• Tidak ada hasil yang ditemukan

bab 12 Demokrasi by Hendar Putranto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "bab 12 Demokrasi by Hendar Putranto"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 12

DEMOKRASI

Capaian Pembelajaran

: Setelah selesai mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan pengertian demokrasi, baik pada zaman Yunani klasik,

maupun pada zaman sekarang.

2. Menjelaskan sejumlah persoalan yang dihadapi rezim demokrasi kontemporer.

3. Menjelaskan konsep demokrasi Pancasila dan implikasinya bagi hidup berwarganegara.

4. Menjelaskan prediksi masa depan demokrasi berdasarkan pengamatan atas pola-pola masa lalu dan kini.

Deskripsi Mata Kuliah

: Perkuliahan ini membahas:

1. Asal usul dan pengertian demokrasi .

2. Persoalan-persoalan yang dihadapi rezim demokrasi. 3. Masa depan demokrasi di Indonesia.

Lewat pengamatan terhadap fenomena dan peristiwa sehari-hari, kita bisa menyaksikan di mana-mana orang menulis, berpolemik, berdiskusi, dan berdebat tentang demokrasi, baik soal hakikat, kegunaan, maupun faktor-faktor yang mendorong kemajuan maupun menghambat perkembangannya. Sebagian orang melihatnya dengan pandangan yang optimis, sebagian yang lain melihatnya dengan pesimis, bahkan apatis. Demokrasi dianggap oleh sebagian besar orang sebagai jalan politik yang relatif stabil dan aman menuju kebebasan (individu), kesetaraan (antar-individu sebagai warganegara), dan kesejahteraan. Oleh karena miskinnya alternatif yang tahan uji, demokrasi liberal, misalnya, dipandang oleh beberapa pengamat politik sebagai the only feasible form of democracy1. Di

(2)

saat yang bersamaan, ada klaim yang mengatakan bahwa demokrasi sekarang mengalami perlemahan2. Demokrasi dianggap tidak mampu menyelesaikan

sejumlah besar persoalan bersama yang muncul dan mendapatkan legitimasi yang justru persis dibutuhkannya, sehingga berujung pada krisis ekonomi, merosotnya legitimasi negara di hadapan desakan pasar dan logika kapitalisme global3, dan juga di bawah tuntutan gerakan fundamentalisme religius, baik di

negara maju seperti Amerika Serikat4, maupun di negara-negara berkembang

seperti Indonesia5.

2 Berdasarkan peringkat (rating) yang dirilis Freedom House yang berjudul Freedom in the World 2011: The

Authoritarian Challenge to Democracy. Freedom House sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba atau lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Amerika Serikat yang mengerjakan riset dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politis dan hak asasi manusia. Didirikan pada Oktober 1941, beberapa tahun sebelum pecahnya Perang Dunia II, Wendell Willkie dan Eleanor Roosevelt mendapat kehormatan untuk mengepalainya (honorary chairpersons). Menyebut diri sebagai “suara jernih bagi demokrasi dan kebabasan di seluruh dunia” organisasi ini mendapat dukungan inansial dari berbagai sumber Laporan tahunan organisasi ini, yang lebih dikenal dengan nama Freedom in the World report, menilai tingkat kebebasan politis dan kebebasan sipil di setiap negara yang ada di dunia (tercatat 195 negara). Freedom in the World report ini sering dijadikan rujukan oleh ilmuwan politik, para jurnalis, dan para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Berdasarkan laporan tahunan Freedom in the World 2011, kebebasan di seluruh dunia, yang diamati selama tahun 2010, kembali mengalami penurunan, dalam periode lima tahun berturut-turut. Negara yang mengalami penurunan tingkat kebebasan terhitung ada 25 negara, sementara hanya ada 11 yang mengalami peningkatan. Penurunan yang paling mencolok ditemukan di negara-negara yang masuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Negara yang tadinya termasuk kategori “free” berkurang dua buah, dari 89 di tahun sebelumnya, menjadi 87. Jumlah negara yang mempraktikkan demokrasi elektoral merosot dari 123 di tahun 2005 menjadi 115. Rezim otoriter, seperti di Cina, Mesir, Iran, Rusia, dan Venezuela, sebaliknya, malah mengalami “masa kejayaan,” tanpa ada tentangan yang berarti dari sebagian besar masyarakat dunia yang demokratis. Posisi Indonesia sendiri dalam Freedom in the World report 2011, relatif stabil berada di rating 2.5 (masih termasuk “free country” namun sudah di ambang “partly free country”) bersama negara Botswana, El Salvador, Guyana, India, Jamaica, Mali, Montenegro, dan Peru

3 Lih. Dahl, 1998: 173. Dahl mengatakan, Democracy and market-capitalism are locked in a persistent conlict in

which each modiies and limits the other. Lih.juga Dieter Plehwe, Bernhard Walpen and Gisela Neunhöfer. Tim editor. 2006. Neoliberal Hegemony: A Global Critique. London dan New York: Routledge. Bdk. Antonio, Robert J. “The Cultural Construction of Neoliberal Globalization.” dalam Ritzer, George. Editor. The Blackwell Companion to Globalization. Malden (MA - USA), Oxford (UK), Victoria (Australia): Blackwell Publishing, hlm. 67 - 83. Bdk. juga, Sandel, Michael J. 2012. What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets. New York: Farrar, Straus dan Giroux; Lih. Klein, 2007 dan Knezevic, 2003.

4 Lih. Giroux, 2005: 309 - 317.

(3)

Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah demokrasi jenis pemerintahan yang diinginkan oleh mayoritas orang di dunia ini? Jika benar, pesona macam apa yang masih bisa ditebarkan oleh demokrasi? Apa sajakah keunggulan-keunggulannya dibandingkan jenis pemerintahan yang lain (otoriter, misalnya)? Bagaimana dengan kelemahan-kelemahan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya hingga sekarang? Seberapa jauh kelemahan dan persoalan tersebut dapat diantisipasi dan dicari jalan keluarnya? Bagaimana masa depan demokrasi pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya?

[gambar “We want democracy”; sumber: http://pmiisoshum.iles.wordpress.com/2011/04/iran-protest-we-want-democracy1a.jpg]

(4)

Asal-usul, Pengertian, dan Hakikat Demokrasi

Secara umum, orang memahami demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Secara etimologis (asal-usul kata), demokrasi berasal dari khazanah bahasa, pengetahuan dan praksis politis Yunani kuno, δημοκρατία, yang berasal dari dua kata yang lebih dasar, yaitu δῆμος / demos (rakyat) dan

kratos (kekuasaan). Dengan demikian, demokrasi secara haraiah berarti “rakyat yang memegang kekuasaan” (the people hold power).

Rakyat dalam stratiikasi sosial kemasyarakatan Yunani kuno --termasuk mereka yang berada di kelas akar rumput, seperti tukang, petani, penjaga--memiliki kesamaan politis dan kontrol terhadap kekuasaan dan pemerintahan, dengan tetap memperhatikan dan menghormati kaidah hukum dan lembaga-lembaga yang ada6. Demokrasi yang dipraktikkan di Yunani kuno adalah

demokrasi yang berbasis polis atau city-states (terutama di kota Athena)7 dan

bukan demokrasi berbasis negara atau state-democracy8. Selain itu, mengingat

jumlah penduduk yang belum terlalu besar, jenis demokrasi yang dipraktikkan adalah demokrasi langsung (direct democracy), dan bukan demokrasi representatif seperti yang sekarang dipraktekkan di negara-negara besar, misalnya Amerika Serikat dan Indonesia. Yang dimaksud dengan demokrasi langsung adalah jenis pemerintahan yang rakyatnya secara aktual memerintah diri mereka sendiri, artinya mereka semua memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara, dalam demokrasi tidak langsung (misalnya demokrasi

6 Lih. Morris, 1998. Bdk. Hansen, 1991.

7 Seperti dicatat Hansen, 1991: 55, “Classical Greece was divided into some 750 poleis or ‘city-states’ .. Most of them were tiny, with an average territory of less than 100 square km and a citizen population of fewer than 1000 adult males; not more than a couple of hundred were larger than that, and even a powerful city-state such as Corinth only covered 900 square km, with a population in the classical period of about 10,000 - 15,000 adult male citizens. Athens was in population the largest of all the poleis in Greece itself, and in territory the second largest next to Lakedaimon. The size of the population as a whole is unknown, but it can be deduced from the evidence that there were some 60,000 male citizens when Perikles was the leader of Athens in the ifth century and about 30,000 when Demosthenes was its leader against Philip of Macedon a hundred years later.”

