Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Abdul Basit
NIM. 108034000018
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh:
Abdul Basit
NIM. 108034000018
Pembimbing:
Dr. M. Suryadinata, MA
NIP. 19600908 198903 1 005
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Agustus 2014
ii
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:
Hari, tanggal : Kamis, 21 Agustus 2014
Pukul : 14. 00-15.30 WIB
Pembimbing : Dr. M. Suryadinata, MA
Ketua Sidang : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Sekretaris : Jauhar Azizy, MA
Tim Penguji : 1. Dr. Abd. Moqsith, MA
PERSETUJUAN PARA PENGUJI
Skripsi berjudul “KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF IBN KATHĪR” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 21 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada
Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 01 Oktober 2014
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Jauhar Azizy, MA
NIP. 19711003 199903 2 001 NIP. 19820821 200801 1 012
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Abd. Moqsith, MA Jauhar Azizy, MA
NIP. 19710607200501 1 002 NIP. 19820821 200801 1 012
Pembimbing,
iv
ABSTRAK
Abdul Basit, “Kematin dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir Ibn Kathīr”. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
Kematian adalah keluarnya atau terpisahnya ruh dari jasad. Di dalam kehidupan makhluk yang bernafas pastilah akan bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya banyak yang seakan-akan tidak peduli dengan kematian.
Kematian bagi manusia sebagai makhluk yang berfikir dianggap sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena manusia berfikir bahwa kalau sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua kesenangan dan semua hal-hal yang mengenakan di dunia akan ditinggalkan, pemikiran yang seprti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang tidak percaya dengan keimanan ataupun ketaqwaan dan juga manusia yang hanya mementingkan kepentingan duniawi.
Di zaman ini banyak sekali manusia yang tidak memikirkan mati sesudah hidup, Karena godaan kehidupan dunia, seperti pergaulan/tata cara berpakaian/kedudukan/pangkat/jabatan dan uang, padahal semua orang akan mengalami kematian cepat ataupun lambat ini hanya masalah waktu saja. Supaya untuk meraih kematian yang khusnul khatimah kita harus selalu mengingat mati dengan cara melakukan amal kebaikan. Mengingat Kematian tidak berarti bahwa kita tidak boleh bekerja untuk memenuhi keperluan hidup di dunia, tetapi dalam mencari harta/pergaulan/tata cara berpakaian/mencari jabatan, tidak melakukan perbuatan yang haramkan oleh Allah.
Dalam menyusun Skripsi ini penulis memfokuskan/memakai dengan motode argumentasi dan juga menggunakan penelitian Kepustakaan (Library Research). Buku rujukan yang paling utama adalah
Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm Karya Ibn Kathīr dan juga sebagai buku yang
membantu yaitu Tesis, Majalah, Web dan dari artikel. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai kematian. Selain itu skripsi ini diharapkan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan manusia sehingga dengan keimanan dan ketakwaan tersebut manusia mampu menghadapi kematian dengan khusnul khatimah.
Allahumma Ṣalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā li Muḥammad
Dengan penuh kesadaran diri dan segala kerendahan hati, bahwa Allah-lah
pemilik kesempurnaan, dan saya hanya manusia biasa yang penuh akan
kekhilafan yang mencoba untuk memahami setiap perintah-Nya.
Segala puji dan syukur kepada Allah, Sang Pencipta, karena Dialah saya
ada di dunia ini, dan karena Dialah saya selalu bersemangat dalam hidup.
Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad saw, yang telah
mengajarkan suatu kebenaran yang telah beliau jalankan, dan terbukti akan
kehebatan Allah swt.
Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan
karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan
skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ungkapan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
vi
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.
Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
4. Dr. M. Suryadinata, MA., mencakup juga sebagai dosen pembimbing
skripsi atas bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
5. Bapak Dr. Abd. Moqsith, MA., dan Jauhar Azizy, MA., selaku dosen
penguji atas arahan perbaikan skripsi.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan didikasinya
mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan
kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Kepada Ayahanda saya (Alm) H. Abdul Karim bin H. Abdul Hamid
Hasyim, Ibunda saya Hj.Choiriyah binti KH. Abdurrahim Shofa, Ayah
angkat saya Bapak Endang bin H. Atmaja, Umi angkat saya Umi Nunung
binti H. Elang yang tak henti mendo’akan saya, mendidik saya, sampai
saya dapat berpijak pada diri saya sendiri.
8. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan. Yang telah melayani
penulis dalam mempergunakan buku-buku dan literatur yang penulis
butuhkan selama penyusunan skripsi ini.
9. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama,
Perpustakaan FUF UIN, Perpustakaan Umum Iman Jama, Perpustakaan
Umum PSQ, Perpustakaan Pascasarjana UIN dan Perpustakaan LIPI.
10.Kepada Abang dan Kakak saya yang telah memberikan motivasi dan
dalam penulisan skripsi ini.
12.Seluruh keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2008 yang selalu
memberikan warna-warni indahnya persahabatan.
13.Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
penyelesaian skripsi ini, namun tidak luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa terimakasih penulis.
Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi
para pembaca dan semoga Allah swt selalu memberkahi dan membalas semua
kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.
mīn yā Rabb al- lamīn.
Ciputat, 20 September 2014
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A.Konsonan
ا ═ ’ ═ r غ═ gh
ا═ b ز═ z ═ f
ت═ t ا═ s ق═ q
ث═ th ش═ sh ك═ k
═ j ص═ ṣ ل═ l
ح═ ḥ ═ ḍ م═ m
خ═ kh ═ ṭ ن═ n
د═ d ظ═ ẓ و═ w
ذ═ dh ع═ ‘ (ayn) ه/ ═ h
ي ═ y
B.Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
َ
═ a ا—َ
═ ā ىِ
═ īِ
═ i ى—َ
═ á ْوَ
═ awُ
═ u و— ُ ═ ū ْيَ
═ ayC. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang لا (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
(ةيزللا) al-jizyah, ( اثآا) al-āthār dan (ةم لا) al-dhimmah. Kata sandang
ix
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya
al-muwaṭṭaʽ.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN ... TIM PENGUJI SKRIPSI ... PERSETUJUAN PARA PENGUJI ... ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... PEDOMAN TRANSLITERASI ... DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN ...
A. Latar Belakang Masalah ...
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...
C. Tujuan Penulisan ...
D. Metode Penelitian ...
1. Metode Pengumpulan Data...
2. Metode Pembahasan ...
3. Teknik Penulisan ...
E. Tinjauan Pustaka ...
F. Sistematika Penulisan ...
BAB II TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN ...
A. Ketentuan yang Pasti QS. 4: 78, dan QS. 23: 15 ...
B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti QS. 7: 34, QS. 10: 49,
QS. 15: 5, QS. 16: 61, QS. 17: 58, dan QS. 35: 45 ...
i ii iii iv v viii x 1
1
6
7
7
7
8
8
9
11
13
13
KEMATIAN ...
A. Makna Kematian ...
1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan ...
