• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP (Oil Spill Contingency Plan) di Pesisir Selatan Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP (Oil Spill Contingency Plan) di Pesisir Selatan Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SENSITIVITAS LINGKUNGAN OSCP (

OIL SPILL

CONTINGENCY PLAN

) DI PESISIR SELATAN DELTA

MAHAKAM, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

MURSALIN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP (Oil Spill Contingency Plan) di Pesisir Selatan Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Mursalin NIM. P052100101

(4)

RINGKASAN

Mursalin. Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP (Oil Spill Contingency Plan) di Pesisir Selatan Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur. Dibimbing oleh I Wayan Nurjaya dan Hefni Effendi.

Pesisir selatan Delta Mahakam merupakan bagian dari wilayah Delta Mahakam yang dicirikan oleh adanya endapan material sedimen lewat aliran air dari muara Sungai Mahakam. Selain memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, pesisir selatan Delta Mahakam juga kaya akan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta proses produksi minyak dapat menjadikan peluang terhadap bahaya pada kemungkinan terjadinya pencemaran minyak. OSCP (Oil Spill Contingency Plan) merupakan sebuah tindakan yang disiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pencemaran perairan oleh tumpahan minyak di suatu area.

Di dalam OSCP, dua elemen utama harus diidentifikasi sebelum memasuki tahapan penilaian risiko dan tindakan respon. Analisis sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam hanya dua tahapan awal dari elemen OSCP, yaitu mengintegrasikan kondisi bahaya dengan kerentanan sumberdaya pesisir. Analisis sensitivitas lingkungan OSCP akan memetakan komponen lingkungan dalam bentuk peringkat sensitivitas dari kemungkinan pencemaran minyak sebagai upaya untuk mendukung pengembangan strategi respon dan prioritas perlindungan terhadap sumberdaya pesisir. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah (1) menetapkan peringkat sensitivitas lingkungan dan (2) mengidentifikasi faktor utama yang mendukung sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam.

Pengumpulan data dilakukan dengan mengelaborasi data hasil penelitian sebelumnya dari berbagai sumber, observasi lapang dan identifikasi foto udara. Hasil identifikasi dan elaborasi komponen lingkungan selanjutnya diaplikasikan kedalam metode zonal yang dimodifikasi melalui segmen garis. Analisis data untuk kondisi lingkungan pesisir seperti kemiringan pantai dan kontur dasar perairan dianalisis dengan ERDAS Imagine 9.1 dan ArcGis 9.3. Tipe pasang surut dianalisis dengan formula formzhal. Arah dan kecepatan angin dianalisis dengan WRPLOT 4.8.5. Arah dan kecepatan arus dari data model simulasi pola arus dianalisis secara deskriptif. Eksposur tidal flat dianalisis dengan indeks eksposur. Karakteristik sumberdaya pesisir dianalisis dari grid foto udara dengan ArcView GIS 3.3 dan ArcGis 9.3/10.1. Kemudian analisis sensitivitas lingkungan OSCP dianalisis melalui indeks prioritas lingkungan, dan identifikasi faktor utama penyusun sensitivitas lingkungan OSCP dianalisis dengan analisis komponen utama.

(5)

dan 0.18-0.31 m/s (musim timur). Kecepatan arus lemah terjadi saat kondisi surut sebesar 0.007-0.09 m/s (musim barat) dan 0.01-0.19 m/s (musim timur). Eksposur

tidal flat sangat terlindung dengan panjang segmen garis pantai sebesar 431.96 atau sekitar 52.05% dari 829.82 km total garis pantai di area penelitian.

Vegetasi mangrove terdiri dari jenis Nipa (Nypa fruticans), Pedada (Sonneratia sp), Api-api (Avicennia sp), Bakau (Rhizophora sp), Tancang (Bruguiera sp) dan Nyirih (Xylocarpus sp). Biota perairan umumnya adalah jenis crustacea, dan beberapa jenis ikan dari famili Scieanidae, Leiognathidae, Apogonidae, Engraulidae, Mullidae, dan Polynemidae. Famili burung dijumpai ± 33 famili (± 186 individu). Terdapat 6 famili burung dengan jumlah individu terbanyak, yaitu Ardeidae sebesar 10.75% (20 individu), Accipitridae sebesar 9.68% (18 individu), Alcedinidae, Columbidae, Scolopacidae masing-masing sebesar 8.60 % (16 individu) dan Laridae sebesar 8.06% (15 individu). Total luasan area bervegetasi adalah ± 65,585,045 m². Mangrove non Nipa sebesar ± 16,950,770 m², Nipa sebesar ± 48,225,223 m², semak belukar sebesar ± 188,438 m² dan rumput sebesar ± 220,614 m². Kemudian tambak udang dan ikan sebesar ± 38,805,364 m². Area pemukiman sebesar ± 551,643 m²), platfom migas sebesar ± 287,010 m², lahan terbuka sebesar ± 427,641 m² dan penempatan alat tangkap pasif sebesar ± 482 m². Berdasarkan area buffer 200 m sekitar 62.05 % area penelitian masih bervegetasi.

Pesisir selatan Delta Mahakam memiliki kriteria sensitivitas sangat rendah sebesar 12.64% (105 km), kriteria sensitivitas rendah sebesar 1.78% (15 km), kriteria sensitivitas sedang sebesar 11.92% (99 km), kriteria sensitivitas tinggi sebesar 11.31% (94 km) dan kriteria sensitivitas sangat tinggi sebesar 62.37% (517.52 km). Analisis komponen utama menunjukkan 36.01% keragaman dijelaskan oleh sumbu faktor 1. Lainnya 18,53% dan 13.93% dijelaskan oleh sumbu faktor 2 dan sumbu faktor 3. Secara bersamaan, ketiga sumbu faktor tersebut menjelaskan 68.48% keragaman dari elemen sumberdaya pesisir penyusun sensitivitas lingkungan OSCP. Sumbu faktor 1 untuk ekposur tidal flat

(EK), oil residence index (ORI/OR), tipe pantai (TP) dan sumberdaya hayati (SH) memiliki koefisien kombinasi linier yang cukup besar, masing-masing sebesar 0.94 (EK & OR), 0.83 (TP) dan 0.75 (SH). Hal ini menunjukkan adanya kontribusi yang sangat tinggi terhadap penyusunan tingkat sensitivitas lingkungan OSCP. Pada sumbu faktor 2, koefisien kombinasi linier sebesar 0.83 dan 0.85 terdapat pada pemanfaatan sumberdaya untuk pelabuhan (PL) dan pemukiman (PM). Sumbu faktor 3, memiliki kontribusi sebesar 0.75 dan 0.66 terdapat pada

platform migas (PO) dan area tangkapan (AT). Akan tetapi pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk PL, PM, PO dan AT baik pada sumbu faktor 2 dan sumbu faktor 3 memiliki jarak yang cukup jauh dengan variabel SInya. Hal ini dimungkinkan oleh persentase penyebaran dari tiap variabel tersebut cukup kecil (0.001-0.52%) sehingga belum menunjukkan adanya representase keeratan dari elemen sumberdaya pesisir dengan variabel SI di area penelitian.

(6)

SUMMARY

Mursalin. Environmental Sensitivity Analysis for OSCP (Oil Spill Contingency Plan) at Southern Coast of Mahakam Delta, East Kalimantan Province. Supervised by I Wayan Nurjaya and Hefni Effendi.

The southern part of coastal Mahakam is belonged to Mahakam Delta characterized by the sedimentary material deposition through the water flow from the mouth of the Mahakam River. Not only possessing a fairly high biodiversity, the south coast of Mahakam Delta also has rich natural resources, such as oil and gas. The exploration and exploitation of oil production cause oil pollution possibility. Oil Spill Contingency Plan (OSCP) is an action prepared for anticipating coastal pollution caused by oil spills in specified area.

In OSCP, there are two main elements have to be identified before entering the stage of risk assessment and response actions. Environmental sensitivity analysis for OSCP at south coastal Mahakam Delta is only carried out at two early stages of the OSCP scope, which integrates the dangers with the coastal vulnerability. This analysis mapped environmental component in the form of sensitivity rangking of the oil pollution as an effort to support response development strategies and priorities for the coastal resources protection. The aims of this research were (1) to assess environment sensitivity rank and (2) to identify primary factor supporting the environmental sensitivity for OSCP in south Delta Mahakam area.

Data was collected by elaborating previous research from various sources, field survey and aerial photographs identification. The results of environment components identification and elaboration were applied for zonal method modified by line segments. Data analysis for coastal environmental condition, such as coastal slope and contours of the bottom waters were analyzed by ERDAS Imagine 9.1 and ArcGIS 9.3. Tidal type was analyzed by Formzhal formula. Wind speed and direction were analyzed by WRPLOT 4.8.5. Current speed and direction from the data of simulation model flow patterns were analyzed descriptively. Tidal flat exposure was analyzed by exposure index. The characteristics of coastal resources from the aerial photograph was analyzed with ArcView GIS 3.3 and ArcGIS 9.3/10.1. Then, environment sensitivity OSCP was analyzed through environmental priorities index. Primary factor supporting environmental sensitivity OSCP identification was analyzed by Principal Component Analysis.

