• Tidak ada hasil yang ditemukan

Segi-Segi Hukum Perjanjian Dalam Sistem Pembayaran Dari Pihak Apotek Kepada Distributor Obat Mengenai Pemasokan Dan Pengeluaran Obat (Pada Apotek Umi Farma, Jalan Karya Kasih No. 104 Medan Johor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Segi-Segi Hukum Perjanjian Dalam Sistem Pembayaran Dari Pihak Apotek Kepada Distributor Obat Mengenai Pemasokan Dan Pengeluaran Obat (Pada Apotek Umi Farma, Jalan Karya Kasih No. 104 Medan Johor)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku:

Amirin, M. Tatang, 2000, Menyusun Rencana Penelitian, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Arief, Muhammad, 2005, Manajemen Farmasi, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Badan POM, 2007, Pedoman Cara Distribusi Obat Yang Baik.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

BPHN Departemen Kehakiman, 1992/1993, Laporan Pengkajian Tentang

Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi.

Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di

Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

C., Ansel, Howard, 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan

oleh: Farida Ibrahim. UI Press, Jakarta.

Firmansyah, Muhamad, 2009, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi

dan Kesehatan, Visimedia, Jakarta.

Fuady, Munir, 2001,Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

(2)

H.S, Salim, 2008, Hukum Kontrak Teori dan Praktek Penyusunan Kontrak, Sinar

Grafika, Jakarta.

Ichsan, Ahmad, 1969, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999, Edisi kesepuluh, Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

M. Soefwan, Sri Soedewi, 1975, Hukum Perutangan. Hukum Perdata FH UGM,

Yogyakarta.

Marbun, B., N, 1992, Kekuatan dan Kelemahan Perusahaan Kecil, Gramedia,

Jakarta.

Mashudi dan Ali Chidir, 2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum

Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum Perjanjian. Liberty, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1982,Hukum Perikatan, Bandung Press, Bandung.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Wijaja,2003, Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mutchler, Ernst, 1991, Dinamika Obat,ITB Bandung, Bandung.

Nuraini, Widjayanti, V, 2002, Obat-Obatan. Kanisius, Yogyakarta.

Oentoeng Soebagijo, Felix, 1996, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan

(3)

Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.

Prawirohamidjojo, R. Seotojo, 1979, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya.

Prodjodikoro, Wirjono R., 1992,Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.

Santoso, Lukman, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta.

Satrio, J, 2001,Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

______, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Setiawan, Rahmad, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.

Sri Hartini, Yustina, 2010,Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan

Perundang-undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes

tentang Apotek Rakyat, Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

Subekti, R, 1996, Hukum Perjanjian,Intermasa, Jakarta.

________, 1985, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, 1988, Buku III Hukum Perikatan dengan

(4)

Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.

Syahrani, H. Riduan, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,

Bandung.

Syamsudin Meliala, A.Qiram, 1985,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta

Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.

Syarief, Amir, 1989, Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta.

Winardi, 1994, Azas-Azas Marketing, Mandar Maju, Bandung.

Yulinah Sukandar, Elin, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Departemen

Farmasi FMIPA ITB, Bandung.

II. PeraturanPerundang-undangan:

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 10.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Psal 1 angka 9.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 7.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Pasal 1angka 21.

Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993 tentang Obat

Keras Tertentu.

Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen Atau

(5)

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.

HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara

Distribusi Obat yang Baik.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 Pasal 1

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin

Apotek.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990 tentang

Pedagang Besar Farmasi.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPR/KEP/I/1998

tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan.

SK Mendag No. 77/KP/III/78 tentang Ketentuan Mengenai Kegiatan

Perdagangan Terbatas Bagi Perusahaan Produksi Dalam Rangka

Penanaman Modal.

III. Website:

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/distributor. Terakhir

kali diakses pada tanggal 22 Mei 2013, jam 19.30 WIB.

Bank Indonesia, Sistem Pembayaran,

http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/. Terakhir kali diakses

pada tanggal 2 Mei 2013, Jam 11.00 WIB.

Institut Sains dan Teknologi Nasional, Persyaratan Perizinan Apotek,

(6)

http://farmasi-istn.blogspot.com/2007/11/persyaratan-perizinan-pendirian-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013, Jam 20.00

WIB.

Icha Fitria, Dunia Farmasi dan Kesehatan,

http://ichafitria-

duniafarmasidankesehatan.blogspot.com/2011/08/contoh-laporan-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013, Jam 20.20

WIB.

Atira Rachmawati, Peran dan Fungsi Apoteker di Apotek dan Rumah Sakit,

http://arlovera.blogspot.com/2010/05/peran-dan-fungsi-apoteker-di-apotek-dan.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 15 Mei, Jam 22.00

WIB.

I’m Pharmapreneur, Menciri PBF (Pedagang Besar Farmasi) yang Diminati

Apotek,

http://bisnisapotek.blogspot.com/2010/12/menciri-pbf-pedagang-besar-farmasi-yang.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2013,

Jam 13.00 WIB.

Bimo Prasetio S.H, dan Asharyanto S.H.I, Perlunya Perjanjian Dibuat Secara

Tertulis,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis, terakhir kali diakses pada tanggal 20 Mei

2013, Jam 23.00 WIB.

Lindri Widya Atfa, Makalah Hukum Perjanjian,

http://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/,

(7)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK DAN DISTRIBUTOR

A. Tinjauan umum tentang Apotek 1. Pengertian Apotek

Kesehatan sebagai hak asasi telah menjadi kebutuhan mendasar dan

menjadi kewajiban negara dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di

bidang kesehatan. Salah satu strategi dalam meningkatkan derajat kesehatan

adalah mengutamakan pelayanan yang berkualitas terhadap setiap masyarakat

dimana salah satunya adalah dalam bidang pelayanan kefarmasian.

Berdasarkan rumusan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 Pasal 1 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Tata

Cara Pemberian Izin Apotek memberikan definisi Apotek adalah “Suatu tempat

tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan

farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat”. Peraturan Pemerintah

No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan Bab 1, bahwa “Apotek

adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh

apoteker”.41

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep

(8)

dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan juga

termasuk obat-obatan tradisonal.

2. Tugas dan Fungsi Apotek

Apotek berperan sebagai sarana dalam memberikan informasi obat kepada

masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.42Apotek mempunyai tugas dan fungsi

utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang berhubungan dengan hal

tersebut, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah.43 Selain

dari itu, apotek juga memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan

sumpah/janji jabatan.

b. Sarana pelayanan farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan

bentuk, dan pencampuran obat atau bahan obat.

c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat

yang diperlukan oleh masyarakat secara luas dan merata.

d. Sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.44

3. Peraturan Mengenai Apotek

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang

diatur dalam:

a. Undang – Undang Obat Keras (St.1973 No.541).

b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

42 Muhamad Firmansyah, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi & Kesehatan, Jakarta : Visimedia, 2009, hlm. 27.

