• Tidak ada hasil yang ditemukan

Defensive and agressive factors response of white rat stomach to aspirin as a human model

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Defensive and agressive factors response of white rat stomach to aspirin as a human model"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS FAKTOR DEFENSIF DAN AGRESIF LAMBUNG

TIKUS PUTIH TERHADAP ASPIRIN SEBAGAI MODEL

PENGGUNAAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID

PADA MANUSIA

Chudahman Manan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Penulis menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi penulis berjudul “Respons Faktor Defensif dan Agresif lambung tikus putih terhadap Aspirin Sebagai Model Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid Pada Manusia” adalah benar-benar karya asli penulis dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapan serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Bogor, Januari 2012

(3)

ABSTRACT

CHUDAHMAN MANAN

.

Defensive and Agressive Factors response

of White Rat Stomach to Aspirin as A Human Model. Under the

supervision of

BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DALDIYONO, SRI ESTUNINGSIH and MIN RAHMINIWATI.

Non Steroid Anti Inflammatory Drugs / Aspirin is a drug which is currently widely used in the treatment of cases in the field of Rheumatology, Cardiology, Neurology, Hematology and Oncology. The expansion of clinical indications will result in the increasing prevalence of drug side effects, especially on the stomach. The initial clinical symptoms due to side effects of this drug are dyspepsia syndrome. If these symptoms are not quickly resolved more severe complications will happen in the form of upper gastrointestinal bleeding.

The purpose of this study is to determine the changes in gastric pathology and histopathology due to side effects of aspirin. The study was conducted on 20 white rats Spague-Dawley strain which has been prepared starting from pre-study to eliminate bias factors that may affect the results of this study. Furthermore, rats were divided into 2 groups: the control and treatment groups The treatment group were given aspirin powder dissolved in water a dose of 400 mg once daily for 3 days, whereas the control group were given aquabidet. Afterthat necropsy was performed and the stomach was observed in macroscopic and microscopic examination to determine changes in cell activity such as mucus cells, inflammatory cells, parietal cells and chief cells as a component for defensive and agressive factors. Activities of isoenzyme cyclooxygenase 1 and cyclooxygenase 2 which associated with the production prostaglandin were examined by immunohistochemical staining.

The results obtain from this study is gastric dilatation and mucus is a component of defensive factor can serve as primary and secondary prevention of gastric mucosal lesions. Inflammatory cells, gastric acid and pepsin are only contributor factors in the occurrence of mucosal lesions. Isoenzymes COX-1 and COX-2 is associated with the production of prostglandin, function of COX-1 as constitutive factor can be seen clearly, whereas COX-2 functions as an inflammatory factor does not provide a clear picture.

Macroscopic and microscopic changes of the stomach will be used as a model in humans in conducting primary and secondary prevention of acute gastric mucosal lesions due to side effects of aspirin

(4)

RINGKASAN

CHUDAHMAN MANAN. Respons Faktor Defensif Dan Agresif Lambung Tikus Putih Terhadap Aspirin Sebagai Model Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid Pada Manusia. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO sebagai ketua, DALDIYONO, SRI ESTUNINGSIH dan MIN RAHMINIWATI sebagai anggota komisi pembimbing.

Perluasan indikasi pemakaian Aspirin dalam pengobatan penyakit akan berakibat meningkatnya efek samping obat pada saluran cerna bagian atas khususnya lambung. Prevalensi efek samping berkisar antara 50% – 70 %. Bentuk kelainan yang dapat terjadi mulai dari ringan yaitu peradangan sampai dengan berat yaitu terjadinya ulkus dengan atau tanpa perdarahan. Kebutuhan pemakaian Aspirin pada penyakit penyakit tertentu seperti kelainan jantung, saraf, darah dan kanker akan berlangsung lama, sehingga diperlukan upaya pencegahan primer yaitu sebelum terjadinya lesi mukosa lambung dan pencegahan sekunder untuk mencegah perluasan dan memberatnya lesi mukosa yang sudah terjadi. Untuk melakukan pencegahan ini perlu diketahui reaksi seluler pada kelompok yang tidak mengalami lesi mukosa lambung, sedangkan ketahanan mukosa yang dihubungkan dengan produksi prostaglandin, pada kelompok Perlakuan Lesi Positif berdasarkan ekspresi isoenzim Cyclooxygenase satu dan dua (COX-1 dan COX-2). Penelitian ini dimulai dengan pengamatan gejala klinik akibat efek samping obat sampai dengan perubahan seluler dan perubahan ketahanan mukosa lambung. Kelompok tanpa lesi mukosa merupakan kelompok yang akan diteliti secara khusus sebab akan dapat ditentukan perbedaan reaksi seluler dibandingkan dengan kelompok dengan lesi mukosa. Penelitian pada manusia banyak keterbatasan sehingga pengamatan secara menyeluruh sulit dilakukan. Oleh sebab itu penggunaan hewan coba tikus putih galur Sprague Dawley dengan struktur lambung sama dengan manusia akan dapat memberi gambaran reaksi seluler maupun ketahanan mukosa yang sama pada manusia. Hasil dari penelitian ini akan menjadi model untuk diterapkan pada manusia.

(5)

utama ketahanan mukosa lambung. Materi penelitian menggunakan 20 ekor tikus putih galur Sprague Dawley yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok Perlakuan 10 ekor tikus dan kelompok Kontrol 10 ekor tikus. Sebelum penelitian dimulai dilakukan persiapan dan adaptasi kepada tikus tersebut untuk menghilangkan faktor bias yang akan mempengaruhi hasil penelitian. Adapatasi dilakukan selama 3 minggu dengan memberikan makanan dengan komposisi yang telah ditentukan dan jumlah yang dimakan ditentukan dengan menimbang sisa pakan yang ada. Selama masa adaptasi tikus tersebut juga mendapat pengobatan antibiotik, anti cacing dan anti jamur. Setelah fase adaptasi selesai kelompok Perlakuan akan mendapat terapi Aspirin 400 mg yang dilarutkan dalam aquabidest dosis tunggal selama 3 hari berturut-turut sedangkan kelompok Kontrol akan mendapat terapi aquabidest saja. Sesudah terapi selesai dilakukan nekropsi pada semua kelompok dan dilanjutkan pengamatan makroskopik / Patologi Anatomi (PA) lambung tikus pada kelompok Perlakuan Lesi Negatif (PLN), Perlakuan Lesi Positif (PLP) dan Kontrol (K) dengan mengukur diameter transversal dan sagital lambung tikus pada regio Fundus/Korpus dan regio Antrum/Pilorus. Selanjutnya dilakukan pengamatan mikroskopik pada ketiga kelompok PLN, PLP dan K dengan pewarnaan umum Hematoxylin Eosin, pewarnaan khusus Alcian Blue Periodic Acid Schiff (AB-PAS) untuk sel mukus. Hasil pengamatan mikroskopik dengan menghitung rerata jumlah sel mukus, sel radang, sel parietal, sel chief. Hasil perhitungan tersebut akan di analisa secara statistik menggunakan Anova dan hasil yang bermakna dilakukan analisa Duncan. Pemeriksaan isoenzim Cyclooxygenase satu dan dua dilakukan dengan metode imunohistokimia terhadap kelompok Perlakuan Lesi Positif untuk mengetahui aktifitas isoenzim ini berdasrkan ekspresi sel epitel dan sel kelnjar dengan hasil positif bila didapatkan warna coklat dan negatif bila tanpa warna coklat pada sediaan yang diperiksa. Hasilnya dinilai secara kwalitatif dianalisa secara deskriptif.

(6)

yaitu Aspirin dan aquabidest. Sedangkan pada kelompok PLN dan PLP didapatkan perbedaan tidak bermakna menunjukkan reaksi sel radang lebih bersifat pencegahan primer dan sekunder. Pada regio Antrum/Pilorus reaksi sel radang kelompok PLN,PLP dan K tidak berbeda bermakna menunjukkan peran sel radang lebih bersifat protektif bukan destruktif. Reaksi sel parietal pada regio Fundus/Korpus didapatkan perbedaan tidak bermakna kelompok PLN dengan kelompok PLP dan K. Hal ini menunjukkan peran sel parietal sebagai penghasil asam lambung hanya bersifat kontributor dalam terjadinya lesi mukosa akut. Perbedaan bermakna kelompok PLP dan K disebabkan terjadinya kerusakan sel parietal akibat pengaruh Aspirin sehingga produksi asam lambung relatif berkurang. Pada regio Antrum/Pilorus kelompok PLN tidak berbeda bermakna dengan kelompok PLP dan K hal ini menunjukkan peran asam lambung hanya sebagai kontributor dalam terjadinya lesi mukosa akut akibat Aspirin. Reaksi sel chief berhubungan dengan kondisi sel parietal. Perbedaan bermakna antara kelompok PLN dan PLP menggambarkan aktifitas yang menurun dari sel parietal karena terjadinya perubahan histopatologi dalam bentuk piknosis. Hal yang sama juga terjadi pada regio Antrum/Pilorus.

