• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemungkinan pembudidayaan ikan kapiek (Puntius schawanefeldi BLKR.) dari Sungai Kampar, Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemungkinan pembudidayaan ikan kapiek (Puntius schawanefeldi BLKR.) dari Sungai Kampar, Riau"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

PENDAHULUAN Latar Belakanq

(12)

Dibandingkan dengan bagian dunia lain, sumbangan budidaya pada produksi perikanan di Asia, jauh lebih ber- arti, terutama bagi produksi perikanan yang dikonsumsikan oleh manusia. Besar sumbangan budidaya pada produksi perikanan yang dikonsumsi manusia untuk beberapa negara

Asia, berkisar antara 10

-

54 persen. Negara yang ter- tinggi sumbangan budidayanya adalah China yaitu 54 persen, dan terendah Malaysia yaitu 10 persen, dan Indonesia sen- diri baru mencapai 11 persen (Huisman, 1984).
(13)

seperti ikan jelawat {Le~tobarbus hoeveni), patin (Panqa- sius panqasius), dan ikan kapiek (Puntius schwanefeldi). Selanjutnya dikemukakan bahwa pemilihan spesies ikan untuk dibudidayakan, pada mulanya didasarkan atas usaha coba- coba hingga diketahui apakah suatu spesies ikan mempunyai kualitas yang baik untuk dikembangkan atau tidak. Namun demikian ada pula suatu spesies ikan yang tetap dibudi- dayakan bukan karena mempunyai kualitas yang baik, tetapi tetap dibudidayakan karena tidak tersedianya spesies lain yang lebih baik.

Webber dan Riordan (1976) mengemukakan berbagai kriteria yang seharusnya dipenuhi oleh suatu spesies ikan yang akan dikembangkan sebagai ikan budidaya. Kriteria dimaksud mencakup kriteria yang harus dipenuhi untuk tujuan pemasaran dan kriteria biologis. Dalam kriteria biologis ikan yang akan dikembangkan sebagai ikan budidaya antara lain dituntut mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi, dapat tumbuh hingga mencapai ukuran tertentu, konversi makanan yang efisien, mudah menghasilkan atau memperoleh bibit ikan untuk memperbaharui populasi, dan tidak rentan terhadap kondisi yang kurang menguntungkan seperti pencemaran dan penyakit.

(14)

Produksi budidaya ikan air tawar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik, sedangkan ikan tuna, dan udang hasil usaha pertambakan ditujukan untuk ekspor (Ministry of Agriculture Directorate General of Fisheries and Asian Development Bank, 1988).

Di Indonesia terdapat sekitar 15 spesies ikan air ta- war yang telah umum dibudidayakan (Ling, 1977). Per- kembangan budidaya ikan air tawar di Indonesia juga tidak merata. Di beberapa daerah seperti pulau Jawa, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, usaha budidaya ikan air tawar sudah lebih dulu berkembang, sementara d i daerah-daerah lain, dalam ha1 ini termasuk daerah Riau perkembangan usaha- budidaya ikan air tawar masih berada dalam tahap awal sekali. Spesies ikan yang dibudidayakan di daerah-daerah disebut terdahulu ternyata tidak selalu cocok untuk dikembangkan di daerah-daerah lain, karena kondisi daerah dan kualitas lingkungan yang berbeda-beda. Disamping itu tidak tersedianya bibit ikan secara lokal, merupakan salah satu penghambat bagi perkem- bangan budidaya ikan di daerah-daerah lain (Fauzi, 1978).

(15)

ditemukan hidup di beberapa perairan umum di Indonesia. Domestikasi atau pembudidayaan spesies ikan liar, di- samping ditujukan untuk menambah spesies ikan budidaya, juga merupakan tindakan yang tepat untuk mengatasi atau mengantisipasi adanya kecenderungan semakin menurunnya hasil tangkapan di perairan umum (Welcome, 1985).

Penurunan hasil tangkapan di perairan umum terutama di- sebabkan semakin meningkatnya aktifitas manusia yang ada hubungannya dengan sungai atau perairan umum lainnya, yang menimbulkan pendangkalan dan pencemaran, yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya aktifitas hidup ikan dan hewan air lainnya yang hidup di perairan tersebut.

Di daerah Riau, ikan air tawar mempunyai peran yang cukup berarti dalam penyediaan ikan untuk konsumsi pendu- duk, terutama bagi mereka yang mendiami daerah pedalaman, walaupun sebenarnya produksi ikan air tawar daerah ter- sebut sangat kecil dibandingkan dengan produksi ikan lautnya {Fauzi, 1981). Ikan air tawar daerah ini sebagian besar dihasilkan oleh kegiatan perikanan tangkap di per- airan umum yaitu sekitar 11.225 ton pada tahun 1985,

(16)

Perairan umum daerah ~ i a u meliputi 15 sungai besar dan sedang, rawa-rawa, dan danau-danau, dan keseluruhannya

mempunyai luas sekitar 296.500 ha, dan mempunyai potensi

produksi ikan sebesar 14.425 ton pada setahun (Fauzi,

1981). Jadi dengan produksi sebesar 11.425 ton pada tahun

1985, berarti potensi yang telah dimanfaatkan telah men- capai sekitar 80 persen. Sejak beberapa tahun terakhir

ini terlihat pula kecenderungan semakin meningkatnya

kegiatan budidaya ikan air tawar d i daerah tersebut.

Selain membudidayakan spesies ikan yang telah umum dibudi-

dayakan di daerah lain di Indonesia, petani ikan setempat

juga mencoba membudidayakan spesies ikan liar lokal dengan

memanfaatkan anak-anak ikan yang diperoleh dari perairan

urnum. Spesies ikan yang dicoba dibudidayakan oleh petani

ikan di daerah tersebut adalah ikan kapiek (Punitius

schwanefeldi) dan ikan lemak ( L e ~ t o h a r b u s hoeveni). Di-

samping spesies-spesies tersebut, di beberapa daerah di

Sumatera juga ada usaha-usaha yang dilakukan untuk mencoba

membudidayakan ikan patin (Pansasius ~ a n a a s i u s ) yang juga

diternukan di sebagian besar perairan umum daerah Riau,

namun demikian hingga saat ini petani ikan di daerah ter-

sebut masih mengalami kesuLitan untuk nemperoleh bibitnya.

Khusus untuk daerah Kampar, yaitu daerah sepanjang aliran

Sungai Kampar, ikan kapiek merupakan pilihan utama bagi

petani untuk dibudidayakan, karena disamping mudah untuk

(17)

kapiek juga merupakan spesies ikan yang digemari di daerah

tersebut, dan selalu ada dalam hidangan-hidangan pada

upacara-upacara tertentu. Pada mulanya, ikan kapiek di-

pelihara guna menunggu hari pasar atau untuk membesarkan

ikan hasil tangkapan dari sungai yang masih kecil-kecil.

Selanjutnya dengan adanya pembangunan irigasi yang dituju-

kan untuk pertanian padi, petani setempat mencoba me-

melihara ikan tersebut di kolam atau sawah.

salah satu kendala utama dalam peningkatan dan

pengembangan budidaya ikan air tawar hingga saat ini

adalah dalam ha1 penyediaan bibit ikan untuk pembaruan

populasi setelah panen atau tujuan perluasan usaha. Hal

tersebut terjadi karena sebagian besar spesies ikan mengalami kesulitan untuk berkembang biak dengan sempurna

pada lingkungan buatan manusia, termasuk sebagian besar

spesies ikan yang telah umum dibudidayakan (Davy and

Chouihard, 1980). Untuk mengatasi kendala tersebut, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan usaha pe-

mijahan buatan. Pemijahan buatan disamping ditujukan

untuk spesies ikan yang mengalami kesulitan untuk ber-

kembangbiak dengan sempurna pada lingkungan buatan, juga

dimaksudkan untuk memperoleh bibit ikan di luar musim

pemijahan, untuk maksud hibrididasi, peningkatan efisiensi

produksi, mengurangi kehilangan telur ikan yang terjadi

(18)

larva ikan, dan untuk penyediaan telur atau larva ikan untuk praktek ginogenesis atau pengontrolan seks pada budidaya monoseks (Donaldson and Hunter, 1983).

(19)

Tuiuan Penelitian

Secara garis besar penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

(1). Mempelajari beberapa aspek penting reproduksi

ikan kapiek (Puntius schwanefeldi) yang hidup di perairan alami Sungai Kampar, Riau.

(2). Melakukan percobaan pemijahan buatan berupa induksi ovulasi pada ikan betina.

(3). Melakukan percobaan pemeliharaan anak ikan yang ditangkap dari perairan alami (Sungai Kampar) pada keramba terapung yang ditempatkan di sungai

.

Secara lebih terinci, hal-ha1 yang dipelajari yang ada keterpautannya dengan reproduksi ikan adalah :

(a). Seksualitas, dan ukuran ikan (jantan dan be- tina) pada saat mencapai matang gonad pertama.

(b)

.

Nisbah kelamin jantan-betina ikan contoh yang dikumpulkan selama penelitian

(c). Kondisi dan status maturasi gonad ikan contoh pada saat ditangkap berdasarkan pengamatan ma- kroskopis terhadap anatomi dan morfologi gonad. (d). Dugaan terhadap siklus reproduksi, sifat-sifat

(20)

(e)

.

