• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PENDAHULUAN Praktek akad Musyarakah Mutanaqishah merupakan praktek yang baru dan merupakan terobosan dalam transaksi ekonomi syariah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. PENDAHULUAN Praktek akad Musyarakah Mutanaqishah merupakan praktek yang baru dan merupakan terobosan dalam transaksi ekonomi syariah."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

A. PENDAHULUAN

Praktek akad Musyarakah Mutanaqishah merupakan praktek yang baru dan merupakan terobosan dalam transaksi ekonomi syariah. Transaksi

Musyarakah Mutanaqishah dalam prakteknya di Lembaga Keuangan Syariah

merupakan suatu produk yang menawarkan kepada nasabah solusi untuk memiliki asset dalam hal ini properti seperti rumah, ruko, rukan, dll. Hadirnya transaksi

Musyarakah Mutanaqishah sangat banyak manfaatnya untuk para nasabah LKS

yang ingin memiliki properti dengan modal yang terbatas, karena dalam hal ini nasabah dan LKS bertindak sebagai mitra untuk pengadaan sebuah asset properti yang nantinya disewa oleh nasabah dan asset tersebut dibeli secara bertahap oleh nasabah. Hal ini sangat membantu nasabah dalam kemudahan untuk membeli rumah yang tentunya dengan transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah.

Meskipun merupakan praktek baru, tetapi konsep yang digunakan dalam praktek Musyarakah Mutanaqishah merupakan konsep multi akad (‘uqud

al-murakkabah) dengan menggabungkan akad syirkah, ijarah dan jual beli, yang

mana multi akad merupakan suatu konsep yang sudah lama dikenal dalam terminologi ekonomi syariah bahkan praktek multi akad sudah ada sejak jaman Rasulullah SAW, terbukti dengan adanya hadits yang melarang adanya dua transakasi dalam satu transaksi. Hadits ini pun menimbulkan banyak penafsiran diantara para ulama, ada yang melarangnya secara mutlak, ada pula yang membolehkannya dengan ketentuan dan batasan tertentu karena melihat illat larangan dalam hadits ini. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat mengenai praktek multi akad dikalangan ulama, mayoritas ulama telah merumuskan konsep konsep mengenai multi akad yang sesuai dengan syariah sehingga transaksi multi akad yang dialakukan tidak termasuk ke dalam kategori multi akad yang dilarang yang dimaksud dalam hadits Nabi tersebut. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana transaksi Musyarakah Mutanaqishah yang merupakan terobosan baru dalam transaksi ekonomi syariah dalam kaitannya dengan konsep multi akad yang masyhur berkembang dikalangan para ulama.

(2)

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Musyarakah Mutanaqishah

Musyarakah Mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad Musyarakah, yaitu bentuk akad kerjasama dua pihak atau lebih. Musyarakah

dengan kata lain disebut syirkah secara bahasa berarti percampuran.1 Dalam hal ini mencampurkan modal dengan modal satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Menurut Sayyid Sabiq syirkah adalah akad antara pihak yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.2 Sementara

Mutanaqishah berasal dari kata yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun,

yang berarti mengurang secara bertahap.

Menurut Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang

Musyarakah Mutanaqishah, yang dimaksud dengan Musyarakah Mutanaqishah

adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.3 Jadi dalam akad ini pihak pertama menjual bagian modal/harta nya kepada pihak kedua secara bertahap hingga pada akhirnya kepemilikan pihak pertama habis dibeli oleh pihak kedua dan harta syirkah menjadi milik pihak kedua secara penuh.

Terdapat perbedaan ulama dalam memperkenalkan istilah Musyarakah

Mutanaqishah, ada yang menyebutnya dengan istilah Musyarakah Mutanaqishah,

karena memperhatikan kepemilkan salah satu pihak yang menjual kepemilikannya berkurang. Ada yang menyebut dengan Musyarakah Ziyadah, karena memperhatikan porsi kepemilikan salah satu pihak yang bertambah. Ada juga yang menyebutnya dengan Musyarakah Muntahiya Bit Tamlik, karena memperhatikan status kepemilikan modal usaha bersama pada waktu yang disepakati, yaitu menjadi milik syarik secara penuh. Ada juga yang menyebutnya dengan istilah Musyarakah Muqayyadah, karena kerja sama terikat yang

1 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah (Yogyakarta : UII Press.

2004), Hlm. 79

2

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 13, Terjemah Kamaluddin A Marzuki (Bandung : PT. Al-Ma’arif. 1996), Hlm. 174.

