EFEKTIVITAS PROTOKSIN Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai, KONIDIA Beauveria bassiana DAN CAMPURANNYA
TERHADAP ULAT GRAYAK Spodoptera litura F.
EKA SUKMAWATY
G 351090191
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia Beauveria bassiana,dan campurannnya terhadap ulat grayak Spodoptera litura F.” merupakan gagasan dan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2012
Eka Sukmawaty
ABSTRACT
EKA SUKMAWATY. Effectivity of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Protoxin, Beauveria bassiana Conidia, and Their Mixtures to Spodoptera litura F Armyworm. Supervised by NISA RACHMANIA MUBARIK and LISDAR A MANAF.
Armyworm or (Lepidoptera:Noctuidae) is one of main pest in plant crop. This pest might cause damage on the leaves and stems and reduce of crop production. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai and Beauveria bassiana have been known as biocontrol agent to this pest. This research was aimed to observe the production time of B. thuringiensis subsp. aizawai toxin, measure the effect of toxin against Be. bassiana conidia, to test the activity of toxin, conidia and their mixture against S. litura. B. thuringiensis subsp. aizawai was grown on specific medium for B. thuringiensis. Toxin production of the isolate was measured every 4 hours up to 48 hours incubation. Be. bassiana was grown on the white rice medium and its conidia was grown on the Potato Dextrose Agar medium containing toxin. The activity test of toxin B. thuringiensis, Be. bassiana conidia, and their mixture was done by spraying them to S. litura larvae. The stasionary phase of B. thuringiensis was obtained at 16 hours incubation and the maximal toxin production at 48 hours. The highest mortality of S. litura larvae caused by toxin activity was 63.3% at 48 hours incubation. The highest mortality caused by conidia infection activity was 80% at the concentration of 108 conida ml-1. The highest mortality caused by their mixture was 96,7%.
Key words:
Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Beauveria bassiana, toxin, mortality, Spodoptera litura.
RINGKASAN
EKA SUKMAWATY. Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia Beauveria bassiana, dan campurannya terhadap larva grayak (Spodoptera litura). Dibimbing oleh NISA RACHMANIA MUBARIK dan LISDAR A MANAF.
Salah satu ancaman dalam peningkatan produksi tanaman palawija dan sayuran ialah serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura). Bacillus thuringiensisdan Beauveria bassiana telah dikenal sebagai agen bioinsektisida yang ramah lingkungan untuk mengendalikan beberapa jenis hama bahkan untuk mengatasi serangan hama yang lebih kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiwaktu produksi toksin B. thuringiensissubsp. aizawai, dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan konidia Be. Bassiana, serta mengetahui aktivitas toksin, konidia dan campurannya terhadap mortalitas larva ulat grayak.
Bacillus thuringiensis ditumbuhkan pada medium selektif dan dilakukan pengukuran absorbansi kurva tumbuh serta konsentrasi toksin (protein Cry) setiap 4 jam dengan metode Bradford. Pengamatan kristal protein dilakukan melalui pewarnaan morfologi kristal dengan larutan Commasie Brilliant Blue G250 menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop fase kontras. Be. bassiana ditumbuhkan pada media kultur beras selama dua minggu. Pengujian toksin B. thuringiensis terhadap konidia Be. bassiana dilakukan dengan menumbuhkan konidia pada media Potato Dextrose Agar yang mengandung toksin. Pengamatan jumlah koloni Be. bassiana yang tumbuh dilakukan setelah 3 hari dan konidia yang dihasilkan dihitung setelah 15 hari perlakuan. Pengujian daya insektisida dilakukan dengan penyemprotan dengan menggunakan masing-masing toksin B. thuringiensis, konidia Be. Bassiana, dan campuran keduanya terhadap larva grayak instar 3.
Pertumbuhan B. thuringiensis dengan mengunakan medium selektif memperlihatkan fase logaritmik dimulai pada umur kultur 4 jam sampai 12 jam dengan jumlah sel yang meningkat terus menerus. Pada umur kultur 16 jam sampai 32 jam pertumbuhan menunjukkan fase stasioner, selanjutnya pada umur kultur 36 jam jumlah sel cenderung menurun. Sejalan dengan pembentukan protein Cry, B. thuringiensis membentuk endospora yang diamati pada umur kultur 24 jam. Konsentrasi toksin memperlihatkan peningkatan dari 0,474 mg/ml pada saat umur kultur 24 jam menjadi 1,05 mg/ml pada saat umur kultur 48 jam. Hasil produksi konidia Be. bassiana yang didapatkan setelah masa inkubasi selama dua minggu pada media beras 180 g yaitu 3,6 x 108 konidia/ml. Uji toksin terhadap konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa toksin berpengaruh pada jumlah koloni yang tumbuh namun tidak berpengaruh pada jumlah konidia yang dihasilkan dari koloni yang tumbuh tersebut, hasil ini dikuatkan dengan aktivitas toksin terhadap konidia menggunakan metode cakram. Akan tetapi uji antagonisme antara sel B. thuringiensis dan Be. bassiana menunjukkan bahwa miselium Be. bassiana dapat tumbuh menutupi koloni bakteri B. thuringiensis.
bassiana menyebabkan kematian yang lebih tinggi sebesar 80% dibandingkan dengan perlakuan toksin B. thuringiensis sebesar 63,3%. Sedangkan perlakuan campuran toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa mortalitas tertinggi didapatkan pada campuran toksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam dan jumlah konidia 108 konidia/ml sebesar 96,7%. Jadi jumlah larva yang mati pada perlakuan campuran toksin dan konidia lebih banyak dibandingkanmasing-masing perlakuan walaupun perlakuan toksin memberikan waktu kematian yang lebih cepat.
@Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012
Hak cipta Dilindungi Undang-Undang
1. p sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Dilarang menguti
Pengutipan
Pengutipan 2.
tulis ini dalam bent
a. hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
EFEKTIVITAS PROTOKSIN Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai, KONIDIA Beauveria bassiana DAN CAMPURANNYA
TERHADAP ULAT GRAYAK Spodoptera litura F.
EKA SUKMAWATY
G 351090191
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Tesis : Efektivitas Protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, Konidia Beauveria bassiana, dan Campurannya terhadap Ulat Grayak Spodoptera litura F.
Nama : Eka Sukmawaty NIM : G351090191
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si. Dr. Lisdar A. Manaf Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Mikrobiologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Gayuh Rahayu Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Efektivitas protoksin Bacillus thuringiensis subsp. aizawai, konidia Beauveria bassiana, dan campurannnya terhadap ulat grayak Spodoptera litura F.”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si dan Dr. Lisdar A Manaf selaku pembimbing atas kesabarannya dalam memberikan saran, bimbingan, dukungan, serta kesempatan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga berterimahkasih kepada Dr. Teguh Santoso, DEA sebagai penguji luar komisi dan Dr. Gayuh Rahayu sebagai penjamin mutu di Program Studi Mikrobiologi atas saran dan koreksi yang diberikan. Demikianpula penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh laboran Departemen Biologi, teman-teman yang bekerja di Laboratorium Mikrobiologi dan Mikologi atas kesabarannya membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Teman-teman Mikrobiologi serta semua pihak yang telah yang senantiasa siap membantu dan memberi semangat untuk berjuang menjadi lebih baik yang kesemuanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan kepada orang tua, adik-adik penulis yang senantiasa memberi kasih sayang, semangat, nasehat, motivasi, dan doa untuk penulis dalam menyelesaikan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat serta dapat memberikan informasi untuk kepentingan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juli 1986 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Sukardi, S.Pd. dan ibu Hj. Salmah, S.Pd.
