PROVINSI PAPUA BARAT
TREES AUGUSTINE PATTIASINA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenarnya-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
tesis saya yang berjudul :
ANALISIS INVESTASI PENGEMBANGAN NIPAH (
Nypa fruticans
)
DALAM MENDUKUNG DESA MANDIRI ENERGI
DI KABUPATEN TELUK BINTUNI
PROVINSI PAPUA BARAT
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2011
PROVINSI PAPUA BARAT
TREES AUGUSTINE PATTIASINA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Trees Augustine Pattiasina
Nomor Pokok : H353080021
Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si.
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A.
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat kasih dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan baik.
Tesis ini membahas tentang analisis investasi pengembangan nipah dalam
mendukung desa mandiri energi di Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua
Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S.
dan Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan
yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku koordinator Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dalam
proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian.
2. Dr. Ir. Henny K. Daryanto, M.Ec. selaku Penguji Luar Komisi dan
Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. sebagai Penguji yang mewakili Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah
memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.
3. Bapak Abetan sebagai ketua kelompok usaha penyadap nipah dan para
penyadap nipah atas semua informasi yang diberikan, waktu dan tenaga untuk
mengenai rencana pengembangan bioetanol di Kabupaten Teluk Bintuni, staf
Dinas Kehutanan, Bapeda, dan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten
Teluk Bintuni atas semua bantuannya. Saudara Teo atas kesediaannya
menjadi enumerator penulis, dan semua pihak yang selama ini telah
memberikan masukan bagi penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Kedua orangtua di Manokwari dan Jayapura, suami “Novie F. Rantung”, serta
seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, kesabaran dan dukungan
selama penulis menempuh pendidikan.
Teman-teman Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian angkatan 2008, Ida, Kani,
Mbak Corry, Mbak Nurul, Mbak Retno, Liston, Mas Gonang, Andrew, dan Tatho,
terima kasih buat semua kebersamaan dan dukungannya selama proses belajar di
IPB. Buat seluruh staf mayor EPN, Mbak Ruby, Mbak Yani, Mbak Angga, Ibu
Kokom, dan Pak Husein, terima kasih buat semua bantuan terutama untuk
pengurusan administrasi selama penulis menempuh pendidikan.
Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai
pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak
yang membutuhkannya.
Bogor, Maret 2011
Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 5 Agustus 1981 dari Ayah
Ir. Jopie W. Pattiasina, MS dan Ibu Dewi Nandjar. Penulis merupakan putri
ketiga dari empat bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Manokwari dan pada tahun
yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Cenderawasih
(UNCEN) yang sejak tahun 2001 berubah menjadi Universitas Negeri Papua
(UNIPA), Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian dengan mengambil minat Agribisnis. Selama mengikuti perkuliahan,
penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi di Jurusan Sosek dan juga aktif
sebagai anggota paduan suara Universitas Negeri Papua. Penulis menyelesaikan
studi di UNIPA pada Januari 2004 dan selama satu tahun penulis menjadi asisten
kegiatan praktikum matakuliah Tataniaga Pertanian.
Tahun 2005 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di Lingkungan
Universitas Negeri Papua pada Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian,
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Selama 3 tahun bekerja, penulis juga
mengikuti kegiatan-kegiatan penelitian baik yang didanai secara pribadi maupun
kerjasama Pemerintah Daerah dan perusahaan.
Tahun 2008 penulis mendaftar untuk mengikuti pendidikan jenjang
Strata 2 (Magister) di Institut Pertanian Bogor, dan diterima pada Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian (EPN) dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS).
Selama mengikui pendidikan, penulis juga tergabung dalam paduan suara ”Gita
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
TREES AUGUSTINE PATTIASINA. Investment Analysis of Nipa Palm (Nypa
fruticans) Development in Supporting Rural Energy Self-reliance in Bintuni Bay
District West Papua Province (RITA NURMALINA as a Chairman and ANNA FARIYANTI as a Member of the Advisory Committee).
Nipa palm is one plant that can be used to produce bioethanol. Nipa palm development investment planning needs to be done well because of the complexity of investment issues in the Bintuni Bay, such as the high cost of investment. The aims of this study were to (1) analyze the feasibility of non-financial development of nipa palm, (2) analyze the non-financial and economic feasibility development of nipa palm from farming subsystem to processing industry subsystem in supporting self-reliance in rural energy in Bintuni Bay, (3) analyze the best alternative in various scenarios of nipa palm development, and (4) analyze the impact changes in output price, input, and labor on investment feasibility development of nipa palm. Cost Benefit Analysis was performed to calculate the financial and economic feasibility. Results showed that (1) nipa palm development in supporting rural energy self-reliance is feasible based on non-financial aspects, (2) nipa palm development of farming subsystem to processing industry subsystem is feasible based on financial and economic analysis, except for bioethanol plant with a capacity of 100 liters per day at 13% discount rate, (3) according to analysis of various scenarios, all alternatives are feasible and the best alternative is tapping nipa palm and plant bioethanol 1,000 liters per day, and (4) sensitivity analysis showed that bioethanol price increase is more sensitive to changes in feasibility levels.
TREES AUGUSTINE PATTIASINA. Analisis Investasi Pengembangan Nipah nabati dalam bentuk bioetanol. Program ini dilakukan untuk mengantisipasi kelangkaan bahan bakar minyak yang pernah terjadi dan akan terjadi bila bahan bakar minyak berbasis fosil terus di ekspoitasi. Selain itu pengembangan bioetanol diharapkan dapat menjadikan Teluk Bintuni sebagai kabupaten mandiri energi. Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai penghasil bioetanol sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang tersedia di Teluk Bintuni adalah nipah. Untuk mewujudkan program tersebut, pemerintah bekerjasama dengan pihak ketiga, yaitu PT. Rizki Anugerah Putera untuk membangun pabrik bioetanol dan berupaya mengembangkan tanaman nipah dalam bentuk perkebunan. Namun, yang menjadi kendala dalam investasi di bidang energi di Teluk Bintuni adalah biaya investasi yang besar. Untuk itu perencanaan investasi pengembangan nipah perlu dilakukan dengan baik mulai dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan. Penelitian mengenai analisis investasi pengembangan nipah perlu dilakukan.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis kelayakan non finansial pengembangan nipah, (2) menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni, (3) menganalisis alternatif pengembangan nipah dari berbagai skenario, dan (4) menganalisis dampak perubahan harga output, harga input, dan upah tenaga kerja terhadap kelayakan investasi pengembangan nipah di Teluk Bintuni. Penelitian ini dilakukan di Distrik Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni yang merupakan daerah yang menjadi prioritas program desa mandiri energi dan memiliki luasan nipah terbesar. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang akan digunakan untuk analisis berbagai aspek non finansial, dan analisis finansial dan ekonomi. Data di peroleh dari penyadap nipah, pihak Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah, Dinas Pertanian, Bapeda, jurnal, tesis, skripsi, dan browsing internet. Analisis deskriptif digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama dan ketiga, untuk tujuan kedua menggunakan kriteria investasi analisis manfaat biaya, dan analisis sensitivitas untuk tujuan keempat.
dari segi budaya menunjukkan investasi pengembangan nipah layak dilakukan karena tradisi memproduksi nipah sudah dilakukan sejak lama, dan adanya persetujuan pembayaran kompensasi. Aspek lingkungan membawa pengaruh yang positif terhadap lingkungan. Pengembangan nipah diharapkan menjadi penyangga ekosistem bagi biota disekitarnya, dan limbah bioetanol dapat dijadikan pupuk. Aspek pola kemitraan menggambarkan hubungan kemitraan yang baik antara pemerintah, penyadap, dan perusahaan dari segi permodalan dan pemasaran.
