• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesetaraan Gender Dalam Pembagian Kerja Pada Keluarga Petani Ladang (Studi Kasus Analisa Isu Gender pada Keluarga Petani Ladang di Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, NAD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kesetaraan Gender Dalam Pembagian Kerja Pada Keluarga Petani Ladang (Studi Kasus Analisa Isu Gender pada Keluarga Petani Ladang di Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, NAD)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KESETARAAN GENDER DALAM PEMBAGIAN KERJA PADA KELUARGA PETANI LADANG

(Studi Kasus Analisa Isu Gender pada Keluarga Petani Ladang di Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, NAD)

Nurlian Harmona Daulay

Abstract: This title of this research is “Equivalent Gender in Sharing of Work at

Agriculture Family” which related with issues sharing work of gender has been done by a couple of husband-wife in domestic sector – public. For long time, the construction of gender in community has bias which created concept sharing of work for gender is not equal. And seem a social problem on relation of gender in family and role of gender is limp in community. The sharing of work is based on stereotype, until issues bias of gender is so important to appointed and dug the existence.This research is done at Cot Rambong village, Kuala Sub-District, Nagan Raya District – NAD..The research has been done at 8 (eight) of farmer family to get view that role of gender in sharing of work based on sex is not be in farmer family. But the happened is role of gender equal in sharing of work domestic – public by farmer family. The result from the research is there some factors/influences until happened equal role of gender in farmer family. The factors are based on the religion of Moslem (egaliter) and effecting from culture of Acehness and also relation culture of gender in community of Java. Beside the factor, culture of Acehness people also influence be happened equal role of gender in sharing work in domestic – public at farmer family also be influenced by social value of gender from Java which not bigger the influence to role of gender not limp at farmer family. From the research has been done so there are 3 factors caused role of gender equal in sharing of work domestic and public sector at farmer family in Cot Rambong village, Kuala Sub-District, Nagan Raya District.

Keywords: agriculture family, patriarkhi, gender

PENDAHULUAN

Penelitian ini diawali oleh survei peneliti pada keluarga petani ladang yang bertempat tinggal di Desa Cot Rambong yang kebetulan menjadi lokasi kerja peneliti pada sebuah NGO Asing. Di Desa Cot Rambong ini, peneliti melihat adanya pembagian gender yang seimbang dalam sektor domestik-publik yang dilakukan oleh keluarga petani ladang, sehingga peneliti tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah penelitian.

Hasil Survei awal difokuskan pada masyarakat petani ladang di Desa Cot Rambong, kemudian dilihat kembali keberadaannya dengan isu-isu gender di wilayah Aceh secara umum. Apabila ditelusuri, dapat diketahui bahwa isu-isu gender dalam masyarakat Aceh masih sangat kental dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkhi yang diadopsi dari nilai-nilai ajaran agama Islam, yang kemudian mempengaruhi adat-istiadat atau budaya. Masyarakat Aceh secara keseluruhan

menganut agama Islam yang dikenal taat beragama, bahkan fanatik. Hal itu terbentuk sejak berabad-abad, sehingga semua itu tercermin dalam berbagai aspek kehidupan; baik dalam perilaku, sistem sosial, sistem ekonomi, kesenian tradisional dan lain-lain.

Masyarakat patriarkhi adalah masyarakat yang mempunyai rujukan sistem yang berdasarkan pada kesepakatan laki-laki, dimana dalam masyarakat tersebut kondisi perempuan sangat termarginalisasikan dan dipinggirkan melalui kerja-kerja domestik. Peminggiran perempuan dalam masyarakat patriarkhi dilihat dari sisi pola pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan terwujud dengan sangat jelas, dimana laki-laki lebih banyak mendominasi sektor publik, sedangkan perempuan pada sektor domestik.

(2)

Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan sangat sedikit mendapatkan penghargaan. Hal ini diakibatkan oleh kontruksi sosial berdasarkan tubuh perempuan dan laki-laki.

