ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG
BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS
(ULTIMATE DESIGN) DAN METODE ELASTIS DESIGN
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh
Colloqium Doctum/Ujian Sarjana Teknik Sipi
l
Dikerjakan Oleh :
RETNO PRASETYANTI
NIM : 070424022
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Analisa Perhitungan Konstruksi Beton Bertulang Berdasarkan
Metode Kekuatan Batas (Ultimate Design) dan Elastis Design
(Studi Literatur)
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk Melengkapi Tugas- tugas
Dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh: RETNO PRASETYANTI
NIM. 070 424 022
Disetujui oleh : Pembimbing
Nursyamsi, ST, MT NIP . 19770623 200501 2 001
Penguji I Penguji II Penguji III
Ir. Sanci Barus, MT Ir. Besman Surbakti, MT Ika Puji Hastuty, ST, MT NIP. 195209011981121002 NIP.195410121980031004 NIP. 197708072008122002
Diperiksa Oleh : Diketahui Oleh :
Koordinator PPE Departemen Teknik Sipil Ketua Departemen Teknik Sipil
Ir. Faizal Ezeddin, MS Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan NIP. 19490713 198003 1 001 NIP. 19561224 198103 1 002
FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL PROGRAM PENDIDIKAN EKSTENSION
ABSTRAK
ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS (ULTIMATE DESIGN) DAN
METODE ELASTIS DESIGN
Oleh : Retno Prasetyanti (070424022)
Perlu disadari bahwa suatu peraturan bangunanan bukan hanya diperlukan sebagai petunjuk praktis yang disarankan untuk dilaksanakan, bukan hanya merupakan buku pegangan pelaksanaan, bukan pula dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan, pertimbangan teknik, serta pengalaman-pengalaman di masa lalu. Suatu peraturan bangunan jadi pedoman pihak perencana untuk menghasilkan struktur bangunan yang ekonomis dan yang lebih, adalah aman. Baik dari perhitungan maupun teknik pelaksanaan struktur perlu diperhatikan demi kelancaran pelaksanaan, keefektifan, dan mutu yang dihasilkannya. Inilah yang mendorong penulis memilih topik pembahasan dalam tugas akhir ini.
Topik bahasan ini dititikberatkan pada perencanaan konstruksi beton bertulang khususnya pada balok dan kolom pada gedung perkantoran 6 (enam) lantai. Tujuan penulisan tugas akhir ini adalh untuk membandingkan hasil perencanaan struktur beton bertulang yang mengacu pada PBI 1971 dan SK SNI 03-2847-2002 yang merupakan peraturan terbaru di Indonesia.
Metode penulisan dalam tugas akhir ini secara garis besar berupa: Studi literatur (Studi kepustakaan), pemodelan dengan mengambil contoh, dan dari pemodelan tersebut dibandingkan hasil perencanaannya.
Dari hasil perencanaan didapatkan: 1) Metode perencanaan elastis didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan prilaku beton bertulang dianggap sama dengan baja; 2) Pada metode kekuatan batas (ultimate design) menganggap bahwa beton bertulang sebagai bahan yang bersifat tidak serba sama (non homogen) dan tidak sepenuhnya elastis; 3) Langkah-langkah perencanaan balok dan kolom untuk masing-masing peraturan.
Kesimpulan: 1) Perhitungan penulangan balok pada SK SNI 03-2847-2002 lebih efisien 42,44% dibandingkan dengan PBI 1971; 2) Perhitungan penulangan kolom pada PBI 1971 lebih efisien 38,85% dibandingkan dengan SK SNI 03-2847-2002, hal ini dikarenakan pada peraturan yang baru ini, perhitungan penulangan kolom dan tulangan geser lebih daktail bila dibandingkan dengan peraturan yang lama; 3) SK SNI 03-2847-2002 memberikan perubahan dan tambahan standard perencanaan struktur terhadap peraturan lama, khususnya PBI 1971. Dari penyusunan tugas akhir ini, SK SNI 03-2847-2002 memberikan hasil dimensi yang lebih ekonomis dari Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 untuk balok.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada kita semua,
khususnya kepada penulis yang hingga pada saat ini masih diberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul :
ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS (ULTIMATE DESIGN) DAN
METODE ELASTIS DESIGN
Tugas akhir ini disusun untuk diajukan sebagai syarat dalam ujian sarjana Teknik
Sipil bidang struktur pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari
bahwa isi dari tugas akhir ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan
keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pemahaman penulis. Untuk penyempurnaan,
saran dan kritik dari bapak dan ibu dosen serta rekan mahasiswa sangatlah penulis
harapkan.
Penulis juga menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuuan dan dorongan dari
berbagai pihak, tugas akhir ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat kepada :
1. Bapak Prof. DR. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Ir. Faizal Ezeddin, MS, selak Koordinator Program Pendidikan Sarjana
Ekstension Fakultas Departemen Teknik Sipil.
3. Ibu Nursyamsi, ST, MT, selaku Dosen Pembimbing tugas akhir.
5. Seluruh pegawai administrasi yang telah memberikan bantuan dan kemudahan dalam
penyelesaian administrasi.
6. Kakanda Mhd. Ibarhim Syafi’i Siahaan yang juga selalu bersedia membantu saya
dalam penyelesaian laporan ini.
7. Kepada aldeson simatupang, jaka suranto, dan juga teman-teman yang lain, terima
kasih untuk segala dukungan dan doanya.
8. Teruntuk sahabat-sahabatku, neni, lidya, yovi, senny siti, dan yang lain, mohon maaf
karena tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala bentuk
perhatian, dukungan, doa dan semangatnya.
9. Rekan-rekan mahasiswa yang turut membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Akhir kata penulis berharap kiranya tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2010
Hormat saya,
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR NOTASI ... iv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 4
1.3 Maksud dan Tujuan ... 5
1.4 Batasan Masalah ... 5
1.6 Metode Penulisan ... 11
1.7 Sistematika Penulisan ... 11
BAB II. LANDASAN TEORI II.1 Metode Perencanaan dan Persyaratan ... 12
II.1.1 Peraturan dan Standar Perencanaan ... 12
II.1.2 Baja Tulangan ... 14
II.1.3 Provisi Keamanan ... 17
II.2 Balok Persegi ... 19
II.2.1 Metode Analisis dan Perencanaan ... 19
II.2.2 Kuat Lentur Penampang Balok Persegi ... 24
II.2.3 Kondisi Penulangan Seimbang ... 26
II.2.4 Persyaratan Kekuatan ... 29
II.2.6 Analisis Balok Bertulangan Rangkap... 31
II.3 Perencanaan Balok ... 33
II.3.1 Metode Elastis Design (Metode Tegangan Kerja)/PBI 71 33 II.3.1.a Umum ... 33
II.3.1.b Analisis Balok Persegi Dengan Lentur Cara-n... 38
II.3.1.c Perencanaan Balok Persegi ... 41
II.3.2 Metode Kekuatan Batas/SK SNI 03-2847-2002 ... 44
II.3.2.a Umum ... 44
II.3.2.b Keruntuhan Lentur Akibat Kondisi Batas ... 47
II.3.2.c Keruntuhan Akibat Geser ... 52
II.3.2.d Analisa Balok Terlentur Bertulangan Tarik Saja 53 II.3.2.e Analisis Balok Persegi Bertulangan Rangkap .... 55
II.4 Struktur Kolom ... 59
II.4.1 Umum ... 59
II.4.2 Hubungan Beban Aksial dan Momen ... 62
II.4.3 Penampang Kolom Bertulangan Seimbang ... 63
II.4.4 Faktor Reduksi Kekuatan Untuk Kolom ... 65
II.5 Perencanaan Kolom ... 66
II.5.1 Kekuatan Kolom Eksentrisitas Kecil ... 66
II.5.2 Kekuatan Kolom Eksentrisitas Besar ... 71
II.6 Desain Kapasitas ... 73
BAB III METODE PERENCANAAN ... 73
III.1 Perencanaan dan Persyaratan Elastis Design/PBI’71 ... 73
III.1.1 Perencanaan Penulangan Balok ... 73
III.1.1.b Perencanaan Tulangan Balok ... 76
III.1.2 Perencanaan Kolom ... 80
III.1.2.a Persyaratan ... 80
III.1.2.b Perencanaan Tulangan Kolom ... 81
III.2 Perencanaan dan Persyaratan Kekuatan Batas/SNI 2002 ... 85
III.2.1 Perencanaan Penulangan ... 85
III.2.1.a Persyaratan ... 85
III.2.2 Perencanaan Tulangan Balok ... 87
III.2.3 Perencanaan Tulangan Kolom ... 97
BAB IV APLIKASI dan PEMBAHASAN ... 100
IV.I Aplikasi ... 100
IV.1.1 Umum... 100
IV.1.2 Data Perencanaan... 100
IV.1.3 Analisis Gaya-Gaya Yang Bekerja Pada Struktur ... 105
IV.1.4 Analisis Beban Geser Dasar Akibat Gaya Gempa ... 107
IV.1.5 Perhitungan Portal ... 109
IV.1.6 Analisis Beban Akibat Gaya Gravitasi ... 111
IV.1.7 Analisis Struktur Dengan Menggunakan SAP Versi 8 . 114 IV.1.8 Perencanaan Tulangan Balok dan Kolom ... 118
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 142
V.1 Kesimpulan... 142
V.2 Saran ... 143
ABSTRAK
ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS (ULTIMATE DESIGN) DAN
METODE ELASTIS DESIGN
Oleh : Retno Prasetyanti (070424022)
Perlu disadari bahwa suatu peraturan bangunanan bukan hanya diperlukan sebagai petunjuk praktis yang disarankan untuk dilaksanakan, bukan hanya merupakan buku pegangan pelaksanaan, bukan pula dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan, pertimbangan teknik, serta pengalaman-pengalaman di masa lalu. Suatu peraturan bangunan jadi pedoman pihak perencana untuk menghasilkan struktur bangunan yang ekonomis dan yang lebih, adalah aman. Baik dari perhitungan maupun teknik pelaksanaan struktur perlu diperhatikan demi kelancaran pelaksanaan, keefektifan, dan mutu yang dihasilkannya. Inilah yang mendorong penulis memilih topik pembahasan dalam tugas akhir ini.