DAFTAR ISI
Daya Rusak dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak (Spodoptera litura) ... 6
Bacillus thuringiensis ... 6
Karakteristik B. thuringiensis ... 7
Toksisitas B. thuringiensis ... 8
Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana ... 10
Proses Infeksi Be. bassiana ... 12
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 13
Bahan ... 13
Alat ... 13
Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Protoksin B. thuringiensis ... 13
Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap konidia Be. Bassiana... 15
Pengujian Daya Insektisida ... 15
HASIL Kurva Tumbuh dan Produksi Toksin ... 17
Produksi Konidia Be. bassiana ... 18
Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap Konidia Be. bassiana ... 19
Uji Antagonis B. thuringiensis dan Be. Bassiana ... 19
Pengujian Campuran Protoksin B. thuringiensis dan Konidia
Be. bassiana ... 22
PEMBAHASAN ... 29
SIMPULAN ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Tipe dan bentuk kristal B. thuringiensis ... 9 2 Pengaruh protoksin B. thuringiensisyang diproduksi pada umur kultur
24 jam dan umur kultur 48 jam terhadap konidia Be. Bassiana ... 19 3 Mortalitas lava ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan
perlakuan tunggal toksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana ... 21 4 Mortalitas lava ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan
perlakuan campuran protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. Bassiana . 23 5 Gejala Perhari yang ditimbulkan protoksin B. thuringiensis,
konidia Be. bassiana, dan campurannya ... 25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi grayak ... 6
2 Sel Bacillus thuringiensis dan endosporanya ... 7
3 Miselia Beauveria bassiana ... 11
4 Beauveria bassiana pada larva... 12
5 Kurva tumbuh dan produksi protoksin B. thuringiensis subsp. Aizawai 17
6 Sel B. thuringiensis subsp. aizawai ... 18
7 Isolat Be. Bassiana ... 18
8 Uji antagonis ... 20
9 Jumlah kumulatif larva yang mati dari hari-1 sampai ke-7... 22
10 Perlakuan protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be. bassiana pada ulat grayak (S. litura) ... 27
11 Proses infeksi protoksin Cry pada membran usus serangga ... 33
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Jumlah sel Bacillus thuringiensis subsp. aizawai pada pengukuran kurva tumbuh……… 43PENDAHULUAN
Latar Belakang
Serangan hama merupakan salah satu faktor penghambat dalam usaha
peningkatan produksi pertanian baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Grayak
(Spodoptera litura) merupakan salah satu jenis hama penting yang menyerang
tanaman palawija dan sayur-sayuran. Grayak bersifat polifag dan menyebabkan
defoliasi daun tanaman (Rao et al. 1993). Hama ini menyerang berbagai macam
tanaman penting yang bersifat ekonomis seperti beras, kentang, tembakau, tomat,
jagung, cabai, kubis, padi, tebu, buncis, jeruk, bawang merah, terung,
kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, tanaman hias juga
gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium
sp., dan Trema sp. (Dirjen Perlindungan Tanaman Pangan 2012). Selain di
Indonesia, grayak ditemukan di India, Pakistan, Banglades, Sri Lanka, China,
Australia, Kepulauan Pasifik, Hawaii, dan Fiji (Hill 1993).
Hama S. litura menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan generatif. Pada fase vegetatif larva memakan daun tanaman yang muda sehingga
tinggal tulang daun saja dan fase generatif dengan memakan polong-polong muda.
Serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada
tanaman umur lebih dari 20 hari setelah tanam. Serangan berat akan menyebabkan
tanaman mati (Hennie et al. 2003).
Usaha pengendalian oleh petani selama ini ialah dengan menggunakan
insektisida kimia. Pengendalian hama dengan insektisida kimia dapat
menimbulkan banyak masalah lingkungan antara lain resistensi hama terhadap
insektisida kimia meningkat, ledakan populasi serangga hama sekunder, resiko
keracunan pada manusia dan hewan ternak, air tanah terkontaminasi, biodiversitas
menurun dan bahaya lain yang berkaitan dengan lingkungan (Soetopo &
Indrayani 2007). Masalah-masalah yang tersebut memicu penemuan alternatif
penanggulangan hama yang ramah lingkungan sehingga kerusakan lingkungan
secara umum dapat dihindari sehingga konsep pertanian ekologi atau pertanian
2
Hingga saat ini telah diketahui terdapat tiga sumber insektisida alami yang
memiliki prospek baik untuk dikembangkan yaitu tumbuhan, mikroorganisme
tanah, dan mikroorganisme laut. Jenis tumbuhan yang diketahui potensial sebagai
insektisida nabati diantaranya yaitu tembelekan (Lantanna camara). Penggunaan
ekstrak tumbuhan ini dengan konsentrasi 5 sampai 40% dapat menyebabkan
kematian sebesar lebih dari 55% pada Spodoptera litura (Deshmukhe et al.
2011). Balfas dan Wilis (2009) juga melaporkan bahwa minyak dari tumbuhan
babadotan berpotensi menjadi bioinsektisida. Minyak babadotan dapat
mengakibatkan kematian sebesar 100% pada grayak namun kendalanya pada
konsentrasi ini mengakibatkan fitotoksik pada tanaman. Kendala lain dari
penggunaan insektisida nabati yaitu masih membutuhkan upaya perbaikan bahan
dan cara penyulingan serta dukungan pemulia tanaman.
Salah satu bioinsektisida asal mikroorganisme yang telah digunakan di
beberapa negara yaitu Bacillus thuringiensis. Bakteri ini termasuk bakteri Gram
positif yang menghasilkan kristal inklusi pada saat bersporulasi yang terdiri atas
satu atau lebih protein insektisidal yang dikenal sebagai δ-toksin atau protein Cry
(Boncheva et al. 2006). Protein Cry mempunyai kisaran spektrum yang sempit dan spesifik pada serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, dan
Hymenoptera (Schenepf et al. 1998). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
melihat keefektifan B. thuringiensis sebagai bioinsektisida. Protein Cry B.
thuringiensis efektif digunakan dalam pengendalian larva Cydia Pomonella (Lepidoptera: Totricidae) (Boncheva et al. 2006). Huang et al. (2007)
melaporkan B. thuringiensis digunakan untuk mengendalikan hama lepidoptera di
Cina seperti: Helicoverpa armigera, Cnaphalocrocis medinalis, Parnara guttata
cabbage worm, Pieris rapae, Plutella xylostella, Homona coffearia dan Adoxophyes orana. Penggunaan B. thuringiensis dalam pengendalian hama mempunyai beberapa keuntungan di antaranya meningkatkan hasil pertanian,
mengurangi biaya produksi, hanya selektif dan spesifik pada serangga target,
menjaga keragaman hayati dan tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan
manusia (Nester et al. 2002; James 2002 dalam Anna et al. 2003).
Salah satu alternatif pengendalian hama yang cukup potensial ialah
3
merupakan fase anamorf dari Cordyceps bassiana. Cendawan ini memiliki kisaran
inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan
Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga
Diptera maupun Hymenoptera (Soetopo & Inrayani 2007). Miselium Be. bassiana
mampu menembus kutikula serangga dan memasuki hemocoel kemudian tumbuh
dan menghasilkan senyawa toksik seperti beauverisin, bassianolide, dan oosporein
(Vey & Fargues 1977 dalam Ma et al. 2008) .
Penggunaan Be. bassiana di Cina telah dirintis sejak tahun 1990 untuk mengendalikan serangga (Feng et al. 2004). Todorova et al. (2003) membuktikan
bahwa isolat-isolat Be. bassiana sangat efektif membunuh hama penggulung daun
Choristoneura rosaceana (Lepidoptera: Totricidae). Kematian pada larva dan pupa mencapai lebih dari 85% pada dosis 107 konidia/ml hingga 60 hari setelah
perlakuan. Be. bassiana juga memperlihatkan patogenitasnya pada Scirpophaga incertulas (Lepidoptera: Pyralidae) dengan konsentrasi 105 sampai 109 spora/ml (Dhuyo & Naheed 2008). Hasil-hasil penelitian Be. bassiana di Indonesia juga
telah dipublikasikan untuk mengendalikan serangga hama kedelai, walang sangit
pada padi, Plutella xylostella pada sayuran, hama bubuk buah kopi Helopeltis
antoni, dan penggerek buah kakao Hypothenemus hampei (Soetopo & Indrayani 2007).
Kombinasi B. thuringiensis dan cendawan insektisida seperti Be. bassiana
dapat dijadikan strategi untuk mengatasi masalah hama yang lebih kompleks dan
meningkatkan aktivitas insektisida baik secara langsung maupun tidak langsung
(Navon 2003). Kerja sinergis keduanya dapat menekan populasi Colarado potato
bettle pada tanaman tomat, Ostrinia nubilalis, dan serangga Lepidoptera (Lewis et al. 1996; Wright & Ramos 2005; Rukmini et al. 2000 dalam Ma et al. 2008). Penelitian ini akan mempelajari daya insektisida dari B. thuringiensis, Be.
4
Tujuan
Tujuan penelitian ini ialah:
1. Mengamati waktu produksi toksin B. thuringiensis subsp. aizawai.
2. Mengetahui pengaruh toksin B. thuringiensis subsp. aizawai terhadap
pertumbuhan konidia Be. bassiana.
3. Menghitung efektivitas toksin B. thuringiensis subsp. aizawai, konidia Be.
bassiana, dan campurannya terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F).