2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian ...
B. Tanda-tanda Kematian ...
C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertobat ... BAB IV KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR ...
A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr ...
B. Ayat-ayat Kematian ...
1. QS. al-Nisa’ [4]: 78 ...
2. QS. Ali ‘Imran [3]: 185 ...
3. QS. Ali ‘Imran [3]: 156-158 ...
4. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8 ...
BAB V PENUTUP ...
A. Kesimpulan ...
B. Saran-saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
31
31
31
37
39
43
47
47
48
48
59
65
68
73
73
73
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai kematian bukanlah suatu hal yang mudah karena di
samping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat terbatas. Hidup dan
menghembuskan nafas itu adalah satu hakikat yang sulit dibantah dan hampir
tidak diperdebatkan oleh manusia.1
Sedangkan manusia terkadang tidak sadar setelah tidak menghembuskan
nafas, akan mengalami suatu proses yaitu kematian, yang mana proses itu
terkadang tidak diperhatikan oleh sekalian manusia dan terkadang bahkan
dilupakan.2
Sebagai seorang Muslim yang beriman, mereka harus percaya akan adanya
kematian yang selalu setia menunggunya. Banyak orang yang beranggapan bahwa
kematian hanyalah sebatas kelenyapan semata dan tidak ada hari kebangkitan
(pembalasan amal) setelahnya. Seperti halnya kaum Humanis di Barat, mereka
tidak percaya bahwa setelah kematian akan ada pembalasan atas amal kebaikan
dan kejahatan.3 Bagi mereka, kematian sama halnya dengan matinya hewan atau
keringnya dedaunan maupun tanaman. Mereka meyakini kematian pasti datang
menjemput, tetapi tidak mempercayai akan kehidupan selanjutnya yaitu akhirat.
Begitu besar perhatian al-Qur’an dalam menerangkan fenomena kematian.
Sebagaimana tercatat, bahwa al-Qur’an berbicara tentang kematian kurang lebih
1
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT (Tanggerang: Lentera Hati, 2005) h. 18
2
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, h. 19
3
sebanyak 300 ayat. disamping itu pula ada juga hadis Nabi saw. baik yang shahih
maupun dhaif.4 Salah satu hadis Nabi yang penulis paparkan tentang kematian
adalah:
ِ ْ َ ْا َ ْ ََ َ ِا َ ِ َ َ ُ َ ْ ََ َا َ ْ َ ُ ّ َ ْا
“Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. al-Tirmidhī)5
Dengan adanya skripsi yang sederhana ini, penulis akan mencoba
membahas beberapa ayat al-Qur’an yang memiliki hubungan erat tentang perihal
kematian. Di antara beberapa surat dan ayat yang akan penulis bahas tentang
tema-tema kematian adalah: QS. al-Nisā’ [4]: 78; QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan
156-158; QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8.
Kematian sebuah kata yang sederhana tetapi mengandung banyak makna
yang sangat dalam. Di dalam kehidupan makhluk yang bernyawa pastilah akan
bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya mereka banyak
yang seakan-akan tidak peduli (tidak mau berfikir untuk mempersiapkan diri)
bertemu dengan kematian. Bagi sebagian manusia menganggap seolah-olah
kematian merupakan sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena
manusia berfikir bahwa jika sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua
kesenangan dan semua hal-hal yang meng-enakkan di dunia akan ditinggalkan.
Pemikiran yang seperti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang
memiliki keimanan dan ketaqwaan yang sangat tipis dan juga manusia yang hanya
mementingkan kehidupan duniawi semata. Akan tetapi akan berbeda bagi
4
M. Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Mizan: Bandung, 2007), h.
5
3
manusia yang berfikir dengan kesadaran dan keimanannya, pastilah mereka akan
selalu memikirkan dan memaknai arti sebuah kematian dengan segala upaya
untuk bisa mengambil pelajaran dan mempersiapkannya secara lebih matang dan
mendalam.
Melalui proses kematian, manusia di-ingatkan akan keberadaannya di
alam dunia ini. Ternyata jika direnungkan, kehidupan ini hanyalah sebatas
persinggahan. Dikatakan persinggahan karena waktu kesempatan hidup yang
tersedia untuk mereka hanya sementara. Tiap-tiap manusia tidak akan pernah tahu
kapan-kah waktu kesempatan hidup ini akan berakhir. Tidak ada satu pun manusia
di alam dunia ini yang dapat hidup kekal abadi. Karena yang hidup kekal abadi
hanyalah Allah swt, dan semua yang bernama makhluk apapun itu pasti akan
rusak binasa (menghadapi kematian).6
Penulis menganalisa bahwa orang yang terjerumus ke dalam kesibukan di
dunia, yang terpedaya oleh kemewahan dunia, dan yang lebih menyukai
kenikmatan yang diperoleh dengan perantaraan dunia pasti hatinya tidak ingat
akan kematian. Yang dapat disimpulkan bahwa dikodratkan dalam penciptaan di
dunia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah swt.
Jika ada seseorang yang membahas kepada mereka mengenai kematian
kemudian dia benci dan berpaling dari kematian dan bertambah jauhlah dari Allah
swt jika dia diingatkan kematian, maka dia akan menjadi orang yang celaka.
Biasanya orang tersebut akan berbuat yang sewenang-wenangnya dengan kata lain
mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji.
6 Imām al
-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, (Beirut
Adapun di antara orang-orang yang baik ialah bagi orang yang selalu
mengingat kematian, sebab dengan mengingat mati orang tersebut di arahkan
untuk selalu mengerjakan perbuatan yang terpuji dan menjauhi perkara yang
tercela atau menyebabkan murka Allah swt.7
Sebagaimana penulis mengambil salah satu ayat kematian dari
pembahasan skripsi ini yaitu firman Allah swt dalam QS. al-Nisā’ [4]: 78.
Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh” (QS. al-Nisā’
[4]: 78)
Seluruh manusia yang memegang teguh ajaran agama Islam diperintahkan
untuk senantiasa ingat kepada kematian agar mempersiapkan bekal untuk hidup
setelah mati semaksimal mungkin. Karena kematian itu pasti akan mendatangi
makhluk yang bernyawa sekalipun mereka bersembunyi di tempat yang kokoh
tetap akan diterobos oleh mati.
kematian merupakan kejadian yang sangat berat dan paling menakutkan
serta mengerikan. Padahal kematian itu pasti akan dialami oleh setiap makhluk
yang bernyawa. Apabila kematian sudah dikatakan suatu peristiwa yang paling
menakutkan serta akan dialami oleh setiap manusia. Maka melupakan mati atau
tidak pernah ingat mati sekalipun, dikatakan orang yang sangat bodoh dan
merupakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali.