Berdasarkan analisis finansial dan ekonomi, pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan layak dilakukan, kecuali pabrik bioetanol dengan kapasitas 100 liter per hari pada tingkat discount rate 13 persen. Berdasarkan analisis finansial dan ekonomi berbagai alternatif skenario yang dilakukan, semua alternatif memberikan hasil layak dan alternatif paling baik dilakukan adalah penyadapan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari (skenario 1). Namun dalam mendukung desa mandiri energi maka perlu dipertimbangkan pengembangan produksi nipah (skenario 5 dan 6) untuk menjaga kontinuitas bahan baku. Hasil perbandingan nilai finansial dan ekonomi menunjukkan nilai ekonomi lebih besar dari nilai finansial. Hal ini berarti investasi pengembangan nipah di Teluk Bintuni lebih memberikan manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan dibanding pengusaha atau pengelola kegiatan (proyek). Berdasarkan analisis sensitivitas yang dilakukan, kebijakan peningkatan harga jual bioetanol memberikan tambahan manfaat yang paling besar untuk nilai finansial dan ekonomi. Tingkat perubahan lainnya menunjukkan dampak kebijakan pemerintah akan memberikan tambahan manfaat terhadap berbagai skenario, dan ada juga yang mengurangi manfaat yang diperoleh bahkan tidak berdampak positif.
Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa nipah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol. Teluk Bintuni sebagai Kabupaten baru juga berpeluang untuk dijadikan daerah dengan kemandirian energi sesuai dengan sumberdaya alam yang dimiliki.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr. Ir. Henny K. Daryanto, M.Ec.
(Dosen Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang :
Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S.
(Dosen Departemen Ilmu Ekonomi,
Halaman
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Kegunaan Penelitian ... 12
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15
2.1. Latar Belakang Bahan Bakar Nabati ... 15
2.2. Pemanfaatan Nipah Sebagai Sumber Energi Alternatif ... 19
2.3. Tinjauan Studi Terdahulu ... 20
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 27
3.1. Konsep Dasar Analisis Manfaat Biaya Untuk Proyek Pertanian . 27 3.2. Kelayakan Aspek-aspek Non Finansial ... 29
3.3. Kelayakan Finansial dan Ekonomi ... 37
3.4. Kerangka Pemikiran Operasional ... 49
IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 53
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitisn ... 53
4.2. Sumber dan Jenis Data ... 53
4.3. Metode Penentuan Sampel ... 54
4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 54
4.4.1. Analisis Aspek-aspek Non Finansial ... 55
xiv
4.4.3. Analisis Ekonomi ... 59
4.4.4. Analisis Sensitivitas ... 64
V. KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN DAN RESPONDEN 67 5.1. Karakteristik Alam Kabupaten Teluk Bintuni ... 67
5.2. Sistem Pertanian dan Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam ... 71
5.3. Kependudukan ... 72
5.4. Tinjauan Ekonomi Kabupaten Teluk Bintuni ... 73
5.5. Karakteristik Rumahtangga Responden Penyadap Nipah ... 74
5.6. Mata Pencaharian Utama Responden Penyadap Nipah ... 75
5.7. Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden Penyadap Nipah ... 76
5.8. Karakteristik Kelompok Usaha dan Perusahaan ... 78 Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan... 113
6.2.1. Arus Manfaat Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan ... 116
6.2.2. Arus Biaya Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan ... 125
6.2.3. Kriteria Kelayakan Finansial Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan ... 145
6.3. Analisis Ekonomi ... 154
6.3.1. Arus Manfaat Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan ... 155
6.3.2. Arus Biaya Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan ... 157
xv
6.3.3. Kriteria Kelayakan Ekonomi Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem
Industri Pengolahan ... 164
6.4. Perbandingan Analisis Finansial dan Ekonomi dan Pembahasan Analisis Alternatif Terbaik dari Berbagai Skenario ... 169
6.5. Arah Pengembangan Nipah dalam Mendukung Desa Mandiri Energi di Kabupaten Teluk Bintuni ... 174
6.6. Analisis Sensitivitas ... 177
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 183
7.1. Kesimpulan ... 183
7.2. Implikasi Kebijakan ... 184
7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 185
DAFTAR PUSTAKA ... 187
xvi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut
Lapangan Usaha Tahun 2004-2008 ... 1
2. Konsumsi Energi Berdasarkan Sektor Tahun 2004 – 2008 ... 3
3. Potensi Perolehan Bioetanol dari Aneka Bahan Mentah yang Mungkin Dimanfaatkan di Papua ... 5
4. Tumbuh-Tumbuhan Minyak Untuk Pembuatan Biodiesel di Papua ... 6
5. Perbedaan Analisis Finansial dan Ekonomi ... 38
6. Penilaian Variabel Aspek-aspek Non Finansial ... 55
7. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir Oleh Masyarakat Pesisir Kawasan Teluk Bintuni ... 72
8. Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004 – 2008 ... 74
9. Karakteristik Rumahtangga Responden Penyadap Nipah di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2010 ... 74
10. Mata Pencaharian Utama Responden Penyadap Nipah di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2010 ... 75
11. Rata-Rata Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden Penyadap Nipah di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2010 ... 77
12. Perkiraan Produksi Bioetanol Dunia di Beberapa Negara Produsen Tahun 2008 - 2012 ... 85
13. Total Arus Manfaat Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh ... 117
14. Biaya Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 4 Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh ... 126
15. Biaya Tetap Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 5 Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh ... 132
xvii
hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 4
Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh ... 138
17. Kelayakan Finansial Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani
hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 6 ... 146
18. Biaya Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 4
Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh ... 157
19. Biaya Tetap Pengembangan Nipah dari SubsistemUsahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 5 Tahun
Pertama sampai Tahun Kedua puluh ... 160
20. Biaya Variabel Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 4
Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh ... 162
21. Kelayakan Ekonomi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani
hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 6 ... 165
22. Perbandingan Nilai Finansial dan Ekonomi Pengembangan Nipah
dalam Mendukung Desa Mandiri Energi di Kabupaten Teluk Bintuni .. 170
23. Indikator Kelayakan Finansial Pengembangan Nipah Berdasarkan
Analisis Sensitivitas di Teluk Bintuni ... 179
24. Indikator Kelayakan Ekonomi Pengembangan Nipah Berdasarkan
Analisis Sensitivitas di Teluk Bintuni ... 180
xviii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Hubungan Antara NPV dan IRR ... 49
2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 51
3. Saluran Pemasaran Bioetanol di Kabupaten Teluk Bintuni ... 88
4. Perlakuan Prasadap Nira Nipah Oleh Penyadap Nipah ... 98
5. Proses Pembuatan Bioetanol ... 101
xix
2. Biaya Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Finansial Skenario 1 sampai 4 ... 198
3. Biaya Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Finansial Skenario 5 dan 6 ... 200
4. Biaya Tetap Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Finansial Skenario 1 sampai 5 Tahun 1 - 20 ... 207
5. Biaya Tetap Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Finansial Skenario 6 Tahun 1 - 20 ... 209
6. Biaya Variabel Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Finansial Skenario 1 sampai 4 Tahun 1 - 20 ... 210
7. Biaya Variabel Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Finansial Skenario 5 dan 6 Tahun 1 - 20 ... 212
8. Cashflow Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis
Finansial Tahun 1 - 20... 215
9. Cashflow Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis
Finansial Tahun 1 - 20... 219