(5)

representatif ), partisipasi rakyat “hanya” sampai pada memilih para pengambil keputusan (misalnya, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta memilih anggota legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah).

Dalam sejarahnya, setelah era demokrasi polis Athena berakhir9, demokrasi

langsung masih dipraktikkan di beberapa kota di Eropa selama Abad Pertengahan, seperti di Swiss, Jerman, Perancis, Italia, dan juga di Mexico di bawah Toltecs dan Chichimecans (1000 - 1300), di Afrika sebelah selatan Sahara dan di timur Niger, ada tujuh city-states bernama Hausa (1450 - 1804)10. Akan tetapi, seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk secara signiikan yang membuat pengaturan dan pengelolaannya lebih problematis, jenis demokrasi representatif seperti yang diusulkan Rousseau, Kant, Sieyes, Paine dan Condorcet-lah yang dijadikan pilihan yang lebih masuk akal dan mungkin dilakukan11.

Menurut ilsuf sosial dan pendidikan Amerika, John Dewey dalam bukunya

Democracy and Education, untuk membentuk suatu entitas politis yang demokratis, haruslah ada “kesamaan yang mengikat di balik kemajemukan.” Ada dua kriteria penting yang perlu diperhatikan dan dipenuhi agar entitas politis demokratis tersebut dapat terwujud12. Pertama, selain mengakui adanya kepentingan

bersama yang dibagikan (shared common interest), kepentingan bersama tersebut haruslah bersifat saling menguntungkan (mutualistis). Kepentingan bersama yang saling dibagikan dan saling menguntungkan ini akan menjadi faktor kunci dalam kontrol sosial masyarakat. Kedua, interaksi yang bebas antar-kelompok-kelompok sosial sekaligus perubahan kebiasaan (habit) sosial --perubahan yang terjadi berkat situasi-situasi baru yang dihasilkan lewat variasi perjumpaan-perjumpaan antar kelompok. Dewey menegaskan bahwa dua karakter inilah yang paling tepat menggambarkan masyarakat yang terbentuk secara demokratis (democratically constituted society). Bagaimana agar “kepentingan bersama yang dibagikan dan saling menguntungkan’” tersebut semakin lama menjadi semakin luas cakupannya dan semakin dalam diterima serta dihayati lintas kelompok dalam masyarakat? Dewey menyarankan agar setiap anggota dalam kelompok harus memiliki kesempatan yang sama (equable opportunity) untuk menerima dan

9 Karena diserang dan diduduki orang-orang Makedonia pada tahun 322 / 321 SM (Lih. Hansen, 1991: 3) 10 Lih. Hansen, 1991: 57.

11 Lih. Urbinati, 2006, dalam Henning, 2007. Urbinati berargumen bahwa demokrasi representatif bukanlah demokrasi yang bersifat aristokratis atau pengganti yang defektif untuk demokrasi langsung, namun justru sebuah cara bagi demokrasi untuk terus menerus membaharui diri dan berkembang.

(6)

mengambil nilai-nilai yang berharga dari anggota kelompok yang lain. Dengan kata lain, harus terjadi variasi pengalaman dan kerja bersama dalam jumlah yang cukup besar.

Jika Dewey menyoroti “kesamaan yang mengikat di balik kemajemukan” sebagai prasyarat metaisis dari perwujudan ideal masyarakat yang demokratis, maka Joseph Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy

justru menegaskan hal yang sebaliknya. Menurutnya, titik berangkat pendeinisian demokrasi haruslah dimulai dari pemahaman bahwa demokrasi adalah sebuah

metode politik. Maksudnya, sebuah tipe pengaturan kelembagaan untuk sampai pada keputusan-keputusan politis (baik yang sifatnya legislatif maupun administratif ). Demokrasi yang dipahami sebagai sebuah metode politik tidak bisa menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan tidak tergantung pada pelbagai keputusan yang dihasilkannya dalam kondisi-kondisi historis tertentu.

Metode (yang berasal dari kata Yunani klasik, μέθοδος) berarti jalan atau cara untuk memperoleh suatu pengetahuan atau untuk mencapai kebenaran tertentu. Oleh sebab itu, jika demokrasi dipahami sebagai metode politik, maka sifatnya tidaklah mutlak dan permanen. Demokrasi yang pernah dipahami dan dipraktekkan pada zaman Yunani kuno ribuan tahun yang lalu, tentu berbeda

secara kualitatif dengan praktik demokrasi pada zaman revolusi Perancis (1789 - 1799) atau pada saat Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776), atau pada saat Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Bung Hatta pasca proklamasi kemerdekaan. Perbedaan yang lahir dari pelbagai penafsiran demokrasi sebagai metode politik sudah barang tentu akan “disesuaikan” dengan atau diadaptasi seturut konteks zaman, ruang, kebutuhan, interaksi antar individu dan kelompok, kerangka nilai dan tradisi, serta para pelaku sejarah (historical agency) yang terlibat. Hal ini justru memperkaya wajah demokrasi, bukan?

Menurut karakteristik demokrasi sebagaimana dicatat oleh beberapa pengamat dan pemikir tentang demokrasi. Di antaranya adalah Robert A. Dahl (Profesor ilmu politik dari Yale University, USA), yang menggariskan tujuh syarat yang secara niscaya dan memadai harus ada dalam sebuah demokrasi yang ideal,

13 Dahl, Robert A. 1983. Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control. Yale (USA): Yale University Press, sebagaimana dibaca oleh Andi Faisal Bakti, “Demokrasi, Tata Kelola Pemerintahan, dan Masyarakat Madani di Indonesia” dalam Bakti, Andi Faisal, dkk. Tim Editor. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Tangerang Selatan: Churia Press, hlm. 4. Membaca dan memahami karya Robert A. Dahl tentang demokrasi, tentu saja tidak terlepas dari paradigma demokrasi liberal, bukan demokrasi dalam pengertian sosialis. Namun hubungan yang erat antara kapitalisme dan demokrasi liberal memunculkan isu tentang kesamaan substantif vs. kesamaan kesempatan. Untuk lengkapnya, lihat tulisan Manley, John F. “Neo-Pluralism: A Class Analysis of Pluralism I and Pluralism II” dalam Dahl, Robert A., Ian Shapiro, dan José Antonio Cheibub. Tim Editor. 2003.

(7)

yaitu13:

1. kontrol atas kekuasaan ada pada pemimpin yang dipilih rakyat secara teliti dan jujur,

2. pemimpin pilihan rakyat ini tidak boleh melakukan pemaksaan, 3. semua orang dewasa berhak memilih pejabat,

4. semua orang dewasa berhak dipilih,

5. rakyat mempunyai hak bebas untuk menyampaikan pandangan kritis tanpa ancaman dan hukuman,

6. rakyat mempunyai hak memperoleh informasi yang dilindungi hukum, dan 7. rakyat bebas membentuk lembaga dan partai politik.

Terkait dengan poin kelima dan keenam di atas, dipandang perlu untuk menghadirkan dan melegitimasi keberadaan sebuah lembaga yang mengemban amanah untuk menyampaikan pandangan kritis (terhadap kekuasaan) tanpa ancaman dan hukuman sekaligus menjadi wadah serta wahana bagi rakyat untuk memperoleh informasi yang dilindungi hukum. Dari sinilah muncul lembaga pers14, yang didaulat sebagai pilar keempat demokrasi15 atau sering juga disebut

the Fourth Estate16 (setelah eksekutif, legislatifdan yudikatif ).

Sementara itu, ciri-ciri atau kriteria sebuah rezim kekuasaan yang menjalankan proses pemerintahan yang demokratis menurut Robert A. Dahl17 adalah sebagai

14 Lih. O’Mahony, 1974: 47-58.

15 Untuk analisis yang menarik dan mencerahkan mengenai paradoks media (dalam hal ini: pers) sebagai pilar keempat demokrasi, khususnya dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, dalam tarikan pelbagai kepentingan; di satu sisi pers menyampaikan “kepentingan publik” sehingga seyogianya harus objektif dan bebas dari bias-bias wartawan maupun pemilik pers tersebut; namun di sisi lain pers juga juga dipengaruhi logika kepentingan bisnis institusi media yang mendanai eksistensinya. Lihat Nyarwi, 2008.

16 Pengertian The Fourth Estate (atau fourth estate) menurut Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Fourth_ Estate; diakses pada 4 September 2012 pukul 21:58 WIB ) adalah “a societal or political force or institution whose inluence is not consistently or oicially recognized. “Fourth Estate” most commonly refers to the news media; especially print journalism or “The Press.”