Seseorang yang tidak pernah mengingat mati sedang dia pasti akan
mengalaminya, berarti ia akan menempuh kejadian yang hebat secara membabi
7Imām al
5
buta. Ibarat orang yang berpergian jauh disuatu daerah yang tidak pernah
dipelajari sebelumnya dan tidak pernah dipikir sebelumnya dalam keadaan yang
gelap gulita pula. Maka sudah pasti dia tidak akan dapat melangkah atau berjalan
ke alam yang gelap gulita itu dan dia pasti akan mempunyai perasaan yang gentar,
takut, bingung, dan tidak tahu jalan apa yang harus dilakukan.
Allah menghendaki kebaikan pada seseorang kalau orang itu sendiri suka
berbuat baik, sehingga orang itu senantiasa terpelihara dalam kebaikan sampai
akhir hayatnya dan meninggal dengan cara khusnul khatimah. Sebaliknya Allah
menghendaki seseorang berbuat keburukan dan kejahatan kalau orang itu sendiri
suka berbuat buruk. Sehingga dia terus menerus berbuat buruk sampai akhir
hayatnya dan meninggal dengan cara su‛ul khatimah.
Makhluk-Nya tidak hanya manusia saja melainkan malaikat yang baik
yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakannya dan segala perbuatan
mereka juga akan merasakan kematian. Semua mahluk-Nya tidak akan kekal di
dunia ini kecuali Allah semata.
Dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, penulis
mencoba untuk mengkaji “Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kathīr”
Hal ini merupakan sebuah kekaguman penulis kepada seorang tokoh ahli tafsir
yaitu Ibn Kathīr8 sebagai al- afiẓ, al-Muḥaddīth, al-Faqih, al-Mu’arrikh,
8
Nama lengkap Ibn Kathīr adalah Ismāil bin ‘Amr al-Quraisy bin Kathīr al-Baṣrī al
-Dimashqī ‘Imad al-Dīn Abul Fidā al- afiẓ al-Muḥaddīth al-Shāfi’ī. Ia terkenal dengan panggilan
Ibn Kathīr‘Imad al-Dīn al-Fidā’. Ibn Kathīr lahir di Bashra tahun 700 H/1300 M dan meninggal pada hari kamis 26 Sya’ban tahun 774 H/1373 M di Damaskus, beberapa tahun setelah menulis. Ia
dikuburkan di pemakaman sufi di samping makam Gurunya Ibn Taimīyah berdasarkan wasiatnya. Lihat ‘Umar Riḍā Kabalah, Mu‟jam al-Mu‟allifīn (Beirut, Maktabah al-Mutsannā Dār Iḥyā al
-Turāth al-‘Arābī, 1376 H/ 1957 M). jilid I, h. 283-284 dan Ibn Kathīr, al-Bidāyah Wa al-Nihayah
(Beirut Libanon, Dār al-Kutūb al-‘Ilmīyah). Jilid I, h. 2.
Mufassīr dan juga dari terjemahan Kitab Tafsīr Ibn Kathīr dapat di pahami dari penafsiran ayat al-Qur’an yang jelas dan mudah dimengerti.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah maka penulis membatasi
ayat-ayat tentang kematian dalam skripsi ini dari sudut pandang kitab tafsir terjemahan
al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa surat dan ayat yang membahas tentang
tema-tema kematian antara lain QS. al-Baqarah [2]: 94, 95, 96, 110, 223, 243 dan
281; QS. li ‘Imrān [3]: 156-158 dan 185; QS. al-Nisā’ [4]: 78; QS. al-An’ām
[6]: 47; QS. al-A’rāf [7]: 185; QS. al- ijr [15]: 99; QS. al-Naḥl [16]: 70; QS.
al-Kahfī [18]: 7; QS. al-Anbiyā’ [21]: 34 dan 35; QS. al-Mu’minūn [23]: 15 dan 99;
QS. al-Qaṣaṣ [28]: 88; QS. al-Ankabūt [29]: 57; QS. al-Aḥzāb [33]: 16; QS.
al-Zumar [39]: 30; QS. Qāf [50]: 19; QS. al-Raḥmān [55]: 26; QS. al- ashr [59]: 18;
QS. al-Jumu‛ah [62]: 5-8; QS. al-Munāfiqūn [63]: 10; QS. Nūḥ [71]: 4 dan 18;
QS. al-Muddaththīr [74]: 47; QS. al-Qiyāmah [75]: 26, 27, 28, 29 dan 30; QS.
‘Abasa [80]: 21; QS. al-Takāthur [102]: 2.
Dari beberapa ayat di atas yang membahas tentang tema-tema kematian
penulis hanya membatasi dari beberapa ayat yang mengangkat tema-tema
kematian dalam al-Qur’an yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 78; QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan
156-158; QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8.
a. Al-Bidayah wa al-Nihayah, dalam bidang sejarah, merupakan rujukan terpenting bagi para sejarawan, sebanyak 14 jilid.
b. Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm yang lebih dikenal dengan nama Tafsīr Ibn Kathīr,
7
Dalam skripsi ini penulis dapat menetapkan dengan mengajukan
pertanyaan yaitu:
- Bagaimana penafsiran Ibn Kathīr terhadap ayat-ayat kematian?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui sejauh mana al-Qur’an membicarakan tentang kematian
yang di firmankan Allah swt dan ditafsirkan oleh Ibn Kathīr.
2. Mengetahui penafsiran yang diberikan oleh Ibn Kathīr terhadap
ayat-ayat yang berkaitan dengan kematian secara umum dan menjelaskan
tentang makna kematian, cara mati, tanda-tanda kematian serta cara
menghadapi kematian.
3. Dalam rangka memenuhi syarat-syarat kelulusan dan memperoleh
gelar Sarjana Theologi Islam dari Fakultas Ushuluddin khususnya
jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengadakan penelitian kepustakaan
(Library Research) dalam rangka penggalian data dengan membaca dan meneliti
Adapun sumber primer penulis merujuk pada kitab tafsir al-Qur‟ān
al-Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr,9 dan juga sumber sekunder penulis merujuk Lubāb
al-Tafsīr min Ibn Kathīr karya ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān
bin Isḥāq l al-Sheikh,10 Taisir al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣarī Tafsīr Ibn Kathīr karya Muḥammad Nasib al-Rifā’i,11 Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr karya Ibn Kathīr12 merujuk kepada buku-buku yang berkaitan dengan topik kematian dan sumber
informasi lainnya.
2. Metode Pembahasan
Bahan-bahan tersebut yang berkaitan dengan penulisan dalam skripsi ini
diseleksi dan diklasifikasi sesuai dengan pokok bahasannya. Karena itulah,
pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode Argumentatif.
Metode argumentatif digunakan untuk mendapatkan sebuah gagasan yang
dikemukakan oleh Ibn Kathīr dalam kitab terjemahan tafsir al-Qur‟ān al-Aẓīm sehingga nantinya pembahasan akan menjadi jelas dan terarah.
3. Teknik Penulisan
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku “Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2008 untuk Skripsi, Tesis dan Disertasi.