Manfaat
Manfaat penelitian ini ialah mendapatkan informasi awal formulasi
bioinsektisida dalam pengendalian hama grayak (Spodoptera litura F.) secara
5
TINJAUAN PUSTAKA
Grayak (Spodoptera litura)
Grayak teramasuk dalam ordo Lepidoptera, famili Noctuidae. Sayap
ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap belakang
berwarna keputihan dengan bercak hitam. Telur berbentuk hampir bulat dengan
bagian dasar melekat pada daun, berwarna coklat kekuningan, diletakkan
berkelompok masing-masing 25-500 butir. Telur diletakkan pada bagian daun
atau bagian tanaman lainnya. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang
berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning
kecoklatan. Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung berwana
hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dorsal
terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi
coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok (Gambar 1) (Marwoto &
Suharsono 2008).
Gambar 1 Morfologi grayak. a) Kelompok telur, b) ulat instar 3, c) imago ulat grayak (Spodoptera litura) (www.pustaka-deptan.go.id 4 Januari 2010).
Setiap ekor ngengat betina dapat menghasilkan telur hingga 3.000 butir
yang terdiri atas 11 kelompok dengan 350 butir tiap kelompok telur. Setelah telur
menetas, ulat tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, kemudian
beberapa hari setelah itu ulat berpencar. Stadium ulat terdiri atas lima instar dan
berlangsung selama 13-17 hari (Marwoto & Suharsono 2008).
Ulat grayak tersebar luas di beberapa negara seperti Jepang, Cina, Mesir,
6
Indonesia meliputi Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera
Selatan (Marwoto et al. 2005).
Kisaran tanaman inang ulat grayak sangat beragam meliputi cabai, kubis,
padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung,
kentang, kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah), kangkung, bayam, pisang, dan
tanaman hias. Hama ini juga menyerang berbagai gulma seperti Limnocharis sp.,
Cleome sp., Clibadium sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., dan Trema sp. (Marwoto & Suharsono 2008).
Daya Rusak dan Kehilangan Hasil Akibat Ulat Grayak (S. litura)
Kerusakan akibat ulat grayak ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya
populasi hama, fase perkembangan serangga, fase pertumbuhan tanaman, dan
varietas kedelai. Serangan pada varietas rentan menyebabkan kerugian yang
sangat besar. Kerusakan yang diakibatkan lebih besar jika defoliasi daun karena
serangan ulat grayak terjadi pada saat pembungaan dan pada saat tanaman mulai
membentuk polong daripada serangan pada saat polong berisi dan saat
pertumbuhan biji penuh. Dirjen Perlindungan Tanaman pangan (2011)
melaporkan bahwa serangan ulat grayak di Indonesia mencapai 1.330 ha dan
pertambahan luas lahan yang terserang mencapai 343 ha.
Bacillus thuringiensis
Bacillus thuringiensis telah dikenal sebagai agen biokontrol sejak tahun
1950-an. Bakteri ini tersebar di hampir seluruh penjuru dunia. B. thuringiensis
pertama kali ditemukan di Jepang yang membunuh ulat sutera di tempat
pemeliharaan. Sepuluh tahun kemudian di Jerman ditemukan galur baru pada
larva yang menyerang serelia di gudang penyimpanan di Provinsi Thuringien
sehingga bakteri ini disebut B. thuringiensis. Bakteri ini pada awalnya hanya
diketahui menyerang larva dari serangga Lepidoptera kemudian ditemukan bahwa
bakteri ini juga menyerang Diptera dan Coleoptera (Bahagiawati 2002). Zayed
(2004) melaporkan bahwa B. thuringiensis dapat menyebabkan kematian sebesar
84% pada larva Cullex pipiens (Diptera: Culicidae) dan memperlihatkan efek
7
pada ordo yang sama pada spesies Aedes aegypti mengakibatkan 95% kematian
setelah 45 hari setelah perlakuan. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa kristal
protein B. thuringiensis toksik terhadap Leptinotrasa decemlineata, Chyrsomela scripta, Antomous grandis dari ordo Coleoptera (Frankenhuyzen 2009), Macroshipum euphorbiae dari ordo Himeptera (Walters & English 1995), dan Solenopsis invicta dari ordo Hymenoptera (Bulla et al. 2004).
Karakteristik B. thuringiensis
B. thuringiensis adalah bakteri yang mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan panjang 3 – 5 µm dan lebar 1,0 – 1,2 µm, mempunyai flagella
dan membentuk endospora. Sifat-sifat bakteri ini ialah Gram positif, aerob tetapi
umumnya anaerob fakultatif. Endospora B. thuringiensis berbentuk oval, letaknya
subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 μm. Pembentukan
endospora terjadi dengan cepat pada suhu 35 - 37 °C. Endospora tersebut relatif
tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia (Bulla et al. 1977) (Gambar 2).
Gambar 2 Sel Bacillus thuringiensis subsp. aizawai. Keterangan: (c) protein kristal dan (e) endospora (Bobrowski et al. 2002).
Perbedaan B. thuringiensis dengan spesies Bacillus lainnya yaitu produksi protein kristalin yang bersifat toksik pada berbagai invertebrata khususnya pada
serangga. Protein ini sering disebut δ - endotoksin merupakan protoksin yang jika
larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek
8
Morfologi, ukuran dan jumlah protein kristal berbeda-beda di antara galur
B. thuringiensis. Gen protein insektisida ini telah diidentifikasi dan dibagi menjadi dua jenis, gen cry untuk kristal dan gen cyt untuk sitolitik (Hofte &
Whitely 1989). Lereclus et al. (1993) mengusulkan suatu sistem tata nama dan
klasifikasi δ - endotoksin berdasarkan sifat insektisidalnya serta hubungan
molekulernya menjadi empat kelas utama δ - endotoksin (Cry I, II, III dan IV)
serta sitolisin (Cyt). Secara umum protein-protein tersebut bersifat toksik pada
jenis serangga tertentu. Cry I toksik terhadap Lepidoptera, Cry II toksik terhadap
Lepidoptera dan Diptera, Cry III toksik terhadap Coleoptera, Cry IV toksik
terhadap Diptera dan Cyt sitolitik terhadap serangga. Secara morfologi, protein
Cry dikelompokkan menjadi lima yaitu bentuk bipiramid ditemukan pada protein
Cry I, kuboid ditemukan pada protein Cry II, amorfus komposit pada protein Cry
IV dan Cyt dan bentuk batang ditemukan pada protein Cry III (Lopez & Ibarra
1996) (Tabel 1).
Beberapa subspesies B. thuringiensis telah ditemukan di antaranya
kurstaki, aizawai, sotto, entomocidus, berliner, san diego, tenebroid, morrisoni dan israelensis. Masing-masing subspesies memiliki ciri endospora yang berbeda
(Tabel 1). Bobrowski et al (2002) menemukan dengan transmisi elektron bahwa
protein kristal B. thuringiensis subsp. kurstaki berbentuk kuboid dan B.
thuringiensis subsp. aizawai berbentuk bipiramid. Kristal berbentuk bipiramidal diduga berhubungan dengan keberadaan protein Cry1 dan kristal kuboid
berkaitan dengan protein Cry2 yang menunjukkan aktivitas toksik pada
Lepidoptera dan Diptera (Silva et al. 2004).
Toksisitas B. thuringiensis
Mekanisme kerja insektisidal B. thuringiensis yaitu dengan cara
menginfeksi inang melalui mulut, setelah sampai di usus endosporanya akan
pecah dan menembus dinding sel. Endospora akan menembus hemosel dan
berkembang dalam hemolimfa dan tersebar ke seluruh tubuh inang. Daya toksin
B. thuringiensis disebabkan oleh larutnya elemen toksik yang terdapat di dalam kristal. Proses pelarutan ini berlangsung di dalam mesentron (usus tengah)
9
yang alkalis menyebabkan kristal-kristal akan lepas dan mengeluarkan toksiknya.
Toksik ini meyebabkan terjadinya pembengkakan sel-sel epitel usus tengah.
Kerusakan struktur dan fungsi usus tengah ini menyebabkan keseimbangan pH
dan ion di dalam hemolimfe terganggu, akibatnya terjadi kelumpuhan yang
mengakibatkan kematian (Li et al. 2004).
