• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kapasitas Reproduksi Nyamuk Aedes aegypti Di Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kapasitas Reproduksi Nyamuk Aedes aegypti Di Laboratorium"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ARCHITIANI NIENDRIA. Reproductive Capacity of Aedes aegypti In Laboratory. Under direction of DWI JAYANTI GUNANDINI.

The research was conducted to determine the mating behavior; reproductive capacity of Aedes aegypti in laboratory consisting of eggs, the number of eggs, egg hatchability,produced of fertil eggs of female Aedes aegypti without male, and the lifespan of Aedes aegypti. These mosquitoes obtained from the parasitology and medical entomology insectarium FKH IPB. This research consisted of three groups of treatment. The first group consisted of one male and one female, the second group consisted of one male and two females, and third group consisted of one male and three females. The results obtained were mating behavior of Aedes aegypti were ventral to ventral position. The reproductive capacity showed the number of eggs group in each treatment did not show significant differences. The number of eggs that produced by each female did not show significant difference, so that with egg hatchability. The reproductive capacity associated with produced of fertil eggs by female showed that females could still produce fertil eggs while male were dead. The lifespan of female did not show significant differences.

. Keyword : Aedes aegypti, mating behaviour, reproductive capacity, fertility

(2)

KA

APASITA

FAK

IN

AS REPR

DI L

ARCH

KULTAS

NSTITUT

RODUKSI

LABORAT

HITIANI N

KEDOK

T PERTA

BOGO

2011

I NYAMU

TORIUM

NIENDR

KTERAN

ANIAN BO

OR

1

UK

Aedes

M

RIA

HEWAN

OGOR

s aegypti

(3)

ABSTRACT

ARCHITIANI NIENDRIA. Reproductive Capacity of Aedes aegypti In Laboratory. Under direction of DWI JAYANTI GUNANDINI.

The research was conducted to determine the mating behavior; reproductive capacity of Aedes aegypti in laboratory consisting of eggs, the number of eggs, egg hatchability,produced of fertil eggs of female Aedes aegypti without male, and the lifespan of Aedes aegypti. These mosquitoes obtained from the parasitology and medical entomology insectarium FKH IPB. This research consisted of three groups of treatment. The first group consisted of one male and one female, the second group consisted of one male and two females, and third group consisted of one male and three females. The results obtained were mating behavior of Aedes aegypti were ventral to ventral position. The reproductive capacity showed the number of eggs group in each treatment did not show significant differences. The number of eggs that produced by each female did not show significant difference, so that with egg hatchability. The reproductive capacity associated with produced of fertil eggs by female showed that females could still produce fertil eggs while male were dead. The lifespan of female did not show significant differences.

. Keyword : Aedes aegypti, mating behaviour, reproductive capacity, fertility

(4)

RINGKASAN

ARCHITIANI NIENDRIA. Kapasitas Reproduksi Nyamuk Aedes aegypti Di Laboratorium. Dibimbing oleh DWI JAYANTI GUNANDINI

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang perilaku kawin, kapasitas reproduksi Aedes aegypti meliputi jumlah kelompok telur, jumlah telur, daya tetas telur, produksi telur fertil yang dihasilkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti tanpa jantan, dan jangka hidup nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti diperoleh dari Insektarium Bagian Parasitologi dan Entomologi FKH IPB. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan. Perlakuan pertama dimasukkan satu ekor jantan dan satu ekor betina ke dalam kandang pertama, perlakuan kedua dimasukkan satu ekor jantan dan dua ekor betina ke dalam kandang kedua, dan perlakuan ketiga dimasukkan satu ekor jantan dan tiga ekor betina ke dalam kandang ketiga. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali ulangan. Hasil yang diperoleh, untuk perilaku kawin nyamuk Aedes aegypti di dalam kandang yang kerap ditemui adalah posisi ventral to ventral. Pada kapasitas reproduksi terlihat jumlah kelompok telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Jumlah telur yang dihasilkan oleh setiap ekor betina tidak menunjukkan perbedaan yang nyata begitu pula dengan daya tetas telur yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap perlakuan. Kapasitas reproduksi terkait dengan telur fertil yang dihasilkan menunjukkan nyamuk Aedes aegypti

betina dapat menghasilkan telur yang fertil walaupun nyamuk jantan telah mati. Pada jangka hidup nyamuk betina tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

(5)

KAPASITAS REPRODUKSI NYAMUK

Aedes aegypti

DI LABORATORIUM

ARCHITIANI NIENDRIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kapasitas Reproduksi Nyamuk

Aedes aegypti Di Laboratorium adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Architiani Niendria

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

Judul : Kapasitas Reproduksi Nyamuk Aedes aegypti Di Laboratorium Nama : Architiani Niendria

Disetujui

Dr.Drh.Dwi Jayanti Gunandini, MSi Pembimbing

I

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 16 Agustus 1989 dari ayah Dr.Ir. Indra Mahdi,MT dan ibu Nien Riani. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.

Penulis memulai pendidikan taman kanak-kanak di TK AN-NUR pada tahun 1994. Pada tahun 1995, penulis memulai pendidikan sekolah dasar di SD CITAPEN I. Tahun 2001 penulis melanjutkan sekolah di SMPN 2 Tasikmalaya samapi tahun 2004. Penulis melanjutkan SMAdi SMA 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007.

(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Kapasitas Reproduksi Nyamuk Aedes aegypti Di Laboratorium”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skiripsi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

• Dr. Drh. Dwi Jayanti Gunandini,MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan pendampingan sejak persiapan penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai penulisan skripsi ini selesai.

• Seluruh dosen dan staf Laboratorium Entomologi FKH IPB yang telah memberikan bantuan ilmunya dalam pelaksanaan penelitian.

• Keluarga tercinta (Ayah, Ibu, kakak, adik serta keluarga besar) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tiada hentinya.

• Teman-teman di Chevana C2 (Ani, Chaca, Eka, Vully, Ningrum) Wisma Geulis (Eka, Yunita, Fuji, Kenyo), Deny, Wulan, Putri, Ila atas kebersamaan dan dukungannya.

• Teman-teman seperjuangan Gianuzzi 44 yang selalu memberikan semangat kebersamaan.

• Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, November 2011

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Nyamuk Aedes aegypti ... 3

Siklus Hidup ... 4

Telur ... 4

Larva ... 5

Pupa ... 6

Nyamuk Dewasa ... 6

Organ Reproduksi Nyamuk Betina ... 7

Organ Reproduksi Nyamuk Jantan ... 10

Perkawinan ... 11

Perilaku Kawin ... 11

Perilaku Makan ... 12

Keperluan Nutrisi untuk Oogenesis ... 12

METODE PENELITIAN ... 14

Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Bahan ... 14

Metode ... 14

Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti ... 14

Pemberian Pakan Darah ... 16

Pengamatan yang Dilakukan ... 16

Pengamatan Perilaku Kawin ... 16

Kapasitas Reproduksi ... 16

Jumlah Kelompok Telur ... 16

(12)

Daya Tetas Telur ... 17

Kemampuan Betina Menghasilkan Telur tanpa Jantan ... 17

Jangka Hidup Nyamuk ... 17

Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Perilaku Kawin ... 18

Kapasitas Reproduksi ... 20

Jumlah Kelompok Telur ... 20

Jumlah Telur ... 23

Daya Tetas Telur ... 25

Faktor Kesuburan Nyamuk Aedes aegypti Betina tanpa Jantan ... 27

Jangka Hidup Nyamuk Aedes aegypti... 28

SIMPULAN DAN SARAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

LAMPIRAN ... 35

(13)

 

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jumlah kelompok telur yang dihasilkan nyamuk Aedes aegypti

selama masa hidupnya ... ….22

2. Jumlah telur yang dihasilkan nyamuk Aedes aegypti selama hidupnya ... ….23

3. Persentase rata-rata daya tetas telur nyamuk Aedes aegypti.. ... ….25

4. Jumlah telur dan daya tetas telur yang dihasilkan seekor nyamuk betina Aedes aegypti setelah kematian nyamuk jantan ... ….27

5. Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan I (hari) ... ….28

6. Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan II (hari) ... ….29

7. Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan III (hari) ... ….29

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

. Nyamuk Aedes aegypti ... ..3

2. Siklus hidup Aedes aegypti ... ..7

3. Organ reproduksi nyamuk betina ... ..9

4. Struktur dari sel telur ... ..9

5. Organ Reproduksi nyamuk jantan ... 10

6. Tahapan perkembangan sperma ... 11

7. Skema perlakuan kawin terhadap nyamuk Aedes aegypti ... 15

8. Perkawinan nyamuk Aedes aegypti dengan posisi ventral to ventral ... 20

9. Cara pemberian pakan darah ... 21  

                           

(15)

     

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman . Hasil perkawinan satu ekor nyamuk betina dan satu nyamuk jantan  

(perlakuan I) ... 35 

. Hasil perkawinan dua ekor nyamuk betina dan satu ekor nyamuk   jantan (perlakuan II) ... 38 

. Hasil perkawinan tiga ekor nyamuk betina dan satu ekor nyamuk   jantan (perlakuan III) ... 41 

. Hasil analisis ANOVA dan Duncan kelompok telur ... 44 

. Hasil analisis ANOVA dan Duncan jumlah telur ... 45 

. Hasil analisis ANOVA dan Duncan daya tetas telur ... 47 

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit demam berdarah Dengue (DBD) yang disebabkan oleh virus DEN (Mullen dan Durden 2002; Service 1996). Virus DEN ini ditransmisikan pada saat nyamuk Aedes aegypti menggigit manusia. Di Indonesia penyakit demam berdarah pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan di Surabaya, hingga saat ini penyakit demam berdarah terus menerus menimbulkan permasalahan seiring dengan bertambahnya kepadatan dan mobilitas penduduk. Hampir 2,5 miliyar penduduk dunia tinggal di daerah yang berisiko tinggi tertular demam berdarah Dengue, sekitar 1,8 milyar diantaranya tinggal di negara-negara dalam kawasan regional Asia Pasifik (Suharyono, Rohani, dan Imari 2007). Selain penyakit demam berdarah Dengue, nyamuk Aedes aegypti jugamerupakan vektor penyakit yellow fever dan chikungunya (Mullen dan Durden 2002).