17 Lih. Dahl, 1998: 37. Bandingkan dengan pembacaan Daniel Hutagalung atas karya Dahl, Democracy and Its

(8)

berikut:

1. Partisipasi yang efektif.

Sebelum suatu kebijakan diadopsi oleh sebuah perkumpulan (dalam hal ini, misalnya, negara), semua anggota harus memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka kepada anggota lain tentang yang seharusnya ada dalam kebijakan tersebut.

2. Kesamaan dalam hak memilih (voting equality).

Ketika momen pengambilan keputusan menyangkut kebijakan tiba, setiap anggota harus memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suaranya (vote), dan semua suara yang masuk harus dianggap sama.

3. Pemahaman yang tercerahkan (enlightened understanding).

Dalam batasan waktu yang masuk akal, setiap anggota harus memiliki kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari sejumlah kebijakan alternatif yang relevan dan juga dampak-dampaknya yang mungkin.

4. Kontrol terhadap jalannya perencanaan serta pelaksanaan kekuasaan (control of the agenda).

Para anggota harus memiliki kesempatan yang eksklusif untuk menentukan bagaimana dan materi apa yang dimasukkan ke dalam agenda. Proses

(9)

demokratis yang disyaratkan oleh kriteria yang disebutkan di atas tidak pernah ditentukan sebelumnya. Kebijakan yang diambil oleh perkumpulan selalu bersifat terbuka untuk diubah oleh para anggotanya, jika memang mereka memilih demikian18.

5. Penyertaan orang dewasa (inclusion of adults).

Semua, atau sebagian besar, warga tetap yang sudah dewasa seharusnya Perempuan di New Zealand baru mendapatkan hak memilihnya atau sufrage

pada 1893, Australia pada 1902, Finlandia pada 1906, Norwegia pada 1913, Denmark dan Islandia pada 1915, Amerika Serikat serta Inggris baru sekitar tahun 1920-an. Untuk negara-negara di Amerika Latin, 1929 di Ekuador, 1932 di Brazil, 1939 di El Salvador, 1942 di Republik Dominika, 1945 di Guatemala, dan 1946 di Argentina. Di kawasan Asia Pasiik, Filipina pada 1937, Jepang 1945, Cina 1947, dan di Indonesia pada 195519.

Pertanyaan berikutnya: apakah demokrasi hanya berwujud satu wajah saja, atau, dalam bahasa yang lebih populer, one size its all?20 Adakah

tahapan-tahapan perkembangan jenis demokrasi dari versi yang lebih sederhana dan

18 Control of the agenda sebagaimana dimaksud Dahl di atas bisa juga dibahasakan dengan istilah “deliberasi.” Dalam proses demokratis, yang dimaksud dengan prinsip deliberasi adalah momen di mana para warga negara berpartisipasi dan berkomunikasi secara bebas dalam menentukan keputusan-keputusan politis mereka. Dengan kata lain, proses demokratis mensyaratkan berbagai ikhtiar untuk menjaga dan merawat komunikasi yang partisipatoris antar berbagai kelompok masyarakat lewat pelbagai kesempatan dan ruang-ruang yang berbeda, mulai dari town meetings sampai ke works councils. (lih. Janoski, Thomas dan Brian Gran. 2002. “Political Citizenship: Foundations of Rights”. Dalam Isin dan Turner, 2002: 20)

19 Lih. http://teacher.scholastic.com/activities/sufrage/history.htm

20 Lih. Tonkin, Alan. 2005. Diferent Values: Diferent Democracy: Difering Values Systems Require Difering Types

(10)

sesuai untuk pengaturan serta pengelolaan masyarakat yang juga relatif lebih sederhana, menuju ke jenis demokrasi yang makin berkembang kompleksitasnya untuk mengatur sekaligus mengelola masyarakat yang lebih kompleks dan

dimulai pada 7 Oktober 2001) sebagai reaksi terhadap tindakan teroris 11 September 2001 atau yang lebih dikenal dengan istilah 9/11 atau September 11 attacks, dan 3) invasi Amerika Serikat dan sekutunya (Inggris, Australia dan Polandia) ke Irak pada tahun 2003 (19 Maret s/d – 1 Mei 2003) yang lebih dikenal dengan istilah Perang Irak atau Operation Iraqi Freedom, untuk menggulingkan rezim pemerintahan Saddam Hussein yang dianggap membahayakan keamanan internasional dengan menyimpan dan merencanakan peluncuran senjata pemusnah massal (nuklir, kimiawi dan biologis), yang belakangan terbukti tidak beralasan [lih. http:// en.wikipedia.org/wiki/2003_invasion_of_Iraq#cite_note-msnbc1-23]. 3 peristiwa besar dan kontroversial ini, yang menuai gelombang protes dari seluruh penjuru dunia, menjadi prototype dari muncul dan semakin terartikulasikannya keyakinan Tonkin dan Beck akan perlunya membuat sebuah distingsi demokrasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan diaplikasikan secara global, tanpa terkondisikan hanya pada satu jenis demokrasi saja, misalnya: demokrasi liberal - konstitusional.

(11)

berlapis? Ternyata ada. Berikut adalah gambaran demokrasi yang terstratiikasi, artinya tersusun dari lapisan-lapisan serta tahapan-tahapan, yang dimulai dari versi demokrasi versi yang lebih sederhana dan mendasar (basic), hingga versi demokrasi yang lebih canggih dan kompleks. Merujuk pada penjelasan yang disampaikan Alan Tonkin tentang gambar berikut ini, ketika para pemimpin dunia Barat yang sudah maju berbicara tentang demokrasi, mereka cenderung merujuk pada demokrasi konstitusional yang didasarkan pada sistem multi-partai, derajat keterwakilan yang fair, terutama di Dewan Legislatif, serta pemilihan umum yang terawasi dengan jujur-adil-transparan. Negara-negara yang mempraktikkan demokrasi semacam ini biasanya berada di kerangka nilai berwarna Biru/Oranye/ Hijau/Kuning Tua. Akan tetapi, di sejumlah negara berkembang, tata laksana konstitusional bisa amat bervariasi, dengan kerangka nilai yang tersebar dari Ungu/Merah/Biru/Oranye/Hijau. Dalam kasus-kasus semacam ini, demokrasi bisa berarti lain dari yang sudah dipraktikkan di negara-negara maju (Dunia Pertama), sehingga untuk negara-negara yang masih tergolong dalam kategori warna Ungu/Merah/Biru (Dunia Ketiga) diperlukan sejumlah modiikasi sistem dan tata laksana konstitusional agar pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi menjadi lebih efektif di negara tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, kita sudah mendapatkan gambaran yang memadai untuk memahami pengertian demokrasi dalam pentas perpolitikan dan kewarganegaraan dunia sejak zaman klasik Yunani kuno, hingga zaman sekarang, dilengkapi dengan sejumlah unsur dan kriteria proses demokratis menurut Robert A. Dahl dan juga jenis-jenis serta tahapan demokrasi yang mengakomodasi kerangka nilai yang berbeda-beda.

Persoalan-persoalan yang Dihadapi Rezim Demokrasi

1) Tirani mayoritas terhadap minoritas

(12)

pemerintahan oleh kawanan atau massa. Oklokrasi merupakan “versi tercemar dari demokrasi”, di mana unsur pencemarnya adalah (1) demagogi (strategi untuk memperoleh kekuasaan politik dengan melibatkan dan memainkan prasangka, emosi, ketakutan, kesenangan dan harapan orang banyak dengan cara retorika dan propaganda yang didasarkan pada tema nasionalis, religius maupun populis), (2) tirani mayoritas, dan (3) pemerintahan yang didasarkan pada perasaan alih-alih akal budi.

Pada zaman Yunani kuno, oklokrasi dianggap sebagai salah satu dari tiga bentuk pemerintahan yang “buruk,” yang dilawankan dengan tiga bentuk pemerintahan yang “baik.” Kata “buruk” dan “baik” di sini diterapkan pada jenis pemerintahan yang bertindak demi kepentingan seluruh komunitas atau rakyatnya (disebut “baik”) atau demi kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu dengan mengabaikan pertimbangan keadilan (disebut “buruk”).