(7)

to be very protected with the shoreline length segments of 431.96 km or around 52.05% from the total shoreline in the study area (829.82 km).

The mangrove vegetation was composed of Nipa (Nypa fruticans), Pedada (Sonneratia sp), Api-api (Avicennia sp), Bakau (Rhizophora sp), Tancang (Bruguiera sp) dan Nyirih (Xylocarpus sp). Aquatic biota includes crustaceans, and some species of fish of the family Scieanidae, Leiognathidae, Apogonidae, Engraulidae, Mullidae, and Polynemidae. Bird families found were ± 33 families (± 186 individuals). There were six families of birds with the highest number of individuals, i.e. Ardeidae 10.75% (20 individuals), Accipitridae 9.68% (18 individuals), Alcedinidae, Columbidae, Scolopacidae respectively 8.60% (16 individuals) and Laridae 8.06% (15 individuals). Total vegetation area was ± 65,585,045 m². It consisted of Nipa non mangrove (± 16,950,770 m²), Nipa (± 48,225,223 m²), shrubs (± 188.438 m²) and grasses (± 220.614 m²). Then the shrimp and fish ponds was ± 38,805,364 m². The width of settlement area was ± 551.643 m², migas platforms (± 287.010 m²), open land (± 427.641 m²) and placement of passive fishing gear (± 482 m²). Base on buffer area along 200 m to land, approximately 62.05% of the area study was still vegetated.

South coastal Mahakam Delta had five sensitivity criteria, (1) very low sensitivity 12.64% (± 105 km), (2) low sensitivity 1.78% (± 15 km), (3) medium sensitivity 11.92% (± 99 km), (4) high sensitivity 11.31% (± 94 km) and (5) very high sensitivity 62.37% (± 517.52 km). Principal component analysis showed that 36.01% variability was explained by axis of factor 1. The other variabilities were 18.53% and 13.93% explained by axis of factor 2 and factor 3. The third axis of factor explained 68.48 % variability of elements coastal resources supporting environmental sensitivity OSCP. Axis of factor 1 for tidal flat exposure 0.94 (EK), oil residence index 0.94 (OR/ORI), coastal type 0.83 (TP), and biological resources 0.75 (SH) had a coefficient of linear combinations which is quite large. This suggests a very high contribution to the drafting level of environmental sensitivity for OSCP. On axis of factor 2, coefficients of the linear combinations for the resource utilization of port (PL) and settlement (PM) were 0.83 and 0.85 respectively. Axis of factor 3 had contribution value 0.75 for migas platform (PO) and 0.66 for placement of passive fishing gear/ catchment area (AT). However, the utilization of coastal resources for PL, PM, PO and AT was on axis of factor 2 and factor 3 which had a considerable distance with its SI variable. This was likely caused by each variable of percentage distribution of minor value (0.001-0.52%); hence it has not pointed out coastal resources elements closeness with SI variable in the study area.

(8)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

ANALISIS SENSITIVITAS LINGKUNGAN OSCP (

OIL SPILL

CONTINGENCY PLAN

) DI PESISIR SELATAN DELTA

MAHAKAM, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

MURSALIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP (Oil Spill Contingency Plan) di Pesisir Selatan Delta Mahakam,

ProvinsiKalimantan Timur

Nama : Mursalin

NIM : P052100101

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc Ketua

Dr Ir Hefni Effendi, MPhil Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah puji syukur tidak lupa dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas hidayah dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP (Oil Spill Contingency Plan) di Pesisir Selatan Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc dan Dr Ir Hefni Effendi, MPhil atas segala arahan dan bimbingannya kepada penulis, serta Dr Ir Etty Riani, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah bersedia menjadi penguji dan atas saran dan masukan yang sangat berharga dalam pendekatan perbaikan tesis. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS beserta Staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas segala kesempatan dan arahannya selama masa studi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada instansi terkait dan rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam pengumpulan dan penggunaan data selama proses penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, serta seluruh keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2014

(13)

DAFTAR ISI

Sumber Pelepasan Minyak ke Laut 4

Sifat dan Proses Pelapukan Minyak di Laut 5

Pengaruh Tumpahan Minyak di Laut 8

Metode Penanganan Tumpahan Minyak 11

Kasus Tumpahan Minyak di Indonesia 14

Oil Spill Contingency Plan 15

Indeks Sensitivitas Lingkungan 16

3 METODE 20

Waktu dan Lokasi Penelitian 20

Alat dan Bahan 20

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Pengumpulan Data 21

Analisis Data 22

Kondisi Lingkungan Pesisir Selatan Delta Mahakam 22

Arus dan Pasang Surut 22

Arah dan Kecepatan Angin 23

Kemiringan Pantai dan Kontur Dasar Perairan 23

Eksposur Tidal Flat 23

Pemetaan Karakteristik Sumber Daya Pesisir Delta Mahakam

24

Indeks Sensitivitas Lingkungan OSCP 24

Analisis Komponen Utama 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27

Kondisi Lingkungan Pesisir Selatan Delta Mahakam 27 Kemiringan Pantai dan Kontur Dasar Perairan 28

Pasang Surut 29

Arah dan Kecepatan Angin 29

Arus 30

Eksposur Tidal Flat 34

Sumberdaya Pesisir dan Pemanfaatannya 35

Mangrove dan Biota Perairan 35

(14)

Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir 41

Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP 44

5 SIMPULAN DAN SARAN 49

1. Beberapa kasus tumpahan minyak di dunia 5

2. Makna kategori peringkat sensitivitas lingkungan 25 3. Konstanta harmonik (amplitudo) pasut di pesisir selatan Delta

Mahakam

29

4. Arah dan kecepatan rata-rata arus musim di perairan Selat Makasar sekitar garis khatulistiwa

32

5. Kecepatan arus di pesisir selatan Delta Mahakam 32

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian 3

2. Illustrasi proses tingkah laku minyak mentah setelah terjadi tumpahan di laut

5. Respon berjenjang (tiered response) tumpahan minyak 16 6. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 1(a-b) – 2 (c)

(IPIECA/IMO 1994; IPIECA/IMO/OGP 2011)

18

7. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 3 (d-e); ESI 4 (f-g); ESI 5 (h-i); ESI 6 (j-l); ESI 7 (m-n) (IPIECA/IMO 1994; IPIECA/IMO/OGP 2011)

19

8. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 8 (o-p); ESI 9 (q-r); ESI 10 (s-t) (IPIECA/IMO 1994; IPIECA/IMO/OGP 2011)

19

9. Peta lokasi penelitian di pesisir selatan Delta Mahakam 21 10. Grid area penelitian di pesisir selatan Delta Mahakam 22 11. Bagan alir rangkaian analisis pemetaan sumber daya pesisir di

pesisir selatan Delta Mahakam

(15)

12. Kondisi umum lingkungan pengendapan di pesisir selatan Delta Mahakam (a. delta front; b. prodelta)

27

13. Persentase kemiringan garis pantai/pesisir di pesisir selatan Delta Mahakam

28

14. Wind rose angin di area penelitian (a. arah dan kecepatan angin; b. distribusi frekuensi kecepatan angin)

30

15. Arus lintas Indonesia (ARLINDO) 31

16. Simulasi pola arus saat menjelang pasang (i. musim barat; ii. musim tmur)

32

17. Simulasi pola arus saat menjelang surut (i. musim barat; ii. musim tmur)

33

18. Simulasi pola arus saat pasang (i. musim barat; ii. musim tmur) 33 19. Simulasi pola arus saat surut (i. musim barat; ii. musim tmur) 34 20a. Kategori eksposur pantai di pesisir selatan Delta Mahakam

(i.panjang eksposur pantai; ii. proporsi eksposur pantai)

35

20b. Peta kategori ekposur pantai di pesisir selatan Delta Mahakam 36 21a. Tipikal dan kondisi umum vegetasi di pesisir selatan Delta

Mahakam

37

21b. Peta tipikal dan kondisi umum vegetasi di pesisir selatan Delta Mahakam

38

22. Biota perairan tangkapan nelayan di pesisir selatan Delta Mahakam (a-b. Scieanidae; c-d. Leiognathidae; e-f

Apogonidae; g. Engraulidae; h. Mullidae; i-j. Polynemidae; k-l. Crustacea)

39

23a. Persentase dan jumlah individu burung di pesisir selatan Delta Mahakam

40

23b. Famili burung yang sering dijumpai di pesisir selatan Delta Mahakam (i. Accipitridae; ii-iii. Ardeidae; iv. Columbidae; v.

