• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Islam, khususnya para mujtahid dan fuqoha (ahli fikih Islam) mentransformasi. memberi pengaruh atas hukum waris di daerah itu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Islam, khususnya para mujtahid dan fuqoha (ahli fikih Islam) mentransformasi. memberi pengaruh atas hukum waris di daerah itu."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, kemudian para ahli hukum Islam, khususnya para mujtahid dan fuqoha (ahli fikih Islam) mentransformasi melalui berbagai formulasi waris sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Hukum waris Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam didunia. Sungguhpun demikian corak suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum waris di daerah itu.

Perkembangan hukum Islam di Indonesia telah melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kehadiran Kompilasi Hukum Islam ini dilatarbelakangi antara lain karena ketidakpastian dan kesimpangsiuran putusan Pengadilan terhadap masalah-masalah yang menjadi kewenangannya, disebabkan dasar acuan putusannya adalah pendapat para ulama yang ada dalam kitab-kitab fiqih yang sering berbeda tentang hal yang sama antara yang satu dengan lainnya, sehingga sering terjadi putusan yang berbeda antara satu Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama lainnya dalam masalah yang sama. Dengan lahirnya

(2)

Kompilasi Hukum Islam, semua hakim di lingkungan Pengadilan Agama diarahkan kepada persepsi penegakkan hukum yang sama.1

Apabila terjadi pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh ulama tentang syarat-syarat terjadinya pewarisan antara lain meninggalnya pewaris baik secara hakiki, hukmi atau takdiri.2 Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqih mawaris.

Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal manusia. Dari keduanya lahirlah manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan perkawinan antara lelaki dan perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam berbagai ayat dalam Al-Qur’an seperti ayat 1 Surah Annisa, ayat 13 Surah Al-Hujurat, ayat 49 – 50 Surah As Syura, ayat 45 Surah An Najm dan lain sebagainya Menurut ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, Allah SWT yang telah menciptakan manusia lelaki dan

1Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindi, 1992),

hal. 21.

2Sayid Sabiq, Figh as Sunnah, Juz III, (Semarang: Toha Putra, 1980), hal. 426.

a. Mati secara hakiki berarti kematiannya dapat dilihat oleh panca indera dan dapat dibuktikan oleh alat pembuktian

b. Mati secara hukmi berarti suatu kematian yang disebabkan karena vonis hakim, baik pada hakekatnya seseorang benar-benar masih hidup, maupun dalam kemungkinan hidup dan mati, tapi diyakini sudah mati, misalnya karena bencana alam.

(3)

perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai laki laki atau perempuan.

Sampai saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai Undang-Undang yang mengatur soal waris walaupun telah ada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sehingga masyarakat, dalam hal ini ada yang berdasarkan pada hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan hukum adat.

Salah satu karakteristik hukum Islam adalah menyedikitkan beban agar hukum yang ditetapkan oleh Allah ini dapat dilaksanakan oleh manusia agar dapat tercapai kebahagiaan dalam hidupnya.3

Oleh karena belum adanya unifikasi dalam hukum waris maka sering terjadi sengketa masalah warisan yang berujung penyelesaiannya di pengadilan. Masalah warisan ini akan mengenai setiap orang baik apabila ia meninggal dunia (menjadi pewaris) maupun apabila keluarganya yang meninggal dunia (menjadi ahli waris). Berbicara tentang seseorang yang meninggal dunia arah dan jalan pikiran kita akan menuju pada masalah warisan.4

Pesoalan Hukum Waris menyangkut tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan yang mengalihkan atau yang

3Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

2006), hal. 20

4 Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),

(4)

mewariskannya, dan adanya waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan itu.5

Oleh karena masalah warisan tersebut akan mengenai setiap orang apabila ada diantaranya yang meninggal dunia maka dapat dikatakan bahwa Hukum Waris sangat penting dalam kehidupan manusia terutama para ahli waris, karena menyangkut kelangsungan kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan, keharmonisan hubungan keluarga antara ahli waris. Di samping itu juga, status hukum harta tersebut harus jelas jika hendak berhadapan dengan pengaturan perundang-undangan lain.

