DAFTAR PUSTAKA
I. Buku:
Amirin, M. Tatang, 2000, Menyusun Rencana Penelitian, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Arief, Muhammad, 2005, Manajemen Farmasi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Badan POM, 2007, Pedoman Cara Distribusi Obat Yang Baik.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.
BPHN Departemen Kehakiman, 1992/1993, Laporan Pengkajian Tentang
Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi.
Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
C., Ansel, Howard, 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan
oleh: Farida Ibrahim. UI Press, Jakarta.
Firmansyah, Muhamad, 2009, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi
dan Kesehatan, Visimedia, Jakarta.
Fuady, Munir, 2001,Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
H.S, Salim, 2008, Hukum Kontrak Teori dan Praktek Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta.
Ichsan, Ahmad, 1969, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999, Edisi kesepuluh, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
M. Soefwan, Sri Soedewi, 1975, Hukum Perutangan. Hukum Perdata FH UGM,
Yogyakarta.
Marbun, B., N, 1992, Kekuatan dan Kelemahan Perusahaan Kecil, Gramedia,
Jakarta.
Mashudi dan Ali Chidir, 2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum
Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum Perjanjian. Liberty, Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 1982,Hukum Perikatan, Bandung Press, Bandung.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Wijaja,2003, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mutchler, Ernst, 1991, Dinamika Obat,ITB Bandung, Bandung.
Nuraini, Widjayanti, V, 2002, Obat-Obatan. Kanisius, Yogyakarta.
Oentoeng Soebagijo, Felix, 1996, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.
Prawirohamidjojo, R. Seotojo, 1979, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya.
Prodjodikoro, Wirjono R., 1992,Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.
Santoso, Lukman, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Cakrawala, Yogyakarta.
Satrio, J, 2001,Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
______, 1996, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Setiawan, Rahmad, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.
Sri Hartini, Yustina, 2010,Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundang-undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes
tentang Apotek Rakyat, Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Subekti, R, 1996, Hukum Perjanjian,Intermasa, Jakarta.
________, 1985, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, 1988, Buku III Hukum Perikatan dengan
Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.
Syahrani, H. Riduan, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung.
Syamsudin Meliala, A.Qiram, 1985,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta.
Syarief, Amir, 1989, Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta.
Winardi, 1994, Azas-Azas Marketing, Mandar Maju, Bandung.
Yulinah Sukandar, Elin, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Departemen
Farmasi FMIPA ITB, Bandung.
II. PeraturanPerundang-undangan:
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 10.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Psal 1 angka 9.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 7.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Pasal 1angka 21.
Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993 tentang Obat
Keras Tertentu.
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen Atau
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 Pasal 1
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990 tentang
Pedagang Besar Farmasi.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPR/KEP/I/1998
tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan.
SK Mendag No. 77/KP/III/78 tentang Ketentuan Mengenai Kegiatan
Perdagangan Terbatas Bagi Perusahaan Produksi Dalam Rangka
Penanaman Modal.
III. Website:
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/distributor. Terakhir
kali diakses pada tanggal 22 Mei 2013, jam 19.30 WIB.
Bank Indonesia, Sistem Pembayaran,
http://www.bi.go.id/web/id/Sistem+Pembayaran/. Terakhir kali diakses
pada tanggal 2 Mei 2013, Jam 11.00 WIB.
Institut Sains dan Teknologi Nasional, Persyaratan Perizinan Apotek,
http://farmasi-istn.blogspot.com/2007/11/persyaratan-perizinan-pendirian-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013, Jam 20.00
WIB.
Icha Fitria, Dunia Farmasi dan Kesehatan,
http://ichafitria-
duniafarmasidankesehatan.blogspot.com/2011/08/contoh-laporan-apotek.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 14 Mei 2013, Jam 20.20
WIB.
Atira Rachmawati, Peran dan Fungsi Apoteker di Apotek dan Rumah Sakit,
http://arlovera.blogspot.com/2010/05/peran-dan-fungsi-apoteker-di-apotek-dan.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 15 Mei, Jam 22.00
WIB.
I’m Pharmapreneur, Menciri PBF (Pedagang Besar Farmasi) yang Diminati
Apotek,
http://bisnisapotek.blogspot.com/2010/12/menciri-pbf-pedagang-besar-farmasi-yang.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 22 Mei 2013,
Jam 13.00 WIB.
Bimo Prasetio S.H, dan Asharyanto S.H.I, Perlunya Perjanjian Dibuat Secara
Tertulis,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis, terakhir kali diakses pada tanggal 20 Mei
2013, Jam 23.00 WIB.
Lindri Widya Atfa, Makalah Hukum Perjanjian,
http://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/,
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK DAN DISTRIBUTOR
A. Tinjauan umum tentang Apotek 1. Pengertian Apotek
Kesehatan sebagai hak asasi telah menjadi kebutuhan mendasar dan
menjadi kewajiban negara dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di
bidang kesehatan. Salah satu strategi dalam meningkatkan derajat kesehatan
adalah mengutamakan pelayanan yang berkualitas terhadap setiap masyarakat
dimana salah satunya adalah dalam bidang pelayanan kefarmasian.
Berdasarkan rumusan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1332/MENKES/SK/X/2002 Bab 1 Pasal 1 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan Tata
Cara Pemberian Izin Apotek memberikan definisi Apotek adalah “Suatu tempat
tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan
farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat”. Peraturan Pemerintah
No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan Bab 1, bahwa “Apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker”.41
Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan juga
termasuk obat-obatan tradisonal.
2. Tugas dan Fungsi Apotek
Apotek berperan sebagai sarana dalam memberikan informasi obat kepada
masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.42Apotek mempunyai tugas dan fungsi
utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang berhubungan dengan hal
tersebut, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di rumah.43 Selain
dari itu, apotek juga memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan
sumpah/janji jabatan.
b. Sarana pelayanan farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan
bentuk, dan pencampuran obat atau bahan obat.
c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat
yang diperlukan oleh masyarakat secara luas dan merata.
d. Sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.44
3. Peraturan Mengenai Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang
diatur dalam:
a. Undang – Undang Obat Keras (St.1973 No.541).
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
42 Muhamad Firmansyah, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi & Kesehatan, Jakarta : Visimedia, 2009, hlm. 27.
