TRADISI PERSEMBAHAN MAKANAN KEPADA ORANG MENINGGAL DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN
棉兰华人在丧葬期间使用的食物供品的意义和作用分析研究
Mianlan Hua Ren Zai Sang Zang Qi Jian Shi Yong de Shiwu Gongpin de Yiyi he Zuo Yong Fenxi Yanjiu.SKRIPSI
DISUSUN OLEH :
NOVA HERLINDA SAGALA NIM :100710036
PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TRADISI PERSEMBAHAN MAKANAN KEPADA ORANG MENINGGAL DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN
棉兰华人在丧葬期间使用的食物供品的意义和作用分析研究
Mianlan Hua Ren Zai Sang Zang Qi Jian Shi Yong de Shiwu Gongpin de Yiyi he Zuo Yong Fenxi Yanjiu.SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam bidang ilmu Sastra Cina.
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 19640922 198903 1 001
Yang Yang, M.A.
PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA
2014
Disetujui Oleh:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi S-1 Sastra Cina Ketua
Abstract
The title of this paper is " Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan". The purpose of this research to familymemberswhodiedweregivenofferings, toknowhow topresentofferingsto thedeadandtoknow themeaning ofgivingofferingsto thedead. Primary data got from field research and secondary data got from library research. The author did field research in the Balai persemayaman Angsapura on Waja Street no 2-4 Medan. The author uses the theory of functionalism and semiotic theory toanalyzethe tradition ofgivingofferingsto thedead in medan chinese death of ceremony, while the method used is descriptive method with quqlitqtive approach, from the result of research, writer can knowthe tradition of givingofferingstomake thehappyspiritsinthe afterlife. chinese death of ceremony have three part that is, ceremony before enter the box, enter the box and closing of ceremony, and the last is funeral ceremony.
KATA PENGANTAR
Pertama sekali penulis mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
penulisan skripsi ini.Skripsi ini berjudul “Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang
Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan”.Skripsi ini diajukan
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar S-1 pada program studi Sastra Cina
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menghadapi banyak rintangan dan hambatan.Tampa
bantuan, arahan, dan bimbingan dari banyak pihak maka skripsi ini tidak dapat terselesaikan.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Pembantu
Dekan ( PUDEK) I, II, III, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sastra China
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, selaku dosen pembimbing I penulis, yang dengan
sabar telah mengarahkan, memberi masukan dan memeriksa lembar demi lembar
skripsi ini.
5. Ibu Yang Yang M.A, selaku dosen pembimbing II, yang telah menyediakan waktu
6. Dosen-dosen dan staf pengajar FIB-USU yang telah membimbing dan mengajari saya
selama 4 tahun.
7. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program Studi Sastra
Cina lainya yang telah memberikan ilmu dan didikan selama masa perkuliahan.
8. Para informan yang telah bersedia memberikan informasi tentang Tradisi Persembahan
Makanan Kepada Orang Meninggal.
9. Orangtuaku Tercinta, ayahanda Bistok Sagala dan ibunda Nurhayana Tamba yang setia
memberikan dukungan terhadap saya, baik dukungan moral, kasih sayang, doa dan
bentuk mareriil.
10.Saudara-saudaraku tercinta, Elly Sagala, Natalia Sagala, yang telah memberikan
dukungan moril kepada penulis, terimakasih buat waktu-waktu yang selalu tersedia
untuk mendengarkan keluhkesah ku.
11.Teman-teman Mahasiswa Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Stambuk 2010, yang menjadi rekan dan sahabatku selama menempuh
pendidikan di Sastra China USU.
12.Kakak-kakak kelas ku, baik stambuk 2007, 2008 dan 2009, terkhusus buat kak Vero
Sembiring, kak Nyerly Gultom, kak Dameria Elisabeth. Terimakasih telah
menyempatkan waktu untuk bertukar pikiran dengan ku.
13.Teman-temanku, Aria Artina Manurung, Cristina Hasibuan, Ira Riris, Terimakasih
untuk kebersamaan kita selama ini.
14.Adik-adik Sastra Cina USU, yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, yang selalu
Akhir kata Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan skripsi ini.Terima kasih.
Medan, July 2014
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRACT………..i
KATA PENGANTAR…………...………ii
DAFTAR ISI...iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………..……1
1.2 Batasan Masalah………...…….5
1.3 Rumusan Masalah………..…...6
1.4 Tujuan Penelitian………..………...……….6
1.5 Manfaat Penelitian………..………..6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka………..……..8
2.2 Konsep……….……...8
2.2.1 Tradisi………9
2.2.2 Kebudayaan……….………..10
2.2.3 Masyarakat Tionghoa……….……….….11
2.2.4 Kematian ……….………13
2.2.5 Upacara Kematian……….………14
2.2.6 Persembahan Makanan……….15
2.3 Landasan Teori………..…..16
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian………...………19
3.2 Lokasi Penelitian……….………...20
3.3 Data dan Sumber Data………...20
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder…….….……….………21
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer………..……….21
3.5 Teknik Analisis Data……….……….22
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan……….23
4.1.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa………..………23
4.1.2 Bahasa………..……….……24
4.1.3 Sistem Kemasyarakatan………25
4.1.4 Mata Pencaharian………..25
4.2 Agama dan Kepercayaan ………..26
4.2.1 Buddha……….……….26
4.2.2 Konghucu……….……….30
4.2.3 Taoisme……….………33
4.3 Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa………....…34
4.3.1 Upacara Sebelum Masuk Peti………...…35
4.3.2 Upacara Masuk Peti dan Penutupan Peti………..…...…36
4.3.3 Upacara Pemakaman………..….38
4.3.4 Upacara Sesudah Pemakaman……….………....39
4.4 Lokasi Upacara, Peserta Upacara, Perlengkapan Upacara………41
4.4.1 Lokasi Upacara………...…41
4.4.2 Peserta Upacara……….……41
BAB V PERSEMBAHAN MAKANAN KEPDA ARWAH, CARA PENYAJIAN DAN MAKNA PERSEMBAHAN MAKANAN
5.1 Anggota keluarga etnis Tionghoa yang meninggal menerima persembahan makananan………53
5.1.1 Persembahan makanan kepada orang tua atau yang berkeluarga………...54
5.1.2 Persembahan makanan kepada orang yang belum berkeluarga……..…...55
5.1.3 Persembahan makanan kepada bayi atau balita……….….……56
5.2 Cara Penyajian memberikan Persembahan Makanan….……….…..57
5.3 Makna Persembahan Makanan ……….62
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan………..………65
Abstract
The title of this paper is " Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan". The purpose of this research to familymemberswhodiedweregivenofferings, toknowhow topresentofferingsto thedeadandtoknow themeaning ofgivingofferingsto thedead. Primary data got from field research and secondary data got from library research. The author did field research in the Balai persemayaman Angsapura on Waja Street no 2-4 Medan. The author uses the theory of functionalism and semiotic theory toanalyzethe tradition ofgivingofferingsto thedead in medan chinese death of ceremony, while the method used is descriptive method with quqlitqtive approach, from the result of research, writer can knowthe tradition of givingofferingstomake thehappyspiritsinthe afterlife. chinese death of ceremony have three part that is, ceremony before enter the box, enter the box and closing of ceremony, and the last is funeral ceremony.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah
Indonesia dan masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan pada abad ke-16. Masyarakat
Tionghoa, saat ini telah menjadi salah satu bagian dari masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Di Kota Medan kedatangan masyarakat Tionghoa pada awalnya adalah sebagai kuli
kontrak perkebunan Belanda. Lambat laun mereka mulai menggeluti bidang perdagangan di
Kota Medan. Masyarakat Tionghoa di Kota Medan hidup berdampingan dengan suku-suku lain,
termasuk suku asli maupun suku pendatang.
Sama seperti suku lainnya, di Indonesia masyarakat Tionghoa juga memiliki kebudayaan
tersendiri. Setiap proses kehidupan mereka dinyatakan dalam berbagai upacara budaya.