Tabel 1 Tipe dan bentuk kristal B. thuringiensis
Tipe Kristal
CryI kurstaki HD-1 Bipiramid Lepidoptera
Hofte & Whiteley
CryII kurstaki HD-263 Kuboid Lepidoptera
Hofte & Whiteley (1989)
kurstaki HD-1 Bipiramid Diptera
Bobrowsky et al. (2002)
CryIII san diego Flat Coleoptera
Hofte & Whiteley (1989)
CryIV Israelensis Sperikal Diptera
Hofte & Whiteley (1989)
Morissoni
Chilcot et al. (1990) melaporkan bahwa infeksi toksin pada ultrastruktur
sel usus tengah serangga menyebabkan kerusakan setelah satu jam. Hal ini diikuti
dengan membengkaknya organel epitel. Jaringan usus tengah serangga juga
terganggu yang ditunjukkan dengan pembengkakan dan terpisahnya jaringan.
Enam jam setelah perlakuan dinding sel akan rusak dan membrane peritrofik
pecah. Kerusakan pada usus tengah serangga ini akan diikuti oleh berhentinya
kemampuan makan serangga tersebut.
Proses toksisitas sangat bervariasi tergantung pada spesies serangga serta
galur bakteri. Bohorova et al. (1997) menyebutkan bahwa protein Cry1Ab yang
dihasilkan oleh galur HD-1 lebih toksik pada S. frugiperda dibandingkan protein
10
Cry2Aa paling toksik pada S. eridania. Efektivitas toksin sangat bergantung pada
kelarutan badan inklusi, proses proteolisis serta afinitas reseptor. Proses toksisitas
B. thuringiensis terhadap serangga tergantung dua faktor yaitu kespesifikan bakteri serta kepekaan serangga yang terinfeksi (Bianchi et al. 2009).
Aktivitas toksin juga dipengaruhi oleh instristik dalam usus serangga
serta adanya endospora yang ikut tercerna oleh usus serangga bersama dengan
Kristal (Bianchi et al. 2009). Jika serangga tidak rentan pada aksi secara
langsung delta-endotoksin maka kematian akan dimulai setelah pertumbuhan
vegetatif B. thuringiensis di dalam pencernaan serangga. Endospora akan berkecambah setelah membran pencernaan serangga tersebut rusak kemudian
bereproduksi dan menghasilkan endospora yang lebih banyak. Perluasan infeksi
ini seringkali menyebabkan kematian pada serangga (Swadener 1994).
Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana
Secara taksonomi Beauveria bassiana termasuk dalam filum
Deuteromycota, kelas Hypomycetes, ordo Moniliales dari family Clavicipitaceae
(U.S Environmental Protection Agency 2006). Cendawan patogen penyebab
penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di
Beauce Perancis yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombix mori).
Penelitian tersebut bukan hanya yang pertama pada serangga, tetapi juga
pertama untuk binatang, sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi,
cendawan ini diberi nama Beauveria bassiana (Soetopo & Indrayani 2007).
Cendawan Be. bassiana juga dikenal sebagai white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval dan
tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Gambar 3). Cendawan ini
mempunyai kisaran inang serangga yang sangat luas meliputi ordo Lepidoptera,
Coleoptera dan Hemiptera. Infeksi cendawan ini ditemukan pada
11
Gambar 3 Miselia dan konidia Be. bassiana (www.uoguelph.ca/-gbarron/MISCELLANEOUS/nov01.htm 4 Januari 2010).
Beauveria bassiana dapat diisolasi dari bangkai serangga maupun tanah karena tanah merupakan tempat terbaik untuk propagul infektif dan bertahan
hidup dalam bentuk kondia atau hifa saprofit. Cendawan ini akan melakukan
dormansi jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan dan aktif apabila
mendapatkan inang yang cocok untuk diinfeksi (Dhuyo & Naheed 2008).
Serangga inang utama Be. bassiana antara lain kutu pengisap (aphid),
kutu putih (Whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang, ulat, thrips,
tungau dan beberapa spesies uret. Habitat tanamannya mulai dari kedelai,
sayura-sayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga tanaman hutan
(Soetopo & Indrayani 2007).
Perkembangan konidia memerlukan sumber karbon, seperti glukosa,
glukosamin, kitin, ragi serta sumber nitrogen untuk pertumbuhan hifa.
Perkembangan konidia dapat terjadi pada integumen serangga dengan melakukan
penempelan dan perkecambahan kutikula, kemudian melakukan penetrasi ke
dalam hemosel dan berkembang dalam tubuh serangga sehingga menyebabkan
kematian (Tanada & Kaya 1993).
Proses Infeksi Be. bassiana
Be. bassiana memproduksi toksin beauvericin yang menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga. Spesies Be. bassiana
juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pangan
(Soetopo & Indrayani 2007). Konidia yang telah berkecambah membentuk
12
itu menembus integument dan masuk ke dalam hemosel. Cendawan membentuk
tubuh hifa yang kemudian ikut beredar dalam hemolimpfa dan membentuk hifa
sekunder untuk menerang jaringan lain seperti jaringan lemak, sistem syaraf,
trakea dan saluran pencernaan. Konidia berkembang dalam saluran penceranaan
dalam waktu 72 jam, setelah itu hifa melakukan penetrasi pada dinding usus
sekitar 60-72 jam. Kerusakan saluran pencernaan terjadi dengan hancurnya
pencernaan, kemudian masuk ke hemosel dan mengubah pH hemolimfa, setelah
itu serangga akan kehabisan nutrisi dan mati (Tanada & Kaya 1993). Tubuh
serangga yang terbunuh akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia (Gambar
4). Jumlah konidia yang dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar
kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi akan efektif
menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya (Cheung & Grula
1982).
Gambar 4 Konidia putih pada berbagai stadium larva Helicoverpa armigera (kiri) dan miselia putih pada larva H. armigera (kanan) (Soetopo &
Indrayani 2007).
Inglish et al. (1994) menambahkan bahwa selain akibat kehabisan nutrisi,
kematian serangga juga dapat diakibatkan oleh tekanan fisik akibat masuknya
hifa pada jaringan serangga, peracunan oleh mikotoksin Be. bassiana, serta aksi
kombinasi ketiganya.
13
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan bulan September 2010 hinggaOktober 2011 di Laboratorium Mikrobiologidan Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor (IPB)
Bahan
Mikroorganisme yang digunakan ialah B. thuringiensis subsp. aizawai dengan kode isolat IPBCC.B.90 296 koleksi IPBCC, Institut Pertanian Bogor.Cendawan Be. Bassiana diperoleh dari koleksi Laboratorium Bioteknologi tanaman, Universitas Hasanuddin Makassar.Larva larva grayak dikumpulkan dari kebun talas yang terserang larva tersebut
Alat
Alat yang digunakan berupa inkubator bergoyang, otoklaf, mikroskop, spektrofotometer, haemositometer,dan peralatan laboratorium lainnya.
Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kristal ProtoksinB. thuringiensis Isolat B. thuringiensis diinkubasi pada 250 ml medium pertumbuhan B. thuringiensis (Atlas 1997) yang mengandung glukosa 3 g, (NH4)2SO4 2 g, ekstrak
khamir 2 g, K2HPO4.3H2O 0,5 g, Mg2SO4.7H2O 0,2 g, CaCl2.2H2O 0,08 g,
MnSO4.4H2O 0,05, pH 7,3 dalam 1000 ml akuades pada suhu 37 °C sambil
dikocok dengan kecepatan 120 rpm. Setiap 4 jam dilakukan pengambilan kultur sebanyak 10 ml untuk dilakukan pengukuran absorbansi sel pada panjang gelombang 600 nm yang berlangsung sampai 48 jam.
Pewarnaan Morfologi Kristal (Fadel et al. 1988)
14
kemudian dibilas dengan air mengalir, dan diamati dibawah mikroskop cahaya dengan minyak emersi tanpa gelas penutup.
Produksi ProtoksinBacillus thuringiensis (Ma et al. 2008)
Koloni B. thuringiensis diinokulasi ke dalam media pertumbuhan dan diinkubasi pada suhu 28 °C selama waktu optimum pembentukan protoksin kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8000 g 4 0C selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci empat kali dengan akuades steril. Pelet disimpan dalam bufer alkalin (bufer Glisin - NaOH, pH 10,5) pada suhu 28 °C selama 1 jam sampai protein kristal terlarut kemudian disentrifugasi 8000 g selama 15 menit. Supernatan dikumpulkan dan pH diatur menjadi 5-6 dengan penambahan 1 M HCl dan disimpan selama semalam pada suhu 4 °C untuk mengendapkan protoksin. Protoksin yang telah mengendap kemudian dikumpulkan dengan sentrifugasi dan dicuci tiga kali dengan akuades. Protoksin yang dipakai untuk pengujian diproduksi pada jam ke-24 dan-48. Kadar protoksin diukur dengan metode Bradford dan menggunakan bovine serum albumin sebagai standar (Bobrowski et al. 2002).