Nyamuk Aedes aegypti banyak ditemukan di permukiman karena nyamuk ini memiliki sifat antropofilik serta berkembang biak di air yang tergenang seperti penampungan air, kaleng-kaleng bekas, wadah-wadah terbuka dan lain-lain (Yudhastuti dan Vidiyani 2005). Nyamuk Aedes aegypti dapat bertelur 100 sampai 102 butir (Bahang 1978; Gunandini 2002). Nyamuk Aedes akan memilih tempat yang lembab dan gelap untuk peletakan telurnya. Pemilihan tempat tersebut sesuai dengan suhu dan kelembaban. Nyamuk memilki reseptor yang terdapat di bagian perutnya, dimana reseptor tersebut berfungsi sebagai sensor suhu dan kelembaban (Clements 1999).

(17)

Untuk perkembangan telur, nyamuk betina memerlukan darah. Nyamuk betina akan menghisap darah sesuai dengan siklus gonotrofik. Siklus gonotrofik nyamuk Aedes aegypti rata-rata tiga hari (Christophers 1960; Clemnts 2000). Protein yang terkandung dalam darah diperlukan untuk proses vitelogenesis (Clements 2000). Nyamuk Aedes aegypti bersifat diurnal, betina akan aktif menggigit pada jam 08.00-12.00 dan jam 15.00-17.00 (Siregar 2004; Cahyati dan Suharyo 2006).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kapasitas reproduksi nyamuk

Aedes aegypti, dalam hal jumlah kelompok telur, jumlah telur, daya tetas telur, dan faktor kesuburan nyamuk Aedes aegypti betina tanpa kehadiran nyamuk jantan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perilaku kawin; kapasitas reproduksi yang terdiri atas jumlah kelompok telur, jumlah telur, daya tetas telur, dan faktor kesuburan nyamuk betina tanpa nyamuk jantan; dan jangka hidup nyamuk.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kapasitas reproduksi nyamuk Aedes aegypti sehingga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dalam strategi pengendalian nyamuk.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes termasuk ke dalam famili Culicidae dengan subfamili

Culicinae. Genus Aedes memilki lebih dari 900 spesies (Kettle 1989). Secara morfologi nyamuk Aedes aegypti memilki garis putih yang agak melengkung di bagian thoraksnya sehingga Aedes aegypti dapat dibedakan dengan nyamuk Aedes albopictus. Selain itu pada tarsus Aedes aegypti terdapat gelang putih (Christophers 1960).

Gambar 1 Nyamuk Aedes aegypti

Sumber : http://www.spesialis.info/?waspadai‐gejala‐penyakit‐demam‐berdarah‐ dengue‐ dbd , 9  

Nyamuk jantan Aedes mempunyai antena yang memilki banyak bulu, sehingga disebut antena plumose, sedangkan antena nyamuk betina memilki sedikit bulu yang disebut antena pilose (Christophers 1960).

Nyamuk Aedes lebih menyukai tempat perindukan yang berwarna gelap, terlindung dari sinar matahari, permukaan terbuka lebar, berisi air tawar jernih dan tenang (Soegijanto 2006). Tempat perindukan nyamuk (tempat nyamuk meletakkan telur) terletak di dalam maupun diluar rumah. Tempat perindukan nyamuk juga dapat ditemukan pada tempat penampungan air alami misalnya pada lubang pohon dan pelepah-pelepah daun (Soegijanto 2006).

(19)

dibandingkan darah binatang. Nyamuk ini memiliki kebiasaan menghisap darah pada jam 08.00-12.00 WIB dan sore hari antara 15.00-17.00 WIB. Kebiasaan menghisap darah ini dilakukan berpindah-pindah dari individu satu ke individu lain (Soegijanto 2006). Dalam hal ini darah dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein dalam proses pematangan telurnya (Christopers 1960; Clements 2000).

Siklus Hidup

Nyamuk Aedes aegypti memilki siklus hidup yang sama dengan seragga lainnya. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa.

Telur

Telur Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran ± 0,8 mm. Nyamuk

Aedes biasanya meletakan telurnya ditempat yang berair karena di tempat yang keberadaannya kering maka telur akan rusak dan mati. Nyamuk Aedes meletakan telur dan menempel pada permukaan benda yang merupakan tempat air pada batas permukaan air dan tempatnya. Stadium telur ini memakan waktu kurang dari 1 sampai 2 hari (Christophers 1960). Nyamuk Aedes aegypti akan menghasilkan telur 100 sampai 102 butir setiap kali bertelur (Bahang 1978; Gunandini 2002). Pada interval 1-5 hari, telur yang diletakkan seluruhnya berkisar 300-750 butir dan waktu yang dibutuhkan untuk bertelur sekitar 6 minggu (Cahyati dan Suharyo 2006). Pada umumnya nyamuk Aedes akan meletakan telurnya pada suhu sekitar 20° sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas setelah 1 sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur nyamuk Aedes aegypti

(20)

Larva

Larva memerlukan empat tahap perkembangan. Jangka waktu perkembangan larva tergantung pada suhu, keberadaan makanan, dan kepadatan larva dalam wadah. Dalam kondisi optimal waktu yang dibutuhkan sejak telur menetas hingga menjadi nyamuk dewasa adalah tujuh hari termasuk dua hari masa pupa. Pada suhu rendah, diperlukan waktu beberapa minggu (Cahyati dan Suharyo 2006). Pada perkembangan stadium larva nyamuk Aedes aegypti tumbuh menjadi besar dengan panjang 0,5 sampai 1 cm. Larva nyamuk selalu bergerak aktif ke atas air.

Larva nyamuk Aedes paling banyak berkembang biak di genangan air dan hutan (Borror et al. 1992). Ciri-ciri larva Aedes aegypti yaitu memilki corong udara pada segmen terakhir, pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut-rambut berbentuk kipas, pada corong udara terdapat pecten, adanya sepasang rambut serta jumbai pada corong udara, pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat comb scale sebanyak 8 sampai 21 atau berjejer 1 sampai 3, bentuk individu dari comb scale seperti duri, pada sisi toraks terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva dan ada sepasang rambut di kepala, dan terdapat corong udara atau sifon yang dilengkapi pecten (Christophers 1960; Borror et al. 1992; Clements 2000). Gerakan larva Aedes berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk bernafas, kemudian turun kembali ke bawah. Larva nyamuk bernafas terutama pada permukaan air, biasanya melalui satu buluh pernafasan pada ujung posterior tubuh (sifon). Saluran pernafasan pada Aedes

(21)

Pupa

Pupa merupaka stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air. Pupa nyamuk juga akuatik dan tidak seperti kebanyakan pupa serangga, sangat aktif dan sering kali disebut akrobat (tumbler). Mereka bernafas pada permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada toraks (Borror etal. 1992). Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air. Jika pupa diganggu oleh gerakan atau tersentuh, maka pupa akan bergerak cepat untuk menyelam dalam air selama beberapa detik kemudian muncul kembali dengan cara menggantungkan badannya menggunakan tabung pernafasan pada permukaan air di wadah atau tempat perindukan (Cahyati dan Suharyo 2006). Stadium pupa memerlukan waktu kurang lebih 1 sampai 2 hari. Nyamuk jantan dan betina dewasa memilki perbandingan 1:1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari pupa, baru kemudian disusul nyamuk betina dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang nyamuk sampai nyamuk betina keluar. Setelah nyamuk betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini nyamuk betina sebelum betina menghisap darah.

