JONATHAN EDWARDS
O r a n g B e r d o s a
d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a
Penerbit Momentum 2004
Orang Berdosa di Tangan Allah yang Murka
(Sinners in the Hands of an Angry God)
Oleh:Jonathan Edwards
Penerjemah: Sutjipto Subeno Editor: The Boen Giok
Pengoreksi: Irenaeus Herwindo Tata Letak: Yulianto
Desain Sampul: Darman dan Minerva Utomo Editor Umum: Solomon Yo
Originally published in English under the title,
Sinners in the Hands of an Angry God
Copyright © 1992 by P&R Publishing Co. Translated and printed by permission of Presbyterian and Reformed Publishing Co. P.O. Box 817, Phillipsburg, New Jersey 08865, USA. Foreword copyright © 1992 by John D. Currid All rights reserved
Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada
Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature)
Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia.
Copyright © 1994
Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275 e-mail: [email protected]
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Edwards, Jonathan, 1703-1758.
Orang berdosa di tangan Allah yang murka/Jonathan Edwards, terj. Sutjipto Subeno – cet. 2 – Surabaya: Momentum.
57 hlm.; 11 cm. ISBN 979-8131-92-4
1. Khotbah Penginjilan 2. Gereja Kongregasional – Khotbah 3. Keselamatan (Kekristenan)
2004 252’.3–dc20 Cetakan pertama: September 1994
Cetakan kedua (revisi): September 2004
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Prakata
oleh
Pdt. Dr. Stephen Tong
Khotbah Jonathan Edwards yang sekarang kami bukukan ini, yaitu “Orang Berdosa di Tangan Allah yang Murka,” merupakan salah satu khotbah yang paling menggemparkan dalam sejarah gereja. Pada waktu khotbah ini disampaikan, para penngar seolah-olah sedang berhadapan langsung de-ngan penghakiman Allah. Roh Kudus menggerak-kan para hadirin dengan membangkitmenggerak-kan takut akan Allah serta kesadaran tentang kedahsyatan dosa itu. Akibat dari khotbah ini, Tuhan menga-runiakan pertobatan yang total kepada anak-anak-Nya, sehingga kesucian dan keadilan Allah diting-gikan sepenuhnya, dan kehidupan orang Kristen mengalami pembaruan yang sangat besar.
Sejarah mencatat bahwa pada saat anak-anak Tuhan dipenuhi dengan kesadaran akan kesucian Allah, saat itulah gereja mengalami kebangunan yang sejati, dan masyarakat memperoleh pem-baruan sebagai akibat dari kebangunan itu. Prinsip
O r a n g B e r d o s a d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a 4
ini berlaku untuk setiap zaman, termasuk zaman kita yang penuh dengan kebengkokan ini. Seka-rang, yang menjadi pertanyaan adalah: siapakah yang duduk di atas takhta gereja saat ini? Tuhan-kah? ManusiaTuhan-kah? Atau IblisTuhan-kah?
Karena itu, biarlah setiap kita boleh kembali menikmati kebangunan rohani yang sejati, sehing-ga kita pun boleh memuliakan Allah dan menyak-sikan kasih karunia-Nya yang melimpah itu kepa-da orang-orang di sekitar kita melalui suatu kehi-dupan yang mengasihi Tuhan dan sesama, baik da-lam aktivitas ibadah maupun relasi sosial kita. Amin."
Jakarta, Oktober 1994 Pdt. Dr. Stephen Tong
Kata Pengantar
Tahun 1991 menandai peringatan ke-250 khotbah yang paling terkenal dalam sejarah Amerika, yakni “Orang Berdosa di Tangan Allah yang Murka” (Sinners in the Hands of an Angry God), yang dikhotbahkan oleh Jonathan Edwards (1703-1758) di gereja Enfield, Connecticut, pada tanggal 8 Juli 1741. Edwards, pendeta dari gereja Kongregasional di Northampton, Massachusetts, diundang untuk berkhotbah oleh pendeta Enfield karena orang-orang di Enfield cenderung mengeraskan hati terhadap berita Injil. Lebih jauh, sikap jemaat tersebut dilukiskan oleh Pendeta Wheeloc, dari Second Church of Libanon ketika itu, sebagai “orang-orang yang be-bal dan tegar tengkuk.” Konon, Edwards bukan-lah orang yang direncanakan untuk menjadi peng-khotbah tamu pada Minggu itu, melainkan se-kadar menjadi pengkhotbah pengganti dalam ke-adaan darurat. Namun, saya tidak menemukan cukup bukti untuk meyakini klaim tersebut.
