DERMATITIS KONTAK OLEH KARENA RUBBER
Penyaji:
dr.Ramona Dumasari Lubis,SpKK
NIP.132 308 599
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENDAHULUAN
Rubber adalah bahan organik yang diperoleh dari karet alami (natural rubber = NR) dan karet sintetis (synthetic rubber). NR berasal dari derivat
isoprene monomers yang dapat ditemukan pada tanaman berjumlah lebih dari 200 spesies. Sumber utama NR adalah lateks yang berasal dari Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae family) dan Parthenium argentatum (guayule rubber) dan bersifat komersial. Pada saat ini, pohon Hevea lebih banyak digunakan sebagai persediaan NR dunia lebih dari 99%. 1 Lateks berupa cairan seperti susu berasal dari sel lactiferous pohon Hevea brasiliensis
(Euphorbiaceae family) dan komponen utamanya merupakan senyawa hidrokarbon dengan rantai cis-1,4 polyisoprene (35%), juga mengandung air (60%), protein (1%-2%), karbohidrat (1%-2%), lemak (1%-1,5%) dan bahan
inorganik (0,4%-0,6%). 2,3,4
Pada saat ini, karet lateks alami (natural rubber-latex = NRL) banyak
digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan produk peralatan medis
atau produk rumah tangga yang digunakan konsumen. Hal ini disebabkan
NRL merupakan bahan yang bersifat kuat, fleksibel, elastis dan dapat
digunakan sebagai barier. 5
NRL sebagian besar dikoagulasi (88%) menggunakan asam dengan
pH 4,5 dan dibuat menjadi lembaran-lembaran kering atau crumb rubber. Sebaliknya NRL yang tidak dikoagulasi (12%) hanya diberikan ammonia
0,7% (high-ammoniated NRL) atau kombinasi 0,2% ammonia dengan thiuram (low-ammoniated NRL) dan selanjutnya dengan metode dipping dibuat produk seperti sarung tangan karet, balon dan kondom. 3
Selama proses pengolahan dan pembuatan produk NRL ditambahkan
beberapa bahan kimia. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan alergi
terhadap NRL yaitu akselerator dan antioksidan. 1 Bahan-bahan tambahan (additive) ini bersifat sebagai sensitizers. 2
Pada proses pembuatan sarung tangan karet ditambahkan powder
akan berikatan dengan powder. Powder tersebut bertindak sebagai protein carrier NRL dan merupakan suatu airbone allergens (Tarlo dkk, 1994). 6 Dengan demikian, proses sensitisasi terhadap lateks dapat terjadi melalui
kontak dengan kulit atau mukosa, kontak peritoneal selama pembedahan dan
inhalasi airbone allergens. 7
Insiden alergi terhadap NRL terus meningkat, dengan angka tertinggi
dijumpai pada tenaga kesehatan. Hal ini terjadi sejak The Centre of Disease
Controle (CDC) pada tahun 1987 merekomendasikan penggunaan sarung
tangan karet untuk mencegah penularan HIV dan virus hepatitis (universal
precautions). 7
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi sensitisasi terhadap NRL pada populasi umum diperkirakan
kurang dari 1% (Liss dan Sussman, 1999 ; National Institute for Occupational
Safety and Health, 1997). 6 Prevalensi kelompok resiko tinggi untuk tersensitisasi dan berkembangnya gejala klinis alergi terhadap NRL yaitu :
1. Pekerja yang sering terpapar dengan produk NRL
Terpapar dengan produk NRL sering dijumpai pada pekerja kesehatan
sebanyak 6%-17% (Kibby dan Akl, 1997)dan pembersih kaca, penata
rambut, paberik pembuat sarung tangan, petugas kebersihan
sebanyak 5%-11%. 6,8
2. Anak-anak penderita spina bifida
Hal ini disebabkan seringnya terpapar dengan produk NRL melalui
tindakan operasi, pemberian pengobatan maupun prosedur diagnostik
dijumpai sebanyak 28%-67% (Slater,1992 ; Sussman dkk, 1991). 6
3. Atopi
Individu yang mempunyai riwayat atopi dilaporkan mengalami alergi
terhadap NRL sebanyak 77% (Taylor dan Praditsuwan, 1996). 9
Keadaan atopi berpengaruh terhadap fungsi barier kulit dan
4. Hand eczema
Pada pasien dewasa yang mengalami alergi terhadap NRL, dijumpai
prevalensi hand eczema yang tinggi sebanyak 82%. 8 Kondisi
eczematous dapat menyebabkan meningkatnya paparan terhadap protein NRL yang terdapat pada sarung tangan karet. 5
ALERGEN NATURAL RUBBER LATEX
1. Antigen kimia
Bahan-bahan kimia yang terutama (major sensitizer) ditambahkan dalam proses pembuatan rubber yaitu akselerator dan antioksidan yang
mencapai lebih dari 90%. 1