Kartun ilustrasi tirani mayoritas dalam rezim demokrasi;

sumber: http://ilipspagnoli.iles.wordpress.com/2009/12/tyranny-of-the-majority-cartoon.jpg

Dalam versi yang lebih modern, oklokrasi lebih sering disebut dengan istilah mobokrasi (mobocracy) atau pemerintahan oleh gerombolan. Ancaman mobokrasi dalam sebuah rezim demokrasi biasanya ditangkal dengan penegakan hukum yang berpihak pada serta melindungi kaum minoritas maupun individu terhadap demagogi maupun kekacauan moral. Meskipun pada dasarnya hukum serta aturan dalam sebuah rezim demokrasi dibuat atau dibatalkan oleh mayoritas suara (dalam parlemen atau lembaga legislatif ), dengan menggunakan sistem pemungutan suara (voting), namun aturan hukum perlindungan terhadap kaum minoritas bukanlah hal yang sepele.

(13)

tegak dan kredibelnya sistem pemerintahan demokrasi. Hal ini terungkap dalam eseinya yang didaulat sebagai buku pegangan kaum pro-kebebasan individu (libertarian). Judul esei tersebut, On Liberty. Mill menulis sebagai berikut, “Seperti jenis tirani lainnya, tirani mayoritas merupakan hal yang ditakuti karena bekerja lewat tindakan otoritas publik. Akan tetapi, seorang yang berakal sehat akan melihat bahwa ketika masyarakat itu sendiri menjadi tiran –masyarakat secara kolektif terlepas dari para individu yang menyusunnya-- maka cara-cara tiran tersebut tidak lagi terbatas hanya pada tindakan mereka yang menjadi fungsionaris politiknya. Masyarakat memang dapat dan harus melaksanakan amanah atau mandatnya sendiri; dan jika masyarakat mengeluarkan amanah yang keliru, atau amanah yang tidak dapat diganggu gugat, maka masyarakat tersebut sebenarnya sedang mempraktikkan sejenis tirani sosial yang lebih mengerikan daripada banyak jenis penindasan politis.” (Mill, 1859: 7)

Mengapa “lebih mengerikan”? Meskipun tirani sosial biasanya luput dari ganjaran hukuman yang ekstrem, namun ia menutup cukup banyak jalan untuk melarikan diri; [tirani sosial] merangsek masuk lebih jauh ke dalam hidup setiap orang, bahkan memperbudak jiwa itu sendiri. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya melindungi diri dari tirani sosial tersebut; perlu juga adanya suatu perlindungan terhadap tirani pendapat dan perasaan yang dominan, terhadap kecenderungan masyarakat untuk memaksakan ide-ide dan praktik-praktiknya sebagai aturan tingkah laku bagi mereka yang berbeda pendapat dan perasaan dengannya, selain lewat hukuman sipil belaka; (perlindungan terhadap upaya-upaya masyarakat) untuk menghalang-halangi perkembangan dan pembentukan individualitas yang tidak selaras dengan cara-cara (yang dianut masyarakat) dan mengarahkan secara paksa semua jenis karakter menjadi persis seperti model yang diinginkannya. Perlu ada batasan menyangkut campur-tangan opini kolektif (masyarakat) terhadap kebebasan individu; menemukan batasan tersebut, serta mempertahankannya terhadap penyabotan, adalah hal yang tak tergantikan untuk menjamin syarat suatu kehidupan manusia yang baik sebagai bentuk proteksi terhadap despotisme politis.”

(14)

dan ketidaksetujuan (dissent)21. Dikatakan olehnya bahwa musuh terbesar dari

“toleransi terhadap ketidaksetujuan” adalah kaum mayoritas yang lahir bukan dari “rahim” berpikir dan berpendapat secara bebas melainkan dari administrasi opini publik yang monopolistik dan oligopolistik. Artinya, mayoritas tipe ini adalah mayoritas yang melestarikan dirinya sendiri dengan cara mengamankan kepentingan-kepentingan sempit yang membuatnya menjadi mayoritas. Inilah mayoritas yang berstruktur tertutup yang membenci perubahan selain perubahan dalam sistem yang sudah dibuatnya sendiri (untuk melanggengkan dirinya), yang tidak bisa dipercaya sebagai “penjaga kepentingan bersama.” Jenis toleransi yang dikembangkan oleh mayoritas seperti ini adalah toleransi semu atau pura-pura.

21 Dalam versi demokrasi yang lebih kontemporer, jenis demokrasi yang mendukung perlindungan terhadap disensus (dissent) adalah demokrasi disensus (lih. Rancière, Jacques. 2010. Dissensus: On Politics and Aesthetics. London: Continuum. Bdk. Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.; bdk. Robet, Robertus. 2010. “Disensus, Politik dan Etika Kesetaraan Jacques Rancière” Makalah yang dibawakan dalam Seri Kuliah Umum Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, November 2010, yang bisa diakses di http://cdn.salihara.org/media/documents/2010/11/27/f/i/ile.pdf. Untuk versi yang lebih ringkas, bisa dibaca artikel Robet, 2010: 6. Robet menegaskan, “Disensus inilah kiranya yang mesti kita jadikan agenda pokok politik demokrasi kontemporer untuk Indonesia. Di dalam disensus kita mendorong dan membuka selebar-lebarnya pintu serta peluang yang disediakan oleh demokrasi justru bagi mereka yang sebenarnya paling membutuhkan.”

Gambar: intoleransi yang tidak bisa ditoleransi; sumber: http://www.peacewithpurpose.org/uploads/8/2/1/6/ 8216786/5062640_orig.jpg

2) Kurangnya simpati dan rasa solidaritas pemimpin terhadap warga negara

(15)

maupun Papua. Belum terhitung bencana kemanusiaan seperti bencana kelaparan (di Yahukimo, Papua, 2005), tragedi bom, kerusuhan sosial berbasis etnis maupun agama, tawuran dan perang antar warga atau kelompok warga, dan masih banyak lagi. Sudah ratusan ribu korban jiwa melayang dan lebih banyak lagi yang terluka maupun trauma. Banjir darah, tangis dan kesedihan seolah enggan menjauh dari tanah air Indonesia. Berhadapan dengan fakta sosial kemanusiaan semacam ini, orang tidak bisa berpaling dan menganggap sepi, apalagi kalau orang tersebut pemimpin, mulai dari level formal pemerintahan terendah seperti kepala desa atau lurah sampai dengan Presiden. Seorang pemimpin yang baik dan pantas diteladani, seyogianya memimpin dengan ketegasan, agar nampak berwibawa, dan juga perlu peka (concerned), empati, memiliki rasa kasihan (pity) sekaligus bela-rasa (compassion) terhadap nasib dan penderitaan orang lain, terutama, namun tidak dibatasi pada, warga yang berada di wilayah otoritasnya.

Pertanyaannya sekarang: bagaimana pendasaran teoretis (ilsafat politik) yang dapat membenarkan bahwa pemimpin yang baik, yang bisa dijadikan teladan, adalah pemimpin yang memiliki kualitas peka dan empati? Pertanyaan ini dapat dijawab jika kita mau belajar dari sosok dan pemikiran Adam Smith (1723 –1790), seorang ilsuf moral dan sosial sekaligus perintis disiplin ilmu ekonomi modern yang berasal dari Skotlandia. Sebagai seorang pemikir yang serius dan berpengaruh besar terhadap arus pemikiran berikutnya ia menulis sejumlah buku. Di antaranya ialah Teori Rerasa Moral (The Theory of Moral Sentiments, 1759; selanjutnya disingkat TMS), dan Pertanyaan tentang Kodrat dan Sebab-musabab Kekayaan Bangsa-bangsa (An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, 1776).

(16)

TMS bisa disebut sebagai sebuah traktat etika karena pelbagai perasaan dan disposisi psikologis yang terkait dengan moralitas, atau disebut rerasa moral (moral sentiments), yang dianalisis dalam buku ini diberikan pendasaran ilosois yang kuat. Rerasa moral yang dibahas dalam TMS juga dikaitkan dengan penilaian dan putusan moral, sehingga kita bisa mengatakan bahwa suatu tindakan itu salah atau benar karena memang ada pendasaran rasionalnya di balik putusan atau penilaian tersebut. Itulah yang dimaksud dengan etika di sini.

Di bagian awal TMS, Smith mengemukakan bahwa betapapun tampak mementingkan diri sendiri (selish), seorang manusia pada dasarnya tertarik untuk melihat orang lain beruntung dan berbahagia. Hanya dari melihat orang lain bahagia dan beruntung ini saja manusia sudah memperoleh kenikmatan. Selain itu, ia juga merasakan sejenis emosi yang bernama belas kasihan (pity / compassion) ketika melihat penderitaan (misery) orang lain, baik melihat dengan mata kepala sendiri atau ketika mengetahuinya lewat cara penyampaian yang begitu hidup. Tentang hal ini, semua manusia tanpa terkecuali, termasuk mereka yang dikenal sebagai orang yang paling kejam dan pembangkang (yang oleh Smith disebut sebagai the greatest ruian, the most heardened violator of the laws of society). Inilah rerasa moral yang oleh Smith disebut dengan “simpati.”