43 Mohammad Arief, Manajemen Farmasi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005, hlm. 3.
d. Undang – Undang No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.
e. Peraturan Menkes RI No. 41 Tahun 1980 tentang Masa Bhakti Ijin
Kerja Apoteker.
f. Peraturan Menkes RI No. 922/SK/Menkes/X/1993 tentang Tata Cara
Pemberian Ijin Apotek.
g. Peraturan Pemerintah No. 51 / Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
h. Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
i. Kepmenkes No. 1331/Menkes/SK/X/2002tentang perubahan Atas
Peraturan Menkes No. 922/Menkes/X/1993 tentang Ketentuan dan
Tata Kerja Pemberian Apotek.
j. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP
No. 26 tahun 1965 mengenai Apotek.
k. Peraturan Menteri Kesehatan No. 695/MENKES/PER/VI/2007
tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan N0. 184
tahun 1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin
Kerja Apoteker.
l. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
m. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek.
4. Persyaratan Perizinan Pendirian Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002,
disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah sebagai berikut:45
a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerjasama
dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap
dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan
farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan
komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar
sediaan farmasi.
Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian apotek
adalah:
1) Lokasi dan Tempat, Jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun
sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan
pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli
penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan
mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan.
2) Bangunan dan Kelengkapan, Bangunan apotek harus mempunyai luas dan
memenuhi persyaratan yang cukup, serta memenuhi persyaratan teknis
sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek
serta memelihara mutu perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Bangunan
apotek sekurang-kurangnya terdiri dari : ruang tunggu, ruang administrasi
dan ruang kerja apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan
penyerahan obat, tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet.
Bangunan apotek juga harus dilengkapi dengan : sumber air yang
memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang baik, alat pemadam
kebakaran yang befungsi baik, ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan
memenuhi syarat higienis, papan nama yang memuat nama apotek, nama
APA, nomor SIA, alamat apotek, nomor telepon apotek.
3) Perlengkapan Apotek, Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain:
(a) Alat pembuangan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortir,
gelas ukur dll.
(b) Perlengkapan dan alat penyimpanan, dan perbekalan farmasi, seperti
lemari obat dan lemari pendingin.
(c) Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastik pengemas.
(d) Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan beracun.
(e) Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta kumpulan
peraturan per-UU yang berhubungan dengan apotek.
(f) Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan
4) Prosedur perizinan apotek
Untuk mendapatkan izin apotek, APA atau apoteker pengelola apotek
yang bekerjasama dengan pemilik sarana harus siap dengan tempat, perlengkapan,
termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya. Surat izin apotek (SIA) adalah
surat yang diberikan Menteri Kesehatan RI kepada apoteker atau apoteker
bekerjasama dengan pemilik sarana untuk membuka apotek di suatu tempat
tertentu.
Dalam wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin,
pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri
Kesehatan dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Sesuai dengan Keputusan MenKes RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 Pasal
7 dan 9 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yaitu:
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari
setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada
Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap
kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM
selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala
d. Dalam hal pemerikasaan dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan,
apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan
kegiatan kepada Kepala Kantor Dinas Kesehatan setempat dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.
e. Dalam jangka 12 hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan
sebagaimana ayat (3) atau persyaratan ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan
setempat mengeluarkan surat izin apotek.
f. Dalam hasil pemerikasaan tim Dinas Kesehatan setempat atau Kepala
Balai POM dimaksud (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas
Kesehatan setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan surat
penundaan.
g. Terhadap surat penundaan sesuai dengan ayat (6), apoteker diberikan
kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi
selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak tanggal surat penundaan.
h. Terhadap permohonan izin apotek bila tidak memenuhi persyaratan sesuai
pasal (5) dan atau pasal (6), atau lokasi apotek tidak sesuai dengan
permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Dinas setempat dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat
penolakan disertai dengan alasan-alasannya. 46
5) Pengelolaan Apotek
Pengelolaan apotek meliputi :
(a) Pembuatan,pengolahan,peracikan,pengubahanbentuk,pencampuran,
penyimpanan, pengarahan obat serta bahan obat.
(b) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi
lainnya.
(c) Pelayanan informasi tentang mengenai perbekalan farmasi, yang meliputi :
1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan lainnya yang di berikan
kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
2. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya.
3. Pelayanan informasi yang di maksud di atas wajib di dasarkan pada
kepentingan masyarakat.
Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan
perbekalan farmasi yang bermutu dan keabsahannya terjamin. Obat dan
perbekalan farmasi karena suatu hal tidak digunakan lagi atau dilarang digunakan
harus di musnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau cara lain yang
ditetapkan oleh Dirjen POM. Pemusnahan dilakukan oleh apoteker pengelola
apotek, pada saat pemusnahan wajib dibuat berita acara pemusnahan.Pemusnahan
narkotika wajib mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku.47
5. Apoteker
Beberapa peraturan perundang-undang yang merumuskan tentang definisi
apoteker, yaitu sebagai berikut:
(a) Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002 tentang perubahan
atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 tahun 1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, “Apoteker adalah
sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasiaan di Indonesia
sebagai apoteker”.48
(b) Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasiaan, “Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker”.49
6. Peran dan Fungsi Apoteker
Dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dirumuskan Peran
dan Fungsi Apoteker di Apotik adalah sebagai :
(a) Pelayan
(b) Manajer
Sebagai Pelayan adalah :
1. Membaca resep dengan teliti, meracik obat dengan cepat, membungkus dan
menempatkan obat dalam wadah / bungkus yang cocok dan memeriksa serta
memberi etiket dengan teliti.
2. Memberikan informasi / konsultasi tentang obat kepada pasien, tenaga
kesehatan masyarakat.
3. Melayani resep dan non resep.
Sebagai Pelayan Resep melakukan :
a. Skrining/pembacaan resep, melakukan pemeriksaan persyaratan
administrative resep yaitu antara lain: Nama dokter, alamat, SIP, tanggal
penulisan, paraf/tanda tangan, nama pasien, alamat, umur, jenis kelamin, berat
badan, signa (cara pakai) yang jelas dan informasi lainnya.
b. Kesesuaian farmasetik, yaitu antara lain: bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkomptabilitas, cara dan lama pemberian.
c. Pertimbangan klinis, yaitu antara lain: alergi, efek samping, interaksi dan
penyiapan obat.
d. Peracikan (hitung, sediakan, campur, kemas, label)
e. Penyerahan obat.
f. Pemberian informasi dan konseling.
g. Monitoring penggunaan obat.
h. Promosi dan edukasi, sebagai tenaga promosi dan edukasi melakukan Swa
medikasi (dengan medication record) dan penyebaran brosur serta poster
tentang kesehatan.
i. Pelayanan residensial (home care), sebagai tenaga pelayanan residensial
(home care) untuk penyakit kronis (dengan medication record).
