DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A.G. (2007). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ: Emotional Spritual Quotioent Beedasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : ARGA
Anonim. (2009). Undag-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Diakses 25 Mei 2015, Dari : http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-44-2009RumahSakit.pdf
Anoraga. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Atkinson. R.L. (2006). Pengantar Psikologi. 11th ed. Jakarta: Interaksara
Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Bahaudin, T. (2003). Brainware Management: Generasi Kelima Manajemen Manusia. Ed.4. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Cooper, R.K., & Sawaf, A. (2002). Executive EQ: Kecerdasan Emosi dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Penerjemah: Alex Tri Kantjono Wododo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Daft, R. (2003). Manajemen Edisi Kelima Jilid Dua. Jakarta: Erlangga
Goleman, D. (2000). Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting Daripada IQ. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
. (2000). Working With Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
. (2007). Emotional Intelligence: Emosional Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Greenberg, J.S. (2004). Comprehensive Stress Management. Eight Edition. New York: McGraw Hill
Griffin, R.W. (2003). Manajemen Edisi Tujuh Jilid Dua. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hude. (2006). Emosi Penjelajahan Religio-Psikologis tetang Emosi Manusia di dalam Alquran. Jakarta : Penerbit Erlangga
Kreitner & Kinicki. (2005). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat
Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi Edisi Sepuluh. Yogyakarta: Penerbit ANDI
Mangkunegara. P.A. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Maria, J., Landa, A., Zafra, E.L. (2007). The Relationship Beetwen Emotional Intelligence, Occupational Stress and Health In Nurses: A Ouestionnaire Survey. International Journal of Nursing Studies 45 888-901.
Martin, A.D. (2003). Emotional Quality Management Refleksi, Revisi dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Penerbit ARGA
MenKes. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses 25 Mei 2015, Dari www.hukor.depkes.go.id/.../KMK%20No.%20148% 20ttg%20Praktik%2...
Mubayidh. M. (2006). Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak Referensi Penting Bagi Para Pendidik dan Orang Tua. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar dan Teori. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Nggermanto, A. (2002). Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ dan SQ Secara Harmonis. Bandung: Penerbit Nuansa
Noorbakhns, S.N, Besharat, M.A., & Zarei, J. (2010). Emotional Intellegence and Coping Styles With Stress. Journal Procedia Social and Behaviorm Sciences 5 818-822.
Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nurhidayah, R.E. (2006). Pentingnya Kecerdasan Emosional Bagi Perawat. Universitas Sumatera Utara: Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 1, Mei 2006. Diakses 28 Desember 2015, dari
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/…/ruf-mei20062%20(5).pdf Nursalam. (2013). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Diponegoro. Diakses: 21 Mei 2015, Dari : http://eprints.undip.ac.id/29408/1/Skripsi008.pdf
Rice, Philip L. (2002). Stress and Health (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishing Company
Riskesdas. (2013). Kesehatan Jiwa. Diakses 20 Mei 2015, Dari : http://Kesehatan Jiwa Menurut Riskesdas 2013–Rsj Grhasia.html
Robin, S.P. (2003). Perilaku Organisasi (Organizational Behavior). Jakarta: PT. Indeks Gramedia
. (2008). Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Jilid 2 Edisi Keduabelas. Jakarta: Salemba Empat
Safaria, T., & Saputra, N.E. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: Gramedia
Stuart, G.W., & Sundeen, S.J. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3 Ali Bahasa Achir Yani, S. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Suharsono. (2005). Melejitkan IQ, IE dan IS. Jakarta: Inisiasi Press
Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
. (2013). Psikologi Untuk Keperawatan Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sunyoto, D., dan Setiawan, A. (2013). Buku Ajar Statistik Kesehatan: Parametrik, Non Parametrik, Validitas, dan Reliabilitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
Suryabrata, S. (2005). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: CV. Andi Offset
Taylor, S.E. (2006). Health Psychology. New York: McGraw Hill Inc
Waluyo, S.E. (2009). Psikologi Tahnik Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu
Weisinger, H. (2006). Emotional Intelligence At Work. Penerjemah: Roro Ratih Ambarwati. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
Wijono, S. (2011). Psikologi Industri dan Organisasi: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau visualisasi
konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan diukur atau diteliti. (Notoatmodjo,
2010). Pada proses penelitian ini dapat dilihat bagaimana pengaruh hubungan
kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Variabel independent dalam
penelitian ini adalah kecerdasan emosi dan stres kerja perawat sebagai variabel
dependent.
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional No Variabel/
Sub Variabel
Definisi
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
korelasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kecerdasan perawat
dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem
Provinsi Sumatera Utara.
4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi
Menurut Iskandar (2010), populasi marupakan seluruh subjek penelitian.
Adapun populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi
Sumatera Utara dengan jumlah 126 perawat.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil secara representatif
atau mewakili populasi yang bersangkutan atau bagian kecil yang diamati
(Iskandar, 2010). Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan teknik non probability sampling yaitu
pengambilan sampel yang dilakukan secara tidak acak dari populasi. Pada
penentuan sampel ini peneliti menggunakan tehnik purposive sampling yaitu
suatu tehnik menentukan sampel berdasarkan kriteria yang diinginkan oleh
peneliti. Adapun kriteria sampel yang diinginkan oleh peneliti adalah sebagai
1. Perawat yang bekerja di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem, Provinsi Sumatera Utara.
2. Lama bekerja
3. Perawat yang sedang tidak hamil
4. Perawat dengan kondisi fisik yang sehat
5. Perawat yang tidak sedang cuti
6. Perawat yang bersedia menjadi responden
Sedangkan pengambilan jumlah sampel mengacuh pada rumus Slovin
(Notoatmodjo, 2010) :
n = + N dN 2
Keterangan:
n = besar sampel
N = besar populasi
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diingikan 10% (0.10)
Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel perawat yang dapat
dijadikan responden, adalah :
� = + .
� = + .
� = .
n = 55.75 digenapkan menjadi 56 responden
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Pengambilan lokasi penelitian ini
dikarenakan tidak seimbangnya rasio perawat dan berdasarkan dari wawancara
pada 7 orang perawat serta belum pernah dilakukan penelitian yang berjudul
“Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stes Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara”. Waktu penelitian
dilakukan pada tanggal 30 November – 04 Desember 2015.