Penyiapan Isolat Be. bassiana
Cendawan Be. bassiana ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar(PDA) yang mengandung kloramfenikol dengan konsentrasi 250 mg dalam 500 ml media dan diinkubasi selama 14 hari pada suhu ruang untuk bersporulasi.
Media Kultur Beras
Media kultur beras (MKB) disiapkan dengan cara merendam beras yang telah dicuci selama 6 jam, ditiriskan kemudian dimasukkan dalam kantong plastik dan ditutup dengan sumbat kapas. Selanjutnya, MKB disterilisasi selama 15 menit.
Produksi Konidia Be. bassiana
15
konidia. Inokulum diperiksa setiap dua hari sekali sambil diaduk-aduk dengan menggoyang-goyangkannya. Suspensi konidia dibuat dengan mengambil konidia dari permukaan media dengan cara digoyang dengan pelan dalam larutan Tween 80 0,2% dalam akuades steril dan dihomogenkan. Suspensi konidia dibuat berseri 107 dan 108 konidia ml-1 (Hasyim et al. 2005).
Pengujian ProtoksinB. thuringiensis terhadap Konida Be. bassiana.
Pengujian protoksin terhadap konidia dilakukan dengan dengan mencampurkan 1 ml protoksin kedalam 20 ml PDA yang mengandung kloramfenikol dengan konsentrasi 250 mg dalam 500 ml PDA.Kemudian sebanyak 1 ml suspensi cendawan Be. bassianadiinokulasikan di atas media tersebut. Perhitungan jumlah koloni dan konidia yang dihasilkan dilakukan setelah 15 hari perlakuan.
Uji Antagonis B. thuringiensisdan Protoksin terhadap Be. bassiana
Uji antagonis B. thuringiensis terhadap Be. bassiana dilakukan dengan uji antagonis koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. Bassiana. Uji protoksin dengan metode difusi cakram kertas terhadap koloni Be. bassiana.
Uji antagonis koloni tunggal dilakukan dengan menggoreskan isolat B. thuringiensis pada cawan yang berisi media PDA. Kemudian inokulum Be. bassiana diinokulasikan disamping goresan isolat B. thuringiensis dengan jarak 1 cm. Pengamatan antagonisme dilakukan setelah masa inkubasi 2 minggu.
Uji difusi cakram kertas dilakukan dengan meneteskan protoksin sebanyak 0,1 ml pada kertas cakram kosong dan ditunggu sampai kering. Kemudian kertas cakram diletakkan diatas media PDA yang telah diinokulasikan 0,1 ml konidia Be. bassiana. Pengamatan dilakukan setelah 2 minggu masa inkubasi.
Pengujian Efektivitas Insektisida
16
berupa daun talas dan pada ulat yang dilakukan setiap hari. Sebanyak 10 ekor larva grayak dimasukkan dalam wadah yang berbeda kemudian disemprotkan dengan protoksin B. thuringiensis yang diproduksi pada jam ke-24 dan 48 dan konidia Be. bassiana dengan jumlah konidia 107 dan 108 konidia/ml serta akuades sebagai kontrol. Insektisida kombinasi B. thuringiensis dan Be. bassiana dibuat dengan perbandingan yang sama, yaitu 50 ml protoksin dicampurkan dengan 50 ml suspensi Be. bassiana. Setiap insektisida disemprotkan sebanyak 5 kali semprot untuk setiap larva.
Perlakuan dibagi menjadi 7 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 wadah berisi 10 larva. Kelompok pertama disemprotkan dengan protoksinB. thuringiensis. Kelompok kedua disemprotkan dengan konidia B. bassiana. Kelompok ketiga disemprotkan dengan campuran insektisida protoksin B. Thuringiensis yang diproduksi pada jam 24 dan konidia Be. bassiana 107. Kelompok keempat disemprotkan dengan campuran insektisida protoksin B. Thuringiensis yang diproduksi pada jam 48dan konidia Be. bassiana 107, Kelompok kelima disemprotkan dengan campuran insektisida protoksin B. Thuringiensis yang diproduksi pada jam 24dan konidia Be. bassiana 108, Kelompok keenam disemprotkan dengan campuran insektisida protoksin B. Thuringiensis yang diproduksi pada jam 48dan konidia Be. bassiana 108, kelompok ketujuh sebagai kontrol dan disemprot dengan akuades. Efektivitas kedua bioinsektisida tersebut dilihat dari waktu yang diperlukan untuk menyebabkan mortalitas serta banyaknya mortalitas yang ditimbulkan pada larva grayak.
27
HASIL
Pertumbuhan dan Produksi Protoksin B. thuringiensis subsp. aizawai.
Ciri-ciri morfologi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai berdasarkan hasil
pengamatan mikroskop yaitu berbentuk basil dengan panjang sekitar 5 μm,
membentuk endospora yang terletak subterminal, kristal protein terletak
berdampingan dengan endospora dan berukuran lebih kecil dari endospora
(Gambar 5).
a b
3
2
1 3
2
10µm 10µm
Gambar 5 Sel B. thuringiensis subsp. aizawai. (a) Pengamatan dengan pewarnaan
kristal, (b) pengamatan dengan mikroskop fase kontras dengan
perbesaran 1000 x. Keterangan: (1) endospora yang terlepas, (2)
endospora dalam sel, dan (3) kristal protein.
Kurva pertumbuhan B. thuringiensis dengan mengunakan medium selektif
memperlihatkan fase logaritmik mulai pada umur kultur 4 jam sampai jam 12 jam
dengan jumlah sel yang meningkat terus menerus. Memasuki umur kultur 16 jam
sampai 32 jam kurva pertumbuhan menunjukkan fase stasioner selanjutnya pada
umur kultur 36 jam jumlah sel cenderung menurun hingga umur kultur 48 jam
pengamatan. Pembentukan protein protoksin memperlihatkan peningkatan pada
18
Gambar 6 Kurva tumbuh dan produksi protoksin B. thuringiensis subsp.
aizawai.
Produksi Konidia Be. bassiana
Produksi konidia Be. bassiana dilakukan pada media beras yang telah
disterilisasi setelah ditumbuhkan pada media PDA selama dua minggu (Gambar
7). Hasil produksi konidia yang didapatkan setelah masa inkubasi selama dua
minggu dengan berat media 180 g yaitu 3,6 x 10a 8 konidia/ml.
b a
Gambar 7 (a) Isolat Be. bassiana pada media PDA (b) spora dan hifa Be. bassiana
Hasil uji antagonis koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. bassiana
menunjukkan bahwa miselium Be. bassiana dapat tumbuh menutupi koloni
bakteri B. thuringiensis setelah masa inkubasi selama 2 minggu. Hal yang berbeda
ditunjukkan pada uji cakram kertas yang menunjukkan bahwa protoksin B.
thuringiensis mengurangi jumlah konidia Be. bassiana yang tumbuh dibandingkan dengan kontrol (Gambar 8).
Uji Antagonis B. thuringiensis dan Protoksin terhadap Be. bassiana
Tabel 2 Pengaruh protoksin B. thuringiensis yang diproduksi pada umur kultur 24
jam dan umur kultur 48 jam terhadap konidia Be. bassiana
Hasil uji protoksin terhadap konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa
protoksin menghambat pertumbuhan konidia Be. bassiana. Koloni yang tumbuh
pada medium yang mengandung protoksin yang diproduksi pada umur kultur 24
jam lebih sedikit dibandingkan dengan koloni yang tumbuh pada pada medium
yang mengandung protoksin yang diproduksi pada umur kultur 48 jam. Dari
konidia yang dihasilkan terlihat bahwa protoksin tidak berpengaruh pada spora
yang diproduksi, tetapi ada kecenderungan jumlah spora Be. Bassiana meningkat
dengan protoksin yang dipakai pada umur kultur 48 jam (Tabel 2). Pengujian Protoksin B. thuringiensis terhadap Konida Be. bassiana
Produksi protoksin Jumlah koloni Jumlah spora
B. thuringiensis jam ke Be. bassiana Be. bassiana
(koloni/ml) (spora/ml)
24 9 2,4 x 107
48 21 4,5 x 107
Kontrol Negatif 45 3,2 x 107
20
Pengujian protoksin B. thuringiensis dan konidia Be.bassiana dilakukan
menggunakan larva S. litura instar 3. Sejalan dengan pertambahan waktu larva
instar 3 berkembang ke instar 4 dan instar 5. Hasil pengujian menunjukkan
adanya pengaruh protoksin yang mengakibatkan kematian pada larva. Aplikasi
protoksin setelah jam ke-24 dengan cara penyemprotan pada pakan terjadi
penurunan aktivitas makan dan bergerak dan mengalami kematian pada hari
ketiga. Protoksin yang diproduksi pada umur kultur 24 jam dengan kadar
protoksin 0,4395 mg/ml menyebabkan kematian grayak 50 % dan protoksin yang
diproduksi pada umur kultur 48 jam dengan kadar protoksin 1,05 mg/ml
menyebabkan kematian 63,3% . Konidia Be. bassiana 107 menyebabkan
kematian total sebesar 76,6% dan Be. bassiana 108 menyebabkan kematian
sebesar 80%. Mortalitas total yang diamati pada hari ke-7 menunjukkan bahwa
perlakuan konidia Be. bassiana menyebabkan kematian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan protoksin B. thuringiensis (Tabel 3).
