• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A.G. (2007). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ: Emotional Spritual Quotioent Beedasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : ARGA

Anonim. (2009). Undag-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Diakses 25 Mei 2015, Dari : http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-44-2009RumahSakit.pdf

Anoraga. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta

Atkinson. R.L. (2006). Pengantar Psikologi. 11th ed. Jakarta: Interaksara

Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Bahaudin, T. (2003). Brainware Management: Generasi Kelima Manajemen Manusia. Ed.4. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Cooper, R.K., & Sawaf, A. (2002). Executive EQ: Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Penerjemah: Alex Tri Kantjono Wododo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Daft, R. (2003). Manajemen Edisi Kelima Jilid Dua. Jakarta: Erlangga

Goleman, D. (2000). Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting Daripada IQ. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

. (2000). Working With Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

. (2007). Emotional Intelligence: Emosional Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Greenberg, J.S. (2004). Comprehensive Stress Management. Eight Edition. New York: McGraw Hill

Griffin, R.W. (2003). Manajemen Edisi Tujuh Jilid Dua. Jakarta: Penerbit Erlangga

Hude. (2006). Emosi Penjelajahan Religio-Psikologis tetang Emosi Manusia di dalam Alquran. Jakarta : Penerbit Erlangga

(8)

Kreitner & Kinicki. (2005). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat

Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi Edisi Sepuluh. Yogyakarta: Penerbit ANDI

Mangkunegara. P.A. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Maria, J., Landa, A., Zafra, E.L. (2007). The Relationship Beetwen Emotional Intelligence, Occupational Stress and Health In Nurses: A Ouestionnaire Survey. International Journal of Nursing Studies 45 888-901.

Martin, A.D. (2003). Emotional Quality Management Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit ARGA

MenKes. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses 25 Mei 2015, Dari www.hukor.depkes.go.id/.../KMK%20No.%20148% 20ttg%20Praktik%2...

Mubayidh. M. (2006). Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak Referensi Penting Bagi Para Pendidik dan Orang Tua. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar dan Teori. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Nggermanto, A. (2002). Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ dan SQ Secara Harmonis. Bandung: Penerbit Nuansa

Noorbakhns, S.N, Besharat, M.A., & Zarei, J. (2010). Emotional Intellegence and Coping Styles With Stress. Journal Procedia Social and Behaviorm Sciences 5 818-822.

Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nurhidayah, R.E. (2006). Pentingnya Kecerdasan Emosional Bagi Perawat. Universitas Sumatera Utara: Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006. Diakses 28 Desember 2015, dari

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/…/ruf-mei20062%20(5).pdf Nursalam. (2013). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

(9)

Diponegoro. Diakses: 21 Mei 2015, Dari : http://eprints.undip.ac.id/29408/1/Skripsi008.pdf

Rice, Philip L. (2002). Stress and Health (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishing Company

Riskesdas. (2013). Kesehatan Jiwa. Diakses 20 Mei 2015, Dari : http://Kesehatan Jiwa Menurut Riskesdas 2013–Rsj Grhasia.html

Robin, S.P. (2003). Perilaku Organisasi (Organizational Behavior). Jakarta: PT. Indeks Gramedia

. (2008). Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Jilid 2 Edisi Keduabelas. Jakarta: Salemba Empat

Safaria, T., & Saputra, N.E. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara

Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia

Stuart, G.W., & Sundeen, S.J. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3 Ali Bahasa Achir Yani, S. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Suharsono. (2005). Melejitkan IQ, IE dan IS. Jakarta: Inisiasi Press

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

. (2013). Psikologi Untuk Keperawatan Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sunyoto, D., dan Setiawan, A. (2013). Buku Ajar Statistik Kesehatan: Parametrik, Non Parametrik, Validitas, dan Reliabilitas. Yogyakarta: Nuha Medika.

Suryabrata, S. (2005). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Taylor, S.E. (2006). Health Psychology. New York: McGraw Hill Inc

Waluyo, S.E. (2009). Psikologi Tahnik Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu

Weisinger, H. (2006). Emotional Intelligence At Work. Penerjemah: Roro Ratih Ambarwati. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia

(10)

Wijono, S. (2011). Psikologi Industri dan Organisasi: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

(11)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau visualisasi

konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan diukur atau diteliti. (Notoatmodjo,

2010). Pada proses penelitian ini dapat dilihat bagaimana pengaruh hubungan

kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Variabel independent dalam

penelitian ini adalah kecerdasan emosi dan stres kerja perawat sebagai variabel

dependent.

(12)

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional No Variabel/

Sub Variabel

Definisi

(13)
(14)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

korelasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kecerdasan perawat

dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Provinsi Sumatera Utara.

4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi

Menurut Iskandar (2010), populasi marupakan seluruh subjek penelitian.

Adapun populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di

Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi

Sumatera Utara dengan jumlah 126 perawat.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil secara representatif

atau mewakili populasi yang bersangkutan atau bagian kecil yang diamati

(Iskandar, 2010). Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah dengan menggunakan teknik non probability sampling yaitu

pengambilan sampel yang dilakukan secara tidak acak dari populasi. Pada

penentuan sampel ini peneliti menggunakan tehnik purposive sampling yaitu

suatu tehnik menentukan sampel berdasarkan kriteria yang diinginkan oleh

peneliti. Adapun kriteria sampel yang diinginkan oleh peneliti adalah sebagai

(15)

1. Perawat yang bekerja di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

Muhammad Ildrem, Provinsi Sumatera Utara.

2. Lama bekerja

3. Perawat yang sedang tidak hamil

4. Perawat dengan kondisi fisik yang sehat

5. Perawat yang tidak sedang cuti

6. Perawat yang bersedia menjadi responden

Sedangkan pengambilan jumlah sampel mengacuh pada rumus Slovin

(Notoatmodjo, 2010) :

n = + N dN 2

Keterangan:

n = besar sampel

N = besar populasi

d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diingikan 10% (0.10)

Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel perawat yang dapat

dijadikan responden, adalah :

(16)

� = + .

� = + .

� = .

n = 55.75 digenapkan menjadi 56 responden

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Pengambilan lokasi penelitian ini

dikarenakan tidak seimbangnya rasio perawat dan berdasarkan dari wawancara

pada 7 orang perawat serta belum pernah dilakukan penelitian yang berjudul

“Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stes Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa

Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara”. Waktu penelitian

dilakukan pada tanggal 30 November – 04 Desember 2015.

4.4 Pertimbangan Etik

Sebelum melakukan penelitian, peneliti menunjukkan surat permohonan

kepada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU untuk mendapatkan

persetujuan penelitian. Penelitian dilakukan setelah mendapatkan persetujuan

Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU pada tanggal 7

April 2015. Setelah memperoleh persetujuan peneliti memberikan surat ijin

pengambilan data awal yang terdiri dari jumlah keseluruhan perawat dengan

status PNS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem

Provinsi Sumatera Utara dan jumlah total pasien yang dirawat selama tahun 2014.