3 Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tanggal 14 November 2008 Tentang Musyarakah

(3)

didalamnya terdapat keterikatan yang disepakati oleh kedua belah pihak antara lain :4

a. Kesepakatan untuk membeli barang modal milik bank oleh nasabah yang dilakukan secara angsur.

b. Kesepakatan untuk melakukan prestasi tertentu (misalnya ijarah) yang dilakukan oleh nasabah karena harta yang dijadika modal dalam syirkah harus menghasilkan keuntungan.

c. Kesepakatan untuk memindahkan kepemilikan modal dari bank kepada nasabah karena pembelian secara berangsur.

Kemal Taufiq Muhammad Hathab menyatakan bahwa dalam Musyarakah

Mutanaqishah terdapat beberapa akad yang dilakukan secara paralel antara lain :5

a. Syirkah Inan, yaitu dua syarik atau lebih menyertakan seluruh hartanya dengan jumlah yang tidak sama guna dijakdikan modal usaha bersama. b. Janji (wa’ad) dari pihak syarik kepada syarik yang lain untuk membeli

barang modal yang disertakan.

c. Pembelian barang modal oleh syarik yang membeli dilakukan secara berangsur.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Musyarakah

Mutanaqishah,adalah :

a. Turunan dari akad Musyarakah, dimana para pihak bekerjasama dalam bentuk modal untuk sebuah kepemilikan suatu asset.

b. Ada pengurangan dan penambahan kepemilikan kedua belah pihak atas asset tersebut. Sampai akhirnya kepemilikkan atas asset tersebut pindah, secara penuh dimiliki oleh satu pihak.

c. Perpindahan kepemilikkan tersebut dikarenakan satu pihak menjual kepemilikannya dan pihak yang satunya lagi membeli porsi kepemilikkan atas asset tersebut secara berangsur.

4

Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta : Kencana, 2012), Hlm. 62

5

(4)

2. Dasar Hukum Musyarakah Mutanaqishah

Dalam Al-Qur’an Surat Shad Ayat 24 disebutkan :

































“Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini".

Dalam Hadits riwayat Abu Daud yaitu :6

ِبَِأ ْنَع ِناَقِرْبِّزلا حنْب حدَّمَحمُ اَنَ ثَّدَح ُّيِصيِّصِمْلا َناَمْيَلحس حنْب حدَّمَحمُ اَنَ ثَّدَح

َناَّيَح

َلاَق حهَعَ فَر َةَرْ يَرحه ِبَِأ ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ِّيِمْيَّ تلا

اَنَأ حلوحقَ ي َهَّللا َّنِإ

حثِلاَث

اَمِهِنْيَ ب ْنِم حتْجَرَخ حهَناَخ اَذِإَف حهَبِحاَص اَحهُحدَحَأ ْنحَيَ َْلَ اَم ِْيَْكيِرَّشلا

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al Mishshishi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Az Zibriqan, dari Abu Hayyan At Taimi, dari ayahnya dari Abu Hurairah dan ia merafa'kannya. Ia berkata; sesungguhnya Allah berfirman: "Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama tidak ada salah seorang diantara mereka yang berkhianat kepada sahabatnya. Apabila ia telah mengkhianatinya, maka aku keluar dari keduanya." (H.R. Abu Daud) Adapun menurut pendapat beberapa ulama mengenai hukum Musyarakah

Mutanaqishah yaitu, Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughni, (Beirut : Dar Al-Fikr, t.

Th), Juz 5 Halaman 173 :7

“Apabila salah satu dari dua yang bermitra (Syarik) membeli porsi (bagian, hishshah) dari syarik lainnya, maka hukumnya boleh, karena (sebenarnya) ia membeli milik pihak lain.”

Ibn Abidin dalam Kitab Raddul Mukhtar Juz III Halaman 365 :8

6

Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut : Dar Al-Fikr, 2007), Juz 3, Hlm. 402. Nomor Hadits : 2936

7 Dikutip dari Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tanggal 14 November 2008 TentangMusyarakah

(5)

“Apabila salah satu dari dua orang yang bermitra (syarik) dalam (kepemilikan) suatu bangunan menjual porsi (hishshah) nya kepada pihak lain, maka hukumnya tidak boleh, sedangkan (jika menjual porsinya tersebut) kepada syariknya maka hukumnya boleh.”

Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan dalam kitab Al-Muamalah Al-Maliyah

Al-Muasirah halaman 436-437 :9

“Musyarakah Mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah, karena sebagaimana Ijarah Muntahiyah bi-al-Tamlik bersandar pada janji dari Bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa Bank akan menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam Syirkah apabila mitra telah membayar kepada Bank harga porsi Bank tersebut. Di saat berlangsung, Musyarakah

Mutanaqishah tersebut dipandang sebagai Syirkah ‘Inan, karena kedua

belah pihak menyerahkan kontribusi ra’sul mal, dan Bank mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha. Setelah selesai

Syirkah Bank menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra,

dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad Syirkah.”

Kemal Taufiq Muhammad Hatab dalam Jurnal Dirasat Iqtishadiyyah

Islamiyyah, Muharram 1434, Jilid 10, Volume 2, halaman 48 menyatakan :10

“Mengingat bahwa sifat (tabiat) Musyarakah merupakan jenis jual-beli karena Musyarakah dianggap sebagai pembelian suatu porsi (hishshah) secara musya’ (tidak ditentukan batas-batasnya) dari sebuah pokok. Maka apabila salah satu mitra (syarik) ingin melepaskan haknya dari syirkah, maka ia menjual hishshah yang dimilikinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada syarik lainnya yang tetap melanjutkan Musyarakah tersebut.”

Nuruddin Abdul Karim Kawamilah, dalam kitab Musyarakah

Al-Mutanaqishah wa Tathbiqatuha Al-Mu’ashirah, (Yordan : Dar Al-Nafa’is, 2008),

Halaman 133 menyebutkan :11

“Studi ini sampai pada kesimpulan bahwa Musyarakah Mutanaqisah dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan Musyarakah dengan bentuknya yang umum; hal itu mengingat bahwa pembiayaan Musyarakah dengan bentuknya yang umum terdiri atas beberapa ragam dan macam yang berbeda-beda. Dilihat dari sudut “kesinambungan pembiayaan”

8 Ibid 9 Ibid 10 Ibid 11 Ibid

(6)

(istimrariyah al-tamwil), Musyarakah terbagi menjadi tiga macam: pembiayaan untuk satu kali transaksi, pembiayaan Musyarakah permanen, dan pembaiayaan Musyarakah Mutanaqishah”

3. Musyarakah Mutanaqishah di Lembaga Keuangan Syariah

Pada pelaksanaannya di lapangan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS), akad Musyarakah Mutanaqishah banyak digunakan dalam pembiayaan kepemilikan rumah atau properti lainnya seperti Ruko, Rukan, dll. Pembiayaan

Musyarakah Mutanaqishah merupakan bentuk kerjasama kemitraan ketika LKS

dan Nasabah bersama-sama membeli rumah atau properti lainnya. Asset tersebut kemudian disewakan kepada Nasabah dengan biaya sewa bulanan. Bagian pendapatan sewa nasabah digunakan sebagai penambah kepemilikan, sehingga pada saat akhir waktu pembiayaan, rumah atau properti tersebut menjadi milik Nasabah sepenuhnya.12

Pelaksanaan Musyarakah Mutanaqishah sudah diatur oleh DSN MUI melalui Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008, yang mana disebutkan disana ketentuan akad dan ketentuan khusunya antara lain :13

Ketentuan akad :

a. Akad Musyarakah Mutanaqishah terdiri dari akad Musyarakah/ Syirkah dan Bai’ (jual-beli).

b. Dalam Musyarakah Mutanaqishah berlaku hukum sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan

Musyarakah, yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, di

antaranya:

1) Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad.

2) Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad.

3) Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.

12

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hlm. 195

13

Dikutip dari Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tanggal 14 November 2008 Tentang

(7)

c. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah, pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya.

d. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai kesepakatan.

e. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada

syarik lainnya (nasabah).

Adapun ketentuan khususnya adalah sebagai berikut :

a. Aset Musyarakah Mutanaqishah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain.

b. Apabila asset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.

c. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan

nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus

berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.

d. Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad.

e. Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.