43 Mohammad Arief, Manajemen Farmasi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005, hlm. 3.

(9)

d. Undang – Undang No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.

e. Peraturan Menkes RI No. 41 Tahun 1980 tentang Masa Bhakti Ijin

Kerja Apoteker.

f. Peraturan Menkes RI No. 922/SK/Menkes/X/1993 tentang Tata Cara

Pemberian Ijin Apotek.

g. Peraturan Pemerintah No. 51 / Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian.

h. Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek.

i. Kepmenkes No. 1331/Menkes/SK/X/2002tentang perubahan Atas

Peraturan Menkes No. 922/Menkes/X/1993 tentang Ketentuan dan

Tata Kerja Pemberian Apotek.

j. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP

No. 26 tahun 1965 mengenai Apotek.

k. Peraturan Menteri Kesehatan No. 695/MENKES/PER/VI/2007

tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan N0. 184

tahun 1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin

Kerja Apoteker.

l. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang

(10)

m. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian

di Apotek.

4. Persyaratan Perizinan Pendirian Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002,

disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah sebagai berikut:45

a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerjasama

dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap

dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan

farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan

komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar

sediaan farmasi.

Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian apotek

adalah:

1) Lokasi dan Tempat, Jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun

sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan

pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli

penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan

mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan.

(11)

2) Bangunan dan Kelengkapan, Bangunan apotek harus mempunyai luas dan

memenuhi persyaratan yang cukup, serta memenuhi persyaratan teknis

sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek

serta memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Bangunan

apotek sekurang-kurangnya terdiri dari : ruang tunggu, ruang administrasi

dan ruang kerja apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan

penyerahan obat, tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet.

Bangunan apotek juga harus dilengkapi dengan : sumber air yang

memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang baik, alat pemadam

kebakaran yang befungsi baik, ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan

memenuhi syarat higienis, papan nama yang memuat nama apotek, nama

APA, nomor SIA, alamat apotek, nomor telepon apotek.

3) Perlengkapan Apotek, Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain:

(a) Alat pembuangan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortir,

gelas ukur dll.

(b) Perlengkapan dan alat penyimpanan, dan perbekalan farmasi, seperti

lemari obat dan lemari pendingin.

(c) Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastik pengemas.

(d) Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan beracun.

(e) Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta kumpulan

peraturan per-UU yang berhubungan dengan apotek.

(f) Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan

(12)

4) Prosedur perizinan apotek

Untuk mendapatkan izin apotek, APA atau apoteker pengelola apotek

yang bekerjasama dengan pemilik sarana harus siap dengan tempat, perlengkapan,

termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya. Surat izin apotek (SIA) adalah

surat yang diberikan Menteri Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker

bekerjasama dengan pemilik sarana untuk membuka apotek di suatu tempat

tertentu.

Dalam wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan

kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,

pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri

Kesehatan dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

Sesuai dengan Keputusan MenKes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal

7 dan 9 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yaitu:

a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari

setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada

Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap

kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.

c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM

selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala

(13)

d. Dalam hal pemerikasaan dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan,

apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan

kegiatan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan setempat dengan

tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.

e. Dalam jangka 12 hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan

sebagaimana ayat (3) atau persyaratan ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan

setempat mengeluarkan surat izin apotek.

f. Dalam hasil pemerikasaan tim Dinas Kesehatan setempat atau Kepala

Balai POM dimaksud (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas

Kesehatan setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan surat

penundaan.

g. Terhadap surat penundaan sesuai dengan ayat (6), apoteker diberikan

kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi

selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak tanggal surat penundaan.

h. Terhadap permohonan izin apotek bila tidak memenuhi persyaratan sesuai

pasal (5) dan atau pasal (6), atau lokasi apotek tidak sesuai dengan

permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Dinas setempat dalam jangka

waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat

penolakan disertai dengan alasan-alasannya. 46

5) Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek meliputi :

(14)

(a) Pembuatan,pengolahan,peracikan,pengubahanbentuk,pencampuran,

penyimpanan, pengarahan obat serta bahan obat.

(b) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi

lainnya.

(c) Pelayanan informasi tentang mengenai perbekalan farmasi, yang meliputi :

1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan lainnya yang di berikan

kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

2. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya.

3. Pelayanan informasi yang di maksud di atas wajib di dasarkan pada

kepentingan masyarakat.

Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan

perbekalan farmasi yang bermutu dan keabsahannya terjamin. Obat dan

perbekalan farmasi karena suatu hal tidak digunakan lagi atau dilarang digunakan

harus di musnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau cara lain yang

ditetapkan oleh Dirjen POM. Pemusnahan dilakukan oleh apoteker pengelola

apotek, pada saat pemusnahan wajib dibuat berita acara pemusnahan.Pemusnahan

narkotika wajib mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku.47

5. Apoteker

Beberapa peraturan perundang-undang yang merumuskan tentang definisi

apoteker, yaitu sebagai berikut:

(a) Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002 tentang perubahan

atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 tahun 1993 tentang

(15)

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, “Apoteker adalah

sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan

apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasiaan di Indonesia

sebagai apoteker”.48

(b) Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasiaan, “Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus

sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker”.49

6. Peran dan Fungsi Apoteker

Dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dirumuskan Peran

dan Fungsi Apoteker di Apotik adalah sebagai :

(a) Pelayan

(b) Manajer

Sebagai Pelayan adalah :

1. Membaca resep dengan teliti, meracik obat dengan cepat, membungkus dan

menempatkan obat dalam wadah / bungkus yang cocok dan memeriksa serta

memberi etiket dengan teliti.

2. Memberikan informasi / konsultasi tentang obat kepada pasien, tenaga

kesehatan masyarakat.

3. Melayani resep dan non resep.

Sebagai Pelayan Resep melakukan :

(16)

a. Skrining/pembacaan resep, melakukan pemeriksaan persyaratan

administrative resep yaitu antara lain: Nama dokter, alamat, SIP, tanggal

penulisan, paraf/tanda tangan, nama pasien, alamat, umur, jenis kelamin, berat

badan, signa (cara pakai) yang jelas dan informasi lainnya.

b. Kesesuaian farmasetik, yaitu antara lain: bentuk sediaan, dosis, potensi,

stabilitas, inkomptabilitas, cara dan lama pemberian.

c. Pertimbangan klinis, yaitu antara lain: alergi, efek samping, interaksi dan

penyiapan obat.

d. Peracikan (hitung, sediakan, campur, kemas, label)

e. Penyerahan obat.

f. Pemberian informasi dan konseling.

g. Monitoring penggunaan obat.

h. Promosi dan edukasi, sebagai tenaga promosi dan edukasi melakukan Swa

medikasi (dengan medication record) dan penyebaran brosur serta poster

tentang kesehatan.

i. Pelayanan residensial (home care), sebagai tenaga pelayanan residensial

(home care) untuk penyakit kronis (dengan medication record).