(17)

lengkap tentang tujuan penelitian. Hal ini responden mempunyai hak untuk

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Apabila responden memilih untuk

berpartisipasi, maka calon responden akan menandatangani lembar persetujuan.

Kemudian peneliti memberikan kuesioner percobaan kepada perawat sebagai uji

reliabilitas dari instrumen penelitian yang akan dilaksanakan nanti.

Hal ini peneliti harus dapat meyakinkan responden bahwa partisipasinya

dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak dipergunakan dalam

hal-hal yang dapat merugikan calon responden dalam bentuk apapun hanya akan

dipergunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian ini tidak

menimbulkan resiko fisik atau psikis. Kerahasiaan calon responden merupakan

hal utama yang dijamin kerahasiaannya dengan tidak menuliskan nama

(anonymity) dan semua cacatan atau data responden akan dimusnahkan setelah

proses penelitian berakhir (confidentiality). Data-data yang diperoleh dari

responden hanya digunakan sebagai kepentingan penelitiaan (Nursalam, 2013).

4.5 Instrument Penelitian 4.5.1 Kuesioner Demografi

Kuesioner data demografi memberikan data mengenai responden meliputi:

nama, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, lama kerja, penghasilan

bulanan. Kuesioner ini hanya digunakan untuk melihat distribusi demografi dari

responden saja dan tidak akan dianalisa terhadap hubungan kecerdasan emosi

dengan stres kerja.

4.5.2 Kuesioner Kecerdasan Emosi

Kuesioner ini bertujuan untuk melihat gambaran kecerdasan emosi

(18)

Provinsi Sumatera Utara. Kuesioner ini diadopsi dari kuesioner Yurista (2013).

Tiap aitem yang disediakan pada skala kecerdasan emosi terdiri dari Sangat

Sesuai (SS), Sesuai (S). Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai

(STS). Pernyataan pada skala ini terdiri dari aitem positif dan aitem negatif. Aitem

positif adalah aitem yang mendukung atau memihak secara positif terhadap satu

pernyataan tertentu, sedangkan aitem negatif adalah pernyataan yang

menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap pernyataan tertentu.

Bobot penilaian untuk pernyataan kecerdasan emosi dengan aitem positif yaitu SS = 5, S = 4, N = 3, TS = 3 dan STS = 1. Sedangkan bobot pernyataan

negatif yaitu, SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4 dan STS = 5.

Tabel 4.1. Aitem-aitem Pernyataan Skala Kecerdasan Emosi

No. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Item Total

Positif Negatif

1. Kesadaran diri 2,8,12 1,5 5

2. Pengaturan diri 4,6,18 3,7 5

3. Motivasi diri 10,14,16 9,11,21,23 7

4. Empati 20,24 13,19 4

5. Membina hubungan dengan orang lain 17,22,26 15,25,27 6

(19)

Kategori kecerdasan emosi perawat di Rumah Sakit Prof. Dr. Muhammad

Ildrem Provinsi Sumatera Utara dibuat berdasarkan rumus statistik menurut

Sunyoto dan Setiawan (2013). Kategori Kecerdasan Emosi adalah sebagai berikut:

p = Nilai Tertingi − Nilai TerendahBanyak Kelas = − =

Kecerdasan Emosi Tinggi = 96 - 130

Kecerdasan Emosi Sedang = 61 - 95

Kecerdasan Emosi Rendah = 26 – 60

4.5.3 Kuesioner Stres Kerja

Kuesioner ini bertujuan untuk melihat gambaran stres kerja perawat di

Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi

Sumatera Utara. Kuesioner ini diadopsi dari kuesioner Yurista (2013). Tiap aitem

yang disediakan pada skala stres kerja terdiri dari lima pilihan jawaban yang

terdiri dari Sangat Sering (SS), Sering (S), Kadang-Kadang (K), Tidak Sering

(TS), dan Sangat Tidak Sering (STS). Pernyataan pada skala ini terdiri dari aitem

positif dan aitem negatif. Aitem positif adalah aitem yang mendukung atau

memihak secara positif terhadap satu pernyataan tertentu, sedangkan aitem negatif

adalah pernyataan yang menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap pernyataan

tertentu.

Bobot penilaian pernyataan stres kerja untuk aitem positif yaitu SS = 5, S

= 4, K = 3, TS = 2 dan STS = 1. Sedangkan untuk aitem negatif SS = 1, S = 2, K =

3, TS = 4 dan STS = 5.

Tabel 4.2. Aitem-aitem Pernyataan Skala Stres Kerja

(20)

Positif Negatif

1. Gejala Fisiologis 2,8,12 1,33 5

2. Gejala Emosional 4,6,18,20 3,7,15,19 8

3. Gejala Kognitif 10,14,16,22 9,11,21 6

4. Gejala Interpersonal 14,26,24,28 5,29, 31 7 5. Gejala Organisasional 30,32,23 17,13,25,27 7

Total 17 16 33

Kategori stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Povinsi Sumatera Utara dibuat berdasarkan rumus statistik

menurut Sunyoto dan Setiawan (2013). Kategori stres kerja adalah sebagai berikut

:

� = Nilai Tertingi − Nilai TerendahBanyak Kelas = − =

Kategori Stres Tinggi = 33 - 76

Kategori Stres Sedang = 77 - 120

Kategori Stres Rendah = 121 – 165

4.6 Uji Validitas Instrumen

Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur

dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrument dapat dikatakan mempunyai

validitas tinggi apabila alat tersebut memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan

maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sebaliknya, tes yang menghasilkan

data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang

memiliki validitas rendah (Azwar, 2010).

Pada penelitian ini, peneliti mengadopsi instrumen kuesioner penelitian

(21)

penelitian ini telah baku. Hal ini juga peneliti melakukan konsultasi kepada dosen

pembimbing dalam pengadopsian instrumen penelitian.

4.7 Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya.

Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi tersebut sebagai pengukuran yang

reliabel. Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti tingat kepercayaan,

kehandalan, keajengan dan sebagainya (Azwar, 2010). Pengujian dalam penelitian

ini menggunakan teknik Alpha Cronbach.

Suatu alat tes dikatakan reliabel jika koefisien reliabilitas (rxx) yang

angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1.00. semakin tinggi

koefisien reliabiltas mendekati angka 1.00 berarti semakin tinggi reliabilitas.

Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin

rendah reliabilitasnya. Pada pengukuran psikologi, koefisien reliabilitas yang

mencapai angka rxx = 1.00 tidak pernah dijumpai (Azwar, 2010). Dalam

melakukan uji reliabilitas ini memberikan kepada 30 perawat selain responden

untuk melihat tingkat kehandalan dari alat ukur tersebut. Masing-masing uji

reliabiltas kecerdasan emosi terdiri dari 26 pernyataan yang dibagai dalam

pernyataan positif dan pernyataan negatif. Sedangkan uji reliabilitas stres kerja

terdiri dari 33 pernyataan yang dibagi dalam pernyataan positif dan pernyataan

negatif.

Berdasarkan hasil uji reliabilitas kecerdasan emosi dengan menggunakan

cronbach’s alpha adalah 0.720 dan hasil uji reliabilitas stres kerja dengan

menggunakan cronbach’s alpha adalah 0.760. Artinya, aitem skala kecerdasan

(22)

4.8 Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. Mengajukan permohonan ijin survey awal untuk melihat karakterisitk

perawat (populasi) yang akan dijadikan sampel penelitian.

2. Melakukan perhitungan untuk menentukan jumlah perawat yang akan

dijadikan samapel dengan menggunakan metode simple non random

sampling, dimana metode pengambilan sampel dengan tidak acak dari

keseluruhan populasi.

3. Mengajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian pada institusi

pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara).

4. Mengirimkan permohonan ijin pengambilan data yang diperoleh dari

Faklultas ke Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad

Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

5. Setelah mendapatkan persetujuan dari Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.

Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara, peneliti melaksanakan

pengumpulan data penelitian.

6. Menjelaskan pada calon responden tentang tujuan, manfaat, dan proses

pengisian kuesioner.

7. Calon responden diminta untuk menandatangani Informed Concent (surat

persetujuan.

8. Peneliti melakukan wawancara tersetruktur dengan menggunakan kuesioner

terhadap responden dan responden diberi kesempatan untuk bertanya pada

(23)

9. Selanjutnya, data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk dianalisa.

4.9 Analisa Data

4.9.1 Pengolahan Data

Proses pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing

Editing adalah kegiatan melakukan pemeriksaan kembali kuesioner yang

telah diisi oleh responden, meliputi kelengkapan isian dan kejelasan jawaban dan

tulisan.

2. Coding

Coding adalah proses mengubah data yang berbentuk huruf menjadi data

yang berbentuk data. Hal utama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah

memberikan kode untuk jawaban yang diberikan responden penelitian. Penilaian

kecerdasan emosi dan stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap untuk jawaban

dengan aitem positif yaitu SS = 5, S = 4, N = 3, TS = 3 dan STS = 1.

Sedangkan bobot pernyataan negatif yaitu, SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4

dan STS = 5.

3. Processing

Processing yaitu memasukkan data kedalam komputer untuk diproses.

4. Cleaning

Cleaning yaitu melakukan pembersihan dan pengecekan kembali data

yang telah dimasukkan. Kegiatan ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada

(24)

5. Komputerisasi

Komputerisasi digunakan untuk mengolah data dengan komputer.

4.9.2 Tehnik Analisa Data

Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan

hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat. Proses pengolahan data

dilakukan dengan :

1. Uji Univariat

Dilakukan pada masing-masing variabel yaitu mendeskripsikan tentang

kecerdasan emosi dan stres kerja. Hasil angket/kuesioner kecerdasan emosi dan

stres kerja disajikan dalam bentuk data. Analisis yang digunakan dalam bentuk

dsitribusi frekuensi dan persentase.

2. Uji Bivariat

Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan

variabel terikat dapat dilakukan dengan uji Pearson adalah uji statistik untuk

menguji dua variabel berdata kuantitatif yang berisi angka real yaitu data

sesunguhnya yang diambil langsung dari angka asli. Syarat-syarat lain untuk uji

korelasi Pearson adalah data berdistribusi normal.

a. Jika p value ≤ 0,01 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan. b. Jika p value > 0,01 tetapi < 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan.

c. Jika p value > 0,05 maka hasil uji dinyatakan tidak signifikan (Hastono,

2001).

Untuk mengukur keeratan hubungan dapat dilihat berdasarkan besaran

angka, yaitu:

(25)

b. 0,20 - 0,399 : Tingkat hubungan rendah

c. 0,40 - 0,599 : Tingkat hubungan sedang

d. 0,60 - 0,799 : Tingkat hubungan kuat

e. 0,80 - 1,00 : Tingkat hubungan sangat kuat (Sugiyono, 1999).

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 56 responden. Pengumpulan data ini dilakukan dari tanggal 30 november s/d 04 desember 2015.

5.1.1 Karakteristik Responden

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perawat Berdasarkan

Karaktersitik Responden di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem (n = 56)

No. Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%)

(26)

5. Penghasilan Per Bulan

Berdasarkan tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas jenis kelamin dari responden adalah laki-laki yaitu 37 responden (66,1%). Untuk usia kebanyakan berada pada rentang antara 26-35 tahun yaitu 31 responden (55,4%). Namun berdasarkan pendidikan terakhir responden Sarjana (S1) adalah tingkat pendidikan terbanyak yaitu 34 responden (60,7%). Sedangkan ditinjau dari masa kerja responden hampir seluruh responden bekerja lebih dari satu tahun yaitu sebanyak 54 (90,4%). Berdasarkan penghasilan per bulan responden nilai Rp.2.000.000-Rp.3.000.000 berada pada tingkat paling tinggi yaitu sebanyak 33 responden (58,9%).

5.1.2 Analisis Univariat

1. Kecerdasan Emosi

Tabel 5.2. Kategori Tingkat Kecerdasan Emosi Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara (n = 56)

Kecerdasan Emosi Frekuensi (f) Persentase (%)

Tinggi

Berdasarkan tabel 5.2 diatas dari 56 responden diketahui bahwa kecerdasan emosi pada perawat di Rumah Sakit Jiwa tidak ada yang berada pada kategori rendah, 46 responden (82,1%) pada kategori sedang dan 10 responden (17,9%) berada dalam kategori tinggi. Hasil kategori ini menunjukkan bahwa umumnya perawat di Rumah Sakit Jiwa memiliki kecerdasan emosi yang sedang.

(27)

Tabel 5.3. Kategori Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara (n = 56)

Stres Kerja Frekuensi (f) Persentase (%)

Tinggi

Berdasarkan dari 56 subjek (perawat di Rumah Sakit Jiwa) diketahui bahwa stres kerja pada perawat Rumah Sakit Jiwa sebesar 18 perawat (32,1%) pada kategori rendah dan 38 perawat (67,9%) pada kategori sedang. Sementara tidak terdapat perawat dalam katergori stres tinggi.