Sistem Hukum waris yang berlaku di Indonesia ada 3 (tiga) yaitu, Sistem Hukum Waris Islam, Sistem Hukum Waris Adat dan Sistem Hukum Waris Perdata. Ketiga sistem hukum tersebut mempunyai perbedaan yang prinsipil misalnya antara hukum waris Islam dan hukum waris adat, berbeda dalam hal sistem kekeluargaan, pengertian kewarisan, harta peninggalan ahli waris, bagian ahli waris, lembaga penggantian ahli waris dan sistem hibah.

Umat Islam seyogyanya tunduk pada sistem Hukum Islam termasuk dalam hal waris. Jika dari segi syariah Islam hukumannya adalah wajib, kewajiban ini dapat dipahami dalam Al-Quran yang menyebutkan orang yang tidak melaksanakan aturan Allah SWT tersebut sebagai orang-orang yang ingkar, zalim dan fasik sebagaimana dalam surah Al-Maidah: 44 yang artinya: “. . . Barang siapa yang tidak memutuskan

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT. Cipta Aditya Bhakti, 2003)

(5)

menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”6

Dalam surah Al-Maidah: 45 yang artinya:

“. . . Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”7

Dan dalam surah Al-Maidah: 47 yang artinya:

“. . . Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”8

Sementara itu bagaimana sistem Hukum Islam mengatur masalah waris, umat Islam sendiri kurang mengetahui dan memahaminya. Pengetahuan hukum yang rendah, serta pemahaman hukum yang salah mengakibatkan sikap terhadap hukum menjadi salah.9

Dalam praktiknya penanganan warisan lebih banyak tergantung kepada ahli warisnya. Namun dalam kenyataannya, cukup banyak harta peninggalan yang belum dibagikan karena: masalah orang tua, terbatas harta peninggalan; tentang jenis dan macam harta warisan, pewaris tidak mempunyai keturunan; para waris belum dewasa, belum ada pewaris pengganti, diantara waris belum hadir, belum ada waris yang berhak dan belum di ketahuinya piutang pewaris.10

Agama Islam memerintahkan umatnya untuk mengesahkan pembagian warisan bila pewaris sudah meninggal dunia. Hal ini didasarkan kepada Hadis Rasul

6Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Genna

Risalah Press, 1992), hal 167.

7Ibid hal. 167 8Ibid

9Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, (Bandung: Alumni,

Bandung, 1993), hal. 151.

(6)

yang artinya: Dari Ibnu Abbas r. a. dari Nabi Muhammad SAW beliau berkata “Bagilah harta pusaka di antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).”11

Salah satu azas dari Hukum Kewarisan Islam adalah:

Asas Ijbari artinya: Azas yang menciptakan adanya proses peralihan harta dari orang yang meningal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Hal ini tanpa adanya kaitan dengan kemauan pewaris atau ahli waris. Hal ini terlihat dari Pasal 187 ayat 2 KHI yang berbunyi, “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Adanya kata harus dalam pasal ini menunjukkan berlakunya Azas Ijbari.

Sejalan dengan hal tersebut di atas terlihat bahwa proses peradilan harta dalam hukum kewarisan Islam adalah merupakan suatu hal yang wajib dan ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah mesti diterima oleh seorang muslim. Harta warisan yang belum dibagi adalah masih berbentuk kongsi dengan ahli waris yang lain. Ahli waris yang lain ada hak disitu maka haram dan berdosa menguasai hak orang lain. Dan perbuatan itu termasuk dalam kategori dzalim (menganiaya orang lain).

Kendatipun hukum Islam telah menentukan bahagian masing-masing ahli waris namun Islam juga membenarkan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebahagian dari haknya ahli waris atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta tertentu dari harta warisan atau harta lain.