Misalnya, kelahiran, perkawinan, maupun kematian.Upacara kematian adalah salah satu budaya
masyarakat Tionghoa yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa.Upacara
kematian dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang sudah
meninggal. Apabila upacara kematian di jalankan sesuai ritual keagamaan yang benar,
masyarakat Tionghoapercaya bahwa mereka sebagai keturunan orang meninggal tidak akan
diganggu orang-orang yang telah meninggal.
Upacara kematian adalah suatu proses kegiatan yang biasa dilakukan untuk menghantarkan
manusia ke alam yang berbeda dari alam yang biasanya didiami. Proses kegiatan itu dinamakan
istiadat dan kebudayaan yang berbeda.Dengan demikian, dalam upacara kematian setiap etnis
memiliki upacara yang berbeda antara suku yang satu dengan suku yang lainnya, tidak terkecuali
pada masyarakat Tionghoa.Mereka juga memiliki upacara kematian tersendiri.
Demikian juga, dalam tradisi memberikan persembahan makanan pada upacara kematian.
Bagi masyarakat Tionghoa : lahir, tua, sakit, dan mati adalah satu siklus yang harus dilalui oleh
setiap manusia. Masyarakat Tionghoa yang mengamalkan ajaran Taoisme, Buddisme, dan
konfusianisme percaya akan adanya kehidupan setelah kematian yang dikenal dengan istilah
reinkarnasi. Mungkin karena kepercayaan inilah yang membuat masyarakat Tionghoa kaya akan
tradisi-tradisi yang bertujuan agar kehidupan setelah kematian menjadi baik.
Setiap adanya Kematian maka akan ada upacara kematian, yaitu suatu proses yang
menghantarkan manusia kealam yang biasanya didiami. Proses tersebut dinamakan upacara
kematian. Setiap etnis memiliki upacara kematian yang berbeda dikarenakan adat istiadat dan
kebudayaan yang berbeda.
(Koentjaraningrat 1980:241) mengatakan bahwa “…. Ada empat komponem upacara yaitu,
tempat upacara, benda-benda dan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara”.Tempat
upacara adalah lokasi atau tempat dilakukanya upacara, alat-alat upacara adalah peralatan atau
benda-benda yang digunakan dalam upacara tersebut.Sedangkan pemimpin upacara adalah orang
yang memimpin atau mengatur upacara tersebut.
Masyarakat Tionghoa selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu. Bagi
masyarakat Tionghoa Kota Medan, khususnya yang beragama Buddha, ajaran bakti kepada
kepada orangtua bukan hanya sewaktu orangtua masih hidup, melainkan juga setelah meninggal.
Itulah sebabnya etnis Tionghoa sangat menjunjung tinggi tradisi memberikan makanan kepada
orang yang sudah meninggal.Masyarakat mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan
atau keyakinan terhadap sesuatu. Sistem keyakinan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana
memandang hidup dan kehidupan. termasuk di dalamnya adalah Menghormati orang yang sudah
meninggal. Anggota keluarga yang masih hidup berusaha mencukupi kebutuhan anggota
keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat.
Penghormatan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua. Etnis
Tionghoa percaya,meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama
ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang
lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Pengertiannya adalah orang yang sudah
meninggal dianggap menjadi dewa yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan
mempengaruhi kehidupan anggota keluarga yang masih hidup.
Bagi etnis Tionghoa, tradisi memberikan persembahan makanan kepada orang yang sudah
meninggal adalah tradisi yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk memberikan
makanan kepada roh orang yang sudah meninggal.
Dalam tradisi persembahan makanan, setiap anggota keluarga masyarakat Tionghoa yang
meninggal wajib diberikan persembahan makanan kecuali pada bayi.Cara penyajian dalam
memberikan persembahan makanan adalah dengan cara, makanan diletakan di depan foto
almarhum, dan yang menyajikan makanan tersebut harusanggota keluarga yang lebih mudah dari
almarhum.Sama seperti ketika almarhum hidup di dunia, anggota keluarga yang masih hidup
pada hari pemakaman jenazah, anggota keluarga selalu menyajikan makanan yang lebih banyak
dan mewah. Setelah acara pemakaman selesai keluarga kembali lagi memberikan dan
menggganti persembahan makanan setiap tiga kali sehari. Proses ini dilakukan pihak keluarga
yang masih hidup dimulai dari hari pertama kematiannya hingga ke-49 hari kematiannya. Namun,
pihak keluarga yang masih hidup wajib memberikan persembahan makanan selama 7 hari
kematiannya, karena pada hari pertama sampai hari ketujuh, arwah belum menyadari bahwa
dirinya telah meninggal
Makanan yang dipersembahkan tersebut biasanya adalah makanan yang biasa dia makan
semasa dia hidup di dunia, Seperti nasi, sayur, teh, dan buah.Pada hari ketujuh etnis Tionghoa
wajib menambahkan makanan yang disebut kue wajik.kue wajik di persembahkan di hari ketujuh
kematian. Kue wajik bersifat lengket, sehingga jika roh merasa lapar dia akan menyantap
makanan yang dipersembahkan termasuk kue wajik. Ketika tangan roh menyentuh kue wajik,
tangannya akan lengket, dan roh akan mencuci tangannya. Ketika roh mencuci tangannya dia
akan menyadari bahwa dirinnya telah meninggal. Karena, ketika roh menyentuh air, kulit dan
tulang roh akan hancur. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa roh orang yang baru meninggal
belum menyadari bahwa dirinya telah meninggal dan masih ada di sekitar mereka.Mereka juga
percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal juga merasakan lapar, Itulah sebabnya
masyarakat Tionghoa selalu memberikan makanan kepada orang yang meninggal.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji berbagai hal terkait
dengan upacara persembahan makanan kepada orang meninggal bagi masyarakat Tionghoa di
1.2Batasan Masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup tentang persembahan makanan kepada orang
meninggal bagi etnis Tionghoa, maka penulis membatasi ruang lingkup dan kajian yang akan di
teliti. Penulis mengkaji Tradisi persembahan makanan kepada orang meninggal dalam upacara
kematian masyarakat Tionghoa di kota Medan
1.3Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1 Siapa-siapa saja anggota keluarga yang sudah meninggal yangdiberikan persembahan
makanan?
2 Bagaimana cara penyajian dalam memberikan makanan kepada orang meninggal?
3 Apa Makna persembahan makanan kepada orang meninggal?
1.4 Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui siapa-siapa saja anggota keluarga yang sudah meninggal yang
diberikan persembahan makanan.
2. Untuk mengetahui cara-cara penyajian dalam memberikan persembahan makanan
kepada orang meninggal.
3. Untuk mengetahui Makna persembahan makanan yang diberikan kepada orang yang
1.5 Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1 Memperkenalkan tradisi Persembahan makanan kepada masyarakat sekaligus memberikan
tambahan pengetahuan mengenai Tradisi persembahan makanan dalam upacara kematian
masyarakat Tionghoa.
2 Sebagai sumber pengetahuan bagi penulis di bidang kebudayaan dan juga sebagai sumber
untuk penelitian selanjutnya.
3 Sebagai bahan refrensi bagi peneliti selanjutnya.
1.5 .2Manfaat Praktis
Manfaat praktisnya adalah sebagai informasi kepada masyarakat atau kalangan umum yang
berminat atau tertarik pada kebudayaan Tionghoa, khususnya tentang tradisi memberi
persembahan makanan kepada orang sudah meninggal dalamupacara kematian Masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Kajian merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan dan analisis
yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Kajian pustaka merupakan hasil dari
meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari, (KBBI 1990:951).
(Nyerli.2013). Dalam Skripsi “Peran Saikong dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa
di kota Medan mengatakan, Sesajian merupakan persembahan kepada dewa umumnya terdiri
dari buah-buahan, sedangkan sesajian untuk roh umumnya berupa nasi, mie, dan teh. Sesajian
ini diletakkan di altar dewa dan altar roh.