5.1.3 Analisis Bivariat

1. Uji Normalitas

Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan menggunakan tehnik Kolmogorov-Smirnov (K-S Z) dengan bantuan program SPSS (Statistical Product and Solution) 18.0

for Windows. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal dan tidaknya suatu

sebaran adalah apabila signifikansi lebih besar dari 0.05 (p > 0.05) maka sebaran dinyatakan normal dan sebaliknya jika (p < 0.05) maka sebaran dinyatakan tidak normal. Hal ini dilakukan untuk menentukan tehnik statistik yang digunakan dalam penelitian ini.

Hasil uji normalitas yang dilakukan pada 56 responden menunjukkan pada variabel kecerdasan emosi memiliki sebaran yang normal (K-S Z = 0.681, dengan p = 0.742 > 0.05), maka data dinyatakan terdistribusi normal.

2. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

Tabel 5.4. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

(28)

٭٭. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Berdasarlan tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa nilai korelasi (ρ) yang didapat

adalah -0.598 dengan nilai signifikan (p) sebesar 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat dengan kekuatan hubungan sedang. Berdasarkan analisa statistik juga diperoleh nilai significance (p) sebesar 0.000 dimana nilai ini lebih kecil dari level of significance (α) sebesar 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

5.1.4 Analisis Aspek Kecerdasan Emosi

Setelah melakukan uji hipotesis untuk melihat hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat, penelitian ini juga malakukan analisis aspek pada variabel kecerdasan emosi untuk melihat aspek manakah yang sangat berkontribusi terhadap stres kerja perawat. Berikut merupakan hasil analisis variabel aspek kecerdasan emosi :

1. Kecerdasan Emosi

Tabel 5.5. Korelasi Aspek Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara

No. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Korelasi dengan

Variabel Stres Kerja Signifikansi

(29)

Korelasi antara aspek kesadaran diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar 0.301 dengan p = 0.24 (p > 0.05). Artinya, terdapat hubungan positif dan tidak signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek kesadaran diri memiliki nilai korelasi rendah dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

2. Pengaturan Diri

Korelasi antara aspek pengaturan diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil -0.522 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek pengaturan diri memiliki nilai korelasi yang sedang dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

3. Memotivasi Diri

Korelasi antara aspek memotivasi diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar -0.680 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini bahwa aspek memotivasi diri memilki nilai korelasi yang kuat dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

4. Empati

Korelasi antara aspek empati dengan variabel stres kerja dengan emnggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar -0.314 denan p = 0.18.

(30)

5. Membina Hubungan dengan Orang Lain

(31)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Gambaran Tingkat Kecerdasan Emosi

Berdasarkan hasil analisis kecerdasan emosi perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara secara univariat bahwa mayoritas kecerdasan emosi perawat berada pada kategori sedang. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman (2007), bahwa pikiran emosional dan rasional umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat sehingga melengkapi cara-cara dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan dalam menjalani kehidupan duniawi. Perawat sangat penting memiliki kecerdasan emosional disamping pengetahuan ilmiah dan keterampilan karena layanan perawatan yang bermutu tidak hanya berorientasi pada pemberian obat-obatan atau tindakan medis lainnya namun perilaku dan perlakuan yang diberikan perawat selama proses penyembuhan juga penting.

Menggunakan emosi yang cerdas membuat emosi seseorang menjadi bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut

5.2.2 Gambaran Tingkat Stres Kerja

Berdasarkan hasil analisis stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara bahwa mayoritas stres perawat berada pada kategori sedang. Hal ini berarti tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara berada pada tingkat yang tidak terlalu membahayakan baik terhadap perawat maupun instansi tempat bekerja yakni Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem. Meskipun tidak ada perawat yang memiliki tingkat stres yang tinggi, maka upaya penaggulangan dan pencegahan terjadinya stres harus tetap diperhatikan dengan melihat faktor-faktor penyebab terjadinya stres kerja.

(32)

Hal ini tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem mungkin dipengaruhi oleh faktor lain seperti ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Robins (2002), yang mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi sumber potensial dari stres kerja bagi perawat, yaitu : (1) faktor lingkungan, kondisi lingkungan tempat bekerja dapat mempengaruhi stres kerja pada perawat. Kondisi tersebut meliputi adanya ketidakpastian ekonomi, politik dan teknologi dirumah sakit. (2) faktor organisasi, faktor yang ada di organisasi dapat memicu stres yaitu, tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi, struktur oraganisasi, kepemimpinan organisasi, dan tahap hidup organisasi dirumah sakit. (3) faktor individual perawat, faktor individual merupakan faktor yang mencakup kondisi dalam kehidupan pribadi perawat. Permasalahan keluarga, ekonomi yang dialami perawat dapat mempengaruhi terjadinya stres kerja.

5.2.3 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja

Hasil analisis hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara terdapat nilai korelasi sebesar -0.598. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja dengan kekuatan hubungan sedang. Berdasarkan analisa statistik juga diperoleh nilai significance (α) sebesar 0.000 dimana nilai ini lebih kecil dari level of significance (α) sebesar 0.01. hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

(33)

mengendalikan hal-hal negatif seperti mudah marah, mudah tersinggung sampai tindakan agresif baik secara fisik maupun verbal. Salovey dan Meyer (dalam Goleman 2007), juga menyatakan kecerdasan emosi berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau emosi baik dirinya maupun orang lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oryza dan Suseno (2009), menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja. Pendapat lainnya yang disampaikan oleh Rosalina (2008), mengatakan bahwa kecerdasan emosi pada perawat akan sangat menentukan perilaku melayani pasien, karena perawat yang memiliki kecerdasan emosi yang baik dapat mengontrol emosi-emosinya pada saat berinteraksi langsung dengan pasien maupun keluarganya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yurista (2013), bahwa rendahnya kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan stres kerja pada perawat. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Maria, Landa, Zafra, dkk (2007), yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi secara signifikan dapat menurunkan stres kerja pada perawat. Perawat sebagai profesi yang berorientasi kepada pelayanan jasa memerlukan suatu keterampilan dalam mengelola emosinya. Keterampilan penguasaan emosi sangat berpengaruh terhadap kinerja. Oleh karena itu, kecerdasan emosi memberikan kontribusi dalam mengatur suasana hati dan menjaga agar stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir sehingga individu mampu untuk menyelesaikan konflik serta menjaga kinerja tetap stabil (Nurhidayah, 2006).

(34)

memerlukan pemantauan serta tindakan yang terus menerus sehingga dibutuhkn kecerdasan emosi yang tinggi untuk mengantisipasi stres kerja di Rumah Sakit Jiwa.

Berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah r2 = 0.306 (31%) dan 69% lainnya bisa

disebabkan oleh variabel-variabel lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Adapaun variabel-variabel lain yang berhubungan dengan stres kerja selain kecerdasan emosi diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Noorbakhsh, Besharat & Zarei (2010), dengan melibatkan variabel pemilihan strategi coping. Noorbakhsh, Besharat & Zarei menyebutkan bahwa stres kerja dapat diturunkan apabila individu memiliki strategi coping yang sesuai dengan dirinya baik itu dengan coping yang berfokus pada masalah

(problem focused coping) dan (emotion focused coping). Fungsi dari coping adalah untuk

mengurangi tekanan atau meningkatkan keterampilan dalam manajemen stres. Variabel lainnya seperti adanya dukungan sosial, locus of control, kepribadian tipa A dan B serta harga diri yang dikemukakan oleh Wijono (2011), variabel-variabel tersebut tersebut berkorelasi dalam menurunkan stres kerja yang dihadapi oleh individu. Wijono (2011), juga menyatakan pemberian konseling atau psikoterapi bisa digunakan untuk membantu individu menemukan masalah dan sumber-sumber ketegangan yang dapat menimbulkan stres kerja, menolong mengubah pandangan seseorang terhadap kondisi, situasi atau peristiwa yang menimbulkan stres kerja dan mengembangkan berbagai alternatif untuk menentukan strategi yang paling tepat dalam menghadapi stres kerja.

(35)

mampu terhubung dengan emosi-emosinya dan pikiran-pikirannya sehingga ia mampu menamakan setiap emosi yang muncul.

Menurut Goleman (2007), dengan adanya kemampuan individu memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam dirinya. Maka kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan, tidak putus asa dan kehilangan harapan ketika menghadapi masalah.

5.3 Keterbatasan Penelitian

Perlu peneliti sampaikan bahwa pelaksaan penelitian ini peneliti rasakan mengandung keterbatasan-keterbatasan antara lain : penelitian inu menggunakan subjek yang terbatas yaitu hanya pada 56 orang perawat jiwa yang berada diruang rawat inap kemudian distribusi aitem skala kecerdasan emosi dan stres kerja yang tidak proporsional sehingga mempunyai peluang untuk mempengaruhi hasil penelitian ini. Berdasarkan teori yang ada, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya stres kerja pada perawat, namun pada penelitian ini hanya sebatas mengkaji hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.

(36)

BAB 6

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis univariat bahwa 46 responden (82,1%) tingkat kecerdasan emosi pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara berada pada kategori sedang dan tingkat stres kerja berada pada kategori sedang yakni 38 responden (67,9%). Sedangkan berdasarkan hasil analisis bivariat bahwa penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara dengan koefisien (r) = -0.598 dengan p = 0.000 (p < 0.001). Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi perawat maka semakin tinggi tingkat stres kerja. Berdasarkan hasil analisi menunjukkan bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah r2 = 0.357 atau 36% dan 64% lainnya

bisa disebabkan oleh variabel-variabel lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat aspek kecerdasaen emosi manakah yang memberikan kontribusi paling besar terhadap rendahnya stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek motivasi diri merupakan aspek yang memiliki kontribusi terbesar terhadap penurunan stres kerja. Hal ini berarti bahwa perawat akan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila ia mampu untuk memotivasi diri setiap stres yang timbul sehingga dapat mengubah perilakunya kearah yang positif atau lebih baik.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti akan memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak lain.

(37)

Bagi perawat rumah sakit jiwa setelah terbukti ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat , maka diharapkan bagi perawat yang memiliki kecerdasan emosi ayang tinggi agar dapat mempertahankan kondisi tersebut, yakni sebagai suatu langkah menghadapi berbagai situasi yang terjadi ditempat kerja kususnya dalam menghadapi stres ditempat kerja yaitu dengan kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan membina hubungan dengan orang lain

6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara perlu mengalokasikan dana untuk kegiatan merancang program penelitian kecerdasan emosi yang difokuskan pada bidang Self Awareness, Self Management, Self Motivation dan Anger Management bagi perawat yang memilik kecerdasan emosi rendah yang bertujuan

untuk membantu perawat dalam melatih kemampuan mengontrol emosi sehingga perawat dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus menimbulkan stres yang nantinya akan menghambat kinerja perawat dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. Selanjutnya bagi perawat yang memiliki stres kerja yang tinggi perlu dilakukan seuatu upaya untuk mengurangi stres kerja seperti memberikan pelatihan taknik relaksasi. 6.2.3 Bagi Penelitian Keperawatan

(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Emosi

Terdapat berbagai definisi mengenai emosi, salah satunya adalah Lazarus

dikutip dari Hillman dan Drever (dalam Hude, 2006) yang mendefinisikan emosi

merupakan bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan

fisik dari karakter yang luas-dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar.

Sedangkan dari sudut mental adalah suatu keadaan yang senang atau cemas, yang

ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata

dari suatu tingkah laku. Jika emosi itu sangat kuat aka menjadi sejumlah

gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat disasosiasi dan kecenderungan

terhadap tindakan yang bersifat tidak terpuji.

Emosi adalah apa yang tengah dirasakan oleh penerima ketika menerima

suatu komunikasi akan mempengaruhi cara ia menerjemahkannya. Pesan yang

sama yang diterima pada saat anda marah atau bingung tak jarang diterjemahkan

secara berbeda dari ketika anda sedang berbahagia. Emosi-emosi ekstrim seperti

rasan girang alang bukan kepalang atau depresi memiliki potensi yang sangat

besar untuk menghambat komunikasi yang efektif. Dalam keadaan semacam itu,

kita cenderung mengabaikan proses pemikiran rasional dan objektif kita serta

menggantikannya dengan penilaian emosional.

Menurut Maramis (dalam Sunaryo, 2013), mendefinisikan emosi adalah

(39)

fisiologis, dan biasanya berlangsung tidak lama. Menurut Walgio (dalam Sunaryo,

2013), mengungkapkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan perasaan yang

melampaui batas sehingga dapat mengganggu hubungan seseorang dengan

lingkungan sekitarnya, seperti ketakutan, kecemasaan, depresi, dan kegembiraan.

Emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada

persepsi, sikap, dan tingkah laku mengejawantah dalam bentuk ekspresi

tertentu.Emosi dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa

dan fisik. Ketika emosi bahagai meledak-ledak, ia secara psikis member kepuasan,

tapi secara fisiologis membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa

ringan, juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Namum, hal yang

disebutkan ini tidak spesifik terjadi pada semua orang dalam seluruh kesempatan.

Kadang kalah orang bahagia, tetapi justru orang meteskan air mata atau kesedihan

yang sama tidak membawa kepedihan yang serupa (Hude, 2006).