Topik bahasan ini dititikberatkan pada perencanaan konstruksi beton bertulang khususnya pada balok dan kolom pada gedung perkantoran 6 (enam) lantai. Tujuan penulisan tugas akhir ini adalh untuk membandingkan hasil perencanaan struktur beton bertulang yang mengacu pada PBI 1971 dan SK SNI 03-2847-2002 yang merupakan peraturan terbaru di Indonesia.
Metode penulisan dalam tugas akhir ini secara garis besar berupa: Studi literatur (Studi kepustakaan), pemodelan dengan mengambil contoh, dan dari pemodelan tersebut dibandingkan hasil perencanaannya.
Dari hasil perencanaan didapatkan: 1) Metode perencanaan elastis didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan prilaku beton bertulang dianggap sama dengan baja; 2) Pada metode kekuatan batas (ultimate design) menganggap bahwa beton bertulang sebagai bahan yang bersifat tidak serba sama (non homogen) dan tidak sepenuhnya elastis; 3) Langkah-langkah perencanaan balok dan kolom untuk masing-masing peraturan.
Kesimpulan: 1) Perhitungan penulangan balok pada SK SNI 03-2847-2002 lebih efisien 42,44% dibandingkan dengan PBI 1971; 2) Perhitungan penulangan kolom pada PBI 1971 lebih efisien 38,85% dibandingkan dengan SK SNI 03-2847-2002, hal ini dikarenakan pada peraturan yang baru ini, perhitungan penulangan kolom dan tulangan geser lebih daktail bila dibandingkan dengan peraturan yang lama; 3) SK SNI 03-2847-2002 memberikan perubahan dan tambahan standard perencanaan struktur terhadap peraturan lama, khususnya PBI 1971. Dari penyusunan tugas akhir ini, SK SNI 03-2847-2002 memberikan hasil dimensi yang lebih ekonomis dari Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 untuk balok.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini perencanaan
beton bertulang dituntut tidak hanya mampu memikul gaya tekan dan tarik saja, namun
juga dapat direncanakan seefisien mungkin.
Ada dua filsafat yang selama ini telah tampil. Pertama adalah Metode Tegangan Kerja
(Working Stress Methode), yang berpusat pada beban layan (yaitu beban pemakaian
struktur), yang terutama dipakai sejak awal tahun 1900-an sampai 1960-an, yang kedua
adalah Metode Rencana Kekuatan (Strength Design Methode), yang terpusat pada keadaan
pembebanan yang melampaui beban kerja pada saat struktur terancam keruntuhan, yang
mulai dikenal luas sejak 1983.
Di Indonesia, Peraturan atau Pedoman Standard yang mengatur perencanaan dan
pelaksanaan bangunan beton telah beberapa kali mengalami perubahan dan pembaharuan.
Sejak Peraturan Beton Bertulang Indonesia tahun 1955, kemudian PBI 1971, standard Tata
Cara Perhitungan Struktur Beton Nomor SK SNI T-15-1991-03 dan yang terakhir adalah
Standar SK SNI 03-2847-2002. Pembaharuan tersebut tiada lain dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya yang berhubungan dengan beton atau beton
bertulang.
PBI 1955 merupakan terjemahan dari GBVI (Gewapend Beton Voorchriften in
Indonesia) 1935, ialah suatu perubahan pemerintahan penjajah Belanda di Indonesia. PBI
1955 memberikan ketentuan tata cara perencanaan menggunakan metode elastik atau cara
tetap untuk segala keadaan bahan dan pembebanan. Batasan mutu bahan dalam peraturan
baik, untuk beton maupun tulangan baja masih rendah disamping peraturan tata cara
pelaksanaan yang sederhana sesuai dengan taraf teknologi yang dikuasai pada waktu itu.
PBI 1971 NI-2 diterbitkan dengan memberikan beberapa pembaharuan terhadap PBI 1955,
diantaranya yang terpenting adalah:
1. Didalam perhitungan menggunakan metode elastik atau disebut juga sebagai cara n
atau metode tegangan kerja, menggunakan nilai n yang variabel tergantung pada mutu
beton dan waktu (kecepatan) pembebanan, serta keharusan untuk memasang tulangan
rangkap bagi balok-balok yang ikut menentukan struktur.
2. Diperkenalkannya perhitungan metode kekuatan batas (ultimate) yang meskipun belum
merupakan keharusan untuk menggunakannya, ditengahkan sebagai alternatif.
3. Diperkenalkannya dasar-dasar perhitungan tahan gempa.
Standar Tata Cara Perhitungan Struktur Beton nomor: SK-SNI 03-2002 memberikan
ketentuan-ketentuan, antara lain yang terpenting adalah:
1. Diperkenalkannya perhitungan perencanaan menggunakan analisis komputer dengan
persyaratan tertentu, tanpa meninggalkan analisis struktur dengan menggunakan
mekanika teknik yang baku.
2. Konsep analisis harus dilakukan dengan model-model matematis yang mensimulasikan
keadaan struktur yang sesunggunya dilihat dari segi bahan dan kekakuan
unsur-unsurnya.
3. Tata cara hitungan geser dan puntir dibedakan atas komponen struktur non-prategang
dan prategang.
Melalui penelitian-penelitian yang dilakukan, peraturan –peraturan beton yang ada
semakin baik. Beberapa perubahan dapat ditemukan antara peraturan-peraturan yang lama
dengan yang baru seperti masalah mengenai komposisi bahan beton, detail-detail
konstruksi, dasar-dasar perhitungan dan syarat-syarat umum konstruksi seperti faktor
beban dan syarat kekuatan serta beberapa hal lainnya.
Dengan adanya peraturan-peraturan yang baru ini, diharapkan suatu bangunan pada
masa yang akan datang akan dapat dibangun dengan tingkat keamanan konstruksi yang
lebih tinggi serta juga dapat menekan biaya pembangunan hingga semakin rendah dengan
memanfaatkan sifat-sifat beton bertulang agar dapat bekerja pada batas kemampuannya.
Pada peraturan lama seperti PBI 1971, metode analisis struktur masih menggunakan
metode elastis, sedangkan pada peraturan yang lebih baru metode analisis sudah
menggunakan metode kemampuan batas, sehingga dari hal ini dapat dilihat jelas tingkat
kemampuan yang lebih tinggi dari suatu komponen beton bertulang telah digunakan dalam
peraturan -peraturan baru sehingga kekuatan potensial yang dimiliki oleh beton bertulang
akan dapat dipergunakan dengan lebih maksimal.
1.2Permasalahan
Meskipun di Indonesia telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan mengenai beton
bertulang, untuk beberapa bangunan yang lama ataupun yang baru, masih sering dijumpai
bangunan tersebut mengacu pada peraturan yang lama. Hal demikian terjadi karena
beberapa bangunan dibangun sebelum adanya peraturan yang baru. Sedangkan jika
dikehendaki bangunan lama untuk diperbaiki dengan menerapkan standar-standar yang ada
dalam peraturan baru, mungkin sebagian bangunan ini akan memerlukan biaya yang sangat
besar.
Namun berbeda halnya dengan bangunan yang baru, yang dibangun menurut peraturan
tersebut masih mengacu pada peraturan yang lama. Hal ini mungkin disebabkan para
pelaksana pembangunan belum terbiasa dengan peraturan yang baru, dan senantiasa
menggunakan peraturan yang tlah lama digunakan, sehingga peraturan yang baru dirasa
sangat tidak efektif bagi mereka.
Maka dari itu, setiap peraturan-peraturan yang baru hendaknya dimasyarakatkan oleh
pemerintah kepada para pelaksana pembangunan melalui berbagai penyuluhan untuk
menerapkan peraturan baru yang telah diterbitkan.