Scolopacidae; vi. Laridae; vii. Alcedinidae)

40

24a. Persentase pemanfaatan lahan di pesisir selatan Delta Mahakam

41

24b. Tipikal pemanfaatan sumberdaya pesisir di pesisir selatan Delta Mahakam

42

24c. Peta kondisi umum pemanfaatan sumberdaya pesisir di pesisir selatan Delta Mahakam

43

25. Kriteria sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam (i. panjang sensitivitas garis pantai; ii. proporsi sensitivitas)

44

26. Grafik analisis komponen utama penyusun sensitivitas

lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam (i. faktor 1 vs faktor 2; ii. faktor 1 vs faktor 3)

45

27. Gambaran umum kriteria sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam (i-ii. sangat rendah; iii-iv. rendah; v-vi. sedang; vii-viii. tinggi; ix-x. sangat tinggi)

47

28. Peta sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Elemen sumber daya pesisir penyusun sensitivitas lingkungan

OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam

53

2. Klasifikasi kerentanan pantai terhadap tumpahan minyak (Gundlach dan Hayes 1978; dan Bishop 1983, diacu dalam Mukhtasor 2007)

53

3. Kriteria ORI dan estimasi lamanya waktu minyak tinggal 54 4. Indeks residensi minyak (ORI) di pesisir selatan Delta Mahakam 54 5. Distribusi kelas kemiringan pantai di pesisir selatan Delta

Mahakam

55

6 Matrik analisis sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pesatnya perkembangan industri perminyakan di daerah pantai (coastal zone) maupun lepas pantai (offshore) dapat memberikan konsekuensi yang positif bagi manusia dan lingkungannya. Selain itu, kegiatan tersebut juga dapat memberikan konsekuensi yang negatif jika dalam hal perencanaan, pengoperasian dan pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik. Konsekuensi negatif yang sering terjadi adalah kasus pencemaran perairan, seperti terjadinya tumpahan minyak yang dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap sumberdaya pesisir baik dari laut ke darat ataupun sebaliknya.

Pesisir selatan Delta Mahakam merupakan bagian dari wilayah Delta Mahakam yang dicirikan oleh adanya endapan material sedimen yang terbawa lewat aliran air dari muara Sungai Mahakam sepanjang 770 km dan dari Selat Makassar (Sidik 2008). Selain memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, pesisir selatan Delta Mahakam juga kaya akan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi. Adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta proses produksi minyak (aktifitas pengeboran, penempatan kilang penampungan minyak/oil storage dan pendistribusian minyak) dapat menjadikan peluang terhadap bahaya pada kemungkinan terjadinya pencemaran minyak.

Menurut Migas Indonesia (2004) bahwa kecelakaan dalam kegiatan pertambangan minyak dan gas hampir dipastikan selalu menyertai kegiatan pengembangan pertambangan di area pesisir maupun di lepas pantai dan menjadi salah satu sumber pencemar lingkungan dalam setiap tahapan proses produksinya. Minyak yang tumpah ke perairan biasanya menyebar membentuk lapisan dan gumpalan. Secara kolektif, penyebaran tersebut akan membentuk lapisan dan gumpalan kemudian mengalami pelapukan, dan proses tersebut dikenal sebagai

weathering of oil (pelapukan minyak) (Bishop 1983, diacu dalam Mukhtasor 2007). Minyak yang mencemari perairan cenderung mengapung di atas permukaan air dan dengan mudah mencapai pantai oleh gerakan arus, gelombang dan pasang surut perairan.

OSCP (Oil Spill Contingency Plan) merupakan sebuah tindakan yang disiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pencemaran perairan oleh tumpahan minyak di suatu area (IPIECA 2000). Sejak tahun 1979, OSCP telah terintegrasi dengan indeks sensitivitas lingkungan ketika sehari sebelum terjadinya tumpahan minyak akibat ledakan sumur IXTOC 1 di Teluk Meksiko (NOAA 2002). Menurut US EPA (1999), ada dua elemen utama dalam OSCP harus diidentifikasi sebelum memasuki tahapan penilaian risiko dan tindakan respon, yaitu identifikasi bahaya dan identifikasi kerentanan komponen lingkungan. Kajian analisis sensitivitas lingkungan OSCP dalam hal ini hanya dua tahapan awal dari elemen OSCP, yaitu mengintegrasikan kondisi bahaya dengan kerentanan sumberdaya pesisir di pesisir selatan Delta Mahakam. Identifikasi bahaya hanya informasi umum prihal kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di area pesisir.

(18)

2

Selain itu, berbagai jenis komponen lingkungan dan sumberdaya pesisir yang berpotensi terkena tumpahan minyak sebagai dasar dalam prioritas perlindungan dan pembersihan sangat penting untuk diidentifikasi.

Analisis sensitivitas lingkungan OSCP akan memetakan komponen lingkungan dalam bentuk peringkat sensitivitas dari kemungkinan pencemaran minyak sebagai upaya dalam mendukung pengembangan strategi respon dan prioritas perlindungan terhadap sumberdaya pesisir. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah menetapkan peringkat sensitivitas lingkungan dan mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mendukung sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian bahwa analisis sensitivitas lingkungan OSCP merupakan sebuah persiapan untuk mengantisipasi dan merespon dengan cepat dalam rangka melindungi sumberdaya pesisir terhadap kemungkinan tumpahan minyak di pesisir selatan Delta Mahakam. Oleh sebab itu beberapa rumusan yang akan menjadi dasar permasalahan yang dimunculkan dalam penelitian ini adalah:

 Bagaimanakah tingkat sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam.

 Faktor utama apa yang mendukung tingkat sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam.

Kerangka Pemikiran

Pesisir selatan Delta Mahakam merupakan bagian dari area Delta Mahakam yang memiliki kekayaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir yang cukup tinggi. Di kawasan ini sejak lama dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak maupun gas bumi oleh beberapa perusahaan multinasional. DKP (2007) diacu dalam Sidik (2008) menyatakan bahwa Delta Mahakam telah diakui sebagai salah satu zona terbesar produksi minyak dan gas bumi di Indonesia. Salah satu perusahaan mulitinasional di kawasan ini telah memproduksinya sebesar ± 70.000 barel minyak/hari. Selain dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak maupun gas bumi, area ini juga sering dijadikan sebagai jalur pelayaran. Kegiatan eksplorasi, eksploitasi, produksi minyak dan gas bumi serta kegiatan pendistribusian minyak baik melalui kapal maupun melalui jalur pemipaan bawah laut merupakan kegiatan yang memiliki tingkat kecelakaan yang cukup tinggi sehingga dapat memberikan peluang bahaya terhadap kemungkinan terjadinya tumpahan minyak.

(19)

3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dan rumusan masalah yang dimunculkan, serta untuk mengantipasi permasalahan yang akan mucul maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk :

 Menetapkan peringkat sensitivitas lingkungan OSCP sebagai gambaran sensitivitas relatif.

 Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mendukung sensitivitas lingkungan OSCP di pesisir selatan Delta Mahakam.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa tersedianya peta sensitivitas lingkungan OSCP yang menggambarkan sensitivitas relatif di pesisir selatan Delta Mahakam. Selain itu, dapat dijadikan sebagai alat informasi untuk menentukan strategi penanggulangan sumberdaya pesisir terhadap pencemaran minyak.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Oil Spill

Pesisir Selatan Delta Mahakam

Foto Udara Sumberdaya Hayati Fitur Pantai Pemanfatan Sumberdaya Pesisir

Kemiringan, Eksposur & Tipe Pantai, Sumberdaya Pesisir dan Pemanfaatannya

Identifikasi & Klasifikasi Sumberdaya Pesisir

Analisis Sensitivitas Lingkungan OSCP

Peringkat Sensitivitas Lingkungan OSCP

Peta Sensitivitas Lingkungan OSCP

Illustrasi tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal dalam

pendistribusian Illustrasi tumpahan

(20)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sumber Pelepasan Minyak ke Laut

Tumpahan minyak dapat terjadi karena berbagai alasan seperti kegagalan peralatan, bencana, tindakan yang disengaja, atau kesalahan manusia (Anderson dan LaBelle 2000, diacu dalam Adelana et al. 2011). Menurut Prince dan Lessard (2004) bahwa minyak mentah masuk ke lingkungan dapat melalui rembesan alam (natural seeps), limpasan (runoff), tumpahan dari kapal tanker (tanker spills) dan bocornya pipa (pipeline spills). Kemudian Mukthasor (2007) menyatakan bahwa selain melalui rembesan dari alam, kecelakaan kapal tanker dan limpasan,

petroleum hydrocarbons masuk ke lingkungan laut melalui kecelakaan akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak di lepas pantai.

Eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak di lepas pantai memiliki kontribusi yang relatif kecil dibandingkan dengan jumlah total minyak bumi yang masuk ke perairan laut, terkecuali pada kasus tertentu, yaitu kecelakaan yang sangat besar seperti semburan sumur minyak (well blowout), kerusakan struktur

platform, dan kerusakan peralatan (Mukthasor 2007).

Rembesan alam

Rembesan alam yang ditemukan di seluruh dunia, dan skala pelepasannya cukup besar. Dewan Riset Nasional memperkirakan bahwa input total tahunan minyak ke laut dari semua sumber adalah sekitar 1,3 juta ton, dengan hampir 50% berasal dari rembesan alami. Misalnya, rembesan alam di Teluk Meksiko merilis sekitar 140.000 ton minyak per tahun ke laut, lepas pantai Southern California merilis 20.000 ton per tahun, dan lepas pantai Alaska melepaskan 40.000 ton (Prince dan Lessard, 2004). Rembesan muncul melalui patahan tulang pada puncak-puncak lipatan di formasi batuan di bawah dasar laut yang mengandung deposit. Minyak dan gas cenderung naik dan terjebak dalam lipatan anticlinal

pada strata sub batuan laut (Clark et al. 2000 diacu dalam Adelana et al. 2011).

Limpasan pantai Amerika Serikat sekitar 5300 ton/tahun skala penggunaan minyak diperkirakan dari penggunaan pelumas mesin.

Tumpahan minyak oleh kapal tanker

(21)

5

Tabel 1. Beberapa kasus tumpahan minyak di dunia

No. Nama Tumpahan Lokasi Tanggal Jumlah (Barrel)

1 Torrey Canyon Lands End, Inggris 18-03-67 860,000

2 Sea Star Gulf of Oman 19-12-72 937,000

3 Show Maru Selat Malaka, Indonesia 06-01-75 1,000,000

4 Urquiola La Coruna, Spanyol 12-05-76 733,000

5 Amoco Cadiz Brittany, Prancis 16-03-78 1,619,048

6 Independenia Istambul, Turki 15-11-79 687,785

7 Nowruz Oil field Persian Gulf, Iran 04-02-83 1,904,762

8 Arabian Gulf/Kuwait Persian Gulf, Iran 19-01-91 9,000,000

Sumber : Oil Spill case histories (1967-1991); NOAA (1992) diacu dalam Mukthasor (2007)

Tumpahan minyak oleh kebocoran pipa

Di Amerika Serikat, dua pertiga dari semua minyak di alirkan melalui pipa. Sekitar 114,000 mil pipa mengangkut produk minyak mentah dan 86,500 mil pipa mengangkut produk olahan. Kebocoran pipa sering disebabkan oleh kesalahan dalam proses penggalian dan penempatannya sehingga minyak sering terjadi tumpahan dan dapat menghilangkan sekitar 19,500 ton minyak pertahunnya. Tumpahan terbesar terjadi pada tahun 1979 diteluk Meksiko, ketika terjadi ledakan pada sumur IXTOC 1 yang menumpahkan minyak mentah sebesar 476,000 ton. Pada tahun 1997, telah terjadi kasus tumpahan minyak pada pipa bawah laut yang menyalurkan minyak mentah sebesar 940 ton dari selatan Louisiana ke Danau Barre. Minyak menyebar seluar 1,750 ha, akan tetapi hanya 0.1 ha terjadi kematian pada rawa. Minyak yang menggenang di beberapa tepi rawa cukup sedikit, sebagain besar minyak menguap dan pada daerah yang ringan tersebut minyak dibersihkan dalam kurun waktu sekitar 2 bulan (Prince dan Lessard 2004).

Sifat dan Proses Pelapukan Minyak di Laut

Minyak yang tumpah ke laut akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimianya. Perubahan tersebut dapat menyebabkan hilangnya sebagian minyak yang tumpah dari permukaan laut dan sebagian dapat juga bertahan. Secara alami minyak yang tumpah ke laut dapat mengalami asimilasi, akan tetapi proses tersebut sangat bergantung pada volume minyak yang tumpah, karakteristik fisik dan kimia minyak, serta kondisi oseanografi lokasi tumpahan. Pemahaman tentang interaksi minyak dengan lingkungan yang dapat mengubah sifat, komposisi dan perilaku minyak di laut merupakan hal yang mendasar untuk diketahui agar dalam respon terhadap tumpahan minyak dapat dapat dilakukan penanganan secara efektif dan efisien. Berikut beberapa aspek yang dapat diketahui dalam hal sifat dan proses pelapukan minyak di laut (ITOPF 2002), yaitu:

Sifat minyak

Minyak memiliki karakteristik tertentu baik secara fisik maupun kimia. Minyak mentah sangat bervariasi dalam karakteristiknya. Berikut beberapa sifat fisik utama yang mempengaruhi perilaku dan ketahanan minyak di laut:

 Densitas.

(22)

6

Minyak mentah memiliki specific gravity dalam rentang 0.79 – 1.00 (atau setara dengan API 10-48). Densitas minyak minyak sangat penting untuk memprediksi kelakuan minyak di air. ITOPF (2002) menyaakan bahwa selain dapat menentukan apakah minyak akan mengapung atau tidak, densitas juga dapat digunakan untuk mengindikasikan sifat-sifat umum lainnya seperti dengan densitas rendah minyak cenderung mengandung proporsi komponen penguapan yang tinggi sehingga viskositasnya menjadi rendah.

 Karakteristik distilasi.

Karakteristik distilasi minyak dapat menggambarkan sifat volatilitasnya. Jika suhu pada minyak dinaikkan maka komponen tertentu satu demi satu akan mencapai titik didih dan menguap, seperti penyulingan. Karakteristik distilasi merupakan proporsi minyak yang tersaring dalam rentang suhu tertentu. Ada beberapa minyak yang tidak mudah tersaring bahkan pada suhu tinggi sekalipun. Ini memungkinkan minyak-minyak tersebut akan bertahan dalam waktu yang cukup lama di lingkungan.

 Viskositas

Viskositas merupakan sifat yang menunjukkan ketahanan dalam perubahan bentuk dan pergerakan (Mangkoedihardjo 2005). Viskositas minyak sangat resisten terhadap adanya aliran. Minyak dengan viskositas tinggi tidak mudah mengalir seperti halnya minyak dengan viskositas rendah. Umumnya minyak menjadi lebih kental pada suhu rendah, akan tetapi beberapa minyak tertentu sangat tergantung pada komposisi penyusunnya. Suhu air laut seringkali lebih rendah dari suhu di atas kapal. Hal ini dapat menyebabkan minyak yang tumpah ke laut akan memiliki perubahan viskositas (akibat perubahan suhu). Dalam operasi pembersihan, seperti penggunaan metode oil skimmer dan pemompaan, sangat sulit untuk diterapkan pada minyak dengan viskositas tinggi (ITOPF 2002).

 Titik ubah (pour point)

Titik ubah merupakan tingkat dimana temperatur dapat mengubah minyak menjadi memadat atau berhenti mengalir. Titik ubah minyak sangat penting untuk memprediksi tingkah laku minyak di air dan dapat dijadikan sebagai salah satu penetapan strategi pembersihan minyak dari lingkungan. Titik ubah minyak mentah dapat bervariasi antara -57oC sampai 32oC (Mangkoedihardjo 2005).

Proses pelapukan

(23)

7

perairan. Selengkapnya illustrasi dari proses tingkah laku minyak yang tumpah di laut disajikan dalam Gambar 2.

Sumber: ITOPF (2002)

Gambar 2. Illustrasi proses tingkah laku minyak mentah setelah Terjadi tumpahan di laut

Berdasarkan illustrasi Gambar 2 di atas, US EPA (1999) dan ITOPF (2002) menjelaskan uraian tentang proses perilaku minyak mentah setelah terjadi tumpahan di laut:

 Penyebaran (spreading); minyak yang tumpah di laut akan segera menyebar di atas permukaan laut. Kemampuan minyak menyebar di laut tergantung pada tegangan permukaan, berat jenis dan viskositas (Dave dan Ghaly 2011). Minyak dengan tegangan permukaan yang lebih rendah memiliki kemampuan untuk menyebar dengan sangat cepat bahkan tanpa adanya angin atau arus. Tegangan permukaan minyak sangat terkait dengan temperatur, dan peningkatan penyebaran minyak lebih cepat di perairan hangat daripada di perairan dingin. Selain itu, minyak dengan viskositas rendah juga akan menyebar lebih cepat dibandingkan dengan minyak yang memiliki viskositas tinggi.