Akselerator yang ditambahkan pada NRL terdiri dari Thiuram-mix,
Carba-mix dan Mercapto-mix. Akselerator merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mempercepat proses vulkanisasi yang bekerja sebagai
katalisator. 1,4
Thiuram-mix
Merupakan bahan kimia yang sangat alergenik (sensitizer yang paling kuat) dan paling banyak digunakan dalam industri rubber terutama dalam
pembuatan sarung tangan NRL. Terdiri dari Tetramethylthiuram monosulfide
(TMTM), Tetramethylthiuram disulfide (TMTD), Tetraethylthiuram disulfide
(TETD),Dipentamethylenethiuram disulfide (PTD). 1,4
Carba- mix
Merupakan sensitizer yang kuat dalam pembuatan sarung tangan NRL tetapi Carba-mix paling banyak digunakan pada pembuatan pestisida dan fungisida. Terdiri dari : Zinc diethyl dithiocarbamate (ZDEC), Zinc dimethyl
dibutyldithiocarbamate (ZDMC), Zinc dibuthyl dithiocarbamate (ZDBC). 1,4
Mercapto- mix
Merupakan sensitizer yang paling lemah dibandingkan Thiuram-mix
Morpholinyl-mercaptobenzothiazole (MMBT), N-cyclohexyl-2-benzothiazyl sulfenamide
(CBS), Dibenzothiazyl disulfide (MBTS). 1,4
Penambahan antioksidan pada industri rubber berguna untuk
menstabilkan polymer, mencegah rubber menjadi rapuh dan retak dengan
cara menghambat proses oksidasi oksigen di atmosfir. Terdiri dari : N-isopropyl-n-phenyl-4-phenylenediamine (DBDNP), N-phenyl-n-cyclohexyl-p-phenylenediamine (CPPD), N-phenyl-n-isopropyl-p-phenylenediamine
(IPPD), N,N-diphenyl-4- phenylenediamine (DPPD). 1,4
2. Antigen protein
Untuk menganalisa alergen protein yang terdapat pada NRL
menggunakan 2-D elektroforesis. Pada NRL ditemukan lebih dari 250 jenis
protein / polipeptida dan hanya ± 30 jenis yang dapat berikatan dengan
antibodi IgE serum penderita alergi NRL (Kurup dkk, 1994). 6
Allergenic Protein Of Natural Rubber Latex
Allergen Common name Molecular weight
Hev b 1 Rubber elongation factor (REF) 14.6 , 58
Hev b 2 -1-3-Gluconase 34-36
Hev b 3 Prenyltransferase 24-27
Hev b 4 Microhalix 100,110,115
Hev b 5 Acidic protein 16-24
Hev b 6
6.01 Prohevein 20
6.02 Hevein 14
6.03 Pro-hevein C domain 5
Hev b 7 Patatin homolog 43-46
Hev b 8 Profilin 15-16
Hev b 9 Enolase 47,6
Hev b 10 Manganese superoxide dismutase 22,9
Hev b 11w Class 1 chitanase 30
Alergen protein NRL yang umumnya dijumpai pada pekerja kesehatan
yaitu Hev b 5 : 62%, Hev b 6 : 65% dan Hev b 7 : 41% (Yip dkk, 2000)
sedangkan pada anak-anak penderita spina bifida yaitu Hev b 1, Hev b 3. 6
PATOFISIOLOGI
Pemaparan terhadap lateks dapat menimbulkan 3 sindroma klinis yaitu :
1. Dermatitis kontak iritan
Kerusakan kulit terjadi akibat efek langsung dari bahan-bahan kimia
yang terdapat pada lateks ataupun komponen lain pada sarung tangan dan
tidak diperantarai oleh proses immunologi (immune system). 11
2. Dermatitis kontak alergik
Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed-type
hypersensitivity) klasifikasi Gell dan Coombs melalui mekanisme T cell mediated. Terjadinya sensitisasi biasanya disebabkan alergen atau bahan-bahan kimia yang ditambahkan pada pembuatan produk NRL terutama
akselerator (Thiuram mix, Carba mix, Mercapto mix) dan antioksidan. Sel Langerhans memproses antigen tersebut dan mempresentasikannya pada
sel T. Pada orang yang telah tersensitisasi, apabila kulit atau membran
mukosa terpapar dengan alergen yang sama, gejala klinis dapat timbul dalam
waktu 48-72 jam. Reaksi hipersensitivitas tipe IV lebih sering dijumpai pada
penderita atopi. 7,11
3. Reaksi hipersensitivitas tipe I
Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (immediate-type
hypersensitivity) klasifikasi Gell dan Coombs. Reaksi ini diperantarai oleh
antibodi IgE spesifik, merupakan reaksi terhadap protein NRL yang bersifat
sangat alergenik. Apabila terjadi pemaparan ulang alergen, IgE akan
berikatan dengan protein NRL dan menyebabkan terjadinya pelepasan
histamin dan mediator-mediator lainnya. Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat
PATOGENESIS
Dermatitis kontak iritan
Terjadinya kerusakan kulit tanpa diawali sensitisasi, disebabkan
penetrasi langsung bahan kimia yang bersifat iritan atau toksin ke dalam kulit
yang menimbulkan kerusakan keratinosit dalam beberapa menit-jam.