Dari ketetentuan Fatwa tersebut dinyatakan bahwa :

a. Musyarakah Mutanaqishah merupakan transaksi yang menghimpun beberapa akad yaitu Musyarakah dan Jual-beli (multi akad).

b. Masing-masing pihak mempunyai janji satu sama lain. Pihak LKS berjanji dan wajib untuk menjual asset Musyarakah Mutanaqishah tersebut, dan nasabah berjanji dan wajib membeli porsi kepemilikan LKS atas asset tersebut.

c. Asset dapat di-Ijarah-kan kepada syarik (nasabah) atau pihak lain. Dengan begitu, maka nasabah dapat menyewa asset tersebut sesuai dengan ujrah

(8)

yang disepakati, ataupun juga disewakan kepada pihak lain, karena prinsip

ijarah ini merupakan pilihan yang dapat digunakan dalam Musyarakah Mutanaqishah.

Pada dasarnya Musyarakah Mutanaqishah tidak terkait dengan sewa atau

Ijarah, Musyarakah Mutanaqishah hanya terdiri dari akad Musyarakah dan

Jual-beli. Namun dalam pelaksanaannya, dimana LKS sebagai Syarik memerlukan pendapatan dan keuntungan yang dapat diambil langsung dari akad ini, maka LKS menembahkan akad Ijarah dalam transaksi ini agar asset dapat menghasilkan keuntungan dan keuntungan tersebut akan dibagi hasilkan antara LKS dengan Nasabah. Sebenarnya pihak yang menyewa asset tersebut boleh siapapun dan pihak manapun, tidak harus nasabah, yang penting selama masa pembiayaan asset tersebut harus menghasilkan keuntungan tiap bulan berupa uang sewa. Dalam kenyatannya, pihak yang menyewa asset tersebut kebanyakan adalah nasabah itu sendiri yang mana porsi bagi hasil nasabah digunakan untuk membayar pembelian porsi kepemilikan kepada LKS.

Transaksi Musyarakah Mutanaqishah antara LKS dan Nasabah dapat diilustrasikan sebagai berikut :

“Harga rumah misalnya 100 juta rupiah. LKS berkontribusi memberikan modal untuk membeli rumah tersebut sebesar 70 juta, dan nasabah 30 juta. Karena kedua belah pihak telah berkongsi, maka LKS memiliki porsi kepemilikan 70% atas rumah tersebut, dan nasabah sebesar 30%. Dalam syariah islam atau fatwa MUI disebutkan bahwa barang tersebut bisa disewakan kepada siapapun, dalam hal ini asset tersebut disewakan kepada nasabah. Seandainya biaya sewa yang disepakati sebesar 1 juta perbulan, maka secara prinsip uang sewa tersebut adalah 700 ribu milik LKS dan 300 ribu milik Nasabah. Akan tetapi karena pada dasarnya Nasabah bertujuan untuk memiliki secara penuh asset tersebut dan akan membeli porsi kepemilikan LKS atas asset tersebut, maka uang yang 300 ribu tersebut tidak diambil oleh Nasabah dan diberikan kepada LKS sebagai bayaran atas pembelian porsi kepemilikan LKS atas asset tersebut. Dengan demikian, porsi kepemilikkan LKS atas asset tersebut setiap bulan semakin kecil dan porsi kepemilikkan Nasabah atas asset tersebut semakin besar setiap bulan. Hal ini

(9)

dilakukan setiap bulan, dimana bagi hasil pendapatan sewa atas asset tersebut dibagi sesuai porsi kepemilikkan masing-masing pihak hingga pada akhirnya, nasabah menjadi pemilik penuh atas asset tersebut. Itulah yang disebut dengan perkongsioan Musyarakah Mutanaqishah atau disebut dengan Decreasing

Participation dari pihak LKS.”14 Musyarakah Mutanaqishah dapat dibuat skema

sebagai berikut :

Akad

Asset menjadi milik nasabah secara penuh pada akhir masa pembiayaan

Modal Modal

LKS Properti Nasabah

Sewa

Keuntungan

Bagian LKS Bayar Biaya Sewa Bagian Nasabah di berikan sebagai

Pembayaran pembelian porsi kepemilikan

4. Konsep Multi Akad Dalam Musyarakah Muatanaqishah

Musyarakah Mutanaqishah termasuk kedalam transaksi multi akad,

terlihat sangat jelas bahwa dalam transaksi ini terhimpun lebih dari satu akad yaitu akad Syirkah, Ijarah, dan Jual-beli. Multi akad yang dalam fikih sering disebut dengan istilah Al-‘uqud al-murakkabah yang menurut Nazih Hammad adalah :15

“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih seperti jual beli dengan sewa menyewa,

hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharf (penukaran mata uang), syirkah,

14Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani, 2004), Hlm.