Sebagai Manajer adalah :

a. Menyusun prosedur tetap.

b. Mengelola obat, sumber daya manusia, peralatan dan uang di Apotik.

(17)

d. Membuat prosedur tetap untuk masing – masing pelayanan.50 Larangan Apoteker

Beberapa larangan apoteker diantaranya yaitu:

a. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan profesi apoteker

b. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kode etik apoteker

c. Menjalankan profesinya diluar tempat yang tercantum dalam Surat Izin

Apotek (SIA)

d. Menjalankan profesinya dalam keadaan jasmani dan rohani terganggu. 51

7. Obat

Pada saat ini kedudukan obat sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok

yang melekat dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup

dalam menyembuhkan penyakit yang sedang diderita, misalnya sakit kepala, sakit

mata, demam tinggi, flu batuk, serta penyakit lainnya. Agar rasa sakit yang

diderita berkurang maka mengkonsumsi obat adalah salah satu cara

penyembuhannya. Pada mulanya penggunaan obat-obatan dilakukan secara

empirik dari tumbuhan, hanya berdasarkan pengalaman.52

Ada beberapa pengertian mengenai obat, yaitu sebagai berikut:

Obat adalah bahan yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit

atau sebagai penyembuhan bagi seseorang dari penyakit.53Obat adalah bentuk

50http://arlovera.blogspot.com/2010/05/peran-dan-fungsi-apoteker-di-apotek-dan.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 15 Mei 2013.

51 Yustina Sri Hartini, Naskah Peraturan Perundang-undangan terkait Apotek Termasuk

Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat, Cetakan ke tiga, Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm. 10.

52 Elin Yulinah Sukandar, Tren dan Paradigma DuniaFarmasi, Departemen Farmasi FMIPA ITB, Bandung, hlm. 2.

(18)

sediaan tertentu dari bahan obat yang digunakan pada manusia maupun hewan

dimana bahan obat terdiri dari zat aktif dan bahan penolong yang berfungsi untuk

mencegah, meringankan, menyembuhkan, atau mengenali penyakit.54Obat adalah

semua zat, baik zat kimia maupun tumbuh-tumbuhan dalam dosis yang layak

mampu mempengaruhi organ-organ tubuh agar berfungsi normal.55Obat adalah

sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi

rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia dan hewan.56 Obat

adalah obat, jadi termasuk produk biologi, yang merupakan paduan zat aktif dan

zat tambahan termasuk kontrasepsi dan sediaan lain yang mengadung obat.57 Obat

adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup.58

Klasifikasi Obat Berdasarkan Undang-Undang,

Berdasarkan undang-undang obat dibagi menurut tingkat keamanannya menjadi

beberapa kelompok, diantaranya yaitu:

a. Kelompok Obat Bebas

Sesuai dengan namanya obat-obat bebas dapat dijual-belikan dengan

bebas tanpa resep dokter dan dapat dibeli di apotek, toko obat, maupun

warung-warung kecil.

b. Kelompok Obat Bebas Terbatas

Obat-obat dalam kelompok ini disebut dalam daftar obat W

(Waarschuing/peringatan). Obat-obatan ini dapat dijual-belikan secara

54 Ernst Mutchler, Dinamika Obat, ITB Bandung, Bandung, 1991, hlm. 3. 55 V. Nuraini Widjayanti, Obat Obatan, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 23. 56 Howard C. Ansel, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh: Farida Ibrahim, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2005, hlm. 1.

(19)

bebas dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dan

disertai dengan tanda peringatan. Pada pembungkusnya diberi tanda

khusus, yaitu warna biru didalam lingkaran warna hitam. Tanda

peringatan ditulis dengan huruf putih diatas kertas yang umumnya

berwarna hitam.

c. Kelompok Obat Keras

Kelompok obat keras dikenal juga dengan obat daftar G

(Gevaarlijk/berbahaya). Obat-obatan golongan ini sangat berbahaya,

mempunyai efek samping yang sangat besar. Untuk mendapatkan obat

ini harus berdasarkan resep dokter yang hanya dapat dibeli di apotek.

Sebagai tanda khusus, pada pembungkusnya diberi huruf K dengan latar

belakang merah didalam lingkaran warna hitam.

d. Kelompok Psikotropika

Kelompok psikotropika ini sama dengan kelompok obat keras baik cara

mendapatkannya maupun tanda khususnya. Perbedaan penggunaan obat

ini lebih ketat dibandingkan dengan obat keras. Pemasukan dan

pemakaian psikotropika harus tercatat dan harus dibuat laporan ke

instansi yang berwenang.

e. Kelompok Narkotika

Kelompok narkotika ini dikenal juga sebagai obat golongan O (Opium).

Narkotika ini hanya dapat diperoleh berdasarkan resep dokter dan hanya

dapat dibeli di apotek. Peredaran obat narkotika ini sangat ketat dan

(20)

dibuat laporan setiap bulan ke instansi yang berwenang. Tanda khusus

narkotika, pada pembungkusnya terdapat palang merah dengan latar

belakang putih dan didalam lingkaran berwarna merah.59

A. Tinjauan Umum Tentang Distributor 1. Pengertian Distributor

Distributor adalah suatu perusahaan perdagangan nasional yang bertindak

untuk dan atas namanya sendiri, yang ruang lingkupnya meliputi kegiatan

pembelian, penyimpanan, penjualan, serta pemasaran barang atau jasa.60Hal ini

berbeda dengan agen yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama

prinsipal.

Prinsipal adalah orang perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan

hukum atau bukan badan hukum yang berada didalam negeri atau diluar negeri

yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/ atau

jasa yang dimiliki/dikuasai.

Dalam melakukan kegiatan pemasaran dan penjualan barang, distributor

melakukan pembelian barang-barang dari pihak prinsipal. Dengan adanya jual beli

tersebut, kepemilikan barang berpindah kepada pihak distributor, dan

barang-barang yang telah menjadi miliknya tersebut yang dijual kembali kepada

konsumen terbatas dalam wilayah yang diperjanjikan.

Dalam dunia bisnis, perusahaan atau perorangan yang mengangkat atau

menunjuk distributor disebut prinsipal. Pengangkatan atau penunjukan distributor

59V. Nuraini Widjayanti, Op.Cit, hlm. 15-17.