Menurut Agustian (2005), emosi adalah bahan bakar yang tidak

tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penelaran yang tinggi. Emosi

menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif, dan transformer. Menurut Goleman

(2000), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan

bilogis dan psikologis dan kecenderungan untuk bertindak. Maramis (dalam

Sunaryo, 2004), menyatakan emosi adalah manifestasi perasaan atau afek keluar

dan disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang emosi di atas, maka dapat

(40)

perubahan pada diri seseorang secara fisiologis dan psikologis karena adanya

perasaan yang khas serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

2.1.2 Pengertian Kecerdasan Emosi

Istilah kecerdasan emosi pertama kali digunakan pada tahun 1990 oleh

Salovey dan Meyer yang kemudian dipopulerkan oleh Goleman. Cooper dan

Sawaf (2001), berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan

merasakan, memahami dan menerapkan secara efektif daya dan kepekaan emosi

sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang menusiawi.

Suharsono (2004), juga menambahkan kecerdasan emosional tidak hanya

mengendalikan fungsi diri, tetapi juga untuk mencerminkan kamampuan dalam

mengelola ide, konsep, karya maupun produk.

Menurut Salovey dan Meyer (dalam Mubayyidh, 2006), mendefinisikan

kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan

kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi dirinya maupun emosi orang

lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan

perilakunya.

Weisinger (2006), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah

menggunakan emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi menjadi

bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran

sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut. Menurut

Goleman (2007), menjelaskan bahwa kecerdasan emosi sebagai kemampuan

untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan

(41)

menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan

berdoa.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat diambil

kesimpulan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam

mengenali, memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, mengendalikan

perasaannya sendiri, menjalin hubungan serta memotivasi diri sendiri untuk

menjadi lebih baik.

2.1.3 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Goleman (2007), menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi

dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskan dan memperluas kemampuan

tersebut kedalam lima aspek utama yaitu:

1. Kesadaran diri

Kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses

yang terjadi didalam dirinya, perasaan, pikiran, dan latar belakang dari

tindakannya. Individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya dan

pikiran-pikirannya sehingga ia mampu menamakan setiap emosi yang muncul. Aspek ini

merupakan dasar dari seluruh aspek-aspek lainnya dimana kesadaran diri akan

membantu tercapainya aspek-aspek yang lainnya. Menurut Meyer (dalam

Goleman, 2007), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun

pikiran tantang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah

larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.Kesadaran diri memang belum

menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting

(42)

2. Pengaturan diri

Kemampuan individu untuk mengelola, menyeimbangkan emosi-emosi

yang dialaminya, dan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan

tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri.

3. Motivasi

Kemampuan individu untuk memotivasi diri ketika diri berada didalam

keputusasaan, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam

hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan, tidak putus

asa dan kehilangan harapan ketika menghadapi masalah.

4. Empati

Kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan

orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Empati berkaitan dengan

kemampuan individu untuk memahami perasaan terdalam orang lain sehingga

individu mampu untuk bertanggung rasa danmampu membaca, memahami

perasaan, pikiran orang lain hanya dari bahasa non-verbal, ekspresi wajah atau

intonasi orang tersebut.

5. Membina hubungan dengan orang lain

Kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan

orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut, dan mampu

menangani konflik-konflik interpersonal secara efektif. Individu yang memiliki

kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan senantiasa

(43)

merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan

keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2007).

Dalam buku Goleman yang kedua, Working whith emotional intelligence

Goleman (2000), merumuskan aspek yang mempengaruhi kecerdasan emosi

adalah sebagai berikut: kerangka kerja kecakapan emosi, kecakapan ini dibagi

menjadi dua yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.

1. Kecakapan pribadi, kecakapan ini menentukan bagaimana individu mengelola

diri sendiri, terdiri dari:

a. Kesadaran diri, yaitu mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber

daya, dan intuisi, meliputi:

1) Kesadaran emosi: mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.

2) Penilaian diri secara teliti: mengetahui kekuatan dan batas-batas diri

sendiri.

3) Percaya diri: keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.

b. Pengaturan diri, yaitu mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri

sendiri, meliputi:

1) Kendali diri: mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang

merusak.

2) Sifat dapat dipercaya: memelihara norma dan intergritas.

3) Kewaspadaan: bertanggung jawab atas kinerja pribadi.

4) Adaptibiltas: keluwesan dalam menghadapi perubahan.

5) Inovasi: mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pedekatan,

(44)

c. Motivasi, yaitu kecenderungan emosi yang mengantar dan memudahkan

peraihan sasaran, meliputi:

a) Dorongan prestasi: dorongan untuk menjadi lebih baik atau

memenuhi standar keberhasilan.

b) Komitmen: menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau

perusahaan.

c) Inisiatif: kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.

d) Optimisme: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada

halangan dan kegagalan.

2. Kecakapan sosial, yaitu kecakapan yang menentukan bagaimana individu

menangani suatu hubungan, tediri dari:

a. Empati, yaitu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan

orang lain:

1) Memahami orang lain: mengindera perasaan dan perspektif orang lain,

dan menunujukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.

2) Orientasi pelayanan: mengantisipasi, mengenali dan berusaha

memnuhi kebutuhan pelanggan.

3) Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan

orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.

4) Mengatasi keragaman: menumbuhkan perluang melalui pergaulan

dengan bermacam-macam orang.

5) Kesadaran politis: mampu membaca arus-arus emosi sebuah

(45)

b. Keterampilan sosial, yaitu kepintaran dalam mengunggah tanggapan yang

dikehendaki pada orang lain, terdiri dari:

1) Pengaruh : memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.

2) Komunikasi: mengirim pesan pesan yang jelas dan meyakinkan.

3) Kepemimpinan: membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok

dan orang lain.

4) Katalisator perubahan: memulai dan mengelola perubahan.

5) Manajemen konflik: negosiasi dan pemecahan silang pendapat.

6) Pengikat jaringan: menumbuhkan hubungan sebagai alat.

7) Kolaborasi dan kooperasi: kerja sama dengan orang lain demi tujuan

bersama.

8) Kemampuan tim: menciptakan sinergi kelopok demi memperjuangkan

tujuan bersama.

2.1.4 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (dalam Nggermanto, 2002), kecerdasan emosi dapat

dikembangkan, lebih menantang, dan lebih prospek dibandingkan dengan

kecerdasan akademik sebab kecerderungan emosi memberi kontribusi lebih besar

bagi kesuksesan seseorang. Menurut Agustian (2007), faktor-faktor yang

berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:

1. Faktor Psikologis

Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.

Faktor internal ini akan membantu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan

(46)

secara efektif. Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi erat kaitannya dengan

keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem

limbik.Sistem libik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama

bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls.