9
Al-Imām Abū al-Fida Ismā’il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000)
10 ‘Abdullā
h bin Muḥammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr,, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2001)
11
Muḥammad Nasib al-Rifā’i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj, Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999)
12
9
E. Tinjauan Pustaka
Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya-karya
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Di antara karya tersebut adalah:
Skripsi; Umar Ubaidillah dengan judul “Pengisahan Ẓabi Yusuf dalam al
-Qur‟an dan Injil (Analisis Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita
al-Kitab)”, ia menjelaskan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam kisah Yusuf baik dalam tafsir Ibn Kathīr dan cerita-cerita al-Kitab. Di antara
persamaannya adalah kedua kitab menjelaskan mimpi Nabi Yusuf. Namun
perbedaannya dalam cerita-cerita menjelaskan Nabi Ya’qūb tidak melarang
menceritakan mimpinya pada saudaranya sedangkan dalam tafsir Ibn Kathīr Nabi
Ya’qūb melarang.
Persamaan lainnya, kedua kitab ini mengisahkan pelemparan Yūsuf ke
dalam sumur. Namun, berbeda dalam penutupan sumur setelah Yūsuf
dilemparkan. Tafsir Ibn Kathīr mengisahkan bahwa sumur tidak ditutup dengan
batu, sedangkan dalam cerita-cerita al-Kitab sumur tersebut ditutup dengan batu.
Alur pengisahan Nabi Yūsuf dalam kitab Injil lebih panjang dari pada di dalam
kitab al-Qur’an. Karena dalam injil /cerita-cerita al-Kitab, kisah nabi Yūsuf ini
merupakan bagian dari sebuah sejarah. Sedangkan dalam al-Qur’an kisah Nabi
Yūsuf tidak menjadi bagian dari hubungan sejarah yang berkelanjutan.13
Skripsi; Haromain dengan judul “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr
(Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm)”,
dalam skripsi ini, ia menjelaskan bagaimana Ibn Kathīr ketika menjelaskan
13 Umar Ubaidillah, “Pengisahan Nabi Yusuf dalam al
ayat tentang kiamat. Ibn Kathīr menjelaskan proses terjadinya hari kiamat dengan
beragumentasi hadis, karena tafsir karyanya merupakan kitab tafsir dengan
sumber al-Qur’an dan Hadis dalam menafsirkan beberapa ayat.14
Skripsi; Irfan Abdurrahmat dengan judul “Penggambaran Malaikat dalam
al-Qur‟an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)”, ia menjelaskan tentang hakikat malaikat penafsiran Ibn Kathīr adalah hamba Allah
yang sangat dimulyakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta
memiliki tingkat kemuliaan yang luhur. Sedangkan menurut Hamka, malaikat
adalah hamba-hamba Allah yang bertambah tinggi perhambaannya, bertambah
pula kemuliaannya, dan selalu setia melaksanakan perintah. Kemulian ini dilihat
dari penugasan malaikan oleh Allah sebagai duta-duta istimewa dalam
memelihara dan mengatur wahyu.15
Skripsi; Mohamad Yasir dengan judul “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr: Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam Surat Yasin”, ia menemukan hadis pertama, kedua dan keempat tidak memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad,
hanya hadis yang ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad. Dari segi
matan ia menemukan hadis ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad dan
ia menyimpulkan bahwa hadis ini berkualitas shahih karena telah memenuhi
kriteria ke-shahih-an matan.16
14Haromain, “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr
(Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur’an al-Azim)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2009).
15 Irfan Abdurrahmat, “Penggambaran Malaikat dalam al
-Qur’an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīrdan Hamka)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2011).
16 Mohamad Yasir, “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr
; Studi Kritik Sanad dan
11
Tesis; Zarkasi dengan judul “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir
Tematik”, ia mengkaji al-maut dalam perspektif al-Qur’an. Menurutnya penciptaan al-maut dan ketetapan bagi makhluk adalah dalil yang jelas tentang
ketauhidan Allah dalam uluhiyyah dan rububiyyah-Nya. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa perbedaan antara khaliq dan makhluq adalah kematian. Oleh karenanya
makhluk tidak lazim menuhankan jiwa yang tertimpa kematian.17
Dari data yang penulis lacak, mungkin masih banyak lagi tulisan akademis
yang belum penulis ketahui, namun ternyat yang membahas tentang kematian
dalam penafsiran Ibn Kathīr secara khusus belum ada.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan dalam melakukan penelitian kepustakaan (library
research) ini, dalam
Dalam BAB I berisi pendahuluan yang dimulai dengan menjelaskan istilah-istilah kunci yang termuat dalam judul skripsi ini. Selanjutnya membahas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan,
metodelogi penelitian, tinjauan kepustakaan dan sistematika penulisan. Dengan
harapan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai latar belakang
penulisan hingga manfaat penelitian kepustakaan dalam al-Qur’an perspektif Ibn
Kathīr.
Dalam BAB II ini menjelaskan Tema-tema Kematian dalam Ayat al-Qur’an. Pembahasannya tentang ketentuan yang pasti, tiap-tiap umat mempunyai
ajal yang pasti, sesaat menjelang mati, dan cobaan-cobaan.
17
Dalam BAB III ini menjelaskan Pengertian dan Pendapat Ulama tentang Kematian. Pembahasannya mengacu pada makna kematian dilihat dari pengertian
secara kebahasaan, sebab perubahan keadaan pada saat kematian, tanda-tanda
kematian, dan cara menghadapi kematian dengan bertobat.
Dalam BAB IV merupakan bagian inti dari penelitian skripsi ini. Yaitu menjelaskan Kematian menurut Ibn Kathīr. Adapun yang akan dijelasan tentang
pandangan kematian menurut Ibn Kathīr dan penafsirannya.
Dalam BAB V adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan ditambah juga dengan saran-saran yang
13
BAB II
TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN
Pada bab ini, penulis mengambil beberapa surat dan ayat tentang
tema-tema kematian yang dijadikan pembahasan, kemudian menguraikannya dengan
penafsiran Ibn Kathīr dan mufassir lain. Surat dan ayat yang akan dibahas yaitu
QS. al-Nisā’ [4]: 78, QS. al-Mu’minūn [23]: 15, QS. al-A’rāf [7]: 34, QS. Yūnus
[10]: 49, QS. al- ijr [15]: 5, QS. al-Naḥl [16]: 61, QS. al-Isrā’ [17]: 58, QS. Fāṭir
[35]: 45, QS. Qāf [50]: 19, QS. al-Wāqi’ah [56]: 83, 84, 85, 86 dan 87, QS.
al-Mulk [67]: 2.
A. Ketentuan Yang Pasti 1. (QS. al-Nisā’ [4]: 78)1
Ibn Kathīr menafsirkan maksud dari QS. al-Nisā’ [4]: 78 yaitu kalian pasti
akan mati, dan tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut, adalah
sama maknanya dengan yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu QS. al-Raḥmān
[55]: 26, QS. li ‘Imrān [3]: 185, dan QS. al-Anbiyā [21]: 34, maknanya yaitu
setiap orang pasti akan mati.
