POTENSI REDUKSI GAS RUMAH KACA MELALUI
PRODUKSI BIOCHAR DENGAN KOMPOR
GASIFIKASI-PIROLISIS SKALA RUMAH TANGGA
JOHANIS R. PANGALA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Potensi Reduksi Gas Rumah Kaca Melalui Produksi Biochar dengan Kompor Gasifikasi – Pirolisis Skala Rumah Tangga” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2016
Johanis R. Pangala
RINGKASAN
JOHANIS R. PANGALA. Potensi Reduksi Gas Rumah Kaca Melalui Produksi Biochar dengan Kompor Gasifikasi - Pirolisis Skala Rumah Tangga. Dibimbing oleh ARMANSYAH H. TAMBUNAN, HARIADI KARTODIHARDJO dan GUSTAN PARI
Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab terjadinya pemanasan global khususnya CO2 telah mencapai ambang 400 ppm dan masih terus menunjukkan tren meningkat. Diperlukan langkah-langkah bukan hanya bagaimana mengurangi emisi GRK saja tetapi juga bagaimana menurunkan emisi yang sudah terlanjur tinggi tersebut. Dalam konsep biochar lestari, biochar dapat menjadi salah satu solusi permasalahan tersebut. Biochar yang diproduksi dari biomassa melalui proses pirolisis memiliki kestabilan jika diaplikasikan sebagai pembenah tanah, dapat berfungsi juga sebagai penyimpan karbon dan dapat meningkatkan produktifitas pertanian. Pada saat produksi biochar dapat dihasilkan surplus energi termal yang dapat dipakai untuk berbagai aplikasi. Ketiga potensi biochar ini dikenal sebagai
triple wins of biochar.
Rancang bangun kompor gasifikasi pirolisis yang dilakukan, didesain untuk menghasilkan biochar dan energi untuk memasak dengan efisien. Kompor terdiri dari dua bagian ruang, yaitu ruang bakar yang menghasilkan panas aktivasi untuk proses pirolisis dan energi untuk memasak, dan ruang pirolisis yang menghasilkan biochar dan volatile matter. Volatile matter yang dihasilkan dalam ruang pirolisis diumpanbalikkan ke ruang bakar menggantikan bahan bakar biomassa di ruang bakar secara bertahap dalam menghasilkan energi, untuk memasak dan menjaga proses pirolisis kontinyu. Hasil uji kinerja: proses autothermal berjalan dengan baik sampai dihasilkan produk biochar. Efisiensi termal dari kompor adalah 11,3% sebelum pirolisis dan 14,72% setelah pirolisis, tidak termasuk panas untuk menghasilkan biochar dan menjaga proses pirolisis terus berlangsung. Waktu yang dibutuhkan untuk mendidihkan air 5 L adalah 12 menit sebelum pirolisis dan 6 menit setelah pirolisis. Output daya berkisar dari 9,60 - 23,16 kW. Suhu maksimum mencapai 868 °C pada titik panci, 860 °C di ruang bakar dan 579 oC di ruang pirolisis,. Kapasitas biomassa input tergantung pada jenis bahan baku mulai dari 1200 - 3000 g/proses, menghasilkan 507-900 g biochar/proses. Emisi gas CO < 25 ppm sebelum pirolisis dan <18 ppm setelah pirolisis. Semua kondisi maksimum tercapai setelah terjadi proses pirolisis, menunjukkan bahwa pembakaran volatile matter lebih baik dari pembakaran biomassa secara langsung.
tahun. Jika diaplikasikan skala nasional pada 10% desa di Indonesasia dengan tiap-tiap desa 30 kompor gasifikasi pirolisis berpotensi mereduksi 20% target reduksi GRK bidang pertanian (PP 61/2011) jika dimulai tahun 2017 hingga 2020.
Hasil analisis mengunakan pendekatan narasi, aktor/jaringan, dan politik/kepentingan, diperoleh bahwa inti narasi pro biochar adalah triple wins of biochar yaitu aplikasi biochar menguntungkan bagi pertanian, energi dan lingkungan khususnya reduksi GRK. Terdapat kontra narasi tetapi penelitian ini melihat kontra narasi tersebut tidak kuat karena kebanyakan dibangun hanya berdasarkan asumsi dan kekuatiran semata. Terdapat aktor dan jaringan" internasional dan national/lokal sesuai narasi yang dimiliki. Untuk lingkup nasional aktor dan jaringan pro biochar adalah lembaga-lembaga penelitian dan universitas, sedangkan aktor dan jaringan kontra biochar adalah aliansi dari jaringan kontra biochar internasional. Politik dan kepentingan yang diperebutkan/dipermasalahkan terkait potensi aplikasi biomassa untuk biochar atau bioenergi, pasar karbon
geoengineering atau CCS dan aplikasi biochar atau kompos. Ruang kebijakan untuk memasukan biochar sebagai pereduksi GRK di Indonesia adalah besar/mudah didukung pemerintah karena teknologinya dapat dikembangkan mengunakan produksi dalam negeri serta dapat memberikan keuntungan pada daerah-daerah pedesaan. Untuk kepentingan nasional berpotensi besar bagi pemenuhan kebutuhan energi terbarukan (pedesaan), pertanian dan lingkungan serta perkembangan dunia internasional semakin bergerak untuk memanfaatkan aplikasi biochar. Hasil penelitian ini memperkuat dan mendukung narasi pro biochar.
SUMMARY
JOHANIS R. PANGALA. Household Scale Greenhouse Gas Reduction Potential Through Biochar Production with Gasification - Pyrolysis Stove. Supervised by ARMANSYAH H. TAMBUNAN, HARIADI KARTODIHARDJO and GUSTAN PARI.
Greenhouse Gas (GHG) emissions especially CO2 cause global warming, and has reached the threshold of 400 ppm and still continues to show an increasing trend. This calls for necessary measures not just on how to reduce GHG emissions that already high, but also on how to reduce GHG concentration from the atmosphere. In the concept of sustainable biochar, biochar can be one solution to these problems. Biochar produced from biomass through pyrolysis process have stability if it is applied as a soil amendment and can serve as carbon sequestration. This application also can increase agricultural productivity. During biochar production, surplus thermal energy generated can be used for various applications. The three potential benefits of biochar are known as a triple wins of biochar.
Pyrolysis gasification stove is designed to produce biochar and energy to cook efficiently. The stove consists of two chamber sections, namely combustion chamber that produces activation heat for pyrolysis process and energy for cooking, and pyrolysis chamber that produces biochar and volatile matter (syngas and tar in gas form). Volatile matter product was introduced to the combustion chamber in addition to the biomass there and replaces biomass fuel gradually to produce energy for cooking and keeping the continuous pyrolysis process (autothermal). The result of performance test showed that the autothermal process went on well resulting into 100% biochar for most of the biomass used. Thermal efficiency of the stove was 11.3% before pyrolysis and 14.72 % after pyrolysis (excluding heat to produce biochar and keep the pyrolysis process). Time needed to boil a 5 L water was 12 minutes before pyrolysis and 6 minutes after pyrolysis. Output power ranged from 9.60 kW to 23.16 kW. The maximum temperature reached was 868 °C at the pan, 860oC in combustion chamber and 579 oC in pyrolysis chamber. Biomass input capacity depending on the type of feedstock ranged from 1200 - 3000 g/process, resulting in 507-900 g biochar/process. Emissions of CO <25 ppm before pyrolysis and <18 ppm after pyrolysis. All maximum conditions occurred when volatile matter produced from pyrolysis process was burned, which showed that burning volatile matters is better than burning solid biomass directly.
targets for agriculture (PP 61/2011) if started in year 2017 to 2020. Potential average direct GHG reduction based on the characteristics of biochar is 2.05 kg CO2e /processes or 2.21 tonnes CO2e /stove/ year.
Using analysis of narrative, actors/networks and politics/Interest, showed that the core narrative of pro biochar is triple wins of biochar that favorable applications for agriculture, energy and the environment, especially reductions in GHG emissions. There are counter-narrative but this study found that counter-narrative is not strong because most are built only on assumptions and fears basis alone. There are actors and international networks. There also national/local in accordance the narrative they possess. For the national scope of actors and networks are pro biochar research institutions and universities, while actor and network of counter biochar is an alliance of the international network of counter biochar. Politics and the interests of the contested/question related to the potential applications of biomass (for biochar or bioenergy), carbon markets (geoengineering or CCS) and applications (biochar or compost). Policy spaces to include biochar as a reducing GHGs in Indonesia is great/easy supported by the government because the technology can be developed using the domestic production and can provide benefits to the rural areas. For the national interest has great potential for renewable energy needs (rural), agriculture and the environment and international development increasingly moving to take advantage of biochar application. The results of this study reinforce and support the narrative of pro biochar.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
POTENSI REDUKSI GAS RUMAH KACA MELALUI
PRODUKSI BIOCHAR DENGAN KOMPOR
GASIFIKASI-PIROLISIS SKALA RUMAH TANGGA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
Judul Tesis : Potensi Reduksi Gas Rumah Kaca Melalui Produksi Biochar dengan Kompor Gasifikasi - Pirolisis Skala Rumah Tangga Nama : Johanis R. Pangala
NIM : P052130361
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah energi biomassa, apliaksi biochar dan reduksi emisi GRK, yang meliputi desain kompor gasifikasi pirolisis, studi karakteris biochar untuk aplikasi pembenah tanah dan perhitungan potensi reduksi emisi GRK jika biochar diaplikasikan sebagai pembenah tanah dan studi dukungan kebijakan yang diperlukan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, Bapak Prof.Dr.Ir.Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Prof.(Ris). Dr. Gustan Pari, BSc. Dipl.IV, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Desrial, M.Eng, Ketua Program Studi Teknik Mesin dan Biosistem IPB, Bapak Dr. Ir. Radite PAS, M,Agr Kepala Laboratorium Lapangan Siswadhi Soepardjo atas ijin penggunaan Laboratorium Lapangan Siswadhi Soepardjo, Pak Fiman dan Pak Suharto yang ikut membantu selama pengujian. Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan di Laboratorium Pindah Panas Teknik Mesin dan Biosistem IPB serta rekan-rekan PSL angkatan 2013 yang telah banyak memberi saran.