10. Cashflow Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari di
Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis Finansial Tahun 1 - 20 ... 223
11. Cashflow Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis Finansial Tahun 1 - 20 ... 227
xx
Teluk Bintuni Untuk Analisis Finansial Tahun 1 - 20 ... 231
13. Cashflow Pengembangan Perkebunan Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Finansial Tahun 1 - 20 ... 235
14. Biaya Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni
Untuk Analisis Ekonomi Skenario 1 sampai 4 ... 243
15. Biaya Tetap Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni
Untuk Analisis Ekonomi Skenario 1 sampai 5 Tahun 1 - 20 ... 245
16. Biaya Variabel Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni
Untuk Analisis Ekonomi Skenario 1 sampai 4 Tahun 1 - 20 ... 246
17. Cashflow Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis
Ekonomi Tahun 1 - 20 ... 247
18. Cashflow Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis
Ekonomi Tahun 1 - 20 ... 251
19. Cashflow Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari di
di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis Ekonomi Tahun 1 - 20 .... 255
20. Cashflow Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk Analisis Ekonomi Tahun 1 - 20 ... 259
21. Cashflow Pengembangan Perkebunan Nipah 23 Hektar di Kabupaten
Teluk Bintuni Untuk Analisis Ekonomi Tahun 1 - 20 ... 263
22. Cashflow Pengembangan Perkebunan Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari di Kabupaten Teluk Bintuni Untuk
Analisis Ekonomi Tahun 1 - 20 ... 267
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian memiliki peran penting dalam perekonomian nasional
melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,
penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyedia
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain kontribusi
langsung, sektor pertanian juga memiliki kontribusi yang tidak langsung berupa
efek pengganda (multiplier effect), yaitu keterkaitan input-output antar industri,
konsumsi dan investasi. Dampak pengganda tersebut relatif besar sehingga sektor
pertanian layak dijadikan sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi
nasional (Departemen Pertanian, 2006). Perkembangan Produk Domestik Bruto
(PDB) antar sektor perekonomian menurut lapangan usaha di Indonesia tahun
2004 - 2008 dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa sektor pertanian masih
memberikan kontribusi yang cukup besar (14.22 persen) terhadap Produk
Domestik Bruto di Indonesia. Hal ini berarti, sampai saat ini sektor pertanian
masih memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan kemampuan
subsektor mana yang dapat dikembangkan di masing-masing provinsi di
Indonesia. Pengembangan potensi sektor pertanian bukan hanya dari fungsinya
sebagai penghasil bahan pangan dan bahan baku industri, tetapi juga potensi
sektor pertanian sebagai penghasil energi.
Potensi sektor pertanian sebagai penghasil energi mulai dikembangkan di
berbagai daerah di Indonesia melalui komoditi-komoditi tertentu. Hal ini
dilakukan karena secara nasional, konsumsi bahan bakar minyak masih
didominasi oleh bahan bakar minyak berbasis fosil, yaitu solar, premium, dan
minyak tanah. Kebutuhan akan bahan bakar minyak berbasis fosil ini dari waktu
ke waktu terus mengalami peningkatan sejalan dengan pembangunan yang terjadi
di Indonesia. Kebutuhan yang demikian besar ini terbentur dengan akses
masyarakat terhadap perolehan energi yang masih terbatas. Bukan saja karena
kemampuan atau daya beli konsumen yang rendah, tetapi juga karena belum
semua potensi sumber daya energi itu dimanfaatkan secara optimal. Hal inilah
yang menjadi salah satu alasan pemerintah untuk memberikan subsidi bahan bakar
minyak kepada rakyat. Konsumsi berbagai jenis bahan bakar minyak tahun
2001 – 2005 dapat dilihat pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat penggunaan bahan bakar minyak setiap
tahun mengalami peningkatan terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
Akibatnya minyak mentah akan terus dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan
berbagai sektor tersebut. Hal ini menyebabkan semakin lama cadangan minyak
mentah tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus
meningkat akibat semakin langka (menipis) cadangan minyak mentah tersebut
ditambah harga yang tidak stabil dan cederung terus meningkat. Untuk itu,
pemerintah berupaya untuk mengatasi masalah kemungkinan terjadinya kesulitan
energi di masa mendatang dengan menggalakan penggunaan Bahan Bakar Nabati
(BBN) yang bersumber dari tumbuhan sebagai subtitusi bahan bakar minyak fosil
yang selama ini digunakan (Tim Nasional Pengembangan BBN, 2008).
Tabel 2. Konsumsi Energi Berdasarkan Sektor Tahun 2004 - 2008 (Ribu Kiloliter)
Jenis BBM Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
Industri 216 377 218 766 233 511 258 567 316 452
Rumah Tangga 90 689 89 065 84 529 87 716 84 788
Komersial 23 989 24 819 24 786 26 494 26 589
Transportasi 178 374 178 425 170 127 179 135 191 257
Lainnya 31 689 29 102 25 936 24 912 24 842
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, 2009
Upaya untuk mendukung pengembangan bioenergi di dalam negeri telah
dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5
Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional yang antara lain menetapkan
sasaran penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) lebih dari 5 persen terhadap
konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Sasaran kebijakan nasional ini akan
dicapai melalui kebijakan utama dan kebijakan pendukungnya. Kebijakan utama
dari peraturan presiden tersebut adalah (1) penyediaan energi melalui penjaminan
ketersediaan pasokan energi, optimalisasi produksi dan pelaksanaan konversi
energi, (2) pemanfaatan energi melalui efisiensi dan diversifikasi, (3) penetapan
lingkungan. Sedangkan kebijakan pendukungnya adalah melalui pengembangan
infrastruktur energi, kemitraan antara pemerintah dan dunia usaha, pemberdayaan
masyarakat, penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan
(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009).
Kebijakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati
tersebut diikuti dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tanggal
25 Januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel)
sebagai bahan bakar lain. Oleh karena itu, eksplorasi dan eksploitasi terhadap
sumber-sumber alternatif saat ini menjadi sebuah kebutuhan. Pada saat ini,
melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, pemerintah sedang gencar
memasyarakatkan penggunaan biofuel untuk penghematan energi dan
penyelamatan lingkungan di seluruh provinsi di Indonesia (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 2009). Berbagai bahan baku yang dapat dijadikan
sebagai sumber energi alternatif diantaranya kelapa sawit, tebu, ubi kayu, jarak
pagar, sagu dan nipah yang fungsinya sebagai penghasil biodiesel dan bioetanol.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2007
mengamanatkan agar dilakukan usaha percepatan pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat yang meliputi berbagai aspek pembangunan (infrastruktur,
diversifikasi pangan lokal, pengembangan bioenergi, kelembagaan pertanian,
sumberdaya lahan, sumberdaya manusia, investasi swasta, agroindustri, dan
pemasaran hasil pertanian (Supriadi, 2008). Desakan dari pasar internasional dan
domestik untuk mencari alternatif bahan bakar selain minyak dan gas bumi yang
tidak dapat diperbaharui memerlukan analisis kelayakan sosial ekonomi
dampaknya terhadap ketahanan pangan setempat. Untuk mendukung instruksi
presiden tersebut, maka di Provinsi Papua Barat telah dicanangkan pengembangan
bahan bakar nabati bagi kabupaten-kabupaten pemekaran untuk memenuhi
kebutuhan bahan bakar minyak di daerah. Hal ini dilakukan karena Provinsi
Papua Barat termasuk wilayah yang menjadi prioritas pengembangan program
Desa Mandiri Energi (DME) yang menjadi binaan Kementerian Pembangunan
Desa Tertinggal dan Kementerian Pertanian sesuai dengan Keputusan Presiden
Nomor 10 Tahun 2006. Program ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan
masyarakat desa terhadap bahan bakar minyak, terutama minyak tanah untuk
keperluan sehari-hari.