 Penguapan (evaporation); tingkat penguapan akan tergantung pada suhu dan kecepatan angin. Secara umum minyak dengan titik didih di bawah 200°C akan menguap dalam waktu 24 jam. Selain itu, kecepatan angin yang tinggi dan suhu yang hangat juga akan meningkatkan laju penguapan.

 Dispersi (dispersion); gelombang dan pengaruh turbulensi di permukaan laut dapat menyebabkan semua atau sebagian dari lapisan minyak terpecah menjadi

droplet (butiran) dari berbagai ukuran yang tercampur ke dalam kolom air. Dispersi sebagian besar tergantung pada sifat minyak dan kondisi perairan. Minyak dengan viskositas rendah dan berada pada pecahan ombak sangat cepat terjadinya proses dispersi.

(24)

8

sangat cepat oleh proses penguapan, biasanya 10-1.000 kali lebih cepat dibandingkan dengan proses pelarutan. Konsentrasi hidrokarbon terlarut dalam air laut jarang melebihi 1 ppm sehingga proses pelarutan tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembersihan minyak dari permukaan laut.  Emulsifikasi (emulsification); merupakan proses perubahan status dari butiran

minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak (disebut juga chocolate mousse) (Mangkoedihardjo 2005). Dalam kondisi laut yang tidak tenang, minyak akan mengambil sebagian air membentuk emulsi dalam minyak. ITOPF (2002) menyatakan bahwa emulsi sangat mudah terbentuk pada minyak yang memiliki konsentrasi gabungan Nikel/Vanadium lebih besar dari 15 ppm atau konten asphaltene lebih dari 0,5% ketika minyak baru tumpah. Emulsi stabil berisi 70% - 80% air dan memiliki warna merah, coklat, oranye atau warna kuning. Emulsi kurang stabil dapat memisahkan minyak dan air jika dipanaskan oleh sinar matahari dalam kondisi tenang atau ketika terdampar di garis pantai.

 Oksidasi (oxidation); oksidasi terjadi ketika minyak terjadi kontak dengan air. Air dan oksigen akan bereaksi dengan hidrokarbon dalam minyak untuk menghasilkan senyawa yang larut dalam air (EPA 2002). Nicodem et al. (1997) diacu dalam Mangkoedihardjo (2005) menyatakan bahwa dalam kondisi

aerobic dan terpapar sinar matahari, minyak aromatic dapat ditransformasi menjadi senyawa lebih sederhana. Senyawa lebih sederhana ini (hydroperoxides, aldehydes, ketones, phenols, dan carboxylic acids) bersifat lebih larut air sehingga meningkatkan laju biodegradasi akan tetapi lebih bersifat toksik.

 Interaksi minyak-sedimen; beberapa minyak memiliki densitas lebih besar dari air laut (lebih dari 1.025) dan menyebabkan minyak tenggelam saat tumpah. Akan tetapi sebagian besar minyak mentah dan bahan bakar memiliki berat jenis yang cukup rendah. Minyak yang tumpah akan terdispersi dan berinteraksi dengan partikel sedimen tersuspensi dalam kolom air, sehingga minyak menjadi lebih berat dan tenggelam. Wilayah pesisir umumnya memiliki kedalaman perairan yang dangkal dan sering dicirikan oleh adanya padatan tersuspensi yang dapat mengikat tetesan minyak yang tersebar. Hal tersebut dapat mempercepat proses terbentuknya partikel sedimen berminyak dan tenggelam ke dasar laut.

 Biodegradasi (biodegradation); air laut mengandung berbagai mikro-organisme laut yang mampu mendegradasi senyawa minyak, seperti bakteri, kapang, jamur, alga uniseluler dan protozoa yang dapat memanfaatkan minyak sebagai sumber karbon dan energi. ITOPF (2002) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi laju dan tingkat biodegradasi adalah karakteristik dari minyak, ketersediaan oksigen dan nutrisi (terutama senyawa nitrogen dan fosfor) serta suhu.

Pengaruh Tumpahan Minyak di Laut

(25)

9

lingkungan fisiknya. Terjadinya pencemaran terhadap lingkungan pantai/pesisir sering menyebabkan bahaya terhadap satu atau lebih spesies dalam rantai makanannya sehingga menyebabkan kerusakan pada spesies lainnya. Biota perairan secara umum menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan terbuka, dekat daerah pesisir, atau di pantai. Hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada biota perairan dan lingkungannya jika terjadi tumpahan minyak.

Komponen minyak yang tidak larut dalam air akan mengapung dan menyebabkan air laut berwarna hitam. Kemudian beberapa komponen dari minyak akan tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batu-batuan di pantai. Hal tersebut memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan (Mukhtasor 2007).

Padang lamun

Lamun merupakan salah satu vegetasi bawah air yang tumbuh pada sebagian besar hamparan terumbu baik di intertidal maupun subtidal di sepanjang pantai perairan dangkal dan lagun. Vegetasi lamun mimiliki produktivitas yang tinggi, berperan dalam siklus nutrien, berfungsi sebagai daerah asuhan, tempat mencari makan, dan tempat berlindungnya berbagai spesies ikan yang memiliki nilai komersial tinggi.Vegetasi sangat sensitif terhadap kontaminasi minyak. Tertutupnya akar dan daun lamun dapat langsung menimbulkan kematian, menghambat sirkulasi udara dalam proses fotosintesis, warna daun menjadi coklat dan akhirnya membusuk serta mati (Jackson et al.1989).

Mangrove

Hutan mangrove merupakan sumber nutrien dan tempat memijahnya ikan dan organisme lainnya. Akar mangrove yang tertutupi oleh minyak dapat mencegah terjadinya difusi garam dan menghambat proses respirasi pada mangrove. Mukthasor (2007) menyatakan bahwa perakaran hutan mangrove berfungsi sebagai pertukaran CO2 dan O2, kadarnya akan berkurang jika tertutupi

oleh minyak dan selanjutnya dapat berpengaruh terhadap kehidupan mangrove dan organisme lainnya yang berasosiasi.

Terumbu karang

Dampak pencemaran minyak terhadap terumbu karang dapat bersifat mematikan (lethal) atau sub-lethal, seperti: pengurangan kemampuan reproduksi, perkembangan larva dan kolonisasi, laju pertumbuhan, kemampuan fotosintesa, struktur sel dan kemampuan makan. NOAA (2010) menyatakan bahwa dampak tumpahan minyak terhadap terumbu karang sangat bervariasi tingkat keparahannya tergantung pada kondisi tertentu seperti jenis dan volume minyak yang tumpah, komposisi jenis, dan sifat eksposur minyak. Luasan dan tingkat kerusakan terumbu karang akibat pencemaran minyak berkaitan erat dengan kepekaan dan kerentanan dari masing-masing spesies, lama keterpaparan, dan suhu lingkungan. Kemudian terumbu karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang (coral branching) lebih sensitif terhadap minyak dibandingkan dengan karang dengan bentuk pertumbuhan massive (coral massive) atau berbentuk piringan (NOAA 2010).

Mamalia laut

(26)

10

pada mamalia laut yang tetap harus terjaga untuk menjaga kestabilan suhu tubuhnya agar tetap hangat. Minyak dapat dengan mudah lengket pada bagian tubuh mamalia laut, sulit untuk menghindari predator jika minyak melengketkan sirip tubuhnya sehingga mudah untuk dimangsa, dapat terjadi infeksi dan kesulitan makan jika bulu sensor pada mamalia laut terlengketkan oleh minyak. Secara tidak langsung minyak yang mencemari perairan akan tertelan oleh mamalia laut saat mencari makan. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan pada saluran pencernaan dan kerusakan hati serta ginjal. Selain itu, US EPA (2002) menyatakan bahwa untuk semua jenis mamalia laut yang menghirup uap hidrokarbon dapat menyebabkan kerusakan syaraf dan kelainan perilaku.

Ikan

Kontak minyak dengan ikan dapat terjadi dengan cara yang berbeda. Minyak yang tumpah dapat menyebar dan terkontak langsung dengan ikan dan mencemari insangnya. Perairan yang tercemari oleh minyak dapat mengandung komponen kimia yang beracun dan dapat dengan mudah menguap. Komponen kimia yang beracun dari minyak dapat dengan mdah diserap oleh telur, larva, ikan remaja dan mungkin langsung makan makanan yang sudah terkontaminasi oleh minyak. Ikan yang tercemar atau terkontaminasi oleh minyak dapat menderita perubahan jantung, laju pernapasan, pembesaran hati, gangguan pertumbuhan, erosi sirip, gangguan reproduksi, terjadi perubahan biokimia dan seluler serta terjadinya pola perilaku/tingkah laku pada ikan (US EPA 2002).