4.4 Pertimbangan Etik
Sebelum melakukan penelitian, peneliti menunjukkan surat permohonan
kepada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU untuk mendapatkan
persetujuan penelitian. Penelitian dilakukan setelah mendapatkan persetujuan
Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU pada tanggal 7
April 2015. Setelah memperoleh persetujuan peneliti memberikan surat ijin
pengambilan data awal yang terdiri dari jumlah keseluruhan perawat dengan
status PNS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem
Provinsi Sumatera Utara dan jumlah total pasien yang dirawat selama tahun 2014.
lengkap tentang tujuan penelitian. Hal ini responden mempunyai hak untuk
berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Apabila responden memilih untuk
berpartisipasi, maka calon responden akan menandatangani lembar persetujuan.
Kemudian peneliti memberikan kuesioner percobaan kepada perawat sebagai uji
reliabilitas dari instrumen penelitian yang akan dilaksanakan nanti.
Hal ini peneliti harus dapat meyakinkan responden bahwa partisipasinya
dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak dipergunakan dalam
hal-hal yang dapat merugikan calon responden dalam bentuk apapun hanya akan
dipergunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian ini tidak
menimbulkan resiko fisik atau psikis. Kerahasiaan calon responden merupakan
hal utama yang dijamin kerahasiaannya dengan tidak menuliskan nama
(anonymity) dan semua cacatan atau data responden akan dimusnahkan setelah
proses penelitian berakhir (confidentiality). Data-data yang diperoleh dari
responden hanya digunakan sebagai kepentingan penelitiaan (Nursalam, 2013).
4.5 Instrument Penelitian 4.5.1 Kuesioner Demografi
Kuesioner data demografi memberikan data mengenai responden meliputi:
nama, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, lama kerja, penghasilan
bulanan. Kuesioner ini hanya digunakan untuk melihat distribusi demografi dari
responden saja dan tidak akan dianalisa terhadap hubungan kecerdasan emosi
dengan stres kerja.
4.5.2 Kuesioner Kecerdasan Emosi
Kuesioner ini bertujuan untuk melihat gambaran kecerdasan emosi
Provinsi Sumatera Utara. Kuesioner ini diadopsi dari kuesioner Yurista (2013).
Tiap aitem yang disediakan pada skala kecerdasan emosi terdiri dari Sangat
Sesuai (SS), Sesuai (S). Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai
(STS). Pernyataan pada skala ini terdiri dari aitem positif dan aitem negatif. Aitem
positif adalah aitem yang mendukung atau memihak secara positif terhadap satu
pernyataan tertentu, sedangkan aitem negatif adalah pernyataan yang
menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap pernyataan tertentu.
Bobot penilaian untuk pernyataan kecerdasan emosi dengan aitem positif yaitu SS = 5, S = 4, N = 3, TS = 3 dan STS = 1. Sedangkan bobot pernyataan
negatif yaitu, SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4 dan STS = 5.
Tabel 4.1. Aitem-aitem Pernyataan Skala Kecerdasan Emosi
No. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Item Total
Positif Negatif
1. Kesadaran diri 2,8,12 1,5 5
2. Pengaturan diri 4,6,18 3,7 5
3. Motivasi diri 10,14,16 9,11,21,23 7
4. Empati 20,24 13,19 4
5. Membina hubungan dengan orang lain 17,22,26 15,25,27 6
Kategori kecerdasan emosi perawat di Rumah Sakit Prof. Dr. Muhammad
Ildrem Provinsi Sumatera Utara dibuat berdasarkan rumus statistik menurut
Sunyoto dan Setiawan (2013). Kategori Kecerdasan Emosi adalah sebagai berikut:
p = Nilai Tertingi − Nilai TerendahBanyak Kelas = − =
Kecerdasan Emosi Tinggi = 96 - 130
Kecerdasan Emosi Sedang = 61 - 95
Kecerdasan Emosi Rendah = 26 – 60
4.5.3 Kuesioner Stres Kerja
Kuesioner ini bertujuan untuk melihat gambaran stres kerja perawat di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi
Sumatera Utara. Kuesioner ini diadopsi dari kuesioner Yurista (2013). Tiap aitem
yang disediakan pada skala stres kerja terdiri dari lima pilihan jawaban yang
terdiri dari Sangat Sering (SS), Sering (S), Kadang-Kadang (K), Tidak Sering
(TS), dan Sangat Tidak Sering (STS). Pernyataan pada skala ini terdiri dari aitem
positif dan aitem negatif. Aitem positif adalah aitem yang mendukung atau
memihak secara positif terhadap satu pernyataan tertentu, sedangkan aitem negatif
adalah pernyataan yang menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap pernyataan
tertentu.
Bobot penilaian pernyataan stres kerja untuk aitem positif yaitu SS = 5, S
= 4, K = 3, TS = 2 dan STS = 1. Sedangkan untuk aitem negatif SS = 1, S = 2, K =
3, TS = 4 dan STS = 5.
Tabel 4.2. Aitem-aitem Pernyataan Skala Stres Kerja
Positif Negatif
1. Gejala Fisiologis 2,8,12 1,33 5
2. Gejala Emosional 4,6,18,20 3,7,15,19 8
3. Gejala Kognitif 10,14,16,22 9,11,21 6
4. Gejala Interpersonal 14,26,24,28 5,29, 31 7 5. Gejala Organisasional 30,32,23 17,13,25,27 7
Total 17 16 33
Kategori stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Povinsi Sumatera Utara dibuat berdasarkan rumus statistik
menurut Sunyoto dan Setiawan (2013). Kategori stres kerja adalah sebagai berikut
:
� = Nilai Tertingi − Nilai TerendahBanyak Kelas = − =
Kategori Stres Tinggi = 33 - 76
Kategori Stres Sedang = 77 - 120
Kategori Stres Rendah = 121 – 165
4.6 Uji Validitas Instrumen
Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur
dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrument dapat dikatakan mempunyai
validitas tinggi apabila alat tersebut memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan
maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sebaliknya, tes yang menghasilkan
data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang
memiliki validitas rendah (Azwar, 2010).
Pada penelitian ini, peneliti mengadopsi instrumen kuesioner penelitian
penelitian ini telah baku. Hal ini juga peneliti melakukan konsultasi kepada dosen
pembimbing dalam pengadopsian instrumen penelitian.
4.7 Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya.
Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi tersebut sebagai pengukuran yang
reliabel. Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti tingat kepercayaan,
kehandalan, keajengan dan sebagainya (Azwar, 2010). Pengujian dalam penelitian
ini menggunakan teknik Alpha Cronbach.
Suatu alat tes dikatakan reliabel jika koefisien reliabilitas (rxx) yang
angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1.00. semakin tinggi
koefisien reliabiltas mendekati angka 1.00 berarti semakin tinggi reliabilitas.
Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin
rendah reliabilitasnya. Pada pengukuran psikologi, koefisien reliabilitas yang
mencapai angka rxx = 1.00 tidak pernah dijumpai (Azwar, 2010). Dalam
melakukan uji reliabilitas ini memberikan kepada 30 perawat selain responden
untuk melihat tingkat kehandalan dari alat ukur tersebut. Masing-masing uji
reliabiltas kecerdasan emosi terdiri dari 26 pernyataan yang dibagai dalam
pernyataan positif dan pernyataan negatif. Sedangkan uji reliabilitas stres kerja
terdiri dari 33 pernyataan yang dibagi dalam pernyataan positif dan pernyataan
negatif.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas kecerdasan emosi dengan menggunakan
cronbach’s alpha adalah 0.720 dan hasil uji reliabilitas stres kerja dengan
menggunakan cronbach’s alpha adalah 0.760. Artinya, aitem skala kecerdasan
4.8 Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :
1. Mengajukan permohonan ijin survey awal untuk melihat karakterisitk
perawat (populasi) yang akan dijadikan sampel penelitian.
2. Melakukan perhitungan untuk menentukan jumlah perawat yang akan
dijadikan samapel dengan menggunakan metode simple non random
sampling, dimana metode pengambilan sampel dengan tidak acak dari
keseluruhan populasi.
3. Mengajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian pada institusi
pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara).
4. Mengirimkan permohonan ijin pengambilan data yang diperoleh dari
Faklultas ke Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad
Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
5. Setelah mendapatkan persetujuan dari Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara, peneliti melaksanakan
pengumpulan data penelitian.
6. Menjelaskan pada calon responden tentang tujuan, manfaat, dan proses
pengisian kuesioner.
7. Calon responden diminta untuk menandatangani Informed Concent (surat
persetujuan.
8. Peneliti melakukan wawancara tersetruktur dengan menggunakan kuesioner
terhadap responden dan responden diberi kesempatan untuk bertanya pada
9. Selanjutnya, data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk dianalisa.
4.9 Analisa Data
4.9.1 Pengolahan Data
Proses pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Editing
Editing adalah kegiatan melakukan pemeriksaan kembali kuesioner yang
telah diisi oleh responden, meliputi kelengkapan isian dan kejelasan jawaban dan
tulisan.
2. Coding
Coding adalah proses mengubah data yang berbentuk huruf menjadi data
yang berbentuk data. Hal utama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah
memberikan kode untuk jawaban yang diberikan responden penelitian. Penilaian
kecerdasan emosi dan stres kerja perawat di Ruang Rawat Inap untuk jawaban
dengan aitem positif yaitu SS = 5, S = 4, N = 3, TS = 3 dan STS = 1.
Sedangkan bobot pernyataan negatif yaitu, SS = 1, S = 2, N = 3, TS = 4
dan STS = 5.
3. Processing
Processing yaitu memasukkan data kedalam komputer untuk diproses.
4. Cleaning
Cleaning yaitu melakukan pembersihan dan pengecekan kembali data
yang telah dimasukkan. Kegiatan ini diperlukan untuk mengetahui apakah ada
5. Komputerisasi
Komputerisasi digunakan untuk mengolah data dengan komputer.
4.9.2 Tehnik Analisa Data
Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisis untuk mendapatkan
hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat. Proses pengolahan data
dilakukan dengan :
1. Uji Univariat
Dilakukan pada masing-masing variabel yaitu mendeskripsikan tentang
kecerdasan emosi dan stres kerja. Hasil angket/kuesioner kecerdasan emosi dan
stres kerja disajikan dalam bentuk data. Analisis yang digunakan dalam bentuk
dsitribusi frekuensi dan persentase.
2. Uji Bivariat
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat dapat dilakukan dengan uji Pearson adalah uji statistik untuk
menguji dua variabel berdata kuantitatif yang berisi angka real yaitu data
sesunguhnya yang diambil langsung dari angka asli. Syarat-syarat lain untuk uji
korelasi Pearson adalah data berdistribusi normal.
a. Jika p value ≤ 0,01 maka hasil uji dinyatakan sangat signifikan. b. Jika p value > 0,01 tetapi < 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan.
c. Jika p value > 0,05 maka hasil uji dinyatakan tidak signifikan (Hastono,
2001).
Untuk mengukur keeratan hubungan dapat dilihat berdasarkan besaran
angka, yaitu:
b. 0,20 - 0,399 : Tingkat hubungan rendah
c. 0,40 - 0,599 : Tingkat hubungan sedang
d. 0,60 - 0,799 : Tingkat hubungan kuat
e. 0,80 - 1,00 : Tingkat hubungan sangat kuat (Sugiyono, 1999).
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 56 responden. Pengumpulan data ini dilakukan dari tanggal 30 november s/d 04 desember 2015.
5.1.1 Karakteristik Responden
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Perawat Berdasarkan
Karaktersitik Responden di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem (n = 56)
No. Karakteristik Responden Frekuensi (f) Persentase (%)
5. Penghasilan Per Bulan
Berdasarkan tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas jenis kelamin dari responden adalah laki-laki yaitu 37 responden (66,1%). Untuk usia kebanyakan berada pada rentang antara 26-35 tahun yaitu 31 responden (55,4%). Namun berdasarkan pendidikan terakhir responden Sarjana (S1) adalah tingkat pendidikan terbanyak yaitu 34 responden (60,7%). Sedangkan ditinjau dari masa kerja responden hampir seluruh responden bekerja lebih dari satu tahun yaitu sebanyak 54 (90,4%). Berdasarkan penghasilan per bulan responden nilai Rp.2.000.000-Rp.3.000.000 berada pada tingkat paling tinggi yaitu sebanyak 33 responden (58,9%).
5.1.2 Analisis Univariat
1. Kecerdasan Emosi
Tabel 5.2. Kategori Tingkat Kecerdasan Emosi Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara (n = 56)
Kecerdasan Emosi Frekuensi (f) Persentase (%)
Tinggi
Berdasarkan tabel 5.2 diatas dari 56 responden diketahui bahwa kecerdasan emosi pada perawat di Rumah Sakit Jiwa tidak ada yang berada pada kategori rendah, 46 responden (82,1%) pada kategori sedang dan 10 responden (17,9%) berada dalam kategori tinggi. Hasil kategori ini menunjukkan bahwa umumnya perawat di Rumah Sakit Jiwa memiliki kecerdasan emosi yang sedang.