(21)

dapat dilakukan oleh prinsipal yang pada umumnya dalam bentuk tertulis,

sekalipun secara lisan tidak ada larangan, tetapi pada saat ini hubungan distributor

dengan prinsipal biasanya diikat oleh suatu persetujuan dalam bentuk

kontraktuil.61 Perbedaan agen dengan distributor adalah sebagai berikut:

Agen adalah perusahaan yang menjual barang atau jasa untuk dan atas

nama prinsipal,pendapatan yang diterima adalah atas hasil dari barang-barang atau

jasa yang dijual kepada konsumen berupa komisi dari hasil penjualan,barang

langsung dikirimkan dari prinsipal kepada konsumen jika antara agen dengan

konsumen mencapai suatu persetujuan,pembayaran atas barang yang telah

diterima oleh konsumen langsung kepada prinsipal bukan melalui agen.

Distributor adalah perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya

sendiri, membeli dari prinsipal/produsen dan menjual kembali kepada konsumen

untuk kepentingan sendiri,prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari

produk-produknya, sehingga bertanggung jawab atas keamanan pembayaran

barang-barangnya untuk kepentingan sendiri.62

2. Pengertian Distributor Obat (Pedagang Besar Farmasi/PBF)

Istilah PBF merupakan kepanjangan dari Pedagang Besar Farmasi yang

berperan sama sebagai distributor pada umumnya, hanya saja karena bergerak di

bidang pendistribusian produk kefarmasiaan, maka disebutlah sebagai PBF. Peran

61 Felix Oentoeng Soebagijo, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan

Distribusi dalam Hukum Ekonomi, Penyunting Soemantoro, Jakarta : U.I Press, 1996,

hlm. 243.

(22)

PBF dalam ruang lingkup bisnis apotek tentu sangat erat, sehingga antara apotek

dan PBF sama-sama saling membutuhkan.

Fungsi PBF adalah perpanjangan tangan dari pabrik farmasi (principal)

daerah yang diliputnya untuk mendistribusikan segala produk farmasi ke seluruh

apotek, rumah sakit, puskesmas dan instansi kesehatan lainnya di daerah yang

diliputnya. Apotek adalah salah satu customer dari sebuah PBF. Mengingat

samakin tingginya penyebaran apotek ke berbagai daerah, hal ini diikuti pula

dengan tumbuh suburnya keberadaan PBF.

Dalam prakteknya PBF ada yang bersifat lokal dan bersifat nasional

(utama). Pada PBF lokal keberadaannya biasanya hanya meliputi satu daerah

tertentu saja. Sehingga apotek yang berada diluar jangkauan daerah tersebut tidak

akan terliput oleh PBF tersebut. Alasan adanya PBF lokal ini sebenarnya

dikarenakan daya jangkau PBF utama tidak mencukupi daerah tersebut untuk

diliputnya. Untuk membentuk perpanjangan tangan agar produk prinsipal tetap

terdistribusi secara merata, maka PBF utama akan menggandeng beberapa PBF

lokal tersebut. Keberadaan stok dan aneka program promo yang dijalankan

biasanya akan diawasi oleh PBF utama. Selain itu, ada juga beberapa prinsipal

lokal yang memanfaatkan keberadaan PBF lokal ini. Hal ini tentu saja dengan

pertimbangan adanya efisiensi biaya distribusi. Sedangkan PBF nasional (utama)

memiliki cakupan peliputan daerah yang luas ke seluruh penjuru tanah air dan

memiliki perwakilan kantor cabang di tiap area sehingga menjadikan PBF ini

bersifat nasional. Umumnya principal yang bonafid akan mempercayakan

(23)

produknya akan terdistribusi merata keseluruh pelosok nusantara. Keuntungan

bagi apotek dalam berhubungan dengan PBF utama adalah adanya jaminan

ketersediaan produk, dan kemudahan proses return (pengembalian) produk. Selain

itu, kepastian bahwa produk tersebut adalah produk asli tentu tak perlu diragukan

lagi. Karena memang supply produk PBF utama bearasal dari gudang prinsipal

secara langsung. Disisi lain, prinsipal biasanya dalam membuat program promo

akan bekerjasama dengan PBF utama sehingga bagi apotek yang loyal akan

mendapatkan beragam program promo.63

Disamping hal tersebut diatas, ada juga perusahaan farmasi yang memiliki

distributor sendiri yang khusus untuk mendistribusikan produk-produk yang

dihasilkan dari perusahaan farmasi tersebut. Disini perusahaan tersebut selain

sebagai penghasil juga sebagai penyalur dalam mendistribusikan

produk-produknya ke berbagai instansi kesehatan sehingga sampailah ke tangan

konsumen dan juga sebagai penjual ecer yang langsung menjual kepada

konsumen.

Suatu perusahaan harus bisa menciptakan suatu metode tertentu agar

pemasaran hasil produksinya dapat berjalan dengan baik melalui perantara

perusahaan, hingga sampai ke tangan konsumen dengan aman dan dapat

dipertanggungjawabkan. Faktor lain yang ikut mendukung dalam penciptaan

pelanggan adalah masalah transportasi atau pengangkutan disamping faktor letak

yang strategis serta faktor-faktor lain yang mendukung. 64

(24)

Pemasaran atau marketing adalah suatu tindakan yang menyebabkan

berpindahnya hak milik atas benda dan jasa, selanjutnya di distribusikan secara

fisik.65Beberapa peraturan perundang-undangan yang mendefiniskan mengenai

distributor obat atau pedagang besar farmasi yaitu sebagai berikut:

a. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Pasal 1 angka

21, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang

berbadan hukum yang memiliki izin usaha perdagangan besar dari

Menteri Perdagangan dan memiliki izin khusus dari Menteri

Kesehatan”.66

b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka

7, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang

memiliki izin dari Menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran

sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan”.67

c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka

9, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan

hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan

kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat

kesehatan”.68

d. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka

10, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan

hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan,

(25)

penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika

dan alat kesehatan”.69

e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990

tentang Pedagang Besar Farmasi, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1

Ayat (1) berisi: “Pedagang Besar Farmasi adalah Badan Hukum

PT/Koperasi yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,

penyaluran perbekalan termasuk dalam jumlah besar sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.70

f. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.

HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara

Distribusi Obat yang Baik Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2

dan angka 3, “Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat

PBF, adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin

untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat

dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk

melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan

obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan”.71

g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

23/MPR/KEP/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan

69 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 10.

70 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990 tentang Pedagang Besar Farmasi.