Fekunditas ikan

(f). Indeks Gonad Somatik (IGS).

Pada percobaan pemijahan buatan, digunakan dua macam hormon/senyawaan, yaitu EH (Ekstrak Hipofisa) dan HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Hormon/senyawaan tersebut diberikan pada ikan melalui suntikan intra-muscular (IM), secara tunggal atau kombinasinya.

(21)

TINJAUAEl PUSTAKA

Biolosi Ikan Umum

Ikan kapiek (Puntius schwanefeldi) adalah salah satu spesies ikan air tawar penghuni daerah tropis. Ikan ini hidup di perairan sungai, danau, atau rawa, dan ditemukan di negara-negara India, Srilangka, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia ikan kapiek ditemukan di Sumatera dan Kalimantan Barat (Weber and de Beaufort, 1916; Grazimek,

1973; Lowe-McConnell, 1975; 1977).

Berdasarkan evolusinya, ikan kapiek digolongkan pada ikan air tawar utama (primary freshwater fishes) yaitu golongan ikan air tawar yang telah menghuni perairan tersebut sejak awal pertama ikan Teleostei (ikan bertulang benar) muncul di perairan ini. Jenis ikan ini tidak dapat mentolerir air laut. Ikan yang termasuk dalam golongan ini mewakili ordo Ostariophysi, Dipnoi, Osteoglossidae, dan Mormyridae (Lowe-McConnel, 1975). Di daerah tropis, jenis ikan yang menghuni perairan tawar didominasi oleh ordo Ostariophysi (jenis-jenis puntius dan lele). Khusus di

perairan tawar Asia, famili dari Ostariophysi yang paling dominan adalah famili Cyprinidae (Lowe-McConnell, 1977),

(22)

Indonesia bagian Barat (Sumatera, Jawa dan Kalimantan), tidak berbeda dengan ikan perairan tawar daratan Asia, khususnya daratan Asia Tenggara (Inger, 1955; Inger and Chin, 1962).

(23)

kelompok spesies ikan yang menghindari kondisi deoksi- genasi, dan pada musim kemarau ikan ini berada pada aliran sungai utama. Pada umumnya spesies-spesies ikan dari fa- mili Cyprinidae termasuk ke dalam kelompok ini, sedangkan kelompok ikan yang tahan terhadap kondisi deoksigenasi, terdiri dari spesies-spesies ikan dari famili-famili Silu- ridae, Ophiocephalidae, Anabantidae, Osteoglossidae, Poly- pteridae, dan Dipnoi (Welcomme, 1979).

Di daerah Riau, ikan kapiek merupakan salah satu spesies ikan hasil utama Sungai Kampar ( Peta Lampiran 1 )

(24)

kelabau), tebengalan (Puntius - 1 , dan ikan patin (Pansasiud aanqasius) (Pulungan, 1983).

Ikan kapiek juga telah dicoba dibudidayakan oleh petani setempat di kolam, dengan memanfaatkan anak ikan yang ditangkap dari perairan alami (Sungai Kampar), tetapi hingga saat ini usaha-usaha yang dilakukan untuk me- mijahkan ikan tersebut di lingkungan buatan manusia

(kolam) belum berhasil (Fauzi, 1978).

Reproduksi

Secara garis besar, perkembangan gonad ikan dibagi atas dua tahap perkembangan utama, yaitu tahap pertumbuhan gonad hingga ikan mencapai tingkat dewasa kelamin (sexually mature), dan tahap pematangan produk seksual (gamet). Tahap pertama berlangsung sejak ikan menetas atav lahir hingga mencapai dewasa kelamin, dan tahap kedua berlangsung setelah ikan dewasa. Selanjutnya, proses kedua akan terus berlangsung dan akan berkesinambungan selama fungsi reproduksi ikan berjalan normal (Langler, Bardach, Miller, and Passino, 1977; Harvey and Hoar, 1979; Davy and Chouinard, 1980).

(25)

perubahan sitologik, histologik, dan morfologik. Sejalan dengan perubahan-perubahan tersebut gonad juga akan mengalami perubahan berat dan volume. Untuk kegunaan praktis, perubahan-perubahan berat, volume, dan morfologis gonad, sering dipakai sebagai indikator dalam menentukan telah sejauh mana perkembangan yang telah dialami oleh gonad dalam proses oogenesis pada ikan betina, atau spermato-genesis pada ikan jantan. Telah diketahui bahwa dalam proses oogenesis dan spermatogenesis yang berlang- sung normal, gonad ikan akan selalu mengalami perubahan berat dan volume. Dalam prakteknya, yang sering dijadikan tolok ukur adalah pertambahan mutlak berat gonad ikan atau perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan. Semakin jauh tingkat perkembangan oogenesis atau spermato- genesis, maka nisbah antara berat gonad dan berat tubuh ikan akan semakin besar. Dalam ha1 volume, yang biasa dijadikan tolok ukur adalah bahagian rongga peritonium yang telah terisi oleh gonad ikan, karena semakin jauh proses gametogenesis berlangsung maka semakin besar pula ruang peritonium yang terisi oleh gonad (Ketchen, 1972; Gupta, 1975; Olatunde, 1978; Treasure, 1981; Rinne and Wanjala, 1983; Abu-Hakimah, 1984; dan Abidin, 1986).

(26)

Dadzie (1980) dan Abidin (1986) mengemukakan bahwa pola perubahan IGS pada ikan betina dan ikan jantan selama berlangsungnya oogenesis pada ikan betina atau spermato- genesis adalah sama. IGS mencapai nilai maksimal pada saat ikan mencapai matang gonad (siap untuk memijah), baik pada. ikan betina maupun pada ikan jantan.

Perubahan-perubahan morfologik yang terjadi pada gonad juga dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sudah sejauh mana proses gametogenesis berlangsung. Per- ubahan-perubahan morfologik yang terjadi meliputi perubah- an warna, bentuk, keadaan permukaan, pembuluh darah, serta keadaan telur atau semen dalam gonad ikan (Jayaprakash and Balakrishnannair, 1981; Olatunde, 1978; Babiker and Ibrahim, 1979).

Ikan betina. Gupta (1975) yang melakukan pengamatan pada ikan mas (Cv~rinus car~io), berdasarkan perubahan sitologik, histologik, dan morfologiknya, membagi tingkat perkembangan gonad ikan betina sebagai berikut:

Stadium I : ovari muda (young ovari) Stadium I1 : vakuolisasi sitoplasma

(27)

Pada Stadium I (ovari rnuda), ovari terlihat berupa dua benang berwarna bening yang memanjang pada kedua sisi rongga perut (peritonium). Ovari yang muda berisi sejumlah oogonia, sedikit oosit yang masih berada pada tahap perkembangan awal, dan jaringan pengikat. Oosit pada ovari muda masih transparan, dan hanya dibungkus oleh satu lapis sel-sel folikel. Pada ikan mas diameter oosit pada stadium ini berkisar di antara 0.05 dan 0.15 mm.

Pada Stadium 11, ikan berada pada proses pencapaian dewasa kelamin. Pada stadium ini ovari mulai membentuk granula-granula, dan ukurannya, baik berat maupun volume terlihat meningkat. Berat ovari ikan mas pada stadium ini, telah mencapai 0 . 8 hingga 20 persen dari berat tubuh ikan. Pada sitoplasma oosit mulai terlihat vakuola- vakuola kecil, dan jumlah oosit berpenarnpilan demikian terus bertambah. Granula-granula kecil pada oosit juga mulai muncul pada sitoplasma. Pada stadium ini diameter terkecil dari oosit pada ikan mas adalah 0.15 mm dan paling besar 0.3 mm.

(28)

vitellogensis diameter telur akan mencapai 0.70 mm. Pada stadium ini membran inti sel mulai terlihat dengan jelas, dan nukleus-nukleus yang tadinya berada pada bagian perifer sekarang lebih menyebar secara merata. Pada saat ini oolemma terlihat membungkus oosit, dan terlihat dengan jelas lapisan-lapisan folikel dan granulosa.

Pada Stadium IV, ovari telah berwarna kuning dan hampir mengisi seluruh ruang peritonium. Berat ovari bertambah terus hingga mencapai delapan persen dari berat tubuh ikan. Oosit matang pada ikan mas mempunyai inti sel dengan diameter 0.15 mm.

Stadium V dicapai hampir bersamaan dengan datangnya musim berpijah. Diameter oosit terus meningkat hingga mencapai 0.90 mm. Pada stadium ini berat ovari telah mencapai 20 persen dari berat tubuh ikan.

Pada stadium VI warna ovari tidak berbeda dengan warna ovari pada stadium sebelumnya, tetapi sebagian oosit telah keluar (mijah). Sementara itu oosit baru mulai mencapai tingkat kematangan yang terakhir.

(29)

perkembangan oosit (oogenesis) pada Teleostei sebagai berikut :

1. Tahap pertumbuhan awal (primary growth of oocytes)

2. Tahap pertumbuhan kedua (secondary growth of oocytes)

3 . Maturasi dan ovulasi

4. Pemijahan (spawning)

(30)
(31)

Butir-butir lemak ini selanjutnya akan bertambah besar pada proses vitellogenesis.