(Alan Fung. 2007). Dalam jurnal “ Ritual persembahan makanan dalam adat Hakka”Jurnal
ini mengatakan bahwa persembahan makan adalah makanan yang di persembahkan kepada Roh
2.2 Konsep
Konsep merupakan rancangan yang diabstraksikan dalam istilah konkret, gambaran
mental dari objek atau apapun yang di luar bahasa yang di gunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain, Pada inti permasalahan. Konsep merupakan semacam peta perencanaan
sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melangkah ke depan.
2.2.1 Tradisi
Tradisi adalah suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam
waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.
Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacu pada adat atau kebiasan
yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankanmasyarakat.
Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya”
.Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitu juga dengan budaya keduanya
saling mempengaruhi.
Abdul Syani. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat(1995:53) mengemukakan bahwa Tradisi
merupakan segala sesuatu yang berupa adat, kepercayaan dan kebiasaan. Kemudian adat
dari para pendahulu kepada generasi-generasi berikutnnya, berdasarkan dari mitos-mitos yang
tercipta atas kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu dilakukan oleh orang orang.
Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi. Tradisi berevolusi
menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya merupakan personifikasi. Budaya adalah cara
hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat atas dasar kesepakatan bersama.Kedua kata ini
merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam perwujudan ide, nilai, norma, dan
hukum.
2.2.2 Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. ( Koentjaraningrat, 2002:181).
E.B Taylor dalam (Warsani 1978:53) mengatakan : “Kebudayaan itu adalah keseluruhan
yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain serta yang didapat oleh manusia sebagai
angota masyarakat”.
Selanjutnya, Herskovit dalam (Warsani1987:53) juga mengatakan bahwa : kebudayaan adalah
bagian dari kebutuhan hidup yang di ciptakan manusia sebagai sesuatu yang superorganik sebab
meskipun sesuatu telah punah, kebudayaan selalu hidup turun menurun dari generasi ke generasi.
pengetahuan sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan
oleh suatu angota masyarakat tertentu.
Kebudayaan diperoleh dari tradisi masyarakat dan cara-cara hidup dari anggota
masyarakat, termasuk pola-pola hidup mereka, cara berfikir, perasaan, perbuatan, tingkahlaku.
Kebudayaan juga merupkan sistem nilai (value) dan arti ( meaning) yang dimiliki bersama oleh
sekelompok orang atau masyarakat dari nilai-nilai dan arti dalam objek materi. Sekelompok
orang atau masyarakat memiliki ide bersama mengenai apa yang benar atau yang salah, atau apa
yang baik atau yang buruk, mereka juga memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan cara-cara
mengerjakan sesuatu, (Warsani 1978:54).
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri atau individu.
Manusia membutuhkan makhluk sesama untuk bisa berinteraksi dan bertahan hidup.
2.2.3 Masyarakat Tionghoa
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama
( Koenjaraningrat, 2002:146).
Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia.
Tionghoa adalah sebutan untuk orang-orang dari suku-suku atau ras Tiongkok. Kata ini dipakai
Beberapa ahli mendefinisikan masyarakat, seperti Smith, Stanley, dan Shores mendefinisikan
masyarakat sebagai “...suatu kelompok individu-individu yang terorganisasi serta berfikir
tentang diri mereka sendiri sebagi suatu kelompok yang berbeda”.
Berdasarkan pengertian di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan dari masyarakat, bahwa
masyarakat merupakan kelompok yang terorganisasi, dan masyarakat juga merupakan suatu
kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok lainnya.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berkumpul dan bermukim di satu tempat yang
belajar dan menghasilkan kebudayaan (Koentjaranigrat, 2002:23).
Masyarakat Tionghoa sudah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1860-an, tetapi belum
ramai. Namun, semakin ramai ketika banyak buruh-buruh dariChina di datangkan sebagai
buruh kuli kontrak sejak abad ke19.Sejak itu lah Medan ramai ditempati Masyarakat Tionghoa.
Masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia terdiri dari beberapa sukubangsa yang berasal
dari dua propinsi yaitu Provinsi Fukien bagian selatan dan Provinsi Guandong. Setiap imigran
ke Indonesia membawa kebudayaan suku-bangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan
kesukuan mereka. Di Medan ada terdapat beberapa suku Tionghoa ialah Hokkien, Teo-Chiu,
Hakka , Kwong Fu, dan Ai lo hong. yang memiliki perbedaan bahasa yang besar. Masyarakat
Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat
membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan.
Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli kontrak,
dan buruh kebun bagi orang belanda melalui penyalur yang berasal dari Cina dan disalurkan ke
Indonesia, khususnya Kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui kekalahannya dan
Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai kegiatan
yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yaitu perdagangan. Sebagaimana yang di ketahui,
masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup pintar dalam berdagang. Hal ini
sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang etnis Tionghoa itu sendiri. Kemudian
masyarakat Tionghoa itu menyebar dan persebarannya meliputi pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilineal
yang terdiri atas marga atau suku yang tidak terkait secara geometris dan teritorial yang
selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lainnya di Indonesia.
Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal dengan kebudayaan
yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni menggunting kertas, pengobatan, seni bela
diri, seni opera atau teater, seni musik tradisional, hingga tradisi pemujaan leluhur yang sampai
saat ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa.
2.2.4 Kematian
Kematian adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti
penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk
hidup mengalami pembusukan.
Kematian pada dasarnya semua orang tahu adalah kewajaran dalam hidup. Namun
demikian, banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis, karena manusia sebanarnya
kehidupannya ia dihadapkan pada realitas yang senang atau tidak senang harus dijalaninnya
sebagaimana kelahirannya sendiri, (Louis 1996 :14).
Goethe dalam Louis (1996:1) mengatakan bahwa: kematian adalah sesuatu yang aneh
walaupun kita akan mengalaminya, kita tidak berfikir bahwa kematian itu mungkin adalah
sesuatu yang untuk kita hargai, kematian selalu mengejutkan kita karena itu merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipercayai.
2.2.5 Upacara Kematian
Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin
dihindari. Kematian pasti akan dialami oleh setiap manusia. Kematian begitu menyengat nyawa,
tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan agama. (Bruce Milne 1992:16) mengatakan “..
kematian merupakan salah satu bentuk hukuman “ilahi”. Menurut pandangan filsafat Tionghoa
tentang kematian, kematian bukanlah hal yang menakutkan. Kematian dianggap sebagai
perjalanan kembali ke asal. Kembali keasal yaitu kembali dengan jiwa yang baru, karena
mayarakat Tionghoa mempercayai adanya reinkarnasi setelah kematian. Menurut konsep budaya
Tionghoa maupun filsafatnya, ada tiga hal yang terpenting dalam kehidupan manusia yaitu, lahir,
menikah dan meningal.
Upacara kematian adalah upacara yang dilakukan untuk menghantarkan jenazah
keperistirahatannya yang terakhir. Hertz seorang ahli antropologi mengungkap bahwa upacara
kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari
mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku bangsa di dunia adalah gagasan
bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke
kedudukan sosial yang lain, maksudnya dari kedudukan sosial dalam dunia ini ke kedudukan
sosial dalam dunia makhluk halus, (Koentjaraningrat 1980:71). Masyarakat Tionghoa percaya
apabila upacara kematian dilakukan dengan benar maka kelak keturunannya tidak akan diganggu
oleh roh orang yang meninggal.
2.2.6 Persembahan Makanan
Persembahan makanan merupakan tradisi yang dilakukan Etnis Tionghoa sejak dulu,
Yakni tradisi di mana persembahan makanan wajib diberikan dari hari pertama kematian hingga
hari ketujuh.Sampai ke 49 hari. Caranya mereka menyediakan berbagai jenis makanan dan
minuman seperti nasi, sayur, buah-buahan, dan kue yang dianggap biasanya dimakan oleh
anggota keluarga yang meninggal,persembahan diberikan dengan carameletakan makanan di
depan foto anggota keluarga yang meninggal, lengkap dengan api dupa untuk kelengkapan
dalam memberikan persembahan kepada orang yang meninggal.