Penghargaan penulis sampaikan kepada para narasumber studi kebijakan yaitu Prof. Dr. Ir. Sambas Bastuni, MSc., Dr. Maswar, Dr. Ir. Neneng Laela Nurida, Dr. Muhammad Zahrul Muttaqin, Dr. Retno Maryani, Ir. Arif Wihono, MSc., Dr (Candidate). Ir. Ja Postman Napitu, MSi., Dr. Ir. Haskarlianus Pasang, MSc., Masyarakat Tani di Bogor Baru, Kelompok Tani di Dermaga. Kelompok Tani di Toraja, NGO Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) yang telah membantu menemukan bahwa aplikasi kebijakan aplikasi biochar memiliki ruang kebijakan yang besar di Indonesia.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang sudah mendukung penelitian ini dalam program penelitian Hibah Kompetensi Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, Nomor: 157/SP2H/ PL/DI.LITABMAS/2/2015 tanggal 5 Pebruari 2015. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Haskarlianus Pasang dan Beatris Pangala yang mendorong untuk melanjutkan studi dan menyelesaikannya karya ilmiah ini serta memberikan dukungan beasiswa melalui PT Daya Sinergi Mandiri selama menempuh pendidikan di SPS IPB.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tersayang Natalia R. Paloepi serta kedua buah hati kami yaitu Jeremia Joseph Pangala dan Ralf Jabez Pangala yang dengan sabar selama proses studi dan penulisan karya ilmiah ini dijalani, Mama Bertha Sambe yang selalu mendoakan dan mendorong agar cepat selesai serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk aplikasi biochar sebagai salah satu solusi energi biomassa, pertanian dan lingkungan yang saya mimpikan diaplikaikan di Indonesia kelak.
Bogor, Juni 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xviii
DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR LAMPIRAN xx
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Kerangka Pemikiran 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Ruang Lingkup Penelitian 7
2 RANCANG BANGUN DAN KINERJA KOMPOR GASIFIKASI -
PIROLISIS 8
Pendahuluan 8
Bahan dan Metode 10
Hasil dan Pembahasan 15
Simpulan 22
3 POTENSI REDUKSI GRK APLIKASI KOMPOR GASIFIKASI PIROLISIS DENGAN PEMANFAATAN OUTPUT BIOCHAR SEBAGAI PEMBENAH
TANAH DAN PENYIMPAN KARBON 23
Pendahuluan 23
Bahan dan Metode 26
Hasil dan Pembahasan 28
Simpulan 43
4. STRATEGI IMPLEMENTASI DAN PENERAPAN KEBIJAKAN
TEKNOLOGI KOMPOR GASIFIKASI-PIROLISIS 44
Pendahuluan 44
Metode Penelitian 46
Hasil dan Pembahasan 48
Simpulan 69
5. PEMBAHASAN UMUM 70
6 SIMPULAN DAN SARAN 75
Simpulan 75
Saran 76
DAFTAR PUSTAKA 78
LAMPIRAN 85
DAFTAR TABEL
1 Hasil Uji KadarAir (Moisture Content) bahan bakar yang digunakan. 16 2 Jumlah maksimum input, hasil output biochar dan rasio biochar beberapa
bahan biomassa dengan kompor combustion-pirolisis 19 3 Karakteristik pirolisis (temperatur pirolisis, waktu mulai pirolisis dan
autothermal) dan jumlah dan jenis bahan bakar yang digunakan di ruang
bakar. 19
4 Metode dan alat yang digunakan dalam pengujian karakteristik biochar 27 5 Hasil pengukuran dan perhitungan laboratorium menguji biochar
berdasarkan parameter-parameter aplikasi sebagai pembenah tanah. 28 6 Ukuran diameter pori biochar batok kelapa, tandan kosong sawit,
potongan bambu, bakteri secara umum, fungi secara umum dan bakteri
Azospirillum sp (khusus), fungi actinomycetes (khusus) dan fungi
arbuscular mycorrhizal (khusus). 34 7 Hasil pengukuran dan perhitungan laboratorium menguji biochar untuk
menghitung dampak langsung aplikasi biochar untuk reduksi biochar 38 8 Potensi Reduksi Aplikasi Biochar Ouput Kompor Gasifikasi Pirolis
Sebagai Pembenah Tanah perhitungan fix carbon (Karbon Stabil) 40 9 Perhitungan nilai source GRK dari oksidasi labile carbon dengan asumsi
nilai labile carbon sama dengan nilai volatile matter. 40 10 Perhitungan kebutuhan pertumbuhan biomassa minimal untuk mencapai
biochar lestari per kompor gasifikasi pirolisis. 43 11 Ringkasan metode penelitian strategi aplikasi dan penerapan kebijakan. 46 12 Analisis, metode pengolahan data dan teknik pengambilan data. 47 13 Ringkasan perbedaan faktor-faktor narasi pro, kontra biochar dan hasil
penelitian 56
14 Kelompok pro, dibatasi PP 61/2011 atau kesepakatan internasional dan kontra aplikasi biochar di Indonesia dan internasional (hasil wawancara dan studi literarur yang diolah dari berbagai sumber). 62 15 Jumlah kompor gasifikasi pirolisis perdesa jika penerapan pada 10% desa
di Indonesia untuk reduksi 20% emisi GRK bidang pertanian sesuai dengan target Lampiran 1 PP 61/2011 RAN GRK dengan persentase target reduksi yang berbeda (26%, 29% dan 41%). Aplikasi perhitungan
DAFTAR GAMBAR
1 Proyeksi kebutuhan energi sektor rumah tangga di Indonesia tahun
2011 – 2030 2
2 Analisa skenario penggunaan kompor biomassa Indonesia 3 3 Tiga komponen yang menyatu dalam pembuatan suatu kebijakan publik
yaitu diskursus/narasi, aktor/jaringan dan politik/kepentingan 4
4 Kerangka Pemikiran Penelitian 6
5 Bagan alir kegiatan utama penelitian. 7
6 Desain rekayasa kompor gasifikasi-pirolisis: (a) Tampilan tiga dimensi, (b) Tampilan dua dimensi, (c) Foto hasil rancang bangun, (d) Bagian atas ruang pirolisis dan bagian bawah ruang pembakaran. 10 7 Formasi Pengujian WBT dengan penimbangan laju pembakaran dan
perubahan biomassa selama pengujian 13
8 Proses tingkat pembakaran biomassa 16
9 Hasil pengukuran laju pembakaran biomassa dan proses pirolisis dengan
mengunakan bahan baku batok kelapa, 17
10 Pengukuran suhu ruang pirolisis hingga produksi gas pirolisis (volatile matter) berhenti pada pada menit ke-33 ditandai dengan padamnya api
pada ruang bakar. 20
11 Pengukuran suhu ruang pirolisis hingga gas pirolisis berhenti pada pada menit ke-34, dilanjutkan tahapan pendinginan yang berlangsung secara
logaritmik. 21
12 Hasil pengukuran suhu ruang bakar dibandingkan dengan suhu ruang pirolisis, fluktuasi suhu ruang bakar tidak terlalu berpengaruh terhadap suhu ruang pirolisis. Diperlukan pemanasan untuk mempertahankan konsistensi suhu dalam ruang pirolisis agar proses pirolisis tetap terjaga.