Pada awal proses vitellogenesis, gloguli-gloguli kuning telur terlihat mulai muncul, dan bersamaan dengan itu oosit membengkak secara menyolok. Pada beberapa spesies ikan, kuning telur membentuk kristal, tetapi pada kebanyakan ikan Teleostei kuning telur menyebar dalam bentuk cair (Wallace, 1978; Wallace and Selman, 1981). Selanjutnya pada beberapa spesies ikan, kuning telur tetap menyebar hingga telur diovulasikan, sementara pada be- berapa spesies ikan kuning, telur tersebut akan menyatu dan membentuk massa kuning telur. Penyatuan kuning telur ini terjadi pada saat-saat akhir proses vitello- genesis atau pada proses maturasi oosit. Kuning telur pada ikan terdiri dari phosphoprotein dan lipoprotein.

(32)

Pemijahan atau oviposisi merupakan kejadian ter- sendiri yang mempunyai mekanisme kontrol yang terpisah dari proses ovulasi. Beberapa spesies ikan Teleostei dapat berpijah beberapa kali dalam satu musim pemijahan, sementara beberapa spesies ikan mengeluarkan telurnya sekaligus dalam satu kali berpijah. Pada spesies ikan yang dapat berpijah beberapa kali dalam satu musim pemijahan, telur-telur yang dipijahkan dapat berasal dari telur-telur yang diovulasikan pada waktu yang sama, sementara ikan yang memijahkan telurnya sekaligus dalam satu kali memi- jah, telur-telur yang dipijahkan bisa pula berasal dari telur-telur yang diovulasikan pada waktu yang berbeda (de Vlaming, 1983).

Pada ikan Teleostei, sering terjadi Sahwa tidak seluruh telur yang telah mengalami proses vitellogenesis dapat berkembang dengan sempurna atau diovulasikan. Seba- gian oosit tersebut atau bahkan kadang-kadang seluruhnya, jika kondisi lingkungan tidak mendukung, akan mengalami degradasi atau gaga1 diovulasikan. Oosit yang demikian dikenal dengan sebutan oosit atresia (atretic follicle). Oosit atau folikel atresia akan diabsorbsi kembali oleh

(33)

granulosa akan mengintervensi kuning telur dan mempagosit- nya. Secara simultan sel-sel darah bebas yang berasal dari rongga antara folikel akan memasuki kuning telur, dan selanjutnya folikel akan kehilangan bentuknya.

(34)

ditemukan oosit pada berbagai tingkat perkembangan yang berbeda, sementara itu oogonia baru terus muncul. Tipe ovari asinkronisrae ditemukan pada spesies ikan yang pijah sepanjang tahun dengan frekuensi yang tinggi. Contoh spesies ikan dengan pola perkembangan ovari demikian adalah ikan seribu (Lebistes reticulatus) dan ikan kepala timah (Pancax pancax) yang banyak ditemukan di Indonesia

(Siregar, 1980)

.

Ikan jantan. Bentuk testes pada ikan Teleostei le- bih beragam dibandingkan dengan vertebrata lain. Pada kebanyakan Teleostei, testes terlihat berupa sepasang organ yang memanjang, yang terdiri dari cabang-cabang tubuli seminiferus yang terbungkus oleh stroma. Testes dapat berbentuk tubuli denqan dinding yang tipis, atau berbentuk lobuli-lobuli yang berisi sex-sel spermatogonia

(Sundara j

,

1980)

.

Proses perkembangan testes atau spermatogenesis pada ikan jantan kurang mendapat perhatian para pakar biologi perikanan atau akuakultur, karena biasanya yang sering menjadi kendala dalam pengembangbiakan ikan adalah kega- galan proses maturasi oosit, ovulasi, atau oviposisi pada ikan betina (Davy and Chouinard, 1980)

(35)

Stadium I : testes muda (immature testes) Stadium I1 & I11 : pendewasaan testes

Stadium IV : testes dewasa

Pada Stadium I penampilan testes hampir sama dengan penampilan ovari pada tingkat perkembangan yang sama, hingga kadang-kadang sulit untuk membedakan ikan jantan dan ikan betina tanpa melakukan pemeriksaan histologis, terkecuali pada spesies ikan yang mempunyai tanda-tanda seks sekunder yang nyata. Pada Stadium I, lobuli-lobuli atau tubuli testes berisi sel-sel spermatogonia yang berbentuk cakram dengan inti sel berbentuk bulat dan nukleulusnya berada di tengah. Sel-sel spermatogonia terlihat di dalam satu bungkusan atau siste.

Pada stadium berikutnya (II/III) spermatogonia telah berubah menjadi spermatid I. Sementara itu siste telah berubah posisi ke bagian pinggir lobuli. Pada perkembang- an selanjutnya siste akan bergerak ke arah interior. Jumlah spermatid terus bertambah dan sebagian telah berubah menjadi spermatozoa dewasa, dan jumlahnya akan bertambah.

(36)

spermatozoa dewasa, dan hanya sedikit spermatid. Spermatid berada di bagian pinggir lobuli, sementara spermatozoa de- wasa di bagian tengah.

Siklus re~roduksi dan Demiiahan. Dalam proses per- kembangan untuk mencapai dewasa kelamin (sexual matura- tion) dan kemampuan memijah pertama sekali, banyak faktor yang turut berperan atau mempengaruh proses tersebut, dan dapat berbeda untuk setiap spesies ikan. Pada umumnya spesies ikan kecil-kecil dan yang masa hidupnya singkat, akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda jika dibandingkan dengan spesies ikan yang lebih besar- besar dan umurnya lebih panjang (Lagler &

al.,

1977). Walaupun umur untuk mencapai tingkat dewasa kelamin berbeda untuk setiap spesies ikan, tetapi pada umumnya ikan mununjukkan siklus reproduksi tahunan (annual), atau tengah tahunan (biannual), dan siklus tersebut akan tetap berlangsung selama fungsi reproduksi masih normal (Bye, 1984; de Vlaming, 1983).
(37)

semi atau awal musim panas, pada saat kondisi fisik per- airan dan persediaan makanan bagi anak-anak ikan yang akan ditetaskan melimpah (Bye, 1984; Elliot, 1981; Peter and Hontela, 1978; Sundaraj, 1981). Di luar daerah tropis, kondisi lingkungan yang optimum untuk memijah biasanya sangat terbatas waktunya, hingga ikan yang mendiami perairan di daerah tersebut biasanya berpijah secara massal dan dalam periode waktu yang sangat singkat (de Vlaming, 1983; Harvey and Hoar, 1979).

Pada ikan air tawar yang hidup di perairan umum daerah tropis, terlihat bahwa musim memijah pada ikan lebih panjang waktunya. Setiap individu ikan dapat me- mijah pada waktu yang berlainan dengan individu lain, namun demikian masih tetap terlihat adanya puncak-puncak musim pernijahan dalam setiap periode waktu tertentu (Peter and Hontela, 1978).

(38)

faktor kimiawi. Selanjutnya faktor-faktor kimiawi perair- an yang mengontrol siklus reproduksi ikan dan aspek kehidupan ikan lainnya adalah gas-gas terlarut, pH, nitrogen dan metabolitnya, alkalinity, kesadahan, dan zat- zat buangan yang berbahaya bagi kehidupan di perairan. Faktor-faktor biologik yang mengontrol siklus reproduksi ikan dapat dibagi atas faktor biologis dalam (intrinsik) dan faktor biologis luar (ekstrinsik). Faktor biologik dalam meliputi faktor fisiologik individu, dan respons individu terhadap berbagai faktor lingkungan. Faktor biologik luar yang penting adalah pathogen, predator, dan kompetisi sesama spesies ikan tertentu atau dengan spesies

lain.

(39)

sungai di daerah tropis, arus dan fluktuasi tinggi per- mukaan air merupakan faktor yang sangat menentukan siklus reproduksi dan musim pemijahan (Lowe-McConnell, 1975;

1977; Sundaraj, 1981; Abidin, 1986).

Berdasarkan pola pemijahanya, Lowe-McConnell (1975)

(40)

"multiple spawner". Tipe ke-tisa merupakan adaptasi yang sangat menguntungkan bagi reproduksi ikan yang berpijah di sungai dikaitkan dengan fluktuasi tinggi permukaan air akibat hujan atau banjir. Dengan memijah berkali-kali maka terhindarlah bahaya kehilangan telur-telur secara total oleh arus sungai yang tidak menentu. Diantara spesies ikan tipe "multiple spawnergm, terdapat spesies ikan yang melindungi telur-telur yang telah dipijahkan dan biasanya fekunditas ikan dengan tipe mijah demikian, lebih kecil jika dibandingkan dengan ikan dengan tipe mijah yang sama tetapi tidak melindungi telurnya. Beberapa spesies ikan dari famili Cyprinidae, Characoidae, dan Siluroidea tergolong pada tipe mijah demikian. Ikan dengan tipe 'emultiple spawner", biasanya memijah pada saat banjir atau pada musim hujan pada saat permukaan air di sungai naik. Tipe ke-empat adalah "small brood spawnere' yaitu golongan ikan air tawar yang mempunyai fekunditas yang sangat kecil, dan pada umumnya merupakan spesies ikan yang menjaga atau melindungi telur atau anak yang baru menetas. Ikan kayangan (Sclero~aqes formosus Mull & Schl., Osteo- glossidae) yang rnengerami telur dan memelihara anak yang baru menetas di dalam mulutnya, termasuk ke dalam tipe pemijahan demikian, dan juga beberapa spesies ikan dari famili Chicclidae.