Tabel 5.3. Kategori Tingkat Stres Kerja Perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara (n = 56)
Stres Kerja Frekuensi (f) Persentase (%)
Tinggi
Berdasarkan dari 56 subjek (perawat di Rumah Sakit Jiwa) diketahui bahwa stres kerja pada perawat Rumah Sakit Jiwa sebesar 18 perawat (32,1%) pada kategori rendah dan 38 perawat (67,9%) pada kategori sedang. Sementara tidak terdapat perawat dalam katergori stres tinggi.
5.1.3 Analisis Bivariat
1. Uji Normalitas
Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan menggunakan tehnik Kolmogorov-Smirnov (K-S Z) dengan bantuan program SPSS (Statistical Product and Solution) 18.0
for Windows. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal dan tidaknya suatu
sebaran adalah apabila signifikansi lebih besar dari 0.05 (p > 0.05) maka sebaran dinyatakan normal dan sebaliknya jika (p < 0.05) maka sebaran dinyatakan tidak normal. Hal ini dilakukan untuk menentukan tehnik statistik yang digunakan dalam penelitian ini.
Hasil uji normalitas yang dilakukan pada 56 responden menunjukkan pada variabel kecerdasan emosi memiliki sebaran yang normal (K-S Z = 0.681, dengan p = 0.742 > 0.05), maka data dinyatakan terdistribusi normal.
2. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara
Tabel 5.4. Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara
٭٭. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Berdasarlan tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa nilai korelasi (ρ) yang didapat
adalah -0.598 dengan nilai signifikan (p) sebesar 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat dengan kekuatan hubungan sedang. Berdasarkan analisa statistik juga diperoleh nilai significance (p) sebesar 0.000 dimana nilai ini lebih kecil dari level of significance (α) sebesar 0.05 yang berarti bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
5.1.4 Analisis Aspek Kecerdasan Emosi
Setelah melakukan uji hipotesis untuk melihat hubungan kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat, penelitian ini juga malakukan analisis aspek pada variabel kecerdasan emosi untuk melihat aspek manakah yang sangat berkontribusi terhadap stres kerja perawat. Berikut merupakan hasil analisis variabel aspek kecerdasan emosi :
1. Kecerdasan Emosi
Tabel 5.5. Korelasi Aspek Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja Perawat di RSJ Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara
No. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Korelasi dengan
Variabel Stres Kerja Signifikansi
Korelasi antara aspek kesadaran diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar 0.301 dengan p = 0.24 (p > 0.05). Artinya, terdapat hubungan positif dan tidak signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek kesadaran diri memiliki nilai korelasi rendah dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
2. Pengaturan Diri
Korelasi antara aspek pengaturan diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil -0.522 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini berarti bahwa aspek pengaturan diri memiliki nilai korelasi yang sedang dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
3. Memotivasi Diri
Korelasi antara aspek memotivasi diri dengan variabel stres kerja dengan menggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar -0.680 dengan p = 0.000 (p < 0.01). Artinya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja. Hal ini bahwa aspek memotivasi diri memilki nilai korelasi yang kuat dalam menurunkan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
4. Empati
Korelasi antara aspek empati dengan variabel stres kerja dengan emnggunakan rank correlation test dari Pearson menunjukkan hasil sebesar -0.314 denan p = 0.18.
5. Membina Hubungan dengan Orang Lain
5.2 Pembahasan
5.2.1 Gambaran Tingkat Kecerdasan Emosi
Berdasarkan hasil analisis kecerdasan emosi perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara secara univariat bahwa mayoritas kecerdasan emosi perawat berada pada kategori sedang. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman (2007), bahwa pikiran emosional dan rasional umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat sehingga melengkapi cara-cara dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan dalam menjalani kehidupan duniawi. Perawat sangat penting memiliki kecerdasan emosional disamping pengetahuan ilmiah dan keterampilan karena layanan perawatan yang bermutu tidak hanya berorientasi pada pemberian obat-obatan atau tindakan medis lainnya namun perilaku dan perlakuan yang diberikan perawat selama proses penyembuhan juga penting.
Menggunakan emosi yang cerdas membuat emosi seseorang menjadi bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut
5.2.2 Gambaran Tingkat Stres Kerja
Berdasarkan hasil analisis stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara bahwa mayoritas stres perawat berada pada kategori sedang. Hal ini berarti tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara berada pada tingkat yang tidak terlalu membahayakan baik terhadap perawat maupun instansi tempat bekerja yakni Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem. Meskipun tidak ada perawat yang memiliki tingkat stres yang tinggi, maka upaya penaggulangan dan pencegahan terjadinya stres harus tetap diperhatikan dengan melihat faktor-faktor penyebab terjadinya stres kerja.
Hal ini tingkat stres pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem mungkin dipengaruhi oleh faktor lain seperti ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Robins (2002), yang mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang menjadi sumber potensial dari stres kerja bagi perawat, yaitu : (1) faktor lingkungan, kondisi lingkungan tempat bekerja dapat mempengaruhi stres kerja pada perawat. Kondisi tersebut meliputi adanya ketidakpastian ekonomi, politik dan teknologi dirumah sakit. (2) faktor organisasi, faktor yang ada di organisasi dapat memicu stres yaitu, tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi, struktur oraganisasi, kepemimpinan organisasi, dan tahap hidup organisasi dirumah sakit. (3) faktor individual perawat, faktor individual merupakan faktor yang mencakup kondisi dalam kehidupan pribadi perawat. Permasalahan keluarga, ekonomi yang dialami perawat dapat mempengaruhi terjadinya stres kerja.
5.2.3 Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Stres Kerja
Hasil analisis hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara terdapat nilai korelasi sebesar -0.598. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja dengan kekuatan hubungan sedang. Berdasarkan analisa statistik juga diperoleh nilai significance (α) sebesar 0.000 dimana nilai ini lebih kecil dari level of significance (α) sebesar 0.01. hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
mengendalikan hal-hal negatif seperti mudah marah, mudah tersinggung sampai tindakan agresif baik secara fisik maupun verbal. Salovey dan Meyer (dalam Goleman 2007), juga menyatakan kecerdasan emosi berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau emosi baik dirinya maupun orang lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oryza dan Suseno (2009), menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja. Pendapat lainnya yang disampaikan oleh Rosalina (2008), mengatakan bahwa kecerdasan emosi pada perawat akan sangat menentukan perilaku melayani pasien, karena perawat yang memiliki kecerdasan emosi yang baik dapat mengontrol emosi-emosinya pada saat berinteraksi langsung dengan pasien maupun keluarganya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yurista (2013), bahwa rendahnya kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan stres kerja pada perawat. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Maria, Landa, Zafra, dkk (2007), yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi secara signifikan dapat menurunkan stres kerja pada perawat. Perawat sebagai profesi yang berorientasi kepada pelayanan jasa memerlukan suatu keterampilan dalam mengelola emosinya. Keterampilan penguasaan emosi sangat berpengaruh terhadap kinerja. Oleh karena itu, kecerdasan emosi memberikan kontribusi dalam mengatur suasana hati dan menjaga agar stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir sehingga individu mampu untuk menyelesaikan konflik serta menjaga kinerja tetap stabil (Nurhidayah, 2006).
memerlukan pemantauan serta tindakan yang terus menerus sehingga dibutuhkn kecerdasan emosi yang tinggi untuk mengantisipasi stres kerja di Rumah Sakit Jiwa.
Berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah r2 = 0.306 (31%) dan 69% lainnya bisa
disebabkan oleh variabel-variabel lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Adapaun variabel-variabel lain yang berhubungan dengan stres kerja selain kecerdasan emosi diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Noorbakhsh, Besharat & Zarei (2010), dengan melibatkan variabel pemilihan strategi coping. Noorbakhsh, Besharat & Zarei menyebutkan bahwa stres kerja dapat diturunkan apabila individu memiliki strategi coping yang sesuai dengan dirinya baik itu dengan coping yang berfokus pada masalah
(problem focused coping) dan (emotion focused coping). Fungsi dari coping adalah untuk
mengurangi tekanan atau meningkatkan keterampilan dalam manajemen stres. Variabel lainnya seperti adanya dukungan sosial, locus of control, kepribadian tipa A dan B serta harga diri yang dikemukakan oleh Wijono (2011), variabel-variabel tersebut tersebut berkorelasi dalam menurunkan stres kerja yang dihadapi oleh individu. Wijono (2011), juga menyatakan pemberian konseling atau psikoterapi bisa digunakan untuk membantu individu menemukan masalah dan sumber-sumber ketegangan yang dapat menimbulkan stres kerja, menolong mengubah pandangan seseorang terhadap kondisi, situasi atau peristiwa yang menimbulkan stres kerja dan mengembangkan berbagai alternatif untuk menentukan strategi yang paling tepat dalam menghadapi stres kerja.
mampu terhubung dengan emosi-emosinya dan pikiran-pikirannya sehingga ia mampu menamakan setiap emosi yang muncul.
Menurut Goleman (2007), dengan adanya kemampuan individu memotivasi diri ketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam dirinya. Maka kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan, tidak putus asa dan kehilangan harapan ketika menghadapi masalah.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Perlu peneliti sampaikan bahwa pelaksaan penelitian ini peneliti rasakan mengandung keterbatasan-keterbatasan antara lain : penelitian inu menggunakan subjek yang terbatas yaitu hanya pada 56 orang perawat jiwa yang berada diruang rawat inap kemudian distribusi aitem skala kecerdasan emosi dan stres kerja yang tidak proporsional sehingga mempunyai peluang untuk mempengaruhi hasil penelitian ini. Berdasarkan teori yang ada, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya stres kerja pada perawat, namun pada penelitian ini hanya sebatas mengkaji hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara.
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis univariat bahwa 46 responden (82,1%) tingkat kecerdasan emosi pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara berada pada kategori sedang dan tingkat stres kerja berada pada kategori sedang yakni 38 responden (67,9%). Sedangkan berdasarkan hasil analisis bivariat bahwa penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara dengan koefisien (r) = -0.598 dengan p = 0.000 (p < 0.001). Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi perawat maka semakin tinggi tingkat stres kerja. Berdasarkan hasil analisi menunjukkan bahwa sumbangan relatif antara kecerdasan emosi dengan stres kerja adalah r2 = 0.357 atau 36% dan 64% lainnya
bisa disebabkan oleh variabel-variabel lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat aspek kecerdasaen emosi manakah yang memberikan kontribusi paling besar terhadap rendahnya stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek motivasi diri merupakan aspek yang memiliki kontribusi terbesar terhadap penurunan stres kerja. Hal ini berarti bahwa perawat akan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila ia mampu untuk memotivasi diri setiap stres yang timbul sehingga dapat mengubah perilakunya kearah yang positif atau lebih baik.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti akan memberikan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak lain.
Bagi perawat rumah sakit jiwa setelah terbukti ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan stres kerja perawat , maka diharapkan bagi perawat yang memiliki kecerdasan emosi ayang tinggi agar dapat mempertahankan kondisi tersebut, yakni sebagai suatu langkah menghadapi berbagai situasi yang terjadi ditempat kerja kususnya dalam menghadapi stres ditempat kerja yaitu dengan kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan membina hubungan dengan orang lain
6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan
Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provinsi Sumatera Utara perlu mengalokasikan dana untuk kegiatan merancang program penelitian kecerdasan emosi yang difokuskan pada bidang Self Awareness, Self Management, Self Motivation dan Anger Management bagi perawat yang memilik kecerdasan emosi rendah yang bertujuan
untuk membantu perawat dalam melatih kemampuan mengontrol emosi sehingga perawat dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus menimbulkan stres yang nantinya akan menghambat kinerja perawat dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. Selanjutnya bagi perawat yang memiliki stres kerja yang tinggi perlu dilakukan seuatu upaya untuk mengurangi stres kerja seperti memberikan pelatihan taknik relaksasi. 6.2.3 Bagi Penelitian Keperawatan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Emosi
Terdapat berbagai definisi mengenai emosi, salah satunya adalah Lazarus
dikutip dari Hillman dan Drever (dalam Hude, 2006) yang mendefinisikan emosi
merupakan bentuk yang kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan
fisik dari karakter yang luas-dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar.
Sedangkan dari sudut mental adalah suatu keadaan yang senang atau cemas, yang
ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan menuju bentuk nyata
dari suatu tingkah laku. Jika emosi itu sangat kuat aka menjadi sejumlah
gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat disasosiasi dan kecenderungan
terhadap tindakan yang bersifat tidak terpuji.
Emosi adalah apa yang tengah dirasakan oleh penerima ketika menerima
suatu komunikasi akan mempengaruhi cara ia menerjemahkannya. Pesan yang
sama yang diterima pada saat anda marah atau bingung tak jarang diterjemahkan
secara berbeda dari ketika anda sedang berbahagia. Emosi-emosi ekstrim seperti
rasan girang alang bukan kepalang atau depresi memiliki potensi yang sangat
besar untuk menghambat komunikasi yang efektif. Dalam keadaan semacam itu,
kita cenderung mengabaikan proses pemikiran rasional dan objektif kita serta
menggantikannya dengan penilaian emosional.