Pembagian yang tidak seimbang ini banyak dirasakan oleh kaum perempuan hingga melahirkan beban kerja. Dengan demikian, kondisi kaum perempuan banyak diintimidasi oleh sistem patriarkhi, sedangkan kaum laki-laki lebih banyak menguasai kerja-kerja disektor publik. Kesepakatan yang dibuat laki-laki akan melahirkan budaya patriarkhi. Budaya patriarkhi ini akan tetap hidup dan terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat yang bias gender. Dengan kondisi seperti ini, maka akan muncul suatu aturan yang menegaskan bahwa perempuan diposisikan sebagai bidan atau perawat dalam konsep pemikiran laki-laki, sehingga perempuan sering disebut dengan makluk hidup yang menempati kelas dua. Dengan kondisi seperti ini, posisi dan status perempuan semakin terpojokkan dan termarginalisasikan dari kehidupan yang seharusnya dibangun bersama.

Selain posisi yang terpinggirkan, posisi

kelas dua yang diberikan oleh budaya patriarkhi

kepada kaum perempuan juga sangat mempengaruhi kinerja dan keberadaan kaum perempuan sebagai manusia yang berinteraksi dalam masyarakat patriarkhi. Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan menjadi tidak memadai atau berkualitas. Munculnya anggapan bahwa pekerjaan perempuan tidak berkualitas disebabkan oleh nilai-nilai dalam masyarakat patriarkhi yang menganggap kaum perempuan tidak bisa bekerja. Kaum perempuan hanya bisa menerima dan menikmati hasil dari pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Hal ini dikarenakan Seperti yang terjadi oleh budaya patriarkhi yang memposisikan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan pencari nafkah bagi perempuan. Dengan demikian, posisi perempuan hanya dianggap sebagai pembantu atau perawat yang melakukan pekerjaan sebatas melayani kepentingan laki-laki.

Munculnya anggapan yang menyudutkan pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) bentuk fisik laki-laki dan fisik perempuan, dimana fisik perempuan dikatakan tidak sekuat tubuh laki-laki yang dimitoskan tidak kuat dalam bekerja; (2) perempuan adalah makhluk yang berperasaan halus, lemah-lembut, suka

merapikan, dan melakukan pekerjaan yang sifatnya menata.

Faktor-faktor tersebut mengakar dengan sangat kuat, sehingga perempuan selalu diberikan pekerjaan yang ringan atau yang bersifat pekerjaan melayani dan merawat. Meskipun demikian, pekerjaan melayani dan merawat telah mengekang keberadaan kaum perempuan dalam kurungan domestisasi, sedangkan kaum laki-laki bebas lepas menguasai, merancang, mengisi dunia publik yang lebar dengan beragam warna.

Selain itu, pekerjaan melayani dan merawat dalam sektor domestik memunculkan gambaran bahwa pekerjaan yang cocok dilakukan oleh perempuan adalah kasur, sumur, dapur. Dengan adanya gambaran tersebut, akan lahir pembagian kerja yang tidak seimbang dalam konsep kesetaraan gender yang hanya akan menjadi impian masyarakat sensitif gender. Pembagian kerja yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam sektor domestik dan publik akan melahirkan beban kerja ganda bagi kaum perempuan. Akan tetapi, beban tersebut dianggap sebagai peran pembantu dalam pekerjaan laki-laki, bukan sebagai perempuan yang mampu bekerja terlepas dari segala mitos tubuh dan isu gender yang bias.

Pembagian kerja dalam masyarakat patriarkhi biasanya akan lahir berdasarkan budaya dan kebenaran patriarkhi yang dipegang teguh oleh kaum laki-laki. Berangkat dari latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana kesetaraan gender dalam pembagian kerja pada keluarga petani ladang di Desa Cot Rambong?”

PEMBAHASAN

Pembagian kerja gender adalah pola pembagian kerja antara pasangan suami-istri yang disepakati bersama, serta didasari oleh sikap saling memahami dan saling mengerti. Pembagian kerja tersebut diciptakan oleh pasangan dalam keluarga pada sektor publik dan sektor domestik. Pembagian kerja tersebut tidak dilakukan berdasarkan konsep tubuh laki-laki dan tubuh perempuan, melainkan atas kerjasama yang harmonis dalam membangun keluarga.

(3)

kewajibannya dalam keluarga, dan bahkan dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, pola sosialisasi yang diterapkan dalam keluarga akan membentuk kepribadian seseorang.

Berkaitan dengan hal itu, Mead dalam Hadar (1989: 32) mengatakan bahwa sesungguhnya pria dan wanita adalah makhluk yang belajar berperilaku, mereka sebagai orang dewasa tergantung dari pengalaman-pengalaman di masa kanak-kanak. Pengalaman yang didapatkan dari proses belajar di masa kecil akan terus mengiringi pola tingkah laku seseorang dalam berinteraksi dengan keluarga dan orang lain.