Kerusakan keratinosit akan menginduksi aktivasi phospholipase yang akan membebaskan arachidonic acid (AA), diacylglyceride (DAG), inositides (IP3),
platelet activating factor (PAF). AA akan berkonversi menjadi prostaglandin
(PGs) dan leukotrien (LTs). Hal ini menyebabkan aktivasi dari berbagai sistem second messenger untuk menstimulasi ekspresi gen, mensintesa berbagai molekul sel permukaan dan sitokin. Toksin yang berkontak dengan
sel kulit dapat memicu sekresi interleukin-1 (IL-1) kemudian mengaktivasi sel T secara langsung dan tidak langsung untuk merangsang produksi
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF).
Keratinosit juga mempunyai molekul pada permukaannya yaitu human leukocyte antigenDR (HLA-DR) dan intracellular adhesion molecule 1 (ICAM-1). PGs dan LTs menginduksi dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari
faktor sirkulasi pada sistem komplemen dan kinin. PGs dan LTs juga
bertindak sebagai kemoattraktan (menarik) netrofil dan limfosit dan
mengaktifasi sel mast untuk membebaskan histamin dan LTs, PGs. PAF
akan mengaktivasi platelet dan terjadi perubahan vaskuler. 12
Dermatitis kontak alergik (DKA)
Reaksi alergi terhadap bahan kontak terdiri dari dua fase yaitu :
1. Fase sensitisasi
Fase ini disebut fase induksi atau aferen. Pada fase ini terjadi
sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka terhadap bahan atau
dengan berat molekul kecil (BM < 500 Da), reaktif dan dapat larut dalam
lemak.
Alergen atau hapten yang menempel pada kulit menembus stratum corneum kemudian hapten berikatan dengan protein carrier sehingga terbentuk kompleks hapten-protein dan ditangkap oleh sel Langerhans.
Antigen akan hancur dan diproses, selanjutnya berikatan dengan human leukocyte antigen DR (HLA-DR) membentuk HLA-DR compleks dan diekspresikan ke permukaan sel Langerhans (sel Langerhans berfungsi
sebagai antigen presenting cells = APC). Sel Langerhans meninggalkan epidermis menuju limfonodus regional melalui duktus limfatikus. Pada
limfonodus regional, sel Langerhans menyajikan HLA-DR compleks kepada sel T spesifik yaitu sel T helper yang terdiri dari CD4+ (cluster of differentiation 4+), berfungsi mengenal HLA-DR compleks dan CD3+ berfungsi mengenal antigen yang lebih spesifik. Pada saat ini telah terjadi proses
pengenalan antigen (antigen recognation). Sel Langerhans distimulasi untuk membebaskan interleukin-1 (IL-1). Interaksi antara antigen dengan IL-1 mengaktivasi sel T untuk membebaskan IL-2 dan menyajikan reseptor IL-2
pada permukaan sel T, selanjutnya IL-2 menstimulasi proliferasi sel T
sehingga terbentuk primed memory T cell yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh dan ada yang kembali ke kulit.