Nyamuk Dewasa

(22)

Gambar 2 siklus hidup Aedes aegypti

Sumber :

http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2008/Nkem_Cristina%20Valdo inos/ugonabon_valdovinosc_dengueproposal_files/image002.png

 

Organ Reproduksi Nyamuk Betina

Sistem reproduksi bagian dalam dari betina terdiri dari sepasang ovari, satu sistem saluran-saluran melalui saluran tersebut telur-telur keluar, dan kelenjar-kelenjar yang terkait. Masing-masing ovari biasanya terdiri dari sekelompok ovariol. Ovariol-ovariol itu menuju ke lateral oviduk di sebelah posterior dan bersatu di sebelah anterior dalam suatu ligamen penggantung yang biasanya menempel pada dinding tubuh atau diafragma dorsalis. Jumlah ovariol tiap- tiap ovarium dari 1 sampai 200 atau lebih, tetapi biasanya dalam kisaran 4-8 (Borror et al. 1992).

Oogonia (sel-sel kecambah primer) terletak pada bagian ujung anterior ovariol yaitu germanium. Oogonia mengalami mitosis, menghasilkan oosit-oosit dan trofosit-trofosit (sel-sel perawat). Ovariol di mana trofosit dihasilkan disebut ovariol meroistik; tidak ada trofosit-trofosit yang dihasilkan dalam ovariol-ovariol panoistik. Oosit-oosit lewat kebawah melalui ovariol, mengalami pemasakan ketika berjalan melewatinya. Jadi urutan kurun waktu pemasakan oosit dicerminkan dalam urutan ruang di dalam ovariol (Borror et al. 1992).

(23)

Trofosit mungkin dihubungkan ke oosit oleh filamen-filamen sitoplasma, dan dapat tetap dalam germarium (ovariol-ovariol teletrofik) atau lewat ke bawah ovariol dengan masing-masing oosit (dalam ovariol-ovariol politrofik). Trofosit-trofosit itu penting dalam menurunkan ribosom dan RNA ke oosit. Sebuah oosit, epithelium, dikelilingi dan trofosit (pada ovariol-ovariol politrofik) bersama-sama membentuk sebuah folikel. Protein-protein kuning telur (vitellogenin) disintesis di luar ovariol dan ditransportasikan ke dalam oosit oleh epitel folikel. Di daerah ovariol ini (vitellarium) oosit sangat membesar dalam ukuran karena penyimpanan kuning telur (proses vitellogenesis). Kuning telur terdiri dari badan-badan protein (terutama berasal dari protein-protein hemolim), butiran-butiran lemak dan glikogen (Borror et al. 1992).

(24)

Gambar 3 Struktur dari sel telur Sumber : WHO 1975

Gambar 4 Organ Reproduksi Nyamuk Betina Sumber : WHO 1975

Produksi telur dikontrol oleh satu atau lebih hormon dari korpora allata, termasuk hormon juvenil yang bertindak dengan mengontrol tahapan-tahapan awal oogenesis dan penyimpanan kuning telur. Diperkirakan bahwa sel-sel neurosekretorik di dalam otak dapat menghasilkan satu hormon yang mempengaruhi aktivitas korpora allata. Banyak faktor-faktor luar (misalnya cahaya dan suhu) mempengaruhi produksi telur, dan faktor-faktor ini barangkali bekerja melalui korpora allata (Borror et al. 1992).

 

Common  Oviduct 

Ovary 

Oviduct 

Spermatheca 

Vagina 

Ampullae

Accessori gland   

 

Pedicel  Oocyte   

First Connecting Stalk  

Sphincter 

Calyx

Tunica  Ovariole 

Sheath 

(25)

Organ Reproduksi Nyamuk Jantan

Sistem Reproduksi jantan dalam pengaturan umum serupa dengan yang pada betina. Sistem itu terdiri dari sepasang kelenjar kelamin, testes, saluran-saluran ke luar, dan kelenjar-kelenjar tambahan. Masing-masing testis terdiri dari sekelompok buluh-buluh sperma atau folikel-folikel yang dikelilingi oleh selaput peritoneum. Masing-masing folikel sperma bermuara ke dalam buluh penghubung yang pendek, yaitu vas efferens dan buluh-buluh ini berhubungan dengan satu vas deferens tunggal pada masing-masing sisi hewan. Dua vasa deferensia biasanya bersatu di sebelah posterior untuk membentuk saluran ejakulasi media, yang bermuara pada bagian luar pada penis atau aedeagus. Pada vas deferensia teerdapat sebuah divertikulum, di mana spermatozoa tersimpan. Ini disebut kantung-kantung semen. Kelenjar-kelenjar tambahan mensekresikan cairan-cairan yang bertindak sebagia satu karier untuk spermatozoa atau yang mengeras di sekitar mereka dan membentuk satu kapsula yang mengandung sperma, yaitu spermatofor (Borror et al. 1992).

Gambar 5 Organ Reproduksi Nyamuk Jantan Sumber : Clements 1999

(26)

kecambah haploid dari spermatogonia diploid) biasanya diselesaikan kira-kira pada saat serangga mencapai tahapan dewasa (Borror et al. 1992).

Gambar 6 Tahapan perkembangan sperma Sumber : Chapman 1969

Perkawinan

Perilaku Kawin

Perkawinan pada nyamuk terjadi pada saat nyamuk betina memasuki kumpulan nyamuk jantan yang sedang terbang (Becker et al. 2003). Frekuensi suara yang dihasilkan nyamuk jantan pada saat terbang mencapai 600 cs-1. Sedangkan frekuensi suara yang dihasilkan oleh betina lebih rendah dibandingkan nyamuk jantan, yaitu sekitar 500-550 cs-1 dan akan menurun ketika perkawinan berlangsung (Becker et al. 2003).

(27)

menghasilkan beberapa sekelompok telur tanpa kopulasi lebih lanjut. Nyamuk jantan dapat kawin beberapa kali, tetapi nyamuk betina tidak (Christophers 1960). Setelah kawin, nyamuk betina akan mencari inang untuk menghisap darah, kegiatan ini merupakan hal penting dalam reproduksi nyamuk betina. Darah dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein dalam proses pematangan telurnya (Supartha 2008).

Perilaku Makan

Nyamuk betina Aedes aegypti lebih menyukai makan darah manusia dibandingkan dengan darah hewan, sehingga nyamuk ini termasuk ke dalam antropofilik. Metode makan yang digunakan oleh nyamuk betina adalah kapiler feeder, dimana stilet akan menembus kapiler darah untuk menghisap. Waktu mengigit nyamuk Aedes aegypti lebih banyak pada siang hari daripada malam hari, yaitu antara jam 08.00-12.00 dan jam 15.00-17.00 (Cahyati & Suharyo 2006). Nyamuk betina akan menghisap darah sampai setidaknya 1-3 hari setelah terjadinya perkawinan (Mullen dan Durden 2002). Nyamuk jantan tidak menghisap darah seperti nyamuk betina. Pada proporsi tertentu nyamuk betina akan menusukkan mulutnya lebih dari satu kali, meskipun biasanya serangga tidak mudah meninggalkan tusukan yang dibuat pertama kali dan jika darah tidak terhisap pada menit pertama nyamuk akan tetap diam beberapa menit hingga darah dari inang terhisap. Pada keadaan baik nyamuk betina akan menghabiskan waktu 2 sampai 5 menit untuk menghisap darah (Christophers 1960).

Keperluan Nutrisi Untuk Oogenesis

Perkembangan sel telur terjadi setelah betina menghisap darah yang terkandung protein didalamnya. Darah merupakan protein yang sangat dibutuhkan oleh nyamuk dalam proses vitelogenesis, sehingga telur yang dihasilkan dalam keadaan subur dan siap untuk menghasilkan keturunan (Gunandini 2002).

(28)
(29)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada awal Maret 2011 sampai akhir Juni 2011. Penelitian dan pengamatan dilakukan di Insektarium, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Bahan

Nyamuk Aedes aegypti diperoleh dari koloni nyamuk yang berasal dari Insektarium, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sebagai tahap awal nyamuk dari koloni hasil pemeliharaan diambil 15 ekor jantan dan 30 ekor betina, kandang berukuran 20 x 20 x 20 cm3 sebanyak 15 kandang, botol kecil, kertas saring, plastik berukuran 10 x 7 cm, kapas, nampan, ovitrap yang terbuat dari gelas plastik bervolume 250 ml, gelas plastik kecil bervolume 50 ml, kaca pembesar dan air gula

Metode

Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

Pemeliharaan dilakukan untuk memperbanyak jumlah nyamuk. Nyamuk

(30)

minggu. Setelah larva berubah menjadi pupa, satu persatu pupa dimasukan ke dalam gelas plastik kecil hingga berubah menjadi nyamuk dewasa.