Untuk keperluan itu juga, dalam tugas akhir ini akan dibahas beberapa perbedaan yang
dapat ditemukan dari Peraturan PBI 1971 sebagai pembaharuan terhadap PBI 1955 yang
masih menggunakan Metode Elastis dan peraturan terbaru yang ada yaitu SK SNI
03-2847-2002.
1.3Maksud dan Tujuan
Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk membandingkan hasil perencanaan
struktur beton bertulang yang direncanakan dengan mengacu pada peraturan PBI 1971
dengan yang direncanakan mengacu pada peraturan beton SK SNI 03-2847-2002 yang
merupakan peraturan beton yang terbaru di Indonesia pada masa kini.
1.4Batasan Masalah
Tugas Akhir ini membatasi permasalahan pada perencanaan beton bertulang untuk
kolom dan balok pada bangunan 6 (enam) lantai dengan menggunakan Metode Elastis dan
Adapun data-data perencanaan sebagai berikut:
1. Konstruksi beton bertulang yang terdiri 6 (enam) lantai dengan panjang 24 m, lebar
12 m dan tinggi 21 m. Dengan dimensi-dimensi yang ditetapkan sebagai:
• Balok = 20 x 50 cm
• Kolom = 50 x 50 cm
• Plat lantai = 12 cm
• Plat atap = 10 cm
2. Dalam perencanaan ini digunakan material beton dengan mutu beton (fc’) = 30
Mpa dan material baja dengan mutu baja (fy) = 350 Mpa.
3. Komponen struktur yang dibandingkan hanyalah balok persegi dan kolom.
4. Besaran yang dibandingkan hanya mengenai dimensi balok dan kolom saja.
5. Analisa yang digunakan adalah analisa elastis untuk PBI 1971 dan ultimit untuk SK
SNI 03-2847-2002.
6. Perletakan struktur gedung adalah jepit-jepit.
7. Beban-beban yang bekerja yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku yaitu
Peraturan SK SNI 03-2847-2002
a. Beban Mati
Besarnya beban mati yang akan ditentukan harus berdasarkan berat isi pada
bahan-bahan bangunan tersebut, diantaranya:
• Beton Bertulang = 24 KN/m3
• Pasangan Batu-Bata = 17 KN/m
• Plafound = 0,17 KN/m
• Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, beban hidup pada lantai
untuk gedung yang berfungsi sebagai perkantoran adalah sebesar 250 kg/m².
Sedangkan beban hidup untuk atap adalah 100 kg/m².
c. Beban Gempa
Analisa gaya gempa menggunakan analisis statik ekivalen menurut SK SNI
03-2847-2002. Direncanakan bangunan gedung perkantoran beton bertulang
dibangun pada wilayah zone III diatas tanah lunak. Dengan faktor keamanan (I)
adalah 1,50. Utuk sistem rangka pemikul momen menengah digunakan faktor
reduksi gempa (R) adalah 5,5.
8. Untuk Peraturan Beton Indonesia 1971, kombinasi perhitungan terhadap
pembebanan beban tetap dan sementara, yaitu:
• DL
• DL + LL
• DL +LL + Qx
• DL + LL – Qx
• DL +LL + Qy
• DL + LL –Qy
• DL + Qx
9. Kombinasi pembebanan yang digunakan untuk SNI-03-2847-2002 adalah sesuai
dengan yang tercantum pada SNI-03-2847-2002, yaitu:
• 1,4 DL
• 1,2 DL + 1,6 LL
• 1,2 DL + 1,0 LL + 1,0 Qx
• 1,2 DL + 1,0 LL – 1,0 Qx
• 1,2 DL + 1,0 LL + 1,0 Qy
• 1,2 DL + 1,0 LL – 1,0 Qy
• 0,9 DL + 1,0 Qx
• 0,9 DL – 1,0 Qx
• 0,9 DL + 1,0 Qy
Gambar 1.1 Denah Gedung
B 20x50 B 20x50
B 20x50
B 20x50 B 20x50
B 20x50 B 20x50
B 20x50 B 20x50
B 20x50
B 20x50 B 20x50
B 20x50
B 20x50 B 20x50
B 20x50
B 20x50 B 20x50
B 20x50 B 20x50
B 20x50 B 20x50
6.00
6.00
6.00 6.00
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50 K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50 B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50 B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
+1750 +1400 +1050 +700 +350 6.00 6.00 6.00 6.00
B 20 x 50
B 20 x 50 B 20 x 50
K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50
K 50 x 50
B 20 x 50
±000
B 20 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
B 20 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50 K 50 x 50
K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50
B 20 x 50 B 20 x 50 B 20 x 50 B 20 x 50 B 20 x 50
6.00 6.00
B 20 x 50 B 20 x 50
K 50 x 50
K 50 x 50 K 50 x 50
±000 +350 +700 +1050 +1400 +1750 +2100
1.5Metode Penulisan
Penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk mendapatkan hasil perencanaan struktur beton
bertulang yang paling efisien dengan metode perbandingan antara perencanaan beton
bertulang yang menggunakan Metode Elastis dan Metode Kekuatan Batas (Ultimit).
Metode yang digunakan dalam skripsi ini secara garis besar berupa:
1. Studi Literatur, yaitu dengan bantuan buku-buku referensi dan pengetahuan yang
diperoleh di bangku perkuliahan.
2. Pemodelan dengan mengambil contoh.
3. Dari pemodelan tersebut dibandingkan hasil perencanaan beton bertulang
berdasarkan Metode Elastis dan Metode Kekuatan Batas (Ultimit).
1.6Sistematika Penulisan
Tugas akhir ini secara garis besar terdiri dari 5 (Lima) Bab yang masing-masing
memiliki sub Bab.
Sistematika penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang, Tujuan, Batasan Masalah, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Landasan Teori
BAB III : Meode Pembahasan
BAB IV : Aplikasi dan Pembahasan
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Metode Perencanaan dan Persyaratan
II.1.1. Peraturan dan Standar Perencanaan Struktur Beton Bertulang
Peraturan dan standar persyaratan struktur bangunan pada hakekatnya ditujukan
untuk kesejahteraan umat manusia, untuk mencegah korban manusia. Oleh karena itu,
peraturan struktur bangunan harus menetapkan syarat minimum yang berhubungan dengan
segi keamanan. Dengan demikian perlu disadari bahwa suatu peraturan bangunan bukanlah
hanya diperlukan sebagai petunjuk praktis yang disarankan untuk dilaksanakan, bukan
hanya merupakan buku pegangan pelaksanaan, bukan pula dimaksudkan untuk
menggantikan pengetahuan, pertimbangan teknik, serta pengalaman-pengalaman di masa
lalu. Suatu peraturan bangunan tidak membebaskan tanggung jawab pihak perencana untuk
menghasilkan struktur bangunan yang ekonomis dan yang lebih penting, adalah keamanan.
Di Indonesia, peraturan atau pedoman standar yang mengatur perencanaan dan
pelaksanaan bangunan beton bertulang telah beberapa kali mengalami perubahan dan
pembaharuan, sejak Peraturan Beton Indonesia 1995 (PBI 1955) kemudian PBI 1971,
kemudian Standar Tata Cara Penghitungan Struktur Beton SK SNI T-15-1991-03, dan
diperbaharui dengan Standar Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan
Gedung SK-SNI-03-2487-2002. Pembaharuan tersebut tiada lain ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya yang berhubungan dengan beton ataupun beton
bertulang.
PBI 1955 merupakan terjemahan dari GBVI (Gewapend Beton Voorschriften in
Indonesia. PBI 1955 memberikan ketentuan tata cara perencanaan menggunakan metode
elastis atau cara n, dengan menggunakan nilai banding modulus elastisitas baja dan beton,
n, yang bernilai tetap untuk segala keadaan bahan dan pembebanan. Batasan mutu bahan di
dalam peraturan baik untuk beton maupun tulangan baja masih rendah disamping peraturan
tata cara pelaksanaan yang sederhana sesuai dengan taraf teknologi yang dikuasai pada
waktu itu. PBI 1971 NI-2 diterbitkan dengan memberikan beberapa pembaharuan terhadap
PBI 1955, diantaranya yang terpenting adalah:
1) Di dalam perhitungan menggunakan metode elastik atau disebut juga dengan cara n
atau metode tegangan kerja, menggunakan nilai n yang variabel tergantung pada mutu
beton dan waktu (kecepatan) pembebanan, serta keharusan untuk memasang tulangan
rangkap bagi balok-balok yang ikut menentukan kekuatan struktur;
2) Diperkenalkannya perhitungan metode kekuatan (ultimit) yang meskipun belum
merupakan keharusan untuk memakai, hanya untuk alternatif;
3) Diperkenalkannya dasar-dasar perhitungan bangunan tahan gempa.