O r a n g B e r d o s a d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a 6
dampak Kebangunan Rohani Besar yang terjadi di New England pada tahun 1734-1735. Dan fakta-nya, sebagaimana dilaporkan oleh Iain Murray, masyarakat Enfield tidak memedulikan apakah ke-bangunan itu akan tiba pada mereka atau tidak. Sekalipun demikian, orang-orang Kristen di seki-tar Enfield sangat prihatin terhadap keadaan di Enfield, dan karenanya, pada malam sebelum khotbah Edwards disampaikan, mereka menyem-patkan diri untuk secara khusus berdoa agar kira-nya “berkat ilahi bukan sekadar dicurahkan ke atas
mereka, tetapi juga ke atas masyarakat Enfield.”1
Respons jemaat Enfield terhadap khotbah yang disampaikan Edwards itu sungguh “menakjub-kan.” Sebelum khotbah itu selesai, orang-orang menangis, meratap, dan meneriakkan, “Apakah yang harus saya perbuat, supaya saya selamat?” Laporan seorang saksi mata yang juga didukung oleh seorang pendeta menyatakan bahwa “sayup-sayup terdengar suara seperti ratapan dan tangis-an, sehingga sang pengkhotbah (Edwards) ber-usaha untuk berkhotbah dengan suara yang lebih keras dan meminta jemaat untuk tenang agar
sua-ranya dapat didengar.”2 Seorang saksi mata lain,
1Iain Murray, Jonathan Edwards: A New Biography (Edinburgh: Banner of
Truth, 1987), hlm. 168.
2Dilaporkan oleh A.O. Aldridge, Jonathan Edwards (New York:
O r a n g B e r d o s a d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a
7
bernama Stephen Williams, memberikan laporan yang lebih lengkap:
Kami pergi ke Enfield dan bertemu dengan Tn. E~ dari N~H~ yang menyampaikan sebuah khot-bah yang paling membawa kebangunan rohani dari Kitab Ulangan 32:35, dan sebelum khotbah itu selesai, ada suara tangisan dan ratapan yang keras di seluruh bagian gedung – Apakah yang harus saya perbuat, supaya saya selamat – Oh, saya menuju ke neraka – Oh, apa yang harus saya lakukan bagi Kristus, dst. Jadi pendeta itu berusaha untuk menghentikan teriakan dan tangisan yang sedemi-kian hebat dan menyayat itu. Setelah menunggu beberapa saat dan jemaat masih tetap berlaku demikian, maka Tn. W. mengajak jemaat untuk berdoa. Selanjutnya, kami turun dari mimbar dan berbicara dengan orang-orang tersebut – beberapa orang di tempat yang satu dan beberapa orang lainnya di tempat yang lain – dan kuasa Allah yang begitu dahsyat dan ajaib itu pun dinyatakan. Banyak jiwa dibangunkan kembali pada malam itu. Dan sukacita serta kelegaan terpancar dari wajah mereka yang baru beroleh penghiburan – mereka yang telah menerima kekuatan dan kepastian dari Allah sendiri. Kami menyanyikan sebuah pujian dan berdoa, sebelum kemudian persekutuan itu
O r a n g B e r d o s a d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a 8
dibubarkan.3
Dampak utama khotbah Edwards itu adalah ha-ti banyak orang yang sebelumnya keras itu menja-di begitu menja-diubahkan, sampai-sampai mereka “ber-lutut dengan suatu kesadaran yang besar akan do-sa-dosa mereka dan ancaman yang diakibatkan
oleh dosa-dosa mereka itu.”4 Kuasa Roh Kuduslah
yang telah melembutkan hati mereka, bukan kefa-sihan lidah Jonathan Edwards. Dalam kenyataan-nya, Edwards tidak menampilkan gaya berkhot-bah yang berkobar-kobar ketika menyampaikan khotbahnya di Enfield; sebagaimana dilukiskan oleh Davidson; Edwards “terus-menerus menatap tali lonceng di belakang, berbicara dengan nada yang datar, dan sama sekali tidak bergaya retoris
ataupun oratoris.”5 Kabarnya, Edwards sedikit
se-kali melakukan gerakan tubuh, dan ia terus mem-bacakan teks khotbahnya, yang diletakkannya di atas mimbar dalam jarak yang begitu dekat de-ngan dirinya.
Edwards tidak pernah menyinggung tentang khotbahnya ini di dalam tulisan-tulisannya. Mung-kin, alasannya adalah karena semangat
3 Catatan harian Williams yang dimasukkan di dalam Oliver Means, A Sketch of the Strict Congregational Church of Enfield, Conn. (Hartford, 1899). 4B. Trumbell, History of Connecticut, 1898, 2, hlm. 112.
5E.H. Davidson, Jonathan Edwards: The Narrative of a Puritan Mind (Boston:
O r a n g B e r d o s a d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a
9
an rohani seperti yang terjadi di Enfield merupa-kan hal yang lazim terlihat pada masa itu. Sebab, masa itu adalah masa Kebangunan Rohani Besar, masa di mana banyak jiwa dipertobatkan oleh kar-ya Roh Kudus kar-yang begitu ajaib. Kebangunan Ro-hani Besar itu dimulai di New England pada tahun 1734-1735, melalui sebuah peristiwa kebangunan rohani di gereja Edwards sendiri, di North-ampton. Untuk memperoleh gambaran mengenai visitasi rohani ini, kita dapat membaca karya
Edwards yang berjudul Narrative of Surprising
Conversions (1735). Pada tahun 1739 kebangunan kembali terjadi di New England, dan pada tahun 1741, ketika berkhotbah di Enfield, Edwards mendapat keyakinan bahwa “karya Roh Kudus ini lebih murni, lebih tidak terdistorsi, dibandingkan karya Roh Kudus pada tahun 1735.”
Sepanjang tahun-tahun tersebut, Edwards te-rus-menerus mendapat kritik secara sepihak ber-kenaan dengan khotbah “Orang Berdosa di Ta-ngan Allah yang Murka” ini, karena banyak orang beranggapan bahwa tema ajaran Edwards dalam khotbah tersebut semata-mata adalah penghakim-an orpenghakim-ang fasik di neraka. Sekalipun gambarpenghakim-an itu memang muncul di dalam khotbah Edwards, na-mun bukan itu yang menjadi temanya. Sebalik-nya, seperti diungkapkan oleh E.H. Cady, “tema khotbah itu adalah kondisi dilematis orang
berdo-O r a n g B e r d o s a d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a 10
sa; betapa mengerikan keadaannya yang terayun ke sana kemari sebelum akhirnya tercebur ke dalam kebinasaan kekal, sementara ia sebenarnya memiliki kesempatan untuk bertobat dan
disela-matkan.”6 Jadi, khotbah ini semata-mata
ber-temakan penginjilan – sebuah upaya untuk memaparkan keadaan orang berdosa yang sebenar-benarnya, posisi mereka yang kritis di dunia ini, dan kebutuhan mereka akan karya penyelamatan Kristus. Konsep Edwards tentang hukuman neraka sekadar menjadi sarana untuk meyakinkan manusia akan kondisi mereka yang dilematis itu. Seperti yang selalu dikatakannya, “ketakutan akan hukuman neraka cenderung mempertobatkan orang dari kekerasan hati mere-ka.”
Sekalipun “Orang Berdosa di Tangan Allah yang Murka” disampaikan oleh Edwards sekitar 250 tahun yang lalu, namun beritanya masih sa-ngat relevan bagi zaman kita yang penuh kefasikan ini. Kita membutuhkan kebangunan rohani. Na-mun seperti pada masa Edwards, orang-orang za-man sekarang juga harus terlebih dulu diyakinkan mengenai natur dan bahaya sesungguhnya dari dosa itu. Mata mereka harus dicelikkan mengenai
6E.H. Cady, “The Artistry of Jonathan Edwards,” New England Quarterly
O r a n g B e r d o s a d i T a n g a n A l l a h y a n g M u r k a
11
keadaan mereka yang binasa saat mereka berdiri transparan di hadapan Sang Pencipta. Jika kita mengharapkan kebangunan rohani yang dikerja-kan secara ajaib oleh Roh Kudus terjadi pada za-man kita ini, maka keyakinan semacam ini harus ada “secara ajaib” pula.
Doa kami adalah agar penyebaran khotbah ini dapat menolong meyakinkan banyak orang akan dosa pelanggaran mereka dan memimpin mereka kepada pertobatan di hadapan Yang Maha Kudus, Allah Israel."
John D. Currid, Ph.D Associate Professor of Religion Grove City College Hari Reformasi, 1991.