Sebagai Manajer adalah :
a. Menyusun prosedur tetap.
b. Mengelola obat, sumber daya manusia, peralatan dan uang di Apotik.
d. Membuat prosedur tetap untuk masing – masing pelayanan.50 Larangan Apoteker
Beberapa larangan apoteker diantaranya yaitu:
a. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan profesi apoteker
b. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kode etik apoteker
c. Menjalankan profesinya diluar tempat yang tercantum dalam Surat Izin
Apotek (SIA)
d. Menjalankan profesinya dalam keadaan jasmani dan rohani terganggu. 51
7. Obat
Pada saat ini kedudukan obat sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok
yang melekat dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup
dalam menyembuhkan penyakit yang sedang diderita, misalnya sakit kepala, sakit
mata, demam tinggi, flu batuk, serta penyakit lainnya. Agar rasa sakit yang
diderita berkurang maka mengkonsumsi obat adalah salah satu cara
penyembuhannya. Pada mulanya penggunaan obat-obatan dilakukan secara
empirik dari tumbuhan, hanya berdasarkan pengalaman.52
Ada beberapa pengertian mengenai obat, yaitu sebagai berikut:
Obat adalah bahan yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit
atau sebagai penyembuhan bagi seseorang dari penyakit.53Obat adalah bentuk
50http://arlovera.blogspot.com/2010/05/peran-dan-fungsi-apoteker-di-apotek-dan.html. Terakhir kali diakses pada tanggal 15 Mei 2013.
51 Yustina Sri Hartini, Naskah Peraturan Perundang-undangan terkait Apotek Termasuk
Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat, Cetakan ke tiga, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm. 10.
52 Elin Yulinah Sukandar, Tren dan Paradigma DuniaFarmasi, Departemen Farmasi FMIPA ITB, Bandung, hlm. 2.
sediaan tertentu dari bahan obat yang digunakan pada manusia maupun hewan
dimana bahan obat terdiri dari zat aktif dan bahan penolong yang berfungsi untuk
mencegah, meringankan, menyembuhkan, atau mengenali penyakit.54Obat adalah
semua zat, baik zat kimia maupun tumbuh-tumbuhan dalam dosis yang layak
mampu mempengaruhi organ-organ tubuh agar berfungsi normal.55Obat adalah
sebagai suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis, mengurangi
rasa sakit, mengobati atau mencegah penyakit pada manusia dan hewan.56 Obat
adalah obat, jadi termasuk produk biologi, yang merupakan paduan zat aktif dan
zat tambahan termasuk kontrasepsi dan sediaan lain yang mengadung obat.57 Obat
adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup.58
Klasifikasi Obat Berdasarkan Undang-Undang,
Berdasarkan undang-undang obat dibagi menurut tingkat keamanannya menjadi
beberapa kelompok, diantaranya yaitu:
a. Kelompok Obat Bebas
Sesuai dengan namanya obat-obat bebas dapat dijual-belikan dengan
bebas tanpa resep dokter dan dapat dibeli di apotek, toko obat, maupun
warung-warung kecil.
b. Kelompok Obat Bebas Terbatas
Obat-obat dalam kelompok ini disebut dalam daftar obat W
(Waarschuing/peringatan). Obat-obatan ini dapat dijual-belikan secara
54 Ernst Mutchler, Dinamika Obat, ITB Bandung, Bandung, 1991, hlm. 3. 55 V. Nuraini Widjayanti, Obat Obatan, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 23. 56 Howard C. Ansel, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh: Farida Ibrahim, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2005, hlm. 1.
bebas dengan syarat hanya dalam jumlah yang telah ditentukan dan
disertai dengan tanda peringatan. Pada pembungkusnya diberi tanda
khusus, yaitu warna biru didalam lingkaran warna hitam. Tanda
peringatan ditulis dengan huruf putih diatas kertas yang umumnya
berwarna hitam.
c. Kelompok Obat Keras
Kelompok obat keras dikenal juga dengan obat daftar G
(Gevaarlijk/berbahaya). Obat-obatan golongan ini sangat berbahaya,
mempunyai efek samping yang sangat besar. Untuk mendapatkan obat
ini harus berdasarkan resep dokter yang hanya dapat dibeli di apotek.
Sebagai tanda khusus, pada pembungkusnya diberi huruf K dengan latar
belakang merah didalam lingkaran warna hitam.
d. Kelompok Psikotropika
Kelompok psikotropika ini sama dengan kelompok obat keras baik cara
mendapatkannya maupun tanda khususnya. Perbedaan penggunaan obat
ini lebih ketat dibandingkan dengan obat keras. Pemasukan dan
pemakaian psikotropika harus tercatat dan harus dibuat laporan ke
instansi yang berwenang.
e. Kelompok Narkotika
Kelompok narkotika ini dikenal juga sebagai obat golongan O (Opium).
Narkotika ini hanya dapat diperoleh berdasarkan resep dokter dan hanya
dapat dibeli di apotek. Peredaran obat narkotika ini sangat ketat dan
dibuat laporan setiap bulan ke instansi yang berwenang. Tanda khusus
narkotika, pada pembungkusnya terdapat palang merah dengan latar
belakang putih dan didalam lingkaran berwarna merah.59
A. Tinjauan Umum Tentang Distributor 1. Pengertian Distributor
Distributor adalah suatu perusahaan perdagangan nasional yang bertindak
untuk dan atas namanya sendiri, yang ruang lingkupnya meliputi kegiatan
pembelian, penyimpanan, penjualan, serta pemasaran barang atau jasa.60Hal ini
berbeda dengan agen yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama
prinsipal.
Prinsipal adalah orang perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang berada didalam negeri atau diluar negeri
yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/ atau
jasa yang dimiliki/dikuasai.
Dalam melakukan kegiatan pemasaran dan penjualan barang, distributor
melakukan pembelian barang-barang dari pihak prinsipal. Dengan adanya jual beli
tersebut, kepemilikan barang berpindah kepada pihak distributor, dan
barang-barang yang telah menjadi miliknya tersebut yang dijual kembali kepada
konsumen terbatas dalam wilayah yang diperjanjikan.