21 13 (a) Prinsip penyimpanan karbon biochar (Sumber Shackley dan Sohi
(2009), (b) Konsep biochar lestari (sustainable biochar concept) 24 14 Implikasi aplikasi biochar terhadap mitigasi perubahan iklim 25 15 Diagram Van Krevelen Rasio H/C dan O/C biochar pada suhu yang
berbeda-beda, semakin tinggi suhu semakin rendah O/C dan H/C 25 16 Hasil Scanning Electron Macroscope (SEM) biochar batok kelapa
dengan pembesaran berbeda-beda 100x (a), 250x (b) dan 500x (c). 29 17 Hasil Scanning Electron Macroscope (SEM) biochar tandan kosong
sawit (tangkos) dengan pembesaran berbeda-beda 100x (a), 250x (b) dan
500x (c). 29
18 Hasil Scanning Electron Macroscope (SEM) biochar potongan bam-bu dengan pembesaran berbeda-beda 100x (a), 250x (b) dan 500x (c). 29 19 Hasil EDX biochar batok kelapa dan akuisisi sepektrumnya 30 20 Hasil EDX biochar tandan kosong sawit (tangkos) dan akuisisi
sepektrumnya 30
21 Hasil EDX biochar potongan bambu dan akuisisi sepektrumnya 31 22 Perbandingan aplikasi biochar dengan bahan baku mentah biomassa yang
tidak mengalami pengolahan pengarangan menjadi biochar jika di
23 Proses daur ulang karbon dengan pemanfaatan matahari sebagai sumber
energi 41
24 Landasan motivasi aplikasi biochar yaitu produksi energi, perbaikan tanah, pengolahan limbah dan mitigasi perubahan iklim berpeluang mengasilkan kesutuang secarsosial dan finansial 70
DAFTAR LAMPIRAN
1 Gambar ortogonal kompor gasifikasi pirolisis 86
2 Gambar potongan kompor gasifikasi pirolisis 87
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gas rumah kaca (GRK) dengan komponen utama adalah CO2, jumlahnya terus meningkat di atmosfir dan dapat dipastikan sebagai penyebab perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya pemanasan global (global warming) (IPCC 1990, IPCC 1995, IPCC 2001, IPCC 2007, IPCC 2013, Murdiyarso 2003, Houghton 2009, Cook 2010). Permasalahan tersebut dapat dikurangi lewat beberapa upaya mitigasi yang salah satunya adalah pemanfaatan biochar sebagai carbon sequestration
melalui aplikasi sebagai pembenah tanah (Sombroek 1992, Lehmann et al. 2003, Steiner2006, Steiner et al. 2007. Woolf 2008, Lehmann dan Joseph2009, Woolf
et al. 2010, Hammond et al. 2011, Palmer 2011, Liu et al. 2013). Aplikasi ini oleh Al Gore (2009) dikemukakan sebagai, “One of the most exciting new strategies for restoring carbon to depleted soils, and sequestering significant amounts of CO2
for 1,000 years and more, is the use of biochar”. Teknik ini juga dianjurkan oleh para ilmuwan terkemuka seperti James Hansen, head of the NASA Goddard Institute for Space Studies dan James Lovelock pencipta Gaia Hipotesis untuk mitigasi pemanasan global dengan remediasi GRK. Berdasarkan hasil kajian, para peneliti tersebut memperkirakan pemanfaatan biochar secara berkelanjutan dapat mengurangi emisi global karbon dioksida (CO2), metana, dan dinitrogen oksida hingga 1,8 Pg CO2e per tahun (12% dari total antropogenik emisi CO2e saat ini, 1 Pg = 1 Gt), dan total emisi bersih selama abad berikutnya sebanyak 130 Pg CO2e, tanpa membahayakan ketahanan pangan, habitat, atau konservasi tanah (Woolf et al. 2010).
Biochar menurut Lehmann dan Joseph (2009) adalah produk yang kaya karbon diperoleh ketika biomassa (seperti kayu, daun-daun, kotoran, tulang, dll), dipanaskan dalam wadah tertutup dengan sedikit atau tanpa udara (O2). Proses ini merupakan salah satu teknologi industri yang paling kuno yang dikembangkan oleh umat manusia,bahkan mungkin yang paling tua. Lehman dan Joseph (2009) selanjutnya juga membedakan biochar dengan pembakaran umumnya dimana biochar kaya kandungan C organiknya, sementara pembakaran biomassa dalam api menciptakan abu, yang terutama mengandung mineral seperti kalsium (Ca) atau magnesium (Mg) dan anorganik karbonat.
Biochar juga jika diaplikasikan pada pertanian menurut Liu et al. (2013) dari hasil review 103 jurnal peer to peer penelitian, menunjukkan efek positif
biochar terhadap produktivitas tanaman. Review ini menunjukkan peningkatan yang signifikan produktivitas tanaman rata-rata 8,4% untuk hasil panen dan 12,5% untuk biomassa di atas tanah. Oleh sebab itu jika aplikasi biochar diterapkan maka akan dibutuhkan biochar dalam jumlah yang cukup banyak. Aspek produksi biochar menjadi penting karena biochar yang dihasilkan untuk aplikasi ini harus dapat terjangkau oleh petani dengan harga yang murah atau dapat diproduksi sendiri dari biomassa sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
2
rumah tangga pada saat bersamaan dihasilkan biochar. Biochar yang dihasilkan jika diaplikasi pada bidang pertanian berpotensi memberikan keuntungan ganda yaitu bagi lingkungan sebagai penyimpan karbon yang stabil dan peningkatan produktifitas pertanian. Dengan demikian, aplikasi teknologi biochar dengan tepat dapat memberi dua keuntungan sekaligus, yaitu menghasilkan energi terbarukan dan menghasilkan bahan pembenah tanah untuk meningkatkan produksi pertanian. Dampak akhir dari kedua keuntungan ini juga berpotensi mereduksi gas rumah kaca (GRK) yang dapat dimanfaatkan sebagai salah strategi mitigasi GRK khususnya dalam bidang pertanian (Al Gore 2009, Woods et al. 2009. Woolf et al. 2010, Palmer 2011, Swanson 2013, Kauffman et al. 2014).
Memasak mengunakan biomassa khususnya kayubakar masih merupakan jumlah yang sangat signifikan di Indonesia. Menurut studi yang dilakukan oleh The World Bank (Scholz et al. 2013) dalam tahun 2010 jumlah rumah tangga penguna kayu bakar di Indonesia adalah 24,5 juta rumah tangga. Pengguna utama kayu bakar adalah masyarakat desa atau masyarakat sekitar pinggiran kota. Menurut BPPT (2013), penggunaan kayubakar saat ini masih akan terus berlanjut walaupun sudah dilakukan konversi minyak tanah ke LPG, paling tidak hingga tahun 2030. Namun, pemanfaatan kayu bakar ini diperkirakan akan terus menurun karena ketersediaannya yang semakin berkurang, serta teknologinya yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan yang akhirnya akan tergantikan oleh penggunaan energi listrik seperti diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Proyeksi kebutuhan energi sektor rumah tangga di Indonesia tahun 2011 – 2030
(Sumber: BPPT 2013)
3 Jumlah kematian akibat HAP ini hanya kalah oleh kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung koroner dengan jumlah kematian 220.000 orang dan merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia (WHO 2009).
Dewasa ini telah banyak dilakukan penelitian untuk menghasilkan kompor biomassa yang lebih ramah lingkungan, lebih efisien dalam penggunaan energi dan lebih sehat. Kompor biomassa yang dihasilkan (improve cooking biomass stove/ICBS) terbukti lebih ramah lingkungan, hemat kayu bakar, dan lebih aman bagi kesehatan manusia. Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM bermaksud mengembangkan program ICBS untuk menganti kompor tradisional melalui program yang disebut Indonesia Clean Stove (ICS) atau sering juga disebut Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE) Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia. Target program TSHE adalah pada tahun 2020 jumlah rumah tangga pengunana kompor ICBS meningkat menjadi 10 juta dan tahun 2030 semua penguna kompor biomassa telah beralih ke kompor ICBS. Gambar 2 memperlihatkan program ICS dengan tahun dasar 2010, jumlah RT penguna kompor biomassa 24.5 juta (semua masih mengunakan kompor biomassa tradisional), tahun 2020 menurun menjadi 21 juta (40% pakai ICBS) dan tahun 2030 menurun menjadi 20 juta (100% mengunakan ICBS).
Gambar 2 Analisa skenario penggunaan kompor biomassa Indonesia (Sumber: CSI Indonesia dalam ASTAE 2013)
Manfaat aplikasi teknologi biochar sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan program ICBS, Pemerintah seharusnya dapat mensinergikannya untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Kompor ICBS yang akan dikembangkan melalui penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan rumah tangga untuk proses memasak sekaligus menghasilkan biochar yang digunakan sebagai pembenah tanah, sehingga juga dapat menjadi sebuah strategi reduksi emisi GRK jangka panjang.
4
(Smith et al.1993), menunjukkan pentingnya peran kebijakan publik dari skala lokal hingga nasional dapat menjadi contoh aplikasi di Indonesia.
Program ICBS yang dilaksanakan oleh Pemerintah China yang dimulai tahun 1982, dalam kurun waktu 12 tahun, ICBS yang telah disebarkan dan digunakan di China sebanyak 144 juta rumah tangga (berdasarkan studi yang dilakukan oleh Smith et al. 1993). Dari hasil studi tersebut juga disimpulkan bahwa kunci sukses program ini adalah kebijakan publik yang baik yang didukung oleh semua stakeholder. Meskipun dalam banyak hal Indonesia dan China berbeda tetapi program ICBS tidak cukup bicara hanya pada tatanan teknis semata tetapi juga pada tananan kebijakan karena sebagian besar penguna kompor biomassa adalah masyarakat pedesaan (kelas menengah ke bawah) yang membutuhkan dukungan dan keberpihakan pemerintah.