(41)

sesuai dengan bermacam-macam kondisi lingkungan yang ditemukan di sepanjang sungai. Ciri fisik dan tingkah laku ikan untuk reproduksi lebih beragam dibanding ciri fisik dan tingkah laku untuk makan. Hampir semua tipe reproduksi ikan seperti telah dikemukakan oleh Balon

(1975) ditemukan pada ikan yang hidup di sungai.

Fekunditas. Pengertian umum dari fekunditas pada ikan adalah jumlah telur ikan betina sebelum dikeluarkan (oviposisi) pada waktu memijah. Dalam biologi perikanan, fekunditas demikian dikenal dengan istilah fekunditas mutlak. Pada spesies ikan yang berpijah beberapa kali da- lam setahun, menghitung fekunditas dengan cara demikian dianggap kurang akurat, karena bertambah besar individu dan makin tinggi umur (sampai batas tertentu) fekunditas akan naik. Oleh karena itu Wootton (1979) menghitung fekunditas ikan yang berpijah beberapa kali dalam setahun dengan menghitung rataan jumlah telur yang dihasilkan dalam satu kali mijah.

(42)

Begenal dan Braum (1968) menyatakan hubungan antara fekunditas dengan berat ikan sesuai dengan persamaan (1) :

F adalah fekunditas mutlak ikan, W adalah berat tubuh ikan, c dan d suatu konstanta. Sedangkan hubungan antara fekunditas mutlak dengan panjang ikan digambarkan oleh persamaan (2) :

F = a L~ (2)

F adalah fekunditas mutlak ikan, L adalah panjang total ikan, a dan b suatu konstanta yang nilainya dapat berbeda untuk setiap spesies ikan.

Fekunditas suatu spesies ikan, disamping dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan tertentu, juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan bagi,anak ikan yang akan ditetaskan (Wooton, 1979).

(43)

Pemiiahan Buatan

Kendala utama yang sering muncul dalam praktek pe- ngembangbiakan ikan budidaya atau ikan liar yang ingin dibudidayakan adalah terhambatnya perkembangan gonad ikan terutama ikan betina, atau terhambatnya siklus reproduksi ikan yang dipelihara di kolam. Kegagalan ini terutama terjadi pada proses pematangan akhir oosit (vitello- genesis), atau pada proses ovulasi (Davy and Chouinard, 1980). Untuk mengatasi kendala ini berbagai usaha telah dilakukan, dan sampai saat semua usaha yang telah dicoba dapat diklasifikasikan atas empat macam, yaitu melalui ancangan hormonal, lingkungan, nutrisiunal, dan tingkah laku/ kehidupan sosial ikan (Lam, 1985; 1986).

(44)

dan Yamazaki, 1976). Walaupun telah lama dikembangkan, sampai saat ini masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan yang perlu mendapat perhatian untuk perbaikannya. Sampai saat ini belum ada keseragaman dalam ha1 dosis yang digunakan (Yamazaki, 1976), dan disamping itu, masih sulit ditentukan kadar gonadotropin yang dikandung oleh hipo- fisa. Walaupun metode RIA (Radio-Imuno-Assay) dapat di- gunakan untuk maksud ini, tapi sangat tidak praktis untuk digunakan di lapangan (Breton, Jalabert, Bieniarz, Sokolowska, and Epler, 1983; Crim, Meyer, Donaldson, 1973; Tan and Dood, 1978; Peter and Hontela, 1978).

Sulitnya memperoleh ekstrak hipofisa ikan yang telah dewasa dan tingginya biaya yang diperlukan untuk membuat ekstraknya, merangsang para ahli untuk mencoba menggunakan gonadotropin yang berasal dari hewan bukan ikan (mamalia, dan manusia) dan hormon-hormon lain yang diketahui ber- peran dalam proses reproduksi ikan. Disamping itu di- gunakan pula senyawa-senyawa anti hormon dan prostaglandin yang akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan dalam pengontrol- an reproduksi pada usaha peternakan hewan besar seperti sapi dan kerbau (Lam, 1982).

(45)

(Lutianus canvuchanus) (Minton, Hawke, and Tatum, 1983), beronang (Siqanus canaliculatus) (Westernhagen, 1983), mas koki (Carassius auratusl (Huat, 1980; Stacey, Cook, and Peter, 1979), belanak (Mumil ce~halus) (Liao, 1975), dan bandeng (Chanos chanos) (Liao, Juario, Kumagi, Nakajima, and Buri, 1979). Dosis HCG yang digunakan dalam menginduksi ovulasi, beragam antara spesies yang satu dengan spesies lainnya, dan secara keseluruhan beragam antara 0.1 IU/g berat badan badan dan 50 IU/g berat badan ikan (Kuo, Shehadeh, and Nash, 1973). Hubungan antara do- sis dan respons ikan sampai saat ini belum banyak d i t e - liti, dan Stevens (1966) menyatakan bahwa dosis yang di- perlukan sangat tergantung pada tingkat kematangan oosit ikan pada waktu penyuntikan. HCG juga ternyata efektif dalam menginduksi spermiasi pada ikan jantan, dan untuk itu hanya diperlukan dosis yang sangat rendah (Carreon, Estocapio, and Enderez, 1976; Kuo et al., 1973).

(46)

ternyata dapat menstimulir pematangan oosit dan ovulasi dengan dosis 1 ug/kg berat badan ikan (Sobolowska, Popek dan Bieniarz, 1976). LH-RH juga efektif dalam menginduksi ovulasi pada ikan anaplopoma (Anaplopoma fimbria) dengan dosis 0.2 mg/kg berat badan ikan. Pada percobaan ini hormon diberikan dengan satu kali suntikan, dan ovulasi berlangsung dua minggu setelah penyuntikan (Solar, Baker, and Donaldson, 1987). Pada ikan hering (Clu~ea harenaus), penyuntikan dengan LH-RH dengan dosis 0 . 0 2 mg/kg berat badan ikan, memberikan respons yang positip dan efektif dalam menginduksi ovulasi dan spermiasi (Kreiberg, Hunter, Donaldson, Craig, and Baker, 1987).

DOCA (11-desoxycorticosterone-acetate) juga telah di- gunakan untuk menginduksi ovulasi dan induksi pematangan oosit pada ikan Clariidae, dan berhasil dalam menginduksi ovulasi pada spesies lele (Heteropneustes fossili Bloch.)

(Sundaraj and Goswami, 1966). Pada ikan salmon, ovulasi juga dapat diinduksi dengan menggunakan progesteron (17- hydroxy- 20 13 -dihydroxy-progesterone) (de Vlaming, 1983).

(47)

hingga gonadotropin disekresikan ke dalam peredaran darah. Clomid dengan sukses telah digunakan oleh Ueda dan Takahashi (1976) dalam menginduksi ovulasi belut (Misaurnus ansuillicaudatus) dan ikan lele (Heterowneustes fossili Bloch.) (Bhoumick, Kowtal, Jana, and Gupta, 1977). Tamoxipen dikombinasikan dengan gonadotropin ikan salem, berhasil menginduksi ovulasi ikan salem (Donaldson, Hunter, and Dye, 1982).

Prostaglandin menstimulir pencahnya folikel hingga ovulasi berlangsung (Stacey and Pandey, 1975; Jalabert and Sozolosi, 1975). PGF2a ternyata dapat menginduksi ovulasi (in vitro) telur ikan trout. Prostaglandin dapat digunakan untuk menginduksi ovulasi apabila ditemukan adanya oosit yang telah matang dengan menggunakan prostaglandin (Jalabert, Breton, and Fostier, 1978). Prostaglandin juga dapat berperan dalam menginduksi tingkah laku mijah pada ikan, dan dalam ha1 ini telah berhasil diamati pada ikan tawes (Puntius aonionotus)

(Liley and Tan, 1985).

(48)

bahwa kebanyakan spesies ikan tropis menyesuaikan siklus reproduksinya dengan peredaran bulan, namun hingga saat ini pengaruhnya baru terlihat pada penentuan waktu memijah, dan belum terlihat perannya dalam proses per- kembangan gonad ikan. Beberapa ahli berpendapat bahwa suhu kurang berperan dalam proses perkembangan gonad ikan di daerah tropis, tetapi Sundaraj dan Vasal (1976), tetapi Sundaraj di dalam Lam (1986) berpendapat bahwa suhu juga sangat berperan dalam proses perkembangan gonad ikan di daerah tropis. Hal ini telah diuji pada ikan lele (Hetero~neustes fossili) dan ternyata dibawah 250 C proses perkembangan gonad ikan tersebut akan terhambat.

(49)

Lam (1982; 1986) menyatakan bahwa ikan betina yang di isolir akan mengalami keterlambatan dalam perkembangan gonadnya, dibandingkan dengan ikan yang dipelihara dengan kelompoknya. Selanjutnya dinyatakan bahwa ikan yang dipe- lihara dengan kepadatan yang tinggi juga akan mengalami gangguan atau hambatan dalam proses reproduksinya.

Fertilitas telur hasil induksi ovulasi beragam sesuai dengan dosis hormon atau senyawaan yang digunakan dan

(50)

Holmberg) kombinasi antara hipofisa dan HCG menghasilkan telur dengan fertilitas yang lebih dibandingkan dengan penggunaan hipofisa atau HCG secara tunggal.