Setelah semua larva berubah menjadi pupa, satu persatu pupa tersebut disimpan di dalam gelas plastik kecil bervolume 50 ml, yang setengahnya telah berisi air. Di atas gelas tersebut ditutup dengan penutup yang telah diberi lubang agar udara bisa masuk. Pemisahan pupa satu persatu ini bertujuan untuk mempermudah dalam hal pengidentifikasian jenis kelamin nyamuk dan mencegah terjadinya perkawinan sebelum dilakukan perlakuan. Setelah semua pupa berubah menjadi nyamuk dewasa, nyamuk tersebut di masukkan ke dalam kandang sesuai dengan perlakuan sebagai berikut:

- Perlakuan I : Perbandingan nyamuk Aedes aegypti betina dan jantan 1:1, - Perlakuan II : Perbandingan nyamuk Aedes aegypti betina dan jantan 2:1, - Perlakuan III : Perbandingan nyamuk Aedes aegypti betina dan jantan 3:1. Masing – masing perlakuan tersebut diulang sebanyak 5 kali.

1 jantan : 1betina 1 jantan : 2 betina 1 jantan : 3 betina

Gambar 7 Skema perlakuan kawin terhadap nyamuk Aedes aegypti

UL    UL 

  UL   

UL   

  UL   UL  

UL   

  UL   UL  

UL   

UL    UL 

  UL   

UL 

(31)

Pemberian Pakan darah

Pemberian pakan darah dilakukan dengan cara memasukkan tangan peneliti ke dalam setiap kandang. Pemberian pakan darah dilakukan tiga hari sekali sampai nyamuk kenyang darah, sesuai dengan siklus gonotrofik.

Pengamatan yang dilakukan meliputi: Pengamatan Perilaku Kawin

Pengamatan dilakukan tiga hari sekali pada saat pemberian pakan darah (08.00-10.00 atau 15.00-17.00) selama nyamuk jantan dan betina masih hidup. Pengamatan dilakukan secara deskriptif dengan mengamati perkawinan nyamuk

Aedes aegypti pada setiap kandang. Pengamatan ini dimulai ketika nyamuk jantan mendekati betina sampai kedua nyamuk tersebut berpisah kembali.

Kapasitas reproduksi

Jumlah kelompok telur

Setelah 3 sampai 4 hari, perangkap telur dimasukan ke dalam masing-masing kandang. Perangkap telur ini dibuat dari kertas saring yang telah diberi garis kotak-kotak untuk mempermudah perhitungan telur. Kertas saring tersebut disimpan mengelilingi gelas plastik berukuran 250 ml dan diberi air sampai ¾ bagian. Nyamuk betina akan meletakkan telur yang telah dihasilkan di sepanjang kertas saring tersebut. Perangkap telur dikeluarkan dari kandang setelah 3 sampai 4 hari. Jumlah kelompok telur yang dihasilkan dari setiap perlakuan disimpan ke dalam plastik yang berukuran 10 x 7 cm dan diberi label agar tidak tertukar.

Jumlah telur

(32)

Daya tetas telur

Telur yang telah didapat dari hasil pekawinan, ditetaskan dengan cara dimasukkan ke dalam nampan yang berisi air dan diberi kode sesuai dengan tanggal dan ulangan yang dilakukan. Telur nyamuk dibiarkan selama tujuh hari di dalam air, hal ini bertujuan untuk memberi kesempatan semua telur menetas. Perhitungan daya tetas telur dilakukan dengan cara menghitung telur yang telah menetas menjadi larva.

Kemampuan betina menghasilkan telur tanpa jantan

Pengamatan ini dilakukan pada nyamuk betina Aedes aegypti yang sudah tidak didampingi nyamuk jantan, dengan kata lain nyamuk jantan Aedes aegypti

telah terlebih dulu mati dibandingkan nyamuk betina. Telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina tersebut dihitung dengan menggunakan kaca pembesar untuk mempermudah perhitungan. Setelah itu dilakukan perhitungan daya tetas telur dengan cara yang sama seperti perhitungan sebelumnya.

Jangka hidup nyamuk

Pengamatan jangka hidup nyamuk dilakukan dengan mengamati setiap nyamuk yang terdapat di dalam kandang sampai nyamuk tersebut mati. Pengamatan kematian nyamuk Aedes aegypti dilakukan setiap tiga hari sekali sesuai dengan waktu pengamatan dan pemberian pakan darah. Apabila nyamuk tersebut mati di luar hari pengamatan maka terhitung jangka hidup nyamuk sebelum nyamuk tersebut mati.

Analisis data

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perilaku Kawin

Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan

Aedes aegypti, kandang kedua berisi dua ekor nyamuk betina dan seekor nyamuk jantan, sedangkan kandang ketiga berisi tiga ekor nyamuk betina dan seekor jantan. Dari hasil pengamatan, nyamuk jantan akan mendekati dan bergabung dengan nyamuk betina yang sedang terbang, kemudian pasangan nyamuk tersebut akan hinggap pada kain kassa yang menjadi dinding kandang. Pada kandang kedua dan ketiga nyamuk memperlihatkan perilaku kawin yang sama, nyamuk jantan akan mengawini satu persatu nyamuk betina yang sedang terbang. Menurut Christophers (1960) kopulasi nyamuk betina dapat terjadi beberapa kali sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk kopulasi sampai satu menit atau kurang. Waktu maksimum kopulasi terjadi pada saat nyamuk betina dan jantan bertemu untuk pertama kalinya. Biasanya kopulasi terjadi pada saat nyamuk betina dan nyamuk jantan keluar dari kawanan tersebut (Becker et al. 2003). Kopulasi dapat terjadi pada tempat yang sunyi, terkadang terjadi pada saat nyamuk betina sedang istirahat (Christophers 1960). Kopulasi merupakan hal yang komplek pada struktur reproduktif dari nyamuk betina dan jantan. Biasanya kopulasi akan memakan waktu kurang dari setengah menit untuk jantan mendepositkan spermatozoa pada bursa copulatrik nyamuk betina (Clements 1963).

(34)

dalam ovarium, nutrisi yang terdapat di dalam darah digunakan untuk proses vitellogenesis. Pada nyamuk hal ini merupakan prosedur normal karena nyamuk memilki sifat anautogenous (Service 1996).

Menurut Becker et al. (2003) perkawinan pada nyamuk terjadi pada saat nyamuk betina memasuki kumpulan nyamuk jantan yang sedang terbang. Frekuensi suara yang dihasilkan nyamuk jantan pada saat terbang mencapai 600 cs-1. Sedangkan frekuensi suara yang dihasilkan oleh betina lebih rendah dibandingkan nyamuk jantan, yaitu sekitar 500-550 cs-1 dan akan menurun ketika perkawinan berlangsung. Menurut Mullen dan Durden (2002) perkawinan terjadi pertama kali pada saat nyamuk keluar dari pupa. Nyamuk jantan akan membuat suatu kelompok sebagai penanda. Pada spesies Ae. aegypti dan Ae. albopictus

nyamuk betina akan memasuki kelompok tersebut. Ketika nyamuk betina memasuki kelompok tersebut, nyamuk jantan akan mendeteksi karakteristik frekuensi gerakan sayap dari nyamuk betina melalui antena plumose nyamuk jantan. Variasi frekuensi suara yang dihasilkan sekitar 150-600 Hz tergantung dari temperatur, spesies dan ukuran dari nyamuk betina. Frekuensi suara yang dihasilkan oleh nyamuk betina lebih rendah dibandingkan dengan nyamuk jantan sekitar 100-250 Hz. Nyamuk jantan dan betina akan keluar dari kelompok tersebut dan terbang bersama-sama. Perkawinan dapat terjadi apabila nyamuk berasal dari spesies yang sama. Nyamuk jantan tidak akan merespon apabila nyamuk betina berasal dari spesies yang lain. Kopulasi dapat terjadi dengan berbagai posisi diantaranya posisi ventral to ventral dan posisi end to end. Posisi ventral to ventral terlihat nyamuk betina berada diatas nyamuk jantan sedangkan posisi end to end terjadi nyamuk betina dan nyamuk jantan saling membelakangi (Clements 1999). Dari pengamatan yang dilakukan, posisi nyamuk Aedes aegypti yang kawin di dalam kandang adalah posisi ventral to ventral (Gambar 8).

(35)
[image:35.595.100.498.81.504.2]

adanya nyamuk yang melakukan perkawinan dalam keadaan hinggap di dalam kurungan. Nyamuk jantan tidak akan merespon pada saat nyamuk betina istirahat, beda halnya pada saat nyamuk betina terbang. Nyamuk jantan akan terbang ke arah nyamuk betina kemudian nyamuk jantan akan menangkap nyamuk betina dari atas depan dengan kaki depan dan tengah, kemudian mengelilingi dirinya dan menempelkan alat kelaminnya. Kopulasi dapat terjadi secara sempurna meskipun terjadi pada kandang yang kecil (Clements 1999).