Upacara memberikan makanan kepada anggota keluarga yang meninggal serta
mempersilahkannya menyantap makanan yang disediakananak ataupun anggota
keluarga,Kemudian masing-masing melakukan doa untuk memberikan makanan kepada
anggota keluarga yang sudah meninggal. Yaitu dengan cara memegang dupa yang telah berapi,
kemudian mengayun beberapa kali sambil mulut mereka berdoa dengan gaya yang khas,
Bagi mereka tidak ada masalah melakukan upacara tersebut karena bagi mereka tujuannya
hanyalah melakukan bakti penghormatan pada orang tua mereka. Tradisi ini kata mereka akan
tetap dipertahankan karena memiliki nilai luhur dalam hal penghormatan pada orang tua yang
sudah melahirkan dan membesarkan mereka.
2.3 Landasan Teori
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Tampa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan.
Teori merupakan rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian dalam ilmu pengetauan.
Adapun teori yang penulis gunakan adalah teori fungsionalisme dan teori semiotik.
2.3.1 Teori fungsionalisme
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Fungsionalisme.Tokoh terpenting dalam
teori fungsionalisme adalah Bronislaw Malinowski.
Menurut Malinoski fungsi dari suatu unsur budaya adalah kemampuannya untuk
memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan
sekunder. Seperti kebutuhan manusia akan makan, menyebabkan munculnya unsur kebudayaan
yaitu berupa mata pencaharian hidup dan alat-alat produksi. Kebutuhan manusia akan keindahan
menyebabkan lahirnya sistem pengetahuan dalam masyarakat. Pada intinya setiap unsur
kebudayaan itu masih ada hingga saat ini karena masih berfungsi atau bermanfaat dalam
2.3.2 Teori Semiotik
Semiotik berasal dari Bahasa Yunani yaitu semeion
Dalam membahas makna persembahan makanan kepada orang meninggal bagi masyarakat
Tionghoa secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik. Semiotik adalah model
penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut diangap mewakili suatu
objek secara representative.
yang berarti tanda. Tanda tersebut
diangap mewakili sesuatu objek secara represntatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama
dengan istilah semiologi, (Endaswara 2003:64).
Menurut Barthes (Kusumarini, 2006:26) denotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,
langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda
dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak
pasti.
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik
pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada
orang yang berbeda situasinya. Oleh karena itu, penulis juga mengunakan teori semiotik untuk
membahas makna persembahan makanan kepada orang meninggal bagi Masyarakat Tionghoa di
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam metode penelitian pada dasarnya peneliti mengungkapkan sejumlah cara yang
disusun secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum,
ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan maupun menjawab secara ilmiah
perumusan masalah yang telah ditetapkan. Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti
fungsi dan makna persembahan makanan kepada orang meninggal pada upacara kematian
masyarakat Tionghoa adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Fokus penulisan ini yaitu dengan memperhatikan dinamika hubungan antar fenomena yang
diamati dengan mengunakan logika ilmiah.
Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk menganalisis dan menyajikan fakta secara
sistematik sehingga lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Dengan teknik observasi,
penulis melakukan pengumpulan data primer dengan cara pengamatan langsung dan merekam
hal-hal yang dapat diamati.
Secara deskriptif penulis dapat memberikan ciri-ciri, bentuk serta gambaran tentang hasil
mempertimbangkan semua data dari segi hubungan keterkaitan data tersebut dengan penelitian
yang dilakukan.
3.2Lokasi penelitian
Lokasi penelitian adalah Balai Persemayaman Angsapura yang terletak di jalan Waja no 2-4
Medan. Alasan Pemilihan lokasi adalah :
1. Merupakan balai persemayaman terbesar di kota Medan.
2. Lebih mudah mencari objek yang akan diteliti karena hampir setiap hari Balai
persemayaman Angsapura melayani upacara persemayaman.
3. Lokasi penelitian lebih Strategis dan Mudah dijangkau oleh peneliti.
3.3 Data dan Sumber Data
Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau dicari untuk
mendapatkan kebenaran. Apabila dilihat dari (KBBI 1990:187) data adalah keterangan yang
benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian. Data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang dibutuhkan dalam
penelitian ini, yakni berupa hasil wawancara dengan para informan di lokasi penelitian.
Sementara itu, data sekunder adalah data pendukung dari penelitian ini berupa segala informasi
Sumber data primer penelitian ini berasal dari iforman yang diwawancarai saat melakukan
penelitian lapangan.Sumber data sekunder diambil dari buku-buku, jurnal-jurnal, majalah, artikel
yang berkaitan dengan persembahan makanan kepada orang meninggal pada upacara kematian
masyarakat Tionghoa.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah bagaimana cara untuk memperoleh dan mengumpulkan
data yang dibutuhkan dalam penelitian, Penulis membagi teknik pengumpulan data menjadi 2
yaitu : teknik pengumpulan data sekunder, dan teknik pengumpulan data primer.
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder
1. Membaca judul buku yang berhubungan dengan persembahan makanan kepada leluhur
bagi masyarakat Tionghoa.
2. Melihat daftar isi
3. Membaca isi buku.
4. Mengklasifikasikan buku yang berhubungan dengan objek kajian
5. Membaca jurnal, majalah, dan artikel yang berhubungan dengan penelitian
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer
1. Melakukan observasi, yaitu mengamati upacara kematian yang dilaksanakan.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh peneliti ketika proses
pengumpulan data atau informasi berlangsung, sampai pada penarikan kesimpulan berupa
konsep atau hubungan antarkonsep (Hamidi, 2010:97). Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.Penulis mengupaakan kedalaman data untuk
menjawab keseluruhan pertanyaan penelitian secara spesifik.
Peneliti melakukan proses : wawancara terhadap beberapa masyarakat Tionghoa yang
melakukan Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal, Mengumpulkan
buku-buku atau jurnal-jurnal yang mendukung dalam penulisan ini dan memilih data yang
diangap penting dalam penyusunan penelitian ini. Lalu, berdasarkan data-data yang diambil,
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia yang sebelumnya
merupakan etnis pendatang yang kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk asli.Biasanya
mereka menyebut dirinya dengan istilah Hokkien, Tiochiu, atau Hakka.
Dalam bahasa Mandarin orang Tionghoa disebut Tangren (唐人) atau lazim disebut
dengan Huaren (华人).Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa Tangren adalah orang Tionghoa
yang mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan dan menyebut dirinya sebagai orang Tang,
sementara orang Tiogkok Utara menyebut dirinya sebagai orang Han.(Yusiu,2000: 2 )
Migrasi Kelompok Masyarakat Tionghoa ke Indonesia,khususnya Medandapat
digolongkan menjadi 3 tahapan.Gelombang kedatangan mereka disebabkan oleh latar belakang
tertentu yang datang darinegara Cina sendiri maupun dari Indonesia.Kedatangan gelombang
pertama terjadi sebelum datangnya Belanda ke Indonesia.Tujuan gelombang pertama adalah
sebagai kelompok pedagang tetapi karena beberapa faktor, kemudian tinggal dan menetap di
Indonesia.Kelompok pertama ini dikatakan sebagai kelompok etnis Tionghoa peranakan, dimana
budaya asli masyarakat Tionghoa mulai berkurang dan mereka lebih banyak menggikuti budaya
Gelombang kedua terjadi karena faktor dari dalam Nusantara sendiri yaitu setelah masa
eksploitasi Belanda terhadap sistem perekonomian di Indonesia.
Aktivitas yang dilakukan masyarakat Tionghoa pada masa gelombang kedua adalah sebagai
pedagang perantara.Kaum pribumi sebagai produsen dan kepala distributor pertama.