Seperti telah dikemukakan terdahulu, ikan kapiek (puntius schwanefeldi) telah dicoba dibudidayakan di daerah Riau sejak beberapa tahun terakhir ini (Fauzi, 1978). Ikan ini juga telab dibudidayakan di Malaysia

(51)

tawar masih diproduksi oleh kegiatan perikanan tangkap di perairan umum (Ministry of Agriculture Directorate General of Fisheries and Asian Development Bank, 1988).

Intensifikasi budidaya ikan air tawar, dapat dilaku- kan dengan penerapan padat penebaran yang tinggi dan di- barengi dengan pemupukan, pemberian makanan buatan/tam- bahan, pengelolaan kondisi lingkungan yang baik, dan pen- cegahan penyakit. Setiap spesies ikan budidaya membutuh- kan makanan dengan komposisi tertentu untuk dapat tumbuh dengan optimum (Wee and Ngamsnae, 1987). Biasanya spesies ikan pemakan tumbuhan (herbivorous) membutuhkan makanan dengan kadar protein yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan pemakan segala (omnivorous) dan ikan yang bersifat predator (carnivorous). Ikan mujair (Sarotherodon mossam- bicus Peters) membutuhkan makanan dengan kadar protein minimal 35 persen untuk dapat tumbuh optimal (Cruz and Laudencia, 1977; Jauncey, 1982). Sebaliknya ikan gabus (Channa micropeltes C. & V.) membutuhkan makanan dengan kadar protein minimal 50 persen (Wee and Tacon, 1982), sedangkan ikan lele (Clarias striata Bloch) membutuhkan makanan dengan kadar protein minimal 45 persen untuk dapat tumbuh secara optimum (Wee, 1983).

(52)
(53)

B A H A N DAN METODA

Penelitian laDanq Daerah penelitian

Sungai Kampar adalah salah satu sungai besar di Sumatera, tepatnya di wilayah Daerah Tinmat I Propinsi Riau. Sungai ini bermula dari celah-celah pegunungan Bukit Barisan di bagian Barat pulau, dan lengalir ke arah Timur melintasi dataran rendah yang ditunbuhi oleh hutan hujan tropis yang lebat sebelum bermuara di

ela at

Malaka. Di wilayah Propinsi Riau, Sungai Kampar membelah dua Kabupaten Kampar. Sungai Kampar mempunyai dua anak sungai utama yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Karnpar Kanan

(Peta Lampiran 1).

(54)

dikemukakan terdahulu tingkat pemanfaatan sumber perairan telah mendekati tingkat optimum, dan mulai terlihat adanya kecenderungan semakin menurunnya hasil tanqkapan.

Untuk mempelajari berbagai aspek kehidupan ikan di perairan alami, terutama yang mempunyai keterpautan erat dengan reproduksi, ditetapkan stasiun-stasiun tempat pengumpulan ikan contoh. Penetapan stasiun-stasiun tersebut didasarkan atas pertimbanqan bahwa ikan contoh yang terkumpul akan mewakili ikan dari seluruh perairan Sungai Kampar di mana ikan kapiek ditemukan hidup. Stasiun pengumpulan ikan contoh yanq dipilih merupakan pusat-pusat pendaratan ikan hasil tangkapan dari Sungai Kampar dan perairan umum sekitarnya. Stasiun-stasiun tersebut adalah : Kuok, Banqkinang, Air Tiris, Kampar dan Teratak Buluh (Peta Lampiran 1).

Pengumpulan ikan contoh dilakukan sekali dalam se- bulan, pada setiap minggu pertama selama seminggu penuh. Ikan contoh dikumpulkan setiap hari pada setiap hari pasar pada stasiun-stasiun yang telah ditetapkan, yanq waktunya

-

(55)

Penuamatan sifat werairan

Pengamatan terhadap faktor-faktor yang mempunyai keterpautan dengan kondisi perairan dilakukan bersamaan dengan saat pemgumpulan ikan contoh. Keterbatasan per- alatan yang dimiliki pada saat penelitian hanya memungkin- kan untuk mengukur faktor-faktor tertentu saja yang di- anggap mempunyai keterpautan dengan Rehidupan ikan ter- utama aspek reproduksinya. Faktor-faktor yang diamati dan cara pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Kedalaman perairan diukur dengan menqqunakan tongkat penduganya yang telah diberi skala.

2. Kecerahan air diukur dengan menggunakan piring "Se~chi'~, pada siang hari (sekitar jam 14.00 WIB). 3. Suhu air permukaan diukur dengan termorneter air

raksa.

4 . Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter dengan ketelitian 0.1.

5. Bentuk dasar perairan diamati dengan pengambilan contoh materi dasar, dan akan dibedakan antara lumpur, pasir, batu/kerikil, atau kombinasinya-

Perlakuan ikan contoh

(56)

tangkapan nelayan setempat dengan menggunakan alat-alat tangkap seperti jala, bubu, rawai, dan jaring insang su- ngai, dan dengan demikian ikan contoh yang terkumpul ter- diri dari ikan dengan ukuran yang paling kecil hingga paling besar. Ikan hasil tangkapan terdiri dari berbagai spesies, dan sebelum penarikan contoh, ikan terlebih dahulu dipisahkan spesies satu dengan lainnya.

Ikan contoh diambil secara proporsional dari tumpukan ikan, dari ukuran yang paling kecil hingga paling besar. Jumlah ikan contoh yang dikumpulkan setiap bulan berkisar di antara 150 dan 200 ekor. Pengambilan ikan contoh se-

besar tersebut didasarkan pada kemampuan mengamati ikan setiap bulan dan jumlah ikan yang tertangkap pada saat penarikan contoh ikan.

Ikan contoh yang telah dikumpulkan segera dimasukkan ke dalam larutan formalin 10 persen yang telah dipersiap- kan sebelumnya. Ikan dibiarkan dalam larutan tersebut lebih kurang tiga jam, dan kemudian diangkat dari larutan dan di masukkan ke dalam kantong plastik untuk dibawa ke laboratorium. Di laboratorium ikan contoh dimasukkan kembali ke dalam larutan formalin 10 persen menunggu giliran diperiksa satu persatu.

(57)

ditimbang beratnya dengan menggunakan tiabangan duduk OHAUS yang mempunyai ketelitian 0.01 g. Panjang total ikan dinyatakan dalam satuan mm, dan berat dalam satuan g.

Seksualitas dan kondisi maturasi sonad ikan

Untuk menentukan jenis kelamin, ikan dibedah dan di amati gonadnya. Selanjutnya diamati pula tanda-tanda luar (tanda seks sekunder) yang mungkin bisa dipakai untuk membedakan ikan jantan dengan betina.

(58)

Jayaprakash dan Balakrishnannair (1981), dan Babiker dan Ibrahim (1979).

Secara kuantitatif perkembangan gonad ikan diamati dengan menentukan indeks gonad somatik (IGS) ikan untuk setiap TKG yang telah ditetapkan, baik untuk ikan betina maupun jantan. IGS ikan ditentukan dengan menggunakan rumus Scott (1979) sebagai berikut (3) :

Berat gonad (g)

IGS = x 100 persen ( 3

Berat tubuh (g)

Fekunditas

Fekunditas mutlak individu ikan dihitung dengan metoda gravimetri (Effendie, 1979). Contoh telur diambil dari tiga tempat pada ovarium, yaitu pada bagian anterior, tengah, dan posterior dari gonad setiap ikan Detina yang telah matang (TKG IV). Fekunditas dihitung dengan rumus ,

( 4 ) sebagai berikut :

(59)

Pemiiahan buatan

Percobaan pemijahan buatan yang dilakukan dalam pe- nelitian ini adalah berupa induksi ovulasi pada ikan beti- na, melalui ancangan hormonal. Hormonal/senyawaan yang digunakan adalah ekstrak hipofisa (EH) ikan mas (Cyvrinus caroio L . ) dan HCG (Human Chorionic Gonadotropin). Hormon diberikan pada ikan percobaan melalui suntikan intra- muscular (IM)

.

Induk ikan

Induk ikan- yang digunakan dalam percobaan berasal dari kolam petani ikan setempat. Induk ikan ini merupakan hasil pemijahan secara alami di kolam, dan juga dibesarkan pada kolam yang sama. Perlu dijelaskan bahwa kondisi kolam dimaksudkan adalah berupa genangan air dengan pem- bendungan suatu lembah yang dilalui aliran air kecil yang semula berhubungan dengan anak sungai atau sungai utama. Luas kolam dengan kondisi demikian sangat beragam, berki- sar di antara 0.1 dan 1 ha, dan kolam kurang terpelihara.

(60)

perlakuan seperti itu, ikan yang matang gonad akan mengeluarkan sedikit telur, atau semen kalau ternyata ikan jantan. Ikan hasil seleksi dipisahkan dan dipelihara dalam happa yang ditempatkan di kolam yang sama.

EK (ekstrak hipofisa) yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari fipofisa ikan mas. Ekstrak hipofisa dibuat dengan menggunakan aquadest sebagai bahan pelarut.

HCG (Human Chorionic Gonadotropin) yang digunakan dibeli dari apotik dalam kemasan berbentuk ampul, keluaran pabrik N.V. Organon Oss Holland dengan merek dagang "pregnyltl. Setiap ampul berisi cairan dengan volume 2 cc, berisi 1500 IU HCG.