Dalam dunia bisnis, perusahaan atau perorangan yang mengangkat atau
menunjuk distributor disebut prinsipal. Pengangkatan atau penunjukan distributor
59V. Nuraini Widjayanti, Op.Cit, hlm. 15-17.
dapat dilakukan oleh prinsipal yang pada umumnya dalam bentuk tertulis,
sekalipun secara lisan tidak ada larangan, tetapi pada saat ini hubungan distributor
dengan prinsipal biasanya diikat oleh suatu persetujuan dalam bentuk
kontraktuil.61 Perbedaan agen dengan distributor adalah sebagai berikut:
Agen adalah perusahaan yang menjual barang atau jasa untuk dan atas
nama prinsipal,pendapatan yang diterima adalah atas hasil dari barang-barang atau
jasa yang dijual kepada konsumen berupa komisi dari hasil penjualan,barang
langsung dikirimkan dari prinsipal kepada konsumen jika antara agen dengan
konsumen mencapai suatu persetujuan,pembayaran atas barang yang telah
diterima oleh konsumen langsung kepada prinsipal bukan melalui agen.
Distributor adalah perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, membeli dari prinsipal/produsen dan menjual kembali kepada konsumen
untuk kepentingan sendiri,prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari
produk-produknya, sehingga bertanggung jawab atas keamanan pembayaran
barang-barangnya untuk kepentingan sendiri.62
2. Pengertian Distributor Obat (Pedagang Besar Farmasi/PBF)
Istilah PBF merupakan kepanjangan dari Pedagang Besar Farmasi yang
berperan sama sebagai distributor pada umumnya, hanya saja karena bergerak di
bidang pendistribusian produk kefarmasiaan, maka disebutlah sebagai PBF. Peran
61 Felix Oentoeng Soebagijo, Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan
Distribusi dalam Hukum Ekonomi, Penyunting Soemantoro, Jakarta : U.I Press, 1996,
hlm. 243.
PBF dalam ruang lingkup bisnis apotek tentu sangat erat, sehingga antara apotek
dan PBF sama-sama saling membutuhkan.
Fungsi PBF adalah perpanjangan tangan dari pabrik farmasi (principal)
daerah yang diliputnya untuk mendistribusikan segala produk farmasi ke seluruh
apotek, rumah sakit, puskesmas dan instansi kesehatan lainnya di daerah yang
diliputnya. Apotek adalah salah satu customer dari sebuah PBF. Mengingat
samakin tingginya penyebaran apotek ke berbagai daerah, hal ini diikuti pula
dengan tumbuh suburnya keberadaan PBF.
Dalam prakteknya PBF ada yang bersifat lokal dan bersifat nasional
(utama). Pada PBF lokal keberadaannya biasanya hanya meliputi satu daerah
tertentu saja. Sehingga apotek yang berada diluar jangkauan daerah tersebut tidak
akan terliput oleh PBF tersebut. Alasan adanya PBF lokal ini sebenarnya
dikarenakan daya jangkau PBF utama tidak mencukupi daerah tersebut untuk
diliputnya. Untuk membentuk perpanjangan tangan agar produk prinsipal tetap
terdistribusi secara merata, maka PBF utama akan menggandeng beberapa PBF
lokal tersebut. Keberadaan stok dan aneka program promo yang dijalankan
biasanya akan diawasi oleh PBF utama. Selain itu, ada juga beberapa prinsipal
lokal yang memanfaatkan keberadaan PBF lokal ini. Hal ini tentu saja dengan
pertimbangan adanya efisiensi biaya distribusi. Sedangkan PBF nasional (utama)
memiliki cakupan peliputan daerah yang luas ke seluruh penjuru tanah air dan
memiliki perwakilan kantor cabang di tiap area sehingga menjadikan PBF ini
bersifat nasional. Umumnya principal yang bonafid akan mempercayakan
produknya akan terdistribusi merata keseluruh pelosok nusantara. Keuntungan
bagi apotek dalam berhubungan dengan PBF utama adalah adanya jaminan
ketersediaan produk, dan kemudahan proses return (pengembalian) produk. Selain
itu, kepastian bahwa produk tersebut adalah produk asli tentu tak perlu diragukan
lagi. Karena memang supply produk PBF utama bearasal dari gudang prinsipal
secara langsung. Disisi lain, prinsipal biasanya dalam membuat program promo
akan bekerjasama dengan PBF utama sehingga bagi apotek yang loyal akan
mendapatkan beragam program promo.63
Disamping hal tersebut diatas, ada juga perusahaan farmasi yang memiliki
distributor sendiri yang khusus untuk mendistribusikan produk-produk yang
dihasilkan dari perusahaan farmasi tersebut. Disini perusahaan tersebut selain
sebagai penghasil juga sebagai penyalur dalam mendistribusikan
produk-produknya ke berbagai instansi kesehatan sehingga sampailah ke tangan
konsumen dan juga sebagai penjual ecer yang langsung menjual kepada
konsumen.
Suatu perusahaan harus bisa menciptakan suatu metode tertentu agar
pemasaran hasil produksinya dapat berjalan dengan baik melalui perantara
perusahaan, hingga sampai ke tangan konsumen dengan aman dan dapat
dipertanggungjawabkan. Faktor lain yang ikut mendukung dalam penciptaan
pelanggan adalah masalah transportasi atau pengangkutan disamping faktor letak
yang strategis serta faktor-faktor lain yang mendukung. 64
Pemasaran atau marketing adalah suatu tindakan yang menyebabkan
berpindahnya hak milik atas benda dan jasa, selanjutnya di distribusikan secara
fisik.65Beberapa peraturan perundang-undangan yang mendefiniskan mengenai
distributor obat atau pedagang besar farmasi yaitu sebagai berikut:
a. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika Pasal 1 angka
21, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang
berbadan hukum yang memiliki izin usaha perdagangan besar dari
Menteri Perdagangan dan memiliki izin khusus dari Menteri
Kesehatan”.66
b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka
7, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang
memiliki izin dari Menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran
sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan”.67
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1 angka
9, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan
kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat
kesehatan”.68
d. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka
10, “Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan,
penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika
dan alat kesehatan”.69
e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990
tentang Pedagang Besar Farmasi, Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1
Ayat (1) berisi: “Pedagang Besar Farmasi adalah Badan Hukum
PT/Koperasi yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran perbekalan termasuk dalam jumlah besar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.70
f. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2
dan angka 3, “Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat
PBF, adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin
untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat
dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk
melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan
obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan”.71
g. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
23/MPR/KEP/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan
69 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 10.
70 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 243/MEN.KES/SK/V/1990 tentang Pedagang Besar Farmasi.