173-174

15

Hasanudin, Konsep dan Standar Multi Akad Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia (DSN-MUI), (Disertasi : 2008), Hlm. 52 : dikutip dari Nazih Muhammad, Al-‘Uqud al-murakkabah fi al-fiqh al-islamy, (Damaskus : Dar Al-Qalam, 2005), Cet. Ke-1, Hlm. 7

(10)

mudharabah, dst. Sehingga semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”

Menurut Al-‘Imrani16, ada dua bentuk utama dari akad murakkab,yaitu

isytirath ‘aqdin fi ‘aqdin (persyaratan adanya akad lain atas suatu akad) yang

disebut dengan akad timbal balik (al-uqud al-mutaqabilah) dan ijtima’ ‘aqdain fi

‘aqdin (terhimpun dua akad dalam satu akad), disebut dengan akad gabungan (al-‘uqud al-mujtami’ah). Dua bentuk utama ini disebut akad murakkab baik kedua

akad yang dihimpun merupakan akad sejenis atau tidak sejenis, akad yang saling menafikkan, berlawanan atau bahkan bertolak belakang. Bisa jadi objek dua akad itu adalah hal yang sama atau berbeda, dilakukan pada waktu yang sama atau berlainan, dengan harga yang sama atau yang berbeda.

Antara masing-masing akad tersebut terdapat korelasi satu sama lain sehingga satu akad tersebut terbentuk apabila akad yang satunya lagi sudah terbentuk, seperti halnya dalam Musyarakah Mutanaqishah adanya akad ijarah dan jual-beli terbentuk apabila sudah dilakukan akad syirkah terlebih dahulu untuk membeli asset yang dimaksud. Serta mempunyai akibat hukum yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum yang timbul dari satu akad biasa yang sah. Sehingga menurut Al-‘Imrani meskipun terhimpun beberapa akad, tetapi tidak terdapat korelasi satu sama lain dan akibat hukum dari akad-akad tersebut dapat dipisah-pisahkan maka hal tersebut tidak dapat dinamakan dengan akad murakkab.

Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat mengenai kebolehannya. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan di[erbolehkan menurut syariat islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan selama ada dalil hukum yang mengharamkannya.17

16

Hasanudin, Konsep dan Standar Multi Akad Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia (DSN-MUI), (Disertasi : 2008), Hlm. 52 : dikutip dari Al-‘Imrani, Al-‘uqud maliyah al-murakkabah, Hlm. 46-47

17

(11)

Hukum asal syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang18, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaotu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.19

Al-Syatibi menjelaskan perbedaan antar ibadah dengan muamalah, hukum asal ibadah adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal muamalah adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada prakteknya (iltifat ila ma’any), dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalah terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).20

Kalangan Malikiyah dan Ibn Taimiyah berpendapat bahwa multi akad merupakan jalan keluar dan kemudahan yang diperbolehkan dan disyariatkan selama mengandung manfaat dan tidak dilarang agama. Karena hukum asalnya adalah sahnya syarat untuk semua akad selama tidak bertentangan dengan agama dan bermanfaat bagi manusia.21

Adapun menurut ulama dari kalangan Dhahiriyyah mengharamkan multi akad. Menurut kalangan ini hukum asal dari akad adalah dilarang kecuali ditunjukkan boleh oleh agama. Kalangan ini berpendapat bahwa islam sudah sempurna, sudah dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia. Setiap perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash agama berarti membuat ketentuan sendiri yang tidak ada dasarnya dalam agama, dan perbuatan ini dianggap perbuatan yang melampaui batas agama seperti dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 229.

18

Seperti Hadits Riwayat Ahmad No. 6339 dan 3595 yang melarang dua transaksi dalam satu transaksi

19

Hasanudin, Konsep dan Standar Multi Akad Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia (DSN-MUI), (Disertasi : 2008), Hlm. 69 : dikutip dari Nazih Muhammad, Al-‘Uqud al-murakkabah fi al-fiqh al-islamy, (Damaskus : Dar Al-Qalam, 2005), Cet. Ke-1, Hlm. 8

20

Ibid, Hlm. 70 : Dikutip dari As-Syatibi, Al-Muwafaqat, Hlm. 284

21 Ibid, Hlm. 75 : Dikutip dari Ibn Qudamah, Al-Mughny, juz. 6, Hlm. 332, Kasyaf Al-Qana. Juz. 3, Halm.

(12)

Maka dari itu kalangan ini berpendapat bahwa hukum asal dari akad adalah dilarang, kecuali yang dinyatakan kebolehannya oleh agama. Namun pendapat ini dinilai terlalu membatasi manusia secara sempit dan mempersulit dalam urusan muamalahnya. Sehingga tidak sesuai dengan semangat ajaran agama islam yang justru memberi peluang untuk melakukan inovasi dalam bidang muamalahnya agar memudahkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Karena islam adalah agama yang memberi kemudahan bagi hambanya.