Pernyataan Mead di atas berlaku pada masyarakat Aceh di Desa Cot Rambong. Masyarakat di desa tersebut mempunyai kebiasaan berinteraksi dalam mengerjakan tugas sehari-hari. Setiap anggota keluarga mempunyai peranan yang disesuaikan dengan pola pembagian kerja yang seimbang serta saling membantu agar dapat mengerjakan pekerjaan yang lain selain bertani. Pola sosialisasi dilakukan oleh generasi yang lebih tua dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki kepada generasi selanjutnya. Nilai-nilai tersebut ditanamkan sesuai dengan tingkat dan pola pemahamannya mengenai pembagian kerja dalam mengerjakan aktivitas sehari-hari.

Pembagian kerja secara seksual oleh laki-laki dan perempuan telah menjadi kesepakatan masyarakat awam atas tubuh perempuan dan tubuh laki-laki, sehingga akan muncul nilai-nilai dan norma yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan, baik dalam keluarga dan lembaga masyarakat. Pada umumnya anak laki-laki berorientasi pada jenis pekerjaan yang biasa dilakukan setiap hari sedangkan anak perempuan lebih banyak berorientasi kepada ibunya (Waluyo, 1990: 105).

Pada masyarakat Aceh, anak laki-laki sejak kecil sudah bebas berada di dapur bersama-sama dengan ibu dan saudara perempuannya. Akan tetapi, anak laki-laki yang terlalu sering berada di rumah akan diejek oleh teman-temannya. Untuk menghindari ejekan tersebut, biasanya anak laki-laki akan mencari teman sebaya di luar rumah. Hal ini telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Aceh, bahwa anak laki-laki yang sudah dewasa tidak tidur di rumah. Biasanya para remaja tersebut tidur di meunasah

(surau) bersama-sama dengan kawan-kawannya pada malam hari.

Sebaliknya, anak perempuan lebih banyak terlibat dalam tugas-tugas di lingkungan rumah tangga. Sejak masa kanak-kanak, anak perempuan telah diperkenalkan dengan pekerjaan serta kegiatan lain yang bersifat feminin. Pekerjaan tersebut membutuhkan ketelitian dan ketekunan, seperti menjahit, menganyam, mempersiapkan makanan, ataupun mengasuh anak. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan ketangkasan dan keberanian, seperti berlari, memanjat pohon, ataupun berkelahi tidak diperbolehkan untuk anak perempuan. Kegiatan-kegiatan seperti ini dianggap hanya pantas dilakukan oleh anak laki-laki. Apabila anak perempuan terlihat berada di luar lingkungan rumah, maka orangtua ataupun

saudara akan menegurnya dengan kalimat lagee

agam, cot that aneuknyan, yang berarti “kamu

seperti anak laki-laki”. Dengan teguran tersebut, kesempatan bagi anak perempuan untuk berada di luar rumah akan terbatasi. Apabila ada kegiatan yang berlangsung di luar rumah seperti belajar mengaji, melihat keramaian, atau upacara-upacara tertentu, maka biasanya mereka akan keluar secara bersama-sama dengan wanita lain, tetangga atau teman dan terkadang ditemani saudara-saudaranya. Kesempatan berada di luar lingkungan rumah hanya didapatkan ketika sedang mengikuti kegiatan sekolah.

DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada delapan keluarga petani ladang di Desa Cot Rambong, Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tiga faktor penyebab terjadinya peran kerja yang seimbang dalam pola pembagian kerja yang diterapkan oleh keluarga petani ladang tersebut. Menurut keluarga petani tersebut, mereka melakukan peran gender berdasarkan nilai-nilai agama Islam, serta budaya masyarakat petani Aceh yang dipengaruhi oleh nilai-nilai egaliter pada masyarakat Jawa di Desa Cot Rambong. Masyarakat Aceh secara keseluruhan adalah penganut agama Islam yang dikenal taat beragama. hal itu terbentuk sejak berabad-abad lalu, sehingga semua itu tercermin dalam dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam perilaku, sistem sosial, sistem ekonomi, kesenian tradisional dan lain-lain.