1
(QS. al-Nisā’ [4]: 78)
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di
Tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia
ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur
manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta
kedudukan yang telah ditetapkan baginya.2 Sayyid Quṭb menjelaskan dalam
karyanya Tafsīr fī ilāl al-Qur‟ān, kematian menurutnya adalah suatu kepastian yang sudah ditentukan waktunya, dan tidak ada hubungannya dengan
perlindungan tempat yang dapat melindungi seseorang atau tidak dapat
melindungi. Kalau demikian, kematian juga tidak dapat ditunda dengan
ditundanya tugas perang, dan tidak dapat pula dimajukan dengan dimajukkanya
tugas jihad sebelum waktunya.3
Kematian dan peperangan adalah dua urusan yang berbeda, dan tidak ada
hubungan di antara keduanya. Hubungan yang ada hanyalah antara kematian dan
ajal (umur), antara waktu yang ditakdirkan Allah dan habisnya waktu itu. Selain
itu, tidak ada hubungan lain. Oleh karena itu, tidak ada artinya manusia
menginginkan diundurkannya kewajiban perang, dan tidak ada artinya takut
kepada manusia baik dalam peperangan maupun di luar peperangan.
Dengan sentuhan kedua ini, manhaj Qur’ani mengobati semua lintasan
yang melintas dalam pikiran mengenai urusan itu, dan mengobati semua
ketakutan dan kegentaran yang ditimbulkan oleh pandangan yang tidak mantap.4
Menurut pendapat lain yang dimaksud lafaz dari و ialah
bintang-bintang yang ada di langit. Pendapat ini disampaikan Ibn Kathīr, tetapi lemah.
2‘Abdullāh bin Muḥ
ammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr
min Ibn Kathīr, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2001), cet. 1, h. 356.
3
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, terj. As’ad Yasin, et. all., (Jakarta: Gema Insani, 2008), juz IV, h. 31.
4
15
Pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya
adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada guna sikap waspada dan
berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut.
Menurut pendapat ulama lain yang di sampaikan oleh Ibn Kathīr yaitu
kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian dan
lain-lainnya. Yang merupakan musim paceklik (kekurangan), kekeringan, dan
rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai
penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana.
Yang dimaksud dengan kata ةنل dalam QS. al-Nisā’ ayat 78 yaitu
kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak
dengan pesatnya. Begitu juga dengan kuda mereka dan keadaan mereka yang
menjadi membaik serta istri-istri mereka yang melahirkan anak-anaknya.5
Kata ة ي dalam QS. al-Nisā’ ayat 78 menjelaskan yaitu tentang kekeringan
dan bencana yang menimpa harta mereka. Maksud dari semuanya yaitu adalah
atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua
orang baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka,
dan orang mukmin maupun terhadap orang kafir tanpa pandang bulu.6
Bahwa semua musibah yang datang terhadapnya berawal yang diberikan
semuanya dari Allah swt yaitu merupakan kebaikan atau keburukan. Kemudian
dari pada itu banyak yang mengingkari, mereka yang mengatakan demikian yang
5‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al
-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357.
6‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al
-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr
timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka serta minimnya pemahaman dan
ilmu mereka yang diliputi kebodohan dan aniaya.7
Sesungguhnya ayat di atas sudah sangat jelas maknanya namun demikian
penulis menarik kesimpulan dari QS. al-Nisā’ 78 bahwa setiap makhluk yang
hidup di dunia ini mempunya batas umur yang ditentukan oleh Allah swt dan
tidak ada yang selamat dari genggaman maut. Baik makhluk itu bersembunyi
dalam benteng atau pun bersembunyi dari tempat yang sunyi yang terhindar dari
keramaian makhluk lainnya pasti maut itu akan menjemputnya.
2. (QS. Al-Mu’minūn [23]: 15)8
Pada penafsiran QS. al-Mu’minūn [23]: 12-15, Ibn Kathīr menjelaskan
ayat yang menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan yang berasal dari
saripati tanah yaitu Adam, namun keturunannya diciptakan dari air mani yang
tersimpan dalam tempat yang kokoh yang sudah bercampur dengan cairan seorang
wanita yaitu ovum.
7‘Abdullāh bin Muḥ
ammad bin ‘Abd al-Raḥmān bin Isḥāq l al-Sheikh,Lubāb al-Tafsīr
min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357.
8
(QS. al-Mu’minūn [23]: 12-15)
17
Setelah melewati suatu masa tertentu dijadikan air mani itu segumpal
darah, kemudian dari segumpal darah itu menjadi segumpal daging dan dari
segumpal daging itu terciptalah tulang belulang yang berbentuk kepala tangan dan
kaki, kemudian dibungkusnya tulang-tulang itu dengan daging, otot dan urat-urat,
maka terciptalah suatu makhluk yang berbentuk lain dan Allah meniupkan roh
terhadapnya. Kemudian Allah memberikan sarana berupa pendengaran,
penglihatan, penciuman, suara, pikiran dan gerak, sehingga lengkaplah ia menjadi
manusia yang utuh, sempurna sebagai makhluk Allah yang pilihan dan termulia.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, janin yang lahir
dari perut ibunya sebagai bayi tumbuh menjadi balita kemudian balita itu menjadi
remaja lalu menjadi manusia lanjut usia dan akan sampai akhir dari kehidupan
yaitu kematian. Itulah penjelasan sebuah perjalanan dari kehidupan yang berawal
dari saripati tanah yaitu proses penciptaan lalu kembali lagi kepada tanah yaitu
kematian.9 Menurut Sayyid Quṭb, kematian adalah akhir dari kehidupan dunia.
Dan, kehidupan di alam barzah merupakan jembatan antara dunia dan akhirat.
Dengan demikian, ia hanya merupakan fase dari kehidupan, bukan akhir dari
kehidupan itu. Kemudian kebangkitan merupakan fase akhir dari pertumbuhan itu.
Setelah itu dimulailah kehidupan sempurna yang bersih dari segala kekurangan
hidup duniawi, dan dari kebutuhan akan daging dan darah, dari rasa takut dan
gelisah, dan dari perubahan dan pertumbuhan. Karena, ia merupakan fase puncak
kesempurnaan yang telah ditentukan atas manusia.
9
Hal itu akan terjadi hanya bagi orang yang menempuh jalan yang
sempurna. Jalan yang telah digambarkan oleh paragraf pertama dari surat ini,
yaitu jalan orang-orang yang beriman. Sedangkan, orang-orang yang terjerumus
dalam fase kehidupan dunia ke tingkat binatang, maka dia dalam kehidupan
akhirat akan terjerumus sedalam-dalamnya. Maka, hancurlah kemanusiaannya dan
menjadi bahan bahan neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Dan,
manusia yang seperti ini sama persis dengan batu.10
Dalam al-Qur’an QS. al-Mu’minūn [23]: 15 penulis tidak mendapati
penjelasan yang panjang lebar. Penulis berkesimpulan bahwa antara QS.
al-Mu’minūn [23]: 15 dengan ayat sebelumnya memiliki pertalian yang saling
berkaitan.