Gambar 8 Perkawinan nyamuk Aedes segypti dengan posisi ventral to ventral Sumber : Clements 1999

Kapasitas Reproduksi Jumlah Kelompok Telur

(36)

Pe kandang s dilakukan pada wak diperkuat melakukan hari (16.0 dalam pro 2008). Da vitelogene dalam kea antara vek proses pe betina leb sehingga manusia m kelompok jangka hi selama wa 1 sampai 8

nghisapan d sampai sem pada jam 0 ktu tersebut dengan p n aktivitas m 0 sampai 17 oses pemat arah adalah esis (Cleme adaan subur

ktor dan in ematangan t bih menyuk

nyamuk Ae

merupakan k telur yang dup nyamu aktu hidupn 8 kali. Pada

Gamba

darah dilaku mua nyamuk 08.00 sampa

t nyamuk s pernyataan

menggigit p 7.00). Dara tangan telu protein ya ents 2000; G

r dan siap u nang menen telur (Supa kai darah edes aegypt inang uta g dihasilkan uk itu send nya nyamuk a Tabel 1 da

ar 9 Cara pem

ukan dengan k betina ke ai 10.00 atau sangat aktif

Siregar (2 pada pagi ha ah dibutuhka ur (Christop ang sangat d Gunandini untuk meng ntukan ban artha 2008)

manusia d

ti dikategor ama bagi n n seekor ny

diri (Gunan k Aedes aeg

apat dilihat j

mberian pak

n memasuk enyang dara

u pada jam f untuk me 2004), dim ari (09.00 s an untuk m pers 1960; dibutuhkan

2002), sehi ghasilkan k yaknya pro ). Menurut dibandingka rikan memi nyamuk ter yamuk sang ndini 2002)

gypti dapat jumlah kelo

kan darah.

kan tangan p ah. Pember 15.00 samp encari maka mana nyamu sampai10.00 memenuhi ke Clements oleh nyam ingga telur keturunan. F otein yang Clements an dengan

iliki sifat a rsebut. Ban gat tergantun ). Menurut menghisap ompok telur

peneliti ke d ian pakan pai 17.00, k an. Hal ter uk betina 0) sampai p

ebutuhan pr 2000; Sup muk untuk p yang dihas Frekuensi k

diperoleh u (2000) ny darah bina antrophofilik nyaknya ju ng dari lam Rumini (1 p darah seba

(37)

oleh seekor nyamuk Aedes aegypti betina sepanjang hidupnya yang dikawinkan dengan nyamuk jantan dengan perlakuan betina dibandingkan jantan sebagai berikut 1:1 (perlakuan I), 2:1 (perlakuan II) dan 3:1 (perlakuan III).

Tabel 1 Jumlah kelompok telur yang dihasilkan nyamuk Aedes aegypti selama masa hidupnya

Ulangan Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III

I 11 5 17

II 12 5 6

III 9 27 10

IV 5 10 19

V 14 15 26

Jumlah 51a 62a 78a

Rata-rata 10,2a±3.42 12,4a±9.15 15,6a±7.83

Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5%

Pada Tabel 1 terlihat bahwa kelompok telur yang dihasilkan oleh seekor nyamuk betina dengan seekor nyamuk jantan (1:1) berjumlah 51 kelompok telur dengan rata-rata 10,2 kelompok telur, sedangkan kelompok telur yang dihasilkan oleh dua ekor nyamuk betina dengan seekor nyamuk jantan (2:1) berjumlah 62 kelompok telur dengan rata-rata 12,4 kelompok telur dan kelompok telur yang dihasilkan oleh tiga ekor nyamuk betina dengan seekor nyamuk jantan (3:1) menghasilkan 78 kelompok telur dengan rata-rata 15,6 kelompok telur. Dari hasil ini terlihat bahwa semakin banyak jumlah nyamuk betina maka jumlah kelompok telur yang dihasilkanpun akan semakin banyak. Meskipun demikian berdasarkan analisis statistik, perbedaan jumlah kelompok telur yang dihasilkan ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Menurut Gunandini (2002) nyamuk betina

(38)

(2011) menggunakan nyamuk yang berasal dari laboratorium yang sudah beradaptasi dengan lingkungan. Pada penelitian ini nyamuk yang digunakan berasal dari laboratorium sehingga jumlah kelompok telur yang dihasilkan dalam penelitian ini masih termasuk didalam kisaran peneliti di atas.

Jumlah Telur

Jumlah telur nyamuk Aedes aegypti biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah telur dari spesies nyamuk lainnya, yaitu sebanyak 100 butir dalam satu kelompok telur (Clements 1963). Tabel 2 di bawah ini memperlihatkan jumlah telur nyamuk Aedes aegypti dari hasil penelitian yang dilakukan.

Tabel 2 Jumlah telur yang dihasilkan nyamuk Aedes aegypti selama hidupnya

Ulangan Perlakuan I/satu

ekor betina

Perlakuan II Perlakuan III

I 70 92 356.3

II 584 206 195.7

III 220 432.5 228.3

IV 149 350.5 400

V 400 397 526.3

Jumlah 1423 1478 1706.6

Rata-rata 284,6a±207,11 295,6a±142,75 341,3a±134,04

Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5%

(39)

jumlah telur yang lebih besar. Artinya semakin banyak jumlah betina yang dikawini oleh seekor nyamuk jantan maka rata-rata tiap ekor betina akan menghasilkan jumlah telur yang lebih besar. Selain itu terbukti seekor nyamuk jantan masih mampu mengawini tiga ekor betina di dalam satu kandang. Hal ini dikarenakan nyamuk jantan dapat kawin beberapa kali, tetapi nyamuk betina tidak (Christophers 1960).

Hasil yang didapat berbeda dengan penelitian yang dilakukan Cahyati dan Suharyo (2006), dimana seekor nyamuk betina Aedes aegypti mampu menghasilkan telur sebanyak 80 sampai 125 butir dengan rerata 100 butir telur setelah menghisap darah sesuai siklus gonotrofik. Penelitian yang dilakukan oleh Gunandini (2002), Adanan et al. (2005) dan Antonio et al.(2009) menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti akan menghasilkan telur dengan rata-rata 117,35, 117,65 dan 205,2 butir telur. Menurut Bahang (1978) nyamuk Aedes aegypti yang dipelihara secara individual mengasilkan jumlah telur rata-rata 102 butir, sedangkan bila dipelihara secara berkelompok telur yang dihasilkan berjumlah 125 butir. Pada penelitian ini setiap ekor nyamuk Aedes aegypti menghasilkan jumlah telur yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan beberapa peneliti diatas, yaitu jumlah telur 284.6 butir (perlakuan I), 295,6 butir (perlakuan II) dan 341,3 butir (perlakuan III). Hal ini disebabkan antara lain oleh (1) perlakuan pemeliharaan perkawinan dengan jumlah rasio kelamin antara jantan dan betina yang berbeda, (2) pemeliharaan lebih bersifat individual spesifik, artinya nyamuk lebih diperhatikan satu persatu mulai dari saat eklosi sampai mati, (3) nutrisi pakan darah berasal dari darah manusia. Darah manusia adalah pakan yang paling sesuai untuk nyamuk Aedes aegypti terbukti dari jumlah telur yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan pakan darah marmut. Jumlah rata-rata telur dalam penelitian Gunandini (2002) sebesar 117,35 butir karena menggunakan darah marmut. Demikian pula dengan penelitian Bahang (1978) yang menggunakan tikus sebagai sumber pakan darah, telur Aedes aegypti yang dihasilkan hanya rata-rata 102 butir. (4) luas kandang, dimana kandang yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 20 x 20 x 20 cm3 yang berisi paling banyak tiga ekor nyamuk Aedes aegypti. Bila dibandingkan dengan jumlah telur

(40)

Hal ini karena dengan ukuran kandang yang sama (20 x 20 x 20 cm3) jumlah didalamnya 30 ekor, sehingga kepadatan yang tinggi berpengaruh terhadap jumlah telur yang dihasilkan.

Daya Tetas Telur

[image:40.595.95.530.48.835.2]

Daya tetas telur adalah banyaknya telur yang menetas dari keseluruhan telur yang dihasilkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, kelembaban, nutrisi (pakan darah), umur nyamuk betina, dan umur telur. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25°C sampai 27°C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40 °C (Yatopranoto et al. 1998). Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan persentase rata-rata daya tetas telur nyamuk Aedes aegypti dari perlakuan I, II dan III.

Tabel 3 Persentase rata-rata daya tetas telur nyamuk Aedes aegypti

Ulangan

Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III

Jumlah

telur

Telur

menetas %

Jumlah

telur

Telur

menetas %

Jumlah

telur

Telur

menetas %

I 70 11 15,7 184 41 22,3 1069 182 17

II 584 51 8,73 412 89 21,6 587 278 47,4

III 220 82 37,3 865 177 20,5 685 164 23,9

IV 149 75 50,3 701 139 19,8 1200 240 20

V 400 121 30,3 794 136 17,1 1579 194 12,3

Rata-rata

284,6 68 591,2 116,4 1024 211,6

28,46a±16,66 20,26a±2,01 24,12a±13,68

Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5%

(41)

kelembaban berkisar antara 68%-82%, kisaran suhu dan kelembaban ini masih termasuk dalam kategori suhu dan kelembaban optimum. Suhu dan kelembaban yang tidak optimum, misalkan suhu yang rendah dapat menyebabkan metabolisme berlangsung lambat sehingga mempengaruhi perkembangan telur (Mintarsih et al. 1996; Neto dan Silva 2004).