Pemeriksaan imunohistokimia terhadap kelompok PLP menunjukkan bahwa COX-1 sebagai isoenzim konstitutif banyak didapatkan pada regio Fundus/Korpus sesuai dengan hasil pengamatan per endoskopi regio ini jarang mengalami lesi mukosa. Pada regio Antrum/Pilorus nilai positif yang tinggi dari COX-1 menunjukkan lesi mukosa yang terjadi lebih dominan disebabkan efek topikal dibandingkan sistemik. Hasil pemeriksaan COX-2 terhadap kelompok PLP pada regio Fundus/Korpus didapatkan nilai positif pada epitel lebih banyak dibandingkan kelenjar karena proses inflamasi dimulai dari lapisan epitel yang letaknya dipermukaan mukosa. Disamping itu nilai positif lebih banyak menunjukkan efek sistemik Aspirin belum berjalan maksimal sehingga ketahanan mukosa regio ini akan lebih baik dibandingkan regio Antrum/Pilorus. Hasil COX-2 negatif pada regio Antrum/Pilorus menunjukkan hambatan Aspirin terhadap enzim ini dalam memproduksi prostaglandin cukup kuat sehingga lesi yang terjadi pada regio ini lebih sering dan bila terjadi akan lebih berat dibandingkan regio Fundus/Korpus.

Kesimpulan dari penelitian ini peran faktor defensif lambung lebih dominan dalam terjadinya lesi mukosa lambung akut akibat Aspirin. Oleh sebab itu hasil penelitian ini akan dapat diterapkan pada manusia bahwa obat yang mempunyai kemampuan meningkatkan fungsi faktor defensif akan dapat dipakai sebagai pencegahan primer maupun sekunder.

Kata Kunci : aspirin, lambung, sel mukus, sel radang, sel parietal, sel chief, cyclooxygenase

(7)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik

(8)

RESPONS FAKTOR DEFENSIF DAN AGRESIF LAMBUNG

TIKUS PUTIH TERHADAP ASPIRIN SEBAGAI MODEL

PENGGUNAAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID

PADA MANUSIA

Chudahman Manan

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

Pada Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tertutup: Selasa, 20 Desember 2011 1. Prof.dr. H. A. Azis Rani SpPD-KGEH

2. drh. Dewi Ratih Agungpriyono.MSi,PhD,APVet

Pada Ujian Terbuka: Kamis, 19 Januari 2012 1. Prof.Dr.dr. Heru Sundaru SpPD-KAI

(10)

Judul Disertasi :RESPON FAKTOR DEFENSIF DAN AGRESIF LAMBUNG TIKUS PUTIH TERHADAP ASPIRIN SEBAGAI MODEL PENGGUNAAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID PADA MANUSIA Nama : Chudahman Manan

NRP : B 161030071 Program Studi : Sains Veteriner

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof.drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD, APVet. Ketua

Prof.Dr.dr. Daldiyono H. SpPD-KGEH Dr.drh. Sri Estuningsih, MSi.APVet Anggota Anggota

Dr. drh. Min Rahminiwati, MSi Anggota

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

Prof. drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD, APVet Dr.Ir. Dahrul Syah MSc

(11)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya jualah akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Judul disertasi adalah “Respons Faktor Defensif dan Agresif Lambung Tikus Putih terhadap Aspirin Sebagai Model Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid Pada Manusia”

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan Doktor sampai tersusunnya disertasi ini.

Kepada yang terhormat Prof.Dr.Ir. Herry Suhardiyanto MSc, selaku Rektor Institut Pertanian Bogor, Dr.Ir. Dahrul Syah MSc, selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, penulis ucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Doktor pada Program Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr.drh. Srihadi Agungpriyono MSi atas kesempatan yang diberikan dalam menyelesaikan penelitian ini dan kepada drh. Hernomoadi Huminto, MVS sebagai Kepala Bagian Patologi Institut Pertanian Bogor Periode sebelumnya atas kesediaan beliau menerima penulis, serta dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan ini.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof.drh. Bambang Pontjo P.MS, PhD, APVet sebagai Ketua Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, drh. Dewi Ratih Agungpriyono MSi,PhD,APVet sebagai Ketua Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, beserta seluruh staf pengajar yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk belajar di bagian ini, serta telah mendidik, membimbing dan memberi dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.

(12)

Kepada Prof. Dr. dr. Daldiyono H, SpPD-KGEH penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kesempatan, dorongan, bimbingan dan pertunjuk-petunjuk yang beliau berikan kepada penulis mulai dari saat awal mengikuti pendidikan Doktor sampai dengan selesainya penulisan disertasi ini.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada seluruh komisi pembimbing Prof. drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD, APVet, Prof. Dr. dr. Daldiyono H, SpPD-KGEH, Dr. drh. Sri Estuningsih,.MSi.APVet dan Dr. drh. Min Rahminiwati, MSi atas segala bimbingan, dorongan dan petunjuk-petunjuk beliau mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga tersusunnya disertasi ini.

Kepada seluruh Staf Pengajar di Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pengajar Program Studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor penulis ucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan petunjuk-petunjuknya selama menjalani pendidikan Doktor.

Rasa terima kasih sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada dr. Bethy S Hernowo, SpPA (K), PhD bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung beserta staf beliau, Bapak Wahyudin atas bantuannya dalam pemeriksaan Histopatologi imunohistokimia yang merupakan bagian dari disertasi penulis ini.

Kepada Dr. Ir. Etih Sudarnika, MSi, Staf Pengajar Epidemiologi Bagian Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB yang telah banyak membantu penulis dalam analisa statistik, penulis ucapkan terima kasih atas pengarahan serta bantuannya dalam pengolahan hasil penelitian ini.

Kepada Prof. dr. H. Abdul Aziz Rani, SpPD-KGEH, dr. Marcelus Simadibrata, SpPD-KGEH, PhD, Dr. dr. H. Dadang Makmun, SpPD-KGEH, Dr. dr. H. Murdani Abdullah, KGEH, Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, dan dr. Achmad Fauzi, SpPD-KGEH beserta seluruh karyawan Divisi Gastro Entereologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, penulis ucapkam terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor.

(13)

SpPD-KGEH, PhD sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang telah memberikan izin untuk penulis mengikuti pendidikan ini.

Kepada Yang Terhormat Direktur Utama RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Prof. Dr. dr. Akmal Taher,SpU, penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Kepada seluruh pihak baik instansi, kelompok, maupun perseorangan yang telah memberi dukungan dan bantuan dalam pendidikan penulis ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih.

Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada almarhum kedua orang tua penulis dan almarhum kedua mertua yang penulis cintai atas bimbingan beliau kepada penulis sampai akhirnya penulis dapat mengikuti pendidikan Doktor di IPB.

Kepada istriku tercinta, Almarhumah Ir. Hj. Rachmania dan anakku Meinanda Chudahman, S.Kom, MSc , penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan, dorongan, kesabaran dan pengorbanan yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan.

Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberikan pahala dari amal dan kebaikan kepada bapak dan ibu sekalian, dan senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Bogor, Desember 2012

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1951 sebagai anak dari pasangan Bapak H. Abdul Manan dan Ibu Hj. Siti Zubaidah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lulus tahun 1976. Penulis kemudian bertugas sebagai Kepala Puskesmas di Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1980. Tahun 1980-1981, penulis menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lahat Propinsi Sumatera Selatan.

Setelah itu melanjutkan pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1981 sampai dengan tahun 1986. Pada tahun 1986, penulis ditugaskan di Rumah Sakit Sekupang Otorita Batam, Kepulauan Riau sebagai Ahli Penyakit Dalam. Dari tahun 1986, penulis menjadi Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI RSCM sampai dengan tahun 2011. Pada tahun 1989, penulis mengikuti Training di bidang Gastro Enterologi di Tokyo Women’s Medical College di Tokyo, Jepang. Pada tahun 1996, penulis mendapatkan gelar Konsultan Gastro Entero Hepatologi.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang ... 1.2 .Identifikasi Masalah ... 1.3. Pertanyaan Penelitian ... 1.4. Tujuan Penelitian ... 1.5. Manfaat Penelitian ... 1.6. Hipotesa ...

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah perkembangan dan mekanisme kerja Obat ... Anti Inflamasi Non Steroid/Aspirin

2.2. Biologi Tikus ... 2.3. Anatomi dan Fisiologi lambung ... 2.4. Perubahan anatomi lambung pada gejala dispepsia ... 2.5. Peran mukus sebagai faktor defensif pada gastropati Obat Anti ... Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

2.6. Peran sel radang, sel parietal dan sel chief sebagai faktor agresif ... pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin 2.7. Peran isoenzim Cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) pada ... gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 3.2. Materi Penelitian ... 3.3. Bahan dan Alat Penelitian ...