Kebijakan publik adalah proses yang kompleks dan tidak memiliki bentuk tertentu (messy), bahkan sering didasarkan pada eksperimen, belajar dari kesalahan, untuk mengambil langkah-langkah perbaikan (W 2006). Untuk memahami bagaimana kebijakan mengambil bentuk tertentu, maka perlu untuk memahami tidak hanya framing isu ilmiah (diskursus/narasi) tetapi juga posisi kebijakan dalam jaringan (aktor, pendana dan hubungan lain lembaga-lembaga tertentu dan organisasi) serta politik/kepentingannya. Keseluruhan hubungan tersebut tidak bersifat linier tetapi merupakan suatu irisan yang dilukiskan dalam Gambar 3.
Gambar 3 Tiga komponen yang menyatu dalam pembuatan suatu kebijakan publik yaitu diskursus/narasi, aktor/jaringan dan politik/kepentingan
(Sumber: Wolmer et al. 2006)
5 Perumusan Masalah
Pengembangan tungku masak modern untuk memenuhi kebutuhan energi rumahtangga di masyarakat perdesaan sudah digulirkan oleh pemerintah Indonesia melalui program Indonesia TSHE. Di pihak lain, pengembangan tungku masak modern dapat secara simultan digunakan untuk menghasilkan biochar yang bermanfaat sebagai pembenah tanah pertanian. Sinergi dari dua manfaat tersebut akan menghasilkan manfaat jangka panjang yaitu penurunan gas rumah kaca yang merupakan salah satu masalah lingkungan. Pengembangan teknologi merupakan salah satu faktor penting yang diperlukan, tetapi tidak dapat menghasilkan manfaat terbesarnya jika tidak disertai dengan penyusunan kebijakan yang tepat. Kajian komprehensif terhadap aspek teknologi dan aspek kebijakan sangat diperlukan agar penerapan teknologi tersebut di masyarakat dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat tersebut dan untuk penyelamatan lingkungan hidup khususnya reduksi GRK skala rumah tangga. Oleh sebab itu, permasalahan yang akan diselesaikan melalui penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana desain dan performa kompor gasifikasi-pirolisis yang harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan energi rumahtangga perdesaan dan menghasilkan biochar yang efisien, efektif dan ramah lingkungan?
b. Berapa besar potensi reduksi emisi GRK yang dihasilkan dari penggunaan kompor gasifikasi-pirolisis dan pemanfaatan biochar sebagai pembenah tanah pertanian dalam jangka panjang?
c. Bagaimana kebijakan dan strategi yang diperlukan agar implementasi aplikasi biochar sebagai penyimpan karbon melalui aplikasi sebagai pembenah tanah pertanian memiliki ruang kebijakan sebagai pereduksi GRK dalam bidang pertanian dalam kerangka kebijakan reduksi GRK di Indonesia?
Kerangka Pemikiran
6
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu:
a. Merancang-bangun dan menguji kinerja kompor gasifikasi-pirolisis sebagai
penghasil energi untuk memasak dan sistem produksi biochar dalam skala rumah tangga yang efektif, efisien dan ramah lingkungan diterapkan di masyarakat perdesaan
b. Mengkaji potensi reduksi emisi GRK melalui penggunaan kompor gasifikasi-pirolisis hasil rekayasa dan pemanfaatan biochar yang dihasilkan.
c. Mengkaji strategi implementasi dan kebijakan yang diperlukan dalam penerapan teknologi kompor gasifikasi-pirolisis hasil rekayasa serta pemanfaatan biochar yang dihasilkan dari penelitian ini dalam rangka mendukung kebijakan reduksi GRK, khususnya di pedesaan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:
a. Diperoleh sebuah model rekayasa sistem produksi biochar skala rumah tangga yaitu kompor gasifikasi-pirolisis yang outputnya: biochar, energi ramah lingkungan dan reduksi emisi GRK skala rumah tangga yang dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas.
7 pengembangan energi alternatif terbarukan dan penurunan emisi GRK di Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Kegiatan utama penelitian ini terdiri dari tiga kelompok utama yaitu: a. Rancang bangun dan uji teknis performa kompor gasifikasi-pirolisis.
b. Uji hasil biochar yang dihasilkan untuk aplikasi pembenah tanah dan pereduksi GRK.
c. Mengkaji strategi kebijakan implementasi dan pengembangan.
Bagan alir proses kegiatan utama penelitian sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 5.
Gambar 5 Bagan alir kegiatan utama penelitian.
Dengan ruang lingkup di atas maka penulisan akan dibahas dengan sistematika sebagai berikut:
Bab 1: Pendahuluan
Bab 2: Rancang Bangun dan Kinerja Kompor Gasifikasi – Pirolisis
Bab 3: Potensi Reduksi GRK Aplikasi Kompor Gasifikasi Pirolisis dengan Peman-faatan Output Biochar Sebagai Pembenah Tanah
Bab 4: Kebijakan, Strategi Implentasi dan Pengembangan Skala Rumah Tangga, Pedesaan dan Lebih Luas
Bab 5: Pembahasan Umum
8
2
RANCANG BANGUN DAN KINERJA KOMPOR
GASIFIKASI - PIROLISIS
Pendahuluan
Peningkatan efisiensi merupakan tujuan penting dalam rancang bangun suatu sistem engineering. Dalam rancang bangun kompor gasifikasi pirolisis ini, efisiensi akan menghasilkan penggunaan energi biomassa menjadi lebih sedikit dalam memenuhi kebutuhan memasak suatu rumah tangga yang berarti penghematan penggunaan sumber daya alam. Kompor tradisional yang sering disebut juga kompor tiga batu (three stone stove) memiliki efisiensi hanya 5-10%, dengan sedikit sentuhan engineering dapat ditingkatkan efisiensinya dua hingga tiga kali lipat (Barnes et al. 1994). Perbaikan efisiensi ini juga diikuti reduksi polusi udara dalam rumah (household air pollution/HAP) penyebab masalah kesehatan dan pengurangan gas-gas GRK penyebab pemanasan global. Gas-gas GRK yang dihasilkan merupakan produk pembakaran tidak sempurna (product of incompleate combustion/PIC) berupa gas CO, CH4 dan hidrokarbon rantai panjang lainnya yang yang memiliki potensi dampak pemanasan global (global warming potential/GWP) yang lebih besar dari CO2 (Murdiarso 2003).
Roth (2011) menjelaskan bahwa terdapat hubungan berbanding terbalik antara efisiensi dan jumlah PIC suatu kompor biomassa, semakin tingga efisiensi maka berarti semakin rendah PIC. Gas-gas CO, CH4, hidrokarbon rantai panjang lainnya adalah gas-gas mampu bakar yang memiliki kandungan energi yang tinggi (Ginting 2014, Raju 2016). Oleh sebab itu, jika gas-gas ini terbuang ke lingkungan bukan hanya menimbulkan masalah yang terkait dengan kesehatan dan lingkungan hidup semata tetapi juga membuang-buang energi, mengurangi efisiensi. Oleh sebab itu salah satu cara memperbaiki efisiensi dalam kompor adalah memaksimalkan agar terjadi pembakaran sempurna atau dengan kata lain meminimalkan gas-gas PIC. Hal ini dapat dicapai dengan pengaturan udara yang dibutuhkan agar tercapai pembakaran sempurna (Bryden et al. 2002, Irjaman et al.
2008, Nurhuda 2011).
Selain pengaturan jumlah udara yang diperlukan, efisiensi juga ditentukan oleh seberapa besar energi panas yang dihasilkan mencapai pot alat masak. Karena itu energi yang dihasilkan harus didorong sebanyak mungkin mencapai pot dengan mengurangi energi yang dihasilkan terbuang ke lingkungan, dengan mengisolasi ruang tersebut dan memanfaatkan energi yang terbuang tersebut. Input udara yang akan dimasukan dalam ruang bakar yang akan menyerap panas/mengurangi efisiensi, dapat diperbaiki dengan memanfaatkan energi yang terbuang ke lingkungan dimanfaatkan sebagai pemanas udara input/preheated air
(Karamarkovic dan Karamarkovic2010).
9 yang diperlukan. Keuntungan sistem ND adalah tidak diperlukan listrik, sehingga umumnya dirancang untuk aplikasi pedesaan yang diasumsikan masih kesulitan listrik.
Berbagai desain kompor biomassa dengan sentuhan engineering telah dikembangkan dengan efisiensi yang baik seperti: Rocket Stove, TLUD Stove (ARC 2012), Kompor Gama (Febriansyah et al. 2014), Kompor UB (Yuswansyah 2013), Kompor Sekam Padi (Irzaman 2008), Kompor Anila (Iliffe 2009) dan lain-lain. Berbagai jenis dan tipe kompor biomassa yang dikembangkan dengan prinsip-prinsip engineering (Bryden et al. 2002) dapat dilihat pada Roth (2011).