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9, “Distributor utama adalah
orang perorangan atau badan usaha yang bertindak atas namanya
sendiri yang ditunjuk oleh pabrik atau pemasok untuk melakukan
pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dalam
partai besar secara tidak langsung kepada konsumen akhir terhadap
barang yang dimiliki/dikuasai oleh pihak yang menunjuknya”.72
h. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993
tentang Obat Keras Tertentu, “Distribusi adalah penjualan, pemberian,
penyerahan, pengangkutan, penyediaan di tempat penjualan dan
penyimpanan untuk penjual”.73
3. Peraturan Yang Menyangkut Distributor Obat
Pengaturan tentang perjanjian distributor tidak diatur secara khusus, walau
demikian ada ketentuan dari KUH Perdata yang menampungnya yaitu
ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian yang tidak bernama.74
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur khusus
mengenai distributor obat atau pedagang besar farmasi yaitu:
1. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie,
Staatsblad 1949: 419);
72 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 23/MPR/KEP/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan.
73 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/MENKES/PER/II/1993 tentang Obat Keras Tertentu.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5062);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005;
8. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun
2005;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
10.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.21.4231 Tahun 2004;
11.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.3546 Tahun
2009;
12.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;
13.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
189/Menkes/SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional;
14.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1191/Menkes/SK/IX/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.918/Menkes/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar
15.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementrian Kesehatan;
16.Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik.
B. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Perjanjian Distributor
Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam perjanjian mengenai
pembahasan ini adalah pihak-pihak yang berkaitan langsung dalam suatu
perjanjian yaitu apotek dan distributor. Menurut Pasal 1315 KUH Perdata
disebutkan, “pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri”.
Memang sudah semestinya, perikatan hukum yang dilakukan dalam perjanjian
hanya mengikat pada orang-orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan
tidak mengikat orang-orang di luar perjanjian tersebut.
Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
antara para pihak yang membuatnya. Orang-orang yang di luar perjanjian adalah
pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan dalam perjanjian tersebut.
C. Jangka Waktu Serta Berakhirnya Perjanjian Distributor
Umumnya perusahaan distributor dalam melakukan kegiatannya sebagai
1. Atas persetujuan kedua belah pihak
2. Salah satu pihak dengan sengaja melalaikan kewajiban-kewajibannya dan
atau melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dalam
perjanjian
3. Salah satu pihak jatuh pailit dan atau dibubarkan menurut undang-undang
yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Bagi pihak yang ingin mengakhiri perjanjian sebelum atau sesudah
berakhirnya masa berlakunya harus memberitahukan secara tertulis kepada pihak
terkait dalam perjanjian 3 bulan sebelumnya.75
Untuk perusahaan asing dimana prinsipalnya bukan perusahaan Indonesia
dan tidak berdomisili di Indonesia prinsipal tersebut berkedudukan di luar Negara
Indonesia dalam melakukan perjanjian bisnis dengan distributor lokal berlaku
ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa penunjukan sebagai
agen atau distributor haruslah dilakukan untuk jangka waktu minimal 3
tahun.76Pihak prinsipal luar negeri tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya
secara langsung kepada konsumen di Indonesia sehingga untuk pemasarannya
wajib mengadakan perjanjian dengan distributor lokal yang isi perjanjiannya
ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak yang
membuat perjanjian, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan.
Dengan adanya penetapan jangka waktu minimal tersebut bertujuan untuk
melindungi perusahaan nasional.
75 BPHN Departemen Kehakiman, Op.Cit, hlm. 35
Dalam penelitian ini untuk jangka waktu dan pengakhiran perjanjian
diantara para pihak adalah tergantung dari pada kesepakatan masing-masing pihak
yang sudah diatur di dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Biasanya pada
apotek, apabila pembayaran sudah dilaksanakan untuk memenuhi kewajibannya
yang berjangka waktu maksimal dalam tempo 30 hari (untuk pembelian secara
kredit)perjanjian tidak berhenti pada saat itu juga, biasanya pihak apotek akan
melanjutkan kembali perjanjian tersebut dengan distributor tersebut juga dan
distributor lainnya dengan jenis dan jumlah pesanan yang berbeda atau dengan
jenis yang sama tetapi jumlah berbeda. Bahkan jika dibutuhkan para pihak akan
memperbaharui kembali isi perjanjiannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada perusahaan masing-masing pihak, perjanjian ini bersifat
BAB IV
SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DALAM SISTEM PEMBAYARAN DARI PIHAK APOTEK KEPADA DISTRIBUTOR OBAT MENGENAI PEMASOKAN DAN PENGELUARAN OBAT (STUDI PADA APOTEK
UMI FARMA JALAN KARYA KASIH No. 104 MEDAN JOHOR)
A.
Bentuk Pelaksanaan Kerjasama Terhadap Sistem Pembayaran SertaPemasokan dan Pengeluaran Obat Antara Apotek Dengan Distributor (Pada Apotek Umi Farma Jalan Karya Kasih No. 104 Medan Johor).
Berdasarkan hasil studi di Apotek Umi Farma yaitu dengan mempelajari
dokumen yang ada serta berdasarkan wawancara dengan pihak apotek dan petugas
distributor yang menjadi mitra kerjasama Apotek Umi Farma dapat dijelaskan
bahwa pada dasarnya bentuk pelaksanaan kerjasama antara Apotek Umi Farma
dengan pihak distributor dilakukan berdasarkan kesepakatan secara lisan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dengan demikian bentuk kerjasama yang terjadi
diantara para pihak adalah hasil dari kesepakatan yang secara yuridis terdapat
keseimbangan diantara para pihak, maksudnya adalah tidak ada pihak yang kuat
atau pihak yang lemah keduanya memiliki kedudukan yang seimbang baik secara
yuridis maupun psikologis.
Kerjasama ini awalnya dimulai dengan penawaran yang diberikan dari
pihak distributor mengenai jenis-jenis barang yang terdapat di perusahaan mereka
untuk disalurkan kepada apotek tersebut. Kemudian pihak apotek menanggapi
penawaran kerjasama tersebut sehingga akhirnya para pihak sepakat untuk
Dalam menuangkan kerjasama yang diawali secara lisan tersebut kedalam
bentuk tertulis,para pihak diberi kebebasan mengenai hal-hal apa saja yang akan
di perjanjikan dari kerjasama tersebut yang sesuai dengan kesepakatan bersama
para pihak agar pelaksanaannya tidak berat sebelah, dimana satu sisi memberatkan
pihak apotek dan disisi lain meringankan pihak distributor.