Oleh karena itu, penulis mencoba menarik kesimpulan dari al-Qur’an QS.
al-Mu’minūn [23]: 15 yang menyatakan proses terjadinya manusia dari awal
diciptakan, proses pembentukan tulang, daging dan saraf sehingga menjadikan
satu makhluk yang sempurna dalam bentuk yang beraneka ragam perbedaan.
Kemudian manusia tersebut menjadikan dewasa dan akhirnya manusia juga akan
menghadapi suatu kematian. Itulah perjalanan kehidupan yang berawal dari
saripati tanah lalu kembali kepada tanah lagi.
10
19
B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti 1. (QS. Al-A’rāf [7]: 34)11
Ibn Kathīr menjelaskan QS. al-A’rāf [7]: 34 yakni bagi tiap-tiap kurun dan
generasi terdapat batasan waktu yang telah ditakdirkan bagi mereka. Kemudian
Allah swt memperingatkan kepada umat manusia bahwa Dia akan mengutus
Rasul-rasul-Nya kepada mereka yang akan membacakan atau mengabarkan
kepada mereka ayat-ayat-Nya, membawa berita gembira dan peringatan.12
Berbeda pandangan Sayyid Quṭb dalam penjelasan QS. al-A’rāf [7]: 34 adalah
sebuah hakikat yang mendasar dari hakikat-hakikat akidah ini, yang disampaikan
ke senar hati yang lalai – yang tidak mau ingat dan bersyukur – supaya sadar,
sehingga tidak teperdaya oleh lamanya kehidupan.
Apa yang dimaksud dengan ajal di sini boleh jadi ajal tiap-tiap generasi
manusia yang berupa kematian yang memutuskan kehidupan sebagaimana yang
terkenal itu, dan boleh jadi ajal setiap umat dalam arti masa tertenut kekuatan dan
kekuasaannya di muka bumi. Baik yang ini maupun yang itu, semuanya sudah
ditentukan waktunya. Mereka tidak dapat memajukannya dan memundurkannya.13
Kesimpulan dari QS. al-A’rāf [7]: 34 setiap manusia atau makhluk lainnya mempunyai keterbatasan waktu untuk hidupnya yang berbeda dan itu
pasti akan terjadi. Lalu Allah mengutus para Rasul-rasulnya untuk
11
(QS. Al-A’rāf [7]: 34)
“tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka
tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”
(QS. Al-A’rāf [7]: 34)
12
Al-Imām Abū al-Fida Ismā’il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 296-297.
13
memberitahukan dan mengabarkan ayat-ayat Allah yang diturunkan untuk
hamba-Nya dalam hal berupa kabar gembira maupun suatu peringatan.
2. (QS. Yūnus [10]: 49)14
Sebelum ayat 49 dalam QS. Yūnus penulis akan membahas ayat
sebelumnya terlebih dahulu, yakni dari ayat 48 yang menggambarkan tentang
sikap orang-orang kafir dan musyrik yang bertanya-tanya bila datangnya siksaan
Allah yang telah dijanjikan di dalam al-Qur’an. Kemudian berlanjut ke ayat 49
bahwa Allah swt menyuruh Rasul-Nya dan Rasul-Nya menjawab, “Aku tidak
berdaya mendatangkan mudharat bagi diri aku sendiri, dan aku tidak mengetahui
selain apa yang telah diberitahukan oleh Allah kepada para Nabi. Aku hanya
hamba-Nya dan Rasul-Nya dan aku telah memberitahukan kepada manusia bahwa
hari kiamat itu pasti akan tiba, namun Allah tidak mengungkapkan kepada para
Nabi saatnya dan harinya yang pasti. Akan tetapi Allah telah menentukan dan
menetapkan ajal bagi tiap umat yang tidak dapat dilampauinya atau
dimajukannya.15
Sayyid Quṭb menjelaskan ajal itu kadang-kadang berakhir dengan
kehancuran secara indrawi, seperti dibabat habisnya sebagian umat terdahulu. Ajal
14(QS. Yūnus [10]: 49)
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal. apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS. Yūnus [10]: 49)
15
21
kadang-kadang berakhir dengan kehancuran secara maknawi, mengalami
kerusakan dan hilang dari peredaran, seperti yang terjadi pada beberapa bangsa.
Mungkin untuk sementara waktu kemudian kembali lagi, dan mungkin dalam
kondisi seperti itu secara terus-menerus sehingga hilang pamornya dan hilang pula
wujudnya sebagai umat (bangsa), meskipun pribadi-pribadinya masih ada.
Semua itu terjadi sesuai dengan sunnah Allah yang tidak akan pernah
berganti, tidak akan berbenturan, tidak serampangan, tidak zalim, dan tidak pilih
kasih. Maka, bangsa-bangsa yang melakukan hal-hal yang menjadikan mereka
hidup (eksis), niscaya mereka akan eksis. Namun, bangsa yang menyimpang dari
sebab-sebab itu, niscaya mereka aka menjadi lemah, lenyap (pamornya), atau
mati, sesuai dengan penyimpangannya.16
Kesimpulan dari QS. Yūnus [10]: 49 Allah swt mengutus seorang Rasul untuk menyampaikan kabar gembira atau suatu peringatan dari ayat-ayat Allah
yang di turunkan untuk hamba-Nya. Lalu Rasul tidak kuasa mengabarkan dari
ayat-ayat Allah yang berupa kapan waktu yang pasti terjadinya kiamat dan kapan
makhluk yang ada di dunia ini akan mengalami kematian itu.
3. (QS. al-Hijr [15]: 5)17
Bahwa Allah tidak membinasakan suatu kota dengan penduduknya
melainkan sesudah cukup alasan yang menjadikan mereka patut mendapatkan
azab dan sesudah pula usai masa yang telah ditetapkan bagi kebinasaan mereka.
16
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz XI, h. 136.
17
(QS. al-Hijr [15]: 5)
Tidaklah suatu umat dapat mendahului masa binasanya atau menangguhkannya ke
suatu masa yang lain. Ayat ini merupakan peringatan yang keras kepada
orang-orang Quraisy agar mereka menghentikan syirik mereka yang akan menyebabkan
kebinasaan dan kehancuran mereka.18 Maka, janganlah (meminta) kemunduran
siksa untuk mereka pada suatu saat. Karena, hal itu adalah sunnatullah yang
berlaku pada jalannya yang ditentukan, dan mereka pasti akan mengetahuinya.