(7)

Mengenai perdamaian pembagian warisan dalam keluarga disebutkan di Pasal 183 KHI yang berbunyi “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”

Undang-Undang Pengadilan Agama yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 memberi hak kepada umat Islam untuk memilih pengadilan dalam menyelesaikan perkara waris, dan umat Islam yang kuat imannya yang mau menyelesaikan secara syariat Islam di Pengadilan Agama.

Dalam praktik sering dijumpai pelaksanaan pembahagiaan warisan ditunda-tunda dan harta dibiarkan tetap untuk dalam jangka waktu yang lama bahkan ada yang sempat dikuasai oleh sebahagian ahli waris, maka akibatnya sewaktu mau dibagi harta warisan, sebahagian harta warisan tersebut masih dikuasai oleh sebahagian ahli waris.

Adapun putusan yang dianalisis oleh peneliti adalah putusan No. 2134 K/PDT/1989. Di dalam putusan ini, Majelis Hakim memutuskan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi yaitu:

1. Buyung Musjaya 2. Nurhadniah 3. Purnawati 4. Nursupiati 5. Mat Syahrul 6. Zulkaprudin

(8)

Adapun yang menjadi lawannya atau adalah adik kandungnya nya sendiri yaitu Achdarman sebagai tergugat.

Kronologis perkara ini adalah perkawinan poligami yang dilakukan H. Muhammad Djamil terhadap dua orang istrinya. Istri pertama bernama Sabariah dan istri kedua bernama Subangliah. Perkawinan dengan istri pertama H. Muhammad Djamil tidak memiliki harta, sedangkan perkawinan dengan istri kedua barulah memiliki harta kekayaan.Kedua istri H. Muhammad Djamil lebih dahulu meninggal dunia dari suaminya. Permasalahan kemudian timbul setelah meninggalnya H. Muhammad Djamil yang merupakan ayah dari penggugat. Dimana harta sengketa tetap dikuasai oleh tergugat dan dinikmati hasilnya sendiri tanpa memperbolehkan para penggugat untuk turut menikmati hasil harta sengketa tersebut karena dilarang oleh tergugat.

Para penggugat telah berulang kali minta kepada tergugat agar membagi harta sengketa peninggalan almarhum H. Muhammad Djamil tersebut, para penggugat juga telah meminta bantuan yang berwenang untuk minta kepada tergugat membagi harta sengketa tersebut, akan tetapi selalu ditolak oleh tergugat, dimana harta tersebut adalah harta warisan yang seharusnya dibagi. Hai ini tentu sangat merugikan para penggugat bahkan tergugat secara menyolok menurunkan hasil perkebunan berupa buah-buahan untuk keuntungan dirinya sendiri.

Penggugat mengajukan permohonan ke PA Tebing Tinggi untuk menetapkan dan mengesahkan para ahli waris beserta porsi pembagian ahli waris beserta porsi pembagian ahli waris dari alm. H. Muhammad Djamil.

(9)

Berdasarkan hal tersebut para penggugat menuntut agar supaya Pengadilan Negeri Lubuk Pakam meletakkan sita jaminan atas harta sengketa tersebut dan selanjutnya menjatuhkan putusan. Adapun putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam adalah:

- Menyatakan menerima gugatan penggugat-penggugat secara keseluruhan

- Menyatakan sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah dilakukan atas tanah warisan peninggalan almarhum H. Muhammad Djamil.

- Menyatakan demi hukum bahwa penetapann PA No. 23/1982 adalah syah dan berharga.

- Menghukum tergugat untuk memasukkan uang hasil tanam-tanaman ke dalam budel harta warisan H. Muhammad Djamil

- Menyatakan demi hukum tanah beserta hasil warisan alm H. Muhammad Djamil adalah harta warisan H. Muhammad Djamil yang belum dibagiwariskan.