Sebagian besar kompor-kompor di atas hanya fokus bagaimana menghasilkan energi untuk masak yang lebih efisien dan lebih sehat (PIC minimal). Berbeda dengan kompor Anila dengan prinsip pirolisis (Iliffe 2009), selain menghasilkan energi untuk masak juga dihasilkan biochar yang dapat dipakai sebagai pembenah tanah dan penyimpan karbon (carbon sequestration). Studi yang dilakukan oleh Tores-Rojes et al. (2011) dan juga laporan Bank Dunia dalam Scholz et al. (2014) dengan aplikasi kompor Aniladi Kenya mengunakan metode Life Cycle Assesment
(LCA), menunjukkan bahwa setiap penggunaan 1 kg biomassa (berat kering) dalam kompor pirolisis tersebut akan menurunkan emisi GRK sebesar 1,7 kg CO2e di udara. Studi ini menunjukkan bahwa kebutuhan energi memasak dapat dipenuhi dan pada saat bersamaan dapat dihasilkan reduksi emisi GRK.
Potensi ini menarik jika dapat juga diterapkan di Indonesia yang masih mengunakan kayubakar untuk memasak. Tetapi ide kompor anila dalam memproduksi biochar sekaligus menghasilkan energi untuk memasak, pada rekonstruksi desain kompor anila sebelum penelitian ini dilakukan (tidak dipublikasikan), permasalahan yang ditemui pada kompor anila yaitu dibutuhkan bahan bakar yang cukup besar untuk menghasilkan biochar dan kadang sulit dihasilkan dalam jumlah hingga mencapai 100% biochar. Terjadi proses
autothermal (kondisi dimana gas hasil dari ruang pirolisis terbakar menghasilkan energi untuk memasak dan juga mempertahankan berlangsungnya proses pirolisis), tetapi proses autothermal ini belum mampu untuk mengkonversi semua biomassa dalam ruang pirolisis menjadi biochar. Oleh sebab itu dibutuhkan bahan bakar tambahan dalam jumlah yang cukup signifikan pada ruang pembakaran untuk mencapai hasil ini, dan waktu yang diperlukan juga relatif lebih lama. Perma-salahan lain yang ditemukan adalah sistem aliran udara kompor anila kadang tertutup oleh abu hasil pembakaran bahan bakar yang menyebabkan nyala api padam atau kecil. Sedangkan jumlah biochar yang dihasilkan menurut pengujian yang dilakukan oleh Iliffe (2009) hanya sekitar 175 g/proses atau sekitar 500 g/hari dengan asumsi tiga kali memasak dalam satu hari. Iliffe (2009) juga menyarankan untuk aplikasi mendatang perlu dilakukan perbaikan (redesain) agar dapat dihasilkan biochar yang kontinyu dengan hasil yang lebih banyak dengan performa yang lebih baik. Hingga penelitian ini dilakukan belum ditemukan laporan mengenai perbaikan yang dilakukan berdasarkan desain kompor anila.
prinsip-10
prinsip kompor anila yang dapat menghasilkan biochar dan kompor roket yang efisien menghasilkan energi untuk memasak. Desain kompor gasifikasi-pirolisis ini diharapkan dapat dapat menjawab beberapa permasalahan penting dalam kompor anila. Beberapa perbaikan yang mau dicapai adalah dihasilkan biochar yang lebih banyak, lebih efisien dan efektif dengan berbagai bahan baku biomassa, proses autothermal yang merupakan proses paling penting kompor pirolisis dapat dicapai dengan baik. Diharapakan juga kompor ini dapat memenuhi kebutuhan energi masak suatu rumah tangga dan dapat diaplikasikan kelak pada desa-desa di Indonesia.
Pengujian kinerja kompor hasil desain dilakukan dengan berbagai bahan biomassa yang umum/mudah ditemukan disekitar desa perkiraan aplikasi seperti batok kelapa, sekam dan jerami padi, potongan kayu campuran, tandan kosong sa-wit, serta potongan bambu.
Bahan dan Metode
Lokasi dan Waktu Penelitian
Desain kompor dilakukan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Kampus IPB Dramaga. Pembuatan kompor gasifikasi-pirolisis dilakukan di Bengkel Sentosa Teknik Bogor. Pengujian kinerja kompor dilakukan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem serta Laboratorium Lapangan Siswadhi Soepardjo IPB Kampus Dramaga.
Waktu penelitian dilaksanakan mulai pada bulan Oktober 2014 hingga Juli 2015 meliputi studi literatur, pembuatan desain, konstruksi dan revisi desain serta pengujian.
Deskripsi Kompor Gasifikasi-pirolisis hasil desain
Dalam Gambar 6 diperlihatkan bagian (a) dan (b) merupakan desain kompor dalam bentuk tampilan tiga dimensi dan dua dimensi dan bagian (c) dan (d) hasil rancangan (detail terlampir):
(a) (b) (c) (d)
11 Kompor gasifikasi-pirolisis terdiri dari dua bagian utama yaitu pada bagian bawah adalah bagian pembakaran, yang berbentuk seperti kompor roket dan bagian atas adalah bagian pirolisis yang bentuknya seperti kompor anila. Pada bagian pembakaran terdapat ruang untuk memasukan bahan bakar dan ruang pembakaran biomassa dengan volume 14.345 cm3 atau 14,345 L. Ruang pembakaran ini terdiri atas tempat untuk bahan bakar dengan volume 8,607 L dan sisanya ruang udara dan abu pada bagian bawahnya. Berat total bagian pembakaran adalah 6,942 kg mengunakan stainlesssteel tebal 2 mm.
Bagian atas adalah ruang pirolisis dengan sistem batch yang yang dilengkapi dengan tempat untuk memasukan dan mengeluarkan bahan yang dibuat menjadi biochar dengan diameter 12 cm dan dua buah pipa dengan ukuran seperempat inchi dan setengah inchi yang berfungsi sebagai penghubung antara ruang pirolisis dengan ruang pembakaran untuk pembakaran volatile matter. Kedua pipa ini dilengkapi dengan valve yang dapat dibuka tutup. Volume ruang pirolisis adalah 17,215 L. Pada bagian tengahnya terdapat ruang kosomg berbentuk tabung tanpa penutup yang terhubung ke bagian ruang pembakaran yang berfungsi sebagai pengarah api menuju wadah tempat masak dan sekaligus sebagai penyalur panas bagi ruang pirolisis. Berat total bagian pembakaran adalah 10,480 kg mengunakan stainlesssteel tebal 2 mm dengan bagian input output dari pipa dengan penutup mengunakan sistem ulir.
Untuk mengurangi panas teradiasi ke lingkungan maka terdapat ruang yang berfungsi sebagai lapisan kedua sekaligus sebagai panyalur udara yang akan mengunakan panas yang terbuang (preheated air). Sedangkan pada bagian input-output biomassa digunakan bahan rock wool untuk mencegah kebocoran gas dan tar.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk menguji performa kompor gasifikasi-pirolisis hasil rekayasa dengan metode WBT (The Water Boilling Test) adalah: panci
stainless volume 7 liter, stop watch, suhu ruang, timbangan digital hingga 30 kg dengan ketelitian 1 gram, pengukur kadar air handheld digital, dua buah
thermocouple K type dan hybrid recorder sederhana, multimeter digital dengan pelengkap pengukur suhu dan gas CO detektor hingga 1 ppm.
Bahan yang akan digunakan untuk pembuatan biochar adalah batok kelapa, sekam dan jerami padi, potongan kayu campuran, tandan kosong sawit, dan potongan bambu. Bahan untuk bahan bakar utama adalah batok kelapa dan arang batol kelapa, kayu bakar dari senggon dan tanda kosong sawit. Diperlukan juga minimal 10 L air/pengujian untuk uji WBT.
Metode
12
biomassa. Maka untuk menguji performa kompor dilakukan sejumlah pengujian, pengukuran dan perhitungan parameter berikut:
1. Uji waktu mendidikan air.
2. Pengukuran laju pembakaran (burning rate) maka dapat dihitung daya output dari kompor
3. Mengukur efisiensi termal 4. Mengukur suhu di ruang bakar 5. Mengukur suhu di titik panci 6. Mengukur suhu di ruang pirolisis
7. Mengukur rasio pembakaran (fraksi bahan bakar yang terbakar secara tuntas di ruang bakar).
8. Mengukur jumlah bahan untuk memicu tercapainya temperatur pirolisis dan proses autothermal
9. Mengukur lamanya proses autothermal
10. Mengukur jumlah biochar yang dihasilkan per proses
11. Menghitung rasio biochar terhadap bahan baku yang digunakan 12. Mengukur waktu yang perlukan menghasilkan biochar
13. Mendeteksi gas CO yang dihasilkan
Pengujian dan pengukuran di atas mengunakan pengukuran standar The Water Boilling Test (WBT) untuk poin 1 – 3. Poin 4-12 dilakukan dengan pengukuran sederhana dengan stopwatch, timbangan digital dan thermocouple. Untuk point 13, dilakukan dengan gas CO detektor.