Demikianlah kitab ketentuan masa yang ditetapkan dan ajal yang
ditentukan, yang diberikan Allah bagi negeri-negeri dan bangsa-bangsa, agar
mereka berkarya. Atas dasar karya dan perbuatannya, mereka tetap ingat tempat
kembali mereka. Jika bangsa-bangsa dan negeri itu beriman dan berbuat baik,
melakukan perbaikan dan menegakkan keadilan, niscaya Allah akan
memanjangkan usia (kejayaan) bangsa dan negeri itu, sampai ia menyimpang dari
asas-asas tersebut dan tak ada lagi kebaikan yang diharapkan. Saat itulah sampai
ajalnya, hilang eksistensinya, kemungkinan binasa sebinasa-binasanya atau
melemah secara bertahap.19
Kesimpulan dari QS. al-Hijr [15]: 5 bahwa Allah swt tidak akan memberikan suatu azab di dunia ini melainkan orang-orang yang berbuat syirik
ataupun kezhaliman yang sudah melampaui batas yang dapat diampuni oleh
Allah.
18
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 510-511.
19
23
4. (QS. al-Naḥl [16]: 61)20
Dalam firman-Nya ini, Ibn Kathīr menjelaskan sifat-sifat kasih
sayang-Nya terhadap hamba-hamba-sayang-Nya walaupun mereka telah melakukan kezhaliman
dan penganiayaan.21 Allah swt masih memberikan kesempatan agar mereka
kembali ke jalan yang benar, dengan menangguhkan pembalasan-Nya dan azab
siksa-Nya.
Karena jika Allah hendak menjatuhkan hukuman-Nya yang setimpal
dengan perbuatan hamba-hamba-Nya yang durhaka itu, niscaya binasalah semua
yang ada di atas bumi ini dan tidak ditinggalkan sesuatu makhluk pun, akan tetapi
bila waktu yang ditentukan tiba, maka tiada suatu kekuatan pun yang dapat
mengundurkannya barang sesaat pun atau mendahulukannya.22 Pandangan Sayyid
Quṭb bahwa Allah telah menciptakan mahkluk bernama manusia dan
melimpahkan untuknya berbagai nikmat-Nya. Tetapi, manusia sendiri yang
berbuat kerusakan dan berbuat zalim di muka bumi, menyimpang dari ajaran
Allah dan menyekutuhkan-Nya, mereka saling menindas dan berbuat aniaya
kepada makhluk lainnya. Sekalipun demikian, Akkah tetap berlaku arif dan kasih
20
(QS. al-Naḥl [16]: 61)
“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan
ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya
barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. al-Naḥl [16]: 61)
21
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 572.
22
sayang kepadanya. Dia menangguhkan siksa atasnya, tetapi Dia tidak
membiarkannya.
Inilah sifat kebijaksanaan beriring dengan sifat kuat, dan sifat kasih sayang
bersanding dengan sifat adil. Tetapi, sayang dan kebijaksaan Allah, sehingga
Allah menyiksa manusia atas dasar keadailan dan kekuatan-Nya. Yaitu, sesudah
waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kebijaksaan dan kasih sayang-Nya itu
tiba, “Maka, apabila telah tiba waktu yang ditentuak bagi mereka, maka tidaklah
mereka dapat mengudurkannya barang sesaat pun dan tidak pula
mendahulukannya.23
Kesimpulan dari QS. al-Naḥl [16]: 61 walaupun hamba-Nya telah melakukan kezhaliman yang sangat berat atau besar Allah akan tetap
memaafkannya karena Allah mempunyai sifat kasih sayangnya yang besar yang
melebihi kemurkaannya kepada hamba-Nya yang berbuat kesalahan.
5. (QS. al-Isrā’ [17]: 58)24
Dalam penafsiran QS. al-Isrā’ [17]: 58, Ibn Kathīr menerangkan bahwa
ayat ini menjelaskan dan memperingatkan, bahwa Allah telah menentukan dan
menggariskan di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.
23
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi ilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 191.
24
(QS. al-Isrā’ [17]: 58)
“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab
25
Tiada suatu negeri yang penduduknya durhaka, melakukan kemaksiatan
dan kezhaliman, melainkan akan dibinasakan negeri itu dengan seluruh
penduduknya atau melimpahkan azab yang sangat keras atasnya,25 dan Allah juga
berfirman dalam QS. al- alāq [65]: 9.
“Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.” (QS. al- alāq [65]: 9)
Sayyid Quṭb juga memberi penjelasan bahwa sesungguhnya Allah semata
yang berkuasa mengatur nasib para hambanya. Jika Allah menghendaki, maa Dia
merahmati mereka; dan jika menghendaki lain, maka Dia mengazab mereka.
Sesungguhnya Tuhan-tuhan mereka yang mereka seru selain Allah itu tidak
memiliki kekuasaan untuk menghilangkan marabahaya dari mereka dan
memindahkannya kepada orang lain, selain mereka.
Sekarang rangkaian ayat-ayat dalam surat ini berlanjut kepada penjelasan
tentang nasib akhir yang akan dialami umat manusia seluruhnya, sebagaimana
yang telah ditakdirkan Allah dan sesuai dengan ilmu dan qadha-Nya. Yaitu,
berkahirnya negara-negara dan kehancurannya sebelum datangnya hari kiamat.
Atau, turun azab atas sebagian negeri-negeri itu jika ia melakukan dosa yang
menyebabkan turunya azab itu. Sehingga, tak ada satu negeri pun yang ada
kecuali akan menemui ajalnya, dengan sendirinya atau hancur karena turunnya
azab kepadanya.26
25
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 60.
26
Kesimpulan dari QS. al-Isrā’ [17]: 58, surat ini menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa Allah swt sebelumnya sudah menentukan ketentuan-ketentuan
yang ada di dunia ini. Baik itu berupa musibah, bencana, kesenangan, kesedihan
dan ajal di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.
6. (QS. Faṭir [35]: 45)27
Kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya dan ulahnya, niscaya
binasalah semua manusia di permukaan bumi ini, akan tetapi Allah
menangguhkan penyiksaan mereka sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu hari
kiamat yang mana mereka akan dihisab dan dibalas masing-masing menurut amal
perbuatannya selama hidup di dunia. Dan Allah Maha Mengetahui keadaan
hamba-hamba-Nya.28
Kesimpulan dari QS. al-Faṭir [35]: 45 jikalau Allah ingin mengazab hamba-Nya di dunia entah itu dari perbuatan atau tingkah laku manusia yang
sudah melampaui batas, niscaya pasti akan binasa semua yang ada di muka bumi
ini. Tetapi Allah menunda azab tersebut sampai pada hari kiamat nanti yang mana
amal perbuatannya akan dihisab.
27
(QS. Faṭir [35]: 45)
“Dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak
akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun27 akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Ẓya.” (QS. Faṭir [35]: 45)
28
27
C. Sesaat Menjelang Mati 1. (QS. Qāf [50]: 19)29
Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu lari
darinya. Yang diajak oleh ayat ini adalah manusia, apakah dia seorang mukmin
ataukah seorang kafir. Ibn Kathīr menjelaskan bahwasanya manusia itu tidak
dapat melarikan diri dari kematian, ke mana pun dia akan berlari. Karena dia pasti
akan bertemu dengan kematian itu.30 Berbeda Sayyid Quṭb, kematian merupakan
sesuatu yang diupayakan manusia untuk dihindari atau dujauhkan dari benaknya.