- Menyatakan demi hukum bahwa penggugat I, II, III, IV V, Vi, VI, VII berhak atas harta warisan peninggalan H. Muhammad Djamil menurut bagian legitimi portie berdasarkan faraid dengan Penetapan Pengadilan Agama T. Tinggi No. 23/1982.

- Menghukum tergugat untuk menyerahkan bagian hak waris (legitim porsi) penggugat-penggugat dari warisan peninggalan H. Muhammad Djamil kepada penggugat-penggugat.

- Menghukum tergugat untuk membayar uang paksa apabila tergugat lalai dalam memenuhi keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

(10)

- Menghukum tergugat untuk membayar biaya-biaya yang timbul.

- Keputusan ini dapat dijalankan serta merta walaupun ada banding, kasasi atau verzet.

Kasus ini akhirnya sampai pada persidangan Mahkamah Agung, dimana Mahkamah Agung menjatuhkan putusan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan.

Melihat hal tersebut di atas, perlu dikaji bagaimana Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembahagian Harta Warisan Yang Dikuasai Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134. K/PDT/1989).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan sebahagian ahli waris menguasai harta warisan?

2. Bagaimana tindakan hukum yang dilakukan ahli waris yang dikuasai haknya oleh ahli waris yang lain?

3. Bagaimana analisis terhadap putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan kasus No. 2134. K/PDT/1989?

C. Tujuan Penelitian

(11)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan sebahagian ahli waris menguasai harta warisan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis sikap ahli waris yang dikuasai haknya oleh ahli waris yang lain.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan kasus No. 2134/K/PDT/1989.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan ilmu hukum terutama dibidang hukum waris khususnya.

2. Secara praktis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat dan pihak pihak yang berkepentingan, serta dapat menjadi sumbangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang waris.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan atas penelusuran yang dilakukan di perpustakaan baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, belum ada penelitian yang membahas tentang “Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Yang

(12)

Dikuasai Oleh Salah Satu Pewaris (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K/PDT/1989)”.

Akan tetapi dalam penelusuran tersebut ditemukan ada judul yang mengangkat tentang pembagian warisan namun permasalahan dan pembahasannya sangat jauh berbeda.Adapun judul penelitian tesis tersebut adalah :

1. Pembagian Harta Warisan Pada Suku Melayu ( Studi di Kecamatan Medan Maimoon Kelurahan Aur). Atas nama Marsella NIM (027011040)

2. Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi kasus putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung No 151/Pdt.G.2006/PTA.Bdg). Atas nama Sahriani NIM (077011084)

3. Pelaksanaan Pewarisan Menurut Hukum Adat Pada Masyarakat Adat Jawa (Studi di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara ) Atas nama Tulus Parasian Trg NIM ( 097011053 )

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam suatu penelitian hukum memegang peranan yang sangat penting guna menjadikan dasar pijakan bagi penelitian untuk menentukan arah atau tujuan penelitian. Teori menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta fakta yang menunjukan ketidak benarannya.

(13)

Kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut12:

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur-struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti; d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena

telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Kemudian dalam membahas mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan yang dikuasai oleh salah satu pewaris, maka dalam penelitian ini digunakanlah teori keadilan menurut Hukum waris Islam. Adil dalam perspektif Al-Qur’an. Salah satu nama Allah yang terdapat dalam Asma UL Husna adalah Al – Adil. Biasanya dalam bahasa Arab Adil diartikan dengan lurus, lawan bengkok. Orang yang adil harus berjalan lurus dan sikapnya harus menggunakan ukuran yang sama bukan ganda. Bila dia seorang Hakim, maka dia baru disebut dengan Adil, bila ia tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih/berperkara.13

Berbuat adil adalah sifat mulia yang disukai oleh Allah SWT. Secara konsep keadilah adalah memberikan hak kepada pemiliknya tanpa memihak, tanpa diskriminasi, kemudian meletakkan sesuatu sesuai porsinya.14

12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 121. 13Hasballah Thaib & Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an II, (Medan: Pustaka

Bangsa, 2007), hal. 239

14“Konsep Adil dalam AL-Qur’an”. http://riwayat. wordpress.