Tidak semua pengukuran suhu di atas dilakukan secara serentak karena keterbatasan alat ukur. Maka beberapa pengujian dilakukan secara terpisah. Pengujian yang memerlukan pengukuran yang “serentak” dilakukan beberapa kali dengan mengunakan standard perlakuan yang sama.
Perlakuan awal Bahan Baku dan Pengukuran Kadungan air
Bahan baku yang digunakan khususnya untuk pengujian titik didih air (WBT), perlu diukur kadar airnya mengunakan pengukur kadar air handheld digital yang disampling secara acak masing-masing 3 buah dan dilakukan pengukuran kadar air pada bahan tersebut masing-masing di tiga titik yang berbeda. Dilakukan perhitungan rata-rata dari total sembilan sampling per bahan.
The Water Boilling Test (WBT)
WBT yang dilakukan hanya pada pada fase 1 (high power cold start), mendidihkan air dari proses penyalaan kompor hingga air mendidih dan fase 2 (high power hot start), mendidihkan kompor pada kondisi kompor telah menyala stabil melanjutkan posisi pada fase 1. Pengujian WBT mengunakan panci ukuran 7 L dengan air sebanyak 5 L.
13 Daya output/Power kompor (P):
� =�� .�� (1) Dimana P adalah power dalam (kW), ΔMf adalah massa bahan yang digunakan, B adalah nilai kalor LHV (lower heating value) bahan bakar yang digunakan dalam kJ/Kg dan Δt adalah waktu dalam detik. Laju bahan bakar (ǿ) dihitung dengan persamaan:
� = �/ (2) dimana laju bahan bakar (ǿ) dalam kg/jam. Efisiensi kompor menyatakan ukuran penggunaan energi yang dikonversi menjadi panas untuk masak di panci:
� = Mw T −Ti p + M HM . % (3) Dimana η adalah efisiensi termal dalam persen, Mw massa air awal dalam kg, TB titik didih air (oC), Ti suhu awal air/suhu lingkungan (oC), Cp panas spesifik air yaitu 4,186 kJ/kg-K, Me massa air menguap (kg), H panas laten penguapan air yaitu 2.257 kJ/Kg, Mf massa bahan bakar yang terpakai dalam pengujian, dan B adalah LHV bahan bakar (kJ/kg).
Pengukuran laju dan jumlah bahan bakar dapat diukur langsung dengan mengamati perubahan massa dengan penimbangan langsung dengan timbangan digital seperti diperlihatkan Gambar 7. Perubahan dan jumlah biomassa yang dibakar dan berubah menjadi gas dapat diukur secara langsung. Juga dapat diamati penggunaan bahan bakar secara spesifik.
Gambar 7 Formasi Pengujian WBT dengan penimbangan laju pembakaran dan perubahan biomassa selama pengujian
Deteksi Gas CO
14
awal, saat belum terjadi pirolisis dan setelah terjadi pirolisis dengan jarak sekitar 30 cm dari titik api.
Rasio Pembakaran, Output Biochar dan Rasio Biochar
Pembakaran biomassa pada ruang pembakaran (combustion chamber) tujuannya adalah menghasilkan pembakaran yang menunjang terjadinya proses pirolisis dan pada waktu yang sama menghasilkan energi untuk memasak. Oleh sebab itu pembakaran di ruang bakar menjadi salah satu faktor penting kinerja kompor gasifikasi pirolisis. Salah satu cara mengukur performa suatu kompor bakar adalah mengukur rasio pembakaran yang merupakan rasio antara bahan yang tersisa dengan berat awal bahan bakar:
� �� =� � � � (4)
Output biochar adalah jumlah/berat biochar yang dihasikan oleh kompor gasifikasi pirolisis per proses. Output biochar yang dihasilkan ditimbang secara langsung dengan melakukan pengurangan berat perangkat pirolisis dan biochar dikurangi berat perangkat pirolisis dan juga dilakukan penimbangan hasil biochar setelah dingin dan dikeluarkan dari ruang pirolisis. Rasio biochar yang dihasilkan dihitung dengan rumus:
� � ℎ = � ℎ
� � � � � � (5) Temperatur Pirolisis, Jumlah Bahan Bakar dan Autothermal
Temperatur pirolisis diukur dalam ruang pirolisis saat tercapai output gas (volatile matter) dari ruang pirolisis ke ruang bakar mulai terbakar dan juga dicatat waktunya. Autothermal diukur pada saat sistem kompor telah mencapai temperatur pirolisis dan dapat menghasilkan pembakaran yang menopang berlangsungnya proses pirolisis secara mandiri serta menghasilkan juga energi untuk memasak.
Jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk memicuh terjadinya proses pirolisis dan mendukung proses autothermal memiliki karakter berbeda untuk tiap bahan yang berbeda. Pengujian dilakukan dengan mengunakan bahan yang sama yaitu batok kelapa dan diperlakukan secara sama. Dari jumlah bahan bakar yang dibutuhkan dapat dikonversi menjadi jumlah energi yang dibutuhkan dengan rumus:
Jumlah Energi = Jumlah biomassa x LHV biomassa (6) Pengukuran Suhu Titik Panci, Ruang Pirolisis dan Ruang Bakar
15 Hasil dan Pembahasan
Desain awal kompor dilakukan beberapa perbaikan untuk mencapai tujuan dari desain kompor. Perbaikan yang dilakukan yaitu diameter awal pipa penghubung ruang pirolisis dan ruang bakar yang pada awalnya seperempat inchi, diganti dengan setengah inchi dan pada bagian ujungnya dibuat lebih besar. Pergantian ini memberikan hasil waktu dan kualitas pembentukan biochar menjadi lebih cepat dan juga masalah sumbatan yang diakibatkan oleh tar dapat diatasi dan lebih mudah dalam pembersihannya. Permasalahan tar dapat juga diperkecil dengan mencegah volatile matter mencapai atau lebih rendah dari titik embunnya (dew point) untuk mencegah terbentuknya tar.
Dengan menjaga suhu volatile matter tetap tinggi, keuntungan lain yang diperoleh adalah volatile matter saat dibakar suhu yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dan komponen-komponen rantai karbon panjang yang membutuhkan titik temperatur bakar yang tinggi akan terbakar lebih sempurna. Pada penelitian lanjutan komponen dan faktor-faktor ini perlu diamati dan diukur lebih teliti. Kemungkinan besar suhu lebih tinggi, pembakaran lebih sempurna, polusi lebih rendah dihasilkan karena faktor-faktor ini.
Penggunaan dua lapis pada ruang pirolisis dengan mengalirkan udara panas dari dinding ruang bakar cukup efektif setelah lubang pembatas aliran udara diperbesar. Proses pirolisis dalam menghasilkan autothermal berjalan dengan baik.
Pada bagian input output ruang pirolisis yang sering bocor dapat diatasi dengan mengunakan bahan rockwool yang juga berfungsi sebagai isolator suhu. Bentuk kotak yang terdiri dari dua bagian dibuat hanya satu dan berbentuk pipa yang dilengkapi penutup berulir. Dengan mengunakan tempat tatanan kompor gas berbentuk bulat dapat memperbaiki masalah api yang besar dan memperbaiki luas permukaan pembakaran yang pada akhirnya memperbaiki efisiensi kompor. Kadar Air Bahan Bakar
Hasil pengujian bahan baku (batok kelapa) yang telah dianginkan dan bahan baku yang baru diambil dari pasar digunakan pada tes 1, tes 2 dan tes 3 WBT. Hasil pengujian kandungan air (water content) diperlihatkan pada Tabel 1. Pada saat bahan baku tersebut diujikan diperoleh hasil bahwa kadar air berpengaruh pada pengujian cold start saja. Pada pengujian hot start tidak berbeda secara signifikan. Waktu untuk mendidihkan air pada bahan dengan kadar air lebih tingga lebih lama dibandingkan dengan yang lebih rendah. Bahan bakar utama pada proses cold start
adalah biomassa pada ruang bakar, volatile matter dari ruang pirolisis belum terbakar dengan sempurna. Pada proses hot start proses pirolisis yang menghasilkan
volatile matter sudah terbakar dengan sempurna.
16
prosesnya langsung pada tahap pirolisis sehingga kadar air pada tahap hot start
tidak berpengaruh.
Tabel 1 Hasil Uji KadarAir (Moisture Content) bahan bakar yang digunakan.
Gambar 8 Proses tingkat pembakaran biomassa (Sumber Roth 2011)
Kinerja Kompor
Waktu mendidihkan air 5 L untuk cold start dan hot start berbeda secara signifikan. Waktu mendidikan air pada cold start dari 12 – 23 menit sedangkan dengan hot start hanya 6-12 menit. Dengan mengunakan bahan bakar batok kelapa dengan LHV = 20.860 kJ/kg, pengukuran penggunaan bahan bakar sebanyak 221 g = 0,221 kg dalam waktu 8 menit = 480 detik sebelum pirolisis dan sesudah pirolisis bahan bakar yang digunakan 1.066 g = 1,066 kg dalam waktu 16 menit = 960 detik.