Berbagai jenis tanaman yang ada di Papua dan dapat digunakan sebagai
bahan bakar nabati, khususnya bioetanol dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Potensi Perolehan Bioetanol dari Aneka Bahan Mentah yang
Tabel 3 menunjukkan berbagai potensi tumbuhan yang dapat
menghasilkan bioetanol, dimana pada umumnya tumbuhan tersebut mengandung
pati atau nira sebagai sumber bahan baku utama pembuatan bioetanol.
Sementara berbagai jenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk menghasilkan
biodiesel dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan berbagai jenis
dimana karakteristik yang umum dari bahan-bahan mentah ini adalah semuanya
mengandung lemak atau minyak-lemak. Berdasarkan potensi yang dimiliki, maka
pemerintah Provinsi Papua berupaya mengembangkan komoditi tersebut melalui
investasi bahan bakar nabati dalam rangka pemanfaatan berkelanjutan lahan-lahan
Kabupaten Teluk Bintuni adalah salah satu kabupaten pemekaran di
Provinsi Papua Barat yang merencanakan untuk mengembangkan dan
memproduksi bahan bakar nabati dalam bentuk bioetanol. Hal ini dilakukan
karena di Kabupaten Teluk Bintuni juga dicanangkan program desa mandiri
energi sejak tahun 2008, yaitu wilayah pembangunan pedesaan untuk
menciptakan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan produksi sendiri
kebutuhan energinya maupun peluang pengembangan kapasitas produksinya
(Tim Nasional Pengembangan BBN, 2008). Dengan adanya program tersebut
diharapkan dapat menjadikan Teluk Bintuni sebagai kabupaten mandiri energi dan
diperlukan investasi yang dapat mendukung pengembangan bahan bakar nabati di
Kabupaten Teluk Bintuni1. Desa mandiri energi bisa direalisasikan dengan cara
memanfaatkan sumberdaya lokal yang dimiliki. Dengan demikian, wilayah yang
infrastrukturnya kurang memadai, terisolir, terpencil atau desa tertinggal bisa tetap
memproduksi kebutuhan energinya sendiri.
Bahan baku yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati sesuai
dengan potensi yang dimiliki Kabupaten Teluk Bintuni adalah nipah. Nipah
menjadi pilihan untuk dikembangkan menjadi bioetanol karena secara umum
nipah memiliki kandungan gula antara 15 - 17 persen (Ambarjaya, 2007). Dengan
kandungan itu, maka nipah berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku
bioetanol. Khusus untuk Papua, selama ini nipah kurang dimanfaatkan oleh
penduduk setempat, kecuali sebagai minuman keras. Melihat peluang ini, maka
pihak Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM berupaya
mengubah pola hidup mereka dengan membuat bioetanol. Pengembangan
bioetanol di Teluk Bintuni didukung oleh Bupati, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dan Gubernur Papua Barat dengan memberikan rekomendasi
untuk pelaksanaan kegiatan pengembangan bioetanol dari nipah pada tahun 2006.
Vegetasi nipah di Kabupaten Teluk Bintuni seperti pada vegetasi nipah di
daerah lain merupakan komunitas yang membatasi zona peralihan pasang surut
dan air tawar dengan air asin di sekitar hutan mangrove dan zona daratan banjir
pinggiran sungai. Penyebaran vegetasi ini tidak merata dan tumbuh berkelompok.
Luas hutan nipah terbesar dijumpai di Distrik Bintuni2, tepatnya antara
1 Wawancara dengan pihak Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Teluk
Bintuni
2 Belum tersedia data inventarisasi luasan hutan nipah di Provinsi Papua Barat dan Kabupaten
Sungai Irritowi dan Sungai Waisan, tetapi penyebaran vegetasi nipah, yaitu
di kawasan Bintuni, Arandai, dan Idoor (Tim UNCEN, 2006). Pada umumnya,
nipah digunakan oleh penduduk asli di kawasan Cagar Teluk Bintuni, yaitu
masyarakat Suku Sough, dan Kuri antara lain sebagai bahan makanan atau
minuman, bahan bangunan seperti untuk atap dan dinding rumah, obat-obatan,
energi, perkakas, dan perlengkapan perahu tradisional serta kerajinan
(Sihite et al., 2005) sehingga masih berpeluang untuk dikembangkan baik
budidaya atau dalam skala industri.
Salah satu permasalahan dalam kegiatan budidaya adalah terbatasnya
sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dalam melakukan pengawasan,
evaluasi, dan sistem pelaporan dari setiap kegiatan budidaya atau ekonomi
masyarakat dalam pemanfaatan lahan. Sementara, kendala utama pembangunan
pertanian Papua Barat termasuk kabupaten-kabupaten didalamnya adalah masih
kecilnya investasi pembangunan, lemahnya kapabilitas dan ketersediaan
sumberdaya manusia, terbatasnya infrastruktur untuk transportasi, pergudangan,
pelabuhan, dan jaringan irigasi, serta rendahnya tingkat adopsi teknologi pertanian
(Supriadi, 2008). Tidak ada jaminan keamanan bagi investor untuk berusaha,
kurang sinkronnya peraturan perundang-undangan berkenaan dengan investasi
antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, serta rendahnya kepastian
hukum berkaitan dengan hak guna lahan, membuat investor enggan untuk
menanamkan modalnya di Papua Barat. Kendala ini terangkum dalam
persoalan dan tantangan bagi investasi bahan bakar nabati di Papua, yaitu
kepemilikan lahan, kepemilikan sumberdaya, hak adat dan administrasi lahan, dan
Pengembangan nipah sebagai bahan baku bioetanol di Kabupaten Teluk
Bintuni perlu mendapat perhatian khusus sebelum dijalankan. Studi mengenai
kelayakan secara finansial, ekonomi, dan berbagai aspek yang mendukung
pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri
pengolahan perlu dilakukan karena ragamnya permasalahan yang dihadapi
pemerintah maupun investor. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai
analisis investasi pengembangan nipah (nypa fruticans) dalam mendukung desa
mandiri energi di Kabupaten Teluk Bintuni perlu dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah
Program pembangunan Desa Mandiri Energi (DME) di berbagai daerah
terus berjalan, dan diharapkan pada tahun 2010 target pengembangan desa
mandiri energi telah mencapai 1 000 desa. Provinsi Papua dan Papua Barat
adalah provinsi yang juga menjadi prioritas pengembangan desa mandiri energi
yang menjadi binaan Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pertanian (Tim Nasional
Pengembangan BBN, 2008).
Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu kabupaten yang ada di
Provinsi Papua Barat yang menjadi lokasi pengembangan desa mandiri energi
yang menghasilkan bioetanol dengan memanfaatkan bahan baku nipah.