(26)

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9, “Distributor utama adalah

orang perorangan atau badan usaha yang bertindak atas namanya

sendiri yang ditunjuk oleh pabrik atau pemasok untuk melakukan

pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dalam

partai besar secara tidak langsung kepada konsumen akhir terhadap

barang yang dimiliki/dikuasai oleh pihak yang menunjuknya”.72

h. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993

tentang Obat Keras Tertentu, “Distribusi adalah penjualan, pemberian,

penyerahan, pengangkutan, penyediaan di tempat penjualan dan

penyimpanan untuk penjual”.73

3. Peraturan Yang Menyangkut Distributor Obat

Pengaturan tentang perjanjian distributor tidak diatur secara khusus, walau

demikian ada ketentuan dari KUH Perdata yang menampungnya yaitu

ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian yang tidak bernama.74

Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur khusus

mengenai distributor obat atau pedagang besar farmasi yaitu:

1. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie,

Staatsblad 1949: 419);

72 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPR/KEP/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan.

73 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993 tentang Obat Keras Tertentu.

(27)

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3671);

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5062);

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan

Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3781);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);

7. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah

terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005;

8. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan

(28)

beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun

2005;

9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;

10.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan

Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah dengan

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05.21.4231 Tahun 2004;

11.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.3546 Tahun

2009;

12.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;

13.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional;

14.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Kesehatan RI No.918/Menkes/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar

(29)

15.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementrian Kesehatan;

16.Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.

HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara

Distribusi Obat yang Baik.

B. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Perjanjian Distributor

Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam perjanjian mengenai

pembahasan ini adalah pihak-pihak yang berkaitan langsung dalam suatu

perjanjian yaitu apotek dan distributor. Menurut Pasal 1315 KUH Perdata

disebutkan, “pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri”.

Memang sudah semestinya, perikatan hukum yang dilakukan dalam perjanjian

hanya mengikat pada orang-orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan

tidak mengikat orang-orang di luar perjanjian tersebut.

Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang yang di luar perjanjian adalah

pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan dalam perjanjian tersebut.

C. Jangka Waktu Serta Berakhirnya Perjanjian Distributor

Umumnya perusahaan distributor dalam melakukan kegiatannya sebagai

(30)

1. Atas persetujuan kedua belah pihak

2. Salah satu pihak dengan sengaja melalaikan kewajiban-kewajibannya dan

atau melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dalam

perjanjian

3. Salah satu pihak jatuh pailit dan atau dibubarkan menurut undang-undang

yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Bagi pihak yang ingin mengakhiri perjanjian sebelum atau sesudah

berakhirnya masa berlakunya harus memberitahukan secara tertulis kepada pihak

terkait dalam perjanjian 3 bulan sebelumnya.75

Untuk perusahaan asing dimana prinsipalnya bukan perusahaan Indonesia

dan tidak berdomisili di Indonesia prinsipal tersebut berkedudukan di luar Negara

Indonesia dalam melakukan perjanjian bisnis dengan distributor lokal berlaku

ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa penunjukan sebagai

agen atau distributor haruslah dilakukan untuk jangka waktu minimal 3

tahun.76Pihak prinsipal luar negeri tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya

secara langsung kepada konsumen di Indonesia sehingga untuk pemasarannya

wajib mengadakan perjanjian dengan distributor lokal yang isi perjanjiannya

ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak yang

membuat perjanjian, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan.

Dengan adanya penetapan jangka waktu minimal tersebut bertujuan untuk

melindungi perusahaan nasional.

75 BPHN Departemen Kehakiman, Op.Cit, hlm. 35

(31)

Dalam penelitian ini untuk jangka waktu dan pengakhiran perjanjian

diantara para pihak adalah tergantung dari pada kesepakatan masing-masing pihak

yang sudah diatur di dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Biasanya pada

apotek, apabila pembayaran sudah dilaksanakan untuk memenuhi kewajibannya

yang berjangka waktu maksimal dalam tempo 30 hari (untuk pembelian secara

kredit)perjanjian tidak berhenti pada saat itu juga, biasanya pihak apotek akan

melanjutkan kembali perjanjian tersebut dengan distributor tersebut juga dan

distributor lainnya dengan jenis dan jumlah pesanan yang berbeda atau dengan

jenis yang sama tetapi jumlah berbeda. Bahkan jika dibutuhkan para pihak akan

memperbaharui kembali isi perjanjiannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang

berlaku pada perusahaan masing-masing pihak, perjanjian ini bersifat

(32)

BAB IV

SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DALAM SISTEM PEMBAYARAN DARI PIHAK APOTEK KEPADA DISTRIBUTOR OBAT MENGENAI PEMASOKAN DAN PENGELUARAN OBAT (STUDI PADA APOTEK

UMI FARMA JALAN KARYA KASIH No. 104 MEDAN JOHOR)

A.

Bentuk Pelaksanaan Kerjasama Terhadap Sistem Pembayaran Serta

Pemasokan dan Pengeluaran Obat Antara Apotek Dengan Distributor (Pada Apotek Umi Farma Jalan Karya Kasih No. 104 Medan Johor).

Berdasarkan hasil studi di Apotek Umi Farma yaitu dengan mempelajari

dokumen yang ada serta berdasarkan wawancara dengan pihak apotek dan petugas

distributor yang menjadi mitra kerjasama Apotek Umi Farma dapat dijelaskan

bahwa pada dasarnya bentuk pelaksanaan kerjasama antara Apotek Umi Farma

dengan pihak distributor dilakukan berdasarkan kesepakatan secara lisan yang

dituangkan dalam bentuk tertulis dengan demikian bentuk kerjasama yang terjadi

diantara para pihak adalah hasil dari kesepakatan yang secara yuridis terdapat

keseimbangan diantara para pihak, maksudnya adalah tidak ada pihak yang kuat

atau pihak yang lemah keduanya memiliki kedudukan yang seimbang baik secara

yuridis maupun psikologis.

Kerjasama ini awalnya dimulai dengan penawaran yang diberikan dari

pihak distributor mengenai jenis-jenis barang yang terdapat di perusahaan mereka

untuk disalurkan kepada apotek tersebut. Kemudian pihak apotek menanggapi

penawaran kerjasama tersebut sehingga akhirnya para pihak sepakat untuk

(33)

Dalam menuangkan kerjasama yang diawali secara lisan tersebut kedalam

bentuk tertulis,para pihak diberi kebebasan mengenai hal-hal apa saja yang akan

di perjanjikan dari kerjasama tersebut yang sesuai dengan kesepakatan bersama

para pihak agar pelaksanaannya tidak berat sebelah, dimana satu sisi memberatkan

pihak apotek dan disisi lain meringankan pihak distributor.

Perjanjian yang telah disetujui tersebut dengan sendirinya akan mengikat

para pihak, hal tersebut tercantum dalam dalam Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1),

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi

mereka yang membuatnya”.