Prosedur percobaan

(61)

mempunyai volume satu cc, dan untuk itu senyawaan diencerkan terlebih dahulu guna menyesuaikan dosis dengan menggunakan volume suntikan. Suntikan dilakukan dengan menggunakan spuit yang mempunyai volume satu cc dengan jarum suntik nomor 17.

Suntikan pertama untuk setiap perlakuan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB, dan suntikan ke- dua pada sore hari sekitar pukul 17.00 WIB pada hari yang sama. Penentuan waktu penyuntikan didasarkan atas hasil percobaan pendahuluan bahwa ovulasi biasanya akan terjadi

10 sampai 15 jam setelah penyuntikan ke-dua. Dengan demikian diperkirakan bahwa ovulasi akan terjadi besok harinya setelah penyuntikan ke-dua, dan berarti pengamatan terhadap ikan tidak dilakukan rnalarn hari.

Dosis hormon/senyawaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :

Percobaan I : Satu setengah dosis EH (EH yang disun- tikan berasal dari hipofisa ikan mas donor yang beratnya setara dengan 1.5 kali berat resipien)

(62)

Percobaan 111: 0.25 IU HCG/g ikan.

0.35 IU HCG/g ikan.

0 . 4 5 IU HCG/g ikan.

Untuk setiap perlakuan disediakan ikan dengan jumlah yang sama yang berlaku sebagai kontrol. Ikan tersebut di suntik dengan bahan pelarut hormon dengan volume, waktu serta cara penyuntikan yang sama.

Untuk mempermudah pengamatan, ikan-ikan yang telah diberi perlakuan ditempatkan pada happa secara terpisah. Pengamatan terhadap ikan yang telah diberi perlakuan di mulai sekitar 10 jam setelah penyuntikan ke-dua. Pada saat tertentu ikan diangkat dari happa dan dilakukan pemijatan. Ikan yang telah mengalami populasi akan ter- lihat gelisah dan sering melompat-lompat kepermukaan air. Ikan yang telah mengalami ovulasi akan terasa sangat lembut bila diraba pada bagian perutnya, dan kalau dilakukan pemijatan sedikit saja telur-telur akan segera mengucur keluar. Ikan yang telah mengalami ovulasi segera dipisahkan dan dicatat waktunya.

(63)

Fertilisasi

Percobaan fertilisai in vitro dilakukan terhadap telur ikan hasil induksi ovulasi menggunakan kombinasi EH dan HCG.

Ikan yang telah mengalami ovulasi segera dikeluarkan telurnya dengan metoda pemijatan k e dalam sebuah baskom plastik. Segera setelah itu sperma ikan jantan dikeluar- kan dengan cara yang sama. Telur dan sperma segera diaduk dengan bulu ayam dan diberi larutan fertilisasi sambil di aduk terus. Larutan fertilisasi yang dipakai dalam perco- baan ini adalah larutan garam NaCl dan Urea dengan formula 4 g NaCl ditambah 5 g urea dalam 1 liter aquadest. Pembe- rian larutan fertilisasi dimaksudkan untuk mencegah ter- jadinya pelekatan telur satu sama lain. Setelah telur dan sperma tercampur rata, segera diambil satu sendok (volume 2 cc) dan disebarkan secara merata pada wadah penetasan yang ditempatkan di kolam yaitu dekat pemasukan air.

(64)

seluruh telur. Fertilitas dinyatakan dalam persen. Percobaan dilakukan dengan pola eksperimen acak lengkap dengan tiga ulangan.

Percobaan pemeliharaan Keramba

Percobaan budidaya dilakukan dengan naenggunakan ke- ramba terapung yang ditempatkan di Sungai Kampar d i desa Teratakbuluh, Kampar, Riau. Keramba dibuat dari bambu de- ngan rangka kayu. Jumlah keramba yang digunakan enam buah, masing-masing dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 35 cm, dan dalam 45 cm. Setiap keramba dibagi atas tiga kotak sama besar, dan dengan demikian tersedia 18 kotak keramba. Pada pelaksanaan percobaan, keramba ditempatkan di bagian pinggir sungai yang aliran airnya relatif

. lambat. Batang-batang kayu cukup besar digunakan sebagai alat untuk mengapungkan keramba, dan agar tidak hanyut batang-batang kayu tersebut diikatkan pada pancang yang ditempatkan di pinggir sungai. Denah penempatan keramba

di sungai dapat dilihat pada Lampiran 9.

Ikan vercobaan

(65)

nelayan.setempat. Sebelum digunakan ikan terlebih dahulu dipelihara dalam keramba untuk menunggu jumlah ikan yang cukup untuk percobaan. Ikan percobaan mempunyai ukuran panjang 100 sampai 125 mm, dan berat antara 14 dan 14.5 g.

Perlakuan

Perlakuan pada percobaan ini adalah padat penebaran makanan. Tiga taraf padat penebaran digunakan dalam per- cobaan ini, masing-masing, 5, 10, dan 15 ekor ikan dalam setiap keramba. Makanan yang digunakan ada dua macam dengan kadar komponen yang berbeda, hingga mempunyai kadar protein 30 dan 40 persen. sekelompok ikan juga dipelihara tanpa pemberian makanan buatan, dan hanya mengandalkan makanan yang dibawa oleh arus sungai. Dengan faktor padat penebaran dan makanan, diperoleh 9 macam perlakuan, dan dengan tersedianya 18 kotak keramba maka dapat dibuat dua ulangan untuk setiap perlakuan.

(66)

penimbangan ikan sekali dalam selang waktu dua minggu. Makanan diberikan dalam wadah yang terbuat dari kawat nyamuk dengan bingkai papan tripleks, dan dengan demikian makanan dapat terhindar dari hanyut atau tenggelam sebelum di makan oleh ikan.

Pensukuran

Pengukuran ikan pertama sekali dilakukan dua minggu setelah pemeliharaan, dan selanjutnya dilakukan setiap selang waktu dua minggu selama perode percobaan (12 minggu). Banjang ikan diukur dengan mistar dengan satuan mm, dan berat dalam satuan g ditimbang dengan timbangan duduk OHAUS yang mempunyai ketelitian 0.01 g.

Pertumbuhan ikan dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Ricker (1975) sebagai berikut (5) :

dalam ha1 ini h = pertumbuhan berat atau panjang ikan, Po = berat atau panjang awal ikan, dan Pt = panjang ikan pada saat pengukuran (pada waktu t)

(67)

dalam ha1 ini Pt = berat atau panjang ikan pada waktu pengukuran (pada waktu t), Po = berat atau panjang awal ikan, P = pertumbuhan maksimum ikan (panjang atau berat), dan 8 = koefisien pertumbuhan.

Kondisi atau kemontokan ikan dinyatakan dalam angka yang dihitung sesuai rumus yang dikemukakan oleh Effendie

(1985) seperti berikut (70) :

dalam ha1 ini K = faktor kondisi, W = berat ikan (g), se- dangkan nilai lo5 adalah nilai yang ditetapkan agar harga K mendekati nilai satu.

Untuk menganalisis pengaruh padat penebaran dan makanan terhadap pertumbuhan (berat atau panjang) dan kondisi ikan, dilakukan analisis keragaman menurut pola percobaan faktorial dengan acak lengkap (Sudjana, 1980).

(68)

HASIL DAN PEMBAIiASAN

Kondisi Umum Perairan

Hasil pengamatan selama melakukan penelitian menun- jukkan bahwa, ikan kapiek ditemukan hidup di bagian sungai Kampar mulai dari perairan sekitar Langgam di bagian hilir hingga ke anak-anak sungai di hulu, di kaki pengunungan Bukit Barisan (Peta Lampiran 1). Di bagian hulu, dasar sungai terdiri dari batu-batu besar hingga kecil, makin kehilir berubah menjadi kerikil campur pasir, dan di sekitar Langgam pasir bercampur lumpur atau tanah liat, Ikan kapiek banyak ditemukan hidup pada bagian sungai dimana aliran air relatif deras, dan semakin kehilir ikan ini makin sedikit ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa tikan kapiek sebagaimana spesies ikan Cyprinid pada umumnya, adalah spesies ikan air tawar murni (primary freshwater fishes) (Lowe

-

McConnell, 1975). Ikan ini tidak ditemukan di dekat muara atau perairan payau.

Pada musim kemarau yang berlangsung dari bulan April hingga September (Tabel 1) setiap tahun, Sungai Kampar di daerah di mana ikan kapiek hidup, mempunyai kedalaman air

(69)

Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan (nun) Setiap Bulan (Hasil Penqamatan Selama 40 Tahun) d i Bangkinang), Kampar, Menurut Catatan Pusat Pertanian Bogor, Bogor (1978)

Bulan J F M A M J J A S O N D

Curah

hujan 337 322 256 272 230 152 144 199 153 329 357 356 (nun)

Pada musim kemarau kecerahan air di Sungai di Kampar sangat tinggi, atau berkisar antara 100 dan 120 cm pada pengukuran dengan piring " S e ~ c h i * ~ sedangkan pada musim hujan kadang-kadang air sangat keruh dan kecerahan kuran dari 40 cm. Suhu permukaan terendah adalah 2 5 . 1 ~ ~ dan tertinggi 27.0 OC, dan pH air terendah adalah lima terjadi pada musim kemarau dan tertinggi adalah tujuh, terjadi pada musim hujan (banjir).