(14)

Ada sebagian ulama mendefinisikan Adil dengan menempatkan sesuatu yang berhak menerimanya, menyerahkan suatu jabatan kepada yang professional. Bila diserahkan (suatu urusan) kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran. (HR. Muslim).

Menunda hak orang juga tidak adil. Dari itu Rasul mengatakan: Orang kaya yang melambat-lambatkan bayar hutang adalah dzhalim. Dzhalim adalah lawan Adil. Di dalam al Qur’an dijumpai beberapa kata yang mirip dengan adil misalnya Almizan, Al-Qisthi, misalnya Firman Allah :Artinya:Tegakkan timbangan dengan adil dan jangan rugikan timbangan. Orang yang adil adalah orang yang lahir dari dia perbuatan keadilan. Tidak kita ketahui seseorang itu adil kecuali dengan mengetahui keadilannya.

Sifat adil sangat dekat dengan taqwa, seperti tertuang pada ayat : Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan Taqwa (QS. Al Maidah ayat 8). Keadilan yang dituntut oleh Al-Qur’an bukan saja dalam proses hukum, tetapi mencakup adil terhadap diri sendiri. Firman Allah di Surat Al-An’am ayat 152: “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap keluargamu”.

Kata adil dalam berbagai bentuk dijumpai 28x dalam Al Qur’an dan dalam berbagai peristiwa. Ini menunjukkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain berbeda arti adil. Adil yang memiliki arti relatif menurut manusia diperintahkan Allah SWT untuk ditegakkan. “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebaikan)” (QS. An Nahl Ayat 90). Firman Allah: “Katakanlah, Tuhanku memerintahkan agar menjalankan keadilan”. (QS. 7:29).

(15)

Dua puluh delapan kali kata adil dalam Al-Qur’an, tidak satupun yang dinisbahkan kepada Allah menjadi sifatnya. Ini menunjukkan keadilan Allah tidak mampu dan tidak boleh dinilai oleh manusia.

Beragam objek keadilan yang dibicarakan dalam kasus-kasus yang terdapat dalam Al-Qur’an, menunjukkan bahwa pengertian Adil pada satu kasus berbeda dengan arti adil pada kasus lain.

Keadilan hakiki tidak mampu dilakukan manusia. Hal ini dapat dilihat pada adil terhadap para isteri yang dipoligami oleh suami. Firman Allah di Surat An Nisa’ ayat 129, yang artinya: “Dan kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil diantara wanita-wanita (isteri-isteri dalam cinta). Walaupun kamu berusaha sekuat tenaga ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dan membiarkan yang lain terkatung-katung.

Dari itu ulama Fiqih (ahli Hukum) sepakat mengutarakan bahwa adil yang dituntut bagi para suami yang berpoligami adalah adil pada lahir (nafkah) karena adil pada hal-hal yang bathin tidak seorangpun mampu.15

Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal

15Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi

(16)

tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.16

Di samping itu manusia juga tidak akan mampu berlaku adil terhadap diri sendiri, kedua orang tuanya, dan saudara-saudara dekat. Hal ini juga dijelaskan Allah SWT dalam surat An-Nisa’ 135, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak, kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin maka Allah lebih utama dari keduanya”.

Karena itulah ulama Fiqih mengatakan bila yang berperkara di pengadilan tidak boleh anak atau saudara yang menjadi hakim dalam kasus orang tua/saudaranya. Diantara lawan adil adalah ahzalim. Rasul bersabda: “Hati-hatilah terhadap doa orang yang teraniaya walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara doanya dengan Allah. ”

Sulit seseorang berlaku adil bila dia tidak cerdas hati sanubarinya bersama kecerdasan intelektualnya. Bila seseorang bertanya apa arti adil maka akan terdapat perbedaan tanggapan. Adil menurut ulama yang satu akan berbeda dengan ulama yang lain, tergantung kepada peristiwa kondisi dan dalam situasi bagaimana peristiwa itu terjadi.