Selain faktor suhu dan kelembaban diatas, faktor nutrisi terutama protein yang terkandung dalam darah juga menentukan jumlah dan daya tetas telur. Untuk perkembangan telur, nyamuk akan mengambil protein yang terkandung di dalam darah. Dengan demikian produksi dan perkembangan sel telur berhubungan erat dengan kualitas protein darah yang berasal dari inang (Papaj 2000).

Dari hasil penelitian terlihat bahwa daya tetas telur jauh dibawah daya tetas telur yang dihasilkan Gunandini (2002) dan Yulidar (2011). Hal ini kemungkinan disebabkan antara lain faktor pakan darah yang berasal dari tangan peneliti yang diberikan secara langsung berbeda kandungan nutrisinya dengan yang lainnya. Faktor lainnya adalah populasi dalam setiap kandang yang terlalu sedikit (1 betina : 1 jantan; 2 betina : 1 jantan; 3 betina : 1 jantan) menyebabkan nyamuk kurang bergairah dalam menghisap darah. Berbeda halnya dengan penelitian Gunandini (2002) dan Yulidar (2011) yang menggunakan 20 nyamuk

(42)
[image:42.595.90.516.7.824.2]

Faktor Kesuburan Nyamuk Aedes aegypti Betina tanpa Nyamuk Jantan Nyamuk betina Aedes aeypti memilki sebuah kantung yang dipergunakan untuk menampung sperma. Kantung tersebut dinamakan spermateka, sehingga nyamuk betina dapat menghasilkan telur yang fertil tanpa adanya jantan. Kesuburan nyamuk betina tergantung dari beberapa faktor diantaranya nutrisi dan umur. Semakin panjang umur nyamuk maka jumlah kelompok telur dan jumlah telur semakin banyak. Tabel 8 dibawah ini memperlihatkan jumlah telur dan daya tetas telur yang dihasilkan seekor nyamuk betina setelah nyamuk jantan mati. Tabel 8 Jumlah telur dan daya tetas telur yang dihasilkan seekor nyamuk betina

Aedes aegypti setelah kematian nyamuk jantan

Jumlah hari tanpa

nyamuk jantan Jumlah Telur

Jumlah Telur

Menetas

Persentase Daya Tetas

Telur

13 hari 136 26 19,1%

18 hari 249 8 3,2%

27 hari 197 18 9,1

63 hari 493 67 13,6%

(43)

menjadi larva, walaupun dengan daya tetas telur lebih rendah daripada rata-rata pada penelitian ini (Tabel 3). Hal ini membuktikan bahwa nyamuk betina telah menampung sperma dalam spermateka sehingga dapat menghasilkan telur yang fertil walaupun nyamuk jantan telah mati

Meskipun demikian telur fertil yang dihasilkan oleh nyamuk betina (tanpa jantan hidup) memiliki daya tetas yang rendah dibandingkan dengan yang masih memilki jantan. Rata-rata daya tetas pada telur fertil ini berkisar antara 3.2% sampai 19.1%. Daya tetas telur pada nyamuk tergantung beberapa faktor, diantaranya suhu, kelembaban, protein yang berasal dari darah yang berhasil dihisap oleh nyamuk dan umur nyamuk (Christophers 1960). Penurunan kesuburan yang disebabkan oleh umur nyamuk dapat disebabkan karena terjadinya degenerasi folikel ovarium dalam setiap siklus gonotropik, selain itu nyamuk betina yang berumur tua menghisap darah cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan nyamuk muda. Dalam suatu penelitian diperoleh hasil meskipun nyamuk betina tua dan muda menghisap darah dalam jumlah yang sama tetapi produksi telur yang dihasilkan lebih rendah pada nyamuk betina tua (Detinova 1955, Volozina 1967 dalam Clements 2000).

[image:43.595.84.514.33.820.2]

Jangka Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Tabel 9, 10,11, dan 12 dibawah ini memperlihatkan jangka hidup antara nyamuk jantan dan betina dari penelitan yang telah dilakukan.

Tabel 9 Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan I (hari)

Ulangan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari)

I 31 31

II 36 16

III 22 25

IV 10 10

V 40 25

(44)
[image:44.595.86.511.80.839.2]

Tabel 10 Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan II (hari)

Ulangan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari)

1 2

I 13 13 13

II 7 13 10

III 4* 79 13

IV 28 28 4*

V 44 44 44

Jumlah 92 177 80

Tabel 11 Jangka hidup nyamuk Aedes aegypti perlakuan III (hari)

Ulangan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari)

1 2 3

I 34 37 50 50

II 13 17 17 17

III 16 28 28 28

IV 44 50 56 56

V 44 47 77 40

Jumlah 151 179 228 191

Tabel 12 Rata-rata jangka hidup nyamuk Aedes aegypti

Perlakuan Umur Betina (hari) Umur Jantan (hari) I 27,8a±12,01 21,4ab±8,32 II 27,3a±15,69 16,8a±15,64 III 37,2a±17,08 38,2b±15,91

Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan perbedaan persentase pada taraf 5%

(45)

lama dibandingkan dengan yang lain, masing-masing yaitu selama 37,2 hari sedangkan nyamuk jantan berumur 38,2 hari. Dari ketiga perlakuan tersebut umur jantan yang paling lama ternyata terdapat pada seekor jantan yang dikandangkan dengan tiga ekor betina, dibandingkan dengan nyamuk jantan lainnya (perlakuan I dan II). Sedangkan hasil yang didapat dengan menggunakan analisis statistik jangka hidup nyamuk jantan pada perlakuan I tidak berbeda nyata dengan perlakuan II dan III, sedangkan pada perlakuan II jangka hidup nyamuk jantan berbeda nyata dengan perlakuan III. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gunandini (2002) nyamuk jantan akan hidup 18,88 hari (20 betina : 10 jantan setiap kandang). Umur nyamuk jantan pada perlakuan I dan II (21,4 dan 16,8 hari) tidak berbeda jauh dengan penelitian Gunandini (2002).

Nyamuk betina dapat hidup selama 34,53 hari (Gunandini 2002), dalam penelitian ini nyamuk betina dapat hidup dalam kisaran 27,8 hari sampai 37,2 hari. Umur nyamuk tersebut masih masuk dalam kisaran umur nyamuk dalam penelitian Gunandini (2002) tersebut diatas. Hasil yang didapat dengan menggunakan analisis statistik terlihat bahwa jangka hidup nyamuk betina pada semua perlakuan tidak berbeda nyata. Walaupun umur jantan pada perlakuan III lebih panjang tetapi tidak membuktikan bahwa umur jantan dipengaruhi oleh banyaknya betina. Hal ini dapat disebabkan jangka hidup nyamuk betina dan jantan tidak berbeda nyata pada perlakuan I.

(46)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Perilaku kawin nyamuk Aedes aegypti di dalam kandang yang kerap ditemui adalah posisi ventral to ventral.

2. Jumlah kelompok telur dalam setiap perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang nyata.

3. Jumlah telur yang dihasilkan tiap ekor betina tidak menunjukan perbedaan yang nyata.

4. Daya tetas telur antar perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang nyata. 5. Nyamuk betina masih dapat menghasilkan telur fertil walaupun nyamuk jantan

telah mati.

6. Tidak ada perbedaan jangka hidup nyamuk betina Aedes aegypti pada setiap perlakuan.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan perbandingan jantan dan betina yang sama tetapi menggunakan populasi nyamuk Aedes aegypti yang lebih besar.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan nyamuk betina dalam menghasilkan telur fertil tanpa kehadiran nyamuk jantan.

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Adanan CR, Zairi J, Ng KH. 2005. Efficacy and sublethal effects of mosquito mats on Aedes aegypti and Culex quinquefasciatus (diptera: Culicidae).

Urban Pets: 265-269.

Antonio GE, Sanchez D, Trevor W, Marina CF. 2009. Paradoxical effects of sublethal exposure to the naturally derived insecticide spinosad in the dengue vector mosquito, Aedes aegyptiPest Manag Sci (65): 323–326. [Anonim].

http://www.spesialis.info/?waspadai-gejala-penyakit-demam-berdarah-dengue-(dbd),297 [ 15 September 2011].

[Anonim].http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2008/Nkem_Cristina %20Valdoinos/ugonabon_valdovinosc_dengueproposal_files/image002.pn g [15 September 2011].

Bahang ZB. 1978. Life History of Aedes (S) aegypti and Aedes (S) albopictus.

Laboratory Conditions. Institute for Medical Research, Malaysia, Kuala Lumpur.

Borror, Triplehorn, Johnson. 1992. Pengenalan Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.

Becker N, Petric D, Zgomba, Boase C, Madon M, Dahl C, Kaiser A. 2003.

Mosquitoes and Their Control. New York: Kluwer Academic Plenum Publisher.

Cahyati WH, Suharyo. 2006. Dinamika Aedes aegypti sebagai vektor penyakit.