Pembuatan bioetanol harus dilakukan karena masalah langka dan mahalnya bahan
bakar minyak di Teluk Bintuni. Bahan bakar minyak di Kabupaten Teluk Bintuni
dipasok dari pertamina Sorong yang jumlahnya disesuaikan dengan kuota yang
ditetapkan dan jumlahnya terbatas (belum ada data resmi dari instansi terkait).
pasokan yang diberi terbatas dan jangka waktu tiba di Kabupaten Teluk Bintuni
kurang lebih satu minggu, maka sering terjadi kelangkaan bahan bakar minyak
dan harga bahan bakar minyak tersebut menjadi lebih mahal. Saat ini, bahan
bakar jenis bensin dijual Rp 7 000 hingga Rp 10 000 per liter, sementara bahan
bakar jenis minyak tanah dijual Rp 6 000 hingga Rp 8 000 per liter.
Berdasarkan permasalahan ini, pemerintah daerah berupaya bekerjasama
melalui hubungan kemitraan dengan pihak ketiga (perusahaan), yaitu PT. Rizki
Anugerah Putera dengan Surat Perjanjian Kerja Nomor 815/777/Kontrak/V/2008
Tanggal 27 Mei 2008. Perjanijan (kontrak) kerja yang dilakukan antara
pemerintah dan perusahaan adalah untuk melakukan investasi dalam
pembangunan pabrik bioetanol yang akan dikelola oleh pihak perusahaan dan
pabrik bioetanol yang akan dikelola oleh kelompok usaha dimana anggotanya
merupakan para penyadap nipah. Dengan adanya kegiatan industri tersebut
diharapkan dapat menambah lapangan pekerjaan bagi penyadap nipah, artinya
bisa menambah pendapatan para penyadap nipah secara tetap setiap bulannya.
Selain pembangunan pabrik, hubungan kemitraan lainnya adalah
berupaya mengembangkan tanaman nipah dalam bentuk perkebunan dengan
penggunaan teknologi yang sesuai untuk budidaya nipah. Pengembangan
perkebunan nipah ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nira sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol pada perusahaan. Dengan demikian, bisa menambah
pengetahuan bagi penyadap tentang budidaya nipah karena selama ini para
penyadap nipah tidak pernah melakukan kegiatan budidaya yang intensif.
Saat ini, di Kabupaten Teluk Bintuni telah dibangun pabrik bioetanol
bioetanol dengan kadar alkohol (etanol) 96 – 98 persen (setara bensin), dan pabrik
bioetanol kapasitas 100 liter per hari yang dikelola oleh kelompok usaha yang
menghasilkan bioetanol dengan kadar alkohol (etanol) 60 – 70 persen (setara
minyak tanah). Bahan baku berupa nira nipah sebagai bahan utama pembuatan
bioetanol baik pada pabrik dengan kapasitas 1 000 liter per hari maupun 100 liter
per hari akan dipasok oleh penyadap nipah yang berperan sebagai anggota atau
bukan anggota kelompok usaha.
Persoalan dan tantangan yang bisa terjadi dalam investasi di Papua pada
umumnya dan terkait dengan pengembangan bahan bakar nabati adalah
keanekaragaman hayati dan biaya investasi yang besar. Untuk itu perencanaan
investasi pengembangan nipah perlu dilakukan dengan baik mulai dari subsistem
usahatani, yaitu produksi nipah (pengembangan budidaya nipah) hingga subsistem
industri pengolahan (pengolahan hasil yang dalam hal ini menjadi bioetanol)
melalui kelayakan finansial, ekonomi dan berbagai aspek yang mendukung
perencanaan pengembangan nipah. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan,
maka pertanyaan yang muncul adalah :
1. Apakah pengembangan nipah layak untuk dilakukan?
2. Alternatif investasi seperti apa yang dapat dikembangkan sebagai penunjang
program pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi?
3. Kebijakan apa yang harus dibuat untuk terus menunjang pengembangan nipah
dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan di Kabupaten
Teluk Bintuni?
sehingga dengan adanya investasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan
investasi pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi di
Kabupaten Teluk Bintuni, dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis kelayakan non finansial pengembangan nipah di Kabupaten
Teluk Bintuni.
2. Menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi pengembangan nipah dari
subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan di Kabupaten Teluk
Bintuni.
3. Menganalisis alternatif terbaik dalam pengembangan nipah dari berbagai
skenario.
4. Menganalisis dampak perubahan harga output, harga input, dan upah tenaga
tenaga kerja terhadap kelayakan investasi pengembangan nipah di Kabupaten
Teluk Bintuni.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi bagi:
1. Pihak-pihak pengambil kebijakan (pemerintah dan investor) tentang potensi
dan kelayakan investasi pengembangan nipah dalam mendukung desa
mandiri energi sehingga dapat merumuskan suatu kebijakan yang dapat
mensejahterakan masyarakat dan menambah pendapatan bagi daerah.
2. Bagi petani nipah memberikan informasi mengenai manfaat yang dapat
diperoleh (pendapatan) dari pengembangan tanaman nipah sebagai bahan
untuk menambah pengetahuan dan informasi bagi petani mengenai budidaya
nipah sesuai dengan teknologi yang tepat.
1.5. Ruang Lingkupdan Keterbatasan Penelitian
Lingkup dalam penelitian ini, yaitu pembahasan hanya dilakukan untuk
melihat kelayakan pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga
subsistem industri pengolahan secara finansial dan ekonomi dalam mendukung
desa mandiri energi. Analisis juga dilakukan terhadap aspek pasar dan
pemasaran, aspek teknis, aspek sosial, ekonomi, aspek budaya, aspek lingkungan,
dan aspek pola kemitraan yang diuraikan secara deskriptif, yaitu hanya terbatas
pada hubungan kemitraan permodalan dan pemasaran antara perusahaan,
penyadap, dan pemerintah. Selain itu dalam penelitian ini juga dilakukan
perhitungan untuk melihat sampai sejauh mana perubahan variabel-variabel
sensitif terhadap kelayakan pengembangan nipah melalui analisis sensitivitas.
Kelayakan secara finansial dan ekonomi pengembangan nipah akan dibuat
dalam enam skenario, yaitu (1) penyadapan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas
1 000 liter per hari (existing), (2) penyadapan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas
100 liter per hari (existing), (3) pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari
dengan kadar etanol 96 – 98 persen, (4) pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per
hari dengan kadar etanol 60 – 70 persen, (5) skenario pengembangan perkebunan
nipah 23 hektar, dan (6) skenario pengembangan perkebunan nipah dan pabrik
bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari. Enam skenario ditentukan berdasarkan
kondisi lapangan dan rencana pengembangan nipah di Kabupaten Teluk Bintuni.
Jadi penentuannya lebih kepada tahapan pengembangan nipah dari subsistem
yang saat ini terjadi di Teluk Bintuni, dimana industri pengolahan bioetanol
memanfaatkan bahan baku nipah yang berasal dari hutan nipah. Skenario 3 dan 4
dibuat untuk menilai kelayakan pembangunan pabrik bioetanol di Teluk Bintuni.
Sedangkan skenario 5 dan 6 adalah rencana pengembangan nipah mulai dari
subsistem usahatani (budidaya nipah) hingga subsistem industri pengolahan
(bioetanol). Keseluruhan indikator tersebut yang akan menjadi perumusan
alternatif kebijakan dalam pengembangan nipah di Kabupaten Teluk Bintuni.