Menurut Maramis (dalam Sunaryo, 2013), mendefinisikan emosi adalah
fisiologis, dan biasanya berlangsung tidak lama. Menurut Walgio (dalam Sunaryo,
2013), mengungkapkan bahwa emosi merupakan suatu keadaan perasaan yang
melampaui batas sehingga dapat mengganggu hubungan seseorang dengan
lingkungan sekitarnya, seperti ketakutan, kecemasaan, depresi, dan kegembiraan.
Emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada
persepsi, sikap, dan tingkah laku mengejawantah dalam bentuk ekspresi
tertentu.Emosi dirasakan secara psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa
dan fisik. Ketika emosi bahagai meledak-ledak, ia secara psikis member kepuasan,
tapi secara fisiologis membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa
ringan, juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Namum, hal yang
disebutkan ini tidak spesifik terjadi pada semua orang dalam seluruh kesempatan.
Kadang kalah orang bahagia, tetapi justru orang meteskan air mata atau kesedihan
yang sama tidak membawa kepedihan yang serupa (Hude, 2006).
Menurut Agustian (2005), emosi adalah bahan bakar yang tidak
tergantikan bagi otak agar mampu melakukan penelaran yang tinggi. Emosi
menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif, dan transformer. Menurut Goleman
(2000), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
bilogis dan psikologis dan kecenderungan untuk bertindak. Maramis (dalam
Sunaryo, 2004), menyatakan emosi adalah manifestasi perasaan atau afek keluar
dan disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang emosi di atas, maka dapat
perubahan pada diri seseorang secara fisiologis dan psikologis karena adanya
perasaan yang khas serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
2.1.2 Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali digunakan pada tahun 1990 oleh
Salovey dan Meyer yang kemudian dipopulerkan oleh Goleman. Cooper dan
Sawaf (2001), berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan
merasakan, memahami dan menerapkan secara efektif daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang menusiawi.
Suharsono (2004), juga menambahkan kecerdasan emosional tidak hanya
mengendalikan fungsi diri, tetapi juga untuk mencerminkan kamampuan dalam
mengelola ide, konsep, karya maupun produk.
Menurut Salovey dan Meyer (dalam Mubayyidh, 2006), mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan
kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi dirinya maupun emosi orang
lain, dimana kemampuan ini digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan
perilakunya.
Weisinger (2006), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah
menggunakan emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi menjadi
bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran
sehingga terdapat hasil yang meningkat dalam diri seseorang tersebut. Menurut
Goleman (2007), menjelaskan bahwa kecerdasan emosi sebagai kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam
mengenali, memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, mengendalikan
perasaannya sendiri, menjalin hubungan serta memotivasi diri sendiri untuk
menjadi lebih baik.
2.1.3 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Goleman (2007), menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi
dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskan dan memperluas kemampuan
tersebut kedalam lima aspek utama yaitu:
1. Kesadaran diri
Kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses
yang terjadi didalam dirinya, perasaan, pikiran, dan latar belakang dari
tindakannya. Individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya dan
pikiran-pikirannya sehingga ia mampu menamakan setiap emosi yang muncul. Aspek ini
merupakan dasar dari seluruh aspek-aspek lainnya dimana kesadaran diri akan
membantu tercapainya aspek-aspek yang lainnya. Menurut Meyer (dalam
Goleman, 2007), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun
pikiran tantang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah
larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.Kesadaran diri memang belum
menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting
2. Pengaturan diri
Kemampuan individu untuk mengelola, menyeimbangkan emosi-emosi
yang dialaminya, dan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan
tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri.
3. Motivasi
Kemampuan individu untuk memotivasi diri ketika diri berada didalam
keputusasaan, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimisme dalam
hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan, tidak putus
asa dan kehilangan harapan ketika menghadapi masalah.
4. Empati
Kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan
orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Empati berkaitan dengan
kemampuan individu untuk memahami perasaan terdalam orang lain sehingga
individu mampu untuk bertanggung rasa danmampu membaca, memahami
perasaan, pikiran orang lain hanya dari bahasa non-verbal, ekspresi wajah atau
intonasi orang tersebut.
5. Membina hubungan dengan orang lain
Kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan
orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut, dan mampu
menangani konflik-konflik interpersonal secara efektif. Individu yang memiliki
kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan senantiasa
merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2007).
Dalam buku Goleman yang kedua, Working whith emotional intelligence
Goleman (2000), merumuskan aspek yang mempengaruhi kecerdasan emosi
adalah sebagai berikut: kerangka kerja kecakapan emosi, kecakapan ini dibagi
menjadi dua yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.
1. Kecakapan pribadi, kecakapan ini menentukan bagaimana individu mengelola
diri sendiri, terdiri dari:
a. Kesadaran diri, yaitu mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber
daya, dan intuisi, meliputi:
1) Kesadaran emosi: mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.
2) Penilaian diri secara teliti: mengetahui kekuatan dan batas-batas diri
sendiri.
3) Percaya diri: keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
b. Pengaturan diri, yaitu mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri
sendiri, meliputi:
1) Kendali diri: mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang
merusak.
2) Sifat dapat dipercaya: memelihara norma dan intergritas.
3) Kewaspadaan: bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
4) Adaptibiltas: keluwesan dalam menghadapi perubahan.
5) Inovasi: mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pedekatan,
c. Motivasi, yaitu kecenderungan emosi yang mengantar dan memudahkan
peraihan sasaran, meliputi:
a) Dorongan prestasi: dorongan untuk menjadi lebih baik atau
memenuhi standar keberhasilan.
b) Komitmen: menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau
perusahaan.
c) Inisiatif: kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
d) Optimisme: kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada
halangan dan kegagalan.
2. Kecakapan sosial, yaitu kecakapan yang menentukan bagaimana individu
menangani suatu hubungan, tediri dari:
a. Empati, yaitu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan
orang lain:
1) Memahami orang lain: mengindera perasaan dan perspektif orang lain,
dan menunujukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
2) Orientasi pelayanan: mengantisipasi, mengenali dan berusaha
memnuhi kebutuhan pelanggan.
3) Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan
orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
4) Mengatasi keragaman: menumbuhkan perluang melalui pergaulan
dengan bermacam-macam orang.
5) Kesadaran politis: mampu membaca arus-arus emosi sebuah
b. Keterampilan sosial, yaitu kepintaran dalam mengunggah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain, terdiri dari:
1) Pengaruh : memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
2) Komunikasi: mengirim pesan pesan yang jelas dan meyakinkan.