Kedatangan gelombang ketiga masyarakat Tionghoa karena faktor tenaga kerja yang
dijadikan sebagai buruh di perkebunan Sumatera Timur.Hal ini merupakan aktivitas baru yang
dilakukan masyarakat Tionghoa.Mereka yang didatangkan langsung dari negeri Tiongkok ke
Medan sebagai buruh yang siap kerja di perkebunan.
Tjong A Fie adalah seorang tandel yang bertugas sebagai kepala rombongan dan
bertanggung jawab penuh kepada kelompok masyarakat Tionghoa selama masa kontrak di
perkebunan milik belanda yang sebelumnya melakukan kontrak kerja di Medan.Kehidupan di
perkebunan mengawali aktivitas masyarakat etnis Tionghoa pada gelombang ketiga.
4.1.2 Bahasa
Di Medan ( Sumatera Utara), mereka lebih senang disebut orang Tionghoa. Hal ini
dikarenakan kata Tionghoa menunjukan makna kultural dibanding dengan penyebutan orang
Cina yang menunjukan makna geografis.Dalam kehidupan sehari-hari istilah ini sama-sama
dipergunakan.Bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Hokkien, bukan Bahasa
Mandarin.Hal ini karena mereka lebih akrab dengan bahasa Hokkien.Kedua bahasa ini juga tetap
4.1.3 Sistem Kemasyarakatan
Dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan
majikan, golongan miskin dan golongan kaya, tetapi perbedaan ini tidak begitu kelihatan.Hal ini
disebabkan karena masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.
Tionghoa peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, mereka merasa dirinya
lebih tinggi dari Tionghoa Totok yang umumnya berasal dari kuli dan buruh.Sebaliknya
Tionghoa Totok menganggap rendah Tionghoa peranakan karena mereka dianggap mempunyai
darah campuran.
Sekarang ini dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa yaitu
sebagian yang mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat maka timbul pemisahan antara
golongan yang berpendidikan.
4.1.4 Mata Pencaharian
Sejarah kedatangan masyarakat Tionghoa ke Medan dapat diketahui bahwa mata
pencahariannya adalah sebagai pedagang, bekerja di bidang bisnis dan petani.Saat ini masyarakat
Tionghoa lebih dominan bekerja sebagai pedagang dan di bidang bisnis.Mereka dikenal gigih,
ulet dan memiliki jaringan yang baik dengan sesamanya sehingga seringkali membuat
4.2 Agama dan Kepercayaan
Menurut masyarakat Tiongkok, fungsi filsafat dalam kehidupan manusia adalah utuk
mempertinggi tingkat rohani.Artinya rohani manusia diharapkan dapat menjulang tinggi untuk
meraih nilai-nilai yang lebih tinggi daripada nilai-nilai moral.Dari sudut moral, orang yang arif
bijaksana adalah manusia yang paling sempurna di dalam suatu masyarakat. Menurut kebiasaan
masyarakat Tiongkok, kewajiban memungkinkan manusia untuk memperolehwatak yag
digambarkan sebagai orang yang bijaksana, Achmadi (1994:87).
Tiga aliran filsafat yang diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa adalah
Buddhisme, konfusianisme, dan Taoisme.Ketiga aliran filsafat tersebut sangat berpengaruh
terhadap kehidupan dan kerangka berfikir masyarakat Tionghoa. Hariyono (1993:19)
4.2.1 Buddha
Agama Buddha mempunyai pengaruh yang cukup berarti bagi masyarakat
Tionghoa.Seperti diketahui, Buddha dianggap penganutnya seperti guru dunia yang menerangi
umat manusia dan menunjukan kepadanya jalan yang melepaskan mereka dari
kesengsaraan.Dalam ajarannya Buddha Gautama sebenarnya hanya menyampaikan ajaran moral
belaka dan mengajarkan manusia menghindari kejahatan tertentu, seperti membunuh, mencuri,
menipu, berdusta, berzina, mabuk dan lainnya.Kitab suci agama Buddha adalah “Tripitaka”
Agama Buddha mempunyai catatan-catatan sejarah yang berhubungan dengan
perjuangan Bodhisatva Siddharta Gautama hingga mencapai SammaSambuddha atau penerang
agung. Perjuangan Siddharta menyampaikan ajaran yang telah ditemukannya adalah demi
kebahagiaan semua makhluk di muka bumi, Mathar (2013 :19)
Ajaran Buddha tertulis pada kitab suci Tripitaka yang artinya tiga kelompok yaitu,
Vinaya Pitaka yaitu kelompok kitab yang memuat peraturan dan tata cara hidup biarawan/
biarawati, yang kedua adalah Sutta Pitaka yaitu kelompok kitab yang memuat kotbah-kotbah
Buddha, dan yang ketiga adalah Abhiddhamma Pitaka yaitu kelompok kitab yang memuat ajaran
pisikologi agama Buddha, Mathar (2003:19)
Keyakinan terhadap pencerahan merupakan tema utama dalam ajaran Buddha.Umat
Buddha selalu berupaya memperoleh pencerahan batin. Upaya pencapaian pencerahan batin ini
dilakukan melalui cara hidup yang melatih atau mengembangkan kebijaksanaan , kesusilaan, dan
meditasi. Kebijaksanaan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu: (1) mendengar , membaca,
bercakap-cakap; (2) berfikir , merenung; (3) bermeditasi. kesusilaan Buddhis bermacam-macam
sesuai dengan kemampuan pelaksanaan oleh umat Buddha itu sendiri. Sedangkan meditasi
Buddhis adalah latihan pengembangan batin menuju ketenangan dan pencerahan, Mathar
(2003:20)
Menurut ajaran Buddha, manusia merupakan perpaduan jasmani dan batin. Jasmani
merupakan perpaduan antara unsur padat, cair, udara, dan panas.Masing-masing unsur
merupakan perpaduan dari bagian unsur-unsur yang lebih kecil.Batin terdiri dari perpaduan
Nibbanayang bukan berupa perpaduan unsur-unsur karena Nibbana itu Esa, atau tunggal.
Nibbana adalah Yang Maha Esa dalam agama Buddha, Mathar (2003:21)
Umat Buddha sanggat dianjurkan untuk melakukan perbuatan baik sebab benih-benih
kebaikan akan membuahkan kebahagiaan hidup. Ada empat macam perbuatan baik yang
diperhatikan oleh umat Buddha yaitu: berdana, melatih kesusilaan, melatih meditasi serta
melakaukan puja bakti (kebaktian) yang benar. Kehidupan manusia berlangsung dalam
rangkaian proses lahir, tumbuh berkembang, meninggal dunia. Setelah meninggal dunia manusia
yang belum mencapai kebebasan mutlak (Nibbana)akan terus berproses dalam keidupan
berikutnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Seseorang yang banyak berbuat
baik akan menikmati kebahagiaan dalam proses kehidupan selanjutnya. Sebaliknya, seseorang
yang banyak berbuat jahat akan mengalami penderitaan dalam proses kehidupan selanjutnya.
Demikianlah hidup berulang kali berproses sesuai benih-benih perbuatan yang dilakukan dalam
kehidupan. Proses yang berkesinambungan itu dinamakan timbal lahir, Mathar (2003:22)
Keyakinan umat Buddha ditumbuhkembangkan dari pengertian atau pemahaman
terhadap ajaran Buddha.Makin tinggi pemahaman umat Buddha terhadap kebenaran ajaran
Buddha berarti makin kuat pula keyakinannya.Objek keyakinan umat Buddha adalah Buddha,
Dhamma, dan Sangha. Buddha sering diibaratkan sebagai dokter, sedangkan ajaran Dhamma
adalah obat yang diberikan oleh dokter itu, Sangha adalah orang-orang yang sehat dari sakit
dengan meminum obat yang diberikan oleh dokter tersebut. Analisis Buddha terhadap hidup
yang termuat dalam empat kebenaran mirip denggan analisis seorang dokter terhadap orang
sakit, yaitu: adanya sakit atau penderita, penyebab sakit, lenyapnya sakit atau menjadi sehat dan
jalan untuk melenyapkan sakit atau cara untuk menjadi sehat, Mathar (2003:176-177).