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini secara keseluruhan masih
terdapat berbagai keterbatasan, yaitu :
1. Pada analisis kelayakan non finansial tidak ada pengukuran yang digunakan
untuk menentukan kelayakan apakah aspek tersebut layak atau tidak.
Penentuan kelayakan dilakukan berdasarkan pendekatan atau asumsi yang
dibuat. Hal ini karena keterbatasan data dan waktu penelitian yang dihadapi
oleh peneliti.
2. Keterbatasan data untuk mencari harga bayangan lahan di Papua dan upah
tenaga kerja per hari orang kerja, sehingga data tersebut banyak dilakukan
melalui pendekatan-pendekatan.
3. Data mengenai budidaya nipah seperti penggunaan pupuk karena sedikitnya
sumber pustaka yang diperoleh mengenai budidaya nipah baik buku, jurnal,
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Bahan Bakar Nabati (BBN)
Bahan Bakar Nabati (BBN) adalah bahan bakar bermutu tinggi yang
diproduksi dari bahan hayati, terutama bahan nabati (tumbuhan dan
bagian-bagiannya). Bahan bakar nabati yang paling tinggi nilai komersialnya adalah
bahan bakar nabati cair, yang mencakup biodiesel, bioetanol, blobutanol, dan
lain-lain. Biogas juga termasuk bahan bakar nabati dan dibuat dengan proses
pencernaan anaerobik, umumnya dari kotoran hewan. Tetapi, karena berwujud
gas, biogas hanya bermanfaat untuk penggunaan lokal (misalnya untuk bahan
bakar rumah tangga). Karena itu, pemerintah atau industri biasanya berfokus pada
produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati cair (Pemerintah Provinsi Papua,
2009).
Berdasarkan teknologi dan bahan mentahnya, bahan bakar nabati cair
dibagi dalam tiga kategori umum. Bahan bakar nabati generasi 1 dibuat dari
minyak-lemak, bahan berpati dan bahan bergula. Proses-proses untuk
memproduksi bahan bakar nabati ini mencakup (1) pengolahan kimia
minyak-lemak menjadi biodiesel, dan (2) pengolahan biologikal bahan bergula atau
berpati menjadi bioetanol. Bahan bakar nabati generasi 2 dibuat dari pohon,
rumput, atau residu atau limbah pertanian, dengan cara kimia atau biologikal.
Produk-produknya disebut biodiesel generasi 2 dan bioetanol generasi 2. Bahan
bakar nabati generasi 3 dibuat dari mikroalga dengan aneka teknologi yang saat
ini masih dalam tahap penelitian. Diantara tumbuhan penghasil bahan mentah
kelapa sawit, dan kelapa. Tumbuh-tumbuhan penghasil bahan mentah bahan
bakar nabati generasi 2 biasanya lebih produktif, tetapi teknologi proses
pengolahannya lebih mahal dan belum komersial, sekalipun beberapa negara maju
sedang mendemonstrasikan penerapannya dalam skala besar.
Penelitian dan pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia sudah
dimulai pada tahun 1980-an (bioetanol bahan bakar) dan selama tahun 1995-1997
(biodiesel). Meskipun demikian, upaya-upaya lebih serius untuk mempromosikan
produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati di Indonesia baru dimulai pada
tahun 2001. Lonjakan besar harga internasional minyak bumi mentah di
pertengahan tahun 2005 membuat pemerintah menyusun ulang target bauran
energi (energy mix) dan secara resmi mengakui potensi bahan bakar nabati.
Peraturan Presiden (PerPres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi
nasional menetapkan, antara lain, bahwa pemanfaatan bahan bakar nabati harus
dikembangkan sehingga mampu berkontribusi minimal 5 persen pada bauran
energi nasional pada tahun 2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) memperkirakan bahwa target ini ekivalen dengan konsumsi domestik
bahan bakar nabati sekitar 26 juta m3 per tahun pada 2025. Untuk memenuhi
target bauran energi pada 2025, Indonesia diperkirakan akan memerlukan 7 - 10
juta hektar perkebunan bahan mentah bahan bakar nabati, jika seluruhnya hanya
diproduksi dengan teknologi-teknologi generasi 1.
Maksud kebijakan umum Provinsi Papua untuk mempromosikan
penanaman modal di bidang bahan bakar nabati seperti disampaikan Pemerintah
Provinsi Papua (2009) adalah mendorong serta memfasilitasi penanaman modal
1. Pembangunan ekonomi dan sosial untuk kemakmuran rakyat Papua.
2. Konservasi dan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya alam provinsi.
Berdasarkan dua sasaran itu, maka ada tiga maksud khusus promosi
penanaman modal di bidang bahan bakar nabati di Papua, yaitu :
1. Katalis Bagi Pembangunan.
Sektor bahan bakar nabati atau energi hijau berpotensi mendongkrak
pembangunan ekonomi yang komprehensif di Papua, mencakup penciptaan
lapangan kerja langsung maupun tak langsung bagi rakyat Papua, peningkatan
pendapatan para petani Papua melalui produksi bahan mentah bahan bakar
nabati, dan peningkatan pertumbuhan perekonomian karena meningkatnya
transaksi bisnis dan perputaran uang di dalam Papua.
2. Memanfaatkan Peluang Pasar.
Pasar nasional maupun dunia dari bahan bakar nabati diproyeksikan akan
meningkat pesat dalam dekade depan. Permintaan pasar ini merupakan bagian
dari transformasi menyeluruh di dunia dari perekonomian berbasis energi fosil
ke sumber-sumber energi yang lebih berkelanjutan untuk transportasi dan
pembangkitan listrik. Papua berpeluang dapat memposisikan diri menjadi
pemasok besar bahan bakar nabati untuk memenuhi permintaan lokal,
nasional, regional, dan global yang terus meningkat.
3. Meningkatkan Pendapatan Daerah.
Jika sektor energi hijau berkembang baik, maka basis pendapatan pemerintah
daerah akan pula membesar, melengkapi yang selama ini telah diperoleh dari
kegiatan ekonomi di pertambangan, kehutanan, dan pertanian. Basis
bagi pemerintah provinsi untuk berinvestasi dalam perbaikan dan perluasan
sarana-sarana komunikasi, transportasi, listrik, dan infrastruktur lain yang
merupakan pondasi dari perekonomian yang dinamik dan berlingkup luas.
Sementara itu, ada empat tujuan kebijakan penanaman modal di bidang
bahan bakar nabati, yaitu :
1. Pemanfaatan Lahan yang Berkelanjutan.
Provinsi Papua telah menerbitkan kebijakan pengelolaan hutan secara
berkelanjutan dalam tahun 2008. Kebijakan ini antara lain menyatakan bahwa
sebagian dari hutan yang dikategorikan sebagai hutan konversi oleh Menteri
Kehutanan, dapat dialokasikan untuk dimanfaatkan guna memproduksi bahan
mentah industri bahan bakar nabati didalam provinsi. Dengan demikian dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang mengatur
penggunaan lahan di dalam provinsi, tujuan dari kebijakan tersebut haruslah
penggunaan lahan yang berkelanjutan. Penggunaan lahan harus membuat
generasi penduduk Papua masa kini dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ekonomi, sosial, spiritual, dan ekologinya, tanpa mengurangi kemampuan
lahan yang sama untuk menghasilkan produk-produk dan fungsi-fungsi serupa
bagi generasi rakyat Papua di masa depan.
2. Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan.
Pertumbuhan penanaman modal di sektor energi hijau dapat menjadi katalis
bagi pembangunan ekonomi yang komprehensif di provinsi. Melalui
kontribusi pada kekukuhan manfaat-manfaat jangka panjang bagi provinsi,
produksi, dan pengolahan bahan bakar nabati akan ikut menegakkan
Domestik Regional Bruto (PDRB) tak hanya bertumpu pada satu komoditi
atau perusahaan.
3. Penyediaan Pangan dan Bahan Bakar yang Berkelanjutan.
Tujuan kebijakan umum untuk mempromosikan penanaman modal di bidang
bahan bakar nabati di Papua adalah mendorong pemanfaatan : (1) bahan
mentah berfungsi tunggal yang tidak mengganggu penyediaan pangan, dan (2)
bahan mentah berfungsi ganda atau bahkan multiguna, yang dapat
menghasilkan bahan pangan maupun memasok industri bahan bakar nabati.
Hal ini akan berdampak memaksimumkan pemanfaatan sisa atau limbah dari
produksi pangan untuk produksi bahan bakar nabati.
4. Kerukunan Sosial yang Berkelanjutan
Kebijakan umum Provinsi Papua di bidang bahan bakar nabati bertujuan
memberi batasan agar para penanam modal menghormati hak ulayat
masyarakat adat dan hak-hak adat lain dari penduduk, baik yang berpengakuan
formal maupun informal, seperti juga diisyaratkan dalam Otonomi Khusus
(OTSUS) dan kebijakan-kebijakan provinsi yang ada.
2.2. Pemanfaatan Nipah Sebagai Sumber Energi Alternatif
Nipah dikenal sebagai tanaman serbaguna yang hidup di rawa payau di
daerah pesisir. Secara tradisional daunnya digunakan sebagai atap rumah
penduduk, buahnya yang seperti kolang-kaling sering dijadikan tambahan
minuman penyegar dan manisan, niranya disadap dan dapat diolah menjadi gula
(Ambarjaya, 2007). Nipah tumbuh subur pada daerah payau yang dipengaruhi
pasang surut, terutama sekali di muara sungai dan dibelakang hutan bakau.
tersebar di Asia Tenggara terutama Malaysia, Indonesia (Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, dan Papua), Papua Nugini, Filipina, Australia, dan Kepulauan Pasifik
Barat. Tanaman nipah tumbuh subur di hutan daerah pasang surut (hutan
mangrove) dan daerah rawa-rawa atau muara-muara sungai yang berair payau. Di
Indonesia, luas daerah tanaman nipah adalah 10 persen atau 700 000 hektar dari
luas daerah pasang surut sebesar 7 000 000 hektar. Populasi nipah diperkirakan
sekitar 8 000 pohon per hektar sehingga dari luas areal tanam yang ada sekarang
terdapat 5.6 miliar pohon.
Tulisan mengenai potensi pengembangan nipah sebagai sumber energi
alternatif di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga untuk mengetahui
potensi nipah sebagai sumber energi alternatif, yaitu bioetanol belum diketahui.
Namun pemanfaatan nipah sebagai bahan baku bioetanol telah dilakukan oleh
Malaysia. Malaysia memanfaatkan nira nipah sebagai bahan baku bioetanol untuk
bahan bakar nabati pengganti minyak bumi sekitar 11 000 liter per hektar per
tahun. Tentu saja jika terobosan ini dapat dikembangkan dengan baik akan
mampu meningkatkan pendapatan bagi masyarakat sekitarnya. Nipah diketahui
mempunyai produktivitas yang sangat ekstrim, setiap tahunnya menghasilkan
ribuan liter getah gula, yang mana secara tradisional digunakan untuk membuat
alkohol dan bahan pemanis. Beberapa peneliti memiliki penemuan yang secara
teori menghasilkan 15 000 sampai 20 000 liter bioetanol per hektar tanaman nipah
(Biopact, 2007)
2.3. Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian mengenai kelayakan usaha sudah banyak yang lakukan, tetapi
alternatif masih sedikit yang melakukannya. Tulisan-tulisan dalam penelitian
menggambarkan bagaimana potensi suatu tanaman atau ternak menjadi sumber
energi alternatif dan juga proses pengolahannya. Berbagai penelitian baik skripsi,
tesis, publikasi jurnal, maupun prosiding mengenai analisis kelayakan usaha baik
secara umum dan yang dikhususkan sebagai bahan bakar alternatif dan potensi
pengembangan bahan bakar nabati diuraikan dibawah ini.
2.3.1. Kelayakan Investasi Pengembangan Bahan Baku sebagai Bahan
Bakar Nabati
Penelitian mengenai kelayakan usaha ditulis oleh Palupi (2009),
mengenai analisis kelayakan usaha pengembangan jarak pagar sebagai sumber
energi alternatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil analisis kualitatif
aspek-aspek non finansial pada pengembangan bahan bakar minyak jarak pagar
desa di Desa Lempopacci menunjukkan bahwa usaha tersebut layak dilakukan.
Analisis pada aspek pasar menunjukkan bahwa usaha jarak pagar memiliki
kepastian pasar dengan adanya permintaan dari perusahaan. Analisis aspek
manajemen menunjukkan aspek-aspek manajemen telah dilakukan dengan cukup
baik, dan analisis sumber daya manusia menunjukkan bahwa secara umum
masyarakat setempat telah memenuhi syarat untuk pelaksanaan program tersebut.
Sedangkan hasil analisis finansial pada usaha yang sedang berjalan dinyatakan
tidak layak pada tingkat discount rate 14 persen. Hasil ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nurmalina et al. (2009b) tentang kelayakan
pengusahaan bioetanol ubikayu dan molases di Jawa Tengah dan Jawa Barat
menyimpulkan untuk aspek-aspek non finansial baik untuk bioetanol ubikayu dan
produksi bioetanol berbahan baku ubikayu dan molases layak untuk dijalankan.
Hal ini dikarenakan nilai dari kriteria kelayakan investasi dari kedua skenario
telah memenuhi kriteria investasi. Hasil perbandingan kriteria investasi antara
ubikayu dan molases, ternyata lebih menguntungkan bila memproduksi bioetanol
dengan menggunakan bahan baku molases dibandingkan ubi kayu. Kesimpulan
hasil penelitian oleh Morris et al. (2009) yang menuliskan suatu studi mengenai
economic feasibility of ethanol production from sweet sorghum juice in Texas
adalah pengembangan pabrik bioetanol dengan bahan baku sorgum manis lebih
menguntungkan (layak) dengan rata-rata NPV $ 39 juta dibandingkan bahan baku
jagung. Hal ini disebabkan karena tingginya biaya investasi untuk jagung.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Siregar (2009) mengenai analisis
kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan
biogas dan pupuk kompos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil
analisis kelayakan non finansial untuk usaha peternakan UPP Darul Fallah dan
Fakultas Peternakan dalam mengemban perkembangan biogas layak untuk
dilaksanakan atau didesentralisasikan. Sedangkan secara finansial, kedua usaha
juga menguntungkan sehingga layak untuk dilakukan. Penelitian lain mengenai
biogas sebagai energi alternatif dilakukan oleh Wahyuni (2008). Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan analisis kriteria investasi dan analisis swot untuk
menentukan strategi pengembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
finansial dengan kapasitas biodigester 5 m3 dan 17 m3 dengan tingkat suku bunga
17 persen adalah layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Maung dan Gustafson (2010) mengenai
Dakota menggunakan analisis NPV untuk melihat kelayakan ekonomi terhadap
pabrik bioetanol dari bit gula dengan kapasitas 20 MGY dan 10 MGY, dan
simulasi monte carlo untuk melihat risiko harga. Hasilnya menunjukkan bahwa
dengan harga $ 1.84 dan asumsi faktor lain tidak berubah (tetap), maka NPV yang
dihasilkan adalah lebih besar dari nol, yaitu sekitar $ 41 540 000 untuk pabrik
20 MGY dan $ 8 300 000 untuk pabrik 10 MGY, sehingga layak untuk
dikembangkan. Harga etanol mencapai titik impas pada harga $ 1.71 dan $ 1.52
untuk masing-masing pabrik 20 MGY dan 10 MGY.