Sebagai pegangan dapat dikatakan bahwa defenisi adil memiliki 4 (empat) arti yaitu :17

16Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja

(17)

1. Adil dalam arti sama; artinya tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain sebagai contoh Hakim di pengadilan harus memandang sama, menempatkan tempat yang sama antara penggugat dan tergugat. Maksudnya penggugat dan tergugat memiliki hak yang sama.

Allah berfirman di Surat An-Nisa’ayat 58 yang artinya: “Apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah kamu memutuskannya dengan adil. ”

Ayat ini memberi petunjuk hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa dalam posisi yang sama, misalnya, tempat duduk, cara memanggil dengan gelar.

Dalam hal ini sulit kita temui terutama bila dalam kasus-kasus politik, baik di Indonesia atau Negara lainnya. Dari itu Hakim tidak boleh menjadi milik satu golongan/partai, tapi hakim harus berdiri di atas dan untuk semua golongan. 2. Adil artinya seimbang dalam arti proporsional, diatur dalam Surat Infithar ayat

6 -7 yang artinya:

“Wahai manusia, apakah yang memberdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang maha pemurah? yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan kamu (menjadikan) susunan tubuhmu seimbang. ”

Arti keadilan kedua ini biasanya diperlukan pada hukum waris Islam. Misalnya hak anak laki-laki 2 x bahagian anak perempuan karena tanggung jawab anak laki-laki lebih berat. Anak laki-laki bakal jadi ayah, bakal jadi suami, tentu saja

(18)

kewajiban mengeluarkan harta lebih banyak dibanding anak perempuan yang bakal menjadi isteri atau ibu yang selalu mendapatkan haknya dari calon suami atau anak-anak.

3. Adil dalam arti hak-hak individu.

Artinya setiap orang memiliki haknya masing-masing. Arti ketiga biasanya disebut dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini dapat dianalogikan sama dengan menempatkan seseorang pada jabatan yang tepat. Hal ini disebutkan dalam hadits, yang artinya:

“Apabila diserahkan suatu urusan bukan pada ahlinya (yang profesional) tungguhlah kehancurannya. ” (HR. muslim)

Adil dalam arti lawannya zhalim, yaitu pelanggaran terhadap orang lain. Bahkan banyak pemimpin kita yang dzhalim karena menempatkan seseorang dalam jabatan yang tidak dimengertinya karena pengaruh nepotisme.

4. Keadilan yang keempat adalah keadilan Allah SWT yang tidak mampu akal manusia untuk memahaminya. Keadilan Allah SWT pada hakikatnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya.

Definisi Adil berbeda dengan Ihsan,kalau adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya sedangkan Ihsan adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya karena memang harus demikian. Sebagai contoh Rasul menolak permohonan sahabat agar tidak memotong tangan pencuri itu, karena si pemilik harta yang dicuri telah memaafkannya, Rasul mengatakan:

(19)

Hukum potong tangan adalah hak Allah SWT , bukan hak manusia seperti hukum Qhisas. Allah SWT memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan (QS. An Nisa ayat 95), namun hak seseorang selalu berbeda sesuai dengan kemampuan dalam berlomba. Tidak sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui (QS. Az-Zumar ayat 9).

Konsep keadilan dalam Al-Quran dan hadis memposisikan diri secara jelas tanpa kompromi dan diskriminasi, kita diperintahkan semaksimal mungkin untuk selalu obyektif terhadap keputusan yang akan diambil. Menghindari sikap sentimen kesukuan, kebencian, dalam memutuskan suatu perkara sehingga dapat bersikap adil, apabila seseorang berlaku adil maka ia akan lebih dekat kepada kebajikan yang sempurna, sebaliknya jika tidak berlaku adil maka kebajikan akan makin jauh dari kehidupan.

