α = 0,05. Maka, di antara kedua variabel terdapat hubungan yang signifikan. Jadi, hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara imaginary auidience dengan kompetensi sosial remaja adalah diterima.

Selanjutnya, penghitungan korelasi antara variabel kompetensi sosial dengan personal fable sebagai pengujian terhadap hipotesis ketiga diperoleh hasil seperti berikut:

Tabel . .

Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial dengan Personal Fable

Kompetensi sosial Personal fable

Kompetensi sosial Pearson Correlation 1 .285

Sig. (1-tailed) .004

N 88 88

Personal fable Pearson Correlation .285 1

Sig. (1-tailed) .004

N 88 88

(62)

yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara personal fable dengan kompetensi sosial remaja adalah diterima.

Uji korelasi terhadap hipotesis keempat, yakni hubungan antara kompetensi sosial, egosentrisme (imaginary audience & personal fable) dan usia, diperoleh hasil hitung sebagai berikut:

Tabel . .

Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial, Egosentrisme dan Usia

(63)

Terakhir, penghitungan atas korelasi antara variabel kompetensi sosial, egosentrisme (imaginary audience & personal fable) dengan jenis kelamin untuk menguji hipotesis kelima diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel .

Hasil Uji Korelasi Kompetensi Sosial, Egosentrisme dan Jenis Kelamin

(64)

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data hasil penelitian sebagaimana dipaparkan di bab 4, diambil kesimpulan, terdapat hubungan signifikan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial remaja pada siswa/siswi kelas VII dan VIII Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 22 Setiabudi Pamulang. Begitu pula pada imaginary audience dan personal fable, keduanya memiliki hubungan yang signifikan dengan kompetensi sosial remaja.

Variabel usia dan jenis kelamin tidak memiliki hubungan dengan egosentrisme baik imaginary audience maupun personal fable. Demikian pula dengan kompetensi sosial remaja.

. Diskusi

Temuan penelitian ini yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara egosentrisme dengan kompetensi sosial pada remaja adalah sejalan dengan beberapa studi terdahulu yang menemukan bahwa egosentrisme remaja memiliki kaitan dengan sejumlah perilaku remaja dalam relasi sosial (Goosens, dkk., 2002; Schonert-Reichl, 1994; Ryan & Kuczkowski, 1994, dalam Smetana & Villalobos, Lerner & Steinberg, 2009).

Gambar

Gambar ���. Bagan Kerangka Berpikir ..........................................................
Gambar ���.
Tabel ���.
Tabel ���.
+7

Referensi

Dokumen terkait