(16)

3.4. Metode Kerja ... 3.5. Analisis dan Interpretasi Data ...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Patologi lambung tikus pada Gastropati Aspirin ... 4.2.Histopatologi sel mukus lambung tikus pada Gastropati Aspirin . 4.3.Histopatologi sel Radang, sel Parietal dan sel Chief lambung ... Tikus pada Gastropati Aspirin

4.4.Reaksi isoenzim Cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) pada ... Gastropati Aspirin

V. PEMBAHASAN UMUM ... VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan ... 6.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

20 23

25 28 30

41

53

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

1. Klasifikasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid... 2. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Fundus/Korpus ... 3. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Antrum/Pilorus ... 4. Perbedaan jumlah sel mukus kelompok K,PLN dan PLP ... regio Fundus/Korpus

5. Perbedaan jumlah sel mukus kelompok K,PLN dan PLP... regio Antrum/Pilorus

8 25 27 28

29

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

1. Mekanisme kerja OAINS/Aspirin ... 2. Regio lambung manusia (A) dan lambung tikus (B) ... 3. Perbandingan struktur lambung manusia (HS) dan tikus (MS) ... 4. Histologi lambung tikus regio Fundus/Korpus (A)

regio Antrum/Pilorus (B)

5. Lambung monogastrik ... 6. Makroskopik lambung normal (A) dan Lambung dilatasi (B) ... 7. Histopatologi sel mukus mukosa lambung tikus SD... 8. Jumlah sel radang kelompok K,PLN dan PLP regio Fundus/Korpus .. 9. Jumlah sel radang kelompok K,PLN dan PLP regio Antrum/Pilorus ... 10. Gambar histopatologi edema pada submukosa dan mukosa lambung . 11. Infiltrasi sel radang pada mukosa lambung kelompok K kelompok P . 12. Sel parietal piknosis pada lesi mukosa lambung akut ... Gastropati Aspirin.

13. Jumlah sel parietal kelompok K, PLN, PLP regio Fundus/Korpus ... 14. Jumlah sel parietal kelompok K, PLN, PLP regio Antrum/Pilorus ... 15. Histopatologi sel parietal lambung normal dan piknosis ... 16. Jumlah sel chief kelompok K,PLN,PLP regio Fundus/Korpus ... 17. Jumlah sel chief kelompok K,PLN,PLP regio Antrum/Pilorus ... 18. Histologi sel parietal dan sel chief lambung regio Fundus/Korpus ... 19. Grafik Ekspresi COX-1 dan COX-2 epitel dan kelenjar regio ... Fundus/Korpus

20. Grafik Ekspresi COX-1 dan COX-2 epitel dan kelenjar regio ... Antrum/Pilorus

21. Ekspresi COX-1 mukosa lambung kelompok Kontrol ... 22. Ekspresi COX-1 mukosa lambung kelompok Kontrol ... dengan deskuamasi

(19)

24. Ekspresi COX-1 mukosa lambung epitel kelompok Kontrol ... 25. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan deskuamasi ... 26. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan erosi kelompok P ... 27. Ekspresi COX-2 mukosa lambung kelenjar kelompok Perlakuan ... 28. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan serbukan sel radang ... 29. Ekspresi COX-1 sel mukus permukaan mukosa lambung dengan ... erosi

30. Ekspresi COX-1 sel mukus leher mukosa lambung dengan erosi ... 31. Ekspresi COX-2 pada basal epitel mukosa lambung dengan ... deskuamasi

32. Ekspresi COX-2 sel mukus kelenjar mukosa lambung dengan ... deskuamasi

33. Ekspresi COX-2 mukosa lambung dengan erosi ... 34, Ekspresi COX-2 pada basal epitel mukosa lambung dengan ulkus ...

47 48 48 49 49 50

50 51

51

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Halaman

1. Daftar Singkatan ... 2. Komposisi pakan tikus ... 3. Data Pakan Tikus Perhari

4. Metode Pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Schiff ...

5. Metode Pewarnaan Hematoxylin-Eosin ... 6. Metode pewarnaan imunohistokimia isoenzim COX-1 dan COX-2 .. 7. Analisa Statistik Hasil Penelitian ...

(21)

1.PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perbaikan dalam sistim kesehatan, baik dalam pencegahan maupun pengobatan, akan meningkatkan angka harapan hidup. Akibatnya akan terjadi peningkatan jumlah kelompok usia lanjut. Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang sering didapatkan pada kelompok usia lanjut, diantaranya adalah penyakit degeneratif sendi (osteoartrosis), penyakit jantung, penyakit saraf, penyakit keganasan yang juga akan meningkat. Resiko peningkatan penyakit penyakit ini akan diikuti oleh peningkatan konsumsi obat2 golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau Aspirin. Kondisi ini juga akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping pada saluran cerna bagian atas khususnya pada lambung (Auyang 2011)

Kelainan yang terjadi dalam bentuk ringan yaitu hiperemia, sedang dalam bentuk erosi, sampai dengan yang paling berat dalam bentuk ulkus tanpa atau dengan perdarahan atau perforasi (Derry dan Loke 2000, Ibrahim, Mofleh etal

2007).

Data hasil penelitian di RS Ciptomangunkusumo didapatkan bahwa lesi mukosa yang terjadi khususnya pada lambung memiliki prevalensi 50-70%. Di sisi lain didapatkan 30-50%, kelompok pengguna OAINS tidak didapatkan kelainan, meskipun dari jenis dan dosis OAINS yang dikonsumsi adalah sama (Manan 2005).

(22)
(23)

1.2. Identifikasi Masalah

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin disebabkan gangguan

keseimbangan antara faktor agresif dan defensif. Peran faktor agresif dalam hal ini asam lambung sudah banyak dilakukan penelitian. Akan tetapi peran faktor defensif masih perlu diteliti lebih lanjut. Prostaglandin berperan utama sebagai faktor defensif dalam ketahanan mukosa lambung. Sawar mukosa lambung teratas adalah lapisan pre-epitel dengan komponen yang paling dominan adalah mukus. Mekanisme terjadinya lesi mukosa akut lambung melalui dua jalur, yaitu topikal dan sistemik. Efek topikal terjadi bila ada kontak langsung Aspirin dengan mukosa akibat rusaknya lapisan mukus. Penempelan Aspirin pada sel epitel akan menyebabkan reaksi sel dalam bentuk reaksi inflamsi dan akan berlanjut dengan kerusakan dinding sel. Kerusakan dinding sel akan diikuti oleh aliran balik ion hidrogen bersama dengan obat Aspirin dan akan terperangkap didalam sel epitel tersebut. Kondisi ini akan mempengaruhi ketahanan sel, sehingga akhirnya terjadi kerusakan sel dalam bentuk nekrosis. Reaksi sistemik akibat hambatan produksi prostaglandin melalui enzim Cyclooxygenase akan lebih memperberat lesi mukosa yang sudah terjadi. Peran faktor agresif yaitu asam lambung dan pepsin juga akan berpengaruh pada lesi yang sudah terjadi. Hambatan enzim Cyclooxygenase satu dan dua pada kelompok dengan lesi mukosa yang tidak seimbang akan memperberat terjadinya lesi mukosa akut lambung (Brzozowski dan Konturek etal 2001, Bhandari dan Bateman etal 2005).

Mukus sebagai sawar mukosa lambung akan berfungsi sebagai pencegahan primer maupun sekunder terjadinya lesi mukosa akut (Atuma dan Strugala etal

(24)

Aspirin, pada manusia sulit dibuktikan akan tetapi pada hewan coba akan dapat ditentukan secara jelas.

1.3.

Pertanyaan penelitian

2. Apakah gejala klinik dispepsia pada Aspirin gastropati disebabkan perubahan morfologi lambung ?

3. Apakah peran mukus pada kelompok hewan coba Perlakuan Lesi Negatif (PLN) menunjukkan kelebihan dibandingkan kelompok Perlakuan Lesi Positif(PLP) ?

4. Apakah sel radang, asam lambung dan pepsin hanya sebagai kontributor pada kelompok PLN ?

5. Apakah isoenzim COX-2 berperan lebih dominan dibandingkan COX-1 pada kelompok Perlakuan Lesi Positif ?

1.4.

Tujuan Penelitian

Menjawab pertanyaan penelitian dengan membuktikan perubahan patologi anatomi dan histopatologi lambung tikus putih galur Sprague-Dawley yang mendapat terapi aspirin

1.5.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian akan dipakai sebagai model pada manusia dalam mencegah atau mengurangi efek samping Aspirin pada lambung, berdasarkan terapi yang rasional.

1.6.

Hipotesa

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

(26)

manusia dalam pencegahan primer maupun sekunder terhadap lesi mukosa lambung akut akibat Aspirin (Fiorucci dan Del Soldato 2003, Brzozowska dan Targosz etal. 2004).