Burung

Burung sangat rentan terhadap tumpahan minyak. Burung laut dapat menghabiskan waktunya di permukaan laut, menyelam ketika terganggu, dan memiliki tingkat reproduksi yang rendah terhadap tumpahan minyak. Selain itu, populasi spesies dengan jumlah individu yang kecil dan beberapa spesies yang terancam punah akan terpengaruh sangat buruk oleh kontaminasi tumpahan minyak (US EPA 2002). Bulu burung memiliki fungsi untuk menangkap udara dan memelihara burung dengan kehangatan dan daya apung. Burung yang terjebak atau tenggelam oleh tumpahan minyak akan menghilangkan kemampuannya untuk tetap bertahan di air dan, mereka mungkin menelan minyak ketika mencoba untuk membersihkan bulu mereka atau ketika mereka mencoba untuk makan makanan yang terkontaminasi, dan mereka mungkin akan menderita efek reproduksi jangka panjang.

Plankton

(27)

11

ditemukan dalam minyak. Copepoda yang bersentuhan langsung dengan minyak telah banyak mengalami peningkatan mortalitas, penurunan makan dan reproduksi.

Perikanan dan kegiatan budidaya

Perikanan dan industri budidaya merupakan hal penting yang mungkin akan terpengaruh oleh tumpahan minyak. Hasil tangkapan dan hewan budidaya akan terkontaminasi secara fisik akibat dari tercemarnya perairan oleh minyak. Kegiatan memancing dan perlatan budidaya akan terminyaki dan kegiatan memancing dapat terhenti sampai perlatan bersih dari minyak. Selain itu, kegiatan rekreasi perikanan (memancing), penangkapan ikan oleh nelayan, dan siklus budidaya akan terganggu oleh adanya tumpahan minyak dan akan berkonsekuensi tehadap gangguan ekonomi masyarakat sekitar. Kemudian hasil tangkapan nelayan pada area yang tercemari oleh minyak akan sulit untuk dipasarkan atau tidak adanya konsumen yang membeli produk makanan laut dari wilayah yang tercemari oleh minyak (ITOPF 2004).

Metode Penanganan Tumpahan Minyak

Penanganan kasus tumpahan minyak secara teknis di laut merupakan masalah yang cukup penting untuk diperdebatkan karena secara teknis tidak mungkin semua mampu dibersihkan pada perairan yang telah tercemari oleh adanya kejadian tumpahan minyak. Akan tetapi, Larson (2010) diacu dalam Dave dan Ghaly (2011) memberikan informasi terkait dengan teknis remediasi dalam pembersihan/penanganan tumpahan minyak baik secara fisik, kimia, thermal

maupun biologi.

 Metode remediasi fisik

Metode ini biasanya dilakukan untuk mengendalikan tumpahan minyak di lingkungan perairan, diantaranya terdiri dari oil booms, skimmers, dan absorbent. Metode-metode tersebut digunakan sebagai bahan penghlang untuk mengontrol tumpahan minyak agar tidak menyebar luas tanpa mengubah karakteristik fisik dan kimia dari minyak tersebut. Walaupun demikian metode remediasi fisik masih banyak memiliki hambatan dalam proses penggunaannya (Vergetis 2002 dan Fingas 2011, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011).

(28)

12

sumber: OSS (2010) diacu dalam Dave dan Ghaly (2011); OSS : Oil Spill Solution

Gambar 3. Tipe oil booms; (a) fence boom; (b) curtain boom; dan (c) fire resistant boom.

2) Skimmers; perlengkapan respon tumpahan minyak ini dapat digunakan secara bersamaan dengan oil booms untuk memulihkan minyak dari permukaan air tanpa mengubah sifat-sifatnya sehingga dapat diproses ulang dan digunakan kembali. Skimmers terdiri dari tiga kategori, yaitu wier skimmers, oleophilic skimmers dan suction skimmers (Nomack dan Cleveland 2010, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011). Wier skimmer bertindak seperti bendungan dan mengumpulkan minyak yang mengambang dari permukaan air melalui aksi gravitasi. Skimmer oleophilic termasuk drum, tali, sikat dan jenis sabuk skimmer. Minyak yang terperangkap di atas permukaan bahan dapat diperas dari permukaan dan dikumpulkan dalam tangki penyimpanan. Skimmer oleophilic dapat memulihkan 90% dari minyak dalam air karena sifat mereka

oleophilic. Sedangkan suction skimmers berupa pompa vakum dengan sistem udara yang dapat menyedot minyak dan mentransfernya ke tangki penyimpanan. Suction skimmers sangat efisien dalam menangani berbagai viskositas minyak tetapi memiliki hambatan jika lubang penghisapan tersumbat oleh puing-puing. Keberhasilan skimmers tergantung pada jenis dan ketebalan dari tumpahan minyak, jumlah puing-puing di air, lokasi, kondisi cuaca dan umumnya skimmers cukup efektif digunakan pada perairan tenang (OSS 2010, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011).

sumber: US EPA (1999b) diacu dalam Dave dan Ghaly (2011)

Gambar 4. Tipe skimmers; (a) wier skimmers; (b) oleophilic skimmers; dan (c) suction simmers.

3) Absorbent; seperti sorben hidrofobik sangat menarik dalam mengendalikan tumpahan minyak, yaitu dapat memfasilitasi konversi zat cair ke fase semi padat dalam pembersihan minyak (Adebajo et al. 2003 dan OSS 2010, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011). Bahan-bahan Absorbent dalam pembersihan tumpahan minyak terdiri dari bahan organik alami, anorganik alami dan bahan sintesis. Adsorbent organik alami seperti kapuk, serbuk gergaji, serat nabati,

(a) (b) (c)

(29)

13

dan jerami. Choi dan Cloud (1992) diacu dalam Dave dan Ghaly (2011) melaporkan bahwa gulma dan serat kapas dapat menyerap 74-85% minyak mentah dari permukaan air laut. Kemudian adsorbent anorganik alami termasuk tanah liat, kaca, wol, pasir, dan abu vulkanik. Adsorbent anorganik alami memiliki kapasitas penyerapan 4-20 kali. Kelemahannya adalah tidak dianjurkan untuk permukaan air (US EPA 2011a, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011). Sedangkan adsorbent sintetis yang berupa polypropylene, busa polyester dan polystyrene tersedia dalam lembaran, gulungan dan juga dapat diterapkan pada permukaan air sebagai bubuk. Adsorbent sintetis ini telah menyerap kapasitas 70-100 kali dari bobotnya dalam minyak karena memiliki sifat hidrofobik dan oleophilic (Choi dan Cloud 1992; Deschamps et al. 2003; USEPA 2011a, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011).

 Metode remediasi kimia

Dalam hal membatasi penyebaran minyak di laut dan melindungi garis pantai serta habitat laut yang sensitif, metode remediasi kimia biasanya dikombinasikan dengan metode fisik. Bahan kimia yang digunakan dapat menanggulangi tumpahan minyak karena memiliki kemampuan untuk mengubah sifat fisik dan kimia minyak (Vergetis 2002 diacu dalam Dave dan Ghaly 2011). Bahan kimia yang digunakan untuk membatasi penyebaran tumpahan minyak biasanya dispersan dan solidifiers. Dispersan terdiri dari surfaktan yang memiliki kemampuan untuk memecah minyak menjadi tetesan kecil dan dapat dengan mudah terdegradasi (Lessard dan Demarco 2000, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011). Sedangkan solidifiers merupakan bahan polimer hidrofobik (granular kering) yang dapat bereaksi dengan minyak untuk mengubah keadaan cair menjadi karet sehingga dapat dengan mudah dibersihkan secara fisik.

 Metode remediasi thermal

Metode remediasi ini dilakukan dengan melakukan pembakaran in situ

dengan peralatan dan perlengkapan yang khusus, yaitu minyak berada dalam lingkaran fire-resistant boom. Metode ini secara efektif dilakukan dalam kondisi angin tenang dan minyak baru tumpah atau produk minyak yang tumpah mudah untuk dibakar tanpa menimbulkan bahaya bagi kehidupan di laut. Namun, residu dari hasil pembakaran dapat tenggelam dan menutupi sedimen dasar laut (Davidson et al. 2008, diacu dalam Dave dan Ghaly 2011).

 Metode remediasi biologi atau bioremediasi

(30)

14

Kasus Tumpahan Minyak di Indonesia

Tumpahan minyak di perairan merupakan kejadian yang sangat berperan penting terhadap kerusakan dan kelestaraian ekosistem perairan dan dampak turunan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar lokasi kejadian. Pada tahun 2004 tepatnya tanggal 25 Juni 2004 telah terjadi kasus pencemaran perairan akibat tumpahan minyak di perairan Balikpapan oleh Kapal MT. Panos G yang berupa tumpahan limbah kerak mentah (sludge oil). Berdasarkan hasil penilaian melalui penelitian penilaian terpadu dampak tumpahan minyak di perairan Balikpapan (kasus tumpahan sludge oil dari kapal MT.Panos) bahwa kejadian tumpahan minyak tersebut telah menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove seluas 18 ha, rusaknya 4 ha wilayah rehabilitasi mangrove, rusaknya ekosistem lamun seluas 1 ha dan tercemarinya pasir pantai Balikpapan sepanjang 5 km. Selain itu terdapat kematian pada anakan mangrove, matinya padang lamun, menimbulkan dampak berupa terganggunya tempat hidup berbagai jenis hewan laut berupa ikan, udang yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat (http://www.digilib.ui.ac.id).