Sebelum menilai sesuatu itu adil atau tidak kita harus dapat memperlihatkan dan mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus yang akan kita nilai. Manusia sangat berkeinginan meniru nama Allah SWT yang AsmauI Husna, termasuk meniru dan berlaku adil, namun karena manusia makhluk bukan Khaliq, pasti tidak akan mampu. Untuk itu manusia sudah dapat dikatakan adil bila dia sudah dapat melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah SWT menurut kemampuannya.

Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini yang merupakan pendukung teori keadilan adalah teori Maslahat. Maslahat secara etimologi atau bahasa berarti

(20)

sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah atau kegunaan dan manfaat.18

Imam Al-Ghazali mengemukakan tolak ukur yang menjadi dasar utama dalam menentukan Maslahat adalah Syariat yang diarahkan untuk memelihara pencapaian tujuan syariat Islam yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta.19 Namun Ibnu Asyura mengatakan yang termasuk dalam tujuan Syariat Islam adalah memelihara lingkungan dan ketertiban umum. Maslahat berarti mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan Syariat Islam. Esensi Maslahat terletak pada terciptanya kebaikan dan kesenangan serta terhindar dari kerusakan dalam kehidupan manusia.

Secara normatif Maslahat merujuk pada keadaan yang seharusnya ada yaitu hanya mengedapankan sifat positif dalam kehidupan berupa kebaikan, kenyamanan serta kedamaian dengan menolak berbagai sisi negative yang menimbulkan kerusakan, bahaya serta kerugian bagi kehidupan manusia. Aspek normatif Maslahat itu harus dapat diwujud nyatakan dalam tujuan empiris sehingga keberadaanya dirasakan dan dialami oleh masyarakat.

Kemaslahatan dijelmakan ke dalam hukum untuk dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia, damai sesuai dengan keberadaan Islam sebagai rahmat bagi

18Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1995), hal. 634.

19 H .Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama, (Jakarta: Logos Wahana

(21)

seluruh alam. Peranan Maslahat dalam menentukan hukum dapat menyelesaikan sengketa warisan yang dikuasai oleh sebagian ahli waris. Kemaslahatan senantiasa bersandar pada syariah dan hanya dapat diaplikasikan dalam bidang muamalah bukan pada ibadah yang telah ditentukan tata caranya dalam Syariat Islam. Kemaslahatan mirip dengan Utilitarianisme hanya saja Utilitarianisme terbatas pada kebahagian dunia saja.Sedangkan Maslahat mencakup kemaslahatan diakhirat.

Hasbi Ashiddieqy mengemukakan bahwa hukum Islam mempunyai tiga karakter yang merupakan ketentuan yang tidak berubah, yakni : pertama, takamul yaitu sempurna, bulat dan tuntas. Maksudnya bahwa hukum Islam membentuk umat dalam suatu ketentuan yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan berlainan suku, tetapi mereka satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, wasathiyat (harmonis), yakni hukum Islam menempuh jalan tengah, jalan yang seimbang dan tidak berat sebelah, tidak berat kekanan dengan mementingkan kejiwaan dan tidak berat kekiri dengan mementingkan perbedaan. Hukum Islam selalu mnyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dari cita-cita. Ketiga, Harakah (dinamis), yakni hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum Islam terpencar dari sumber yang luas dan dalam, yang memeberikan kepada manusia sejumlah hukum yang positif dan dapat dipergunakan pada setiap tempat dan waktu.20

20Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),

(22)

2. Konsepsi

Sebelum membahas mengenai penelitian ini, maka harus dahulu memahami istilah-istilah yang muncul dalam penelitian ini. Perlu dibuat defenisi konsep tersebut agar makna variabel yang diterapkan dalam topik ini tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.

Konsepsi yang akan diajukan dalam tesis ini adalah:

a. Analisis yuridis adalah penyelidikan, penjabaran sekaligus pemecahan secara hukum terrhadap suatu peristiwa atau permasalahan yang timbul untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.

b. Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhis), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.21

Harta warisan yang dikuasai berarti harta yang ditinggal mati oleh si pemilik dan seluruhnya dipegang oleh ahli waris baik kepemilikannya maupun fisiknya. c. Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan harta benda

untuk keluarga yang masih hidup.22

d. Ahli waris merupakan orang yang berhak mendapat harta peninggalan dari pewaris atau orang yang sudah meninggal.

21 Lihat Pasal 1 tentang Ketentuan Umum Point e Kompilasi Hukum Islam.

22 Rhia. “Hukum Kewarisan Islam”. http://edukasi. kompasiana.

(23)

e. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.23

G. Metode Penelitian

Sebagai suatu penelitian ilmiah maka kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan nilai nilai serta kaidah kaidah ilmiah guna menjawab persoalan hukum yang dihadapi.

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya dalam penelitian akan menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas pembagian harta warisan yang dikuasai oleh salah satu pewaris.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimasudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

2. Sumber Data

Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari:

23Lihat Pasal 1 angka (2) UU No, 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No, 3

(24)

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketentuan hukum waris yaitu Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2134. K/PDT/1989.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan-bahan sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan website.

3. Alat Pengumpul Data

Dalam penelitian tesis ini dipegunakan alat pengumpulan data dengan cara sebagai berikut :

a. Studi dokumen atau penelitian kepustakaan (library research). Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti

(25)

serta tulisan-tulisan yang terkait dengan hukum waris. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting.

b. analisis secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman analisis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara dilakukan terhadap informan yakni 2 (dua) orang hakim, yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan yaitu Drs.H.Mohd Hidayat Nassery selaku Ketua Majelis Hakim dan Bapak Dr. Manahan, MP. Sitompul, SH, M. Hum, sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Medan, guna melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ilmiah, serta demi kesempurnaan tesis ini.

4. Analisis Data

Pada penelitian yang bersifat deskriptip analitis digunakan metode pendekatan yuridis normatif, maka metode analisis data yang akan dipergunakan adalah metode kualitatif.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif, pemilihan metode kualitatif ini karena mempertimbangkan bahwa dalam penelitian ini data yang akan diperoleh sukar diukur dengan angka – angka.

Dengan dilakukannya analisis data maka dapat ditarik kesimpulan dengan memakai analisa deduktif, yaitu dengan cara berfikir yang dimulai dari hal – hal yang bersifat umum untuk selanjutnya menuju kepada hal – hal yang bersifat khusus dalam menjawab segala permasalahan yang ada dalam suatu penelitian sehingga memungkinkan menghasilkan kesimpulan yang menjawab segala permasalahan yang telah ditetapkan.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : (1) pola pembelajaran ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi merupakan metode

Berkaitan dengan produktivitas, realisasi pinjaman di BPRS Cempaka, berdasarkan tahun penelitian 2010 - 2012 telah mencapai target sesuai yang telah ditetapkan, yang harus

dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan hara pada tanaman melon dan meningkatkan pertumbuhan tanaman melon, sehingga jika dimanfaatkan sebagai pupuk hayati di

Dalam penelitian ini ditengahkan mengenai evaluasi tingkat kepuasan layanan teknologi informasi pengguna jasa internet service provider dengan menggunakan metode SERVQUAL

A relational calculus expression creates a new relation, which is specified in terms of variables that range over rows of the stored database relations (in tuple calculus).. or

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh persepsi harga, iklan dan kemasan terhadap niat beli pada produk biscuit sandwich Oreo di Surabaya.. Pada

Sedangkan variabel independen yang dikumpulkan adalah: (1) Karakteristik sosial meliputi pendidikan dan SHNHUMDDQ LVWHUL GDQ VXDPL 'HPRJUD¿ PHQFDNXS umur isteri dan

Untuk itu faktor kondisi geografis yang kurang menguntungkan tersebut pada gilirannya merupakan faktor yang dapat mendorong peningkatan mutu sarana transportasi,