Dengan mengunakan persamaan (1) maka diperoleh daya kompor sebelum pirolisis adalah 9,60 kW dan sesudah pirolisis adalah 23,16 kW. Perbedaan dengan
range yang besar, karena laju penggunaan bahan bakar antara sebelum pirolisis dan sesudah pirolisis berbeda cukup besar. Dengan mengunakan persamaan (2) dan dikalikan dengan 3600 terlebih dahulu diperoleh laju bahan bakar (rata-rata) sebelum pirolisis adalah 1,66 kg/jam dan sesudah pirolisis adalah 4,00 kg/jam.
Sumber bahan bakar kompor sebelum pirolisis dan sesudah pirolisis berbeda. Sebelum pirolisis bahan bakar yang terbakar (berkurang) hanyalah bahan bakar yang terdapat di bagian ruang bakar sedangkan setelah pirolisis yang terbakar adalah volatile matter yang dihasilkan dari ruang pirolisis. Pada saat suhu di ruang
Test-1
1 2 3
Piece 1 14.7% 14.1% 16.9% Piece 2 17.0% 14.3% 13.2% Piece 3 13.5% 13.4% 17.0%
Average moisture content (%) dry-basis 15% wet-basis 13%
Instrument reading (% dry basis)
Test-2
1 2 3
Piece 1 14.2% 17.3% 13.1% Piece 2 13.4% 13.5% 24.2% Piece 3 14.3% 16.3% 17.0%
Average moisture content (%) dry-basis 16% wet-basis 14%
Instrument reading (% dry basis)
Test-3
1 2 3
Piece 1 27.5% 26.5% 31.5% Piece 2 27.7% 36.4% 26.1% Piece 3 27.7% 17.6% 21.5%
Average moisture content (%) dry-basis 27% wet-basis 21%
17 pirolisis mencapai 100 oC atau lebih maka yang pertama-tama terjadi adalah terjadi pengeringan yaitu kadar air keluar dari bahan biomassa. Dalam pengujian terlihat dalam rentang ini gas yang keluar dari ruang pirolisis belum terbakar karena mengandung sebagian besar uap air (sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Roth 2011 pada Gambar 8).
Setelah pengeringan maka biomassa yang terdiri dari tiga komponen utama; hemiselulosa, selulosa dan lignin mulai terurai. Penelitian sebelumnya terkait penguraian biomassa dengan komponen-komponen tersebut mengunakan suhu yang berbeda-beda diperoleh bahwa hemiselulosa terurai pada suhu antara 180-240 oC (Zeriouh dan Belbirl 1995, Li et al. 2008), sementara selulosa terurai antara suhu 230-310 oC (Zeriouh dan Belbirl 1995). Lignin mulai terurai pada suhu 160-170 oC dan terus terurai dengan laju yang lambat hingga suhu 900 oC (Li et al. 2008). Menurut Zheng et al. (2010) sebagian besar biomassa dalam proses pirolisis terurai pada suhu antara 200-400 oC. Jadi laju biomassa terdekomposisi dengan cepat menjadi volatile matter terjadi dalam dalam rentang suhu tersebut (Zheng et al. 2010), dan di atas suhu 400 oC reaksi utama yang terjadi adalah proses aromatisasi dengan laju massa yang lambat (Fisher et al. 2002).
Hasil pengukuran laju pembakaran (perubahan berat dan selisih perubahan berat) dengan mengunakan bahan batok kelapa (ruang bakar dan ruang pirolisis) diperlihatkan pada Gambar 9, sebelum pirolisis terjadi sebelum menit ke-12 dan pirolisis mulai menit ke-13. Dari Gambar 9 tersebut terlihat bahwa laju perubahan biomassa pada saat pirolisis lebih besar jika dibandingkan dengan sebelum pirolisis. Pada akhir menjelang berakhirnya proses pirolisis laju perubahan menjadi menurun hingga praktis tidak ada lagi perubahan (semua biomassa di ruang pirolisis telah menjadi biochar). Kondisi ini juga terlihat dimana volatile matter yang terbakar semakin kecil hingga padam.
Gambar 9 Hasil pengukuran laju pembakaran biomassa dan proses pirolisis dengan mengunakan bahan baku batok kelapa,
18
% setelah pirolisis. Efisiensi sebelum pirolisis lebih rendah dari sesudah pirolisis karena pada awal penyalaan (colt start) sebagian energi panas yang dihasilkan masih rendah dan juga dipergunakan untuk memanaskan bodi kompor dan ruang bakar dan ruang pirolisis. Disamping itu pembakaran gas mampu bakar hasil pirolisis lebih efisien dibandingkan dengan pembakaran langsung sebelum pirolisis. Hal ini dapat juga dilihat dari warna api dan pengukuran suhu pada titik panci sebelum dan sesudah pirolisis.
Efisiensi termal dalam perhitungan di atas belum memasukan penggunaan panas untuk memicu terjadinya proses pirolisis dan mempertahankan proses pirolisis tersebut. Jika ini diperhitungkan maka nilai efisiensinya seharusnya lebih tinggi baik sebelum maupun sesudah pirolisis. Dalam sistem kompor ini penambahan efisiensi tersebut hanya disebut sebagai keuntungan sistem dimana dapat dihasilkan biochar secara cuma-cuma.
Penimbangan hasil akhir abu dan bahan bakar tersisa setelah kompor padam pada ruang bakar diperoleh berat yang tersisa (abu dan arang) = 28 g, input bahan bakar 1200 g maka dapat dihitung rasio pembakaran dengan mengunakan persamaan (4) yaitu sebesar 2,3 %. Hal ini berarti untuk setiap biomassa yang dibakar adalah 97,7%. Hal ini menunjukkan bahwa aliran udara ke ruang bakar dan suhu panas dalam ruang bakar dengan batok kelapa, membakar hampir semua bahan bakar yang dimasukan hanya tersisa sedikit abu dalam jumlah kecil.
Dekteksi gas CO pada awal pembakaran tinggi, saat ruang pembakaran semakin panas maka deteksi CO menunjukkan penurunan. Pada saat sudah menyalah dengan baik tetapi belum terjadi pembakaran gas pirolisis dapat dicapai emisi gas CO yang rendah dibawah 25 ppm. Saat terjadi pirolisis gas CO berada dibawa 18 ppm bahkan sering tidak terdeteksi.
Kapasitas input bahan baku tergantung jenis bahan baku karena memiliki volume yang berbeda-beda persatuan berat (berat jenis). Untuk batok kelapa dengan potongan seperti dari pasar, kapasitas maksimun input adalah 3 kg/proses, sedangkan sekam padi maksimum 1,5 kg, jerami padi 1,2 kg (kondisi kering), tandan kosong sawit 1,8 kg/proses (kondisi kering), potongan bambu kering 3 kg/proses (kondisi kering) dan potongan kayu campuran kering 3 kg/proses (kondisi kering). Output biochar yang dihasilkan dengan input maksimal adalah batok kelapa 700 – 900 g, sekam padi 672 g, jerami padi 535 g, tandan kosong sawit 507 g, potongan bambu 834 g dan potongan kayu campuran 726 g. Jika keseluruhan biomassa tersebut dijumlahkan dihitung nilai rata-rata biochar yang dihasilkan perproses maka diperoleh hasil rata-rata 679 g/proses.
19 Tabel 2 Jumlah maksimum input, hasil output biochar dan rasio biochar
beberapa bahan biomassa dengan kompor combustion-pirolisis
Jenis Biomassa Input
Tabel 3 Karakteristik pirolisis (temperatur pirolisis, waktu mulai pirolisis dan autothermal) dan jumlah dan jenis bahan bakar yang digunakan di ruang bakar.
20
Pengukuran Suhu Titik Panci, Ruang Pirolisis dan Ruang Bakar
Pengukuran suhu api di titik panci memperlihatkan bahwa sejak api menyala pada ruang bakar maka dengan cepat suhu pada titik panci akan meningkat. Pengukuran temperatur pada titik api panci sebelum terjadi pirolisis, suhu tertinggi yang dicapai dalam beberapa percobaan berkisar 770 – 792 0C. Sedangkan pada saat pirolisis terjadi dan autotermal berlangsung suhu tertinggi berkisar 826 – 868 0C, lebih tinggi jika dibandingakan sebelum terjadi pirolisis. Hal ini memperlihatkan bahwa pembakaran dengan mengunakan gas pirolisis dalam kompor gasifikasi pirolisis ini lebih tinggi temperaturnya dibandingkan pembakaran yang dihasilkan oleh ruang pembakaran. Hal ini dapat juga diamati dari warna api, pembakaran volatile matter hasil pirolisis memiliki warna api kekuningan, sementara pada pembakaran biasa warna apinya antara merah dan kuning.