Penelitian mengenai analisis pengembangan nipah memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Palupi (2009),
Siregar (2009), Wahyuni (2008), Nurmalina et al. (2009b), Morris et al. (2009),
dan Maung dan Gustafson (2010) dilihat dari alat analisisnya yang digunakan,
yaitu menggunakan analisis manfaat biaya untuk melihat kelayakan usaha, dan
persamaan berikutnya dari kepentingan penelitian, yaitu pengembangan komoditi
sebagai sumber energi alternatif. Perbedaannya adalah dengan ditambahnya
analisis ekonomi yang menilai kelayakan dari sisi pemerintah dan masyarakat
secara keseluruhan. Perbedaan lain dengan Morris et al. (2009) dan Maung dan
Gustafson (2010) adalah perhitungan risiko harga menggunakan simulasi monte
carlo tidak dilakukan dalam penelitian ini.
2.3.2. Potensi Pengembangan Bahan Bakar Nabati Sebagai Bahan bakar
Alternatif
Pengembangan nipah sebagai bahan bakar alternatif baru dilakukan oleh
Malaysia yang menghasilkan 11 000 liter bioetanol per tahunnya (Biopact, 2007).
bahan bakar nabati adalah sagu. Sumaryono (2007), menuliskan potensi produksi
sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per tahun. Konsumsi
pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4 - 5 persen dari potensi
produksi. Apabila tabungan karbohidrat di hutan sagu indonesia dapat
dimanfaatkan secara optimal untuk bioetanol, maka dapat diperoleh bioetanol
3 juta kiloliter per tahun dengan asumsi faktor konversi 0.6. Kebutuhan premium
nasional diperkirakan sekitar 16 juta kiloliter per tahun. Apabila bioetanol dapat
menggantikan premium sekitar 10 persen (campuran premium dan etanol 90:10),
maka diperlukan etanol sebanyak 1.6 juta kiloliter. Kebutuhan ini sudah dapat
dipenuhi dari pati sagu saja. Sementara Effendi, 2008 dalam Supriadi, 2008
menuliskan dari luas hutan sagu yang beragam di Papua (1 - 4 juta hektar) dapat
menghasilkan alkohol atau etanol sebanyak 21.97 – 60 persen dari total bioetanol
nasional. Dalam usaha optimalisasi hutan sagu menjadi usaha sampingan industri
bioetanol beberapa hal yang menjadi kendala adalah keterbatasan, infrastruktur,
tenaga kerja terampil, data sebaran sagu yang beragam dan kepemilikan lahan.
Penelitian lain yang berhubungan dengan sumber energi alternatif adalah
yang ditulis oleh Funke et al. (2009) mengenai modelling the impacts of the
industrial biofuels strategy on the South African agricultural and biofuels
subsectors. Hasilnya menunjukkan bahwa skenario pengembangan produksi
bioetanol dari gula adalah lebih layak dibandingkan mengekspor gula. Hal ini
didasarkan pada harga minyak sekitar $ 150 dolar per barel, sehingga dapat
disimpulkan bahwa dukungan pemerintah sangat mempengaruhi keberhasilan
industri biofuel di Afrika Selatan. Oleh karena itu, perlu berhati-hati dalam
dengan benar. Ardana et al. (2008) dalam penelitiannya mengenai pengembangan
tanaman jarak pagar mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida, Bali
mengkaji kesesuaian lahan dan iklim untuk pengembangan jarak pagar dan
analisis kelayakan untuk pengembangan tersebut. Hasil penelitian menyimpulkan
unsur iklim yang menjadi pembatas adalah ketersediaan air terutama saat musim
kemarau. Sementara Riyanti (2009), menuliskan Indonesia mempunyai limbah
biomassa yang berlimpah, yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi
alternatif bioetanol yang ramah lingkungan. Selain itu lahan marjinal dan lahan
kering yang diabaikan juga berpotensi untuk mengembangkan tanaman tahan
kekeringan yang dapat dimanfaatkan biomassanya.
Penelitian mengenai nipah sebagai sumber energi alternatif masih berupa
tulisan umum, sehingga belum ada literatur (hasil penelitian, laporan atau jurnal)
yang diperoleh untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai nipah. Berdasarkan hal
tersebut, maka penelitian yang dilakukan akan melihat kelayakan finansial dan
ekonomi pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi. Walaupun
analisis yang digunakan sama dengan penelitian sebelumnya, tetapi kebaruan
komoditi yang memiliki peran ganda dalam pemanfaatannya di masyarakat
menjadi hal yang berbeda dalam penelitian ini. Selain itu perbedaan juga terlihat
pada tambahan analisis ekonomi untuk menganalisis kelayakan usaha, dan
3.1. Konsep Dasar Analisis Manfaat Biaya Untuk Proyek Pertanian
Konsep analisis manfaat biaya menunjukkan bagaimana menentukan
suatu investasi apakah mampu memberikan keunggulan pada suatu proyek.
Artinya, harus bisa memilih diantara alternatif yang memberikan keuntungan atau
manfaat bersih yang terbesar bagi pelaksana proyek. Pemilihan alternatif terbaik
merupakan alternatif yang dapat meningkatkan kesejahteraan individu maupun
masyarakat. Dalam teori ekonomi, tambahan kesejahteraan individu dicerminkan
oleh adanya tambahan utilitas yang maksimum sebagai akibat adanya tambahan
investasi dalam proyek. Menurut Pearce and Nash (1981) persoalan ekonomi
dasar yang dihadapi adalah masalah pengalokasian sumberdaya yang tersedia
namun terbatas yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan yang memberikan
manfaat bersih maksimal bagi masyarakat. Kebutuhan dasar yang diperlukan
untuk menduga proyek-proyek sesuai dengan preferensi individu konsumen
adalah mengukur kekuatan preferensi konsumen terhadap manfaat dari proyek
yang relatif terhadap manfaat yang mana sumber daya dapat dihasilkan dalam
penggunaan terbaik berikutnya.
Selain memberikan kepuasan bagi konsumen, pada dasarnya suatu
proyek pembangunan dibuat oleh pemerintah atau swasta sebagai suatu kebijakan
untuk mengubah suatu keadaan di suatu daerah. Jadi, bagaimana para pengambil
kebijakan bisa memutuskan apakah proyek yang akan dibuat layak atau tidak
untuk dilaksanakan. Untuk menilai hal tersebut, maka digunakan kriteria pareto.