Perjanjian yang telah disetujui tersebut dengan sendirinya akan mengikat
para pihak, hal tersebut tercantum dalam dalam Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1),
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Mengenai sistem Apotek Umi Farma dalam memenuhi stok persediaan
farmasinya seperti obat-obatan, alat kesehatan dan perbekalan farmasi lainnya
terdapat beberapa jenis pembelian obat-obatan yang dilakukan apotek berdasarkan
kerjasama pada beberapa distributor yang menjadi mitra apotek dalam memenuhi
stok persediaan farmasi. Beberapa cara pembelian obat yang dilakukan pihak
apotek dengan para distributor, adalah sebagai berikut77:
1. Pembelian dengan cara cash, tunai atau lunas.
Dalam pembelian secara tunai ini diawali dengan kesepakatan antara
pihak apotek dengan petugas distributor yang datang menawarkan
barang mengenai jenis dan jumlah obat yang akan dipesan, harga,
diskon harga kalau ada, serta saat pengiriman barang tersebut hingga
tiba di lokasi apotek. Kemudian pihak distributor selain membicarakan
apa yang telah disebutkan pada pihak apotek yang tersebut diatas juga
akan membicarakan mengenai sistem pembayaran yang akan dilakukan
secara tunai setelah barang diantarkan kepada apotek. Pada pembelian
secara lunas ini biasanya pihak distributor pada saat mengantarkan
barang akan melampirkan keterangan surat tanda setor Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang sesuai dengan ketetapan pemerintah
sebesar 10%, potongan pajak ini ditanggung oleh pihak apotek. Hal ini
sudah disepakati diawal perjanjian dan akan dibayar sekaligus dengan
total harga barang setelah barang tersebut sampai di apotek dalam
keadaan barang sesuai dengan pesanan seperti jenis obat, jumlah obat,
kualitas dan sebagainya. Kemudian berakhir pulalah kerjasama
sementara pada tahap ini. Demikian selanjutnya bila terjadi pembelian
tunai untuk obat-obat berikutnya. Kerjasama ini bersifat terus-menerus,
dimana mengenai pengakhirannya dapat dilakukan pemberitahuan pada
pihak yang terkait dalam perjanjian.
2. Pembelian dengan cara konsinyasi
Mengenai pembelian konsinyasi, petugas distributor akan menawarkan
produk-produk kesehatan yang ada di perusahaannya untuk dijual di
apotek dan dibeli oleh konsumen yang tertarik akan barang tersebut.
Setelah adanya kesepakatan dari para pihak maka barang-barang
terlebih dahulu dititip jual kepada apotek. Dalam keadaan tersebut
pihak apotik belum timbul kewajiban untuk membayar atas
barang-barang yang dititip pihak distributor karena masih dalam tahap
barang tersebut sudah sampai pada tahap penjualan, yaitu karena
adanya pembelian dari konsumen maka dalam keadaan ini timbullah
kewajiban apotek untuk membayar kepada distributor sejumlah harga
barang yang terjual tersebut. Mengenai nominal hargabarang, para
pihak sudah memusyawarahkan diawal kesepakatan. Namun apabila
masa titip jual sudah jatuh tempo dan barang tersebut tidak laku juga
maka pihak distributor akan mengeluarkan kembali barang tersebut atau
jika barang yang laku hanya sebagian sehingga menyisakan barang
lainnya maka barang-barang yang tidak terjual tersebut akan
dikembalikan kepada pihak distributor. Titip jual ini biasanya terjadi
pada produk-produk yang baru pertama kali diproduksi belum beredar
luas di pasaran, sehingga masyarakat masih asing akan kualitas barang
tersebut.
3. Pembelian dengan kredit
Pada pembelian obat dengan cara kredit, diawali dengan adanya
kesepakatan dari pihak distributor untuk menjual barang-barangnya
kepada apotek yang akan dibayar secara kredit. Dimana pihak apotek
akan membeli sejumlah obat-obatan dari distributor, yang kemudian
akan dibayar secara kredit dengan jangka waktu yang sudah disepakati
oleh para pihak. Pihak apotek dan distributor terlebih dahulu akan
membuat kesepakatan mengenai jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan
pihak apotek, harga, jangka waktu pembayaran dan waktu penyampaian
terus menerus. Mengenai jangka waktu pembayaran, dalam pembelian
kredit tiap distributor memberikan penawaran yang berbeda-beda dalam
pelaksanaannya. Pada umumnya kesepakatan para pihak mengenai
jangka waktu berada pada waktu 2 minggu atau 15 hari, ada juga yang
dalam waktu 1 bulan atau 30 hari untuk pelunasannya. Setelah adanya
kesepakatan dari para pihak maka distributor akan mengantar barang
berikut faktur penjualannya dimana dalam faktur penjualan tersebut
sudah dituliskan jangka waktu atau tanggal pelunasan pembayaran dan
setelah jatuh tempo masa pelunasan maka pihak apotek akan membayar
lunas dari jumlah yang tertera pada faktur yang sudah ditambah pajak.
Setiap barang yang dibeli secara tunai, konsinyasi maupun kredit
dikenakan pajak.
Dari uraian tersebut diatas pelaksanaan kerjasama yang terjadi antara
pihak apotek dengan distributor obat mengandung segi-segi hukum
perjanjian disetiap jenis pembelian obat, yaitu sebagai berikut:
a. Pada pembelian obat secara cash, tunai atau lunas dilihat dari
pelaksanaan kerjasamanya mengandung segi hukum perjanjian berupa
Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian di mana kedua belah pihak
timbul hak dan kewajiban pokok.Penjual harus menyerahkan barang
yang dijual sedangkan pembeli membayar harga dari barang itu, begitu
juga yang terjadi dalam perjanjian sewa-menyewa yang menyewakan
berkewajiban memberikan kenikmatan dari barang yang disewakan
pihak adalah seimbang.78 Dalam kerjasama ini pihak penjual adalah distributor dan pihak pembeli adalah apotek sama seperti perjanjian jual
beli pada umumnya, dimana para pihak memiliki tanggung jawab yang
sama dalam pelaksanaanya.
b. Pada pembelian obat secara konsinyasi dilihat dari pelaksanaan
kerjasamanya mengandung segi hukum perjanjian berupa perjanjian
konsensuil dan riil, yaitu perjanjian yang berdasar kesepakatan atau
persesuaian kehendak dan perjanjian riil yaitu suatu perjanjian yang
terjadi tidak hanya berdasar persesuaian kehendak saja tetapi ada
penyerahan nyata, misalnya: penitipan barang (Pasal 1694 KUH
Perdata) pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata) dan pinjam mengganti
(Pasal 1754 KUH Perdata) pinjam mengganti belum berlaku selama
penyerahan barang yang akan dipinjamkan itu belum terlaksana.79
Dalam kerjasama ini pelaksanaannya tidak hanya berdasarkan
kesepakatan saja melainkan karena adanya penyerahan nyata dari pihak
distributor mengenai barang-barang yang akan dititip jual kepada
apotek.