Meskipun mayoritas ulama membolehkan praktek multi akad, tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya bebas untuk dilaksanakan karena mereka menetapkan sejumlah batasan dan ketentuan tertentu yang harus diperhatukan dalam praktek multi akad. Jika batasan tesebut dilanggar maka akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Meskipun masih diperselihkan antara ulama mengenai batasan batasan tersebut namun secara umum batasan batasan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Multi akad yang dilarang oleh nash agama

Dalam hadits nabi Muhammad SAW ditemukan hadits yang melarang empat bentuk multi akad yaitu :

1) “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman” (HR. Ahmad)

2) “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli” (HR. Malik)

3) “Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Barang siapa melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, maka baginya kekurangan atau kelebihannya (riba)” (HR. Abu Daud)

4) “Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah melarang dua transaksi dalam satu transaksi” (HR. Ahmad)

Mengenai hadits diatas, para ulama sepakat melarang akad jual beli dengan akad pinjaman disatukan dalam satu akad, seperti apabila seorang meminjamkan seribu, lalu menjual barang yang harga delapan ratus dengan harga seribu. Dengan demikian, ia telah memberikan seribu dan barang seharga delapan ratus untuk mendapatkan bayaran dua ribu. Disini ia memperoleh kelebihan dua

(13)

ribu dan itu adalah riba. Namun menurut Al-‘imrani hal tersebut tidak selamnya dilarang. Penghimpunan akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada syarat didalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui pinjaman. Seperti jika seseorang memberi pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadnya padahal ia masih dalam masa pinjaman tersebut. Yang demikian hukumnya boleh.22 Ulama sepakat untuk melarang menghimpun semua akad jual beli dengan akad pinjaman, seperti antara ijarah dengan qardh, salam dengan qardh, sharf dengan qard karena akan menimbulkan ketidak jelasan harga dalam objek jual-beli nya.

Adapun mengenai hadits tentang larangan dua jual beli dalam satu jual beli, para ulama menyatakan bahwa hal tersebut akan menimbulkan ketidak jelasan harga dan menjerumuskan ke riba. Banyak ulama berbeda dalam mengilustrasikan maksud dari hadits ini. Dari semua yang dicontohkan oleh para ulama terdapat kesamaan yaitu keharamannya dikarenakan illat-nya yaitu adanya ketidakjelasan harga (bai’ al-gharar).

Mengenai hadits larangan dua transaksi (shafqa) dalam satu transaksi (shafqatain fi shafqah) para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari kata

“shafqa”. Sebagian besar ulama menafsirkan larangan dua transaksi dalam satu

transaksi ini adalah larangan transaksi dua jual beli dalam satu jual beli. Mengingat perkataan Umar bin Khattab yang berkata “Sesungguhnya jual beli itu

shafqa atau khiyar”. Sehingga illat dalam larangan ini sama dengan larangan dua

jual beli dalam satu jual beli. Sedangkan ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa larangan dua transaksi dalam satu transaksi bermakna umum bukan hanya jual-beli, oleh karena itu larangan dalam hadits ini menurut mereka meliputi larangan bergabungnya akad salam dengan jual beli, ijarah dengan jual beli,

syirkah dengan ijarah, hibah dengan sharf, dsb.23

b. Multi akad sebagai hilah riba dan mengandung unsur riba

Multi akad yang dilarang ini mengantarkan kepada riba seperti jual beli

inah dan yang mengantarkan kepada riba fadhl. Contohnya ketika seorang

22 Ibid, Hlm. 78 : dikutip dari Al-‘Imrani, Al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, Hlm. 180 23

(14)

menjual sesuatu dengan harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Karena dalam jual beli inah seolah olah terjadi jual beli padahal nyatanya merupakan hilah riba dalam pinjaman, karena objek akad semu dan tidak faktual dalam akad ini, sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan dalam syariat tidak ditemukan dalam akad ini.transaksi seperti ini bentuk formalnya adalah jual beli namun substansinya adalah riba.