Pengujian Masing-Masing Protoksin B. thuringiensis dan Konidia Be.
bassiana pada Spodoptera litura
Gambar 8 Uji antagonis (a) koloni B. thuringiensis terhadap koloni Be. bassiana
dan (b1) uji antagonis B. thuringiensis terhadap Be. Bassiana dengan
metode cakram kertas (b2) kontrol untuk metode cakram kertas.
27
21
Perlakuan
Jumlah larva mati (% mortalitas) Jumlah
Instar 3 Instar 4 Instar 5 total
Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7 larva mati
Protoksin Bt 24 jam 0 0 15 (50%) 0 0 0 0 15 (50%)
Protoksin Bt 48 jam 0 0 19 (63,3%) 0 0 0 0 19 (63,30%)
Konidia Bb 107 0 0 2 (6,6%) 0 10 (33,30%) 6 (20%) 5 (16,6%) 23(76,60%)
Konidia Bb 108 0 0 3 (10%) 0 11 (36,6%) 10(33,30%) 0 24 (80%)
Kontrol akuades 0 0 0 0 0 0 0 0
Tabel 3 Mortalitas larva ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan perlakuan tunggal masing-masing protoksin B.
thuringiensis dan konidia Be. bassiana
Keterangan: Ulat yang digunakan sebanyak 30 ekor
22
Pengujian Campuran Protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana Hasil uji pengujian daya insektisida kombinasi keduanya B. thuringiensis
dan konidia Be. bassiana menunjukkan bahwa campuran protoksin dan konidia
menyebabkan kematian pada larva S. litura instar 3. Aplikasi campuran protoksin
dan konidia pada pakan setelah 24 jam menunjukkan terjadinya penurunan
aktivitas makan dan bergerak. Pada perlakuan Bt 24 + Bb 107 dan Bt 48 + Bb 107
belum memperlihatkan terjadinya kematian pada hari pertama dan hari ke-2,
sementara pada perlakuan Bt 24 + Bb 108 dan Bt 48 + Bb 108 kematian sudah
mulai terjadi pada hari ke-2. Kematian total yang diamati pada hari ke-7 yang
disebabkan perlakuan Bt 24 + Bb 107 sebesar 76,7%, perlakuan Bt 48 + Bb 107
menyebabkan kematian total sebesar 80%, perlakuan Bt 24 + Bb 108
menyebabkan kematian total sebesar 86,7%, dan perlakuan Bt 48 + Bb 108
menyebabkan kematian ulat grayak paling banyak dibandingkan dengan
perlakuan yang lain sebesar 96,7% (Tabel 4, Gambar 9).
0
27
Tabel 4 Mortalitas larva ulat grayak (S. litura) instar 3 hari ke-1 sampai ke-7 dengan perlakuan campuran protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana
Perlakuan
Jumlah larva mati (% mortalitas) Jumlah
Instar 3 Instar 4 Instar 5 total
Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7 larva mati
Bt 24 + Bb 107 0 0 1 (3,3%) 11 (36,3%) 4 (13,3%) 4 (13,3%) 3 (10%) 23 (76,7%)
Bt 48 + Bb 107 0 0 6 (20%) 4 (13,3 %) 3 (10%) 7 (23,3%) 4 (13,3) 24 (80%)
Bt 24 + Bb 108 0 4 (13,3%) 0 12 (40%) 6 (20%) 4 (13,3%) 0 26 (86,7%)
Bt 48 + Bb 108 0 4 (13,3%) 6 (20%) 8 (26,6%) 7 (23,3%) 3 (10%) 1 (3,3%) 29 (96,7%)
Kontrol akuades 0 0 0 0 0 0 0 0 (0%)
Keterangan: Ulat yang digunakan sebanyak 30 ekor
24
Gejala yang ditimbulkan protoksin B. thuringiensis dan konidia Be.
bassiana dan perlakuan kombinasinya terlihat berbeda setiap harinya (Tabel 5, Gambar 10). Pada perlakuan tunggal protoksin gejala kematian yan ditimbulkan
yaitu tubuh mengeras, menyusut, mengering dan mengeluarkan bau menyengat,
pada perlakuan tunggal konidia gejala kematian yaitu tubuh larva bengkak, bagian
ventral berwarna coklat dan mengeras, sedangkan pada perlakuan campuran
protoksin dan konidia terlihat bahwa pada larva yang mati bagian ventral
24
Tabel 5 Gejala perhari yang ditimbulkan protoksin B. thuringiensis, konidia Be. Bassiana, dan kombinasinya.
Hari ke Perlakuan
Protoksin Bt tunggal Konidia Bb tunggal Protoksin Bt dan Konidia Bb Kontrol akuades
1 Aktivitas makan dan bergerak
terlihat menurun.
Belum terlihat tanda sporulasi cendawan di permukaan tubuh larva, aktivitas larva masih aktif.
Aktivitas makan dan bergerak menurun. Sebagian larva menggulung.
Larva sangat aktif makan dan bergerak (gambar 10a).
2 Larva terlihat tidak bergerak
dan mencret.
Aktivitas bergerak terlihat menurun, tubuh bagian ventral berwarna cokat
Bagian ventral larva berwarna coklat. Aktivitas lambat.
Larva sangat aktif makan dan bergerak.
3 Larva mati. Tubuh mengeras,
menyusut dan mengering serta mengeluarkan bau menyengat (Gambar 10b).
Aktivitas makan tetap berkurang, sebagian larva mati, larva yang hidup berkembang ke instar 4.
Aktivitas semakin menurun. Bagian ventral berwarna coklat, bagian tengah berwarna hitam dan melembek. Larva yang mati mengeluarkan bau menyengat.
Larva aktif makan dan bergerak. Larva memasuki instar 4.
4 Larva yang masih hidup
memasuki instar 4.
Larva yang masih hidup memasuki instar 4. Aktivitas makan dan bergerak menurun.
Larva yang masih hidup memasuki instar 4. Aktivitas larva yang masih hidup menurun.
Larva menjadi instar 4. Larva aktif makan dan bergerak (Gambar 10c).
25
27
6
Larva memasuki instar 5. Aktivitasnya melambat.
Larva memasuki instar 5. Sebagian larva mati dan sebagian berhenti makan.
Larva memasuki instar 5.
Sebagian larva mati dan sebagian berhenti makan.
Larva masuk instar 5.
Aktivitas makan
berkurang (Gambar 10f).
7
Larva berhenti makan dan bersiap memasuki tahap pupa (Gambar 10g). Pupa terbentuk setelah sekitar 2 minggu dari instar 5 akhir (Gambar 10h). Ciri-ciri pupa yang gagal mencapai tahap imago yaitu warna hitam kusam, tidak minggu dari instar 5 akhir
(Gambar 10h). Ciri-ciri
Larva yang masih hidup, berhenti makan dan bersiap memasuki tahap pupa (Gambar 10g). Pupa
terbentuk setelah sekitar 2
minggu dari instar 5 akhir
(Gambar 10h). Ciri-ciri pupa
yang gagal mencapai tahap imago yaitu warna hitam kusam, tidak mengkilap, ringan dan berbau (Gambar 10i).
Aktivitas makan
berkurang. Lebih banyak berdiam dan memasuki tahap pupa (Gambar 10g). Pupa terbentuk setelah 2 minggu (gambar 10h) Larva aktif makan dan bergerak.
5
Larva instar 4 aktivitasnya melambat.
Aktivitas larva berkurang, gejala warna coklat di bagian ventral dan bagian tengah melembek dan menghitam (Gambar 10e).