Proses sensitisasi pada manusia berlangsung selama 5-21 hari dan
belum dijumpainya ruam pada kulit tetapi individu tersebut telah
tersensitisasi. 4,12
2. Fase elisitasi
Pada fase ke dua, terjadi reexposure dengan antigen yang sama. Sekali lagi hapten akan berdifusi ke dalam sel Langerhans kemudian
ditangkap dan diproses, selanjutnya antigen akan diikat oleh HLA-DR dan
membentuk HLA-DR compleks dan diekspresikan pada permukaan sel
berada di kulit atau node (ke duanya). Hal ini menginduksi sel Langerhans
mensekresiIL-1, IL-1 akan merangsang sel T untuk memproduksi IL-2. Hal ini
menyebabkan sel T berproliferasi dan teraktifasi mengeluarkan IL-3, IL-4,
INF-γ dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF). INF-γ yang dihasilkan oleh sel T akan mengaktifkan keratinosit untuk
mengekspresikan intracellular adhesion molecule 1 (ICAM-1) dan human leukocyte antigen DR (HLA-DR). Dengan adanya molekul ICAM-1, memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel T dan leukosit
sedangkan adanya HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi
langsung dengan sel T yaitu CD4+ dan sel T sitotoksik (CD8). Aktivasi keratinosit juga menyebabkan produksi sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6
dan GMCSF. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk menghasilkan
eicosanoid. Begitu pula IL-1 akan mengaktifasi fosfolipase untuk melepaskan
arachidonic acid untuk menghasilkan prostaglandin dan leukotrien.
Kombinasi antara sitokin dan eucosanoid yang dibentuknya akan
menyebabkan aktivasi sel mast dan makrofag sehingga akan terbentuk
histamin yang menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Dengan adanya tahapan-tahapan tersebut akhirnya timbul
gejala klinis DKA yang merupakan respon terhadap inflamasi. Proses elisitasi
terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah pemaparan. 12
Reaksi hipersensitivitas tipe I (Immediate-type hypersensitivity)
Proses immunologi terdiri dari 2 fase yaitu :
Fase Afektor
Fase ini dimulai pada saat alergen berinteraksi dengan antigen presenting cell (APC) di kulit, kelenjar limfatik, lien maupun tymus. Sel B dan makrofag juga mempunyai kemampuan sebagai APC. Alergen tadi akan
berikatan dengan APC melibatkan molekul major histocompability complex
perkembangan dan aktivasi sel CD4+ menjadi sel T helper 2 (sel Th-2). Sel
Th-2 ini memproduksi sitokin-sitokin antara lain 4, 5, 6, 10 dan
IL-13 dan interleukin inilah yang akan merangsang sel B untuk berubah menjadi
sel plasma dan akan membentuk IgE spesifik. IgE spesifik ini akan berikatan
pada permukaan sel mast dan sel basofil. Fase sensitisasi ini hanya terjadi di
dalam tubuh dan tidak dapat kita lihat oleh karena kulit masih dalam keadaan
normal. 4,13
Fase Efektor
Fase ini terjadi bila ada kontak ulang antara alergen dengan IgE
spesifik yang berada pada permukaan sel mast dan sel basofil. Hal ini akan
mengakibatkan ikatan silang antara antigen paparan ulang dengan molekul
IgE yang ada pada permukaan sel mast atau basofil, dan terjadi aktivasi sel
bersangkutan sehingga terjadi degradasi atau pelepasan berbagai mediator
yang tersimpan di dalam sitoplasma sel tersebut seperti histamin, serotonin
dan bradikinin. Keadaan ini semua dapat menimbulkan reaksi alergi akut.