“Agama Buddha memiliki lima peraturan moral atau pancasila Buddis yaitu sebagai
berikut:
1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Menghindari pencurian.
3. Menghindari perbuatan asusila.
4. Menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Menghindari perbuatan yang menyebabkan mabuk atau ketagihan”.
Di Negara Tiongkok Agama Buddha secara resmi diterima di pusat kerajaan pada zaman
dinasti Ming-Ti pada abad pertama masehi.Penyebaran agama Buddha ke Tiongkok
memerlukan perjuangan keras.Hal ini disebabkan karena ajaran Tao dan Konghucu telah
berkembang pesat di Tiongkok.Mereka memandang rendah agama Buddha.berkat usaha yang
keras daripada misionaris agama Buddha di Tiongkoksecara umum agama Buddha di sana
mendapat perlindungan dari pemerintah dan mencapai zaman keemasannya sampai abad ke 11
Masehi. Mathar (2003:29).
Di kota Medan, kedatangan agama Buddha masuk bersamaan dengan masuknya
masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa masuk ke Kota Medan pada awalnya adalah sebagai
kuli kontrak perkebunan Belanda. Agama Buddha merupakan salah satu agama yang diresmikan
pemerintah berdasarkan surat Edaran Menteri dalam Negeri no.477/74054 pada tanggal 18
november 1978 yang mengatakan bahwa: “... Agama yang resmi diakui oleh pemerintah adalah
Pengaruh ajaran Buddha bagi Masyarakat Tionghoa khususnya di Kota Medan, dapat
dilihat dari kebiasaan masyarakat Tionghoa dalam bekerja keras untuk mencari penghidupan
yang benar atau halal.Kebiasaan berbuat baik kepada sesama karena ajaran Buddha mempercayai
karma yaitu seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan perbuatannya, kepercayaan
akan adanya reinkarnasi yaitu setiap manusia akan mengalami suatu proses kelahiran kembali
sesuai dengan apa yang dilakukan semasa hidupnnya di dunia.
4.2.2 Konghucu
Agama Konghucu atau konfusianisme adalah agama yang tertua di Cina.Agama
Konghucu dipadankan dengan sejumlah sebutan: Kong Jiao/Kung Chiao, Rujiao/Chiao, dan Ji
Kau. Semua sebutan tersebut merujuk pada sejarah bahwa Konghucu merupakan suatu “agama”
klasik Tiongkok yang dibangkitkan kembali oleh Khongcu, yang dalam bahasa asalnya berarti
agama kaum yang taat, yang lemah lembut, yang memperoleh bimbingan, atau kaum terpelajar.
Pengertian iman dalam agama Konghucu ialah, Sing. Kata Singini menurut asalnya
terdiri dari rangkaian antarakata Gan dan Sing.Ganberarti bicara, sabda, kalam dan Sing berarti
sempurna.Karena itu pengertian Singmengandung makna sempurna.Di dalam kehidupan
beragama, umat Konghucu wajib memilikiSingatau iman terhadap kebenaran ajaran agama yang
dipeluknya.
Menurut ajaran Konghucu manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang maha Esa
pembawa sifat Tuhan di dunia. Manusia diciptakan melalui kekuatan alam (ying dan yang),
dan abstrak dari lima unsur yaitu; bumi, tumbuh-tumbuhan, logam, api dan air, Mathar
(2003:184).
Aaran Konghucu mengajarkan bahwa manusia haruslah memanusiakan dirinya. Caranya
dengan mengembangkan benih-benih kebajikan yang sudah ada dalam watak sejatinya antara
lain mempunyai kualitas cinta kasih, berani menegakkan kebenaran karena mampu membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Tjhie Tjay Ing dalam Mathar (2003:185-186)
mengatakan bahwa:
“Tiap umat Konghucu wajib memahami, menghayati, dan mengimani dasar keimanannya
Umat Konghucu meyakini bahwa pada saat megalami kematian, roh seorang manusia akan
meningalkan badan. Orang yang semasa hidupnya mampu hidup sesuai dengan fitrah atau watak
sejati rohnya akan menjadi Shengatau roh-roh suci. (Mathar:2003).
Agama Konghucu masuk ke bumi nusantara bersama dengan masuknya perantau Tiongkok
yang mengarungi samudera kemudian singgah dan berladang serta menetap di beberapa
kepulauan di indonesia dari masa ke masa. Agama Konghucu kemudian tumbuh dan
berkembang di Indonesia, terbukti dari berdirinya lembaga-lembaga agama Konghucu seperti
rumah abu untuk menghormati abu-abu leluhur.
Pada awal masuknya agama Konghucu ke Indonesia tidak diketahui jumlah penganut
Konghucu secara pasti. Hal ini disebabkan agama yang diakui secara resmi di Indonesia pada
saat itu hanya enam yaitu: Islam, Protestan Katolik, Hindu dan Buddha. Akibatnya, pada saat
pencatatan atau pengurusan dokumen kependudukan, masyarakat penganut agama Konghucu
Setelah agama Konghucu diresmikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, tepatnya pada
tahun 2000 melalui Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000,maka penganut agama konghucu
telah memiliki kebebasan untuk mengaku dan mencatatkan dirinya sebagai penganut konghucu
yang sah. Pemerintah menjamin masyarakat Tionghoa penganut agama
Konghucu memiliki hak yang sama dengan penganut agama lain yang dalam hukum dan
pemerintahan.
Pengaruh agama Konghucu dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Kota Medan yang
pertama adalah kewajiban berbakti dan menyayangi orang yang masih hidup seperti; sifat
berbakti pada orang tua, kewajiban untuk menghormati orang yang lebih tua seperti kakak, serta
adanya rasa saling menyayangi antar sesama saudara. Sedangkan yang kedua adalah kewajiban
untuk menghormati orang yang telah wafat atau para pendahulu seperti pemujaan leluhur,
kewajiban untuk melakukan wujud bakti terhadap orang yang meninggal sebagai contoh dalam
upacara kematian, adanya masa berkabung, ziarah pada bulan 3 penanggalan Imlek, serta
4.2.3 Taoisme
Ajaran Tao tercipta atas dasar reaksi alamiah manusia dalam menjalani kehidupan yang
penuh tantangan dan misteri.Setelah perjalanan panjangnya selama 5.000 tahun, kini terwarisi
berbagai metode Tao.Metode untuk menjalani hidup yang berlandaskan alamiah, selaras dan
mengikuti kodrat alam.Metode yang merupakan reaksi alamiah manusia untuk bertahan hidup,
menigkatkan kualitas hidup, mengungkap misteri hidup serta memberi arti hidup.
Dengan ‘Naluri Alamiah’ inilah para leluhur Tionghoa kuno mengembangkan segenap
potensi dirinya yaitu kecerdasan, Nurani serta Akal Budi,dan mulai mengembangkan sebuah
metode untuk menjalani hidup. Proses perkembangan ajaran Tao terjadi secara bertahap,
Diwariskan dan diperbaiki dari generasi kegenerasi berikutnya. membentuk berbagai seni dan
ilmu yang mewarnai budaya Tionghoa.
Inti dari ajaran ini adalah setiap orang hendaknya memberikan kasih sayang tidak terbatas
bukan pada para anggota keluarga saja, akan tetapi harus kepada seluruh anggota keluarga yang
lain. Peperangan dan upacara ritual yang mengeluarkan biaya tinggi akan merugikan rakyat, dan
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan dasar kecintaan manusia dan oleh karenanya
dicela. Prinsip pokok Taoisme adalah jika kita menyayangi orang lain maka orang lain akan
menyayangi kita, Achmadi (1994:93)
Taoisme mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan manusia harus hidup denggan Wu
Wei artinya tidak berbuat apa-apa yang bertentagan dengan alam. Sesuai dengan ajaran itu maka
manusia yang paling berbahagia menurut ajaran Taoisme adalah mereka yang hidup dengan alam
Taoisme di Kota Medan masuk bersamaan dengan masuknya masyarakat Tionghoa ke kota
Medan. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah, karena Taoisme dipuja bersamaan dengan
dua ajaran masyarakat Tionghoa yang lain yaitu: Buddha dan Konghucu yang disebut dengan
Sam Kauw Hwee ( perkumpulan Tiga Agama atau Buddha Tri Dharma) atau San Chiao Wei Yi (
ketiga agama adalah satu). Oleh karena itu ada kemungkinan masyarakat Tionghoa yang
menganut lebih dari satu agama, seperti seorang penganut Buddha yang juga mengamalkan
ajaran Tao dan Konghucu, begitu juga sebaliknya.