Mengenai sistem Apotek Umi Farma dalam memenuhi stok persediaan

farmasinya seperti obat-obatan, alat kesehatan dan perbekalan farmasi lainnya

terdapat beberapa jenis pembelian obat-obatan yang dilakukan apotek berdasarkan

kerjasama pada beberapa distributor yang menjadi mitra apotek dalam memenuhi

stok persediaan farmasi. Beberapa cara pembelian obat yang dilakukan pihak

apotek dengan para distributor, adalah sebagai berikut77:

1. Pembelian dengan cara cash, tunai atau lunas.

Dalam pembelian secara tunai ini diawali dengan kesepakatan antara

pihak apotek dengan petugas distributor yang datang menawarkan

barang mengenai jenis dan jumlah obat yang akan dipesan, harga,

diskon harga kalau ada, serta saat pengiriman barang tersebut hingga

tiba di lokasi apotek. Kemudian pihak distributor selain membicarakan

apa yang telah disebutkan pada pihak apotek yang tersebut diatas juga

(34)

akan membicarakan mengenai sistem pembayaran yang akan dilakukan

secara tunai setelah barang diantarkan kepada apotek. Pada pembelian

secara lunas ini biasanya pihak distributor pada saat mengantarkan

barang akan melampirkan keterangan surat tanda setor Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) yang sesuai dengan ketetapan pemerintah

sebesar 10%, potongan pajak ini ditanggung oleh pihak apotek. Hal ini

sudah disepakati diawal perjanjian dan akan dibayar sekaligus dengan

total harga barang setelah barang tersebut sampai di apotek dalam

keadaan barang sesuai dengan pesanan seperti jenis obat, jumlah obat,

kualitas dan sebagainya. Kemudian berakhir pulalah kerjasama

sementara pada tahap ini. Demikian selanjutnya bila terjadi pembelian

tunai untuk obat-obat berikutnya. Kerjasama ini bersifat terus-menerus,

dimana mengenai pengakhirannya dapat dilakukan pemberitahuan pada

pihak yang terkait dalam perjanjian.

2. Pembelian dengan cara konsinyasi

Mengenai pembelian konsinyasi, petugas distributor akan menawarkan

produk-produk kesehatan yang ada di perusahaannya untuk dijual di

apotek dan dibeli oleh konsumen yang tertarik akan barang tersebut.

Setelah adanya kesepakatan dari para pihak maka barang-barang

terlebih dahulu dititip jual kepada apotek. Dalam keadaan tersebut

pihak apotik belum timbul kewajiban untuk membayar atas

barang-barang yang dititip pihak distributor karena masih dalam tahap

(35)

barang tersebut sudah sampai pada tahap penjualan, yaitu karena

adanya pembelian dari konsumen maka dalam keadaan ini timbullah

kewajiban apotek untuk membayar kepada distributor sejumlah harga

barang yang terjual tersebut. Mengenai nominal hargabarang, para

pihak sudah memusyawarahkan diawal kesepakatan. Namun apabila

masa titip jual sudah jatuh tempo dan barang tersebut tidak laku juga

maka pihak distributor akan mengeluarkan kembali barang tersebut atau

jika barang yang laku hanya sebagian sehingga menyisakan barang

lainnya maka barang-barang yang tidak terjual tersebut akan

dikembalikan kepada pihak distributor. Titip jual ini biasanya terjadi

pada produk-produk yang baru pertama kali diproduksi belum beredar

luas di pasaran, sehingga masyarakat masih asing akan kualitas barang

tersebut.

3. Pembelian dengan kredit

Pada pembelian obat dengan cara kredit, diawali dengan adanya

kesepakatan dari pihak distributor untuk menjual barang-barangnya

kepada apotek yang akan dibayar secara kredit. Dimana pihak apotek

akan membeli sejumlah obat-obatan dari distributor, yang kemudian

akan dibayar secara kredit dengan jangka waktu yang sudah disepakati

oleh para pihak. Pihak apotek dan distributor terlebih dahulu akan

membuat kesepakatan mengenai jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan

pihak apotek, harga, jangka waktu pembayaran dan waktu penyampaian

(36)

terus menerus. Mengenai jangka waktu pembayaran, dalam pembelian

kredit tiap distributor memberikan penawaran yang berbeda-beda dalam

pelaksanaannya. Pada umumnya kesepakatan para pihak mengenai

jangka waktu berada pada waktu 2 minggu atau 15 hari, ada juga yang

dalam waktu 1 bulan atau 30 hari untuk pelunasannya. Setelah adanya

kesepakatan dari para pihak maka distributor akan mengantar barang

berikut faktur penjualannya dimana dalam faktur penjualan tersebut

sudah dituliskan jangka waktu atau tanggal pelunasan pembayaran dan

setelah jatuh tempo masa pelunasan maka pihak apotek akan membayar

lunas dari jumlah yang tertera pada faktur yang sudah ditambah pajak.

Setiap barang yang dibeli secara tunai, konsinyasi maupun kredit

dikenakan pajak.

Dari uraian tersebut diatas pelaksanaan kerjasama yang terjadi antara

pihak apotek dengan distributor obat mengandung segi-segi hukum

perjanjian disetiap jenis pembelian obat, yaitu sebagai berikut:

a. Pada pembelian obat secara cash, tunai atau lunas dilihat dari

pelaksanaan kerjasamanya mengandung segi hukum perjanjian berupa

Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian di mana kedua belah pihak

timbul hak dan kewajiban pokok.Penjual harus menyerahkan barang

yang dijual sedangkan pembeli membayar harga dari barang itu, begitu

juga yang terjadi dalam perjanjian sewa-menyewa yang menyewakan

berkewajiban memberikan kenikmatan dari barang yang disewakan

(37)

pihak adalah seimbang.78 Dalam kerjasama ini pihak penjual adalah distributor dan pihak pembeli adalah apotek sama seperti perjanjian jual

beli pada umumnya, dimana para pihak memiliki tanggung jawab yang

sama dalam pelaksanaanya.

b. Pada pembelian obat secara konsinyasi dilihat dari pelaksanaan

kerjasamanya mengandung segi hukum perjanjian berupa perjanjian

konsensuil dan riil, yaitu perjanjian yang berdasar kesepakatan atau

persesuaian kehendak dan perjanjian riil yaitu suatu perjanjian yang

terjadi tidak hanya berdasar persesuaian kehendak saja tetapi ada

penyerahan nyata, misalnya: penitipan barang (Pasal 1694 KUH

Perdata) pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata) dan pinjam mengganti