Kemas 2: 38-48.

Chapman RF. 1969. The Insects Stucture and Function. London: The English Universities Press.

Christophers Sir SR. 1960. Aedes aegypti (L) The Yellow Fever Mosquito. Cambridge: Cambridge University Press.

Clements AN. 1963. The Physiology of mosquitoes. London: Pergamon Press. Clements AN. 1999. The Biology of Mosquitoes Volume 2 Sensory Reception and

Behaviour. USA: CABI Publishing.

Clements AN. 2000. The Biology of Mosquitoes Volume 1 Development, Nutrition and Reproduction. USA: CABI Publishing.

(48)

AN. 2000. The Biology of Mosquitoes Volume 1 Development, Nutrition and Reproduction. USA: CABI Publishing.

Gunandini DJ. 2002. Kemampuan hidup populasi alami nyamuk Aedes aegypti

(Linn.) yang diseleksi malation pada stadium larva [disertasi]. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Herms WB, James MT. 1961. Medical Entomology Fifth Edition. New York: The Macmillan Company.

Kesumawati U. 2006. Nyamuk dalam Hama Pengendalian Indonesia. Editor SH Sigit dan U Kesumawati. Bogor: UKPHP IPB.

Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. USA and Canada: Willey-Interscience.

Macdonald WW. 1956. Aedes aegypti in malaya.II.larval and adult biology. Ann. Trop. Med. Parasitol. 50: 339-414.

Mintarsih ER, Santoso L, Suwasono H. 1996. Pengaruh suhu dan kelembaban udara alami terhadap jangka hidup Aedes aegypti betina di kotamadya salatiga dan semarang. Cermin Dunia Kedokteran 107: 20-22.

Mullen D, Durden L. 2002. Med. Vet Entomol. California: Academic Press.

Neto PW, Silva MAN. 2004. Development, longevity, gonotrophic cycle and oviposition of Aedes albopictus skuse (Diptera: Culicidae) under cyclic temperatures [abstrak]. Neotrop Entomol 3(1).

Papaj DR. 2000. Ovarian dynamics and host use. Annu. Rev. Entomol.45: 423-448.

Rumini W. 1980. Beberapa aspek biologi Aedes (S.) albopictus (skuse) di laboratorium dan pemencarannya di lapangan [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Siregar FA. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Indonesia. Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Sevice MW. 1996. Medical Entomology. London: Chapman&Hall.

(49)

Sudarmaja IM, Mardihusodo SJ. 2009. Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti pada air limbah rumah tangga di laboratorium. Vet 10 ( 4): 205-207.

Suharyono, Rohani S, Imari S. 2007. Analisis epidemiologi demam berdarah Indonesia, 1982-2007. Warta DBD 16:1-4.

Supartha IW. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae). http://dies.unud.ac.id/ [21 Juli 2011].

Volozina NV. 1967. The effect of the amount of blood taken and additional carbohydrate nutrition on oogenesis in female of blood-sucking mosquitoes of the genus Aedes (Diptera,Culicidae) of various weights and ages. Entomol. Rev (24): 27-32 “diacu dalam” Clements AN. 2000. The Biology of Mosquitoes Volume 1 Development, Nutrition and Reproduction. USA: CABI Publishing.

WHO [World Health Organization]. 1975. Manual on Pratical Entomology in Malaria. Ed ke-2. Geneva: Switzerland.

Womack M. 1993. The yellow fever mosquito, Aedes aegypti. Wing Beats 5(4):4. Yatopranoto S, S Subekti, Rosmanida, Sulaiman. 1998. Dinamika populasi vektor

pada lokasi dengan kasus demam berdarah dengue yang tinggi di Kotamadya Surabaya[ majalah]. Kedokteran Tropis Indonesia 9: 1-2. Yudhastuti R dan Vidiyani A. 2005. Hubungan kondisi lingkungan, kontainer, dan

perilaku masyarakat dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di daerah endemis demam berdarah dengue Surabaya. Kemas 1(2) :170-182. Yulidar. 2011. Daya tahan hidup nyamuk Aedes aegypti (Linn.) setelah terpapar

(50)
(51)

Lampiran 1 Hasil perkawinan satu ekor nyamuk betina dan satu ekor nyamuk jantan (perlakuan I)

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase Betina Jantan

II 20 Maret 1 1 7 0 0

23 Maret 1 1 75 12 16

26 Maret 1 1 66 10 15,1

29 Maret 1 1 41 7 17

1 April 1 1 77 9 11,7

4 April 1 1 69 5 7,2

7 April 1 - 79 0 0

10 April 1 - 62 3 4,8

13 April 1 - 0 0 0

16 April 1 - 59 4 6,7

19 April 1 - 49 1 2

22 April 1 - 0 0 0

25 April - - - -

Jumlah 584 51 8,73

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase

Betina Jantan

I 20 Maret 1 1 36 1 2,8

23 Maret 1 1 0 0 0

26 Maret 1 1 34 10 29,4

29 Maret 1 1 0 0 0

1 April 1 1 0 0 0

4 April 1 1 0 0 0

7 April 1 1 0 0 0

10 April 1 1 0 0 0

13 April 1 1 0 0 0

16 April 1 1 0 0 0

19 April 1 1 0 0 0

22 April - - - - -

(52)

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Betina Jantan

III 20 Maret 1 1 70 60 85,7

23 Maret 1 1 50 3 6

26 Maret 1 1 0 0 0

29 Maret 1 1 61 15 24,6

1 April 1 1 0 0 0

4 April 1 1 39 4 10,3

7 April 1 1 0 0 0

10 April 1 1 0 0 0

13 April - 1 0 0 0

Jumlah 220 82 37,3

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Betina Jantan

IV 20 Maret 1 1 37 12 32.4

23 Maret 1 1 0 0 0

26 Maret 1 1 50 30 60

29 Maret 1 1 57 32 56,1

1 April - - 5 1 20

Jumlah 149 75 50,3

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Betina Jantan

V 20 Maret 1 1 55 38 69

23 Maret 1 1 21 0 0

26 Maret 1 1 53 31 58,4

29 Maret 1 1 0 0 0

1 April 1 1 49 21 42,8

4 April 1 1 36 3 8,3

7 April 1 1 0 0 0

10 April 1 1 50 2 4

13 April 1 1 0 0 0

16 April 1 - 50 9 18

19 April 1 - 40 10 25

(53)

25 April 1 - 3 1 33,3

28 April 1 - 43 6 13,9

1 Mei - - -

(54)

Lampiran 2 Hasil perkawinan dua ekor nyamuk betina dan satu ekor nyamuk jantan (perlakuan II)

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase

Betina Jantan

I 20 Maret 2 1 43 6 12,76

23 Maret 2 1 53 15 28,3

26 Maret 2 1 25 5 20

29 Maret 2 1 42 10 23,8

1 April 2 1 21 5 23,8

4 April - - - - -

Jumlah 184 41 100

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Betina Jantan

II 20 Maret 2 1 93 20 21,5

23 Maret 2 1 78 43 55,12

26 Maret 2 1 81 11 13,5

29 Maret 2 1 75 10 13,3

1 April 2 - 85 5 5,8

4 April - - -

Jumlah 412 89 21,6

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Betina Jantan

III 20 Maret 2 1 86 34 39,5

23 Maret 2 1 13 6 46,15

26 Maret 1 1 134 30 22,3

29 Maret 1 1 74 40 54

1 April 1 1 65 10 15,4

4 April 1 - 67 6 8,9

7 April 1 - 60 21 35

10 April 1 - 44 5 11,36

13 April 1 - 37 1 2,7

16 April 1 - 31 2 6,5

(55)

22 April 1 - 0 0 0

25 April 1 - 32 10 31,25

28 April 1 - 0 0 0

1 Mei 1 - 26 1 3,8

4 Mei 1 - 36 6 16,6

7 Mei 1 - 5 0 0

10 Mei 1 - 26 0 0

13 Mei 1 - 0 0 0

16 Mei 1 - 45 0 0

19 Mei 1 - 31 1 3,2

22 Mei 1 - 0 0 0

25 Mei 1 - 0 0 0

28 Mei 1 - 0 0 0

31 Mei 1 - 0 0 0

3 Juni 1 - 16 4 25

6 Juni 1 - 0 0 0

9 Juni - - -

Jumlah 865 177 20,50

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase Betina Jantan

IV 20 Maret 2 1 40 8 20

23 Maret 2 1 68 43 63,2

26 Maret 2 - 130 38 29,2

29 Maret 2 - 61 20 32,78

1 April 2 - 73 15 20,5

4 April 2 - 120 2 1,6

7 April 2 - 50 4 8

10 April 2 - 35 6 17,1

13 April 2 - 38 0 0

16 April 2 - 86 3 3,5

19 April - - -

(56)