Pada titik panci jika suhu titik panci belum tinggi maka akan muncul jelaga yang membuat panci menjadi hitam. Pada saat terjadi pirolisis maka panci tidak menjadi hitam lagi asal pada bagian atas panci terjadi pembakaran yang lebih sempurna yaitu tersedia aliran udara yang cukup.
Pengukuran suhu dalam ruang pirolisis memberikan data-data pada suhu berapa mulai terjadi pirolisis dan proses autothermal. Gambar 10 memperlihatkan pengukuran suhu ruang pirolisis, suhu tertinggi dicapai dalam beberapa percobaan berkisar 455 – 468 oC dengan mengunakan batok kelapa. Pada percobaaan lainnya dengan mengunakan kayu campuran suhu ruang pirolisis mencapai 579 oC.
Pada Gambar 10, pengukuran suhu ruang pirolisis dengan batok kelapa dilakukan hanya sampai menit ke-33. Pada waktu tersebut (menit ke-33) proses autotermal telah berhenti, produksi volatile matter tidak lagi dihasilkan ditandai dengan api pada ruang bakar telah padam. Hasilnya semua material biomassa dalam ruang pirolisis telah menjadi arang 100%.
Gambar 10 Pengukuran suhu ruang pirolisis hingga produksi gas pirolisis (volatile matter) berhenti pada pada menit ke-33 ditandai dengan padamnya api pada ruang bakar.
21 terlihat bahwa terjadi proses pendinginan yang berlangsung secara logarimik. Dari beberapa pengalaman uji coba jika suhu ruangan pirolisis masih di atas 100 oC maka jika ruang pirolisis dibuka, biochar yang telah jadi akan membara jika bersentuhan dengan udara luar. Disarankan ruang pirolisis dibuka pada suhu dibawah 100 oC. Dalam pengujian dicapai pada suhu sekitar 70 oC telah aman untuk dibuka.
Gambar 11 Pengukuran suhu ruang pirolisis hingga gas pirolisis berhenti pada pada menit ke-34, dilanjutkan tahapan pendinginan yang berlangsung secara logaritmik.
Gambar 12, merupakan hasil pengukuran yang dilakukan secara paralel. suhu ruang pirolisis dengan suhu ruang pembakaran. Tingginya suhu pada ruang bakar tidak akan langsung membuat suhu ruang pirolisis tinggi. Kenaikan suhu dalam ruang pirolisis berlangsung hampir membentuk garis lurus. Yang diperlukan dalam ruang pirolisis menjaga trend kenaikan suhu hingga mulai terbentuk proses pirolisis.
Gambar 12 Hasil pengukuran suhu ruang bakar dibandingkan dengan suhu ruang pirolisis, fluktuasi suhu ruang bakar tidak terlalu berpengaruh terhadap suhu ruang pirolisis. Diperlukan pemanasan untuk mempertahankan konsistensi suhu dalam ruang pirolisis agar proses pirolisis tetap terjaga.
0 200 400 600 800 1000
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45
S
u
h
u
(
oC)
Waktu (Menit Ke-)
Suhu Ruang Bakar Vs Ruang Pirolisis
22
Limitasi Eksperimen
Pengukuran dan pengamatan dilakukan dengan sistem pembacaan manual karena keterbatasan alat-alat ukur dan titik pengukuran suhu pada ruang bakar dan ruang pirolis hanya dilakukan pada satu titik yang dianggap mewakili semua suhu pada ruang bakar dan ruang pirolisis. Pengujian dilakukan di ruang yang hanya tertutup oleh atap jadi belum dapat mewakili jika digunakan di ruang masak/dapur jika diaplikasikan.
Simpulan
23
3
POTENSI REDUKSI GRK APLIKASI KOMPOR
GASIFIKASI PIROLISIS DENGAN PEMANFAATAN
OUTPUT BIOCHAR SEBAGAI PEMBENAH TANAH
DAN PENYIMPAN KARBON
Pendahuluan
Ada dua cara utama biochar dapat berperan dalam reduksi GRK menurut Woolf (2008) yaitu pertama, biomassa yang seharusnya akan teroksidasi dalam jangka pendek dan menengah, dengan dikonversi menjadi biochar dihasilkan kandungan kaya karbon yang stabil terhadap pengaruh oksidasi. Maka akan terjadi penyerapan karbon yang seharusnya memasuki atmosfer sebagai GRK menjadi karbon stabil yang tersimpan dalam tanah. Kedua, produk gas dan bio oil hasil piro-lisis dapat digunakan sebagai bahan bakar yang dapat mengantikan penggunaan bahan bakar (BBM). Dengan kata lain produksi biochar dapat secara simultan menghasilkan energi terbarukan seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Karbon (C) stabil dalam biochar dapat menjadi penyimpan karbon (carbon sequestration) untuk jangka panjang. Selain itu proses ini dapat juga bermanfaat sebagai pengelolaan limbah biomassa (Robert et al. 2010, Lehman dan Joseph. 2009).
Potensi biochar sebagai pembenah tanah dan penyimpan karbon telah memberikan banyak minat penelitian di bidang ini sejak tahun 1950 ketika Wim Sombroek menemukan sepetak tanah subur disekeliling tanah yang tidak subur di daerah Amazon. Tanah yang ditemukan tersebut diberi nama Terra Preta ("black earth"). Setelah diteliti tanah tersebut berusia antara 1800 hingga 2300 tahun (Woods et al. 2009, Glaser 2007). Ini membuktikan bahwa biochar dapat mendukung kesuburan tanah dan dapat sebagai media efektif penyimpan karbon untuk jangka waktu yang lama (Cheng et al. 2006, Woolf 2008, Woolf et al. 2010). Sohi dan Shackley (2009) melukiskan bagaimana penyimpanan karbon dengan aplikasi biochar, seperti ditunjukan pada Gambar 13a. Energi yang dipakai dalam proses pirolisis maupun energi yang dapat dimanfaatkan memiliki emisi CO2 bersifat netral. CO2 yang dihasilkan didaur ulang oleh tanaman menjadi biomassa dalam proses fotosintesis yang selanjutnya dipakai kembali dalam daur sistem (Demirbas 2004). Tanaman penghasil biomassa juga menyerap CO2 dari udara dan menyimpannya sebagai bimassa. Biomassa tersebut dikonversi menjadi energi dan biochar. Biochar yang dihasilkan disimpan ke dalam tanah dan stabil untuk jamgka waktu yang lama..
24
juga memperlihatkan bahwa dalam proses aplikasi biochar sebagai pembenah tanah, diperhitungkan oksidasi C tanah, pengolahan tanah dan transportasi.
(a) (b)
Gambar 13 (a) Prinsip penyimpanan karbon biochar (Sumber Shackley dan Sohi (2009), (b) Konsep biochar lestari (sustainable biochar concept) (Sumber: Woolf et al. 2010)
Sedangkan untuk menghitung net balance emisi/reduksi GRK aplikasi biochar sebagai pembenah tanah, Scholz et al. (2014) mengambarkan faktor-faktor emisi dan reduksi/penyerap GRK dengan membagi menjadi efek langsung dan efek tidak langsung aplikasi biochar yang memberikan dampak pada mitigasi perubahan iklim seperti diperlihatkan pada Gambar 14. Emisi langsung yang dihasilkan adalah emisi proses pirolisis dan C labil. Jika dibandingkan dengan penyerapannya yaitu proses fotosintesis dan C stabil dalam biochar memiliki net balance serapan yang masih lebih besar. Demikian juga dengan efek tidak langsung emisi yaitu perubahan penggunaan lahan, emisi tanah dan albedo serta transportasi jika dibandingkan dengan serapan tidak langsung yaitu pencegahan emisi CH4 dan N2O, penganti penggunaan energi fosil, peningkatan hasil biomassa tanaman, peningkatan SOM dan lainnya, jika dibandingkan masih juga lebih besar serapannya, masih bersifat menyerap karbon (carbon zink).
25
Gambar 14 Implikasi aplikasi biochar terhadap mitigasi perubahan iklim (Sumber Scholz et al. (2014)
Biochar sebagai pembenah tanah ditentukan oleh karakteristiknya. Karakteristik biochar ditentukan oleh jenis bahan baku dasar biomassa. Selain itu suhu yang digunakan dalam memproduksi biochar juga sangat menentukan karakteristiknya. Berbagai karakteristik tersebut dalam memproduksi biochar tergantung dari konsentrasi elemen-elemen dasar yaitu C,H,O dan N serta perbandingan/rasio dari kandungan tersebut meliputi rasio H/C, O/C, C/N, H/O dan kandungan Organik Carbon (OC) (Lehmann dan Joseph 2009). Secara khusus untuk mengukur kandungan aromaterapi dan kematangan biochar mengunakan rasio H/C dan O/C yang dilukiskan dalam bentuk diagram Krevelen seperti diperlihatkan dalam Gambar 15 (Lehmann dan Joseph.2009).
Gambar 15 Diagram Van Krevelen Rasio H/C dan O/C biochar pada suhu yang berbeda-beda, semakin tinggi suhu semakin rendah O/C dan H/C (Sumber: Lehmann dan Joseph2009).