(4)

terkenal dengan kata pepatah hukom ngon adat

lagee zat ngon sifeut, yang berarti bahwa ”hukum

Islam dan adat seperti dengan sifatnya tak dapat dipisahkan”. Pendapat ini didukung oleh seorang tokoh masyarakat Aceh, A. Hasyimi yang menjelaskan bahwa:

”Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging, dimana hal itu berlaku dalam segala aspek kehidupan seperti, politik, ekonomi, keuangan, sosial-budaya, dan tata susila. Segala macam ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam”.

Pada masyarakat Aceh, isu-isu gender masih memberikan stereotip yang menempatkan kaum laki-laki berada di atas kaum perempuan. Dimana kaum laki-laki masih diposisikan sebagai pencari nafkah, pemimpin dalam keluarga, dan selalu diutamakan dibanding kaum perempuan. Kaum perempuan secara umum masih berada di bawah dominasi laki-laki, kaum perempuan masih diposisikan pada sektor domestik sebagai istri yang wajib melayani kepentingan suami, dan sebagai ibu yang wajib merawat anak. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa isu-isu tersebut tidak melahirkan kesetaraan gender pada masyarakat Aceh. Hal ini dikarenakan oleh isu-isu gender dalam masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh agama dan budaya (adat). Jika ada laki-laki melibatkan diri dalam sektor rumah tangga, maka masyarakat akan mengatakan

donya ka meubalek, bumoe ka diiek ue langet,

langet ka ditroun ue bumoe yang berarti ”dunia

ini sudah terbalik tempatnya, yang seharusnya bumi berada di bawah langit, akan tetapi bumi sudah naik ke langit dan langit sudah turun ke bumi”.

Pepatah lain juga mengatakan lakoe

adalah raja, wajeb ta ikot perintah, menyoehan

tanyoe meudesya, yang berarti ”suami adalah

raja, istri wajib mengikuti apapun perintah suami, kalau tidak kita berdosa”. Masyarakat Aceh yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama membatasi kaum laki-laki untuk ikut terlibat dalam urusan rumahtangga, karena menggangap bahwa sektor domestik menjadi tanggung jawab istri (perempuan).

Sedangkan pada formasi sosial pedagang dan petani ladang, budaya gender melahirkan nilai-nilai egaliter bagi laki-laki dan perempuan, dimana dalam kedua sektor tersebut terjadi pembagian peran yang sama. Laki-laki tetap

bertanggung jawab sebagai pencari nafkah dan istri tetap bertanggung jawab dalam melakukan tugas-tugas rumahtangga. Akan tetapi, di dalam pola pembagian kerja seperti ini, suami (laki-laki) tetap melibatkan diri dalam urusan rumahtangga dan pihak istri (perempuan) tetap mempunyai hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah, seperti mengikuti program PKK atau kegiatan lainnya tanpa harus meminta izin dari suami.

Pengaturan keuangan keluarga dikendalikan oleh istri, hal ini dikarenakan oleh kesepakatan bersama, di sisi lain suami lebih mempercayai istri dalam hal pengelolaan anggaran rumahtangga. Dalam aktivitas berladang, peran laki-laki dan perempuan sama-sama ikut terlibat, mulai dari pembersihan lahan tanam, pemagaran, membabat rumput, membuat bedengan tanaman, hingga di saat panen. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa peran gender dalam pembagian kerja keluarga petani dan pedagang memiliki pola yang jelas, tanpa merugikan salah satu pihak. Pola pembagian kerja dalam formasi sosial petani ladang dan pedagang pada masyarakat Aceh tidak melahirkan ketidakadilan gender serta tidak menciptakan nilai-nilai pembakuan peran gender seperti masyarakat pada umumnya.

Nilai-nilai dalam keluarga petani ladang mengajarkan anak laki-laki untuk selalu membantu ibunya jika sedang menyiapkan makanan. Nilai-nilai kesetaraan tersebut telah disosialisasikan dan diterapkan dalam kebiasaan masyarakat petani ladang sejak kecil. Seperti halnya, ketika ibunya sedang menyayur, dan tiba-tiba cabai atau garam kurang, maka ibu tersebut akan menyuruh anaknya untuk membelikan.

Berdasarkan gambaran umum yang terjadi di atas, masyarakat Aceh masih secara umum memiliki nilai-nilai patriarkhi yang sangat kental dan melahirkan ketidakadilan gender bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam keluarga pedagang dan petani ladang, nilai-nilai egaliter dianut dalam keluarga sehingga terjadi pola pembagian kerja yang seimbang. Dalam pembagian kerja tersebut, dapat dilihat munculnya nilai-nilai baru dalam membangun pola kerjasama antar anggota keluarga.