2.1. Sejarah perkembangan dan mekanisme kerja OAINS/Aspirin

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman pada tahun 1829, yaitu golongan salisilat berasal dari tanaman willow bark, pada saat ini dikenal dengan nama Aspirin. Pada tahun 1960 didapatkan OAINS kedua yaitu indometasin. Selanjutnya perkembangan dalam produksi OAINS sampai saat ini melebihi dari 30 jenis yang berasal dari golongan dengan sifat kimiawi berbeda (Tabel 1). Meskipun demikian efektifitas klinik dari obat-obat ini memberikan hasil yang hampir sama. Akan tetapi efek samping dapat terjadi pada saluran cerna dalam bentuk OAINS gastropati atau OAINS enteropati,. tergantung dari farmakodinamik dan farmakokinetik OAINS/Aspirin tersebut (Adebayo dan Bjarnason 2006, Wallace 2008).

Pemakaian OAINS khususnya Aspirin pada saat ini didapatkan perluasan indikasi klinik. Pemakaian yang bermula pada bidang Rematologi, berkembang ke disiplin ilmu lain, yaitu Hematologi, Kardiologi, Neurologi dan Onkologi (Flower 2003).

(27)

prostaglandin. Kondisi ini akan menurunkan ketahanan mukosa lambung.(Gudis dan Sakamoto 2005, Kaneko dan Matsui etal. 2007, Laine dan Takeuchi etal. 2008). Ketahanan mukosa lambung ditentukan oleh faktor defensif yang terdiri dari lapisan pre-epitel, epitel dan sub-epitel. Lapisan pre-epitel merupakan sawar terdepan dari mukosa lambung dalam mencegah pengaruh isi lumen terhadap lapisan epitel. Peranan mukus dan sekresi bikarbonat merupakan faktor utama dalam pencegahan primer maupun sekunder lesi mukosa akut oleh OAINS/Aspirin. Efek topikal OAINS/Aspirin terjadi akibat dari kerusakan lapisan mukus, sehingga akan terjadi gangguan permeabilitas dinding sel epitel dengan akibat obat akan masuk dan terperangkap di dalam sel. Selanjutnya terjadi pembengkakan disertai proses inflamasi dan akan terjadi kerusakan sel epitel tersebut (Lichtenberger dan Romero etal. 2007, Philipson dan Johanson etal. 2008) . Efek topikal ini akan diikuti oleh efek sistemik dalam bentuk hambatan produksi prostaglandin melalui jalur COX-1 dan COX-2 (Tanaka dan Araki etal.

2002).

OAINS/Aspirin

COX-1 Kerusakan COX-2 epitel

Aliran darah Sekresi mukus Gangguan Angiogenesis Penempelan mukosa karbonat agregasi lekosit trombosit

Difusi balik asam

Gangguan ketahanan mukosa Gangguan Aktifasi penyembuhan lekosit

Lesi mukosa & perdarahan

Gambar 1. Mekanisme kerja OAINS/Aspirin (Wallace 2008)

(28)

Mekanisme hambatan isoenzim cyclooxygenase tergantung dari golongan OAINS. Aspirin merupakan golongan OAINS yang kuat dalam menghambat kedua isoenzim tersebut, akibatnya lesi yang terjadi akan lebih berat.

Peran faktor agresif seperti asam lambung, pepsin dan infeksi Helicobacter pylori akan memperberat lesi mukosa yang terjadi diakibatkan bertambahnya proses radang yang terjadi, meskipun masih kontroversi. Disamping itu terjadinya dismotilitas lambung akibat OAINS/Aspirin juga akan memperberat lesi mukosa yang terjadi (Venables 1986, Souza dan Troncon etal. 2003, Brzozowski dan Konturek etal. 2006,Forte dan Zhu 2010).

Hambatan selektif terhadap isoenzim Cox-2, tidak menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah terjadinya lesi mukosa akut. Lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin dapat terjadi pada usus halus atau kolon. Terjadinya lesi akibat efek sistemik dan sebagai faktor agresif yaitu bakteri dan asam empedu (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Adebayo dan Bjarnason 2006).

Tabel 1. Klasifikasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid (Brzozowski 2001)

Salisilat Indol

Asetilsalisilat (Aspirin) Salsalat Diflunisal Indometasin Sulindal Tolmetin sodium

Non asetilsalisilat Oksikam

Magnesium salisilat Kolin Magnesium trisalisilat

Oksikam Piroksikam Derivat asam propionat Asam fenilasetat

Kalsium fenoprofen Flurbiprofen Ibuprofen Ketoprofen Naproksen Naproksen sodium Sodium diklofenak Potasium diklofenak Sodium diklofenak – Misoprostol

Fenamat Derivat pirazol

Asam Mefenamat Sodium meclofenamat

Fenilbutazon

Naftilalkanon Asam piranokarboksilat

Nabumeton Etodolak

Penghambat Cox-2 selektif Pirolo-pirol Celecoxib

Rofecoxib

Ketorolak trometamin

Penghambat Cox-2 semi selektif Asam piranokarboksilat

(29)

2.2 Biologi tikus

Tikus memiliki berbagai galur yang merupakan hasil pembiakan sesama

jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur

Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley.

Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di

Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley memiliki panjang leher yang sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekor. Bobot badan tikus jantan pada umur 10 minggu dapat mencapai 250-300 gram, sedangkan tikus betina hanya mencapai 180-220 gram (NLAC 2010).

Untuk penelitian di bidang kedokteran, terutama sifat farmakologi obat, galur ini merupakan model hewan coba yang baik. Sebab banyak penelitian yang sudah dilakukan memakai hewan coba Selain itu hewan coba ini mudah ditangani, dapat diperoleh dalam jumlah besar, dan memberikan hasil nilai ulangan yang dapat dipercaya (Aminah 2004, Festing 2006).

2.3. Anatomi dan fisiologi lambung

Anatomi dan fisiologi organ lambung tikus putih sama dengan manusia yaitu monogastrik dan lapisan mukosa glandular yang terdiri dari sel mukus, sel parietal, sel chief dan sel G ( Ghoshal dan Bal 1989, Bailey, Fox dan Anderson

etal. 2002).

A B

(30)

Secara makroskopik lambung tikus dibagi dalam regio Kardia dan regio Pylorus. Morfologi lambung tikus yang kecil sehingga bila di bandingkan dengan manusia, regio Kardia adalah regio Fundus/Korpus sedangkan regio Pilorus adalah regio Antrum/Pilorus. Secara histologi lambung dibagi dalam non kelenjar dan kelenjar. Batas dari non kelenjar dan kelenjar disebut limiting ridge,

merupakan lipatan mukosa lambung yang tidak didapatkan pada manusia. Kedua regio pada lambung tikus tersebut merupakan regio glandular dengan struktur histologinya sama dengan manusia (Luciano dan Reale 1992, Travillian dan Rosse

etal. 2003) . Struktur histologi lambung manusia dan tikus digambarkan secara skematis sebagai berikut:

(31)

Struktur anatomi dan histologi lambung tikus sama dengan manusia, maka perubahan yang terjadi akibat pengaruh Aspirin akan dapat dipakai sebagai model pada manusia (Travillian dan Rosse etal. 2003)

A B

Gambar 4. Histologi lambung tikus regio Fundus/Korpus (A) dan regio Antrum/Pilorus. M: Mukosa;MM: Muskularis Mukosa;SM :Sub Mukosa : TM T. Muskularis

2.4. Perubahan anatomi lambung pada gejala dispepsia

Gejala klinik awal terjadinya komplikasi pada lambung adalah sindroma dispepsia. Gejala yang sering ditemukan adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada daerah epigastrium, yang dapat disertai gejala mual, kembung, muntah. Bila keadaan ini berlanjut dapat terjadi gejala perdarahan saluran cerna dalam bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis. Dispepsia pada gastropati OAINS disebabkan oleh dismotilitas akibat proses inflamasi mukosa terutama pada regio Antrum/Pilorus dan bertambah berat bila terjadi hambatan terhadap produksi prostaglandin (Santos dan Medeiros etal. 2007). Regio Antrum/Pilorus merupakan predileksi terjadinya lesi mukosa disebabkan kondisi ketahanan mukosa pada regio ini lebih lemah dibandingkab regio Fundus/Korpus. Hal ini disebabkan