3) Kepemimpinan: membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok
dan orang lain.
4) Katalisator perubahan: memulai dan mengelola perubahan.
5) Manajemen konflik: negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
6) Pengikat jaringan: menumbuhkan hubungan sebagai alat.
7) Kolaborasi dan kooperasi: kerja sama dengan orang lain demi tujuan
bersama.
8) Kemampuan tim: menciptakan sinergi kelopok demi memperjuangkan
tujuan bersama.
2.1.4 Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (dalam Nggermanto, 2002), kecerdasan emosi dapat
dikembangkan, lebih menantang, dan lebih prospek dibandingkan dengan
kecerdasan akademik sebab kecerderungan emosi memberi kontribusi lebih besar
bagi kesuksesan seseorang. Menurut Agustian (2007), faktor-faktor yang
berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:
1. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Faktor internal ini akan membantu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan
secara efektif. Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi erat kaitannya dengan
keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem
limbik.Sistem libik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls.
2. Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan,
dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada
pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan
berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja
tanpa dilatih.
3. Faktor Pendidikan
Mendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengolahnya melalui pendidikan.Poendidikan tidak
hanya berlangsung disekolah.Tetapi juga dilingkungan kerluarga dan masyarakat.
Goleman (2000), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya adalah:
1. Faktor LingkunganKeluarga
Lingkungan keluarga adalah guru dan sekolah pertama yang anak terima
dalam mempelajari emosi.Orang tua mempaunyai peranan penting dalam masa
2. Faktor Lingkungan Sekolah
Guru dan lingkungan sekolah mempunyai peranan penting dalam masa
perkembangan potensi anak dalam kecerdasan emosi, hal tersebut harus diimbangi
dengan teknik-teknik pengajaran dan sistem pendidikan yang tak hanya lebih
mendahulukan kecerdasan intelegensi dan mengabaikan perkembangan otak
kanan terutama perkembangan emosinya.
3. Faktor Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat berupa perhatian, pujian, nasihat, penerimaan
masyarakat, dan juga pengahargaan. Hal tersebut merupakan dukungan terhadap
psikis atau psikologis sehingga mampu meningkatkan aspek-aspek kecerdasan
emosi.
2.2 Stres Kerja
2.2.1 Pengertian Stres
Stres merupakan keadaan tegang secara biopsikososial karena banyak
tugas-tugas perkembangan yang dihadapan orang sehari-hari, baik dalam
kelompok sebaya, keluarga, sekolah, maupun pekerjaan (Smet, 1994). Rice
(2002), mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan
yang menyebabkan individu merasa tegang.
Menurut Robin (2003), stres merupakan kondisi dinamik yang didalamnya
seorang individu dihadapkan dengan suatu peluang (opportunity), kendala
(constraints), atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat
diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.
negatif, serta memiliki nilai-nilai positif terutama pada saat stres tersebut
menawarkan suatu perolehan yang memiliki potensi (Robbin, 2003).
Selye (dalam Sunaryo, 2004), mengemukakan stres adalah respon menusia
yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada didalam
dirinya. Cornelli juga menambahkan bahwa stres adalah suatu gangguan pada
tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang
mempengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu didalam
lingkungan tersebut (Taylor, 2006).
Menurut Anoraga (2006), menyatakan bahwa stres merupakan suatu
bentuk tannggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu
perubahan dilngkungannya yang dirasakan menganggu dan mengakibatkan
dirinya terancam (fight or flight respone). Hellen dan Tindle (dalam Wobowo,
2008) menyatakan stres dapat mempengaruhi inidividu, masyarakat, dan
organisasi atau perusahaan. Menurut Colman (dalam Nasir & Muhith, 2011), stres
merupakan suatu ketegangan yang disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi,
pekerjaa atau keadaan, peristiwa, atau pengalaman yang sulit untuk mengelola
atau bertahan.
Berdasarkan beberapa pengetian tentang stres di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang direspon
seseorang terhadap keadaan atau perubahan yang terjadi dilingkungan (keluarga
maupaun pekerjaan) yang dirasakan menganggu dan membuat individu merasa
2.2.2 Pengertian Stres Kerja
Stres kerja menurut Greenberg (2004), adalah kombinasi dari
sumber-sumber stres pada pekerjaan, karakteristik individu, dan stresor ekstra oraganisasi.
Interaksi stresor kerja dengan karakteristik individu, merupakan suatu bagian yang
penting ditempat kerja, karakteristik ini termasuk: tingkat kecermasan dan
neurotik pekerjaan, toleransi terhadap ambiguitas, dan pola kepribadian. Stres
kerja dapat dimaksudkan sebagai suatu persepsi dari tenaga kerja akan adanya
ancaman atau tantangan yang menggerakkan, menyiagakan atau membuat aktif
dirinya. Tenaga kerja dapat merasakan lingkungan kerjanya sebagai suatu
ancaman atau suatu tantangan (Anoraga, 2006).
Menurut Invancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2006), medefinisikan
stres kerja sebagai respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan
atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, intuisi, atau kejadian
eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik
secara berlebihan pada seseorang. Dalam definisi lain, Behr dan Newman (dalam
Luthans, 2006), menyatakan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari
interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan
manusia yang memaksa mereka menyimpang dari fungsi normal mereka.
Menurut Fraser (dalam Anoraga, 2009), mengemukakan stres kerja adalah
stres yang timbul karena adanya perubahan dalam keseimbangan sebuah
kompleksitas antara manusia-mesin dan lingkungannya. Fraser mengelompokkan
dua macam pekerjaan yang sedikit banyak dapat menimbulkan stres, yakni
pekerjaan yang terutama menuntut keterampilan atau kemahiran (pekerjaan
dengan keterampilan).
Menurut Kitcel (dalam Wibowo, 2008), stres kerja merupakan respons
fisik dan emosional padakondisi kerja yang berbahaya, termasuk lingkungan
dimana pekerjaan memerlukan kapabilitas, sumber daya atau kebutuhan pekerja
yang lebih banyak. Stres yang terjadi ditempat kerja menyebabkan organisasi
menanggung beban: (1) rendahnya kualitas pelayanan, (2) pergantian staf yang
tinggi, (3) reputasi perusahaan menjadi buruk, (4) citra perusahaan menjadi buruk,
(5) ketidakpuasan pekerja (Wibowo, 2008).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi negatif dimana seseroang mengalami
ketegangan yang mempengaruhi aspek kognisi, afeksi, fisiologis, interpersonal
dan organisasional pada pekerja yang disebabkan karena adanya tuntutan dalam
menyelesaikan suatu tugas dilingkungan kerja.