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase Betina Jantan

V 20 Maret 2 1 58 22 3,4

23 Maret 2 1 57 0 0

26 Maret 2 1 102 50 49

29 Maret 2 1 67 15 23

1 April 2 1 104 10 9,6

4 April 2 1 63 4 6,3

7 April 2 1 89 4 4,5

10 April 2 1 77 3 3,9

13 April 2 1 0 0 0

16 April 2 1 51 17 33,3

19 April 2 1 50 2 4

22 April 2 1 0 0 0

25 April 2 1 42 5 11,9

28 April 2 1 0 0 0

1 Mei 2 1 34 4 11,8

4 Mei - - -

(57)

Lampiran 3 Hasil perkawinan tiga ekor nyamuk betina dan satu ekor nyamuk jantan (perlakuan III)

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase Betina Jantan

I 20 Maret 3 1 81 74 91,3

23 Maret 3 1 10 0 0

26 Maret 3 1 89 10 11,2

29 Maret 3 1 128 5 3,9

1 April 3 1 102 20 19,6

4 April 3 1 54 1 1,85

7 April 3 1 20 0 0

10 April 3 1 104 15 14,4

13 April 3 1 132 7 5,3

16 April 3 1 145 6 4,1

19 April 3 1 94 8 8,5

22 April 3 1 26 2 7,6

25 April 2 1 23 23 100

28 April 1 1 30 10 33,3

1 Mei 1 1 0 0 0

4 Mei 1 1 2 0 0

7 Mei 1 1 29 1 3,4

10 Mei - - -

Jumlah 1069 182 17

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase

Betina Jantan

II 20 Maret 3 1 200 200 100

23 Maret 3 1 95 15 15,78

26 Maret 3 1 113 11 9,7

29 Maret 3 1 74 24 32,4

1 April 3 1 64 20 31,25

4 April 2 1 41 8 19,5

7 April - - - - -

(58)

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Betina Jantan

III 20 Maret 3 1 15 0 0

23 Maret 3 1 97 27 27,8

26 Maret 3 1 82 34 41,4

29 Maret 3 1 70 25 3,6

1 April 3 1 67 30 44,7

4 April 3 1 110 9 8,2

7 April 2 1 0 0 0

10 April 2 1 105 19 18

13 April 2 1 95 0 0

16 April 2 1 44 20 45,4

19 April - - -

Jumlah 685 164 23,9

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur Jumlah Telur Menetas Persentase Betina Jantan

IV 20 Maret 3 1 63 17 26,9

23 Maret 3 1 161 41 25,46

26 Maret 3 1 171 50 29,2

29 Maret 3 1 141 15 10,6

1 April 3 1 92 24 26

4 April 3 1 130 0 0

7 April 3 1 65 0 0

10 April 3 1 84 30 35,7

13 April 3 1 55 1 1,8

16 April 3 1 114 44 38,6

19 April 3 1 47 2 4,2

22 April 3 1 39 15 38,5

25 April 3 1 1 0 0

28 April 3 1 3 0 0

1 Mei 3 1 13 1 7,7

4 Mei 2 1 0 0 0

7 Mei 2 1 0 0 0

10 Mei 1 1 21 0 0

13 Mei 1 1 0 0 0

16 Mei - - -

(59)

Ulangan Tanggal Jumlah Jumlah Telur

Jumlah Telur Menetas

Persentase Betina Jantan

V 20 Maret 3 1 39 10 25,6

23 Maret 3 1 137 0 0

26 Maret 3 1 162 31 19,1

29 Maret 3 1 7 2 28,5

1 April 3 1 151 45 29,8

4 April 3 1 85 0 0

7 April 3 1 54 2 3,7

10 April 3 1 116 6 5,2

13 April 3 1 108 15 13,8

16 April 3 1 159 40 25

19 April 3 1 76 5 6,5

22 April 3 1 133 3 2,3

25 April 3 1 0 0 0

28 April 3 1 30 5 16,6

1 Mei 3 - 77 6 7,8

4 Mei 2 - 48 6 12,5

7 Mei 1 - 34 1 2,9

10 Mei 1 - 0 0 0

13 Mei 1 - 41 0 0

16 Mei 1 - 42 2 4,7

19 Mei 1 - 0 0 0

22 Mei 1 - 0 0 0

25 Mei 1 - 27 15 55,5

28 Mei 1 - 19 0 0

31 Mei 1 - 19 0 0

3 Juni 1 - 15 0 0

6 Juni - - -

(60)

Lampiran 4 Hasil analisis ANOVA dan Duncan jumlah kelompok telur

ONEWAY Kelompoktelur BY Perlakuan /STATISTICS DESCRIPTIVES /MISSING ANALYSIS

/POSTHOC=DUNCAN ALPHA(0.05).

Oneway

Descriptives

Kelompoktelur

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

1 5 10.20 3.421 1.530 5.95 14.45 5 14

2 5 12.40 9.154 4.094 1.03 23.77 5 27

3 5 15.60 7.829 3.501 5.88 25.32 6 26

Total 15 12.73 7.076 1.827 8.81 16.65 5 27

ANOVA

Kelompoktelur

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups 73.733 2 36.867 .705 .513

Within Groups 627.200 12 52.267

Total 700.933 14

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Kelompoktelur

Duncan

Perlaku

an N

Subset for alpha

= 0.05

1

1 5 10.20

2 5 12.40

3 5 15.60

Sig. .283

Means for groups in homogeneous

(61)

Lampiran 5 Hasil analisi ANOVA dan Duncan jumlah telur

ONEWAY jumlahtelur BY perlakuan /STATISTICS DESCRIPTIVES /MISSING ANALYSIS

/POSTHOC=DUNCAN ALPHA(0.05).

Oneway

Descriptives

jumlahtelur

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

1 5 284.600 207.1058 92.6205 27.444 541.756 70.0 584.0

2 5 295.600 142.7574 63.8430 118.343 472.857 92.0 432.5

3 5 341.320 134.0374 59.9433 174.891 507.749 195.7 526.3

Total 15 307.173 154.4579 39.8809 221.637 392.709 70.0 584.0

ANOVA

Jumlahtelur

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups 9047.461 2 4523.731 .167 .848

Within Groups 324953.94

8 12 27079.496

Total 334001.40

9 14

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

jumlahtelur

Duncan

perlaku

an N

Subset for alpha

= 0.05

1

1 5 284.600

2 5 295.600

3 5 341.320

(62)

jumlahtelur

Duncan

perlaku

an N

Subset for alpha

= 0.05

1

1 5 284.600

2 5 295.600

3 5 341.320

Sig. .614

Means for groups in homogeneous

(63)

Lampiran 6 Hasil analisi ANOVA dan Duncan daya tetas telur

ONEWAY persentasedayatetastelur BY Perlakuan /STATISTICS DESCRIPTIVES

/MISSING ANALYSIS

/POSTHOC=DUNCAN ALPHA(0.05).

Oneway

Descriptives

Persentasedayatetastel

ur

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

1:1 5 28.4660 16.66289 7.45187 7.7763 49.1557 8.73 50.30

2:1 5 20.2600 2.01321 .90033 17.7603 22.7597 17.10 22.30

3:1 5 24.1180 13.68964 6.12219 7.1201 41.1159 12.29 47.40

Total 15 24.2813 12.08597 3.12058 17.5883 30.9743 8.73 50.30

ANOVA

Persentasedayatetastelur

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups 168.546 2 84.273 .539 .597

Within Groups 1876.44

4 12 156.370

Total 2044.99

Gambar

Gambar 1 Nyamuk Aedes aegypti
Gambar 2 siklus hidup Aedes aegypti
Gambar 3 Struktur dari sel telur
Gambar 8 Perkawinan nyamuk Aedes segypti dengan posisi ventral to ventral
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sub DAS yang menunjukkan kriteria kualitas perairan yang paling baik yaitu pada sub DAS Cisukabirus dengan rata-rata nilai 3,96 dengan kriteria ‘sangat baik’, hal ini

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang pemanfaatan air untuk rumah tangga, irigasi, dan listrik dari kawasan hutan, serta menghitung nilai ekonomi air

Tujuan dari k-nearest neighbor adalah untuk prediksi atau klasifikasi objek baru berdasarkan data training (Han & Kamber, 2012), nilai parameter k yang digunakan

Setelah siswa-siswi melakukan treatment yang telah diberikan peneliti dan peneliti melakukan tes kedua ( posttest ) siswa-siswi telah menunjukkan perubahan atau peningkatan

Idealnya, angka BIN memang perlu mempertimbangkan harga pasaran, terutama untuk barang pasaran karena BIN yang terlalu tinggi akan mengurangi motivasi penawar

Bagi Penyedia Jasa atau Pemilik Kapal yang sedang menjalani pemeriksaan oleh instansi yang terkait, antara lain pihak kepolisian, TNI, Bea Cukai, Perpajakan, atas

Dari hasil analisis univariat, diperoleh informasi bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi memiliki karakteristik fertilitas lebih tinggi pada jumlah anak 1

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa : 1) Literasi keuangan, inklusi keuangan, uang saku, dan teman sebaya secara simultan berpengaruh signifikan