M

M

MM MM

SM

SM TM

[image:31.595.102.500.52.832.2]
(32)

secara fisiologi regio Antrum/Pilorus merupakan tempat penampungan terakhir dari isi lambung sebelum masuk ke duodenum. Kondisi ini akan berakibat struktur mukus tidak sebaik pada regio Fundus/Korpus ditambah lagi kondisi mukosa pada umumnya sudah mengalami peradangan kronik (Brzozowski dan Konturek etal. 2006, Laine dan Curtis etal. 2010) . Reaksi topikal Aspirin pada mukosa lambung dapat diikuti dengan proses adaptasi atau berlanjut dengan reaksi sistemik berakibat menurunnya motilitas lambung (Wallace dan Webb etal. 1995). Berat ringannya keluhan ditentukan oleh perubahan yang terjadi dari kontur lambung dalam bentuk dilatasi. Dilatasi lambung akibat gangguan motilitas akan berakibat kontak Aspirin dengan mukosa Antrum/Pilorus akan lebih lama, sehingga reaksi yang terjadi akan lebih berat. Sel radang yang merupakan salah satu faktor pertahanan tubuh akan meningkat pada lapisan mukosa dan akan menginfiltrasi lapisan tersebut terutama pada daerah muskularis mukosa. Infiltrasi sel radang ini juga akan diikuti oleh edema jaringan sekitarnya, sehingga motilitas lambung akan lebih terganggu. Kelainan ini akan berakibat perubahan gangguan pengosongan lambung. Selanjutnya bila proses ini berjalan terus akan terjadi dilatasi lambung(Souza dan Troncon etal. 2003, Serhan dan Brain etal. 2007). Gejala klinik dalam perasaan tidak nyaman pada daerah epigastrium disebabkan terutama oleh penurunan motilitas lambung. Dua hal utama yang akan memperberat lesi mukosa adalah penurunan motilitas sebagai komponen faktor defensif dan reaksi topikal dan sistemik dari Aspirin (Hall dan Tripp etal. 2006, Laine dan Curtis etal. 2010)

2.5. Peran mukus sebagai faktor defensif pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

(33)

Prostaglandin, terutama PGE2 dan prostasiklin mempunyai efek sitoprotektor pada epitel gastrointestinal. Hambatan sintesa Prostaglandin oleh OAINS/Aspirin bersifat sistemik akan berpengaruh terhadap penurunan produksi mukus oleh sel mukus leher mukosa gaster. Mukus akan menghambat difusi balik asam ke dalam epitel, kerusakan lapisan mukus akan mempermudah terjadinya lesi mukosa (Gudis dan Sakamoto 2005, Laine dan Takeuchi 2008). .

Komponen lain yang akan memelihara ketahanan mukosa adalah epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor alpha (TGF-alpha). Kedua peptida ini pada lambung akan meningkatkan produksi mukus dan menghambat produksi asam (Philipson dan Johanson 2008).

Protein trefoil yang merupakan peptida disekresikan oleh sel mukus mukosa gaster dan intestin, akan menutupi bagian apical sel epitel. Peran protein ini pada integritas mukosa, penyembuhan lesi dan pembatasan proliferasi sel epitel. Fungsinya akan melindungi epitel dari pengaruh zat kimia toksik dan obat. Protein trefoil ini mempunyai efek restitusi pada perbaikan kerusakan epitel secara merata dan bergerak dari tepi luka untuk menutupi lesi yang ada (Madson dan Nielson

etal. 2007).

(34)

didapatkan lesi mukosa akibat OAINS/Aspirin(Derry dan Loke 2000, Hall dan Tripp etal. 2006, Ibrahim dan Mofleh etal. 2007). Regio ini merupakan penampungan isi lambung sebelum masuk ke duodenum. Kontak isi lambung dengan mukosa relatif lebih lama, sehingga akan terjadi perubahan secara histologik. Komposisi sel-sel pada regio ini tidak sebaik regio Fundus/Korpus, akibatnya pada daerah ini lebih sering didapatkan lesi mukosa akut akibat Aspirin.

2.6. Peran sel radang, sel parietal dan sel chief sebagai faktor agresif pada gastropati Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ Aspirin

Obat Anti Inflamasi Non Steroid gastropati disebabkan oleh gangguan keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensiv. Peran faktor agresif seperti sel radang, asam lambung yang diproduksi oleh sel parietal dan pepsin sebagai hasil perubahan pepsinogen yang di produksi oleh sel chief akan dapat meningkatkan kerusakan mukosa lambung. Dasar dari kelainan yang terjadi secara seluler maupun molekuler. Hambatan terhadap aktifitas enzim siklooksigenase, dan berlanjut dengan hambatan prostaglandin akan mempengaruhi aktifitas ketiga sel tersebut terhadap terjadinya lesi mukosa( Kaneko dan Matsui etal. 2007, Serhan dan Brain etal. 2007, Schubert dan Mitchell 2011).

(35)

Reaksi inflamasi akan disertai pelepasan mediator baik oleh sel epitel maupun oleh sel yang berada pada lamina propria misalnya sel mast , limfosit, neuron fibroblasts. IL 1β merupakan mediator yang kuat dalam menghambat produksi asam lambung dan meningkatkan iNOS dan Pg, dalam mengurangi terjadinya lesi mukosa (Souza dan Mota 2008).

Mukosa gaster mempunyai dua regio fungsional : regio oxyntic dan regio pyloric. Regio oxyntic dimulai dari sfingter esofagus bawah dan berakhir pada area antropilorik. Terdapat beberapa tipe sel pada regio ini, yaitu sel parietal dan sel chief yang memproduksi pepsinogen (Salena dan Hunt 2005).

(36)

pepsin dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan faktor agresor terhadap mukosa lambung. Infiltrasi sel radang pada mukosa lambung disertai penurunan pH cairan lambung akibat meningkatnya jumlah sel parietal, dan aktifasi pepsinogen menjadi pepsin yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel chief. Peningkatan faktor agresor merupakan kontributor dalam terjadinya lesi mukosa lambung(Bowen 2002, Schubert dan Mitchell 2011)

2.7. Peran isoenzim Cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) pada Gastropati Obat Anti Inflamasi Non SteroidAspirin

Isoenzim siklooksigenase satu dan dua (COX-1 dan COX-2) merupakan mediator efek samping sistemik dari OAINS/Aspirin. Hambatan terhadap kedua isoenzim ini akan berakibat menurunnya produksi prostaglandin(Pg). Prostaglandin sebagai salah satu komponen utama dalam faktor defensif mempunyai peranan penting dalam terjadinya lesi mukosa lambung akibat OAINS/Aspirin ( Gudis dan Sakamoto 2005, Hall dan Tripp etal. 2006, Rouzer dan Lawrence 2009). Peran fisiologi Pg terdiri dari proteksi traktus gastrointestinalis, homeostasis renal (PgE2 dan PgI2), homeostasis vaskuler (PgI2 dan tromboksan TXA2), fungsi uterus (PgF2α), pengaturan siklus tidur (PgD2) dan suhu tubuh (PgE2). Lokasi COX-1 terdapat pada semua jaringan terutama pada saluran cerna, sedangkan COX-2 didapatkan pada ginjal, testis dan sel epitel trakhea, hanya sebagian kecil pada usus halus(Serono 2006). Isoenzim COX-1 dan COX-2 mempunyai sifat yang berbeda, disebabkan dikode oleh gen yang berbeda. COX-1 terdapat pada jaringan yang normal, sedangkan COX-2 pada kondisi normal tidak dapat dideteksi dan meningkat dengan nyata pada proses inflamasi (Brzozowski dan Konturek etal. 2001, Carol dan Rouzer etal. 2009). Pemeliharaan terhadap integritas mukosa gaster adalah akibat keseimbangan kerja enzim COX-1 dan COX-2 (Peskar 2005).

(37)

tingkat keamanan atau faktor risiko bagi obat2 baru sebelum dipakai didalam pengobatan (Iseki 1995, Haworth dan Oakley etal. 2005).

Pemeriksaan imunohistokimia COX-1 terkuat pada sel mukus Fundus/Korpus lambung, sedangkan reaksi lemah didapatkan pada sel mukus Kardia, Antrum/Pilorus dan kelenjat Brunner pada duodenum. COX-2 terdapat pada sel mukus pada daerah FundusKorpus dan Antrum/Pilorus (Rouzer dan Lawrence 2009). Hasil ini menggambarkan bahwa konsentrasi keseimbangan kedua jenis COX, akan berhubungan dengan produksi prostaglandin sebagai faktor utama dalam ketahanan mukosa lambung. Ekspresi kedua COX didapatkan berbeda pada sel mukus tergantung pada lokasi di dalam lambung. COX-1 sebagai faktor konstitutif berfungsi dalam produksi mukus. Jumlah yang berbeda pada regio lambung, akan menggambarkan perbedaan dalam ketahanan mukosa. Ketahanan mukosa regio Fundus/Korpus lebih baik dibandingkan regio Antrum/Pilorus. Hal ini dihubungkan dengan anatomi dan histologi dalam bentuk produksi mukus dan bikarbonat, ekspresi COX-1 pada regio tersebut.

(38)

dimetil PGE2(Kotani 2006). Pengaruh Aspirin terhadap COX-2 dengan proses asetilasi COX-2 dan menghasilkan asam 15(R)-hydroxy-eicosatetranoic yang di metabolisme lebih lanjut menjadi 15(R)-epi-LXA4 merupakan anti inflamasi yang kuat. Dua reaksi ini akan mengganggu ketahanan mukosa dan akan meningkatkan terjadinya lesi mukosa (Kotani dan Kobata etal. 2006, Lichtenberger dan Romero

etal. 2007).