Pengaruh ajaran Taoisme bagi masyarakat Tionghoa dapat dilihat dari tindakan-tindakan
yang positif dan kecintaan masyarakat Tionghoa terhadap lingkungan.Selain itu berusaha
mewujudkan perdamaian dan cinta kasih teradap sesama umat manusia.
4.3 Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu suku yang sangat menghargai siklus
kehidupan.Bagi masyarakat Tionghoa, lahir, tua, sakit dan mati adalah hal yang harus dilalui
semua orang. Menurut masyarakat Tionghoa, kematian merupakan sesuatu yang tabu untuk
dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat Tionghoa
yang menganggap bahwa kematian merupakan sesuatu yang buruk meskipun mereka meyakini
adanya kehidupan setelah kematian yang dikenal dengan istila Reinkarnasi.
Upacara kematian pada masyarakat Tionghoa terdiri dari beberapa tahapan, dan
merupakan proses panjang yang harus dilalui. Hal ini disebabkan, upacara kematian merupakan
yang telah meninggal. Upacara ini juga bertujuan untuk memanjatkan doa kepada dewa dan dewi
agar orang yang meninggal mencapai tempat tertinggi yaitu nirwana sehingga rohnya tidak
tersasar ke dunia. Selain itu, masyarakat Tionghoa mempercayai bahwa jika sanak keluarga
yang telah meninggal memperoleh tempat yang baik di nirwana, maka hal ini akan berpengaruh
terhadap kehidupan keluarga yang ditinggalkan di bumi. Sanak keluarga akan memperoleh rejeki
yang melimpah, kesehatan yang baik serta memiliki umur yang panjang.
Upacara kematian pada masyarakat Tionghoa terbagi atas 4 tahapan yaitu:upacara
sebelum masuk peti, upacara masuk peti dan penutupan peti, upacara pemakaman, serta sesudah
upacara pemakaman.
4.3.3 Upacara Sebelum Masuk Peti
Segara setelah seseorang meninggal, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak
(uang di akhirat )yang merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil
mendoakan yang meninggal.Ketika terjadi kematian dalam masyarakat Tionghoa, biasanya
pihak keluarga segera menutup kaca atau benda yang dapat memantulkan bayangan. Hal
tersebut dilakukan karena menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa apabila kaca tidak
ditutup maka arwah akan terkejut melihat bayangan dirinya terpantul lewat kaca atau cermin.
Setelah itu jenazah dibersihkan dengan cara dimandikan dengan air bunga. Lalu diberikan
pakaian sebanyak tujuh lapis.Lapis pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum menikah.
dipakai almarhum semasa hidupnya didunia. Sesudah dibaringkan kedua mata lubang hidung,
mulut, telinga diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.
Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal.Sepatu yang dipakai harus
dari kain. Apabila yang meninggalsemasa hidupnya memakai kacamata maka kedua kaca harus
dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain
Jenazah biasanya disemayamkan di rumah atau di balai persemayaman. Di tempat inilah
tahapan upacara kematian akan dilaksanakan. Di bawah jenazah diletakkan semangkuk nasi
dan diatasnya ditancapkan sumpit.Jika jenazah diletakan di rumah, biasanya pihak keluarga
segera menyiapkan altar roh, dan pada altar roh diletakkan hiolo(tempat dupa) beserta sesajian
berupa nasi, mie, dan teh.Jika jenazah disemayamkan di balai persemayaman, maka pihak
keluarga tak perlu repot menyiapkan altar dan kebutuhan upacara lainnya, karena di balai
persemayaman segala kebutuhan upacara telah tersedia.
4.3.4 Upacara Masuk Peti dan Penutupan Peti
Pada saat upacara masuk peti berlangsung, Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian
tertentu.Anak laki-laki harus memakai pakaian berwarna putih. Kepala diikat dengan sehelai
kain putih .Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan.Cucu hanya memakai
pakaian berwarna putih.
Saat pelaksanaan upacara masuk peti ditentukan oleh pemimpin upacara melalui
pemilihan hari baik. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat Tionghoa bahwa jika upacara
tersebut tidak dilakukan berdasarkan pemilihan hari baik, maka akan mendatangkan sial bagi
Pada saat yang ditentukan telah tiba, maka jenazahakan dimasukkan kedalam
peti.Jenazahharus diangkat oleh anak-anak lelaki.Sementara itu anakperempuan, cucu dan
seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati.Mereka harus
memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti.Sesudah masuk peti, ada
upacara penutupan peti yang dipimpin olehSaikong.Bagi yang beragama Budha upacara ini
dipimpin oleh Biksu atauBiksuni.Upacara ini berlangsung cukup lama, dan dilaksanakan di
sekeliling peti mati dengan satusyarat bahwa air mata keluarga yang masih hidup pada upacara
penutupan peti tidak boleh mengenai jenazah.
Bagi anak cucu yang “berada” (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi
dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup.Semuanya harus dibuat dari
kertas.Bahkan, diperbolehkan pula diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu
rumahtangga.Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu.
Setiap tamu-tamu yang datang harus bersalaman dengan anak-anaknya, terutama anak
laki-laki. Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang
menjadi kesukaannya semasa masih hidup.Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada
sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada
orang yang meninggal di rumah tersebut.Ketika tiba pada waktu yang telah ditetapkan
berdasarkan penghitungan hari baik, maka diadakan upacara penutupan peti.Dalam tahapan ini
semua anak, menantu, cucu dan sanak keluarga dari almarhum harus jongkok atau berjalan
4.3.5 Upacara Pemakaman
Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh
saikong, kembali mereka melakukan upacara penghormatan. Sesudah menyembah dan berlutut,
mereka harus mengelilingi peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis
mengikutisaikong yang mendoakan arwah almarhum.
Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang 2 sampai 5 meter.Di
atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja
diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing.
Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas
putih yang bertuliskan huruf Tiongkok, biasa disebut “Hoe”. Ia harus berjalan mengelilingi peti
mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka
dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.
Setibanya di pemakaman, selanjutnya diadakan upacara penguburan, sembari
berdoamemohon kepada dewa bumi agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil
membakar uang akhirat. Semua anak – cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan
sebelum semuanya selesai.Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka dengan air
4.3.6 Upacara Sesudah Pemakaman
Semenjak ada yang meninggal sampai ke 49 hari, semua keluarga harus memakai
pakaian tanda berkabung. Keluarga tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti :
merah, kuning, coklat, atau oranye.
Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari Meniga hari (3 hari sesudah meninggal)
Sesudah 3 hari pemakaman seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di
tempat jenasah berada (pergi ke kuburan almarhum).Mereka membawa makanan, buah-buahan,
dupa, lilin, uang akhirat.Dengan memakai pakaian berkabung mereka melakukan upacara
penghormatan.Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang
akhirat.Pulang ke rumah, mereka kembali mencuci muka dengan air kembang.
Tujuh hari sesudah pemakaman,seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga
melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan
). Mereka membawa makanan, buah-buahan, kue wajik dan rumah-rumahan, serta uang akhirat.
Lilin dan dupa ( hio ) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar,
dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sesudah selesai, tanah sekepal
/ segenggam diambil, diserakkan ke atasnya.