Sampai dengan saat ini, penguasaan pengetahuan dan teknologi yang berkaitan
dengan sifat dan prilaku struktur beton terus menerus mengalami perkembangan sehingga
standar dan peraturan yang mengatur tata cara perencanaan dan pelaksanaannya juga
menyesuaikan untuk selalu diperbaharui.
Semua Peraturan dan Pedoman Standar tersebut diatas diterbitkan oleh Departemen
Pekerjaan Umum Republik Indonesia dan diberlakukan sebagai peraturan standar resmi.
Dengan sendirinya apabila suatu dokumen mencantumkannya sebagai peraturan resmi
yang harus diikuti, maka sesuai dengan prosedur yang berlaku peraturan tersebut
berkekuatan hukum dalam pengendalian perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton
II.1.2. Baja Tulangan
Beton tidak dapat menahan gaya tarik melebihi nilai tertentu tanpa mengalami
retak-retak. Untuk itu, agar beton dapat bekerja dengan baik dalam suatu sistem struktur,
perlu dibantu dengan memberinya perkuatan penulangan yang terutama akan mengemban
tugas menahan gaya tarik yang bakal timbul di dalam sistem. Untuk keperluan penulangan
tersebut digunakan bahan baja yang memiliki sifat teknis menguntungkan, dan baja
tulangan yang digunakan dapat berupa batang baja lonjoran ataupun kawat rangkai (wire
mesh) yang berupa batang kawat baja yang dirangkai (dianyam) dengan teknik pengelasan.
Yang terakhir tersebut, terutama dipakai untuk plat dan cangkang tipis atau struktur lain
yang tidak mempunyai tempat cukup bebas untuk pemasangan tulangan, jarak spasi, dan
selimut beton sesuai dengan persyaratan pada umumnya. Bahan batang baja rangkai
dengan pengelasan yang dimaksud, didapat dari hasil penarikan baja pada suhu dingin dan
dibentuk dengan pola ortogonal, bujur sangkar, atau persegi empat dengan di las pada
setiap titik pertemuannya.
Agar dapat berlangsung lekatan erat antara baja tulangan dengan beton, selain
batang polos berpenampang bulat (BJTP) juga digunakan batang deformasion (BJTD),
yaitu batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip yang
teratur dengan pola tertentu, atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya.
Pola permukaan yang dikasarkan atau pola sirip sangat beragam tergantung pada mesin
giling atau cetak yang dimiliki oleh produsen, asal masih dalam batas-batas spesifikasi
teknik yang diperkenankan oleh standar. Baja tulangan (BJTP) hanya digunakan untuk
tulangan pengikat sengkang atau spiral, umumnya diberi kait pada ujungnya.
Di banyak negara termasuk di negara kita, telah dilaksanakan banyak percobaan
serta pengujian untuk melakukan pendekatan dan penelitian yang berhubungan dengan
ferro cement dimana digunakan bahan kayu, bambu, atau bahan lain untuk penulangan
beton. Ataupun beton dengan perkuatan fiber (serat) dimana sebagian bahan imbuhan
perkuatan digunakan serat-serat baja atau serat dengan dan serbuk bahan lain, demikian
pula usaha memperbaiki mutu bahan betonnya sendiri dengan menggunakan abu terbang
(fly ash) dan sebagainya.
Sifat fisik tulangan baja yang paling penting untuk digunakan dalam perhitungan
perencanaan beton bertulang ialah tegangan luluh (fy) dan modulus elastisitas (Es).
Tegangan luluh (titik luluh) baja ditentukan melalui prosedur pengujian standar sesuai
SII 0136-84 dengan ketentuan bahwa tegangan luluh adalah tegangan baja pada saat
meningkatnya tegangan tidak disertai dengan peningkatan regangannya. Di dalam
perencanaan atau analisis beton bertulang umumnya nilai tegangan luluh baja tulangan
diketahui atau ditentukan pada awal perhitungan.
Di samping usaha standarisasi yang telah dilakukan oleh masing-masing negara
produsen baja, kebanyakan produksi baja tulangan beton pada dewasa ini masih
berorientasi pada spesifikasi teknis yang ditetapkan ASTM. Di Indonesia produksi baja
tulangan dan baja struktur telah diatur sesuai dengan Standar Industri Indonesia, antara lain
dengan SII 0136-80.
Modulus elastisitas baja tulangan ditentukan berdasarkan kemiringan awal kurva
tegangan-regangan di daerah elastik dimana antara mutu baja yang satu dengan yang
lainnya tidak banyak bervariasi.
Ketentuan SK SNI-03-2487-2002 menetapkan nilai modulus elastisitas beton, baja
tulangan, dan tendon sebagai berikut :
1. Untuk nilai wc diantara 1500 kg/m3 dan 2500 kg/m3, nilai modulus elastisitas beton Ec
dapat diambil sebesar (wc)1,5 0,043 f 'c (dalam Mpa). Untuk beton normal Ec dapat
2. Modulus elastisitas untuk tulangan non-prategang Es boleh diambil sebesar 200.000
Mpa.
3. modulus elastisitas untuk beton prategang Es’ ditentukan melalui pengujian atau dari
data pabrik.
II.1.3. Provisi Keamanan
Tujuan utama desain struktur adalah untuk mendapatkan struktur yang aman
terhadap beban atau efek beban yang bekerja selama masa penggunaan bangunan. Struktur
dan unsur-unsurnya harus direncanakan untuk memikul beban cadangan di atas beban yang
diharapkan bekerja dibawah keadaan normal. Kapasitas cadangan yang demikian
disediakan untuk memperhitungkan beberapa faktor yang dapat digolongkan dalam dua
kategori umum; yaitu faktor yang berhubungan dengan pelampauan beban dan faktor yang
berhubungan dengan kekurangan kekuatan (yaitu kekuatan yang kurang daripada harga
yang diperoleh dengan menggunakan prosedur perhitungan yang dapat diterima). Bila
intensitas dan efek beban yang bekerja diketahui dengan pasti, maka struktur dapat dibuat
aman dengan cara memberikan kapasitas kekuatan yang sedikit lebih besar daripada efek
beban.
Akan tetapi, sering kali dirasakan adanya ketidakpastian, baik ketika menentukan
beban-beban yang akan bekerja pada struktur, maupun dalam hal kekuatan struktur dalam
menahan beban tersebut. Ketidakpastian karena adanya variabilitas penampilan struktur
dapat disebabkan oleh variasi kekuatan dan kekakuan beton akibat mutu material yang
tidak seragam, kualitas pelaksanaan yang mempengaruhi kepadatan dan gradasi kekuatan
beton, variasi dimensi elemen-elemen struktur, geometri struktur, penempatan tulangan
Untuk mengatasi hal tersebut diatas digunakanlah faktor keamanan atau angka
keamanan, dengan kekuatan struktur diusahakan sama atau lebih besar dari perkalian
antara angka keamanan dengan beban kerja. Dengan kata lain, angka kemanan ini
dimaksudkan untuk menjamin bahwa kapasitas struktur selalu lebih besar daripada
bebannkerja. Angka keamanan juga sering dipandang sebagai perbandingan antara
tegangan leleh terhadap tegangan beban layan, namun pandangan ini tentu saja tidak
berlaku bila efek nonlinear turut diperhitungkan. Sehingga angka keamanan didefenisikan
sebagai rasio beban yang dapat menimbulkan keruntuhan terhadap beban kerja.
Variabilitas di dalam perbandingan dari kekuatan terhadap beban kerja di dalam
metode tegangan kerja merupakan suatu faktor utama di dalam peralihan kepada
pengunaan dari metoda rencana kekuatan.
Peraturan SNI memisahkan provisi keamanan dalam faktor U untuk pelampauan
beban dan faktor ø untuk kekurangan kekuatan. Persamaan dasar untuk pelampauan beban
(SNI 03-2847-2002) untuk struktur pada lokasi dan proporsi yang sedemikian hingga
pengaruh dari angin dan gempa dapat diabaikan, adalah :
U = 1,2D + 1,6L
Di mana : U = kekuatan yang diperlukan (berdasarkan kemungkinan pelampauan beban)
D = beban mati pada keadaan layan
L = beban hidup
Tujuan dari suatu provisi keamanan adalah untuk membatasi kemungkinan dari
keruntuhan dan juga untuk memberikan struktur yang ekonomis. Jelaslah kiranya bila
biaya tidak menjadi bahan pertimbangan, adalah mudah untuk merencanakan suatu
yang cocok, maka kepentingan relatif dari beberapa hal harus ditetapkan. Beberapa
diantara hal-hal tersebut adalah :
1. Keseriusan dari keruntuhan, apakah terhadap manusia atau harta benda.
2. Realibilitas dari pengerjaan dan pemeriksaan.
3. Ekspektasi dan besarnya pelampauan beban.
4. Pentingnya suatu unsur di dalam struktur.
5. Kesempatan untuk aba-aba peringatan sebelum keruntuhan.
Dengan menetapkan persentase untuk hal-hal diatas dan dengan mengevaluasi
kondisi lingkungan untuk suatu kondisi, faktor yang memadai untuk keamanan dapat
ditentukan untuk setiap hal.