Multi akad yang mengandung hilah riba fadl dilarang, seperti contoh apabila seseorang menjual beras (harta ribawi) 2kg dengan harga 20 ribu dengan syarat ia dengan harga yang sama (20 ribu) harus membeli dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih banyak (misalnya 3kg). Transaksi ini adalah hilah riba fadhl yang dilarang.24 Transaksi seperti ini dilarang berdasarkan peristiwa pada zaman nabi dimana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna 1kg dengan kurma kualitas rendah 2kg atau lebih. Praktik seperti ini dilarang nabi, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula kurma kualitas sempurna juga dibayar dengan harga sendiri.

Maksudnya, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri-sendiri. Hadits ini ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi salaing bergantung satu dengan yang lainnya.25

c. Multi akad yang terdiri dari akad yang akibat hukumnya saling berlawanan Sebagian kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad yang antara akad-akad tersebut berbeda ketentuan hukumnya dan akibat hukumnya berlawanan, seperti jual beli dan pinjaman, jual beli dengan jualah, sharf,

musaqah, syirkah dan mudharabah. Meski demikian, sebagian lagi ulama

Malikiyah dan mayoritas ulama non Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya

24 Ibid, Hlm. 93 : dikutip dari Ibn Qudamah, Al-mughny, Juz. 6, Hlm. 114 25

(15)

keabsahan akad.26 dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad

jenis ini adalah pendapat yang lebih unggul.

Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhadhah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa keharaman multi akad dikarenakan adanya ketidak pastian dan ketidak jelasan harga dan objek transaksi serta akibat hukumnya (gharar), adanya hilah riba dan mengandung unsur riba, dan multi akad yang menimbulkan akibat hukum yang bertentangn pada objek yang sama sehingga menibulkan ketidak jelasan (gharar). Adapun dalam Musyarakah Mutanaqishah meskipun terdapat gabungan antara akad

syirkah, ijarah dan jual beli, hal tersebut dapat dinyatakan sah menggabungkan

akad-akad ini dengan imbalan dibagi untuk masing-masing akad sesuai dengan harga masing-masing objek akad, harga jarah nya jelas, harga jual beli nya jelas berikut objek masing masing transaksinya Sehingga penggabungan ini tidak membatalkan akad.27 Dengan begitu jadi jelas kedudukan masing-masing transaksi atas objeknya sehingga tidak menimbulkan ketidak jelasan (gharar) baik atas objeknya ataupun atas harganya serta akibat hukum terhadap objeknya. Mengenai syarat yang menjerumuskan atau mengarah kepada hilah riba meskipun dalam transaksi Musyarakah Mutanaqishah terdapat ketentuan asset di ijarah kan kepada nasabah, hal tersebut merupakan pilihan dan bukan syarat mutlak bahwa asset tersebut harus disewa oleh nasabah, karena prinsipnya asset Musyarakah

Mutanaqishah boleh disewakan kepada pihak manapun yang penting asset

tersebut menghasilkan keuntungan untuk para syarik, sehingga tidak dipersamakan dengan hilah riba seperti dalam jual beli inah. Karena tujuan salah

26

Ibid, Hlm. 95 dikutip dari : Ibn Juzayy, al-qawanin al-fiqhiyyah, Tahqiq : Adullah al-minsyawi, (Kairo : Dar al-hadits, 2005), Hlm. 209-210, Al-‘Imrani, Al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, Hlm. 126

27 Ibid, Hlm. 65 : dikutip dari Al-Syairazy, Al-Muhadzdzab, juz. 1, Hlm. 270 juga Al-Ghozaly, Al-Wajiz, Juz.

(16)

satu dari tujuan akad syirkah adalah untuk mencari keuntungan bagi para syarik dari akad yang dilaksanakan.

Sehingga kombinasi tiga akad dalam Musyarakah Mutanaqishah mempunyai kedudukan yang jelas terhadap objeknya, mempunyai akibat hukum yang jelas untuk masing-masing akadnya terhadap objeknya dan tidak terdapat ketidak jelasan dan pertentangan akibat hukum akad terhadap objek akadnya. Dengan begitu transaksi Musyarakah Mutanaqishah merupakan multi akad yang terdiri dari tiga akad yang terkumpul menjadi satu akad yang berbeda hukum atas satu objek (al-‘uqud al-mujtami’ah) yang pelaksanaan masing masing akadnya bergantung pada kesempurnaan akad yang lainnya, dalam artian akad kedua dan ketiga merepon akad pertama (al-‘uqud al-mutaqabilah), seperti akad ijarah dan

jual beli bergantung pada proses kesempurnaan akad syirkah. Apabila akad syirkah telah sempurna, maka akad ijarah dan jual beli baru bisa dilaksanakan dan