Bagian awal TMS persis menjadi anti-tesis dari hal yang diyakini pemikir besar Inggris lainnya, yang hidup satu abad sebelumnya, yaitu Thomas Hobbes (1588 – 1679) dalam bukunya, Leviathan (1651). Hobbes berkeyakinan bahwa manusia itu pada dasarnya egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri (selish). Hidup antar manusia yang seperti ini diwarnai rasa saling curiga dan terancam, sehingga tidak mengherankan bahwa sering terjadi perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes) dan konsekuensinya, kualitas hidup manusia bersifat “sendirian, miskin, kotor, brutal; dan pendek” (Hobbes, 1660: Ch. XIII). Pemerintahan dan kepemimpinan yang menonjol dalam kondisi antar-manusia seperti yang dibayangkan Hobbes ini adalah pemimpin yang tegas, cenderung keras dan kejam, serta otoriter, yang olehnya disebut sebagai Leviathan.

(17)

merasa ikut bahagia, dan ketika melihat orang menangis dengan wajah menahan derita, kita ikut merasa sedih. (Smith, 1759: Part I. Of the Propriety of Action, Section I. Of the Sense of Propriety, I.I.4 dan I.I.6)

Selanjutnya, Smith juga mengatakan bagaimana caranya simpati ini bekerja, yaitu lewat imajinasi. Karena kita tidak pernah memiliki pengalaman langsung dari apa yang dirasakan orang lain (menyangkut penderitaan dan musibah yang mereka alami, misalnya), maka kita juga tidak bisa merasakan seberapa intens pengalaman tersebut memengaruhi (afected) jiwa mereka. Akan tetapi, dengan membayangkan (berimajinasi), apa jadinya jika kita yang berada dalam situasi seperti itu, dirasakan amat membantu untuk melahirkan simpati. Lewat imajinasi, kita menempatkan diri kita dalam situasinya. Untuk menilai apakah perasaan kita (terhadap suatu kondisi penderitaan manusia tertentu yang melahirkan rasa simpati kita) itu tidak melulu subjektif, Smith menganjurkan agar kita “mengundang” seorang pengamat yang netral untuk menyaksikan hal yang sama seperti yang kita lihat. Lalu kita lihat reaksinya bagaimana. Ia menyebut pengamat yang netral ini sebagai impartial specatator. (Smith, 1759: I.II.28, II.I.11, II.II.3 ). Seorang pengamat yang tak berpihak ini adalah seorang yang berwawasan tentang situasi tersebut namun tidak memiliki relasi khusus (misalnya sebagai teman atau musuh) dari setiap orang yang ada dalam situasi tersebut. Pertanyaannya, mampukah si pengamat yang tak berpihak ini bersimpati dengan perasaan yang lalu mendorong tindakan saya (misalnya, menolong orang menderita yang ada dalam situasi tersebut)? Jika ya, maka kita dapat menyetujui dan meneruskan tindakan tersebut, jika tidak, maka dihentikan.

Pada gilirannya, simpati ini bukan hanya perasaan kita terhadap orang lain dalam konteks relasi antara dua orang saja (misalnya ibu dengan anaknya, atau suami dengan istrinya), namun lebih luas dari itu. Simpati dapat membimbing orang untuk menjaga dan mempertahankan relasi yang baik dengan sesamanya. Bahkan simpati juga bisa menjadi dasar bagi tindakan-tindakan baik yang khusus lainnya maupun tatanan sosial secara umum.

(18)

demikian, dua prinsip metaisis manusia sebagai binatang yang rasional dan berbahasa (ζῷον λόγον ἔχον zoon logon echon) dan juga makhluk politis (ζῷον πολιτικόν), yang digagas Aristoteles ribuan tahun lalu, perlu dilengkapi dengan pengertian manusia sebagai makhluk yang memiliki rerasa moral (sentient and moral being) seperti digagas Smith. Hanya dengan memahami manusia dalam kelengkapan dan kedalaman dimensi metaisisnya inilah, demokrasi diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan idealnya.

3) Merosotnya (kualitas) warga negara menjadi massa (mass) dan per kumpulan menjadi kerumunan (crowd)

Demokrasi yang tergelincir menjadi mobokrasi seperti sudah diuraikan di atas mengandaikan perubahan identitas warga negara dari makhluk rasional yang sadar diri dan mawas politik, yang dalam versi kolektifnya disebut sebagai “rakyat” (people), menjadi gerombolan atau massa. Dalam praktik demokrasi dengan basis massa mengambang, sudah mulai dipraktikkan sejak rezim Suharto di akhir 1980-an22, yang cukup sering menjadi persoalan baik di tataran empiris maupun

teoretis dewasa ini adalah bahwa dengan mudahnya “rakyat” diidentikkan dengan “gerombolan” atau dalam bahasa populernya, “massa.” Padahal, sebagaimana akan dibahas berikut, sudah jelas bahwa “rakyat” tidak sama dengan “massa”.

Di akhir abad ke-19 lalu, Gustave Le Bon (1841 – 1931), seorang sosiolog dan psikolog sosial terkemuka yang meneliti fenomena massa, mengemukakan dalam bukunya The Crowd: A Study of Popular Mind (1896) bahwa yang disebut sebagai kerumunan massa (crowd) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) digerakkan oleh dorongan impulsi (bukan pertimbangan akal budi), sangat aktif bergerak (mobile)

(19)

dan memiliki kekuasaan yang mendadak hebat tak bisa ditolak (irresistible) karena kekuatan jumlah yang besar, 2) amat mudah dipengaruhi (suggestibility) dan percaya pada sesuatu (credulity), 3) memiliki nalar yang sederhana (bahkan mirip dengan manusia primitif ) dan sekaligus ekstrem (exaggerated), dan 4) tidak toleran terhadap perbedaan, cenderung diktator dan konservatif (bergerak dari pendulum “begitu patuh” sampai “anarki”), 5) standar moralitas yang amat rendah: cenderung destruktif.

Setengah abad kemudian, tilikan Le Bon di atas diperkuat oleh temuan etnograis Elias Canetti (1905 – 1994), seorang pemikir dan penulis asal Bulgaria. Canetti menganalisis tentang karakteristik massa dalam bukunya Crowds and Power (1960). Menurutnya, beberapa atribut yang melekat pada kerumunan (crowd) adalah: 1) selalu ingin bertambah jumlahnya, 2) ada kesamaan yang

Gambar: kerumunan massa di jalan;

Sumber: : http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/00796/crowded-britain_796405c.jpg ;

(20)

absolut di dalamnya (tidak ada pembedaan gelar, status, jabatan, dsb, pada tiap individu yang tergabung dalam kerumunan), 3) kerumunan menyukai kepadatan (densitas), dan 4) membutuhkan arahan / tujuan untuk menguatkan rasa kesamaan dalam kerumunan tersebut. Selain empat atribut ini, Canetti juga membedakan jenis-jenis kerumunan berdasarkan ciri khas emosi yang digumuli dalam kerumunan tersebut, yaitu 1) kerumunan umpan (baiting crowds) yang bertujuan membunuh target sasarannya yang relatif jelas, dekat dan gampang diidentiikasi, 2) kerumunan hengkang (light crowds) yang terbentuk karena adanya suatu ancaman, 3) kerumunan larangan (prohibition crowds) yang terbentuk karena adanya penolakan terhadap suatu larangan atau aturan, 4) kerumunan berbalik (reversal crowds) di mana mayoritas yang selama ini tertindas berbalik dan melindas segelintir orang yang selama ini menindas; contoh: revolusi yang dilancarkan kaum budak melawan majikannya, tentara melawan komandannya, orang kulit hitam melawan orang kulit putih yang bermukim di tempatnya, dan 5) kerumunan pesta (festive crowds) yang ditandai oleh melimpahnya keriangan dan kesenangan.

Francisco Budi Hardiman, ilsuf sosial, dosen dan peneliti, dalam bukunya

Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005) menelusuri lebih jauh konsep massa dan keterkaitannya dengan tindak kekerasan massal. Menurutnya, manusia melakukan kekerasan terhadap sesamanya karena dia merasa tidak melakukannya terhadap sesamanya, melainkan terhadap musuh yang harus dihancurkannya, musuh yang mengancam survival-nya dan menimbulkan panik. Selain itu, kondisi struktural masyarakat membuatnya merasa terisolasi sebagai indvidu, tercerabut dari komunitasnya dan termarginalisasi secara ekonomis. Para pelaku kekerasan massa adalah manusia-manusia yang dikolektifkan dari dua sisi: oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan komunitasnya.