II.2. Balok Persegi
II.2.1. Metode Analisis dan Perencanaan
Perencanaan komponen struktur beton dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak
timbul retak berlebihan pada penampang sewaktu mendukung beban kerja, dan masih
mempunyai cukup keamanan serta cadangan kekuatan untuk menahan beban dan tegangan
lebih lanjut tanpa mengalami runtuh. Timbulnya tegangan-tegangan lentur akibat
terjadinya momen karena beban luar, dan tegangan tersebut merupakan faktor yang
menentukan dalam menetapkan dimensi geometris penampang komponen struktur. Proses
perencanaan atau analisis umumnya dimulai dengan memenuhi persyaratan terhadap
lentur, kemudian baru segi-segi lainnya, seperti kapasitas geser, defleksi retak, dan panjang
penyaluran, dianilisis sehingga keseluruhannya memenuhi syarat.
Seperti diketahui, untuk bahan bersifat serba sama dan elastis, distribusi regangan
tepi terluar. Dengan demikian nilai tegangannya berbanding lurus dengan nilai regangan
dan hal tersebut berlaku sampai dengan dicapainya batas sebanding (proportional limit).
Untuk bahan baja dengan mutu yang umum digunakan sebagai komponen
struktural, nilai batas sebanding dan nilai tegangan luluh letaknya berdekatan hampir
berhimpit, dan nilai tegangan lentur ijin didapat dengan cara membagi tegangan luluh
dengan faktor aman. Pada struktur kayu, nilai tegangan lentur ijin didapatkan dengan cara
lebih langsung dengan menggunakan faktor aman pembagi terhadap tegangan lentur patah.
Dengan menggunakan cara penetapan tegangan lentur ijin seperti tersebut, yang didasarkan
pada anggapan hubungan linier antara tegangan dan regangan, analisis serta perncanaan
struktur kayu dan baja dapat dilakukan, sesuai dengan teori elastisitas.
Meskipun disadari bahwa pada kenyataan bahan beton bersifat tidak serba sama
(nonhomogeneous) dan tidak sepenuhnya elastik, selama ini cara pendekatan linier seperti
tersebut di atas juga digunakan dan dianggap benar bagi bahan beton. Selama kurun waktu
cukup lama perencanaan serta analisis didasarkan pada pemahaman tersebut dan
dinamakan sebagai metode elastik, cara-n, atau metode tegangan kerja (working stress
design method, WSD method).
Sejak jangka waktu 30 tahun belakangan ini telah dikenal metode pendekatan lain
yang lebih realistik, ialah bahwa hubungan sebanding antara tegangan dan regangan dalam
beton terdesak hanya berlaku pada suatu batas keadaan pembebanan tertentu, yaitu pada
tingkat beban sedang. Pendekatan ini dinamakan metode perencanaan kekuatan (Ultimate
Strength Design Methode, USD Methode) atau metode perencanaan kekuatan ultimit.
Metode tersebut mulai dikenalkan sejak tahun 60-an, sejak dimuat di dalam peraturan
beton di beberapa negara. ACI Building Code misalnya, telah mengenal baik dan memuat
kedua metode setara, dan sejak tahun 1971 metode tersebut diangkat menjadi satu-satunya
teknik analisis dan perencanaan untuk berbagi pemakaian gratis.
Walau demikian, metode tegangan kerja masih dicantumkan, digunakan sebagai
metode alternatif penetapan daya guna kelayanan (serviceability) struktur. Di Indonesia,
metode perencanaan baru diperkenalkan dalam PBI 1971 dan dipakai sebagai metode
alternatif di samping metode tegangan kerja yang masih juga dipertahankan. Proses
perubahan dan pengembangannya di Indonesia terasa sangat lambat, antara lain karena
metode lama sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk meninggalkannya.
Sesungguhnya telah disadari bahwa tiada satupun alasan ilmiah yang hendak
mempertahankan metode tegangan kerja untuk perencanaan dan analisis struktur beton
bertulang, akan tetapi hambatan utama datang dari aspek pendidikan dan penyuluhan yang
mencakup matra cukup luas.
Anggapan-anggapan yang dipakai sebagai dasar untuk metode kekuatan (ultimit)
pada dasarnya mirip dengan yang digunakan untuk metode tegangan kerja. Perbedaannya
terletak pada kenyataan yang didapat dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa tegangan beton kira-kira sebanding dengan regangannya hanya sampai pada tingkat
pembebanan tertentu. Pada tingkat pembebanan ini, apabila beban ditambah terus, keadaan
sebanding akan lenyap dan diagram tegangan tekan pada penampang balok beton akan
berbentuk setara dengan kurva tegangan-regangan beton tekan, seperti terlihat pada
Gambar 2.1 Tegangan Tekan Benda Uji Beton
(Dikutip dari Buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Gambar 2.2 Berbagai Kuat Tekan Beton
(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Pada metode tegangan kerja, beban yang diperhitungkan adalah service loads
(beban kerja), sedangkan penampang komponen struktur direncana atau dianalisa
[image:31.595.173.426.370.556.2]0,45 fc’, dimana pola distribusi tegangan tekan linier atau sebanding lurus dengan jarak
terhadap garis netral.
Sedangkan pada metode kekuatan (ultimit), service loads diperbesar, dikalikan
suatu faktor beban dengan maksud untuk memperhitungkan terjadinya beban pada saat
keruntuhan telah diambang pintu. Kemudian dengan menggunakan beban kerja yang sudah
diperbesar (beban terfaktor) tersebut, struktur direncana sedemikian sehingga didapat nilai
kuat guna pada saat runtuh yang besarnya kira-kira lebih kecil sedikit dari kuat batas
runtuh sesungguhnya. Kekuatan pada saat runtuh tersebut dinamakan kuat ultimit dan
beban yang bekerja pada atau dekat dengan saat runtuh dunamakan beban ultimit.
Pendekatan dan pengembangan metode perencanaan kekuatan didasarkan atas
anggapan-anggapan sebagai berikut :
1. Bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan, tetap rata setelah terjadi lenturan dan
tetap berkedudukan tegak lurus pada sumbu bujur balok (prinsip Bernoulli). Oleh
karena itu, nilai regangan dalam penampang komponen struktur terdistribusi linear atau
berbanding lurus terhadap jarak ke garis netral (prinsip Navier).
2. Tegangan sebanding dengan regangan hanya sampai pada kira-kira beban sedang,
dimana tegangan beton tekan tidak melampaui ± ½ fc’. Apabila beban meningkat
sampai beban ultimit, tegangan yang timbul tidak sebanding lagi dengan regangannya
berarti distribusi tegangan tekan tidak lagi linear. Bentuk blok tegangan beton tekan
pada penampangnya berupa garis lengkung dimulai dari garis netral dan berakhir pada
serat tapi tekan terluar. Tegangan tekan maksimum sebagai kuat tekan lentur beton
pada umumnya tidak terjadi pada serat tepi terluar, tetapi agak masuk kedalam.
3. Dalam memperhitungkan kapasitas momen ultimit komponen struktur, kuat tarik beton
diabaikan (tidak diperhitungkan) dan seluruh gaya tarik dilimpahkan kepada tulangan
II.2.2. Kuat Lentur Penampang Balok Persegi
Distribusi tegangan beton tekan pada penampang bentuknya setara dengan kurva
tegangan-regangan beton tekan. Seperti tampak pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.3 Balok Menahan Momen Ultimit
(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Bentuk distribusi tegangan tersebut berupa garis lengkung dengan nilai nol pada garis
netral, dan untuk mutu beton yang berbeda akan lain pula bentuk kurva dan
lengkungannya. Tampak bahwa tegangan tekan fc’, yang merupakan tegangan maksimum,
posisinya bukan pada serat tepi tekan terluar tetapi agak masuk kedalam.
Pada suatu komposisi tertentu balok menahan beban sedemikian hingga regangan
tekan lentur beton maksimum (ε’b maks) mencapai 0,003 sedangkan tegangan tarik baja
tulangan mencapai tegangan luluh fy. Apabila hal demikian terjadi, penampang dinamakan
demikian berarti bahwa untuk suatu komposisi beton dengan jumlah baja tertentu akan
memberikan keadaan hancur tertentu pula.
Berdasarkan pada anggapan-anggapan seperti yang telah dikemukakan di atas,
dapat dilakukan pengujian regangan, tegangan, dan gaya-gaya yang timbul pada
penampang balok yang bekerja menahan momen batas, yaitu momen akibat beban luar
yang timbul tepat pada saat terjadi hancur. Momen ini mencerminkan kekuatan dan di
masa lalu disebut sebagai kuat lentur ultimit balok. Dan kuat lentur suatu balok beton
tersedia karena berlangsungnya mekanisme tegangan-tegangan dalam yang timbul di
dalam balok yang pada keadaan tertentu dapat diwakili oleh gaya-gaya dalam.