(17)

C. KESIMPULAN

Musyarakah Mutanaqishah merupakan praktek yang berkembang di

Lembaga Keuangan Syariah yang digunakan oleh nasabah dalam rangka memiliki sebuah asset properti baik rumah, ruko atau rukan. Dalam prakteknya transaksi ini merupakan sebuah transaksi multi akad (al-‘uqud al’murakkabah) yang didalamnya terhimpun tiga akad yaitu akad syirkah antara LKS dan nasabah untuk membeli asset, akad ijarah untuk nasabah yang menyewa asset tersebut, dan akad jual beli karena nasabah secara bertahap membeli porsi kepemilikan bank hingga akhirnya nasabah memiliki asset tersebut secara penuh. Adapun bagi hasil dari uang sewa asset yang diperuntukkan oleh nasabah digunakan nasabah untuk membeli porsi kepemilikan LKS atas asset tersebut. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai hukum multi akad, ada yang tidak membolehkan dengan berdasarkan beberapa hadits nabi yang melarang dua transaksi dalam satu transaksi, ada pula yang membolehkan dengan pendapat bahwa illat dari larangan hadits tersebut adalah melarang dua transaksi dalam satu transaksi yang didalamnya terdapat unsur gharar, hillah riba, mengandung unsur riba, dan akibat hukum masing masing akad bertentangan satu sama lain.

Sehingga apabila praktek multi akad tidak ada unsur tersebut maka multi akad tersebut diperbolehkan, begitupun dengan multi akad dalam transaksi

Musyarakah Mutanaqishah. Kombinasi tiga akad dalam Musyarakah Mutanaqishah mempunyai kedudukan yang jelas terhadap objeknya, mempunyai

akibat hukum yang jelas untuk masing-masing akadnya terhadap objeknya dan tidak terdapat ketidak jelasan dan pertentangan akibat hukum akad terhadap objek akadnya. Musyarakah Mutanaqishah merupakan multi akad yang terdiri dari tiga akad yang terkumpul menjadi satu akad yang berbeda hukum atas satu objek

(al-‘uqud al-mujtami’ah) yang pelaksanaan masing masing akadnya bergantung pada

kesempurnaan akad yang lainnya, dalam artian akad kedua dan ketiga merepon akad pertama (al-‘uqud al-mutaqabilah).

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2014 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut : Dar Al-Fikr, 2007, Juz 3

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008

Fatwa DSN MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tanggal 14 November 2008 Tentang

Musyarakah Mutanaqishah

Hasanudin, Konsep dan Standar Multi Akad Dalam Fatwa Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Disertasi : 2008

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Juhaya S Praja, Ekonomi Syariah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2015

Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah, Jakarta : Kencana, 2012

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani, 2004

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank

Syariah , Yogyakarta : UII Press. 2004

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 13, Terjemah Kamaluddin A Marzuki, Bandung : PT. Al-Ma’arif. 1996

Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2012

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang sistem informasi keluar masuk gabah dengan algoritma FIFO (First In First Out) menggunakan Visual Basic 2010 di Gudang

Hubungan manajemen perubahan dan lingkungan kerja berjalan secara beriringan dalam upaya meningkatkan kinerja pegawai, serta diduga dalam pemberian motivasi kerja

Lebih daripada itu, Laman Komuniti Frog turut menyediakan sumber dan material lain sebagai cabaran dan inspirasi untuk golongan pendidik.The Pond adalah

Pada siklus pertama ini peneliti setelah menerapkan pendekatan yang ditawarkan, yaitu pendekatan behavior dalam konseling kelompok ditemukan hasil sebagai berikut;

Metode penjadwalan produksi Heijunka adalah metode penjadwalan produksi yang cocok digunakan dalam produksi sepeda motor karena waktu inden pelanggan dapat

Dari kebutuhan tersebut, maka secara garis besar beberapa fasilitas yang dibutuhkan pada anime community center ini adalah : area retail dimana pengunjung dapat mencari produk

Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan materi yang diperlukan dalam pembuatan permainan “Egrang Run” diantaranya konten-konten tampilan grafik atau gambar serta efek suara

Identitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah identitas yang dimiliki oleh orang Kampung Bugis di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan yang membatasi