c. Pada pembelian obat secara kredit, mengandung segi hukum perjanjian
yang termasuk kedalam jenis perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian
yang tidak memiliki nama khusus tetapi ketentuannya diatur dalam
KUH Perdata dan KUH Dagang dan terdapat di dalam masyarakat,
jumlah perjanjian ini tidak terbatas yang disesuaikan untuk kebutuhan
pihak-pihak yang mengadakannya. Yang termasuk dalam golongan
perjanjian ini adalah perjanjian jual-beli dengan angsuran, cicilan atau
kredit, termasuklah perjanjian yang dilakukan antara pihak apotek
dengan pihak distributor dalam pembelian obat dengan pembayaran
kredit atau cicil.
Pada umumnya perjanjian yang terjadi antara Apotek Umi Farma dengan
para distributor obat kebanyakan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, hanya
dilaksanakan berdasarkan kesepakatan lisan saja.
Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa suatu persetujuan sudah cukup
membuktikan bahwa telah terjadi hubungan keperdataan, dimana suatu perikatan
telah timbul oleh suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) antara satu orang atau
lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 KUH Perdata yaitu:
Pasal 1313 KUH Perdata
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Pasal 1314 KUH Perdata
Suatu perjanjian diadakan dengan cuma-cuma atau dengan
memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu
persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu
keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan.
Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan
yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu,
Selanjutnya, dapat dipahami bahwa suatu persetujuan sudah dapat membuktikan
adanya kewajiban dan hak (akibat hukum) yang ditimbul dari pihak-pihak yang
bersepakat.80
Bahwa perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat
para pihak, dan tidak menghilangkan baik dari hak maupun kewajiban para pihak
yang bersepakat. Namun untuk kemudahan pembuktian, acuan bekerja sama dan
melaksanakan transaksi sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis. Hal ini juga
dimaksudkan agar apabila terdapat perbedaan pendapat dapat kembali mengacu
kepada perjanjian yang telah disepakati.
Jika dilihat dari kerjasama yang dilakukan pihak distributor dengan pihak
apotek, maka secara keselurahan jenis perjanjian yang terjadi adalah perjanjian
obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah suatu perjanjian ketika mengharuskan atau
mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian
obligatoir ada beberapa macam, antara lain :
1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada satu
pihak dan hanya ada hak pada pihak lain. Misalnya, perjanjian hibah,
perjanjian pinjam-pakai.
Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian hak dan kewajiban pada kedua
belah pihak yang lainnya dan sebaliknya. Misalnya, perjanjian
sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar.
2. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-Perjanjian konsensuil adalah, perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan atau konsensus diantara kedua belah pihak. Jadi, perjanjian
tercipta dari detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak,
misalnya, perjanjian jual-beli.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan
perbuatan atau tindakan nyata, jadi dengan adanya kata sepakat saja,
perjanjian tersebut belum mengikat antara kedua belah pihak. Misalnya,
perjanjian pinjam-pakai.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang terikat dalam waktu tertentu, jadi
bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Jika
bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka perjanjian
tersebut tidak sah. Misalnya, untuk pendirian Perseroan Terbatas (PT) harus
dengan Akta Notaris.81
3. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya, hibah, pinjam pakai, pinjam
meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan
perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu
untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus
dilakukan oleh pihak lain. Contoh, jual beli, sewa menyewa, dan pinjam
meminjam dengan bunga.82
4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam
undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak
diatur secara khusus di dalam undang-undang. Misalnya, perjanjian
leasing, franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah
perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian
bernama. Misalnya, perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan
campuran dari perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian untuk melakukan
suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan
kamar).83
Dilihat dari prosedur perancangan perjanjian antara pihak apotek dengan
distributor obat dilakukan berdasarkan iktikad baikyang berarti mengandung asas
kebebasan berkontrak. Dimana para pihak sepakat memberikan kebebasan dalam
menentukan isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Bahwasanya suatu
persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang melakukannya
karena sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah pasti dan wajib.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 1339 KUH
Perdata, yang menyatakan:
Pasal 1338 KUH Perdata
82 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal 1339 KUH Perdata
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di
dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau
undang-undang.84
Iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan ukuran
objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian
harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya
adalah untuk memperoleh hak milik yaitu pada jual beli. Pelaksanaan perjanjian
adalah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak
supaya perjanjian itu tercapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa, perjanjian yang telah dibuat sacara sah mengikat para
pihak, perjanjian tersebut tidak boleh dibuat atau dibatalkan secara sepihak saja.85
B.
Hak Dan Kewajiban Para Pihak Mengenai Perjanjian Kerjasama DalamSistem Pembayaran Serta Pemasukan Dan Pengeluaran Obat
84 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7034/perlunya-perjanjian-dibuat-secara-tertulis, Loc.Cit. Terakhir kali diakses pada tanggal 21 Mei 2013.
Dalam Bab IV bagian A tersebut diatas telah dijelaskan bahwa terdapat
tiga jenis pembelian obat yang dilakukan pihak apotek dengan pihak
distributor yaitu pembelian tunai, pembelian konsinyasi dan pembelian
kredit. Dalam pelaksanaan kerjasama tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak, yaitu:
Dalam pembelian tunai, maka pihak distributor berkewajiban antara lain:
1. Memberikan informasi tentang perkembangan harga barang kepada
apotek
2. Mengantar barang yang sudah dipesan dan disepakati oleh para pihak
kepada apotek
3. Memenuhi jumlah dan kualifikasi barang yang dipesan
4. Melengkapi faktur penjualan
5. Melampirkan surat tanda setor pajak
6. Menjamin keaslian dari produk yang dijual.
Adapun hak daripada distributor adalah:
4. Menerima pelunasan pembayaran berikut jumlah pajak yang telah
ditetapkan
5. Menarik kembali barang apabila pelunasan tidak dibayar oleh pihak
6. Mengambil kembali barang-barang yang telah dimasukkan jika terjadi
kerusakan atau ketidaksesuaian yang berarti mengurangi jumlah tagihan
yang akan dibayarkan.86
Kemudian pihak apotek mempunyai hak sebagai berikut:
1. Memeriksa kesesuaian barang yang telah dikirim oleh distributor
2. Mengembalikan atau return barang yang tidak sesuai dengan
kesepakatan
3. Menerima surat setoran pajak yang telah dilampirkan.
Setelah apotek mendapatkan haknya maka kewajiban apotek, yaitu
melunaskan pembayaran sesuai dengan faktur yang sudah termasuk pajak
sebesar 10%.