(Pasal 1754 KUH Perdata) pinjam mengganti belum berlaku selama

penyerahan barang yang akan dipinjamkan itu belum terlaksana.79

Dalam kerjasama ini pelaksanaannya tidak hanya berdasarkan

kesepakatan saja melainkan karena adanya penyerahan nyata dari pihak

distributor mengenai barang-barang yang akan dititip jual kepada

apotek.

c. Pada pembelian obat secara kredit, mengandung segi hukum perjanjian

yang termasuk kedalam jenis perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian

yang tidak memiliki nama khusus tetapi ketentuannya diatur dalam

KUH Perdata dan KUH Dagang dan terdapat di dalam masyarakat,

jumlah perjanjian ini tidak terbatas yang disesuaikan untuk kebutuhan

(38)

pihak-pihak yang mengadakannya. Yang termasuk dalam golongan

perjanjian ini adalah perjanjian jual-beli dengan angsuran, cicilan atau

kredit, termasuklah perjanjian yang dilakukan antara pihak apotek

dengan pihak distributor dalam pembelian obat dengan pembayaran

kredit atau cicil.

Pada umumnya perjanjian yang terjadi antara Apotek Umi Farma dengan

para distributor obat kebanyakan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, hanya

dilaksanakan berdasarkan kesepakatan lisan saja.

Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa suatu persetujuan sudah cukup

membuktikan bahwa telah terjadi hubungan keperdataan, dimana suatu perikatan

telah timbul oleh suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) antara satu orang atau

lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 KUH Perdata yaitu:

Pasal 1313 KUH Perdata

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang

atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Pasal 1314 KUH Perdata

Suatu perjanjian diadakan dengan cuma-cuma atau dengan

memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu

persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu

keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan.

Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan

yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu,

(39)

Selanjutnya, dapat dipahami bahwa suatu persetujuan sudah dapat membuktikan

adanya kewajiban dan hak (akibat hukum) yang ditimbul dari pihak-pihak yang

bersepakat.80

Bahwa perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat

para pihak, dan tidak menghilangkan baik dari hak maupun kewajiban para pihak

yang bersepakat. Namun untuk kemudahan pembuktian, acuan bekerja sama dan

melaksanakan transaksi sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis. Hal ini juga

dimaksudkan agar apabila terdapat perbedaan pendapat dapat kembali mengacu

kepada perjanjian yang telah disepakati.

Jika dilihat dari kerjasama yang dilakukan pihak distributor dengan pihak

apotek, maka secara keselurahan jenis perjanjian yang terjadi adalah perjanjian

obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah suatu perjanjian ketika mengharuskan atau

mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian

obligatoir ada beberapa macam, antara lain :

1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu

pihak dan hanya ada hak pada pihak lain. Misalnya, perjanjian hibah,

perjanjian pinjam-pakai.

Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian hak dan kewajiban pada kedua

belah pihak yang lainnya dan sebaliknya. Misalnya, perjanjian

sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar.

2. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil.

(40)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-Perjanjian konsensuil adalah, perjanjian yang mengikat sejak adanya

kesepakatan atau konsensus diantara kedua belah pihak. Jadi, perjanjian

tercipta dari detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak,

misalnya, perjanjian jual-beli.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan

perbuatan atau tindakan nyata, jadi dengan adanya kata sepakat saja,

perjanjian tersebut belum mengikat antara kedua belah pihak. Misalnya,

perjanjian pinjam-pakai.

Perjanjian formil adalah perjanjian yang terikat dalam waktu tertentu, jadi

bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika

bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian

tersebut tidak sah. Misalnya, untuk pendirian Perseroan Terbatas (PT) harus

dengan Akta Notaris.81

3. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu

memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima

suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya, hibah, pinjam pakai, pinjam

meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan

perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu

untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus

(41)

dilakukan oleh pihak lain. Contoh, jual beli, sewa menyewa, dan pinjam

meminjam dengan bunga.82

4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam

undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak

diatur secara khusus di dalam undang-undang. Misalnya, perjanjian

leasing, franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah

perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian

bernama. Misalnya, perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan

campuran dari perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian untuk melakukan

suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan

kamar).83

Dilihat dari prosedur perancangan perjanjian antara pihak apotek dengan

distributor obat dilakukan berdasarkan iktikad baikyang berarti mengandung asas

kebebasan berkontrak. Dimana para pihak sepakat memberikan kebebasan dalam

menentukan isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Bahwasanya suatu

persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya

karena sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah pasti dan wajib.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 1339 KUH

Perdata, yang menyatakan:

Pasal 1338 KUH Perdata

82 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

(42)

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pasal 1339 KUH Perdata

Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di

dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya

persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau

undang-undang.84

Iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan ukuran

objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian

harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya

adalah untuk memperoleh hak milik yaitu pada jual beli. Pelaksanaan perjanjian

adalah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak

supaya perjanjian itu tercapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan

mengikat dan memaksa, perjanjian yang telah dibuat sacara sah mengikat para

pihak, perjanjian tersebut tidak boleh dibuat atau dibatalkan secara sepihak saja.85

B.

Hak Dan Kewajiban Para Pihak Mengenai Perjanjian Kerjasama Dalam

Sistem Pembayaran Serta Pemasukan Dan Pengeluaran Obat

84 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis, Loc.Cit. Terakhir kali diakses pada tanggal 21 Mei 2013.

(43)

Dalam Bab IV bagian A tersebut diatas telah dijelaskan bahwa terdapat

tiga jenis pembelian obat yang dilakukan pihak apotek dengan pihak

distributor yaitu pembelian tunai, pembelian konsinyasi dan pembelian

kredit. Dalam pelaksanaan kerjasama tersebut menimbulkan hak dan

kewajiban bagi para pihak, yaitu:

Dalam pembelian tunai, maka pihak distributor berkewajiban antara lain:

1. Memberikan informasi tentang perkembangan harga barang kepada

apotek

2. Mengantar barang yang sudah dipesan dan disepakati oleh para pihak

kepada apotek

3. Memenuhi jumlah dan kualifikasi barang yang dipesan

4. Melengkapi faktur penjualan

5. Melampirkan surat tanda setor pajak

6. Menjamin keaslian dari produk yang dijual.

Adapun hak daripada distributor adalah:

4. Menerima pelunasan pembayaran berikut jumlah pajak yang telah

ditetapkan

5. Menarik kembali barang apabila pelunasan tidak dibayar oleh pihak

(44)

6. Mengambil kembali barang-barang yang telah dimasukkan jika terjadi

kerusakan atau ketidaksesuaian yang berarti mengurangi jumlah tagihan

yang akan dibayarkan.86

Kemudian pihak apotek mempunyai hak sebagai berikut:

1. Memeriksa kesesuaian barang yang telah dikirim oleh distributor

2. Mengembalikan atau return barang yang tidak sesuai dengan

kesepakatan

3. Menerima surat setoran pajak yang telah dilampirkan.

Setelah apotek mendapatkan haknya maka kewajiban apotek, yaitu

melunaskan pembayaran sesuai dengan faktur yang sudah termasuk pajak

sebesar 10%.