(5)

1. Nilai-nilai agama Islam yang egaliter terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga.

2. Faktor budaya masyarakat petani ladang

dalam mendukung terjadinya keseimbangan pembagian kerja dalam keluarga petani ladang tersebut.

3. Nilai-nilai gender yang dilakukan oleh

masyarakat suku Jawa yang menetap di Desa Cot Rambong.

Faktor-faktor tersebut menumbuhkan kesadaran gender pada keluarga petani ladang untuk menerapkan praktik pembagian kerja yang seimbang, baik di dalam maupun di luar rumah. Pembagian kerja tersebut juga melahirkan nilai-nilai dan sikap yang menghargai dan memposisikan istri (perempuan) tanpa menimbulkan ketimpangan gender pada keluarga petani ladang tersebut. Hal ini dapat ditandai dengan beberapa hal, seperti tidak adanya marginalisasi, serta tidak adanya subordinasi perempuan dan budaya patriarkhi dalam hubungan keluarga.

Selanjutnya, pola pembagian kerja yang terjadi dalam keluarga petani ladang justru memposisikan laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah keluarga dan memposisikan istri sebagai mitra kerjasama, termasuk dalam pengambilan keputusan keluarga. Posisi perempuan (istri) tetap sebagai penanggung jawab tugas-tugas rumahtangga secara khusus, akan tetapi dalam pekerjaan yang bersifat umum, suami akan melibatkan diri untuk melakukannya atau dan tidak jarang suami terlibat dalam pekerjaan rumahtangga, seperti membersihkan pekarangan rumah, membakar sampah, atau menimba air.

Peran gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan akan menciptakan suasana yang tidak harmonis dan tidak adil bagi keduanya. Peran gender harus ini dilakukan dalam landasan ”kemanusiaan”, sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dan kelemahan secara kodrati. Peran gender yang harus dimainkan oleh individu dan masyarakat adalah peran yang saling memahami, saling membantu, dan saling menghargai setiap perbedaan yang terdapat pada diri manusia maupun dalam masyarakat, tanpa mempertimbangkan perbedaan bentuk tubuh yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Peran gender yang dilakukan oleh masyarakat dari dulu hingga sekarang ini selalu

merujuk pada konsep ”patriarkhi”, sehingga memunculkan peran gender yang tidak seimbang. Peran yang tidak seimbang tersebut memunculkan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum perempuan.

Banyak kaum perempuan yang menjadi korban ketidakadilan gender yang berjalan dalam masyarakat. Akibat perlakuan tersebut, muncul konflik berupa tuntutan keadilan bagi kaum perempuan yang dikenal dengan konsep ”emansipasi”. Emansipasi merupakan suatu konsep dimana kaum perempuan menuntut haknya disesuaikan dengan keberadaan laki-laki yang terlalu berkuasa dalam segala aspek kehidupan.

Penempatan kaum perempuan yang tidak seimbang akan menciptakan ketidakharmonisan dalam membina kehidupan rumahtangga dan masyarakat. Selain itu, peran gender yang tercipta juga akan membuat kondisi yang keruh, karena tidak adanya penghargaan, pengertian, dan pemahaman yang selalu merujuk pada aturan yang disepakati oleh kaum laki-laki. Masyarakat patriarkhi senantiasa mengaitkan konsep tubuh yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, dimana perbedaan tersebut telah melahirkan sebuah pemikiran masyarakat yang membuat aturan main gender berdasarkan konsep tubuh, bukan melihat pada penempatan individu berdasarkan ”kemanusiaan”. Konsep tubuh ini selalu dipergunakan oleh masyarakat sehingga

menciptakan stereotipe yang berbeda bagi

laki-laki dan perempuan.

Stereotipe gender yang didasarkan konsep tubuh tersebut sangat mempengaruhi peranan gender yang dilakukan oleh masyarakat. Peranan gender yang dilakukan bertahun-tahun diserap dan menjadi baku dalam pola pikir masyarakat, sehingga menimbulkan peranan gender yang tidak seimbang. Peranan gender yang tidak seimbang ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan daripada kaum laki-laki yang tidak memiliki banyak tuntutan dan aturan. Hal ini mengakibatkan kaum lelaki cenderung dapat membela diri dengan mengatakan bahwa sektor

domestik adalah kodrat perempuan. Kalimat

(6)

menjadi institusi yang meneruskan peran gender yang tidak seimbang kepada generasi selanjutnya.