Hambatan selektif terhadap COX-1 tidak akan meyebabkan kerusakan mukosa gaster pada hewan coba, meskipun hambatan pembentukan Prostaglandin mendekati maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa peran COX-1 untuk ketahanan mukosa bukan satu-satunya komponen, akan tetapi ada komponen lain yaitu nitrikoksida. Nitrikoksida yang dilepaskan dari endotel vaskuler, sel epitel traktus gastrointestinalis dan saraf sensorik, dapat mempengaruhi komponen pertahanan mukosa seperti prostaglandin (Gretzer dan Maricic etal. 2001, Tanaka dan Araki

etal. 2002, Brozozowski dan Konturek etal. 2008)

Hambatan selektif terhadap COX-2 akan menurunkan lipoxin sebagai mediator lipid, berfungsi mencegah terjadinya lesi mukosa lambung. Mekanisme lipoxin ini akan memodulasi proses inflamasi mukosa lambung (Brozozowski dan Konturek etal. 2008). Pada ulkus eksperimental terlihat ekspresi COX-2 bertambah, hambatan terhadap COX-2 berakibat lambatnya penyembuhan ulkus, karena berkurangnya proliferasi sel epitel, angiogenesis dan pematangan jaringan granulasi.

Pemeriksan konsentrasi COX pada sel akan dapat diketahui berdasarkan intensitas warna yang terbentuk pada pemeriksaan imunohistokmia yang mana sel yang banyak mengandung COX-1 maupun COX-2 akan lebih nyata dengan gambaran intensitas warna lebih jelas. COX-1 terdapat pada lambung normal dan daerah ulkus, sedangkan COX-2 tidak terdapat pada lambung normal dan tampak jelas pada daerah ulkus (Bhandari dan Bateman etal. 2005).

(39)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2008 di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2. Materi penelitian a. Hewan Coba

Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model, sesuai dengan Good Animal Study (Festing 2006). Hewan model yang digunakan adalah tikus putih Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley sebanyak 20 ekor, jenis kelamin jantan berumur 2 bulan dengan bobot ± 250 gram. Hewan model diambil dari bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH) Fakultas Peternakan IPB. Hewan model dibedakan menjadi dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok 10 ekor tikus.

b. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)

Pada penelitian ini digunakan golongan obat OAINS yaitu asam asetil salisilat (AAS) dengan dosis 400 mg per ekor tikus (Wallace dan Webb etal. 1995). Sediaan AAS digunakan dalam bentuk murni berupa kristal putih.

3.3. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Tikus putih galur Sprague-Dawley jantan berumur 2 bulan sebanyak 20 ekor.

2. Kandang tikus sebanyak 40 buah dan 40 buah botol air minum. Kandang tikus modifikasi terbuat dari boks plastik ditutupi kawat ram, bedding kawat ram dan dialasi dengan menggunakan kertas buram.

3. Air minum AQUA®.

4. Kertas buram, kantung plastik putih, dan kantung plastik hitam

(40)

6. Spuit berukuran 1 ml dan 3 ml.

7. Antibiotik Tetracyclin 250 mg, anthelmintik Albendazole 5% dan asam asetil salisilat murni (AAS) serta 1 buah botol obat. Anti jamur Fluconazol 50 mg/kg berat badan.

8. Timbangan digital Precisa 3000 D.

9. Alat nekropsi (gunting, scalpel, pinset anatomis, pinset fisiologis, jarum fiksator, alas nekropsi, stiroform, wadah penyimpan organ), kaca pembesar berlampu untuk pengamatan Patologi Anatomi serta larutan pengawet Buffer Neutral Formaldehyde (BNF) 10 %.

10. Bahan untuk processing jarinngan: alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Alkohol absolut (p.a), xylol (p.a). p.a= pro analysis.

11. Bahan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE).

12. Bahan untuk pewarnaan khusus mukosa (Periodic Acid Schift-Alcian Blue). 13. Kamera digital untuk dokumentasi hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA)

dan histopatologi.

14. Mikoroskop cahaya binokuler. 15. Mikroskop Video Mikrometer 16. Counter

3.4. Metode kerja

Persiapan pakan dan adaptasi tikus dalam kandang

Sebelum tikus digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu dipersiapkan pakan tikus berbentuk pelet dengan komposisi bahan : jagung (73,943 %), bungkil (14,505%), dedak (6,8 %), kapur (1,5 %), tepung tulang (1,263%), minyak (1%), metionin (0,362%), lisin (0,31%), garam (0,213%) dan vitamin+mineral mix (0,016%). (formulasi dan pembuatan pakan dilakukan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor).. Pakan kemudian diiradiasi dengan kekuatan 10 KGray di BATAN, Jakarta Selatan untuk tujuan sterilisasi. Setiap hari tikus diberi 25 gram pakan per ekor.

(41)

Pemberian Albendazole diulangi dengan jarak pemberian 1 minggu. Dilanjutkan dengan pemberian anti Cryptococcus, Fluconazole 50 mg satu kali pemberian selama 3 hari. Terapi obat bertujuan untuk menghilangkan bias yang dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi mukosa lambung dan saluran pencernaan lain. Berat badan tikus ditimbang seminggu sekali. Sisa pakan ditimbang setiap hari. Minum Aqua dilakukan setiap hari ad libitum.

Perlakuan pemberian aspirin (Asam Asetil Salisilat)

Pemberian Aspirin(AAS) dilakukan pada kelompok tikus yang mendapat perlakuan terdiri dari 10 ekor tikus jantan secara per oral menggunakan sonde lambung dengan dosis tunggal 400 mg dalam 2 ml larutan aquadest selama 3 hari berturut-turut pada sore hari untuk menghindari fase adapatasi lambung terhadap Aspirin. Sebelum pemberian, tikus dipuasakan sebelumnya selama 2-3 jam. Tikus kelompok perlakuan setelah mendapat terapi Aspirin selanjutnya dibagi dalam kelompok Perlakuan Lesi Negatif dan Perlakuan Lesi Positif. Tikus kelompok Kontrol diberi aquadest melalui sonde lambung.

Tahap nekropsi tikus 1. Pembiusan tikus

Anestesi memakai kapas yang telah dibasahi dengan eter dan dimasukkan ke dalam wadah kaca unaerobic jar. Tikus selanjutnya dinekropsi.

2. Teknik nekropsi

Tikus diletakkan di atas stiroform yang telah dilapisi aluminium foil pada posisi dorsal (terlentang) kemudian difiksasi dengan menggunakan jarum pentul pada keempat ekstremitasnya. Untuk mempermudah nekropsi, permukaan abdomen tikus dibasahi dengan alkohol 70%. Tahap nekropsi dilakukan pada linea alba dengan membuka lapisan kulit dan fascia. Rongga abdomen dibuka sampai batas bawah diafragma. Organ yang diambil adalah lambung. Organ tersebut dimasukkan ke dalam larutan BNF 10% dan disimpan sampai proses berikutnya.

3. Trimming organ dan prosesing jaringan

(42)

fundus, dan pylorus. Potongan dilakukan sesuai dengan bagian seperti tertera dalam gambar dibawah ini

Potongan 3(Regio Antrum/Pilorus)

Potongan2(Regio Fundus/Korpus)

Gambar 5. Lambung monogastrik. (Fox, 2002)

Potongan tipis organ kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette dan diproses secara otomatis dalam tissue processor (SakuraTM, Japan) untuk proses dehidrasi. Dalam proses dehidrasi digunakan alkohol bertingkat mulai dari alkohol 70 %, 80%, 90%, 95%, hingga 100% (absolute), diikuti clearing dengan larutan Xylene sebanyak 3 kali dan kemudian embedding menggunakan paraffin (ShendonTM, UK). Dilanjutkan dengan pembuatan blok jaringan dalam paraffin cair yang mempunyai titik leleh 56-57˚ C dalam mesin embedding tissue

(SakuraTM, Japan). Setelah dingin blok disimpan hingga trimming. 4. Trimming

 Blok yang telah mengeras kemudian disimpan dalam refrigerator hingga

akan dipotong menggunakan mikrotom setebal 3-4 μm (Spencer, USA).  Hasil potongan mikrotom dibentangkan di atas permukaan air dengan suhu

40˚ C, kemudian diletakkan di atas object glass yang telah dilapisi Ewitt sebagai pelekat dan dikeringkan.

 Sebelum diwarnai, potongan organ di atas object glass diinkubasikan dalam inkubator Memert, Jerman dengan suhu 55˚ C selama semalam.