26
27
a b c
d e f
g h i
Gambar 10 Perlakuan protoksin B. thuringiensis, konidia B. bassiana, dan
kombinasinya pada ulat grayak (S. litura). Keterangan: (a) larva S. litura
instar 3, (b) larva yang mati akibat protoksin, (c) larva instar 4 tanpa
perlakuan, (d) larva yang mati akibat B. bassiana, (e) larva yang mati
akibat kombinasi protoksin B. thuringiensis dan konidia B. bassiana, (f)
larva instar 5 tanpa perlakuan, (g) larva memasuki tahap pupa, (h) pupa,
PEMBAHASAN
Siklus hidup spesies Bacillus terdiri atas dua tahap utama yaitu tahap
vegetatif dan tahap sporulasi.Tahap vegetatif ditandai dengan pertumbuhan sel
yang aktif sementara tahap sporulasi ditandai dengan pertumbuhan sel yang
melambat dan terbentuk endospora. Kedua tahapan ini meliputi perubahan
morfologi dan biokimia dalam sel (Rivera 1999).
Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang ditumbuhkan pada medium selektif menunjukkan jumlah sel tertinggi mulai umur kultur 16 jam dan mulai
turun pada umur kultur 36 jam. Waktu pertumbuhan ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang menjelaskan bahwa jumlah sel tertinggi mulai setelah 3 hari
masa inkubasi dengan menggunakan media NB (Wiwat et al. 2000).Perbedaan
waktu stasioner dan waktu pembentukan endospora B. thuringiensis diakibatkan
pada perbedaan nutrisi pada media yang digunakan. Media yang digunakan
mengandung garam-garam organik yang diperlukan untuk menstimulasi
pertumbuhan dan pembentukan endospora B. thuringiensis. Nutrisi minimal yang
diperlukan untuk pertumbuhan B. thuringiensis diantaranya garam-garam dasar
(KH2PO4, (NH4)2HPO4, MgSO4, CaCl2, MnSO4, FeSO4, dan ammonium
molibdata) (Rivera 1999). Menurut Yussof et al. (2003) penambahan (NH4)2SO4
sebagai sumber nitrogen anorganik pada medium mampu meningkatkan
persentase pembentukan spora B. thuringiensis subsp. aizawai. Keberadaan ion
amonium NH4+ dan beberapa ion sulfat SO42- ke dalam medium dilaporkan dapat
menstimulasi pembentukan endospora. Medium yang mengandung amonium
sulfat juga dilaporkan meningkatkan produksi biomassa dan endoprotoksin
dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya seperti pepton (Zuoari et al. 1990). Faktor lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan B. thuringiensis yaitu
oksigen terlarut, pH dan suhu.Scherrer et al. (1973) menjelaskan ukuran dan
kespesifikan inklusi parasporal dipengaruhi oleh suplai oksigen.Selanjutnya
Sikdar et al. (1993) menyatakan bahwa produksi delta-endotoksin bertambah dengan distribusi udara di dalam media.
Pengamatan mikroskop dengan mikroskop fase kontras dan pewarna
30
kristal protein. Berdasarkan kurva tumbuh yang diperoleh waktu ini masih
merupakan fase stasioner dari pertumbuhan B. thuringiensis. Pada pengamatan ini
kristal protein hanya terlihat sebagai bulatan dengan ukuran yang lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran endospora B. thuringiensis dan tidak bisa terlihat
bentuk morfologinya. Namun, dari penelitian Avisar et al. (2009) dapat diketahui
bahwa berdasarkan sekuens asam aminonya kristal protein yang dihasilkan B.
thuringiensis subsp. aizawai termasuk dalam kelas Cry1Ca. Secara umum protein Cry1 berbentuk bipiramid dan bersifat toksik terhadap serangga Lepidoptera
(Bobrowsky et al. 2002). Karakteristik lain dari Cry1 yaitu toksin berukuran 130
kDa dan ukuran protoksin yang aktif secara enzimatik yaitu 66 kDa (Koller et al.
1994). Protein Cry1C mempunyai satu N terminal dengan tiga struktur domain
(disebut sebagai protoksin aktif) dan terminal C yang bertanggung jawab pada
pembentukan struktur kristal parasporal selama sporulasi (Maagd et al. 2001). Pengukuran protoksin memperlihatkan peningkatan konsentrasi pada umur
kultur 48 jam yang diperoleh dari pengukuran absorbansi protein. Peningkatan
terus menerus ini diasumsikan akibat protein lain selain protein Cry yang
disekresikan oleh Bacillus thuringiensis juga ikut terukur pada panjang
gelombang 595 nm dengan menggunakan reagen Commasie Briliant BlueG-250
(Bradford 1976). Namun pada jam ke-32 terlihat produksi protoksin menurun. Hal
ini mungkin disebabkan karena B. thuringiensis juga memproduksi enzim
protease alkalin.Vu et al. (2009) menyebutkan bahwa Bacillus thuringiensis
memproduksi protease alkalin dan produksi protease tersebut meningkat setalah
24 jam. Produksi protease alkalin pada jam tersebut kemungkinan menyebabkan
protoksin yang dihasilkan menjadi terdegradasi.
Produksi protoksin mengacu pada metode Ma et al. (2008). Penambahan
bufer dengan pH alkali dimaksudkan untuk melarutkan kristal protein dengan
keadaan pH yang serupa dengan pH pencernaan serangga. Du et al. (1994)
menjelaskan bahwa kristal terlarut pada pH 9 -10 yang seperti keadaan pada
pencernaan serangga Lepidoptera dan nyamuk. Pada pH alkalin ikatan disulfida
yang mempertahankan ikatan kristal akan terlarut (Koller et al. 1994). Sebelum
31
toksin aktif jika terpecah menjadi polipeptida yang lebih pendek dengan ukuran
berkisar 27-149 kDa (Bahagiawati 2002).
Beras dipilih menjadi media perbanyakan Be. bassianadalam penelitian
ini berdasarkan hasil penelitian Nelson dan Glare (1996) yang menyebutkan
bahwa dari penggunaan tiga macam media perbanyakan yaitu beras, gandum dan
barley diperoleh hasil bahwa beras merupakan media yang paling sesuai untuk
perkembangan Be. bassianadengan produktivitas konidia mencapai 4,38 x109 konidia/g beras. Hasil produksi konidia yang didapatkan setelah masa inkubasi
selama dua minggu dengan berat media 180 g yaitu 3,6 x 108 konidia/ml. Hasyim
& Azwana (2005) menyebutkan Be. bassiana memerlukan karbohidrat sebagai
sumber karbon dalam pertumbuhannya dan mendorong pertumbuhan
vegetatifnya. Pada penelitian ini Be. bassiana diinkubasi pada suhu ruang dan
pada ruang gelap yang dimaksudkan untuk mendapatkan konidia yang lebih besar.
Penelitian terdahulu membuktikan bahwa Be. Bassiana yang diproduksi di
lingkungan tanpa cahaya konidianya cenderung berukuran lebih besar dibanding
yang diproduksi pada tempat terang (Humphreys et al. 1989).
Hasil uji protoksin terhadap konidia Be. Bassiana menunjukkan bahwa
protoksin berpengaruh pada jumlah koloni konidia Be. Bassiana yang tumbuh
pada media yang mengandung protoksin B. thuringiensis, namun protoksin tidak
berpengaruh pada jumlah konidia yang diproduksi dari koloni yang tumbuh
tersebut. Hasil ini dikuatkan dengan hasil yang diperoleh dari metode cakram
kertas. Pertumbuhan koloni Be. bassiana tidak dapat menutupi cawan setelah
masa inkubasi 15 hari. Tidak adanya pengaruh protoksin terhadap jumlah konidia
diakibatkan protoksin yang ada telah ternetralisir sehingga Be. Bassiana masih
dapat menghasilkan konidia yang baik seperti pada kontrol.
Hasil uji antagonis sel B. thuringiensis dengan koloni Be.
bassianamenujukkan koloni Be. bassianamampu melewati koloni dan menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Kemampuan Be. Bassiana dalam
menghambat pertumbuhan B. thuringiensis karena Be. Bassiana menghasilkan
senyawa metabolit sekunder yang bersifat antimikrob seperti beauverisin dan
bassianolida. Beauverisin telah dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan
32
haemolyticus, Escherichia coli, dan Mycobacterium tuberculosis (Wang & Xu 2012). Juan et al. (2005) melaporkan bahwa bassianolona yang dihasilkan Be.
bassiana mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif seperti B. megaterium dan Staphylococcus aureus, bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli dan Pseudomonass aeruginosa, serta mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans.