Pada musim hujan Sungai Kampar secara reguler meng- alami banjir. Pada musim ini terbentuk banyak genanqan- genangan air di kiri kanan aliran sungai yang selama ini terpisah dari sungai utama, dan pada musim hujan menyatu dengan aliran sungai utama.

Seksualitas ikan kapiek

[image:69.525.38.454.17.564.2]
(70)

yang berbeda. Dengan perkataan lain, ditemukan adanya ikan jantan dan ikan betina yang berkembang sejak lahir atau menetas, dan setiap individu akan tetap sebagai jantan. atau betina selam hidupnya. Namun demikian, pada ikan kapiek tidak ditemukan adanya tanda-tanda luar (ciri seks sekunder) yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam membedakan antara ikan jantan dan ikan betina (Gambar 1).

Ikan muda atau ikan yang belum matang gonad dan ikan yang telah matang gonad, baik jantan maupun betina, dapat dibedakan satu sama lain dengan melihat sirip-siripnya. Ikan yang sudah matang gonad mempunyai sirip-sirip dengan warna jingga kemerahan yang lebih cerah dibandingkan dengan ikan-ikan yang muda atau ikan yang belum matang gonad. Pada ikan yang masih muda atau belum matang gonad hanya bagian ujung-ujung sirip yang berwarna jingga, sedangkan pada ikan yang matang gonad, sebagian besar atau hampir keseluruhan bagian sirip menjadi berwarna jingga kemerahan dan lebih cerah.

(71)
(72)

kehijauan pada kloakanya yaitu telur. Ikan betina yang sudah matang biasanya mempunyai perut yang lebih besar jika dibandingkan dengan ikan jantan matang pada ukuran panjang yanq sama. Garis ventral tubuh ikan betina yang sudah matang lebih melengkung dibandingkan dengan ikan jantan pada kondisi kematangan yang sama.

Pada setiap pengambilan ikan contoh yang dilakukan sekali dalam sebulan yaitu pada setiap minggu pertama, terlihat bahwa jumlah ikan jantan selalu lebih besar di- bandingkan dengan ikan betina (Tabel 2) kecuali pada bulan April 1985. Secara keseluruhan nisbah kelamin jantan :

(73)

Tabel 2. Nisbah Kelamin Jantan : Betina Ikan Kapiek (Puntius schwanelfeldi) dari Sungai Kampar, Riau dari Bulan Juni 1984

-

Mei 1985.

Jumlah ikan Nisbah kelamin Bulan/tahun

---

Jantan : Betina

Jantan Betina

Juni 1984 Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari 1985 Pebruari Maret Apr i 1 Mei

[image:73.525.36.472.44.560.2]
(74)

Tabel 3. Nisbah Kelamin Jantan : Betina Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi) untuk Setiap Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dari Seluruh Ikan Contoh

TKG

[image:74.525.40.449.21.559.2]
(75)

Kondisi dan maturasi sonad ikan kapiek

Untuk mempelajari kondisi dan maturasi gonad ikan kapiek (Puntius schwanefeldi) di Sungai Kampar, Riau, telah dilakukan pemeriksaan terhadap 2113 ekor ikan contoh yang terdiri dari 973 ekor ikan betina, dan 1140 ekor ikan jantan. Ikan contoh sejumlah tersebut dikumpulkan dalam periode waktu satu tahun. Secara makroskopis, berdasarkan atas perubahan-perubahan morfologis, warna keadaan telur atau sperma, keadaan permukaan gonad, serta rongga peritonium yang terisi oleh gonad ikan dalam proses pematangan produk gonad, maka tingkat-tingkat perkembangan gonad ikan kapiek di Sungai Kampar dapat diklasifikasikan atas lima tahapan seperti dikemukakan pada Tabel 4 .

Berdasarkan deskripsi seperti dikemukakan pada Tabel

4, tingkat kematangan gonad ikan contoh diperiksa selama satu tahun, untuk setiap bulan dapat dilihat pada Tabel 5. Komposisi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan berdasarkan kelas panjang disajikan pada Tabel 6. Pada Tabel 6

(76)

Tabel 4. Deskripsi Gonad Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi) dari Sungai Kampar, Riau, pada Setiap Tingkat Kematangan

(TKG) dari Bulan Juni 1984

-

Mei 1985

TKG Deskripsi gonad

Ikan betina Ikan jantan

I. Ikan muda

Gonad seperti sepasang benang Gonad berupa sepasang benang,

yang mernanjang pada sisi late- tetapi jauh lebih pendek di-

ral rongga peritonium bagian bandingkan ovarium ikan betina

depan, berwarna bening dan pada stadium yang sama, dan

permukaan licin. berwarna jernih.

11. Masa Derkembanqan

Gonad berukuran lebih besar, Gonad berwarna putih susu dan

berwarna putih kekuningan. Te- terlihat lebih besar diban-

lur-telur belum bisa dilihat ingkan dengan gonad pada TKG I

satu persatu dengan mata te- lanjang.

111. Dewasa

Gonad mengisi hampir setengah Gonad mengisi hampir setengah

rongga peritonium telur-telur dari rongga peritonium, ber-

mulai terlihat dengan mata te- warna putih susu d a n berlekuk-

lanjang berupa butiran halus. lekuk.

Gonad berwarna kuning ke-

hi jauan

IV. Matanq

Gonad mengisi sebagian besar Gonad makin besar d a n pejal ruang peritonium, warna men- warna putih susu d a n mengisi

jadi kuning hijau kecoklatan, sebagian besar peritonium.

dan lebih gelap. Telur-telur

felas terlihat berupa butiran- butiran yang jauh Lebih besar dibanding pada TKG 111.

V. Miiah

Gonad masih seperti pada TKG Gonad bagian anal telah kosong

IV, sebagian gonad kempes, ka- dan lebih lembut. rena sebagian telur telah men-

[image:76.528.38.471.22.557.2]
(77)

di sungai, bahwa ikan betina mencapai matang gonad pertama pada ukuran yang lebih kecil.

(78)

Tabel 5. Komposisi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi) darl Sungai Kampar dari Bulan Juni 1984 sampai dengan Bulan Mei 1985

Jumlah Ikan pada Tingkat Kematangan Gonad

Total Total

Ikan Ikan

Bln I I1 I11 IV V contoh contoh

Jun 16 19 32 35 23 37 5 6 4 6 8 0 9 3 173

J u 1 13 15 30 36 2 4 27 10 14 4 3 8 1 9 5 176

A g s 14 17 2 1 27 2 5 39 14 19 2 6 7 6 107 183

S e p 7 11 9 13 28 31 29 35 16 2 1 89 111 2 0 0

Okt 14 13 15 11 27 33 21 2 7 19 15 9 6 9 9 195

Nov 22 2 6 2 4 19 8 12 10 9 9 1 1 7 3 77 1 5 0

Des 2 3 27 21 2 4 13 6 11 13 9 11 7 7 8 1 158

J a n 31 35 14 27 12 15 10 14 - 2 6 7 9 3 1 6 0

P e b 33 44 2 5 26 13 19 4 7 2 5 77 1 0 1 178

Keterangan B = betina

[image:78.528.40.461.48.550.2]
(79)

Tabel 6 . Komposisi Tingkat Kematangan Gonad ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi) dari Perairan Sungai Kampar, pada Berbagai Ukuran Panjang.

T K G

KELAS

...

PAN JANG BETINA JANTAN

...

I I1 111 IV

v

I 11 I11 IV

v

[image:79.528.39.461.30.552.2]
(80)

Tabel 7 . Kisaran Nilai Indaks Gonad Somatik (IGS) Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi) pada Berbagai Tinqkat Kematangan Gonad

Kelamin TKG Kisaran IGS Jumlah Ikan

Jantan I < 0.02 I I 0.02

-

0.73 I11 0.53

-

4.19

I V 3.45

-

7.41

V 1.98

-

6.06 [image:80.528.42.463.31.560.2]
(81)

Fekunditas ikan k a ~ i e k

Untuk mempelajari fekunditas ikan, dilakukan perhi- tungan jumlah telur terhadap setiap ikan betina ( T K G ) IV yang dikumpulkan setiap bulan. Jumlah telur dihitung dengan metoda gravimetri (~ffendie, 1979). Data mengenai berat gonad, IGS, dan rataan fekunditas ikan kapiek yang diperiksa, disajikan pada Tabel 8.

Secara keseluruhan berat gonad ikan kapiek pada TKG IV berkisar antara 10.11

-

32.22 g, dan rataan berat gonad ikan contoh setiap bulan berkisar antara 11.18

-

19.79 g. IGS ikan betina pada TKG IV secara keseluruhan berkisar antara 5.08 - 18.31 persen, dan rataan IGS ikan contoh setiap bulan berkisar antara 7.90

-

16.21 persen. Fekunditas mutlak ikan secara keseluruhan berkisar 13 105

-

37 260, dan rataan fekunditas mutlak ikan contoh setiap bulan berkisar antara 17 279

-

26 144 (Tabel 8).
(82)
[image:82.531.39.455.37.544.2]

Gambar 2. Fluktuasi Indeks Gonad Somatik (IGS) d u n Fekunditas (F) Ikan Kapiek {Puntius schwa- nefeldi) Sungai Kampar dari Bulan Juoi

1984 s a m p a i dengan Mei 1985.

X

30.