Peran gender yang tidak seimbang ini tidak akan terjadi pada keluarga yang mempunyai pola pikir positif dan sikap saling bekerjasama tanpa melihat perbedaan bentuk tubuh laki-laki dan perempuan. Selain itu, pola pikir praktis dan sederhana bagi keluarga yang tidak mengecap pendidikan tinggi akan menciptakan keharmonisan peranan gender, seperti yang terdapat pada lokasi penelitian.

Budaya gender yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya selalu merujuk pada konsep ”patriarkhi” yang telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat dalam sisi penerapannya. Akan tetapi, jika budaya gender ini juga disisipkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat, akan mewujudkan kinerja atau peranan gender yang seimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak akan muncul pembedaan pria dan wanita secara sosial yang disebut peran gender.

Peran gender yang dibedakan oleh masyarakat tersebut mempunyai sifat yang dinamis, atau dapat dikatakan dapat berubah dalam strata ataupun kondisi sosial yang berbeda-beda dalam masyarakat. Dalam konteks ini, peran gender yang maksud adalah peran gender yang erat kaitannya dengan pembagian kerja. Selain itu, penelitian ini juga mencari bentuk-bentuk pembagian kerja yang seimbang pada keluarga petani ladang. Karena secara alami, laki-laki dan perempuan dilihat sebagai sumber daya manusia yang harus mendapatkan perlakukan yang sama.

Berpatokan pada pembagian kerja gender yang seimbang yang terjadi dalam keluarga petani ladang, ditemukan adanya kekaburan

(diffusiness) nilai dalam konsep pembagian kerja

yang jelas di antara keduanya. Kekaburan pembagian kerja pada keluarga petani ladang ini terjadi karena dimasukinya sektor domestik oleh kaum laki-laki. Demikian pula sebaliknya, sektor publik yang dipantaskan bagi laki-laki juga dimasuki oleh perempuan (istri), sehingga dalam pembagian kerja tersebut, laki-laki dan perempuan dapat memasukinya dan melakukan berbagai aktifitas, baik dalam sektor domestik dan publik.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pembakuan peran gender pada suami-istri petani ladang dalam pola pembagian kerja, dimana keduanya dapat melakukan peran yang sama, seperti halnya laki-laki bisa melakukan pekerjaan domestik dan perempuan bisa melakukan pekerjaan publik.

Pengaburan nilai pembagian kerja ini terbentuk berdasarkan nilai-nilai sikap yang harmonis, musyawarah, dan saling menghargai sesama manusia. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya lahir karena didukung oleh nilai-nilai agama Islam yang dipraktikkan dalam bentuk perbuatan oleh masyarakat petani Aceh. Kemudian, nilai-nilai tersebut berasimilasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa egaliter yang menetap di Desa Cot Rambong. Dengan demikian, ketiga nilai tersebut diadopsi dan dijabarkan dalam perbuatan sehari-hari oleh keluarga petani ladang tersebut.

Analisa proses lahirnya kesetaraan gender dalam pola pembagian kerja pada keluarga petani ladang di Desa Cot Rambong adalah seperti dalam sruktur sebagai berikut:

Nilai-nilai gender egaliter suku Jawa Nilai-nilai agama

Islam

Budaya masyarakat petani Aceh

Keluarga petani ladang

Saling bekerjasama, menghargai perbedaan

jenis kelamin & pemberian hak untuk

maju Kesadaran Gender

Sederhana

Persamaan gender, musyawarah & melakukan

nilai-nilai egaiter dalam keluarga Pemahaman,

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, A. 1985. Pembagian Kerja Seksual.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Fakih, Mansoer. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kusumo, W. Sardono. 2005. Aceh Kembali Kemasa Depan. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung: Mizan.

Rahmawati, Ika. 2003. Modul Analisis Gender. Jakarta: The Asia Foundation.

Sadawi, Nawal, L. 2001 Perempuan Dalam Budaya Patriarkhi. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Sufi, Rusdi, dkk. 2004. Budaya Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah

Referensi

Dokumen terkait