Tetapi reaksi tipe I dapat juga terjadi dalam fase lambat yang muncul dalam
waktu 6-8 jam kemudian, apabila sel mast dan basofil mengeluarkan
mediator lain yang dihasilkan dari metabolisme arachidonic acid (prostaglandin, leukotrien) dan sekresi eosinofil chemotactic factor of anaphylaxis (ECFA) yang berfungsi menarik sel radang akut seperti eosinofil yang akan berkumpul di daerah paparan antigen. Pelepasan
mediator-mediator menyebabkan respon vaskuler berupa vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi penimbunan cairan atau edema pada
dermis. 4,13
GAMBARAN KLINIS
Dermatitis kontak iritan
Gambaran dermatitis akut, pada tempat terpapar akan dijumpai
dermatitis kronis gambarannya berupa likenifikasi, kulit kering, skuama, fisura
dan hiperpigmentasi. 11,14
Dermatitis kontak alergik
Gambaran dermatitis akut ditandai adanya lesi eritema, papul-papul,
vesikel dan atau bula. Sedangkan pada dermatitis subakut sampai kronis
gambarannya berupa skuama (hiperkeratosis), likenifikasi dan
kadang-kadang disertai fisura. 7,11,14
Typical distribution of rubber dermatitis
* Dikutip dari kepustakaan 15
Reaksi hipersensitivitas tipe I (Immediate-type hypersensitivity)
Reaksi tipe I biasanya disebabkan kontak langsung dengan produk
NRL dan inhalasi partikel powder sarung tangan karet. Powder tersebut
mampu mengikat protein NRL dan berperan sebagai protein carrier NRL di udara (airborne). Ikatan antara protein NRL dengan IgE menyebabkan
pelepasan histamin dan mediator-mediator lainnya. Berdasarkan rute
Kulit : urtikaria kontak alergi, pruritus
Udara : rhinitis, conjungtivitis, ashma
Mukosa : anafilaksis, takhikardi, angioedema, hipotensi, mual,
muntah, kram pada perut
Urtikaria kontak alergi
Urtikaria kontak alergi (tipe imunologik) merupakan manifestasi klinis
yang tersering dijumpai pada IgE-mediated NRL allergy. Reaksi alergi terhadap NRL sering melibatkan kulit, bergantung pada frekuensi dan
lamanya kulit terpapar dengan alergen NRL. Manifestasi klinis diawali gatal,
sedikit eritema, rasa terbakar dan selanjutnya timbul edema dan urtikaria.
Biasanya timbul 15 menit setelah terpapar dan menghilang dalam waktu 1-2
jam tanpa mendapat pengobatan. Pada pekerja kesehatan yang sensitif,
gejala tersebut dapat timbul lebih cepat apabila tangan atau sarung tangan
yang digunakan dalam keadaan basah. 5 Sindroma urtikaria kontak alergi mempunyai beberapa tingkatan yaitu : 4
1. Tingkat 1 : Localized urticaria pada tempat kontak 2. Tingkat 2 : Generalized urticaria disertai edema 3. Tingkat 3 : Urtikaria yang melibatkan sistemik
4. Tingkat 4 : Urtikaria dengan reaksi anafilaksis
Reaksi pada pernafasan
Alergen NRL menjadi lebih mudah terbang (airbone allergen) dengan adanya powder pada sarung tangan karet selanjutnya terinhalasi yang
menimbulkan rhinoconjungtivitis dan ashma. 5
Anafilaksis
Timbulnya reaksi anafilaksis diawali kontaknya produk NRL dengan
mukosa. Dilaporkan produk NRL (peralatan medis) dapat menimbulkan reaksi
kateter ataupun tube endotrachial ketika dilakukan prosedur pembedahan,
obstetri / ginekologi, urologi maupun rectal manometry. 5,16
HISTOPATOLOGIS
Dermatitis kontak iritan
Perubahan pada epidermis
Dijumpai spongiosis disertai exocytosis limfosit ke dalam epidermis. Keratinosit pada epidermis mengalami nekrosis dan dijumpai penumpukan
neutrofil di epidermis atau dijumpai vesikel intraepidermal yang dapat
berubah menjadi pustul. Pada fase kronik spongiosis berkurang dan
epidermis mengalami akantosis disertai hiperkeratosis dan parakeratosis. 17
Perubahan pada dermis
Papilari dermis mengalami edema dan disertai penyerapan infiltrat
limfo-histiositik disekitar pembuluh darah superfisial. Pada reaksi yang berat,
keratinosit mengalami nekrosis dan dijumpai infiltrat neutrofil. Infiltrat tersebut
biasanya tidak mengandung eosinofil. 17
Dermatitis kontak alergik
Perubahan pada epidermis
Pada fase akut dijumpai adanya spongiosis di epidermis (edema
intracellular) akibat penumpukan cairan disekitar keratinosit sehingga terjadi
pemanjangan intercellular bridges. Sel inflamasi mengalami exocytosis ke dalam epidermis terutama limfosit, dapat juga neutrofil dan eosinofil.