II.2.3. Kondisi Penulangan Seimbang
Meskipun rumus lenturan tidak berlaku lagi dalam metode perencanaan kekuatan
akan tetapi prinsip-prinsip dasar teori lentur masih digunakan pada analisis penampang.
Untuk letak garis netral tertentu, perbandingan antara regangan baja denagn regangan
beton maksimum dapat ditetapkan berdasarkan distribusi regangan linear. Sedangkan letak
garis netral tergantung pada jumlah tulangan baja tarik yang dipasang dalam suatu
penampang sedemikian sehingga blok tegangan tekan beton mempunyai kedalaman cukup
agar dapat tercapai keseimbangan gaya-gaya, dimana resultan tegangan tekan seimbang
dengan resultante tegangan tarik (ΣH = 0).
Apabila pada penampang tersebut luas tulangan baja tariknya ditambah, keadaan
blok tegangan beton akan bertambah pula, dan oleh karenanya letak garis netral akan
bergeser ke bawah lagi. Apabila jumlah tulangan baja tarik sedemikian sehingga letak
garis netral pada posisi dimana akan terjadi secara bersamaan regangan luluh pada baja
tarik dan regangan beton tekan maksimum 0,003 maka npenampang disebut bertulanagn
pembatas antara dua keadaan penampang balok beton bertulang yang berbeda cara
[image:35.595.209.449.155.372.2]hancurnya.
Gambar 2.4 Variasi Letak Garis Netral
(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Apabila penampang balok beton bertulang mengandung jumlah tulangan baja tarik
lebih banyak dari yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan regangan, penampang
balok demikian disebut bertulangan lebih (overreinvorced ). Berlebihnya tulangan baja
tarik mengakibatkan garis netral bergeser ke bawah. Hal yang demikian pada gilirannya
akan berakibat beton mendahului mencapai regangan maksimum 0,003 sebelum tulangan
baja tariknya luluh. Apabila penampang balok tersebut dibebani momen lebih besar lagi,
yang berarti regangannya semakin besar sehingga kemampuan regangan beton terlampaui,
maka akan berlangsung keruntuhan dengan beton hancur secara mendadak tanpa diawali
dengan gejala-gejala peringatan terlebih dahulu.
Sedangkan apabila suatu penampang balok beton bertulang mengandung jumlah
penampang demikian disebut bertulangan kurang (underreinforced). Letak garis netral
akan lebih naik sedikit daripada keadaan seimbang, dan tulangan baja tarik akan
mendahului mencapai regangan luluhnya (tegangan luluhnya) sebelum mencapai regangan
maksimum 0,003. Pada tingkat keadaan ini, bertambahnya beban akan mangakibatkan
tulangan baja mulur (memanjang) cukup banyak sesuai dengan prilaku bahan baja, dan
berarti bahwa baik regangan beton maupun baja terus bertambah tetapi gaya tarik yang
bekerja pada tulangan baja tidak bertambah besar. Dengan demikian berdasarkan
keseimbangan gaya-gaya horizontal ΣH = 0, gaya tekan beton tidak mungkin bertambah
sedangkan tegangan tekannya terus meningkat berusaha mengimbangi beban, sehingga
mengakibatkan luas daerah tekan beton pada penampang menyusut (berkurang) yang
berarti posisi garis netral akan berubah bergerak naik. Proses tersebut diatas terus berlanjut
sampai suatu saat daerah beton tekan yang terus berkurang tidak mampu lagi menahan
gaya tekan dan hancur sebagai efek sekunder. Cara hancur demikian, yang sangat
dipengaruhi oleh peristiwa meluluhnya tulangan baja tarik berlangsung meningkat secara
bertahap. Segera setelah baja mencapai titik luluh, lendutan balok meningkat tajam
sehingga dapat merupakan tanda awal dari kehancuran. Meskipun tulangan baja berprilaku
daktail (liat), tidak akan tertarik lepas dari beton sekalipun pada waktu terjadi kehancuran.
II.2.4. Persyaratan Kekuatan
Penerapan faktor keamanan dalam struktur bangunan di satu pihak bertujuan untuk
mengendalikan kemungkinan terjadinya runtuh yang membahayakan bagi penghuni, di lain
pihak harus juga memperhitungkan faktor ekonomi bangunan. Sehingga untuk
mendapatkan faktor keamanan yang sesuai, perlu ditetapkan kebutuhan relatif yang ingin
dicapai untuk dipakai sebagai dasar konsep faktor keamanan tersebut. Struktur bangunan
atas beban yang diharapkan bekerja. Kapasitas lebih tersebut disediakan untuk
memperhitungkan dua keadaan, yaitu kemungkinan terdapatnya beban kerja yang lebih
besar dari yang ditetapkan dan kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuatan
komponen struktur akibat bahan dasar ataupun pengerjaan yang tidak memenuhi syarat.
Kriteria dasar kuat rencana dapat diungkapkan sebagai berikut:
Kekuatan yang tersedia ≥ Kekuatan yang dibutuhkan
II.2.5. Analisis Balok Terlentur Bertulangan Tarik Saja
Analisis penampang balok terlentur dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui
dimensi unsur-unsur penampang balok yang terdiri dari: jumlah dan ukuran tulangan baja
tarik (As), lebar balok (b), tinggi efektif (d), tinggi total (h), fc’ dan fy, sedangkan yang
dicari adalah kekuatan balok ataupun manifestasi kekuatan dalam bentuk yang lain,
misalnya menghitung Mn, atau memeriksa kehandalan dimensi penampang balok tertentu
terhadap beban yang bekerja, atau menghitung jumlah beban yang dapat dipikul balok. Di
lain pihak, proses perencanaan balok terlentur adalah menentukan satu atau lebih unsur
dimensi penampang balok yang belum diketahu, atau menghitung jumlah kebutuhan
tulangan tarik dalam penampang berdasarkan mutu bahan dan jenis pembebanan yang
sudah ditentukan.
Analisis dapat pula diterapkan untuk suatu komponen struktur yang pada masa lalu
direncanakan berdasarkan pada metode tegangan kerja (cara-n). Seperti diketahui, pada
metode perencanaan tegangan (beban) kerja mungkin tidak menggunakan pembatasan
rasio penulangan sehingga penulangan balok cenderung berlebihan. Meskipun hal
demikian tidak sesuai dengan filosofi peraturan yang diberlakukan sekarang,
bagaimanapun balok-balok tersebut nyatanya sampai saat ini digunakan dan bekerja,
memperhitungkan tulangan baja tarik 0,75 ρb. Atau dengan kata lain, pendekatan dilakukan
dengan mengabaikan kekuatan baja diluar jumlah 75% dari jumlah tulangan tarik yang
diperlukan untuk mencapai keadaan seimbang.
II.2.6. Analisis Balok Terlentur Bertulangan Rangkap
Di lapangan, kita lihat bahwa suatu balok yang bertulangan tunggal jarang
dijumpai. Hal ini disebabkan karena pada perencanaan suatu bangunan, gaya gempa yang
arahnya bolak-balik juga diperhitungkan. Sehingga bidang momen pada suatu bentang
kadang bisa bernilai positif maupun negatif. Sehingga diperlukan baik tulangan atas
maupun tulangan bawah dan dikenal sebagai balok bertulangan rangkap.
Penulangan rangkap juga dapat memperbesar momen tahanan pada balok. Apabila
suatu penampang dikehendaki untuk menopang beban yang lebih besar dari kapasitasnya,
sesangkan di lain pihak seringkali pertimbangan teknis pelaksanaan dan arsitektural
membatasi dimensi balok, maka diperlukan usaha-usaha lain untuk memperbesar kuat
momen penampang balok yang sudah tertentu dimensinya tersebut.
Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan tulangan tarik hingga melebihi batas
nilai ρ maksimum bersamaan dengan penambahan bahan baja didaerah tekan penampang
balok. Hasilnya adalah balok dengan penulangan rangkap dimana tulangan baja tarik di
daerah tarik dan tulangan tekan di daerah tekan. Pada keadaan demikian berarti tulangan
baja tekan bermanfaat untuk memperbesar kekuatan balok.
Akan tetapi, dari berbagai penggunaan tulangan tekan dengan tujuan untuk
peningkatan kuat lentur suatu penampang terbukti merupakan cara yang kurang efisien
terutama dari segi ekonomi baja tulangan dan pelaksanaannya dibandingkan dengan
manfaat yang dapat tercapai. Dengan usaha mempertahankan dimensi balok tetap kecil
tulangan geser pada daerah dekat tumpuan, sehingga akan memperumit pelaksanaan
pemasangannya. Penambahan penulangan tekan dengan tujuan utama untuk memperbesar
kuat lentur penampang umumnya jarang dilakukan, kecuali apabila sangat terpaksa.