Selain tiga persoalan yang dihadapi rezim demokrasi yang sudah diuraikan secara cukup terperinci di atas, masih ada beberapa persoalan laten yang merongrong tegaknya rezim demokrasi di Indonesia, yaitu:

a) Pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah yang memilih pemimpin yang lemah, tidak cakap dan tidak berwibawa.

b) Lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada semakin merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

c) Paham fundamentalisme dan gerakan kaum fundamentalis (terutama fundamentalisme yang berbasis ikatan-ikatan primordial seperti suku, kekerabatan, dan agama).

(21)

dengan tuntutan akan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman dan perbedaan (multikulturalisme).

e) Akumulasi ketidakpuasan dan ketidakpercayaan warga negara terhadap pemerintahnya yang dapat berdampak pada pembangkangan sipil (civil disobedience), tindak diskriminasi antar warga, anarkisme, dan bahkan tindak terorisme. Pada gilirannya, semua tindak perlawanan warga ini, termasuk di dalamnya kategori group grievance antara lain adanya diskriminasi, penindasan, dan kekerasan terhadap etnis, akan melemahkan tata pemerintahan, menurunkan daya saing ekonomi bangsa, dan secara ekstrem dapat berdampak pada mewujudnya negara gagal (failed state)23.

Masa Depan Demokrasi di Indonesia, Bagaimana?

Bagaimanakah masa depan demokrasi (khususnya demokrasi di Indonesia) ketika dihadapkan pada pelbagai persoalan baik yang sifatnya internal maupun eksternal, jangka pendek maupun jangka panjang, seperti sudah diuraikan di bagian sebelumnya dari tulisan ini? Apakah demokrasi dapat bertahan (survive) atau malahan meredup (demise)? Beberapa penelitian yang dirujuk dalam tulisan

(22)

http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/26/insight-the-2012-failed-states-index-tells-a-fore-ini cenderung mengairmasi kemungkinan yang lebih tinggi bahwa demokrasi masih dapat bertahan dan bahkan akan semakin luas diadopsi oleh banyak negara yang sebelumnya mempraktekkan sistem pemerintahan yang non-demokratis (kerajaan, monarki, ataupun otoriter).

Untuk memprediksi masa depan demokrasi di Indonesia, sebaiknya kita tidak melupakan sejarah demokrasi yang pernah dialami dan dipraktekkan bangsa dan negara Indonesia sejak zaman penjajahan kolonial, hingga proklamasi kemerdekaan menjadi negara merdeka dan berdaulat, sampai sekarang. Pandangan sekilas tentang masa lalu dan masa kini Indonesia diperlukan untuk mendapatkan prediksi yang lebih akurat tentang demokrasi di masa depan.

Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, dalam kurun waktu yang cukup panjang, lebih dari 350 tahun, cikal bakal demokrasi sudah ditunjukkan insan bumi nusantara lewat:

1) munculnya kesadaran akan pentingnya perjuangan mencapai kemerdekaan dan penentuan diri, yang dicapai lewat aneka perlawanan terhadap penjajahan dan kesewenang-wenangan penjajah Belanda selama kurun waktu lebih dari 300 tahun. Sifat kesadaran ini masih partikular, kedaerahan, condong pada perlawanan isik dan kemahiran strategi perang, serta cenderung terbatas dalam cakupan wilayah maupun dampak.

2) munculnya kesadaran untuk menciptakan identitas nasional, yang dipelopori oleh para pemuda terdidik Indonesia yang belajar di negeri Belanda, diprakarsai Soetan Kasajangan Soripada dan R.M. Noto Soeroto, berikutnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Manifestasi dari kesadaran akan identitas nasional ini adalah terbentuknya

(23)

3) munculnya kesadaran untuk melampaui partikularitas, rasa fanatisme kedaerahan, serta egoisme kesukuan yang terwujud dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Lima faktor yang diuraikan Moehammad Yamin dalam pidatonya di depan Kongres Pemuda Indonesia kedua (27 – 28 Oktober 1928), yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan, merupakan pendasaran etis bagi menguatnya persatuan Indonesia berkat keberanian kaum muda mempelopori dan melakukan terobosan. Seperti tercatat dalam dokumen sejarah24, para peserta Kongres

Pemuda II berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond.

4) manifestasi eksplisit dari akumulasi kesadaran kolektif bangsa Indonesia untuk menentukan diri sendiri dan hasrat untuk merdeka (bebas dari penjajahan) dalam peristiwa monumental Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Empat momentum historis, mulai dari munculnya kesadaran akan kebersamaan dalam wadah bangsa-negara serta kesamaan politis sebagai warga yang independen, hingga manifestasi dan proklamasinya menjadi negara yang berdaulat dan dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan” inilah yang menjadi kekhasan ciri genealogis demokrasi di Indonesia.

Setelah empat momentum historis ini berlalu dalam arus sejarah mengisi kemerdekaan dan tetap menjadi tonggak ingatan kolektif bangsa, demokrasi di Indonesia mulai mencari bentuk yang sepadan dengan letupan-letupan roh atau semangatnya. Mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpin, rezim otoriter berbajukan demokrasi Pancasila, demokrasi liberal dan neo-liberal, semuanya sudah pernah ditempuh NKRI25.

24 Lih. dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda (diakses pada Rabu, 5 September 2012, 00:38 WIB) 25 Lihat catatan Gamaliel, Fritz. 2009. (bisa diakses di

(24)

Satu sumbangan penelitian yang dilakukan oleh David Beetham26

menunjukkan bahwa beberapa ciri khas rezim demokrasi yang kita kenal, seperti kontrol rakyat terhadap jalannya pemerintahan dengan syarat kesamaan politis (political equality), menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berkumpul, pelaksanaan pemilihan umum yang jurdil, prosedur-prosedur berbasis mayoritas (seperti pengambilan keputusan lewat voting), haruslah diperluas. Respek terhadap perbedaan dan kemauan untuk mengelola keragaman dengan dasar pemahaman yang tepat akan syarat-syarat kesamaan politis adalah dua butir usulan Beetham. Jika dua butir usulan ini diakomodasi oleh siapapun yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk menerapkan dan melaksanakan amanah demokrasi, maka tidak diragukan lagi demokrasi akan mampu menghadapi pelbagai krisis yang menerpanya, pelbagai rongrongan yang menyerangnya, dan pelbagai ketidakpuasan yang dialamatkan kepadanya. Secara lebih elegan, Beetham mengatakan “Demokrasi mampu menyelesaikan perpecahan sosial yang kronis dan mendalam yang dihadapinya hanya jika demokrasi berpegang teguh pada prinsip intinya, yaitu kesamaan politis dan pengakuan bahwa pandangan dan sikap yang berbasis mayoritas harus dibatasi ketika prinsip kesamaan politis mulai dicederai; selain itu demokrasi juga perlu membuka ruang untuk berlangsungnya dialog yang inklusif di antara pihak-pihak yang bertikai, untuk sampai pada penyelesaian yang konstitusional yang diarahkan pada konsensus yang memadai sehingga pada gilirannya (penyelesaian tersebut) dapat diterima oleh khalayak luas.”

Prediksi kedua bisa kita peroleh dari hasil penelitian Nahla Shahrouri27 yang

mengairmasi bahwa semakin demokratis suatu negara mempraktekkan prinsip-prinsip demokrasi, semakin kecil kemungkinan terjadinya tindak terorisme dalam negara tersebut. Artinya, ada korelasi negatif antara demokrasi dan terorisme dan bahwa demokrasi adalah unsur kunci untuk mengurangi atau menghilangkan terorisme. Namun bagaimana solusi ini diterapkan? Itulah problem yang masih terbuka untuk diperdebatkan sampai sekarang. Model demokrasi yang ditawarkan (baca: dipaksakan!) Amerika Serikat selama ini lebih sering menuai gelombang

27 Lengkapnya, lih. Shahrouri, 2010: 41 - 77. “This study inds that there is a negativerelationship

(25)

protes dan perlawanan sipil. Dalam kasus demokratisasi negara-negara di Timur Tengah beberapa tahun terakhir ini (Palestina dan Israel, Bahrain, Mesir, Lebanon, Siria, Yaman, Oman), terjadi perlawanan dari kaum ekstremis pasca pemilihan umum (salah satu indikator besar keberhasilan demokratisasi). Iraq dan Afghanistan merupakan contoh lain dari kegagalan mendemokratisasikan negara yang memang belum siap dengan mentalitas demokrasi. Pemaksaan demokratisasi di suatu negara yang resisten terhadap ide-ide demokrasi dapat membahayakan masa depan kemanusiaan. Inilah PR untuk kita pikirkan bersama.