Kronisitas DKA ditandai adanya penebalan epidermis sehingga banyak
dijumpai akantosis dan sedikit spongiosis. Perkembangan yang lambat dari
DKA menyebabkan epidermis menjadi hiperplastik. Terjadinya hiperkeratosis
dan parakeratosis akibat gosokan dan garukan. Pada lesi DKA yang lanjut
dijumpai adanya bula yang pecah, terbentuk krusta yang terdiri dari plasma
Perubahan pada dermis
Dijumpai adanya dilatasi pembuluh darah superfisial, edema dan
infiltrat perivaskular limfo-histiositik yang superfisial. Pada DKA yang akut
dijumpai infiltrat yang padat dimana eosinofil lebih menonjol. Pada DKA yang
kronik, papilari dermis mengalami fibrotik dengan susunan collagen bundles
yang vertikal dan terjadi penyerapan infiltrat inflamasi. 17
CROSS SENSITIZATION
Cross sensitization adalah suatu alergi kontak, dimana penderita yang awalnya tersensitisasi dengan suatu bahan A (alergen primer) akan
memberikan reaksi test yang positif terhadap bahan B (alergen sekunder)
akibat adanya struktur kimia yang erat atau homolog, walaupun sebelumnya
penderita belum pernah berkontak. 18
Individu yang alergi terhadap protein NRL, dapat juga mengalami
alergi terhadap bahan makanan atau buah-buahan yang mempunyai struktur
protein yang hampir sama disebut latex fruit syndrome (Brehler dkk, 1997). 6 Manifestasi klinis yang dtimbulkan juga akan sama apabila individu tersebut
terpapar dengan NRL. Manifestasi klinis berupa shock anafilaksis ; gatal
pada tenggorokan, mata atau telinga ; ashma dan dermatitis akan bertambah
berat ; adanya gangguan gastrointestinal dan pembengkakan pada mulut
atau wajah. 18,19,20 Dilaporkan bahwa makanan atau buah-buahan yang paling sering berhubungan dengan alergi terhadap protein NRL yaitu pisang,
alpukat, chestnut, kiwi dan tomat (Beezhold dkk, 1996). 6 Sedangkan buah-buahan lain yang juga berhubungan dengan alergi terhadap protein NRL
adalah apel, apricot, anggur, melon, cherry, papaya, pear, peach, passion
fruit, kentang. 18,19,20 Pada rubber dan plastik dijumpai beberapa bahan kimia (sesitizer) yang sama-sama digunakan yaitu : naphthylamine, paraphenylenediamine, mercaptobenzothiazole, phenol dan epoxy resin
DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak terhadap NRL ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Apabila seseorang dicurigai alergi terhadap NRL perlu ditanyakan
apakah ada gejala eritema, pruritus, urtikaria, angioedema setelah kontak
dengan produk NRL. Dan juga ditanyakan adanya riwayat atopik dan reaksi
alergi terhadap beberapa jenis makanan atau buah (alpukat, kiwi, pisang,
chesnut dan sebagainya). 16
2. Uji kulit
Reaksi hipersensitivitas tipe I
a. Skin-prick test (SPT) / Uji tusuk
Merupakan tes in vivo dan sering digunakan untuk mendiagnosis
reaksi hipersensitivitas tipe I yang bertujuan mendeteksi antibodi IgE spesifik
terhadap alergen (protein NRL), ditandai dengan terbentuknya edema yang
cepat dan eritema. Prosedurnya mudah dilaksanakan, sensitivitasnya tinggi
dan hasilnya cepat. Bahan-bahan berupa alergen NRL yang diencerkan
menggunakan normal saline (Nacl 0,9%) dengan perbandingan 1:10 hingga
1:1.000.000. Setelah ditusuk dengan jarum disposable dengan sudut 450 pada volar lengan bawah kemudian setelah 15 menit diukur diameter urtikaria
yang timbul kemudian dibandingkan dengan larutan histamin 0,1%. Uji tusuk
dapat menimbulkan reaksi anafilaksis.4,16
b. Use test
Bertujuan untuk mengetahui sensitivitas terhadap NRL dan
prosedurnya mudah dilaksanakan, tidak mahal dan sensitivitasnya tinggi.Tes
dilakukan dengan memakai alergen sarung tangan tersangka hanya pada 1
jari selama 15 menit. Jika tidak ada respon, sarung tangan dipakai pada
seluruh jari dan tangan dalam keadaan basah sedangkan tangan yang lain
sebagai kontrol menggunakan sarung tangan vinyl (sintetis rubber) selama
dapat diperpanjang hingga beberapa hari. Use test dapat menimbulkan
reaksi anafilaksis. 4,16
c. Radioallergosorbent test (RAST)
Bertujuan untuk menemukan antibodi IgE spesifik dan merupakan tes
in vitro menggunakan konjugat anti-IgE yang bertanda radioaktif.