 Kemudian diwarnai dengan Hematoxylin Eosin menurut metode Meyer

(43)

Pemeriksaan makroskopik (PA)

Pemeriksaan makroskopik (PA) dilakukan untuk mengetahui adanya dilatasi lambung dengan mengukur diameter transversal dan sagital lambung tikus SD. Pemeriksaan Histopatologi (HP)

Pemeriksaan histopatologi organ lambung dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif pada regio lambung kelenjar. Lambung kelenjar dibedakan menjadi dua regio, Fundus/Korpus dan Antrum/Pilorus.

Pemeriksaan kuantitatif organ lambung dilakukan dengan beberapa parameter antara lain:

1. Pengukuran diameter lambung transversal dan sagital dalam sentimeter

2. Perhitungan jumlah sel mukus per satuan panjang 1000 µm menggunakan mikroskop videomikrometer pada 10 lapang pandang. Untuk mernghitung jumlah sel goblet digunakan pewarnaan PAS-AB.

3. Perhitungan jumlah sel perietal dan sel Chief dengan pewarnaan HE pada 10 lapang pandang.

4. Perhitungan jumlah infiltrasi sel radang pada tiap lapisan lambung pada 10 lapang pandang.

Pemeriksaan Imunohistokimia

Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk menentukan enzym cyclooxygenase 1 (COX-1) dan cyclooxygenase 2 (COX-2) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan lesi positif, dengan antigen pada sel mukosa dan antibodi monoklonal Rabbit Monoclonal Antibody COX-1 dan COX-2 dengan pengenceran 1/80 produksi Cell Signaling Technology, USA. Tempat pemeriksaan di Bagian Patologi FK. Universitas Pajajaran / RS Hasan Sadikin, Bandung. Penilaian hasil pemeriksaan secara kualitatif berdasarkan intensitas warna yang dilihat secara mikroskopik dengan menggunakan kriteria negatif dan positif.

3.5. Analisis dan Interpretasi Data

(44)

(one-way ANOVA) dengan program SPSS 13 untuk membandingkan kelompok kontrol (K), perlakuan lesi negatif (PLN) dan perlakuan lesi positif (PLP). Jika dari ketiga kelompok tersebut didapatkan pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan (p=0.05).

(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan secara patologi anatomi dan histopatologi pada lambung tikus

putih Sprague Dawley akibat efek samping Aspirin akan dapat menentukan gejala klinik maupun perubahan histopatologik mukosa lambung sebagai model pada manusia . Perubahan patologi berdasarkan gambaran makroskopik lambung dari ketiga kelompok yaitu kelompok Kontrol (K). Perlakuan Lesi Negatif (PLN) dan Perlakuan Lesi Positif (PLP). Perubahan secara histopatologi didapat dari gambaran seluler terhadap sel mukus, sel radang, sel parietal dan sel chief dari ketiga kelompok tersebut. Pemeriksaan imuno histokimia terhadap kelompok Perlakuan Lesi Positif merupakan penilaian yang lebih jelas terhadap peran utama prostaglandin melalui jalur Cyclooxygenase dalam terjadinya lesi mukosa akibat Aspirin. Peran faktor lain yang juga berfungsi sebagai faktor defensif antara lain nitrik oksida dan lipoxin tidak tergantung dengan kadar prostaglandin mukosa lambung (Brzozowski dan Konturek etal. 2008).

4.1. Patologi Lambung Tikus pada Gastropati Aspirin

Dari pengamatan makroskopik dan pengukuran diameter sagital dan transversal terhadap kelompok kontrol (K) dan Perlakuan Lesi Negatif (PLN) maupun Perlakuan Lesi Positif (PLP) pada Korpus/Fundus didapatkan perbedaan tidak bermakna dari ketiga kelompok tersebut.

Tabel 2. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Fundus/Korpus

Diameter Kelompok Fundus/Korpus

Kontrol PLN PLP Nilai p

Sagital 9.33+0.51 9.86+1.76 9.75+092 >0.05 Transversal 4.29+0.28 4.77+0.92 4.40+0.14 >0.05

(46)

kembung, cepat kenyang, mual dan muntah. Penyebab terjadinya gejala ini dihubungkan dengan terjadinya inflamasi dengan atau tanpa lesi pada mukosa lambung. Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas. Gejala klinik yang terjadi tidak selalu berkorelasi langsung dengan penemuan endoskopi. Pada 30-50 persen kasus didapatkan gambaran endoskopi dengan inflamasi ringan, sedangkan keluhan subjektif dirasakan cukup mengganggu aktifitas pasien. Pembuktian secara jelas pada manusia mempunyai keterbatasan. Oleh sebab itu penelitian dengan hewan coba tikus putih akan dapat memberikan data objektif yang jelas. Pada penelitian ini didapatkan perubahan kontur lambung pada kelompok perlakuan baik yang tanpa lesi mukosa maupun dengan lesi mukosa dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini terjadi disebabkan efek topikal Aspirin pada mukosa lambung, selanjutnya diikuti oleh infiltrasi sel-sel radang terutama netrofil pada mukosa lambung. Jumlah sel-sel radang yang cukup banyak pada lapisan muskularis mukosa dan disertai edema jaringan akan mempengaruhi motilitas lambung dalam bentuk dismotilitas. Akibatnya akan terjadi gangguan bersihan isi lambung dan akan terjadi pengumpulan isi lambung termasuk obat OAINS/Aspirin. Keadaan ini berakibat terjadinya kontak yang lebih lama dari Aspirin dengan mukosa lambung.

Dari penelitian ini terbukti bahwa terdapat penambahan diameter sagital maupun transversal pada kelompok PLP. pada regio Fundus/Korpus. Meskipun terjadi dilatasi lambung antara kelompok PLN dan PLP secara statistik didapatkan perbedaan tidak berbeda bermakna dengan kelompok K. Hasil ini sesuai dengan bentuk anatomik dan fungsi dari regio ini sebagai jalan untuk mencapai regio Antrum/Pilorus dan terdapat banyaknya komponen yang meningkatkan ketahanan mukosa. Komponen tersebut terdiri dari sel mukus, COX-1 dan Epidermal Growth Factor (EGF) yang dapat merangsang produksi mukus superfisialis. Perbedaan tidak bermakna dari kelompok PLN, PLP dan K membuktikan bahwa efek samping Aspirin pada regio ini jarang terjadi, sesuai dengan struktur anatomi dan histologinya.

(47)

sedangkan kelompok PLN dan K baik diameter sagital maupun transversal tidak berbeda bermakna.

Tabel 3. Perbedaan diameter kelompok K,PLN,PLP regio Antrum/Pilorus Diameter Kelompok Antrum/Pilorus

Kontrol PLN PLP

Sagital 9.33+0.51a 8.75+1.29a 10.70+1.22b Transversal 4.29+0.28a 4.28+0.29a 5.20+1.02b

Huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan p<0.05

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa lesi mukosa lambung akibat Aspirin sering ditemukan pada daerah Antrum/pilorus, yang berhubungan dengan bersihan pada daerah tersebut, lamanya kontak, dan kurangnya ketahanan mukosa. Tidak berbeda bermakna antara kelompok K dan PLN menunjukkan bahwa proses inflamasi yang disertai dengan infiltrasi sel radang tidak terjadi, disebabkan tidak terdapatnya lesi mukosa. Pada kelompok PLP didapatkan perbedaan yang bermakna diameter sagital dan transversal dengan kelompok PLN dan K. Hal ini disebabkan bahwa pada regio ini merupakan predileksi terjadinya lesi mukosa, sehingga reaksi seluler dalam bentuk inflamasi mukosa dan hambatan terhadap isoenzim COX, akan berakibat terjadinya gangguan pengosongan lambung. Penumpukan isi lambung akan berakibat dilatasi akan bertambah dan lesi mukosa yang terjadi akan lebih berat akibat kontak obat Aspirin dengan mukosa relatif lebih lama.

A

B

Gambar 6 : Makroskopik Lambung normal (A) dan Lambung dilatasi (B) F/K

A/P

(48)

4.2. Histopatologi sel mukus lambung tikus pada Gastropati Aspirin

Hasil analisa statistik terhadap jumlah sel mukus pada Fundus/Korpus didapatkan :

Tabel 4. Perbedaan jumlah sel mukus kelompok K,PLN dan PLP regio Fundus/Korpus.

Kelompok Jumlah sel mukus

Kontrol 10.43 + 4.28a

Perlakuan lesi Negatif (PLN) 16.50 + 0.71ab Perlakuan lesi Positif (PLP) 18.25 + 5.06b Huruf yang berbeda menunjukkan p<0.05

Dari tabel 4 didapatkan jumlah sel mukus antara kelompok PLN tidak berbeda bermakna dengan kelompok K dan kelompok PLP. Perbedaan bermakna didapatkan pada kelompok K dan PLP.