Empat puluh sembilan hari sesudah pemakaman, Pada hari ke 49 ini kembali anak, cucu
dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenasah berada ( kuburan). Semua baju
duka dibuka dan diganti baju biasa.Mereka masih dalam keadaan berkabung, namun telah rela
Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan
selalu diperingati oleh anak cucunya sebagai tanda berbakti dan menghormati. Peringatan
tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan
diletakkan berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan
minimal 3 macam, rokok, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus
dinyalakan lilin merah berpasang-pasang tergantung pada jumlah orang / leluhur yang akan
diundang. Maksud dari upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk
membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kertas perak dan
kertas emas ).
4.5. Lokasi , Peserta, dan Perlengkapan Upacara
4.5.1 Lokasi Upacara
Sebelum dimakamkan, biasanya jenazah disemayamkan terlebih dahulu.Lamanya jenazah
disemayamkan berkisar antara 4 hingga 7 hari tergantung pihak keluarga dan penentuan hari
baik.Persemayaman dapat dilakukan di rumah pihak keluarga maupun di balai
persemayaman.Namun pada saat ini di kota-kota besar seperti Medan persemayaman jenazah
yang dilakukan di rumah sudah jarang ditemuka n.Saat ini di kota-kota besar seperti Medan pada
umumnya jenazah disemayamkan di balai persemayaman.Hal ini disebabkan beberapa alasan di
antaranya pada saat jenazah disemayamkan biasanya dilakukan berbagai tahapan upacara.Dalam
upacara persemayaman, biasanya identik dengan suasana yang riuh sehingga menimbulkan
kebisingan yang dapat mengganggu lingkungan sekitar.Selain itu meletakkan mayat selama
hampir seminggu membuat masyarakat Tionghoa merasa segan terhadap tetangga atau
dan keperluan untuk upacara sehingga tidak merepotkan pihak keluarga untuk menyiapkan
segala kebutuhan upacara.
4.5.2 Peserta Upacara
Peserta upacara biasanya terdiri dari suami, istri, anak, cucu menantu dan saudara dekat
dari orang yang telah meninggal. Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, Peserta
upacara tersebut nantinya akan mengikuti jalannya upacara dan mendengarkan instruksi dari
4.5.3 Perlengkapan Upacara
Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, mulai dari persemayaman hingga
[image:51.612.109.380.246.469.2]pemakaman peralatan-peralatan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Altar Roh
1. Altar Sembayang
Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa dibutuhkan dua buah altar. Altar berwarna
merah untuk para dewa dan altar berwarna biru untuk roh yang disemayamkan. Altar ini
adalah tempat meletakkan persembahan, lilin, dupa, hiolo, tugwan yang bertuliskan nama orang
Gambar 2. Pakaian Berkabaung
2. PakaianBerkabung
Dalam upacara kematian masyrakat Tionghoa Orang yang berkabung atau berduka
biasanya disebut dengan (Hao Lam) mereka harus mengenakan pakaian serba putih, dan
topi putih yang terbuat dari kain blacu. Untuk etnis Tionghoa yang lebih kental tradisinya
mereka memakai pakaian serba hitam. Namun seiring berjalannya waktu sudah jarang
sekali masyarakat Tionghoa yang mengunakan pakaian serba hitam dalam upacara
kematian. Selain itu dipasang Ha di lengan baju kiri tanda berkabung. Tujuan mereka
memakai pakaian berkabung adalah untuk meringankan penderitaan orang yang meninggal,
semakin kental tradisi itu dijalankan maka semakin ringan penderitaannya. Sedangkan
dampaknya bagi yang berkabung, mereka akan mendapat pengaruh baik atau Hokky.
Gambar 3. Tempat Dupa
3. Dupa (hio) dan Tempat dupa (hiolo)
Tempat dupa (Hio Lo), merupakan sebuah bokor kecil yang fungsinya sebagai tancapan
dupa.Pada umumnya Hio Lo itu terbuat dari timah, namun sekarang ini tidak jarang kita lihat
yang terbuat dari tanah liat, itu karena tanah liat lebih mudah untuk didapat.Hio Lo itu diisi abu
dapur yang kemudian dipercayai sebagai abu leluhur dan harus dipelihara dan dijaga sampai
generasi turun-temurun.Dupa (Hio) merupakan alat sembahyang yang dibakar dan mengeluarkan
bau-bau harum.Makna yang terkandung dalam pembakaran dupa ialah menemukan jalan
suci.Dalam konteks kematian seperti ini Hio menyatakan bahwa yang bersangkutan hadir dalam
Gambar 4. Peti mati
4. Peti Mati
Peti mati yang dipakai orang Tionghoa sudah teradisi kelihatannya menyeramkan, sebab
selain ukurannya besar dan berat ditambah lagi banyak ukir-ukiran kuno.Bagi masyarakat
Tionghoa Merupakan kebanggan tersendiri, apabila sanak keluarga mampu membeli sendiri peti
mati. Ada kepercayaan mereka, siapa yang membeli dialah yang akan mendapat banyak rezeki.
Karena jika yang membeli peti mati adalah orang lain atau bukan keluarga, mereka percaya
rezeki itu akan lari ke orang yang membeli peti mati tersebut. Bagi mereka peti mati merupakan
sarana untuk menghantar orang mati ke dalam kuburnya, Oleh sebab itu peti mati harus mewah.
Karena semua barang-barang kesayangan almarhum akan dimasukkan ke dalamnya. Pembelian
peti mati yang mahal juga merupakan salah satu bukti Hao nya anak-anak, dan ada kebiasaan
Gambar 5. Uang arwah
5. Uang Arwah
Masyarakat Tionghoa biasa mempersembahkan uang arwah atau uang orang mati. Uang
arwah buakanlah uang yang digunakan manusia di dunia, melainkan lembaran kertas yang
melambangkan uang . Saat uang arwah dibakar Masyarakat Tionghoa mempercayai nilainya
akan di transfer atau dikirim kepada leluhur di akhirat. Ukurannya besar atau kecil menjadi
penentu besar kecilnya nominal dari uang tersebut.Uang arwah dipercayai etnis Tionghoa
sebagai uang pegangan arwah di akhirat. Masyarakat Tionghoa juga percaya, arwah leluhur
mereka juga melakukan kegiatan yang sama seperti kegiatan manusia di bumi. Itulah sebabnya
etnis Tionghoa sangat sering membakar kertas tersebut agar para leluhur mereka tidak
kekuranagan uang di akhirat.Terdapat dua jenis uang arwah yaitu uang emas dan uang perak
uang perak. Cara pengunaanya terbagi dua yaitu : dibakar pada saat upacara persemayaman dan
Gambar 6. Lilin arwah/penerang jalan
6. Lilin Penerang Jalan
Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa terdapat dua buah lilin Lilin Penerang
jalan dipakai dalam sembayanag arwah, lilin penerang jalan diletakkan di pintu masuk upacara.
Lilin penerang jalan adalah lilin yang berwarna merah dan diletakan bersamaan dengan dupa,
dupa digunakan untuk memanggil arwah agar datang ke lokasi upacara.Masyarakat Tionghoa
mempercayai lilin ini dapat menjadi penerang jalan bagi arwah yang meninggal untuk
Gambar 7. Lampion
7. Lampion
Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa mereka megunakan dua buah
lampion berwarna putih yang terletak di sisi kanan dan kiri bagian atas altar roh.Apabila
lampion yang menyala disebelah kiri artinya yang meninggal adalah laki-laki, jika yang
menyala sebelah kanan artinya yang meninggal adalah wanita.Apabila kedua lampion
menyala artinya yang meninggal masih muda. Pada lampion tertulis nama dan tanggal
Gambar 8.Lilin untuk Dewa Gambar 9. Lilin untuk roh
8. Lilin
Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa Terdapat Altar yang berisikan alat-alat
upacara kematian.Pada masing-masing altar terdapat dua buah lilin.Lilin berwarna merah untuk
altar Dewa dan lilin berwarna putih untuk altar roh.Menurut masyarakat Tionghoa Lilin
merupakan tanda duka-cita, menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa tetesan