Radioallergosorbent test tidak menimbulkan reaksi anafilaksis namun
sensitivitasnya rendah (40%-70%). 4,16
Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Patch Test (Uji Tempel)
Bertujuan untuk mendeteksi bahan-bahan yang berkontak dengan kulit
dan dicurigai dapat menyebabkan DKA, dilakukan dengan menempel bahan
yang dicurigai dengan konsentrasi yang telah ditentukan pada kulit normal
(biasanya punggung). Uji tempel dilaksanakan dengan menggunakan Finn
Chambers (wadah alumunium ditempel pada Scanpore tape) dan Thin Layer
Rapid Use Epicutaneous Test (T.R.U.E Test system). 21,22
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilakukan uji tempel yaitu
uji tempel tidak dilakukan dalam keadaan dermatitis akut dan / atau berat ;
pasien sedang mendapat pengobatan steroid sistemik atau kortikosteroid
topikal pada tempat yang akan dilakukan tes yang dapat menimbulkan reaksi
false-negatif ; harus dilepas dan dibaca pada hari ke 2 (48 jam) dan
pembacaan ke dua ditunda hingga hari ke 3-7 dan punggung harus tetap
dalam keadaan kering hingga pembacaan akhir telah selesai. 21
Setelah 48 jam uji tempel dapat dilepas dan pada tempat penempelan
timbul eritema akibat penekanan plester selama 2 hari, oleh karena itu
pembacaan hasil yang pertama harus ditunda selama 15-30 menit sehingga
reaksi yang timbul akan lebih jelas terlihat. Penilaian hasil uji tempel
North American Contact Dermatitis Group
- : Negatif atau tidak ada reaksi
+/- : Reaksi meragukan (hanya eritema)
+ : Reaksi positif lemah (tidak dijumpai vesikel) : eritema, infiltrasi, papul
++ : Reaksi positif kuat (edematosa atau vesikel)
+++ : Reaksi positif sangat kuat (bula atau ulserasi)
IRR : Reaksi iritan
NT :Tidak dilakukan tes
Komplikasi uji tempel dapat dijumpai walaupun jarang yaitu : 21,22 1. Tersensitisasi oleh uji tempel
2. Reaksi iritan
3. Kambuhnya dermatitis yang sudah ada sebelumnya
4. Depigmentation
5. Hiperpigmentasi kadang-kadang timbul setelah terpapar sinar matahari
pada tempat dilakukan test ; perubahan pigmen postinflamasi
terutama pada pasien yang berkulit gelap
6. Parut, keloid
7. Reaksi anafilaksis atau shock
8. Infeksi
Bahan alergen yang dapat digunakan dalam melakukan uji tempel adalah
The European Standart Patch-Test Series dan The American Standart
Patch-Test Series. Apabila pada pemeriksaan sediaan standar diatas
dijumpai reaksi alergi positif terhadap bahan-bahan alergen rubber satu atau
lebih, maka akan dilanjutkan dengan uji tempel menggunakan alergen
PENATALAKSANAAN
a. Nonmedikamentosa
Pengobatan yang sebaiknya dilakukan adalah menghindari penyebab
yang dicurigai dan dilakukan identifikasi agen penyebab dengan melakukan
uji. Pasien sebaiknya menghindari beberapa buah-buahan seperti pisang,
kenari, alpukat dan kiwi yang dapat menimbulkan latex fruit syndrome. 16
b. Medikamentosa
Penggunaan kortikosteroid topikal merupakan pilihan pengobatan dan
potensi steroid disesuaikan dengan keadaan lesi. Jika disertai infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotik oral maupun topikal. Untuk mengatasi
inflamasi dapat diberikan terapi simtomatik disertai pemberian kortikosteroid
topikal untuk lesi yang terbatas dan lakukan kompres untuk lesi yang basah.