Dalam analisis balok bertulangan rangkap, akan dijumpai dua jenis kondisi yang
umum. Yang pertama yaitu bahwa tulangan tekan telah luluh bersamaan dengan luluhnya
tulangan tarik saat beton mencapai regangan maksimum 0,003. Sedangkan kondisi yang
kedua yaitu dimana tulangan tekan masih belum luluh saat tulangan tarik telah luluh
bersama dengan tercapainya regangan 0,003 oleh beton.
Jika regangan tekan baja tekan (ε’s) sama atau lebih besar dari regangan luluhnya
(εy), maka sebagai batas maksimum tegangan tekan baja tekan diambil sama dengan
tegangan luluhnya (fy). Sedangkan apabila regangan tekan baja yang terjadi kurang dari
regangan luluhnya, maka tegangan tekan baja adalah f’s = ε’s . Es. Dimana Es adalah
modulus elastisitas baja. Tercapainya masing-masing keadaan (kondisi) tersebut
II.3. Perencanaan Balok
II.3.1. Metode Elastis Design (Metode Tegangan Kerja)/ PBI 1971
II.3.1.a Umum
Metode perencanaan elastis didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan
prilaku beton bertulang dianggap sama dengan bahan homogen (serba sama) seperti
kayu, baja dan sebagainya. Sesuai dengan teori elastisitas, tegangan dan regangan
pada penampang balok terlentur untuk bahan yang homogen terdistribusi secara
linier membentuk garis lurus dari nol di garis netral ke nilai maksimum di serat tepi
terluar. Dengan demikian nilai-nilai tegangan pada penampang balok terlentur
berbanding lurus dengan regangannya. Metode elastik (tegangan kerja)
menggunakan nilai-nilai :
1. Beban guna atau beban kerja (tanpa faktor)
2. Tegangan ijin
3. Hubungan linier antara regangan dan tegangan
Perencanaan berdasarkan beban kerja akan menghasilkan beton bertulang
dengan kondisi yang diharapkan :
1. Lendutan yang terjadi masih dalam batas yang diijinkan
2. Retakan yang timbul masih dapat dikendalikan (tidak terjadi retak yang dapat
menimbulakan masuknya air yang pada akhirnya akan menyebabkan korosi).
Anggapan-anggapan dasar yang digunakan metode tegangan kerja untuk
komponen struktur terlentur adalah :
1. Bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan akan tetap rata setelah
mengalami lenturan, berarti distribusi regangan sebanding atau linear
2. Bagi bahan baja maupun beton sepenuhnya Hukum Hooke dimana nilai
3. Gaya tarik sepenuhnya dipikul oleh tulangan tarik baja
4. Batang tulangan baja terlekat sempurna dengan beton, sehingga tidak terjadi
penggelinciran. Bertitik tolak dari dasar-dasar anggapan tersebut, meskipun
bahan beton bukanlah bahan yang homogen, rumus lenturan elastik tetap dapat
[image:41.595.228.420.222.372.2]dipergunakan dengan cara transformasi penampang.
Gambar 2.5 Hubungan antara tegangan dan regangan
untuk bahan elastis linear
(Dikutip dari buku Gideon Kusuma, DasarDasar Perencanaan Beton Bertulang)
Anggapan ini memberikan hasil yang cukup baik, dengan pengecualian untuk
poin yang kedua. Tegangan berbanding lurus dengan regangan selama tegangan
tekan beton tidak melampaui setengah dari kekuatan beton pada hari ke-28.
Untuk poin yang ketiga, beton sebenarnya memiliki sedikit kemampuan untuk
menahan tegangan tarik tetapi persentasenya terhadap kemampuan beton dalam
menahan tegangan tekan sangatlah kecil. Hanya berkisar dari 9-15%. Hal ini
mengakibatkan, komponen struktur akan mengalami keruntuhan tarik sebelum
diasumsikan pada saat komponen struktur berada di bawah beban kerja, beton telah
retak pada serat tariknya.
Jika suatu balok beton bertulang yang dibebani dengan beban yang semakin
meningkat, balok akan mengalami tiga tahapan sebelum terjadi keruntuhan. Ketiga
tahapan ini yaitu tahap sebelum beton mengalami retak, tahap beton mengalami
retak elastis dan tahap kekuatan batas.
Pada pembebanan yang memberikan tegangan lentur tarik yang masih belum
melampaui tegangan tarik yang diizinkan sebelum beton mengalami retak akibat
tarik, seluruh tampang balok bekerja menahan momen, dengan tekan pada satu sisi
[image:42.595.150.476.385.661.2]dan tarik pada sisi lainnya. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.6. Beton Mengalami Crack
Luas tulangan pada beton sangat kecil bila dibandingkan dengan luas beton
itu sendiri sehingga efek yang ditimbulkan terhadap tampang beton juga akan
sangat kecil dan dapat diabaikan. Oleh karena itu, perhitungan tegangan lentur pada
balok yang demikian dapat didasarkan pada luas penampang balok.
Dari sini, momen retak yaitu momen pada saat modulus retak beton telah
tercapai, dapat dihitung dengan persamaan:
t G r cr
y I f
M =
Dimana : Mcr = Momen retak
fr = Modulus retak yang besarnya menurut ACI ditentukan sebesar
6,2 f 'c
Ig = Momen inersia tampang
yt = Jarak garis netral ke serat tarik terluar tampang
Ketika momen lentur semakin besar sehingga mengakibatkan tegangan tekan
pada serat terluar balok melampaui modulus retaknya, seluruh beton yang berada
dalam daerah tekan diasumsikan telah retak dan harus diabaikan dalam perhitungan
lentur.
Pada umumnya, momen retak sangatlah kecil bila dibandingkan dengan
momen yang bekerja pada beban kerja. Oleh karena itu, saat beban kerja, dasar
balok akan retak. Retak pada balok ini tidak berarti bahwa balok akan hancur tetapi
tulangan baja pada daerah tarik akan mulai memikul gaya tarik yang terjadi karena
momen yang bekerja.
Pada daerah tekan beton, beton dan tulangan baja diasumsikan terikat secara
sempurna sehingga regangan yang terjadi pada beton dan baja akan sama jarak
satu titik adalah sama, tegangan belum tentu sama karena memiliki modulus
elastisitas yang berbeda.
Nilai perbandingan modulus elastisitas dari baja dan beton dikenal sebagai
“modulus perbandingan n” yang dinyatakan sebagai:
n =
Ec Es
Dimana : Es = Modulus elastisitas baja
Ec = Modulus elastisitas beton
Seperti tampak pada gambar dibawah ini, tulangan baja digantikan dengan
suatu luas beton ekivalen (n. As), yang mampu menarik tarik. Pada gambar juga
tampak diagram yang menunjukkan variasi tegangan dalam balok. Pada daerah
tarik digunakan garis putus-putus karena diagram ini tidak kontinu. Beton yang
diasumsikan retak tidak dapat lagi menahan tarik. Dan pada titik dimana terpasang
tulangan baja bekerja tegangan sebesar fs/n.
Gambar 2.7. Diagram Variasi Tegangan
(Dikutip dari buku Jack C McCormac, Desain Beton Bertulang)
Dengan menggunakan asumsi ini, momen tegangan lentur dari suatu tampang
dapat ditentukan. Langkah pertama yaitu menentukan letak garis netral yang
garis netral diperoleh, momen inersia dari tampang pengganti dapat dihitung dan
tegangan pada beton dan baja dapat diperoleh dengan persamaan lentur yaitu:
I y M
fc = . dan
I y M n
fy = . .
Cara menentukan tegangan ini dikenal sebagai Lentur Cara-n
II.3.1.b Analisis Balok Persegi Dengan Lentur Cara-n
Suatu balok yang telah direncanakan terlebih dahulu dapat diperiksa apakah
dimensi dan jumlah tulangan yang terpasang telah sanggup menahan momen yang
ditimbulkan oleh beban yang bekerja. Jika tegangan yang terjadi tidak melampaui
tegangan yang diizinkan dalam peraturan, maka balok dinyatakan aman.
Pada bagian ini, beberapa persamaan untuk analisis suatu balok persegi
dengan tulangan tarik saja akan diberikan. Pada gambar dibawah ini huruf d yang
digunakan untuk mewakili nilai tegangan efektif balok, yaitu jarak dari serat tekan
terluar ke titik pusat berat tulangan baja. Tampak juga nilai x yang digantikan
[image:45.595.201.400.529.667.2]dengan kd.
Gambar 2.8. Balok Persegi
(
d kd)
A n kd
bkd = s −
.
2
Dengan menggunakan ρ = persentase luas baja = As/bd ; maka As = ρbd
2 . .k2d2 b
= nρbd2 (1– k)
k2 = 2ρn – 2ρnk
k2 + 2ρnk = 2ρn
(k + ρn)(k + ρn) = 2ρn + (ρn)2
k + ρn = 2ρn+
( )
ρn 2k = 2ρn+
( )
ρn 2 −ρn(Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)
Gaya dalam (C = jumlah tekanan dan T = jumlah tarikan) ditunjukkan pada
gambar di bawah ini. C terletak pada pusat berat segitiga tekan yaitu pada jarak
kd/3 dari serat tekan terluar balok, dan T terletak pada pusat berat tulangan baja.