2. Faktor Pelatihan Emosi

Kegiatan dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan,

dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada

pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan

berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja

tanpa dilatih.

3. Faktor Pendidikan

Mendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk

mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai

bentuk emosi dan bagaimana mengolahnya melalui pendidikan.Poendidikan tidak

hanya berlangsung disekolah.Tetapi juga dilingkungan kerluarga dan masyarakat.

Goleman (2000), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi dipengaruhi

oleh beberapa faktor diantaranya adalah:

1. Faktor LingkunganKeluarga

Lingkungan keluarga adalah guru dan sekolah pertama yang anak terima

dalam mempelajari emosi.Orang tua mempaunyai peranan penting dalam masa

(47)

2. Faktor Lingkungan Sekolah

Guru dan lingkungan sekolah mempunyai peranan penting dalam masa

perkembangan potensi anak dalam kecerdasan emosi, hal tersebut harus diimbangi

dengan teknik-teknik pengajaran dan sistem pendidikan yang tak hanya lebih

mendahulukan kecerdasan intelegensi dan mengabaikan perkembangan otak

kanan terutama perkembangan emosinya.

3. Faktor Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat berupa perhatian, pujian, nasihat, penerimaan

masyarakat, dan juga pengahargaan. Hal tersebut merupakan dukungan terhadap

psikis atau psikologis sehingga mampu meningkatkan aspek-aspek kecerdasan

emosi.

2.2 Stres Kerja

2.2.1 Pengertian Stres

Stres merupakan keadaan tegang secara biopsikososial karena banyak

tugas-tugas perkembangan yang dihadapan orang sehari-hari, baik dalam

kelompok sebaya, keluarga, sekolah, maupun pekerjaan (Smet, 1994). Rice

(2002), mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan

yang menyebabkan individu merasa tegang.

Menurut Robin (2003), stres merupakan kondisi dinamik yang didalamnya

seorang individu dihadapkan dengan suatu peluang (opportunity), kendala

(constraints), atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat

diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.

(48)

negatif, serta memiliki nilai-nilai positif terutama pada saat stres tersebut

menawarkan suatu perolehan yang memiliki potensi (Robbin, 2003).

Selye (dalam Sunaryo, 2004), mengemukakan stres adalah respon menusia

yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada didalam

dirinya. Cornelli juga menambahkan bahwa stres adalah suatu gangguan pada

tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang

mempengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu didalam

lingkungan tersebut (Taylor, 2006).

Menurut Anoraga (2006), menyatakan bahwa stres merupakan suatu

bentuk tannggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu

perubahan dilngkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan

dirinya terancam (fight or flight respone). Hellen dan Tindle (dalam Wobowo,

2008) menyatakan stres dapat mempengaruhi inidividu, masyarakat, dan

organisasi atau perusahaan. Menurut Colman (dalam Nasir & Muhith, 2011), stres

merupakan suatu ketegangan yang disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi,

pekerjaa atau keadaan, peristiwa, atau pengalaman yang sulit untuk mengelola

atau bertahan.

Berdasarkan beberapa pengetian tentang stres di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang direspon

seseorang terhadap keadaan atau perubahan yang terjadi dilingkungan (keluarga

maupaun pekerjaan) yang dirasakan menganggu dan membuat individu merasa

(49)

2.2.2 Pengertian Stres Kerja

Stres kerja menurut Greenberg (2004), adalah kombinasi dari

sumber-sumber stres pada pekerjaan, karakteristik individu, dan stresor ekstra oraganisasi.

Interaksi stresor kerja dengan karakteristik individu, merupakan suatu bagian yang

penting ditempat kerja, karakteristik ini termasuk: tingkat kecermasan dan

neurotik pekerjaan, toleransi terhadap ambiguitas, dan pola kepribadian. Stres

kerja dapat dimaksudkan sebagai suatu persepsi dari tenaga kerja akan adanya

ancaman atau tantangan yang menggerakkan, menyiagakan atau membuat aktif

dirinya. Tenaga kerja dapat merasakan lingkungan kerjanya sebagai suatu

ancaman atau suatu tantangan (Anoraga, 2006).

Menurut Invancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2006), medefinisikan

stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan

atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, intuisi, atau kejadian

eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik

secara berlebihan pada seseorang. Dalam definisi lain, Behr dan Newman (dalam

Luthans, 2006), menyatakan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari

interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan

manusia yang memaksa mereka menyimpang dari fungsi normal mereka.

Menurut Fraser (dalam Anoraga, 2009), mengemukakan stres kerja adalah

stres yang timbul karena adanya perubahan dalam keseimbangan sebuah

kompleksitas antara manusia-mesin dan lingkungannya. Fraser mengelompokkan

dua macam pekerjaan yang sedikit banyak dapat menimbulkan stres, yakni

(50)

pekerjaan yang terutama menuntut keterampilan atau kemahiran (pekerjaan

dengan keterampilan).

Menurut Kitcel (dalam Wibowo, 2008), stres kerja merupakan respons

fisik dan emosional padakondisi kerja yang berbahaya, termasuk lingkungan

dimana pekerjaan memerlukan kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja

yang lebih banyak. Stres yang terjadi ditempat kerja menyebabkan organisasi

menanggung beban: (1) rendahnya kualitas pelayanan, (2) pergantian staf yang

tinggi, (3) reputasi perusahaan menjadi buruk, (4) citra perusahaan menjadi buruk,

(5) ketidakpuasan pekerja (Wibowo, 2008).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan

bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi negatif dimana seseroang mengalami

ketegangan yang mempengaruhi aspek kognisi, afeksi, fisiologis, interpersonal

dan organisasional pada pekerja yang disebabkan karena adanya tuntutan dalam

menyelesaikan suatu tugas dilingkungan kerja.

2.2.3 Dampak Stres Kerja

Menurut Rice (dalam Waluyo, 2009), pada umunya stres kerja lebih

banyak merugikan karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan,

konsekuensi tersebut dapat menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi,

frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan

dengan aktifitas kerja saja, tetapi dapat memperluas ke aktivitas lain diluar

pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang,

(51)

Stres dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu.

Konsekuensi-konsekuensi negatif berbentuk perilaku, bersifat psikologis, atau medis. Dari segi

perilaku, misalnya menimbulkan tindakan-tindakan yang merusak dan berbahaya,

seperti merokok, minum alkohol, makan terlalu banyak, dan terlibat narkoba.

Perilaku-perilaku lain dipicu oleh stres adalah kecelakaan, kekerasan terhadap diri

sendiri atau orang lain, serta gangguan makan (Griffin, 2003).

Rice (dalam Safaria & Saputra, 2009), menggolongkan reaksi stres bagi

individu menjadi beberapa gejala, yaitu:

1. Gejala fisiologis, berupa keluhan seperti sakit kepala, konstipasi, diare, sakit

pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, gangguan

pencernaan, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan semangat.