20

1 0 . 1000

,

'\,

/ /

'

/ \

0 \

-

I

/ \.\ ---\ 0 2---

I

/ \ / / # - '\

\.'

/

F

(83)

Tabel 8. Berat Gonad (BG)

,

IGS, dan Fukunditas Mutlak Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi) dari Sungai Kampar, dari Bulan Juni 1984 sampai dengan Bulan Mei 1985.

8 G (g) I G S < X > F e k u n d i t a s r n u t l a k B u l a n

I k a n K i s s r a n R a t a a n K i s a r a n R a t a a n K i s a r a n R a t a a n

J u n 8 4 5

J u l 1 0

A g S 1 4

S e p 2 8

O k t 2 1

H O P 1 0

D e s 1 1

J a n 8 5 1 0

P e b 4

M a r 3

A p r 7

[image:83.528.38.446.22.565.2]
(84)

Musim dan sifat pemiiahan

Ikan matang gonad dan mijah (TKG I V dan V), baik betina maupun jantan, ditemukan setiap bulan (Tabel 4 )

.

Hal ini menunjukkan bahwa ikan kapiek yang hidup di Sungai Kampar, dapat memijah sepanjang tahun, atau setidak- tidaknya mempunyai musim berpijah yang panjang. Sifat

dernikian umumnya ditemukan pada sebagian besar spesies ikan air tawar yang mendiami perairan Tropis (Peter and Hontela, 1978). Persentase tertinggi dari ikan matang gonad dan mijah ditemukan pada bulan-bulan September dan Oktober, dan terendah pada bulan Mei. Ikan yang matang gonad pada bulan September dan Oktober juga mempunyai rataan fekunditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainya (Tabel 9). Kejadian serupa juga dite- mukan pada Puntius lain yang hidup di perairan tawar tro- pis yaitu Hampala macrolepidota di perairan tawar Malaysia (Ali, 1986)

.

Dihubungkan dengan kondisi lingkungan d i daerah setempat, puncak pemijahan ikan kapiek di Sungai Kampar terjadi pada bulan-bulan dimana curah hujan mulai tinggi atau pada saat permukaan air d i sungai naik. Persentase ikan matang gonad (IMG) setiap bulan dapat di- lihat pada Gambar 3. Berdasarkan analisis "Deret Fourier", secara umum persentase ikan matang gonad setiap bulan dapat diduga sesuai persamaan berikut :

IMG = A, + A1 cos (Rt) + A2 cos (2Rt) + A-, cos (312) +

(85)

dimana :

A, = 20.055; A1 = 8.05083;'A2 = -5.16742; A 3 = -0.54874

Tabel 9. Perbandingan antara Ikan yang Belum Matang (TKG I, I1 dan 111) dengan Ikan Yang Matang dari Bulan k e Bulan Terhitung dari Bulan Juni 1984 sampai dengan Bulan Mei 1985.

TINGKAT KEMATANGAN GONADA TOTAL IKAN CONTOH

( TKG ) TKG

BULAN

I, 11, I11 I V ,

v

I, 11,111 IV,V ( ' g ) ( % I ( 8 ) ( %

JUN

JUL AGS SEP OKT NOP

DES

JAN FEB MAR APR ME1

[image:85.531.40.460.31.557.2]
(86)

atau pada puncak musim adalah enam persen, dan pada titik terendah adalah 3.5 persen (Gambar 3). Jumlah ikan matang mencapai jumlah paling tinggi menjelang musim hujan di daerah setempat (September, Oktober), dan paling sedikit pada musim kering (April, Mei). Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Welcome- (1986) terhadap berbagai spesies ikan sungai daerah tropis, yang menyimpulkan bahwa puncak musim berpijah pada kebanyakan spesies ikan sungai adalah pada saat air di sungai melimpah atau banjir. Pola pemijahan demikian diperlukan akan berlangsung setiap tahun jika tidak terjadi perubahan kondisi sungai yang berarti. Namun demikian, untuk memperoleh gambaran yang lebih baik diperlukan data yang lebih banyak atau penelitian yang lebih lama untuk dianalisia sesuai "Deret Fourierv1.

(87)
[image:87.525.76.465.44.538.2]
(88)

disamping tersedianya makanan yang lebih melimpah. Ikan kapiek memerlukan substrat untuk berpijah yaitu berupa tanaman air atau rumput-rumput yang sebagian daun-daunnya muncul di permukaan air. Hal ini didasarkan pada pengala- man mengamati pemijahan ikan kapiek pada kolam-kolam semi alami di daerah setempat. Ikan kapiek biasanya memijah pada sore atau malam hari di bagian pinggir kolam yang di- tumbuhi oleh tanaman air yang sebagian daun-daunnya muncul di permukaan. Pemijahan dapat diketahui dengan adanya hempasan-hempasan ikan yang dapat dilihat pada sore atau malam hari, dan pada pagi harinya akan terlihat adanya telur-telur yang telah dibuahi melekat pada daun-daunan atau tersebar di permukaan air. Hal yang sama diduga terjadi pada ikan yang hidup di sungai. Genangan-genangan air atau danau-danau kecil (danau tapak kuda atau "oxbow lake"), selama ini telah digunakan oleh petani ikan setempat untuk mengumpulkan anak-anak ikan kapiek atau spesies lain untuk dipelihara di kolam.

(89)

Anak-anak ikan tersebut mempunyai waktu untuk berkembang sebelum memasuki aliran sungai utama di musim kemarau berikutnya. Pada musim hujan, juga makanan yang tersedia lebih melimpah.

Ikan kapiek tergolong ke dalam tipe "partial spawner" (Lowe-McConnell, 1975). artinya telur-telur yang telah di ovulasikan tidak sekaligus dikeluarkan dalam satu kali berpijah. Dengan perkataan lain, dalam satu musim pemi- jahan ikan berpijah beberapa kali. Hal ini ditandai de- ngan di temukannya ikan TKG V, yaitu ikan-ikan yang sudah matang telur yang sebagian telurnya telah dipijahkan. Dalam ha1 ini sebagian gonad yaitu bagian sebelah anal telah kosong. Tipe pemijahan yang bersifat parsial ini merupakan adaptasi ikan kapiek terhadap lingkungan per- airan sungai yang kondisinya relatif labil. Dengan memi- jahkan telur berkali-kali, maka terhindarlah kemungkinan kehilangan keseluruhan telur terbawa arus sungai.

Ruava

(90)

relatif deras, dan tidak ditemukan di dekat muara atau bagian perairan yang telah bersifat payau.

Berdasarkan ruayanya ikan kapiek dapat digolongkan pada go1 ongan ikan '*putihtl (whitefish) (Welcome, 1979)

.

Pada musim kemarau, pada saat permukaan air disungai men- capai titik paling rendah, ikan ini mendiami aliran sungai utama. Saat permukaan air mulai naik pada awal musim hujan, ikan memasuki anak-anak sungai atau genangan air yang terbentuk karena naiknya permukaan air di sungai untuk berpijah. Selama musim hujan atau banjir ikan mendiami perairan tersebut. Anak-anak ikan yang baru me- netas untuk sementara juga mendiami perairan ini, dan menjelang musim kemarau berikutnya sudah cukup kuat untuk memasuki aliran sungai utarna.
(91)

Pemiiahan Buatan

Secara keseluruhan hasil percobaan pemijahan buatan dengan menggunakan EH, HCG, atau kombinasinya dapat dilihat pada Tabel 1 1 dan 12.

Pada percobaan I dengan menggunakan EH, 8 ekor ikan kapiek telah disuntik. Berat ikan kapiek yang digunakan berkisar antara 148-300 g. Setiap ikan diberi suntikan EH sebesar 1.5

Gambar

Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan (nun) Setiap Bulan
Tabel 2. Nisbah Kelamin Jantan : Betina Ikan Kapiek
Tabel 3. Nisbah Kelamin Jantan : Betina Ikan Kapiek
Tabel 4. Deskripsi Gonad Ikan Kapiek (Puntius schwanefeldi) dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Craig Groeschel claims to be weird and he encourages his readers to be weird as well. Why? Because normal just isn't that great. In his book, Weird, Groeschel compares the norm for

Jadi efektivitas sosialisasi yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah Sejauh mana keaktifan, dayaguna, adanya kesesuaian dalam suatu kegiatan orang yang melaksanakan tugas

Dalam rangka meningkatkan hasil belajar, guru harus lebih giat lagi mencari metode-metode pembelajaran baru yang dapat memberikan hasil yang lebih optimal bagi

Terkait kenyamanan mahasiswa terhadap aspek pencahayaan dan suasana ruang makan kafetaria UB, teridentifikasi bahwa pencahayaan ruang makan kafetaria sebagian besar dirasa cukup

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali sehingga diperoleh 21 petak percobaan Data hasil penelitian dianalisa dengan Analisis of Variance (ANOVA)

Hal ini berarti, melalui supervisi akademik, supervisor mempengaruhi perilaku mengajar guru sehingga perilakunya semakin baik dalam mengelola proses belajar

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang dilaksanakan di SD Negeri Tegalpanggung berlangsung mulai tanggal 2 Juli sampai dengan 17 September 2014. Dengan kegiatan

Pengujian dilakukan untuk mengetahui bahwa sistem sudah dapat mengirim data hingga ke dashboard dan dimonitor oleh user menggunakan dashboard dan aplikasi android Data