Sama halnya di daerah Kepulauan Seribu, di utara Jakarta yang dalam empat tahun terakhir, ada 78 pulau di Taman Nasional Kepulauan Seribu telah tercemari oleh tumpahan minyak. Kawasan ini merupakan kawasan perairan tempat mobilisasi kapal tanker pengangkut minyak oleh perusahaan-perusahan migas (http://www.jatam.org; senin, 2 Maret 2011). Selain itu, menurut media masa (Tempo Interaktif , 2007) bahwa tumpahan minyak telah mencemari Pulau Kotok Besar (berjarak 20 mil di Utara Ancol, Jakarta) dan Pulau Harapan (berjarak 10 mil di Timur Laut Pulau Kotok). Selain itu gumpalan minyak telah mengotori 20 pulau pada pantai-pantai wisata dan pemukiman di kawasan 2 (dua) pulau tersebut (http://www.tempo.com; Minggu, 19 Oktober 2008). Kemudian kasus tumpahan minyak juga telah terjadi di kawasan perairan Indramayu. September 2008 kapal tanker Arendal yang membawa minyak mentah tumpah di anjungan Laut Jawa karena kebocoran pipa dari kapal tanker ke tangki Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan. Tumpahan minyak mentah 150 ribu DWT mencemari laut sejauh 48 kilometer. Sekitar 12.800 ha tambak udang dan tambak bandeng di 14 kecamatan tercemar minyak. Pencemaran minyak yang terjadi pada Unit Pengolahan VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat telah mencemari sebagian besar kawasan pesisir Pabean Ilir yang berupa gumpalan minyak pekat bercampur pasir laut. Gumpalan minyak dan bekas tumpahan minyak masih terlihat di pantai Karang Song akibat tumpahan oleh Kapal tanker Arendal

(http://www.indramayupost.com; Rabu, 25 Februari 2009).

(31)

15

barel atau sekitar 118.000 liter per hari selama 74 hari. Jenis minyak bumi yang tumpah tersebut adalah minyak mentah fraksi ringan (light crude oil). Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) menjelaskan asumsi besarnya volume tumpahan minyak Montara ini berdasarkan pada jumlah cadangan minyak sebesar 24 juta barel atau 1.416.000.000 liter. Kapasitas produksi ini diperkirakan menghasilkan 35.000 barel atau 2.065.000 liter per hari, sehingga dapat diasumsikan bahwa jika hanya 25.000 barel atau 1.475.000 liter minyak yang dimuntahkan maka jumlah tumpahan tersebut mencapai sekitar 107 juta liter (Sumber: http://mobile.seruu.com; Senin, 21 Mei 2012).

Oil Spill Contingency Plan

Tumpahan minyak dan zat berbahaya lainnya tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun dampaknya dampak diminimalisasi dengan membentuk sebuah rencana respon dan aksi pencegahan. Lokasi yang terlindungi dan memiliki tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi perlu dilakukan upaya perencanaan dari kemungkinan tumpahan minyak (oil spill contingency plan) (INAC 2007). Menurut International Petroleum Industry Environmental Conservation Association (IPIECA 2000) bahwa perencanaan dari kemungkinan kasus tumpahan minyak (OSCP) harus mencakup beberapa bagian, yaitu strategi, tindakan dan operasi, serta ketersedian data yang kompleks. Kemudian menurut US EPA (1999) bahwa OSCP cukup rumit karena memberikan banyak rincian tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk mempersiapkan dan menanggapi tumpahan minyak. Hal ini juga mencakup banyak skenario tumpahan dan banyak situasi yang berbeda yang mungkin timbul selama atau setelah tumpahan. Meskipun adanya kompleksitas, contingency plan yang dirancang dengan baik dapat mudah untuk diikuti. OSCP biasanya memiliki empat elemen utama, yaitu identifikasi bahaya, analisis kerentanan, penilaian risiko, dan tindakan respon. Perencana menggunakan identifikasi bahaya dan analisa kerentanan untuk mengembangkan penilaian risiko. Penilaian risiko kemudian digunakan sebagai dasar untuk perencanaan tindakan respon tertentu.

OSCP secara luas telah diakui bahwa negara atau perusahaan yang telah memiliki perencanan terhadap kemungkinan terjadinya tumpahan minyak dipandang lebih siap dalam menghadapi keadaan darurat dari kejadian bahaya tumpahan minyak dari pada yang tidak memiliki. Manfaat yang sangan potensial dari OSCP adalah:

 Respon lebih efektif dan efisien dalam menghadapi insiden tumpahan minyak dan lebih memudahkan dalam strategi mengurangi kerusakan ekologi, ekonomi dan klaim kompensasi.

 Penegasan dalam prioritas perlindungan lingkungan oleh pihak pengusaha atau pemerintah.

 Meningkatkan pemahaman publik yang positif dalam perlindungan lingkungan.

(32)

16

dari kapal tanker atau tongkang yang beroperasi diperairan yang dalam, atau dari kegiatan eksplorasi dan operasi produksi di perairan internasional. Risiko tumpahan minyak dan respon terhadap tumpahan minyak harus diklasifikasikan menurut ukuran dan kedekatannya dengan fasilitas operasi perusahaan. Hal ini menyebabkan harus adanya konsep respon berjenjang (tiered response). Setiap perusahaan harus berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam responnya pada setiap kejadian tumpahan minyak.

Perencanaan dalam hal kemungkinan terjadinya tumpahan minyak harus mencakup setiap jenjang (tier) dan berhubungan langsung dengan skenariao dari potensi tumpahan minyak perusahaan. Jumlah peralatan dan personil yang terlatih harus diidentifikasi pada setiap jenjang (tier) karena untuk setiap operasi akan bervariasi tergantung dari beberapa faktor seperti risiko, lokasi, jenis minyak dan lingkungan atau ancaman dari sensitivitas kondisi sosial ekonomi. Gambar 5 menunjukkan illustrasi dari respon berjenjang (tiered response) dari ukuran kejadian tumpahan minyak.

Sumber : IPIECA (2000)

Gambar 5. Respon berjenjang (tiered response) tumpahan minyak

Tier 1 : Operasional-tipe tumpahan minyak yang mungkin terjadi pada atau dekat fasilitas perusahaan itu sendiri sebagai konsekuensi kegiatan sendiri. Setiap perusahaan biasanya akan memberikan sumber daya untuk menanggapi jenis tumpahan ini.

Tier 2 : Tumpahan lebih besar disekitar fasilitas perusahaan, dimana sumber daya dari perusahaan

lain, industri dan mungkin respon dari lembaga pemerintah di daerah dapat dipanggil untuk bergotong royong secara bersamaan. Sumber daya perusahaan di tier 1 dapat berpartisifasi dan memiliki akses peralatan yang memadai.

Tier 3 : Tumpahan leboh besar dimana sumber daya perusahaan secara substansi akan diperlukan

dan adanya dukungan secara nasional (tier 3) atau kerjasama secara internasioanl juga diperlukan. Sangat mungkin untuk operasi ini harus ada arahan dan kontrol langsung dari pemerintah. Hal ini penting untuk mengenali bahwa tumpahan yang terjadi di tier 3 dapat lebih dekat dengan taua jauh dari fasilitas perusahaan.

Indeks Sensitivitas Lingkungan

(33)

17

kasus tumpahan minyak. Kemudian dapat juga digunakan oleh perencana dalam mengidentifikasi lokasi-lokasi yang rawan dan menetapkan prioritas perlindungan dan mengidentifikasi strategi yang efektif dan efisien dalam upaya pembersihan.

Berdasarkan undang-undang yang disahkan oleh banyak negara di dunia serta persyaratan dalam kemungkinan tumpahan dari polusi minyak bahwa oil spill contingency plan membutuhkan sebuah informasi lokasi terhadap sumber daya yang sensitif sebagai dasar untuk menetapkan prioritas perlindungan (NOAA 2002). Peta indeks sensitivitas lingkungan merupakan ringkasan singkat dari sumber daya pesisir yang memiliki resiko jika terjadi tumpahan minyak di dekatnya. Salah satu contoh dari sumber daya pesisir yang beresiko adalah sumber daya hayati (seperti burung dan habitat kerang), garis pantai yang sensitif (seperti rawa-rawa dan daerah pasang surut yang rendah), dan sumber daya yang digunakan oleh masyarakat (human-use resource) seperti pantai publik dan taman wisata laut.