Hasil pengujian pada Spodoptera litura instar tiga menunjukkan adanya
pengaruh protoksin yang mengakibatkan kematian pada ulat. Pada jam ke-24
setelah aplikasi protoksin dengan cara penyemprotan pada pakan terjadi
penurunan aktivitas makan dan bergerak kemudian menyebabkan kematian pada
jam ke-48. Penurunan aktivitas ini karenaprotoksin yang masuk ke dalam usus
tengah serangga berinteraksi dengan sel-sel epitel usus tengah, menyebabkan
terbentuk pori di sel membran saluran pencernaan dan mengganggu
keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah (Bahagiawati
2002). Chilcot et al. (1990) melaporkan bahwa infeksi protoksin pada
ultrastruktur sel usus tengah serangga menyebabkan kerusakan setelah satu jam.
Hal ini diikuti dengan pembengkakan organel epitel. Jaringan usus tengah
serangga juga terganggu yang ditunjukkan dengan pembengkakan dan pemisahan
jaringan. Enam jam setelah perlakuan dinding sel akan rusak dan membran
peritrofik pecah. Kerusakan pada usus tengah serangga ini akan diikuti oleh
berhentinya kemampuan makan serangga tersebut.
Protein Cry terlepas dari kristal dan terinsersi pada membran dan
menyebabkan lisis sel. Aktivasi protoksin melibatkan pelepasan proteolitik N
terminal dari protein. Protoksin yang aktif kemudian mengikat pada reseptor
CLPs (cadherin like proteindi tepi sel kolumnar sebelum masuk ke dalam
membran (Bravo et al. 2005). Interaksi protoksin dan CLPs ini mengubah
konformasi protoksin dan memfasilitasi pemecahan terminal N oleh protease yang
melekat pada membran usus serangga.Protoksin kemudian dioligomerisasi
menjadi struktur tetramer yang mengikat pada reseptor aminopeptidase N.
Aminopeptidase N dan alkalin fosfatase kemudian membawa struktur tetramer ini
menuju ikatan lipid pada membran tempat terjadinya insersi dan menyebabkan
33
dideteksi terdapat pada tepi membran usus S. litura, S. exigua, S. frugiperda dan
M. sexta.
Gambar 11 Proses infeksi protoksin Cry pada membran usus serangga
(Soberon & Bravo 2008).
Toksisitas B. thuringiensis subsp. aizawai sebelumnya telah dilaporkan oleh Bohorova et al. (1997) pada S. cosmoides. Toksisitas B. thuringiensis subsp.
aizawai pada S. frugiperda lebih rendah dibandingkan dengan B. thuringiensis subsp kurstaki.Toksisitas ini dipengaruhi oleh tipe protein Cry yang dimiliki oleh
kedua galur. Protein Cry B. thuringiensis subsp. aizawai bertipe Cry1Ca
sedangkan B. thuringiensis subsp kurstaki Cry1Ac. Namun Avisar et al (2009) menuliskan bahwa Cry1Ca bersifat toksik dengan terhadap Spodoptera spp,
Harmigera virescens, Mamestra configurata,Phthorimaea operculella, Pectinophora gossypiella dan Plutella xylostella yang tidak mampu dikontrol dengan baik oleh Cry1A. Bianchi et al (2009) menambahkan bahwa efektivitas
protoksin sangat bergantung pada kelarutan badan inklusi, proses proteolisis serta
afinitas reseptor. Proses toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga tergantung
dua faktor yaitu kespesifikan bakteri serta kepekaan serangga yang terinfeksi. Tidak semua ulat yang dipakai dalam setiap perlakuan mati dan terus
berkembang ke instar selanjutnya sampai mencapai tahap pupa, namun pupa yang
terbentuk tidak berhasil menjadi imago. Resistensi beberapa ulat ini pada
protoksin dipengaruhi beberapa faktor. Gangguan interaksi antara toksin Cry1
dan reseptor usus serangga merupakan mekanisme yang umum terjadi pada
resistensi toksin terhadap serangga Lepidoptera (Ibiza-Palacios et al. 2008).
34
reseptor epitel menyebabkan resistensi terhadap toksin B. thuringiensis. Rajagopal
et al. (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa resistensi pada S. litura disebabkan karena salah satu gen pada APN yaitu slapn tidak diekspresikan. Hal ini
menyebabkan afinitas pengikatan toksin Cry pada membran usus serangga
menurun lima kali lipat,sehingga kerentanan serangga berkurang dan
menyebabkan resistensi pada toksin Cry (Herrero et al. 2005).
Faktor yang lain dapat disebabkan perubahan fisiologi membran usus ulat
pada saat protoksin masuk melalui membran peritrofik dan saat terjadi pelekatan
toksin pada membran epitel sel usus tengah ulat (Li et al. 2004). Forcada et al.
(1996) menyebutkan bahwa enzim proteinase memproses protoksin menjadi
toksin lebih lama dan setelah toksin terbentuk terjadi degradasi yang cepat juga
mengakibatkan resistensi serangga pada toksin Cry. Resistensi yang ditemukan
pada S. exigua dan Leptinotarsa decemlineata diakibatkan oleh penurunan pengikatan toksinCry pada reseptor membran usus serangga tersebut (Moar et al.
1995, Loseva et al. 2005). Resistensi dapat disebabkan pula oleh perubahan
proteinase yang merupakan faktor penting untuk pelarutan dan aktivasi
proprotoksin (Forcada et al. 1996). Oppert et al. (1997) melaporkan resistensi
yang terjadi pada P. interpunctella pada B. thuringiensis subsp. entomocidus
disebabkan kekurangan proteinase yang terlibat pada aktivasi protoksin sedangkan
pada S. littoralis resistensi diakibatkan oleh peningkatan aktivitas spesifik enzim
proteinase yang menyebabkan peningkatan degradasi toksin aktif (Keller et al.
1996).
Pengamatan terhadap ulat yang mati dengan perlakuan konidia Be.
bassianamenunjukkan gejala warna berubah menjadi coklat di bagian ventral sebagai akibat aktivitas beauverisin, tubuh mengeras dan terdapat bercak
kehitaman pada tubuh ulat sebagai tempat penetrasi pertama dari konidia.
Kematian baru terjadi pada hari ke-5. Waktu kematian ini lebih lambat
dibandingkan dengan waktu kematian yang ditimbulkan oleh protoksin B.
35
Menurut Tanada dan Kaya (1993) waktu yang diperlukan konidia berkembang
dalam saluran pencernaan yaitu 72 jam.
Kematian diakibatkan karena kerusakan jaringan secara menyeluruh atau
protoksin yang diproduksi. Beberapa toksin yang dihasilkan oleh Be.
bassianayaitubeauverisin, beauverolit, bassianolit, isorolit, dan asam oksalit. Toksin tersebut menyebabkan serangga kehilangan kesadaran setelah invasi pada
sistem hemolimfa (Technical Bulletin 2007).
Pada pengamatan ini tidak terlihat tubuh ulat yang ditutupi miselium
putih.Menurut Soetopo & Indrayani (2007) serangga yang mati tidak selalu
disertai dengan gejala pertumbuhan spora. Jika keadaan lingkungan tidak
mendukung, spora tidak tumbuh ke luar tubuh serangga tetapi hanya akan
berkecambah di dalam tubuh serangga dan menghasilkan toksin. Keadaan
lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan spora diantaranya suhu yang
tinggi serta cahaya matahari yang menginaktifkan spora (Mwamburi et al. 2009). Hasil aplikasi menunjukkan tidak semua ulat mengalami kematian. Faktor
yang mempengaruhi ketahanan larva antara lain: umur (instar), semakin
bertambahnya umur (instar) maka semakin sulit bagi cendawan melakukan infeksi
karena struktur jaringan. Selain perubahan instar terdapat faktor-faktor lain yang
berpengaruh terhadap ketahanan larva yaitu faktor genetik, dan perilaku
(Surtikanti & Yasin 2009).
Asal dan jenis isolat juga mempengaruhi keefektifan Be. bassiana Faktor
lain yang dapat mempengaruhi keefektifan cendawan ialah kerapatan spora,
kualitas media tumbuh cendawan, jenis hama yang dikendalikan, umur stadia
hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan lingkungan yang meliputi sinar ultra
violet, curah hujan, kelembaban, dan suhu (Surtikanti & Yasin 2009).
Jumlah larva yang mati pada perlakuan campuranprotoksinB. thuringiensis
dan konidia Be. Bassiana yang ditunjukkan pada Tabel 4 lebih banyak dibanding
perlakuan lain namun perlakuan protoksin tunggal memberikan waktu kematian
yang lebih cepat. Jumlah kematian yang tinggi ini diduga karena kerja kombinasi
protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. bassiana. Kerja kombinasi antara protoksin B. thuringiensis dan konidia Be. Bassiana dapat dilihat dari gejala yang