2. Gejala emosional, berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah,

gugup, takut, mudah tersinggung, sedih dan depresi.

3. Gejala interpersonal, berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis,

agresif, minder, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan mudah

mempersalahkan orang lain.

4. Gelaja oraganisasional, berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/kuliah,

menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja, ketidakpuasan

kerja dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.

2.2.4 Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja

Daft (2003), mengidentifikasi stresor kerja yang menempatkannya dalam

(52)

1. Tuntutan tugas adalah stresor yang muncul dari tugas yang dituntut oleh

seseorang yang memegang pekerjaan tertentu. Beberapa jenis keputusan

sifatnya menimbulkan stres: yang dibuat dibawah tekanan waktu, yang

mempunyai konsekuensi serius, dan yang harus dibuat dari informasi yang

tidak lengkap.

2. Tuntutan fisik adalah stresor yang dikaitkan dengan keadaan dimana individu

bekerja.

3. Tuntutan peran adalah tantangan yang dikaitkan dengan peran, ini adalah

serangkaian perilaku yang diharapkan seseorang karena posis orang tersebut

dalam kelompok. Beberapa orang menghadapi ambiguitas peran (role

ambiguty), yang berarti mereka tidak pasti tentang perilaku apa yang

diharapkan dari mereka.

4. Tuntutan interpersonal merupakan stresor yang dikaitkan dengan hubungan

dalam organisasi. Walaupun dalam beberapa kasus hubungan dalam

interpersonal dapat mengurangi stres, hal ini juga dapat menjadi sumber stres

ketika kelompok menekan individu atau ketika menjadi konflik.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), menyatakan ada empat jenis utama

faktor-faktor dilingkungan kerja yang menyebabkan stres, yaitu:

1. Tingkat individual, yaitu stresor yang bekaitan dengan tugas-tugas kerja

seseorang, antara lain: tuntutan pekerjaan, kelebihan beban kerja, ambiguitas

peran, pengendalian yang dirasakan atas peristiwa yang muncul dalam

(53)

2. Tingkat kelompok, yeitu disebabkan oleh dinamika kelompok dan perilaku

manajerial. Para manajer menciptakan stres pada karyawan dengan (1)

menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, (2) gagal memberikan dukungan,

(3) menunjukkan kurang kepedulian, (4) memberikan arahan yang tidak

memadai, (5) menciptakan suatu lingkungan dengan produktivitas yang

tinggi, (6) memfokuskan pada hal-hal negatif sementara itu mengabaikan

kinerja yang baik.

3. Tingkat organisasional, meliputi kebudayaan opraganisasi, stuktur, teknologi,

dan pengenalan perubahan dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, lingkungan

yang tekanan tinggi menempatkan permintaan kerja yang terus-menerus pada

karyawan yang akan menyalakan respos stres.

4. Ekstra organiasional, adalah stresor yang disebabklan oleh faktor diluar

organiasi. Sebagai contoh, konflik yang berkaitan dengan penyeimbangan

kehidupan karier dan keluarga seseorang sangatlah membuat stres.

2.2.5 Sumber Stres dalam Keperawatan

Menurut Abraham dan Shanley (dalam Sunaryo, 2004) menemukan lima

sumber stres dalam keperawatan, yaitu:

1. Beban kerja yang belebihan, misalnya merawat terlalu banyak pasien,

mengalami kesulitan dalam mempertahankan standar yang tinggi, merasa

tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman sekerja, dan

(54)

2. Kesulitan menjalin hubungan dengan staff lain, misalnya mengalami konflik

dengan teman sejawat, mengetahui orang lain tidak menghargai sumbangsih

yang dilakukan, dan gagal membentuk tim kerja dengan staff.

3. Kesulitan dalam merawat pasien kritis, misalnya kesulitan dalam

menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola prosedur atau tindakan

baru, dan bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban dan tindakan cepat.

4. Berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien, misalnya bekerja dengan

dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan emosional pasien, terlibat

dalam ketidaksepakatan pada program tidankan, merasa tidak pasti sejauh

mana harus memberi informasi pada pasien atau keluarga, dan merawat

pasien sulit dan tidak kerja sama.

5. Merawat pasien yang gagal untuk membaik, misalnya pasien lansia, pasien

yang nyeri kronis, dan pasien yang meninggal selama merawat.

2.2.6 Tahapan Stres Kerja

Menurut Amberg (dalam Sunaryo, 2013), bahwa tahapan stres sebagai

berikut:

1. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu

bekerja yang besar dan kelebihan, maupun menyelesaikan pekerjaan tanpa

memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

2. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak

segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah

(55)

discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal

tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

3. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak

teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomia,

mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi

dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau

jatuh pingsan.

4. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu

bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan

menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola

tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta

timbul ketakutan dan kecemasan.

5. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan keluhan fisik dan

mental (phsycal and psychological axhaution), ketidakmampuan

menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan

berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan panik.

6. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda,

seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan

banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.

2.2.7 Mengelola Stres Kerja

Stres kerja dengan kadar sedikit atau banyak, tetap harus dikelola dengan

baik. Karena jika dibiarkan saja akan berpengaruh pada kinerja karyawan.

Gambar

Gambar 3.1.  Kerangka Kons
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Tabel 4.1. Aitem-aitem Pernyataan Skala Kecerdasan Emosi
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perawat Berdasarkan Karaktersitik Responden  di RSJ Prof
+4

Referensi

Dokumen terkait

Cahaya akan jatuh pada permukaan LDR Danakan mengakibatkan buzzer bekerja secara aktif dengan output berupa bunyi dengungan yang akan dihasilkan. hasil uji coba menunjukkan bahwa

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan laporan keuangan yang akurat adalah menyangkut pengakuan pendapatan, dalam hal ini adalah pendapatan premi asuransi

[r]

Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk membuat Animasi Gerhana Matahari yang dapat digunakan sebagai sarana informasi bagi semua kalangan umumnya dan khususnya siswa sekolah dasar

In Figure 14 ten façade planes of the Old Pinakothek with the detected window centre positions are shown. For evaluation the planes are divided into three groups: a)

Membentuk /menggambar bangun ruang gabungan sederhana serta mengitung volumenya. 6 / 1 Disediakan selembar kertas HVS/karton, siswa dapat:

Note that for simple scenes with small amounts of vegetation, the NDVI and entropy together can successfully remove most trees so subsequent ap- plication of the voting procedure

- Merangkai dengan benar; menjelaskan cara kerja tidak runtut; alat tidak berfungsi dengan baik; hasil yang dirangkai tidak