Perbedaan tidak bermakna antara kelompok PLN dan PLP menunjukkan bahwa proliferasi sel mukus dalam meningkatkan produksi mukus merupakan pencegahan primer. Meskipun tidak didapatkan efek topikal Aspirin pada mukosa kelompok PLN, masih didapatkan pada kelompok PLN peningkatan jumlah sel mukus yang tidak berbeda bermakna dengan kelompok PLP. Hal ini dapat dijelaskan bahwa efek sistemik Aspirin dalam menghambat COX-1 tidak bersifat total, sehingga proliferasi sel mukus masih dapat berlangsung. Sebaliknya proliferasi sel mukus pada kelompok PLP seharusnya melebihi kelompok PLN, akan tetapi tidak terjadi disebabkan oleh sebagian sel mukus mengalami kerusakan akibat terjadinya lesi, disertai hambatan COX-1 lebih kuat sehingga proses proliferasi yang terjadi tidak berjalan secara maksimal. Proliferasi sel mukus pada kelompok PLN berfungsi sebagai pencegahan primer sedangkan pada kelompok PLP sebagai pencegahan sekunder. Lesi mukosa akibat Aspirin lebih jarang terjadi pada regio Fundus/Korpus sebab fungsi sel mukus yang baik dan kontak obat dengan mukosa regio F/K relatif singkat.

(49)

Tabel 5. Perbedaan jumlah sel mukus kelompok K,PLN dan PLP regio Antrum/Pilorus

Kelompok Jumlah sel mukus

Kontrol 11.67 + 1.97a

Perlakuan lesi Negatif (PLN) 11.00 + 2.74a Perlakuan lesi Positif (PLP) 16.50 + 4.43b Huruf yang berbeda menunjukkan p<0.05

Hasil analisa statistik tabel 5 didapatkan sel mukus pada Antrum/Pilorus, kelompok PLN dan kelompok K didapatkan perbedaan yang tidak bermakna, sedangkan dengan kelompok PLP didapatkan perbedaan yang bermakna.

Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa jumlah sel mukus pada kelompok K maupun PLN tidak berbeda karena reaksi sel mukus kelompok PLN regio Antrum/Pilorus tidak terjadi oleh efek topikal Aspirin, sehingga pengaruh Aspirin terhadap peningkatan jumlah sel mukus tidak berbeda bermakna.

Perbedaan bermakna kelompok PLN dan PLP disebabkan peningkatan jumlah sel mukus kelompok PLP merupakan mekanisme pencegahan sekunder dalam mencegah perluasan lesi mukosa.

(50)

A B

Gambar 7. Histopatologi sel mukus mukosa lambung tikus SD normal (A) dan hipersekresi (B). Perwarnaan PAS, perbesaran 400 kali. Bar 20 µm

4.3. Histopatologi sel radang, sel parietal dan sel chief lambung tikus pada Gastropati Aspirin

Peran sel-sel mukosa lambung yang termasuk faktor agresif yaitu sel radang, sel parietal dan sel chief merupakan komponen yang akan memperberat lesi mukosa akibat efek samping Aspirin.

(51)

Pada penelitian ini jumlah sel radang pada ketiga kelompok yaitu kelompok kontrol (K), Perlakuan Lesi Negatif (PLN) dan Perlakuan Lesi Positif (PLP) regio Fundus/Korpus kelompok PLN berbeda bermakna dengan kelompok K dan berbeda tidak bermakna dengan kelompok PLP.

Perbedaan yang bermakna antara kelompok K dan PLN disebabkan oleh induktor yang berbeda yaitu aquades dan Aspirin. Efek sistemik Aspirin akan menghambat kerja isoenzim COX-2, dengan akibat terjadi aktifasi lekosit. Aktifasi lekosit akan berakibat lesi mukosa bila hambatan terhadap COX-2 tidak seimbang dengan hambatan COX-1. Keseimbangan dalam hambatan kedua isoenzim, aktifasi lekosit merupakan unsur ketahanan mukosa.

Sel radang pada kelompok PLN dan PLP didapatkan perbedaan yang tidak bermakna, hal ini menunjukkan bahwa reaksi sel radang pada kelompok PLP lebih merupakan bagian faktor defensif dalam mencegah perluasan lesi mukosa..

Gambar 8. Jumlah sel radang kelompok K,PLN dan PLP regio Fundus/Korpus Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna

(52)

akibat pelepasan mediator inflamasi, pada peradangan akut. Aspirin merupakan salah satu faktor penyebab dalam patogenesis terjadinya lesi mukosa lambung akut.. Sel netrofil yang merupakan bagian dari unsur pertahanan mukosa akan ditarik kedaerah yang mengalami inflamasi dan akan membentuk oksigen dan nitrogen reaktif beserta enzim protease. Infiltrasi netrofil yang teraktifasi bisa bersifat faktor agresif dalam bentuk interaksi antara lekosit dengan sel endotel vaskuler. Kondisi ini akan berakibat lesi mukosa melalui gangguan aliran darah atau terbentuknya superoksida, sebagai suatu stres oksidatif. Disisi lain infiltrasi netrofil bisa sebagai faktor defensif melalui pembentukan nitrikoksida (Yoshikawa dan Naito 2000). Hal ini dibuktikan dengan peningkatan inducible nitric oxide synthase (iNOS) dan apoptosis disertai proliferasi sel epitel gaster, merupakan mekanisme peningkatan ketahanan mukosa. Kondisi inflamasi merupakan elemen penting dalam proses penyembuhan ulkus pada saluran cerna. Mediator inflamasi spesifik seperti NO, sitokin, proteinase activated receptors (PAR) dan poliamin merupakan kontributor dalam proses penyembuhan ulkus. Prostaglandin (PG) akan meningkatkan komponen komponen yang berfungsi dalam ketahanan mukosa, seperti produksi mukus dan bikarbonat, peningkatan aliran darah mukosa, ketahanan sel epitel terhadap induksi sitotoksin dan mengurangi infiltrasi lekosit kedalam mukosa (Brzozowska dan Targosz etal. 2004, Martin dan Wallace 2006).

(53)

Pada regio Antrum/Pilorus (Gambar 9) jumlah sel radang pada kelompok PLN tidak berbeda bermakna dengan kelompok K dan PLP. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi sel radang tidak dipengaruhi oleh adanya lesi mukosa. Hal ini dapat dijelaskan bahwa reaksi sel radang pada regio ini merupakan faktor defensif untuk meningkatkan ketahanan mukosa. Peran sel radang pada regio ini tidak berpengaruh terhadap terjadinya lesi mukosa akut lambung. Jumlah sel radang lebih banyak pada kelompok PLP menunjukkan bahwa reaksi sel radang lebih merupakan mekanisme dalam mencegah perluasan lesi mukosa, berhubungan dengan peningkatan ketahanan mukosa lambung dengan memproduksi nitrikoksida (Martin dan Wallace 2006).

(54)

A B

Gambar 10. Histopatologi edema pada submukosa (A) dan mukosa lambung B) regio F/K kelompok P. M= mukosa; MM= muskularis mukosa; S= submukosa; TM= tunika muskularis.

Pewarnaan HE, perbesaran 400 x (A) dan 400 x, bar 20 µm (B).

A B

Gambar 11 Infiltrasi sel radang pada lambung (tanda panah) pada kelompok Kontrol (A) dan pada kelompok Perlakuan (B). M= mukosa; MM= muskularis mukosa; S= submukosa.

[image:54.595.105.498.84.799.2]
(55)

Sel parietal sebagai penghasil asam lambung merupakan faktor agresif pada lambung. Lesi mukosa akut akibat Aspirin dapat terjadi sepanjang traktus gastro intestinalis, oleh sebab itu peran asam lambung dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap terjadinya lesi mukosa (Kato dan Aihara etal. 2005). Peran asam lambung pada lesi mukosa akut akibat Aspirin hanya pada esofagus, lambung dan duodenum, sedangkan OAINS enteropati bukan akibat pengaruh asam lambung, melainkan akibat asam empedu dan bakteri (Park dan Chun etal. 2011). Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin, peran faktor agresif hanya sebagai kontributor dalam mempercepat terjadinya lesi. Lesi mukosa saluran cerna akibat Aspirin mempunyai patomekanisme yang berbeda tergantung dari lokasi terjadinya kelainan. Terjadinya lesi mukosa dimulai dengan penurunan faktor defensif mukosa yang berhubungan dengan produksi mukus. Mukus sebagai sawar terdepan akan dapat mencegah terjadinya lesi mukosa akibat efek topikal maupun sistemik (Atuma dan Strugala etal. 2001, Adebayo dan Bjarnason 2006). Produksi asam lambung berbanding lurus dengan jumlah sel parietal. Bila sebagian sel parietal mengalami kerusakan (piknosis), akan berakibat produksi asal lambung menurun (Bowen 2002)

Gambar

Gambar 4. Histologi lambung tikus regio Fundus/Korpus (A) dan regio
Gambar 10. Histopatologi edema pada submukosa (A) dan mukosa lambung B)
Gambar 15. Histopatologi sel parietal lambung Normal (panah kuning) dan sel
Gambar 18. Histologi sel parietal (panah hitam) dan sel chief (panah merah)
+7

Referensi

Dokumen terkait