2.2.3 Dampak Stres Kerja
Menurut Rice (dalam Waluyo, 2009), pada umunya stres kerja lebih
banyak merugikan karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan,
konsekuensi tersebut dapat menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi,
frustasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan
dengan aktifitas kerja saja, tetapi dapat memperluas ke aktivitas lain diluar
pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang,
Stres dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu.
Konsekuensi-konsekuensi negatif berbentuk perilaku, bersifat psikologis, atau medis. Dari segi
perilaku, misalnya menimbulkan tindakan-tindakan yang merusak dan berbahaya,
seperti merokok, minum alkohol, makan terlalu banyak, dan terlibat narkoba.
Perilaku-perilaku lain dipicu oleh stres adalah kecelakaan, kekerasan terhadap diri
sendiri atau orang lain, serta gangguan makan (Griffin, 2003).
Rice (dalam Safaria & Saputra, 2009), menggolongkan reaksi stres bagi
individu menjadi beberapa gejala, yaitu:
1. Gejala fisiologis, berupa keluhan seperti sakit kepala, konstipasi, diare, sakit
pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, gangguan
pencernaan, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan semangat.
2. Gejala emosional, berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah,
gugup, takut, mudah tersinggung, sedih dan depresi.
3. Gejala interpersonal, berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis,
agresif, minder, kehilangan kepercayaan kepada orang lain, dan mudah
mempersalahkan orang lain.
4. Gelaja oraganisasional, berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/kuliah,
menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja, ketidakpuasan
kerja dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.
2.2.4 Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja
Daft (2003), mengidentifikasi stresor kerja yang menempatkannya dalam
1. Tuntutan tugas adalah stresor yang muncul dari tugas yang dituntut oleh
seseorang yang memegang pekerjaan tertentu. Beberapa jenis keputusan
sifatnya menimbulkan stres: yang dibuat dibawah tekanan waktu, yang
mempunyai konsekuensi serius, dan yang harus dibuat dari informasi yang
tidak lengkap.
2. Tuntutan fisik adalah stresor yang dikaitkan dengan keadaan dimana individu
bekerja.
3. Tuntutan peran adalah tantangan yang dikaitkan dengan peran, ini adalah
serangkaian perilaku yang diharapkan seseorang karena posis orang tersebut
dalam kelompok. Beberapa orang menghadapi ambiguitas peran (role
ambiguty), yang berarti mereka tidak pasti tentang perilaku apa yang
diharapkan dari mereka.
4. Tuntutan interpersonal merupakan stresor yang dikaitkan dengan hubungan
dalam organisasi. Walaupun dalam beberapa kasus hubungan dalam
interpersonal dapat mengurangi stres, hal ini juga dapat menjadi sumber stres
ketika kelompok menekan individu atau ketika menjadi konflik.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), menyatakan ada empat jenis utama
faktor-faktor dilingkungan kerja yang menyebabkan stres, yaitu:
1. Tingkat individual, yaitu stresor yang bekaitan dengan tugas-tugas kerja
seseorang, antara lain: tuntutan pekerjaan, kelebihan beban kerja, ambiguitas
peran, pengendalian yang dirasakan atas peristiwa yang muncul dalam
2. Tingkat kelompok, yeitu disebabkan oleh dinamika kelompok dan perilaku
manajerial. Para manajer menciptakan stres pada karyawan dengan (1)
menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, (2) gagal memberikan dukungan,
(3) menunjukkan kurang kepedulian, (4) memberikan arahan yang tidak
memadai, (5) menciptakan suatu lingkungan dengan produktivitas yang
tinggi, (6) memfokuskan pada hal-hal negatif sementara itu mengabaikan
kinerja yang baik.
3. Tingkat organisasional, meliputi kebudayaan opraganisasi, stuktur, teknologi,
dan pengenalan perubahan dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, lingkungan
yang tekanan tinggi menempatkan permintaan kerja yang terus-menerus pada
karyawan yang akan menyalakan respos stres.
4. Ekstra organiasional, adalah stresor yang disebabklan oleh faktor diluar
organiasi. Sebagai contoh, konflik yang berkaitan dengan penyeimbangan
kehidupan karier dan keluarga seseorang sangatlah membuat stres.
2.2.5 Sumber Stres dalam Keperawatan
Menurut Abraham dan Shanley (dalam Sunaryo, 2004) menemukan lima
sumber stres dalam keperawatan, yaitu:
1. Beban kerja yang belebihan, misalnya merawat terlalu banyak pasien,
mengalami kesulitan dalam mempertahankan standar yang tinggi, merasa
tidak mampu memberi dukungan yang dibutuhkan teman sekerja, dan
2. Kesulitan menjalin hubungan dengan staff lain, misalnya mengalami konflik
dengan teman sejawat, mengetahui orang lain tidak menghargai sumbangsih
yang dilakukan, dan gagal membentuk tim kerja dengan staff.
3. Kesulitan dalam merawat pasien kritis, misalnya kesulitan dalam
menjalankan peralatan yang belum dikenal, mengelola prosedur atau tindakan
baru, dan bekerja dengan dokter yang menuntut jawaban dan tindakan cepat.
4. Berurusan dengan pengobatan/perawatan pasien, misalnya bekerja dengan
dokter yang tidak memahami kebutuhan sosial dan emosional pasien, terlibat
dalam ketidaksepakatan pada program tidankan, merasa tidak pasti sejauh
mana harus memberi informasi pada pasien atau keluarga, dan merawat
pasien sulit dan tidak kerja sama.
5. Merawat pasien yang gagal untuk membaik, misalnya pasien lansia, pasien
yang nyeri kronis, dan pasien yang meninggal selama merawat.
2.2.6 Tahapan Stres Kerja
Menurut Amberg (dalam Sunaryo, 2013), bahwa tahapan stres sebagai
berikut:
1. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu
bekerja yang besar dan kelebihan, maupun menyelesaikan pekerjaan tanpa
memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.
2. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak
segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah
discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal
tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.
3. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak
teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomia,
mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi
dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau
jatuh pingsan.
4. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu
bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan
menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola
tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta
timbul ketakutan dan kecemasan.
5. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan keluhan fisik dan
mental (phsycal and psychological axhaution), ketidakmampuan
menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan
berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung, dan panik.
6. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda,
seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan
banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.
2.2.7 Mengelola Stres Kerja
Stres kerja dengan kadar sedikit atau banyak, tetap harus dikelola dengan
baik. Karena jika dibiarkan saja akan berpengaruh pada kinerja karyawan.