Pada lesi akut dan luas dapat diberikan kortikosteroid sistemik dengan dosis
40-60 mg/hari atau prednisolon 1 mg/kg BB selama 2 minggu tanpa tapering. Untuk mengatasi pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin H1 (AH1)
yang bekerja sebagai inhibitor kompetitf histamin. 14, 23
PROGNOSIS
Dermatitis kontak oleh karena rubber mempunyai prognosis yang baik
setelah dilakukan identifikasi penyebab dan menghindari kontak dengan
bahan-bahan yang bersifat sensitizer. 7
KESIMPULAN
Alergi terhadap produk NRL dapat menimbulkan berbagai manifestasi
klinis dan insidennya cenderung meningkat terutama pada individu yang
mempunyai faktor resiko. Diperlukan anamnesis yang teliti dan melakukan uji
kulit untuk menegakkan diagnosis. Untuk menghindari berkontak dengan
produk NRL tampaknya sulit untuk dilaksanakan, hal ini disebabkan produk
DAFTAR PUSTAKA
1. Rietschel RL, Fowler JF. Allergy to Rubber. In : Fisher’s Contact
Dermatitis. 15 thed, Lippincot Williams & Wilkins, 2001 : 533-57.
2. Wilkinson SM, Burd R. Latex : A cause of allergic contact eczema in
users of natural rubber gloves. J Am Acad Dermatology, Inc, 1998 :
36-42.
3. Kelly KJ, Banerjee B. Natural Rubber Latex Allergy. In : Grammar LC,
Greenberger Pa, eds. Patterson’s Allergic Disease, 6 th ed, Lippincot Williams & Wilkins, 2002 : 653-67.
4. Hamann CP, Sullivan KM. Natural Rubber Latex Hypersensitivities. In:
Worth C, eds. Cutaneous Allergy, Black Well Science, 1996 : 155-99.
5. Taylor JS, Wattanakrai P, Charous BL, Ownby D. Latex Allergy. In:
Leung DYM, Greaves MW, eds. Allergic Skin Disease A
Multidisciplinary Approach, New York: Marcel Dekker, Inc, 2000 :
237-58.
6. Toraason M, Sussaman G, Biagini R. Latex Allergy in the Workplace.
Toxicological Sciences 2000; 58 : 5-14.
7. Behrman AJ. Latex Allergy. eMedicine J 2001, July 13;2(7) : available
from : http://www.emedicine.com/derm/topic814.htm//.
8. Alenius H, Turjanmaa K, Palosuo T. Natural Rubber Latex Allergy.
Occup Environ Med 2002; 59 : 419-24.
9. Trudgen KLF. Latex Allergy Implication for Health Care Workers and
Health Care Consumers. Canberra Area Medical Unit, 2000.
10. Allergy to rubber accelerators. Available from :
http://www.dermnetnz.org/index.html.
11. Cohen DE. American Academy of Dermatology’s position paper on
latex allergy. J Am Acad Dermatology 1998 July ; 39(1).
12. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Allergic and Irritant Contact Dermatitis.
13. Bratawidjaja KG. Imunologi dasar, edisi ke 6, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2004 : 174-78.
14. Cruz PD. Basic Mechanisms Underlaying Contact Allergy. In : Guin JD,
eds. Practical Contact Dermatitis, Mc-Graw-Hill, Inc, 1995 : 3-29.
15. Rietschel RL, Salazar LC, Goossens A, Vein NK. Rubber. In : Atlas of
Contact Dermatitis, Martin Dunitz Ltd, 1999 : 252-61.
16. Warshaw EM. Continuing Medical Education Latex allergy. J Am Acad
Dermatology 1998 July; 39(1) : 1-24.
17. Hoon TS. The Histology of Contact Dermatitis. In : Ket NS, Leok GC,
eds. The Principles and Practice of Contact and Occupational
Dermatology in the Asia-Pacific Region, World Scientific Publishing
Co. Pte.Ltd, 2001 : 17-21.
18. Benezra C. Cross sensitization, tolerance and desensitization. In :
Adams RM, eds. Occupational Skin Disease, 2 nd ed, W.B. Saunders Company, 1990 : 35-8.
19. Perales AD, Collada C, Blanco C. Cross-reaction in the latex-fruit
syndrome : A relevant role of chitanases but not of complex
asparagines-linked glycans. J Allergy Clin Immunol, 1999 September;
104 (3) : 681-87.
20. Condemi JJ. Allergic reaction to natural rubber latex at home, to rubber
products, and to cross-reacting foods. J Allergy Clin Immunol, 2002,
August ; 110 (2) : S107-S110.
21. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Patch Testing. In : Contact &
Occupational Dermatology, 3 th ed, Mosby, Inc, 2002 : 34-58.
22. McFadden J. Immunology of Allergic Contact Dermatitis. In : Leung
DYM, Greaves MW, eds. Allergic Skin Disease A Multidisciplinary