Gambar 2.9. Analisis Balok Persegi
(Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)
jd = d –
3
kd
j = 1 –
3
k
Momen kopel Cjd dan Tjd harus sama dengan momen luar M, dan nilai fs dan
fc kemudian dapat diperoleh:
Untuk baja :
Tjd = M
As fs jd = M
fs =
jd A
M
s.
Untuk beton :
Cjd = M
2
fc
bkdjd = M
fc =
kj bd
M
2 2
(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
II.3.1.c Perencanaan Balok Persegi
Pada metode tegangan kerja, suatu aktor keamanan diberikan dengan
mengizinkan perhitungan tegangan samaai mencapai suatu persentase dari kekuatan
hubungan antara tegangan dan regangan antara beton maupun baja dapat
diperkirakan secara linear.
Peraturan menetapakan teganagan tekan beton izin yang digunakan dalam
perencanaan adalah sebesar 0.45 f’c.
Dalam bagian ini akan diturunkan beberapa persamaan yang diperlukan untuk
merencanakan satu balok persegi bertulangan tarik saja yang dianalisis dengan
menggunakan metode lentur cara-n yang berdasarkan pada metode tegangan kerja.
Dengan mengacu pada gambar di bawah ini, luas tulangan baja sekali lagi
diubah menjadi suatu luasan pengganti n As.
Gambar 2.10. Analisis Balok Persegi
(Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)
Dalam metode tegangan kerja, desain yang paling ekonomis yang mungkin
yaitu desain pada keadaan seimbang. Suatu balok yang didesain dengan metode ini
berada pada nilai tegangan izin maksimum fc dan tulangan baja berada pada izin
maksimum fs.
Persamaan untuk desain ini diturunkan dengan berdasarkan pada kopel-kopel
gaya dalam yang terdiri dari dua gaya yaitu C dan T. sekali lagi, tegangan C sama
dengan luas bkd dikalikan dengan suatu nilai tegangan tekan rata-rata sebesar fc/2
dan T sama dengan As fs. Jumlah gaya horizontal pada balok dalam persamaan
harus bernilai nol (0), sehingga C = T. momen tahanan dalam dapat dituliskan
sebagai Cjd atau Tjd, danini disamakan dengan momen kerja M dan kemudian
persamaan yang ada diselesaikan untuk mendimensi balok dan luas tulangan yang
diperlukan.
Mengacu pada diagram tegangan pada gambar di atas, maka suatu nilai
perbandingan dapat dibuat dan dari perbandingan tersebut, nilai k untuk desain
dapat diperoleh sebagai berikut:
kd = fc c
d fc + (fs/n)
k = fc c
fc + (fs/n)
nilai j dapat ditentukan dari:
jd = d – kd 3
j = 1 – k 3
Dengan menggunakan kopel gaya dalam:
Untuk beton :
M = Cjdr
M = bkdfc jd
bd2 =
kj f
M
c
2
Untuk baja :
M = Tjd
M = As fs jd
As =
jd f
M
s
II.3.2. Metode Kekuatan Batas/ SK SNI-03-2847-2002
II.3.2.a Umum
Pengujian terhadap balok beton bertulang memberikan suatu hasil bahwa
regangan bervariasi menurut jarak garis pusatnya ke serat tarik bahkan pada saat
beban mendekati beban batas. Tegangan tekan bervariasi hampir menurut suatu
garis lurus hingga tegangan dan regangan kira-kira akan mencapai seperti yang
terlihat pada gambar berikut:
Gambar 2.11. Analisis Balok Persegi
(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Tegangan tekan bervariasi mulai dari nol pada garis netral hingga mencapai
nilai maksimum pada suatu titik yang dekat dengan serat terluar sisi tekan.
Walaupun distribusi tegangan yang sebenarnya merupakan suatu hal yang penting,
beberapa bentuk asumsi dapat digunakan secara praktis jika hasil perbandingan
hasil analisa sesuai dengan hasil pengujian. Bentuk yang umum digunakan adalah
Gambar2.12. Kemungkinan Bentuk Distribusi Tekan
(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Whitney menggantikan blok kurva tegangan dengan suatu balok persegi
ekivalen dengan intensitas 0.85f’c dan kedalaman a = β1c, seperti tampak pada
gambar diatas, luas balok persegi harus sama dengan luas balok kurva tegangan
yang sebenarnya dan pusat berat dari kedua balok ini juga harus berhimpit.
Dalam peraturan SK SNI 03-2847-2002, untuk nilai f’c yang lebih kecil atau
sama dengan 30 Mpa nilai β1 ditentukan sebesar 0.85, dan nilai ini berkurang 0.05
untuk tiap kenaikan f’c sebesar 7 Mpa. Tetapi nilai ini tidak diambil kurang dari
0.65.
Beberapa alasan digunakannya metode kuat batas (ultimate strength design)
sebagai trend perencanaan struktur beton adalah:
1. Struktur beton bersifat in-elastis saat beban maksimum, sehingga teori elastis
tidak dapat secara akurat menghitung kekuatan batasnya. Untuk struktur yang
direncanakan dengan metode beban kerja (working stress method) maka
faktor beban (beban batas/beban kerja) tidak diketahui dan dapat bervariasi
2. Faktor keamanan dalam bentuk faktor beban lebih rasional, yaitu faktor beban
rendah untuk struktur dengan pembebanan yang pasyi, sedangkan faktor
beban tinggi untuk untuk pembebanan yang fluktuatif (berubah-ubah).
3. Kurva tegangan-regangan beton adalah non-linier dan tergantung dari kurva,
misal regangan rangkak (creep) akibat tegangan yang konstan dapat beberapa
kali lipat dari regangan elastis awal. Oleh karena itu, nilai rasio modulus
(Es/Ec) yang digunakan dapat menyimpang dari kondisi sebenarnya.
Regangan rangkak dapat memberikan redistribusi tegangan yang lumayan
besar pada penampang struktur beton, artinya tegangan sebenarnya yang
terjadi pada struktur tersebut bisa berbeda dengan tegangan yang diambil
dalam perencanaan. Contoh, tulangan baja desak pada kolom beton dapat
mencapai leleh selama pembebanan tetap, meskipun kondisi tersebut tidak
terlihat pada saat direncanakan dengan metode beban kerja yang memakai
nilai modulus ratio sebelum creep. Metode perencanaan kuat batas tidak
memerlukan ratio modulus.
4. Metode perencanaan kuat batas memanfaatkan kekuatan yang dihasilkan dari
distribusi tegangan yang lebih efisien yang dimungkinkan oleh adanya
regangan in-elastis. Sebagai contoh, penggunaan tulangan desak pada
penampang dengan tulangan ganda dapat menghasilkan momen kapasitas
yang lebih besar karena pada tulangan desaknya dapat didayagunakan sampai
mencapai tegangan leleh pada beban batasnya, sedangkan dengan teori elastis
tambahan tulangan desak tidak terlalu terpengaruh karena hanya dicapai
5. Metode perencanaan kuat batas menghasilkan penampang struktur beton yang
lebih efisien jika digunakan tulangan baja mutu tinggi dan tinggi balok yang
rendah dapat digunakan tanpa perlu tulangan desak.
6. Metode perencanaan kuat batas dapat digunakan untuk mengakses daktilitas
struktur di luar batas elastisnya. Hal tersebut penting untuk memasukkan
pengaruh redistribusi momen dalam perencanaan terhadap beban gravitasi,
[image:54.595.264.409.282.411.2]perencanaan tahan gempa dan perencanaan terhadap beban ledak (blasting).
Gambar 2.13 Hubungan Non-Linear antara tegangan dan regangan
(Dikutip dari buku Gideon Kusuma, DasarDasar Perencanaan Beton Bertulang)
II.3.2.b Keruntuhan Lentur Akibat Kondisi Batas (Ultimate)
Menurut catatan sejarah, sebenarnya perencanaan kuat batas adalah yang
pertama digunakan dalam perencanaan struktur beton. Itu dapat dimengerti karena
beban atau momen batas (ultimate) dapat dicari langsung berdasarkan percobaan uji
beban tanpa perlu mengetahui besaran atau distribusi tegangan internal pada
penampang struktur yang di uji. Untuk menjelaskan defenisi atau pengertian
ditinjau struktur balok beton bertulang yang diberi beban terpusat secara bertahap
sampai runtuh (tidak kuat menerima tambahan beban lagi).
Keruntuhan yang akan ditinjau adalah lentur. Agar dapat diperoleh suatu
keruntuhan lentur murni maka digunakan konfigurasi dua buah beban terpusat yang
diletakkan simetri sehingga di tengah bentang struktur tersebut hanya timbul
momen lentur saja (tidak ada gaya geser).
Gambar 2.14 Balok yang dibebani sampai runtuh
(Dikutip dari buku Wiryanto