Dalam pembelian barang dengan konsinyasi, bahwa hak distributor secara
umum sama seperti haknya pada pembelian tunai. Demikian juga dengan
kewajibannya, namun dalam pembelian konsinyasi pihak distributor secara
otomatis berhak membawa kembali barang-barang titipan yang ternyata
tidak terjual dan sekaligus menerima pembayaran atas sejumlah barang
yang terjual, dan yang menjadi kewajibannya adalah menyerahkan
langsung barang tersebut kepada apotek untuk dititip jual yang jumlah dan
jenisnya sudah disepakati diawal perjanjian. Demikian juga pihak apotek
berhak mengembalikan barang-barang yang ternyata tidak terjual serta
berkewajiban membayar seluruh harga barang yang telah terjual ditambah
dengan membayar harga barang yang tidak terjual apabila terjadi
kerusakan dan hilangnya barang tersebut ketika berada di dalam
penguasaan pihak apotik.87
Dalam pembelian barang secara kredit hak dan kewajiban para pihak
diatur secara jelas dalam perjanjian, yaitu pihak pertama adalah apotek dan
pihak kedua adalah distributor. Selama jangka waktu kerjasama, Pihak
Pertama berhak dan berkewajiban untuk:
a. Tidak mencampuri kebijakan usaha yang sedang dijalankan oleh
Pihak Kedua.
b. Tidak melakukan pemaksaan kepada Pihak Kedua dalam
melaksanakan kegiatan usaha ini.
c. Tidak mengambil atau menambah sejumlah pesanan barang sebelum
masa pembayaran selesai pelunasan.
d. Melaksanakan pembayaran sesuai dengan total harga barang yang
tertera didalam faktur penjualan.
e. Membayar pajak atas setiap barang pesanan yang sudah dihitung
sekaligus dari total harga barang yang tertera didalam faktur
penjualan.
f. Berhak memeriksa barang yang sudah diantar oleh pihak kedua
sesuai dengan pesanan pihak pertama.
g. Berhak mengembalikan barang yang tidak sesuai dengan pesanan.
h. Berhak membatalkan perjanjian dan/atau mengembalikan kembali
sebagian barang pesanan dari Pihak Kedua setelah terbukti Pihak
Kedua melakukan pelanggaran, kecurangan dan/atau mengkhianati
isi akad ini.
Pihak Kedua berhak dan berkewajiban untuk:
a. Menyalurkan obat-obatan sesuai dengan pesanan Pihak Pertama yang
telah diterima Pihak Kedua untuk suatu kegiatan usaha yang akan
dijalankan.
b. Mengantarkan barang pesanan kepada pihak pertama sesuai dengan
waktu yang disepakati bersama.
c. Menjamin keaslian dari suatu barang.
d. Membuat laporan tertulis mengenai pelaksanaan kegiatan yang
diperjanjikan oleh para pihak sebagai dokumen kerja pihak kedua.
e. Melaporkan hal-hal yang bersifat luar biasa/musibah yang terjadi ketika
kegiatan usaha sedang berjalan kepada Pihak Pertama
selambat-lambatnya sehari setelah kejadian.
f. Berhak menentukan kebijakan-kebijakan yang berlaku dalam kegiatan
usaha pihak kedua.
g. Berhak mendapatkan pembayaran atas penyaluran obat-obatan sesuai
dengan pesanan pihak pertama.
h. Berhak membatalkan perjanjian dan/atau mengembalikan kembali
PihakPertama melakukan pelanggaran, kecurangan dan/atau
mengkhianati isi akad ini.88
C.
Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Kerjasama Mengenai SistemPembayaran Serta Pemasokan Dan Pengeluaran Obat Antara Pihak Apotek Dengan Distributor Obat
Dalam pelaksanaan kerjasama antara apotek dengan distributor terkadang
muncul hambatan-hambatan yang dihadapi oleh para pihak baik dalam
pembelian tunai, konsinyasi, serta pembelian kredit akan diformulasikan
secara umum sebagai berikut:
a. Adanya keterlambatan dalam penyampaian barang ke lokasi apotek
yang sebelumnya sudah disepakati oleh para pihak mengenai
waktunya, hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh faktor cuaca yang
tidak tentu kondisinya dan diluar kuasa para pihak. Hambatan seperti
ini dapat diselesaikan dengan seketika melalui komunikasi oleh para
pihak.
b. Barang yang disampaikan oleh distributor tidak sesuai dengan
pesanan, baik kualifikasi barang tersebut maupun jumlah barang
yang diantar tidak sesuai dengan pesanan yang sudah ditentukan. Hal
ini juga dapat diselesaikan dengan seketika melalui membangun
komunikasi diantara para pihak, dimana kemungkinan barang yang
tidak sesuai tersebut dapat dikembalikan yang secara otomatis
mengurangi biaya tagihan yang akan dibayarkan pihak apotek.
c. Dalam pembelian barang secara konsinyasi terkadang terjadi
kerusakan barang atau hilangnya barang titipan yang berada dalam
penguasaan apotek, maka hal ini akan menjadi tanggung jawab
apotek sebagai pihak penerima barang titip jual atau konsinyasi
dengan membayar harga yang sudah ditentukan oleh pihak
distributor.
d. Kemudian dalam kerjasama pembelian secara kredit terkadang juga
menimbulkan hambatan yang umumnya terjadi dari pihak apotek,
dimana setelah waktu yang ditentukan sudah jatuh tempo pihak
apotek belum sanggup membayar atau hanya dapat membayar
sebagian dari nilai tagihan yang sudah dirinci, maka pihak apotek
akan segera menghubungi pihak perusahaan distributor atau penyalur
dan menjelaskan mengenai masalah penundaan pembayaran yang
sudah jatuh tempo tersebut serta menjelaskan keadaan-keadaan yang
menyebabkan pihak apotek menunda pembayaran sehingga pihak
distributor akan memperpanjang jangka waktu untuk melunasi
pembayaran tersebut. Dengan tertundanya pembayaran oleh pihak
apotek maka pihak distributor apabila pihak apotek akan memesan
barang lagi untuk sementara tidak dapat laksanakan oleh distributor
sampai pembayaran yang tertunda tersebut diselesaikan oleh pihak