Menurut NOAA (2002) bahwa klasifikasi pantai tidak hanya didasarkan pada jenis substrat dan ukuran butiran dari substrat pantai, akan tetapi didasarkan juga pada pemahaman akan sifat fisik dan biologi dari lingkungan pantai. Hubungan antara proses fisik, jenis substrat, dan keterkaitan dengan biotanya akan menghasilkan bentuk pantai/jenis ekologi pantai tertentu, pola transportasi sedimen, dan pola perilaku minyak dalam memprediksi dampaknya ke biota. Konsep yang berkaitan dengan faktor alam dan sensitivitas relatif dari garis pantai, sebagian besar telah dikembangkan pada daerah estuari dan sebagian telah dimodifikasi untuk daerah danau dan sungai. Peringkat sensitivitas pada tipe pantai dikendalikan oleh faktor paparan gelombang, energi pasang surut, kemiringan pantai, tipe substrat (ukuran butiran, pergerakan, penetrasi dan kediamannya dalam sedimen) dan sensitivitas serta produktivitas biologi pantai. a. Gelombang dan energi pasang surut

Faktor fisik seperti energi gelombang dan pasang surut atau energi arus sangat menentukan tingkat paparan pada garis pantai. Energi gelombang merupakan fungsi dari rata-rata tinggi gelombang yang diukur minimal satu tahun. Gelombang besar (ketinggian > 1 meter) biasanya dapat mengurangi dampak dari tumpahan minyak pada habitat pantai, hal tersebut dikarenakan arus yang diarahkan oleh gelombang yang memantul ke permukaan pantai yang keras dapat mendorong minyak jauh dari pantai. Gelombang yang membangkitkan arus akan mengaduk sedimen pantai dan butiran kasar pada sedimen dapat menghilangkan minyak yang terdampar sehingga organisme yang hidup pada sedimen tersebut akan mengalami gangguan yang cukup pendek.

Energi pasang surut juga sangat menentukan potensi pencemaran minyak pada habitat pesisir pantai walaupun pengaruhnya tidak seluas pengaruh dari energi gelombang. Hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan adalah potensi arus pasang surut yang kuat dapat menghilangkan minyak yang terdampar pada habitat pesisir pantai dan juga dapat memindahkan butiran sedimen untuk memendam minyak yang terdampar.

(34)

18

a b c

di mana angin dominan bertiup dan menyebabkan gelombang membentur garis pantai secara langsung atau akibat dari pembiasan gelombang.

Gambar 6. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 1(a-b) – 2 (c) (IPIECA/IMO, 1994; IPIECA/IMO/OGP, 2011)

Gambar 7 merupakan illustrasi garis pantai dengan frekuensi energi gelombang menengah. Kemudian Gambar 8 merupakan illustrasi garis pantai dengan energi gelombang yang rendah atau garis pantai yang terlindungi dari energi gelombang dan pasang surut. Pantai yang tidak memiliki prediksi kondisi badai musiman yang dapat menghasilkan ukuran gelombang besar dari arah tertentu akan sulit untuk menggambarkan pembersihan tumpahan minyak secara alami. Di sepanjang garis pantai, peristiwa gelombang dengan energi yang cukup tinggi biasanya dapat terjadi lebih dari sekali setiap tahunnya, akan tetapi waktu kejadiannya tidak dapat diketahui. Pantai dengan kondisi gelombang rendah sangat sulit untuk memprediksi lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pembersihan, dan dalam kondisi tersebut peluang minyak yang tinggal di tepi pantai dapat berlangsung lama.

b. Kemiringan pantai

(35)

19

o p q

r s t

Gambar 7. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 3 (d-e); ESI 4 (f-g); ESI 5 (h-i); ESI 6 (j-l); ESI 7 (m-n) (IPIECA/IMO, 1994;

IPIECA/IMO/OGP, 2011).

Gambar 8. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 8 (o-p); ESI 9 (q-r); ESI 10 (s-t) (IPIECA/IMO, 1994; IPIECA/IMO/OGP, 2011).

d e f

g h i

j k l

(36)

20

c. Tipe substrat

NOAA (2002) telah mengklasifikasikan jenis substrat pantai menjadi batuan dasar, sedimen dan bahan buatan manusia. Batuan dasar terdiri dari batuan yang kedap air dan tidak kedap air. Sedimen terdiri dari lumpur (<0,06 mm), pasir halus (0,06-1 mm), pasir kasar (1-2 mm), butiran pasir (2-4 mm), batu kolar (4-64 mm), batu bulat (64-256 mm), dan batu besar (> 256 mm). Sedangkan bahan buatan manusia dibedkan menjadi riprap atau pecahan batuan dengan berbagai ukuran yang dapat menyerap minyak dan dam atau tembok laut yang terbuat dari bahan padat, seperti beton atau baja yang kedap terhadap minyak.

Perbedaan substrat yang paling penting adalah antara batuan dasar dan yang tidak tergabung dalam sedimen. Substrat yang tidak tergabung dalam sedimen memiliki potensi minyak terserap dalam substrat. Minyak yang terserap dan terkubur kedalam substrat secara mekanis berbeda, akan tetapi ketika salah satu atau keduanya terjadi dalam substrat sedimen, minyak akan bertahan lama dalam substrat dan memiliki potensi yang panjang terhadap gangguan biologinya. Selain itu, minyak yang terkubur atau terserap dalam sedimen tersebut sulit untuk dibersihkan dari tepi pantai.

d. Sensitivitas dan produktivitas biologi

Produktivitas biologis pada habitat pantai merupakan komponen yang terintegrasi dalam menentukan peringkat ESI (Environmental Sensitivity Index). Habitat tumbuhan seperti rawa dan hutan mangrove memiliki peringkat yang tinggi karena dampak yang diakibatkan oleh minyak cukup panjang dan potensi kerusakan serta kegiatan pembersihan sangat sulit untuk dilakukan. Selain itu, secara ekologi memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dan membutuhkan waktu lama dalam proses pemulihannya. Peringkat ESI mencerminkan tingkat sensitivitas umum pada habitat pantai. Pantai yang memiliki substrat pasir halus memiliki peringkat ESI = 3. Sedangkan area dengan pasang surut yang rendah memiliki peringkat ESI yang tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan tingginya produktivitas organisme bentik dan sebagai tempat ikan dan burung dalam mencari makan.

3 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pesisir selatan Delta Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian berlangsung pada bulan Desember 2013 - Januari 2014. Secara administrasi lokasi penelitian masuk dalam Kecamatan Anggana, Muara Jawa dan Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Gambar 9).

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah GPS Garmin 78s, kamera

(37)

21

Gambar 9. Peta lokasi penelitian di pesisir selatan Delta Mahakam

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan bersumber dari data sekunder maupun data primer dalam bentuk spasial ataupun non spasial. Data spasial seperti tutupan lahan, tipe dan garis pantai diidentifikasi dengan foto udara. Kemiringan pantai dan kontur dasar perairan diidentifikasi dengan analisis DEM (Digital Elevation Model) dan peta batimetri (Bakosurtanal 1:50.000). Sedangkan data-data non spasial yang digunakan adalah (1) geofisik pantai/pesisir: substrat, arus dan pasang surut (Gastaldo 2010; TEPI 2012a; TEPI 2012b; TEPI 2013a; dan TEPI 2013b), dan data angin (ECMWF: European Centre for Medium-Range Weather Forecasts/

www.ecmwf.int), (2) sumberdaya hayati; mangrove, biota perairan dan kelompok burung (Sidik 2008; Creocean 2012 dan TEPI 2013b), (3) tipe pemanfaatan sumberdaya pesisir: pelabuhan, platform migas, pemukiman, tambak dan area tangkap.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan mengelaborasi data hasil penelitian sebelumnya, observasi lapang dan identifikasi foto udara melalui analisis spasial dengan sistem informasi geografis (SIG). Analisis sensitivitas lingkungan OSCP merupakan kajian yang komprehensif sehingga membutuhkan integrasi data dari beberapa komponen lingkungan untuk diidentifikasi serta dielaborasi menjadi satu kesatuan sensitivitas lingkungan.

Gambar

Tabel 1. Beberapa kasus tumpahan minyak di dunia
Gambar 5. Respon berjenjang (Sumber : IPIECA (2000) tiered response) tumpahan minyak
Gambar 6. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 1(a-b) – 2 (c)
Gambar 8. Illustrasi klasifikasi pantai dengan peringkat ESI 8 (o-p); ESI 9 (q-r);            ESI 10 (s-t) (IPIECA/IMO, 1994; IPIECA/IMO/OGP, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait