• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsitektur Keuangan Internasional: Peningkatan Kapasitas Pendanaan IMF Dalam Mengatasi Krisis Keuangan Global

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Arsitektur Keuangan Internasional: Peningkatan Kapasitas Pendanaan IMF Dalam Mengatasi Krisis Keuangan Global"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Arsitektur Keuangan Internasional: Peningkatan Kapasitas

Pendanaan IMF Dalam Mengatasi Krisis Keuangan Global

Irfa Ampri1

Pendahuluan

Krisis ekonomi global dan kawasan menunjukkan trend yang semakin sering terjadi dengan skala kompleksitas dan dampak yang semakin meningkat. Bila sebelum tahun 2000, krisis terjadi dalam hitungan waktu dekade dan melanda satu atau beberapa negara di suatu kawasan dengan issue yang spesifik dan dampak yang terukur, krisis setelah tahun 2000 terjadi dalam rotasi waktu yang lebih pendek dengan issue penyebab yang bervariasi dan dampak yang sulit dihitung dan diprediksi. Krisis global yang dipicu oleh submortgage loan pada tahun 2008 di Amerika Serikat misalnya menimbulkan kerugian yang terbesar sepanjang sejarah, melampaui depresi besar di Amerika Serikat pada tahun 1930-an.

Krisis juga tidak lagi mengenal ketahanan dan kekuatan ekonomi suatu negara atau kawasan. Bila pada periode pra tahun 2000, krisis sering melanda negara-negara berkembang atau berpendapatan menengah, krisis paska tahun 2000 menunjukkan pergeseran kepada negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar di masa lalu. Demikian pula, krisis paska tahun 2000 menyebabkan dampak kerugian yang semakin, besar dan menyebar luas (contagion effect) ke banyak negara dan kawasan.

Krisis keuangan ditandai dengan mengeringnya likuidas keuangan yang dimiliki negara yang terkena krisis dan berdampak pada ketidakmampuan negara tersebut dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Oleh karenanya, penanganan krisis memerlukan tersedianya likuiditas yang mencukupi bagi negara atau kawasan yang terkena krisis, dan semakin besar dampak krisis semakin meningkat pula dana likuiditas yang dibutuhkan.

Dana likuiditas semata tidak mencukupi untuk mengatasi krisis, dan diperlukan pula paket program yang berisikan berbagai reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang harus dijalankan suatu negara. Dengan melaksanakan berbagai program

1Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal,

(2)

tersebut, faktor-faktor penyebab timbulnya krisis dapat dihilangkan atau dikurangi resikonya, dan pertumbuhan ekonomi akan terjadi. Dengan demikian, negara terkena krisis dapat cepat pulih dari krisis, dan mengembalikan talangan pinjaman yang diterima.

Penyediaan dana likuiditas yang mencukupi untuk tindakan preventif dan penanganan krisis berikut paket program yang perlu dijalankan oleh negara terkena krisis merupakan peran yang dijalankan oleh International Monetary Fund (IMF). Dana likuiditas yang perlu disiapkan oleh IMF akan semakin meningkat seiring dengan besarnya dampak yang ditimbulkan dan jumlah negara yang membutuhkan bantuan IMF.

Permasalahan akan timbul ketika IMF tidak mampu menyediakan dana likuiditas yang dibutuhkan untuk penanganan krisis. Hal tersebut terjadi mana kala jumlah modal dan sumber keuangan IMF lainnya lebih kecil dari dana likuiditas yang perlu disediakan dalam penyelesaian krisis global.

Kekurangtersediaan dana likuiditas pada IMF tidak boleh terjadi karena akan meningkatkan ketidakpercayaan pelaku pasar dan investor yang berujung pada semakin parahnya dampak krisis. Hal yang sama juga dikehendaki dari berbagai lembaga keuangan multilateral (LKM) lainnya yang perannya sangat dibutuhkan pada saat dan paska krisis. Oleh karenanya, peran dan tata kelola IMF dan LKM yang ada saat ini perlu direformasi dan arsitektur keuangan internasional (AKI) yang berdasarkan realita kontribusi suatu negara kepada perekonomian global perlu disusun agar IMF dan berbagai LKM dapat menjalankan perannya dengan optimal dalam meminimalkan dampak krisis. Keterbatasan sumber pendanaan IMF dalam pencegahan dan penanganan krisis harus dicarikan jalan keluarnya, dan negara anggota IMF selaku pemegang saham IMF berkewajiban memilih opsi yang terbaik bagi peningkatan sumber keuangan IMF.

Tulisan ini mencoba menguraikan dampak dari krisis keuangan di Eropa dan upaya dan keterbatasan Uni Eropa dalam mengatasi krisis. Selanjutnya, akan disinggung peran G20 dan revitalisasi peran IMF dalam penanganan krisis, dan berbagai opsi peningkatan keuangan IMF. Sebelum penyampaian simpulan dari tulisan, akan didiskusikan pandangan dan kontribusi Indonesia dalam penyelesaian krisis ekonomi dan pemenuhan kemampuan keuangan IMF.

(3)

Dampak Krisis Ekonomi Eropa dan Keringnya Likuiditas

Krisis keuangan yang terjadi di Eurozone pada Semester II Tahun 2010 dipicu oleh ketidakmampuan (default) Yunani dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Krisis dengan cepat merambat ke negara-negara kecil di Uni Eropa (Irlandia, Islandia, dan Siprus), dan kemudian ke negara-negara utama Uni Eropa (Portugal, Spanyol, dan Italia) pada sekitar awal tahun 2012.

IMF memperkirakan Eropa akan masih mengalami resesi pada tahun 2012 dengan pertumbuhan ekonomi minus 1. Disamping itu Badan Statistik Eropa (Eurostat) melansir data angka pengangguran di 17 negara di Euro Zone yang telah mencapai 11,2% dengan pengangguran tertinggi terjadi di Spanyol dengan tingkat pengangguran 24,8%.

Krisis ini juga menular ke negara-negara non-Eurozone yang ditandai dengan penurunan perdagangan dunia dan peningkatan proteksionisme atas impor barang yang berdampak diantaranya pada penurunan pertumbuhan ekonomi dunia menjadi di bawah 3% pada tahun 2012 dan peningkatan jumlah pengangguran. China dan India menurunkan pertumbuhan ekonominya sekitar 2-3% di tahun 2012 dengan berurutan 8% dan 5,5%, dan India pada saat bersamaan menghadapi inflasi tinggi di atas 1 digit. Indonesia tidak luput dari dampak tular dari krisis keuangan global yang ditandai oleh penurunan pertumbuhan ekspor dalam enam bulan terakhir dibanding tahun sebelumnya yang berdampak pada surplus yang mengecil dari neraca perdagangan pada periode yang sama (sekitar US$ 280 juta). Pemerintah juga mengoreksi angka pertumbuhan tahun 2012 dari sebelumnya 6,5% menjadi 6% dengan skenario terburuk di atas 5% sekiranya krisis terus berlangsung sepanjang tahun 2012.

Krisis menyebabkan penurunan rating mayoritas negara dan perusahaan besar di Eropa, dan bahkan beberapa bank dan institusi keuangan utama terpaksa diambil alih (bail out) oleh negara. Disamping itu, Bank Sentral Eropa menunjukkan pelarian modal dari perbankan Spanyol yang melonjak tinggi, dan negara tersebut hampir kehilangan akses ke pasar keuangan.

Keringnya likuiditas di sektor perbankan dan pasar keuangan berdampak pada tidak berjalannya fungsi mediasi perbankan dalam menerima tabungan dan menyalurkannya ke sektor produksi. Kondisi ini bila terus terjadi akan berdampak pada penurunan kegiatan ekonomi, pertumbuhan yang menurun, dan meningkatnya jumlah penggangguran.

(4)

Bantuan likuiditas yang disediakan Bank Sentral Eropa kepada perbankan Spanyol yang mencapai US$ 50 milyar yang dibarengi dengan penguatan aspek transparansi dan tata kelola perbankan dipandang sangat tepat agar kegiatan ekonomi dapat berjalan. Bantuan likuiditas yang sama juga dibutuhkan oleh negara-negara Eropa lainnya yang terkena krisis, dan adanya tambahan likuiditas dari IMF menjadi sangat relevan agar krisis dapat dicegah dan terhindar dari konsekuensi negatif yang tidak terbayangkan, seperti kebangkrutan ekonomi suatu negara.

Upaya dan Keterbatasan Uni Eropa dalam Mengatasi Krisis Keuangan di Eropa

Analisis yang dilakukan IMF dan European Central Bank (ECB), atau Bank Sentral Eropa, pada tahun 2011 menyimpulkan perlunya ketersediaan dana likuiditas sebagai bantalan krisis (firewall) di Eropa di atas US$ 1 trilyun. Angka ini dinilai memadai untuk mempertahankan kepercayaan pelaku pasar atas ketahanan ekonomi Eropa. Pada assessment berikutnya di awal tahun 2012 yang ditandai dengan adanya perbaikan indikator ekonomi di Eurozone, kebutuhan likuiditas diperkirakan sekitar US$ 800 milyar. Namun dengan tambahan negara-negara utama yang terkena krisis (Spanyol, Portugal, dan Italia) pada tahun 2012, kebutuhan likuiditas diperkirakan kembali meningkat di atas US$ 1 trilyun.

Untuk mengatasi krisis di kawasannya, Uni Eropa menyiapkan firewall yang nilainya mencapai EUR 550 milyar atau setara dengan US$ 730 milyar yang terdiri dari Balance of Payment (BOP) Facility (EUR 50 milyar), The European Financial

Stability Facility (EFSF) sebesar EUR 440 milyar, dan The European Financial Stability Mechanism (EFSM) senilai EUR 60 milyar. Ketiga fasilitas ini nantinya

bergabung menjadi European Financial Stability (EFS) pada Bulan Juli 2012. Fasilitas BoP ditujukan untuk negara-negara Eropa yang bukan anggota Uni Eropa, sementara fasilitas EFSF dan EFSM dapat digunakan oleh negara anggota Uni Eropa dengan tambahan fasilitas yang berasal dari LKM seperti IMF.

Kombinasi EFSF dan EFSM sebesar EUR 80 milyar dan IMF (30 milyar) dengan total nilai EUR 110 milyar telah dialokasikan ke Negara Yunani di bawah program Greek Loan Facility (GLF). Fasilitas GLF yang berasal dari EFSF dan EFSM ini telah dicairkan sebesar EUR 52,9 milyar pada penyaluran pertama, dan tergantung kesepakatan dan komitmen pemerintah baru Yunani dalam melaksanakan program, sisa fasilitas akan dicairkan di bawah mekanisme EFS.

(5)

Berbagai program penanganan krisis yang dilakukan oleh Uni Eropa belum mampu secara tuntas menyelesaikan krisis di kawasan Eropa. Hal tersebut disebabkan tidak saja karena belum ditemukannya formula kebijakan komprehensif yang disepakati bersama oleh seluruh anggota Uni Eropa dalam penanganan krisis, namun juga berbagai riak politik yang terjadi di Euro Zone, khususnya pada negara-negara yang terkena krisis yang ditandai oleh pergantian pimpinan pemerintahan.

Terhadap kebutuhan dana likuiditas bagi penyelesaian krisis Eropa, dana yang telah dikumpulkan oleh Uni Eropa sebesar USD 730 milyar dinilai tidak mencukupi. Sekiranya ada tambahan pendanaan berikutnya dari Uni Eropa, krisis diprediksi belum tentu akan berakhir. Hal ini disebabkan pelaku pasar, investor, dan pemilik dana kurang mempercayai kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas Uni Eropa mengingat pengalaman pahit yang mereka terima di masa lalu, seperti pemotongan mencapai 50% dari nilai nominal obligasi Pemerintah Yunani yang mereka miliki.

IMF sangat diperlukan oleh negara-negara anggota Uni Eropa dan juga negara-negara lainnya di dunia (the rest of the world) dalam membantu penanganan krisis di kawasan Eropa. Bagi Uni Eropa, peran IMF sebagai lembaga independen akan membantu tercapainya konsensus kebijakan penanganan krisis oleh negara-negara anggota dan memperkuat firewall kawasan. Sementara, bagi the rest of the world, partisipasi IMF diharapkan dapat mempercepat penyelesaian krisis dan mendorong pemulihan ekonomi dunia.

Dalam hal kebutuhan likuiditas di kawasan Eropa, IMF diharapkan dapat menambal kekurangan likuiditas sekitar US$ 400 milyar. Gabungan dana IMF dan EFS dan kolaborasi kebijakan struktural yang disiapkan Komisi Uni Eropa, Bank Sentral Eropa dan IMF diyakini dapat mempercepat penyelesaian krisis di kawasan Eropa dan meningkatkan daya saing kawasan di masa depan.

Kontribusi G20 dalam Revitalisasi Peran atas Peningkatan Kemampuan Keuangan IMF

Peran IMF dan lembaga pembangunan multilateral menjadi sentral dan meningkat pada masa dan paska krisis keuangan. Kebutuhan atas peran lembaga multilateral tersebut tidak semata karena kebutuhan likuiditas dan dana pembangunan namun juga dalam mendorong reformasi struktural (fiskal dan moneter) di negara-negara yang terkena agar krisis tidak terulang di masa mendatang.

(6)

Peran di atas tidak akan berjalan optimal bila tata kelola, skope tugas, dan pendanaan lembaga-lembaga multilateral tersebut masih berjalan secara konvensional, atau tidak berubah. Forum Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 melihat kendala di atas, dan menugaskan International Financial

Architecture (IFA) Working Group, atau Kelompok Kerja Arsitektur Keuangan

Internasional (AKI) untuk menyusun blueprint reformasi IMF dan LKM yang mencakup peningkatan hak suara negara-negara berkembang sesuai kontribusi mereka pada perekonomian dunia melalui quota reform, ekspansi dan peningkatan kualitas lingkup tugas diantaranya dengan meningkatkan kualitas surveilance atas seluruh negara anggota sesuai prinsip kesetaraan (even handed), reformasi proses pengambilan keputusan (governance) dan peningkatan kemampuan keuangan dan modal dari IMF dan LKM.

AKI atas kemampuan keuangan lembaga-lembaga multilateral khususnya IMF mendesak untuk dituntaskan mengingat modal likuid IMF saat ini berkisar US$ 100 milyar. Bila 14th IMF Quota Reform yang akan menggandakan modal IMF menjadi US$ 770 milyar dapat mencapai quorum pada tahun 2012 dan diproyeksikan negara anggota membayar porsi kas 25% pada tahun 2014, maka modal likuid IMF akan meningkat menjadi sekitarUS$ 200 milyar pada tahun 2014.

Jumlah modal di atas tidak memadai bagi IMF yang menjalankan peran global

financial safety net dalam menyediakan dana likuiditas yang dibutuhkan bagi negara

anggota yang mengalami krisis. Oleh karenanya, disamping peningkatan modal yang berasal dari negara anggota IMF (melalui quota reform secara reguler), IMF mengusulkan beberapa opsi untuk peningkatan kemampuan keuangannya baik yang berasal dari negara anggota maupun dari pasar keuangan.

Pada pertemuan puncak kepala negara G20 di Cannes pada Bulan Nopember 2011 (Cannes Declaration), para kepala negara menyatakan kesiapan dan komitmennya untuk menjamin tersedianya penambahan kapasitas keuangan pada waktunya dan menugaskan para menteri keuangan untuk menyiapkan berbagai opsi pendanaan.

AKI sepakat penambahan pendanaan IMF harus berasal dari negara anggota, dan dua opsi yang mendapatkan banyak peminat dari negara-negara G20, yaitu bilateral loan (BL) dan note purchase agreement (NPA). BL adalah perjanjian pinjaman antara IMF dan negara kreditur dengan berbagai persyaratan yang disepakati kedua belah pihak, seperti jangka waktu dan bunga pinjaman yang

(7)

disepakati bersama. Sementara NPA, mirip obligasi, yang diterbitkan oleh IMF dengan persyaratan yang ditentukan oleh IMF, dan kemudian dibeli oleh negara-negara yang berminat.

Pada pertemuan G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBGM) di Washington April 2012, sebagian negara anggota G20 dan negara-negara non-G20 memberikan komitmen mendukung kebutuhan pendanaan IMF melalui mekanisme bilateral arrangement (BA) yang berupa pinjaman bilateral (bilateral loan) dan Note Purchase Agreement. Jumlah komitmen dana yang terkumpul, sebagaimana komunike FMCBGM, mencapai US$ 430 billion, dan seluruhnya berbentuk pinjaman bilateral.

Pada pertemuan puncak para kepala negara G20 di Los Cabos di Bulan Juni 2012, para kepala negara menyatakan kembali dukungannya pada kecukupan keuangan IMF, dan menyampaikan komitmen kontribusi negaranya pada IMF. Komitmen yang sama juga disampaikan oleh negara-negara non-G20, dan hingga awal Agustus 2012 telah terkumpul komitmen membantu keuangan IMF sekitar US$ 458 billion (lihat lampiran 1). Jumlah komitmen tersebut diperkirakan akan bertambah di masa mendatang, dan jumlah komitmen saat ini dipandang telah cukup untuk mendukung peran IMF.

Penambahan Pendanaan IMF melalui Bilateral Arrangement (BA)

Dalam berbagai pertemuan intensif membahas opsi penambahan pendanaan bagi IMF, hampir seluruh negara anggota IMF yang menyatakan komitmennya untuk membantu penguatan pendanaan IMF memilih opsi BA. Beberapa modalitas yang utama dari BA adalah sebagai berikut:

a. Pinjaman bersifat sementara (bridging) sebelum sumber pendanaan IMF yang berasal dari kuota hasil General Review Quota (GRQ) ke-15 mencapai konsensus. GRQ ke-15 diharapkan mencapai konsensus pada Bulan Januari 2014 dan berlaku efektif pada tahun 2016

b. Jangka waktu komitmen pinjaman adalah 2 tahun, dan dapat diperpanjanghingga maksimal 4 tahun. Perpanjangan dimungkinkan sepanjang terdapat keputusan

Board of Director dan konsultasi dengan negara donor.

c. Penarikan oleh IMF dilakukan setelah aktivasi. Waktu dan jumlah pencairan disesuaikan dengan kebutuhan likuiditas IMF yang diinformasikan kepada donor

(8)

setiap kuartal. Beban pencairan akan didistribusi secara proporsional terhadap berbagai sumber pendanaan dan donor.

d. Pinjaman dapat dicairkan apabila negara donor mengalami kesulitan Neraca Pembayaran (Full Encashbility). Untuk memastikan berjalannya full encashability, maka berlaku prinsip reciprocity, dimana komitmen pinjaman dapat

ditarik oleh IMF untuk memenuhi pencairan kembali kepada donor yang mengalami kesulitan Neraca Pembayaran.

e. Maksimum jangka waktu pinjaman adalah 10 tahun, dapat diperpanjang hingga 15 tahun dengan persetujuan negara donor.

f. Pinjaman kepada IMF berdenominasi SDR dan mendapatkan imbal hasil sebesar SDR interest rate.

IMF menyerahkan mekanisme penyetoran pendanaan kepada masing-masing negara. Umumnya ada 2 opsi, yaitu melalui budget Pemerintah atau penggunaan cadangan devisa bank sentral. Untuk Indonesia, sekiranya berpartisipasi, penyetoran pendanaan lebih baik melalui penggunaan cadangan devisa yang dikelola BI karena dana yang dipinjamkan ke IMF merupakan bagian dari cadangan devisa. Tambahan pula, menurut BI, selama ini penempatan devisa cukup dilaporkan ke parlemen.

Peran Indonesia dalam Penyelesaian Krisis Kemampuan Keuangan IMF

Indonesia secara konsisten mendukung upaya penambahan kemampuan keuangan IMF dalam kerangka Global Financial Safety Net (GFSN), dan tidak semata untuk membantu Euro Zone. Kemampuan keuangan yang dimiliki IMF hendaknya dapat dinikmati oleh seluruh negara anggota secara adil. Disamping itu, Indonesia berpandangan ketersediaan dana likuiditas regional, Chiang May Initiative

Multilaterazion (CMIM), dapat menambah berbagai opsi ketersediaan dana likuiditas

yang dibutuhkan oleh negara yang mengalami krisis.

IMF dan banyak negara sahabat sesama anggota G20 dan ASEAN mengharapkan Indonesia dapat berkontribusi membantu penambahan kemampuan keuangan IMF. Komitmen Indonesia membantu IMF jauh lebih penting dibanding nilai pemberian pinjaman.

Beberapa alasan Indonesia diajak berpartisipasi dalam BA adalah karena: (1) salah satu negara anggota G20; (2) Kinerja perekonomian yang baik; dan (3)

(9)

pemimpin informal di kawasan Asean yang dapat berperan mendorong kontribusi negara-negara Asean untuk kesediaan dana IMF

IMF berharap Indonesia dapat memberikan komitmen US$ 1 billion untuk memberikan signal ajakan kepada negara-negara yang memiliki kemampuan keuangan lebih, namun belum berkontribusi, untuk partisipasi. Tampaknya partisipasi Indonesia, sebagai salah satu negara utama emerging countries menjadi momen penting karena beberapa negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, juga menunggu kabar partisipasi kontribusi Indonesia.

Ada 3 opsi kebijakan yang dapat dipilih Indonesia berkenaan dengan peningkatan kemampuan keuangan IMF berikut manfaat dan dampak (pross and

cons) masing-masing opsi sebagai berikut:

6.1 Memberikan komitmen mendukung BA. Dukungan BA dapat senilai US$ 1 billlion (nilainya sama dengan beberapa Emerging Market Countries atau EMCs lainnya) atau lebih besar dari US$ 1 billion (peran leadership dalam penyelesaian krisis).

Pross:

a. Indonesia mendapatkan apresiasi internasional atas peran aktif dalam penyelesaian krisis global

b. Indonesia menjadi contoh (leadership) untuk mendorong negara-negara yang belum berikan komitmen untuk turut berpartisipasi

c. Citra positif sebelumnya negara peminjam menjadi negara kreditur IMF.

Cons:

a. Adanya potensi kritik dan oposisi yang keras dari dalam negeri khususnya dari pihak-pihak anti IMF.

Bila opsi ini dipilih, perlu dilakukan strategi komunikasi kepada berbagai pihak terkait bahwa dukungan Indonesia didasarkan pada: (1) penguatan keuangan IMF dibutuhkan untuk mempercepat penyelesaian krisis; (2) salah satu rekomendasi perlunya tindakan proaktif Pemerintah untuk penyelesaian krisis (protokol krisis); dan (3) cadangan devisa tidak berkurang.

6.2 Memberikan komitmen mendukung BA tanpa publikasi. Dukungan dapat diberikan saat pertemuan bilateral dengan IMF, dan tidak disampaikan ke pihak luar secara spesifik. Opsi ini memberikan manfaat bagi Indonesia sebagaimana

(10)

butir 6.1.a, namun kurang optimal untuk pencapaian tujuan 6.1.b dan 6.1.c. Kemungkinan diketahuinya komitmen oleh pihak luar masih ada.

6.3 Menunda dukungan BA. Penundaan penyampaian komitmen dilakukan dengan alasan perlunya penyelesaian internal sebelum disampaikan secara formal. Penyelesaian internal diperkirakan membutuhkan waktu yang lama, terlebih bila melalui DPR. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.

Pros:

a. Dapat diminimalkan reaksi penentangan dari oposisi

b. Cadangan devisa dapat digunakan pada investasi yang lebih menguntungkan

Cons:

a. Indonesia kurang berperan dalam penyelesaian krisis

b. Terjadi reputational risk leadership Indonesia di komunitas internasional dan regional

Penulis berpandangan opsi yang sebaiknya diambil oleh Indonesia adalah opsi yang pertama, yaitu memberikan komitmen mendukung BA secara terbuka, dan melakukan sosialisasi yang intensif dengan menyiapkan argumentasi yang kuat urgensi dari kontribusi Indonesia. Disamping berbagai manfaat positif yang diterima Indonesia sebagai salah satu negara besar di dunia, negara-negara yang di masa lalu (Brazil dan Mexico) mendapatkan program penanganan krisis yang tidak memuaskan dari IMF dan memberikan stigma kepada IMF juga mendukung peningkatan kemampuan keuangan IMF. Berbagai alasan lain bagi pemilihan opsi 1 adalah sebagai berikut:

- Sebagai pemegang saham 0,92% di IMF, Indonesia melihat adanya urgensi untuk membantu peran IMF dalam stabilitas keuangan dan penyelesaian krisis ekonomi dunia. Peran tersebut dapat berjalan kalau IMF memiliki kemampuan keuangan yang kuat dalam membantu likuiditas negara-negara anggota.

- IMF telah banyak melakukan reformasi governance dan transparansi untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada negara anggota. Disamping itu, permintaan ini menempatkan Indonesia sebagai kreditur atau investor dan berada pada posisi yang terhormat sebagai kontributor.

(11)

- Peran dan hak suara negara-negara berkembang semakin meningkat di IMF seiring dengan peningkatan peran negara-negara berkembang di perekonomian dunia

Simpulan

Pertumbuhan ekonomi dunia yang meningkat tajam dalam dua dekade terakhir yang ditandai dengan semakin meningkatnya kontribusi negara-negara berkembang dalam ekonomi global menimbulkan pergeseran peta kekuatan dan ketahanan ekonomi negara-negara di dunia. Selama satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi dunia dipasok dan didominasi oleh negara berkembang, khususnya negara-negara berkembang berpendapatan menengah yang mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi (emerging countries). Sementara peran negara-negara maju dalam percaturan dan pertumbuhan ekonomi dunia semakin menurun yang ditandai dengan daya saing yang berkurang dan utang yang semakin meningkat sebagai konsekuensi pembiayaan defisit.

Tidak aneh bila krisis global paska tahun 2000 terjadi dan dimulai oleh negara-negara maju. Regulasi yang lunak di sektor perbankan dan keuangan, khususnya di sektor kredit perumahan, menjadi penyebab utama krisis di Amerika Serikat. Kebijakan fiskal yang ceroboh dengan mengabaikan kapasitas keuangan negara ditengarai menjadi faktor utama krisis Eropa. Walaupun faktor-faktor penyebab tadi telah direformasi melalui inisiasi dan kerja keras Forum G20, tidak ada jaminan bahwa krisis di masa depan tidak terulang. Sebaliknya, banyak pihak yang percaya bahwa krisis akan semakin sering terjadi di masa depan dengan dampak yang semakin membesar.

Peranan LKM khususnya IMF semakin dibutuhkan di masa depan, dan oleh karenanya AKI menjadi relevan untuk direalisasikan mengingat LKM menjadi pertahanan terakhir (last buffer) penyelamatan ekonomi dunia. Untuk menjalankan perannya dengan baik untuk pencegahan dan penanganan berbagai krisis di masa depan, disamping penyempurnaan kualitas kerja dan pengambilan keputusan yang berdasarkan realita kekuatan ekonomi suatu negara dan keadilan, untuk menjalankan perannya dalam kerangka global financial safety net, IMF perlu memiliki ketersediaan dana likuiditas yang sangat mencukupi agar dapat digunakan segera untuk mengatasi berbagai krisis yang dapat saja terjadi bersamaan di masa depan.

(12)

Kesepakatan pimpinan negara G20 dalam berbagai pertemuan puncak, terakhir pada Los Cabos Leaders Summit di Bulan Juni 2012 yang berkomitmen untuk menambah kemampuan keuangan IMF sangat relevan bagi terealisasinya AKI dengan optimal. Indonesia selaku anggota G20 dengan kontribusi ekonomi ke 16 terbesar di dunia sepatutnya mendukung kesepakatan para pimpinan G20, tidak saja karena konsekuensi sebagai anggota G20 namun juga bagi kepentingan nasional, yaitu tercapainya agenda pembangunan dan target pertumbuhan ekonomi yang ingin diinginkan, sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi, stabil, dan berdaya tahan (strong, stable, dan sustainable growth).

(13)

Lampiran:

Commitments for Bilateral Loan from Member Countries

No. Negara Nilai (US$ billion) Keterangan 1. Euro Zone 200 April 2012

2. Jepang 60 April 2012

3. China 43 June Summit

4. Korea Selatan 15 April 2012

5. Inggris 15 April 2012

6. Saudi Arabia 15 April 2012

7. Rusia 15 June Summit

8. India 14 June Summit

9. Brazil 10 June Summit

10. Mexico 10 June Summit

11. Sweden 10 April 2012 12. Switzerland 10 April 2012 13. Norway 9.3 April 2012 14. Poland 8 April 2012 15. Austria 8 April 2012 16. Denmark 7 April 2012 17. Singapore 4 April 2012 18. Czeh Republic 2 April 2012

19. Chile 1.5 June Summit

20. Columbia 1 June Summit

Referensi

Dokumen terkait