Namun, bagaimana mungkin hal itu berhasil. Kematian senantiasa mencari. Ia
tiada bosannya mencari, tidak pernah terlambat melangkah, dan tidak
mengingkari janji. Sakratul maut bagaikan rombongan kafilah yang merambat di
seluruh persendian. Sementara itu, pemandangan terbentang dan manusia
mendengar, “Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.”31
Kematian mengguncangkan raganya, padahal sebelumnya dia berada
dalam alam kehidupan. Mengapa dikatakan demikian, padahal dia tengah
menghadapi sakaratul maut? Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa setelah
Rasulullah sadar dari pingsan karena menghadapi sakaratul maut, beliau
mengusap keringat dari wajahnya seraya bersabda, “Sebhanallah! Kematian itu
memiliki beberapa hal yang memabukkan.” Beliau bersabda demikian, padahal
29(QS. Qāf [50]: 19)
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari
daripadanya.”(QS. Qāf [50]: 19)
30
Muḥammad Nasib al-Rifā’i,Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj, Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999), h. 454-455.
31
dirinya memilih menjadi teman di kalangan malaikat yang tinggi dan merindukan
perjumaan dengan Allah. Lalu, bagaimana manusia selainnya?
Perhatikanlah kata al-ḥāqq pada ungkapa, “Dan datanglah sakaratul mau
yang sebenar-benarnya.” Kata itu mengisyaratkan bahwa diri manusia melihat
kebenaran yang utuh dalam sakaratul maut tanpa hijab. Dia memahami apa yang
semula tidak diketahuinya dan yang diingkarinya. Namun, pemahaman ini diraih
setelah hilangnya kesempatan, yaitu tatkala pengliahatan tidak berguna,
pemahaman tidak bermanfaat, tobat tidak diterima, dan keimanan tidak
dipertibangkan. Kebenaran itulah yang dahulu mereka dustakan, sehingga mereka
pun berakhir dalam perkara kacau-balau. Tatkala mereka memahami dan
membenarkannya, pemahaman itu tidak lagi berguna dan bermanfaat sedikit
pun.32
Kesimpulan dari QS. Qāf [50]: 19 penulis melihat adanya kesamaan dengan kesimpulan QS. al-Nisā’ ayat 78 bahwasanya manusia tidak akan mampu
melarikan diri dari kematian dan tidak akan dapat bersembunyi walaupun berada
di dalam benteng karena sesuai dengan firman-Nya bahwa setiap yang bernyawa
pasti akan mengalami kematian dan maut akan mendatangi mereka sesuai dengan
ketetapan dari-Nya.
32
29
2. (QS al-Wāqi’ah [56]: 83-87)33
Ibn Kahīr menafsirkan ayat di atas dengan munasabah ayat lain sebagaima
permasalahan yang menyangkut nyawa sudah sampai dikerongkongan yaitu
ketika sakaratul maut tiba, sebagaimana firman-Nya, “sekali-kali jangan. Apabila
nafas telah mendesak sampai ke kerongkongan dan dikatakan, ‘siapakah yang
dapat menyembuhkan.’ Dan dia yakin itulah saat perpisahan dengan dunia. Dan
bertaut antara betis yang satu dan betis yang lain. Kepada Tuhanmulah pada hari
itu kamu dihalau. “(QS. al-Qiyāmah [75]: 26-30)” Selain ayat di atas Ibn Kathīr
juga menafsirkan ayat dengan permasalahan yang sama, hal ini bisa disebutkan
dalam firman Allah swt, “padahal kamu ketika itu melihat,” yaitu melihat kehadiran malaikat maut dan apa yang dibawanya. “Dan kami lebih dekat
kepadanya dari pada kamu,” yaitu kami lebih dekat kepada para malaikat kami, “tetapi kamu tidak melihat” mereka. Hal ini seperti firman-Nya, “sehingga apabila
datang kematian kepada salah satu seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh
malaikat-malaikat kami dan malaikat-malaikat kami itu tidaklah melalaikan
kewajibannya. (QS. al-An’ām [6]: 61).
Dalam penafsiran Ibn Kathīr, bahwasanya orang yang sudah dalam
sakratul maut tidak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya baik itu Nabi
33
(QS. al-Wāqi’ah [56]: 83-87)
maupun Rasul. Mereka yang sedang merasakan sakratul maut itu bagaikan kulit
yang sedang diseseti, dan mereka yang sedang mengalami sakratul maut itu pasti
melihat malaikat maut tersebut.
D. Cobaan-cobaan
1. (QS. al-Mulk [67]: 2)34
Di dalam QS. al-Mulk [67]: 2 menjelaskan bahwa Allah swt berfirman
“Yang menjadikan mati dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang yang beranggapan kematian itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah makhluk.
Adapun maknanya adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan semua
makhluk dari yang asalnya tidak ada dengan tujuan menguji mereka siapakah
diantara mereka yang paling bagus amalnya namun paling baik amalnya.35
Meskipun demikian Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang
bertaubat dan kembali kepada Allah setelah sebelumnya melakukan maksiat dan
durhaka kepada perintah Allah.
Kesimpulan dari QS. al-Mulk [67]: 2 yakni bahwa Allah Maha Mengetahui segala-galanya yang mengetahui untuk apa manusia itu diciptakan
dan diturunkan ke muka bumi dengan tujuan memberikan ujian kepada mereka,
adakah diantara manusia yang paling bagus amalnya atau tidak, dan juga tujuan
hidup mereka di dunia ini yaitu untuk beribadah dan berbakti kepada Allah swt.
34
(QS. al-Mulk [67]: 2)
Artinya: “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk [67]: 2)
35
31
BAB III
PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG KEMATIAN
A.
Makna Kematian1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan
Sebelum menggali petunjuk al-Qur’an tentang kematian, dan untuk
memahami makna kematian yang Allah telah tetapkan bagi makhluk-Nya,
diperlukan pemahaman tentang arti kematian menurut kebahasaan dalam
pandangan ulama.
Kehidupan dan kematian bertentangan seperti pertentangan cahaya dan
kegelapan, dingin dan panas. Karena itu kamus-kamus bahasa Arab
mendefiniskan salah satu dari keduanya dengan lawan kata bagi yang lain.
Pengertian al-maut atau mawatan atau muwat menurut bahasa Arab, berasal dari
kata اتوم تومي تام yang berarti lawan kata dari hayat (hidup). Sedangkan menurut
al-Azharī dari al-Lathī; bahwa al-maut merupakan makhluk Allah swt. Sibawih
mengelompokkan al-maut ke dalam fi‟il mu‟tal yang aslinya adalah َتِوَم menurut wazan ُلُعْفَي َلِعَف .1
Aḥmad Idrīs Ibn Zakariyyā mengartikan kata al-maut secara bahasa
sebagai “Hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan
katanya adalah hidup (ḥayy). Ia mendasari pengertian ini kepada kandungan makna sebuah hadis: “Siapa yang memakan (buah) dari kayu yang tidak baik ini,