Dalam pembelian barang dengan konsinyasi, bahwa hak distributor secara

umum sama seperti haknya pada pembelian tunai. Demikian juga dengan

kewajibannya, namun dalam pembelian konsinyasi pihak distributor secara

otomatis berhak membawa kembali barang-barang titipan yang ternyata

tidak terjual dan sekaligus menerima pembayaran atas sejumlah barang

yang terjual, dan yang menjadi kewajibannya adalah menyerahkan

langsung barang tersebut kepada apotek untuk dititip jual yang jumlah dan

jenisnya sudah disepakati diawal perjanjian. Demikian juga pihak apotek

berhak mengembalikan barang-barang yang ternyata tidak terjual serta

berkewajiban membayar seluruh harga barang yang telah terjual ditambah

dengan membayar harga barang yang tidak terjual apabila terjadi

(45)

kerusakan dan hilangnya barang tersebut ketika berada di dalam

penguasaan pihak apotik.87

Dalam pembelian barang secara kredit hak dan kewajiban para pihak

diatur secara jelas dalam perjanjian, yaitu pihak pertama adalah apotek dan

pihak kedua adalah distributor. Selama jangka waktu kerjasama, Pihak

Pertama berhak dan berkewajiban untuk:

a. Tidak mencampuri kebijakan usaha yang sedang dijalankan oleh

Pihak Kedua.

b. Tidak melakukan pemaksaan kepada Pihak Kedua dalam

melaksanakan kegiatan usaha ini.

c. Tidak mengambil atau menambah sejumlah pesanan barang sebelum

masa pembayaran selesai pelunasan.

d. Melaksanakan pembayaran sesuai dengan total harga barang yang

tertera didalam faktur penjualan.

e. Membayar pajak atas setiap barang pesanan yang sudah dihitung

sekaligus dari total harga barang yang tertera didalam faktur

penjualan.

f. Berhak memeriksa barang yang sudah diantar oleh pihak kedua

sesuai dengan pesanan pihak pertama.

g. Berhak mengembalikan barang yang tidak sesuai dengan pesanan.

(46)

h. Berhak membatalkan perjanjian dan/atau mengembalikan kembali

sebagian barang pesanan dari Pihak Kedua setelah terbukti Pihak

Kedua melakukan pelanggaran, kecurangan dan/atau mengkhianati

isi akad ini.

Pihak Kedua berhak dan berkewajiban untuk:

a. Menyalurkan obat-obatan sesuai dengan pesanan Pihak Pertama yang

telah diterima Pihak Kedua untuk suatu kegiatan usaha yang akan

dijalankan.

b. Mengantarkan barang pesanan kepada pihak pertama sesuai dengan

waktu yang disepakati bersama.

c. Menjamin keaslian dari suatu barang.

d. Membuat laporan tertulis mengenai pelaksanaan kegiatan yang

diperjanjikan oleh para pihak sebagai dokumen kerja pihak kedua.

e. Melaporkan hal-hal yang bersifat luar biasa/musibah yang terjadi ketika

kegiatan usaha sedang berjalan kepada Pihak Pertama

selambat-lambatnya sehari setelah kejadian.

f. Berhak menentukan kebijakan-kebijakan yang berlaku dalam kegiatan

usaha pihak kedua.

g. Berhak mendapatkan pembayaran atas penyaluran obat-obatan sesuai

dengan pesanan pihak pertama.

h. Berhak membatalkan perjanjian dan/atau mengembalikan kembali

(47)

PihakPertama melakukan pelanggaran, kecurangan dan/atau

mengkhianati isi akad ini.88

C.

Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Kerjasama Mengenai Sistem

Pembayaran Serta Pemasokan Dan Pengeluaran Obat Antara Pihak Apotek Dengan Distributor Obat

Dalam pelaksanaan kerjasama antara apotek dengan distributor terkadang

muncul hambatan-hambatan yang dihadapi oleh para pihak baik dalam

pembelian tunai, konsinyasi, serta pembelian kredit akan diformulasikan

secara umum sebagai berikut:

a. Adanya keterlambatan dalam penyampaian barang ke lokasi apotek

yang sebelumnya sudah disepakati oleh para pihak mengenai

waktunya, hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh faktor cuaca yang

tidak tentu kondisinya dan diluar kuasa para pihak. Hambatan seperti

ini dapat diselesaikan dengan seketika melalui komunikasi oleh para

pihak.

b. Barang yang disampaikan oleh distributor tidak sesuai dengan

pesanan, baik kualifikasi barang tersebut maupun jumlah barang

yang diantar tidak sesuai dengan pesanan yang sudah ditentukan. Hal

ini juga dapat diselesaikan dengan seketika melalui membangun

komunikasi diantara para pihak, dimana kemungkinan barang yang

(48)

tidak sesuai tersebut dapat dikembalikan yang secara otomatis

mengurangi biaya tagihan yang akan dibayarkan pihak apotek.

c. Dalam pembelian barang secara konsinyasi terkadang terjadi

kerusakan barang atau hilangnya barang titipan yang berada dalam

penguasaan apotek, maka hal ini akan menjadi tanggung jawab

apotek sebagai pihak penerima barang titip jual atau konsinyasi

dengan membayar harga yang sudah ditentukan oleh pihak

distributor.

d. Kemudian dalam kerjasama pembelian secara kredit terkadang juga

menimbulkan hambatan yang umumnya terjadi dari pihak apotek,

dimana setelah waktu yang ditentukan sudah jatuh tempo pihak

apotek belum sanggup membayar atau hanya dapat membayar

sebagian dari nilai tagihan yang sudah dirinci, maka pihak apotek

akan segera menghubungi pihak perusahaan distributor atau penyalur

dan menjelaskan mengenai masalah penundaan pembayaran yang

sudah jatuh tempo tersebut serta menjelaskan keadaan-keadaan yang

menyebabkan pihak apotek menunda pembayaran sehingga pihak

distributor akan memperpanjang jangka waktu untuk melunasi

pembayaran tersebut. Dengan tertundanya pembayaran oleh pihak

apotek maka pihak distributor apabila pihak apotek akan memesan

barang lagi untuk sementara tidak dapat laksanakan oleh distributor

sampai pembayaran yang tertunda tersebut diselesaikan oleh pihak

Referensi

Dokumen terkait