Prediksi ketiga bisa kita asalkan pada analisis Victor Silaen dalam bukunya

Prospek Demokrasi di Negera Pancasila, khususnya bab XII, “Prospek Demokrasi Indonesia.”28 Silaen mengatakan bahwa dalam masa transisi demokrasi Indonesia

pasca Reformasi 1998, ketika demokratisasi tidak diikuti dengan pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, maka orang mulai mempertanyakan bahkan menggugat premis dasar demokrasi yang (katanya) menjanjikan “sistem (baru penataan) kehidupan demi kebaikan.” Sederhananya, buat apa susah-susah memikirkan, mendiskusikan, menerapkan demokrasi jika hari ini saya tidak bisa makan kenyang dan besok saya tidak tahu apa yang harus dimakan? Pertanyaan sesederhana ini akan menjadi lebih akut jika subjek “saya” di atas didaku oleh 29,13 juta orang miskin di Indonesia (data rilisan Badan Pusat Statistik per Maret 2012)29. Kegamangan demokrasi di Indonesia berada di bibir jurang

ketidakpercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya yang gemar meneriakkan jargon-jargon demokrasi, penegakan HAM dan supremasi hukum, namun yang tidak membuat lapangan pekerjaan semakin bisa luas diakses, yang tidak membuat biaya pendidikan menjadi lebih murah dan terjangkau, yang tidak berdaya apa-apa ketika harga sembako dan Bahan Bakar Minyak naik turun tanpa kendali, yang cenderung membiarkan berbagai kasus kekerasan berlatar belakang agama makin marak terjadi dua tiga tahun terakhir ini dan tidak menindak tegas para pelakunya yang sering berlindung di balik dalih saleh ‘penegakan syariah’, dan yang tidak gigih membela harga diri bangsa dan negara ketika pulau dan kekayaan budayanya dicaplok negara tetangga. Amatlah gegabah jika transisi demokrasi “hanya” diserahkan ke tangan elit politik, wakil rakyat yang serakah mengejar kenikmatan, dan maia hukum. Di pundak kitalah, orang muda dan kaum terpelajar bangsa ini, diletakkan tanggungjawab moral untuk

bersama-28 Lih. Silaen, 2012:173 – 191

(26)

sama mengawal dan mengawasi jalannya demokratisasi, agar tidak semakin jauh melenceng dari rel ideal normatifnya sehingga democracy tidak terpeleset menjadi opera sabun democrazy dan gelontoran demonstrasi miskin arti.

Daftar pertanyaan

1. Jelaskan kembali cikal bakal lahir dan berkembangnya paham demokrasi sejak zaman Yunani kuno hingga versi yang sekarang dalam bentuk bagan dan mind-mapping!

2. Uraikan secara mendetil dan sistematis, 5 persoalan dan tantangan terhadap paham maupun rezim demokrasi yang ada sekarang!

3. Mengapa usaha kita untuk memprediksi masa depan demokrasi di Indonesia harus memperhatikan sejarah masa lalu dan situasi masa kini?

4. Berikan argumenmu menyangkut klaim bahwa “demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling diinginkan oleh sebagian besar warga dunia.” Tunjukkan juga kelemahan-kelemahan dari klaim ini.

5. Pelajaran apa yang bisa Anda petik dari bagan/gambar “stratiied democracy” dan laporan “Freedom in the World 2011” untuk pematangan pemahaman Anda tentang demokrasi?

(27)

BAHAN DISKUSI KELOMPOK:

Belajar dari pemutaran ilm This is what Democracy Looks Like (2000)30.

Sumber gambar: http://blog.lib.umn.edu/ipid/ipid/democracy-dvdcover.jpg

Resensi ilm: Film dokumenter ini bercerita tentang gelombang protes ribuan orang terhadap pelaksanaan Konferensi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Seattle, Washington, Amerika Serikat, pada bulan November 1999. Didorong oleh amarah dan hasrat untuk menghentikan kekuasaan super WTO yang lebih mendahulukan kepentingan para pemodal dan keserakahan korporasi trans-nasional, serta memangkas kedaulatan negara dalam hal penentuan kebijakan (di antaranya) lingkungan, sosial, ketenagakerjaan, para aktivis politik dari berbagai

(28)

negara berkumpul dan sepakat untuk mengkampanyekan agenda perjuangan mereka “demi keadilan dan masa depan kemanusiaan yang lebih baik” dengan cara menghentikan perhelatan konferensi tersebut. Berhadapan dengan para aktivis adalah segerombolan polisi tanpa kompromi sebagai antek negara, media massa yang bias dan parsial dalam liputannya, serta para cukong pemodal yang diuntungkan oleh konferensi tersebut. Berjuang dengan harapan yang tipis untuk bisa didengarkan dan menang, para pemrotes dengan berani menghadapi perlawanan yang gigih dari para elit politik dan korporasi guna merebut kembali kekuasaan demokratis konstitusional yang selama ini dibungkam, disangkal dan diabaikan.

Pertanyaan untuk diskusi kelompok:

1. Apa kesan Anda tentang ilm ini (jalan ceritanya, adegan-adegannya, kebenaran isinya, dll)

(29)

Bahan Rujukan

Archibugi, Daniele. 2004. “Cosmopolitan Democracy and its Critics: A review”. Dalam European Journal of International Relations 10. 3 (Sep 2004): 437. (bisa diakses di http://search.proquest.com/docview/211986183/138882D61E561 43561F/102?accountid=17242)

Kresna, Aryaning Arya, dkk. 2010. Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara sebagai Mata Kuliah di Perguruan Tinggi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Baghi, Felix. Editor. 2012. Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi. Maumere: Penerbit Ledalero.

Bakti, Andi Faisal, dkk. Tim Editor. 2012. Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Tangerang Selatan: Churia Press.

Beetham, David. 2009. “Democracy: universality and diversity.” Dalam jurnal Ethics & Global Politics, suppl. Special issue: One World, Many Worlds? Vol. 2, no. 4, 2009. (bisa diakses di http://search.proquest.com/docview/860897777?acco untid=17242)

Bellamy, Richard. 2008. Citizenship: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press Inc.

Boyd, Ross. 2003. “Book Review: Governing for the Environment: Global Problems, Ethics and Democracy.” Dalam Journal of Sociology 2003, Volume 39(1), hlm. 99–112. DOI: 10.1177/0004869003039001325.

Burnell, Peter. 2010. “Promoting Democracy and Promoting Autocracy: Towards A Comparative Evaluation.” Dalam Journal of Politics and Law, Vol. 3, No. 2; September 2010, hlm. 3 - 14. (versi daring bisa diakses di www.ccsenet.org/ jpl)

Canetti, Elias. [1960] 1984. Crowds and Power. Terjemahan dari versi Jerman, Masse und Macht, oleh Carol Stewart. New York: Farrar, Straus dan Giroux.

Cam, Philip. 2009. “Educating for Democracy.” Dalam jurnal Diogenes 2009 56: 37. DOI: 10.1177/0392192109355528

Christian W. Haerpfer, Patrick Bernhagen, Ronald F. Inglehart, dan Christian Welzel. 2009. Democratization. New York: Oxford University Press.

Dahl, Robert. A. 1998. On Democracy. Yale (USA): Yale University Press.

---, Ian Shapiro, and José Antonio Cheibub. Tim Editor. 2003. The Democracy Sourcebook. Cambridge, Massachusetts (USA) dan London (UK): The MIT Press.

Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(30)

Edelsky, Carole. 2004. “Democracy in the Balance.” Dalam jurnal Language Arts; September 2004; Vol. 82(1), hlm. 8 – 15, ProQuest Research Library.

Elstein, D. 2010. “Why early confucianism cannot generate democracy.” Dalam

Dao : A Journal of Comparative Philosophy, 9(4), 427-443.

Fearnley-Sander, Mary dan Yulaelawati, Ella. 2008. “Citizenship Discourse in the Context of Decentralisation: The Case of Indonesia.” Dalam David L. Grossman, Wing On Lee, dan Kerry J. Kennedy (tim editor). Citizenship Curriculum in Asia and the Paciic. Hong Kong: Comparative Education Research Centre, Faculty of Education, The University of Hong Kong, China, hlm. 111 – 126.

Fletcher, F. J. 1994. “Media, elections and democracy.” Dalam Canadian Journal of Communication, 19(2), 131-150. (bisa diakses di http://search.proquest.com/ docview/219527308?accountid=17242)

Freedom in the World report 2011, dipublikasikan oleh Freedom House. Penjelasan umum beserta daftar negara dengan peringkat kebebasannya bisa diakses di http://www.freedomhouse.org/report/freedom-world/freedom-world-2011 dan http://www.freedomhouse.org/sites/default/iles/inline_images/Combi nedAverageRatings%28IndependentCountries%29FIW2011.pdf

Giroux, Henry A. 2005. “The Passion of the Right: Religious Fundamentalism and the Crisis of Democracy.” Dalam jurnal Cultural Studies <=> Critical Methodologies

2005; 5; hlm. 309 - 317. DOI: 10.1177/1532708604274305

---. 2009. “Democracy’s Nemesis: The Rise of the Corporate University”. Dalam jurnal Cultural Studies <=> Critical Methodologies 2009; 9; 669. DOI: 10.1177/1532708609341169.

Goh, Irving. 2006. “Democracy to Come.” Dalam jurnal Theory Culture Society 2006; Vol. 23(1), hlm. 517 - 519. DOI: 10.1177/026327640602300293

Goode, Luke. 2005. Jürgen Habermas: Democracy and the Public Sphere. London dan Ann Arbor, MI: Pluto Press.

Hansen, Mogens Herman. 1991. The Athenian Democracy in the Age of Demosthenes: Structure, Principles, and Ideology. University of Oklahoma Press.

Hardiman, F. Budi. 2005. Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Held, David. 1995. Democracy and the Global Order: From the Modern State to Cosmopolitan Governance. Cambridge: Polity.

Henning, Brian G. 2007. “Representative Democracy: Principles and Genealogy.” Dalam jurnal The Review of Metaphysics 61. 1, Sep 2007: 164-166.

(31)

jurnal New Media Society 2008; 10; 27. DOI: 10.1177/1461444807085320 Hobbes, Thomas. 1660. Leviathan. Oregonstate electronic publication. (versi

elektronik bisa diakses di http://oregonstate.edu/instruct/phl302/texts/ hobbes/leviathan-contents.html)

Isin, Engin F. dan Turner, Bryan S. Tim Editor. 2002. Handbook of Citizenship Studies.

London • Thousand Oaks • New Delhi: SAGE Publications.

Klein, Naomi. 2007. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. New York: Metropolitan Books, Henry Holt and Company.

Knezevic, Ivanka. 2003. “Book Review: The Spiral of Capitalism and Socialism: Toward Global Democracy, by Terry Boswell and Christopher Chase-Dunn. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers, 2000.” Dalam jurnal Critical Sociology

2003; Vol. 29(1), hlm. 101 - 105. DOI: 10.1177/08969205030290010904. Lane, Max. 2007. “Indonesia’s Democratic Movement Under Attack,” dalam

Solidarity (bisa diakses di http://www.solidarity-us.org/node/535).

Le Bon, Gustave. [1895] 2002. The Crowd: A Study of the Popular Mind. Terjemahan dari versi asli berbahasa Perancis, La Psychologie des foules. Mineola, New York: Dover Publications Inc.

Lewis, D. C. 2008. Majority rule: Direct democracy and minority rights. Michigan State University). ProQuest Dissertations and Theses, n/a. (bisa diakses di http://search.proquest.com/docview/304580894?accountid=17242)

Lima, María Herrera. 2005. “Who judges? Democracy and the dilemmas of multiculturalism. Commentary to The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era, by Seyla Benhabib.” Dalam jurnal Philosophy & Social Criticism

2005; Vol. 31, No. 7; hlm. 727 - 737. DOI: 10.1177/0191453705057298

Manan, M. 2010. “Constitutional democracy for divided societies: The Indonesian case.” Dalam Journal of Politics and Law, 3(1), 125-132. Diakses dari http:// search.proquest.com/docview/840384361?accountid=17242

Marcuse, Herbert. 1965. Repressive Tolerance. (versi elektronik bisa diakses di http://www.marcuse.org/herbert/pubs/60spubs/65repressivetolerance.htm) Marga, A. 2009. “Democracy as form of life.” Dalam jurnal Eurolimes, 8,

141-153,181. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/504751164?acco untid=17242

Mietzner, Marcus. “Indonesia in 2008: Democratic Consolidation in Soeharto’s Shadow.” Dalam jurnal Southeast Asian Afairs 2009, hlm. 105-123.

Mill, John Stuart. 1859. On Liberty. (versi elektronik bisa diakses di http://www. victorianweb.org/philosophy/mill/liberty.html)

(32)

Patomäki, Heikki . 2006. “Global Democracy.” Dalam jurnal Theory Culture Society

2006; Vol. 23(1), hlm. 519 - 521.

Ramage, Douglas E. 1995. Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London dan New York: Routledge.

Robet, R. “Disensus Politik Demokrasi.” KOMPAS, Rabu, 15 Desember 2010, hlm. 6. Rowley, C. K., & Smith, N. 2009. “Islam’s democracy paradox: Muslims claim to like

democracy, so why do they have so little?” Dalam jurnal Public Choice, 139(3-4), 273-299. doi: 10.1007/s11127-008-9393-8

Schumpeter, Joseph A. [1943] 2003. Capitalism, Socialism, and Democracy. London dan New York: Routledge.

Sen, Amartya. 1999a. “Democracy as a Universal Value.” Dalam Journal of Democracy

10.3 (1999), hlm. 3-17 (bisa diakses di http://www.unicef.org/socialpolicy/ iles/Democracy_as_a_Universal_Value.pdf )

---. 1999b. Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press.

Shahrouri, Nahla. 2010. “Does a Link Exist between Democracy and Terrorism?” Dalam jurnal International Journal on World Peace, Vol. XXVII, No. 4, Desember 2010, hlm. 41 - 77.

Silaen, Victor. 2012. Prospek Demokrasi di Negara Pancasila. Jakarta: Permata Aksara.

Silalahi, Johan O. 2012. Mengurai Masalah Bangsa dan Negara: Releksi Pemikiran Kepemimpinan dan Kenegarawanan Menuju Indonesia Baru. Jakarta: Penerbit JohansFoundation.

Smith, Adam. [1759] 1790. The Theory of Moral Sentiments. London: A. Millar. (versi elektronik bisa diakses di http://www.econlib.org/library/Smith/smMS1.html) Sørensen, Georg. 2007. Democracy and Democratization: Processes and Prospects

in a Changing World, Third Edition. Colorado: Westview Press.

Sudibyo, Agus. 2012. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Syarwi, Pangi. Titik Balik Demokrasi: Petunjuk bagi Para Pejuang Demokrasi. Jakarta: Penerbit Pustaka Inteligensia.

Tabak, M. 2000. “A Marxian Theory of Democracy.”Dalam jurnal Socialism and Democracy, 14(2), 87-113. (bisa diakses di http://search.proquest.com/docvi ew/207638740?accountid=17242)

Tanuredjo, Budiman. Editor. 2007. Jakarta Memilih: Pilkada dan Pembelajaran Demokrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Torfason, Magnus Thor; Ingram, Paul. 2010. “The Global Rise of Democracy: A Network Account.” American Sociological Review75. 3 (June 2010): 355-377.

(33)

LEMBAR KERJA MAHASISWA

Form I

Ringkasan dan Analisis Diskusi

Bab: ... Pokok Bahasan: ...

Bentuk bahan diskusi: ... Judul: ... Sumber: ...

Ringkasan hasil diskusi

Analisis:

Nama mhs :

NIM :

Jurusan :

Catatan: 1. Kumpulkan lembar kerja ini setelah diskusi 2. Tidak mengumpulkan/tidak mengisi form

(34)

LEMBAR KERJA MAHASISWA

Form 2

Ringkasan Pemahaman Materi

Bab: ... Topik Perkuliahan: ...

Tuliskan pemahaman anda terhadap materi yang dibahas pada setiap pokok bahasan:

Nama mhs :

NIM :

Jurusan :

Catatan: 1. Kumpulkan lembar kerja mahasiswa setelah perkuliahan bab ini selesai

2. Tidak mengumpulkan/tidak mengisi lembar kerja mahasiswa ini dianggap tidak hadir

Gambar

Gambar: intoleransi yang tidak bisa ditoleransi; sumber: http://www.peacewithpurpose.org/uploads/8/2/1/6/ 8216786/5062640_orig.jpg
gambar solidaritas; sumber: http://mas-tony.com/wp-content/uploads/2011/12/solidaritas.gif
Gambar: kerumunan massa di jalan;

Referensi

Dokumen terkait