• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya Volume 3 Nomor 1, April 2020, (Hlm )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya Volume 3 Nomor 1, April 2020, (Hlm )"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia, dan Pengajarannya Volume 3– Nomor 1, April 2020, (Hlm 311-323)

Available online at: http://sasando.upstegal.ac.id

IDENTITAS KULTURAL DAN NASIONALISME JARAK JAUH KAUM DIASPORA DALAM NOVEL “ROJAK” DAN “BRICKLANE”

Heri Dwi Santoso1) *, Yunita Nugraheni2)

1Program Studi S1 Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Budaya Asing, Universitas Muhammadiyah

Semarang, Jalan Kedungmundu Raya Nomor 18, Semarang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

2 Program Studi S1 Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Budaya Asing, Universitas Muhammadiyah

Semarang, Jalan Kedungmundu Raya Nomor 18, Semarang, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. * Korespondensi Penulis. E-mail: heridwi.santoso@unimus.ac.id, Telp: +6282329058143

Abstrak

Orang-orang yang meninggalkan negaranya untuk menetap di negara lain dan/atau pindah kewarganegaraan sering dikatakan sebagai orang-orang yang tidak patriotik dan tidak memiliki jiwa nasionalis. Namun, fakta menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang masih menunjukkan nasionalisme terhadap negara asal mereka. Istilah untuk menyebut hal ini adalah nasionalisme jarak jauh (long distance nationalism). Dengan memandang bahwa sastra merupakan cermin masyarakat, isu ini ditemukan di beberapa karya sastra.Studi ini dilakukan pada novel Rojak (novel Indonesia karya Fira Basuki) dan novel Bricklane (novel Inggris karya Monica Ali), dimana tokoh-tokoh diaspora ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan apakah terdapat sikap nasionalis jarak jauh pada tokoh-tokohnya atau tidak, serta bagaimana tokoh-tokoh tersebut memberikan pandangan terhadap negara asalnya. Metode penelitian ini adalah metode penelitian sastra bandingan dengan pendekatan eklektik (gabungan pendekatan struktural dan poskolonial). Hasil menunjukkan bahwa tokoh-tokoh diaspora dengan perwatakan yang berbeda dan motif migrasi yang beragam merepresentasikan identitas kultural yang berbeda pula. Selain itu perbedaan motif migrasi juga berimplikasi pada rasa nasionalisme jarak jauh dari tokoh-tokoh diaspora tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa sikap nasionalisme jarak jauh kaum diaspora tidak dapat digeneralisir oleh karena ada aspek-aspek yang mempengaruhi sikap tersebut, termasuk juga adanya ambivalensi-ambivalensi pada tataran tertentu.

Kata kunci: nasionalisme jarak jauh; sastra bandingan; ambivalensi; novel.

CULTURAL IDENTITY AND LONG DISTANCE NATIONALISM ROJAK AND BRICKLANE Abstract

People leaving their countries to become permanent residents of other countries and/or change their nationaliites are often seen unpatriotic and having not nationalistic spirits. However, facts show that many of them still show nationalism towards their homelands. This kind of nationalism is called long distance nationalism. Considering literature as a mirror of society, such an issue is found in several literary works. This study was conducted on Rojak (an Indonesian novel) and Bricklane (and English novel), in which diaspora characters were found. The research aimed at finding out if long-distance nationalistic spirits could be found, and how these characters shared their views on their homelands. Method used was comparative literary studies with eclectic approach (combination of structural and postcolonial approaches). Results showed that such diaspora figures, with different personalities and migration motives, represent different cultural identities. Besides, the differences of the migration motives also made impacts on their long distance nationalisms. It is concluded that we cannot generalize diaspora people’s qualities of long distance nationalism for they deal with various aspects, including ambivalences to certain extents.

(2)

1. PENDAHULUAN

Di Indonesia, telah banyak kritik maupun sindiran perihal kadar nasionalisme masyarakat Indonesia pasca kolonialisme. Bahkan terdapat semacam stereotip bahwa kadar nasionalisme bangsa Indonesia rendah.

Lazimnya, salah satu indikator untuk menakar kadar nasionalisme suatu bangsa adalah tingkat emigrasi. Pada tahun 2015, Persatuan Bangsa Bangsa melaporkan bahwa sebanyak 235 juta jiwa di dunia menjadi migran. Banyaknya jumlah migran tidak aneh jika menilik fakta bahwa migrasi penduduk pada dasarnya bukan hal baru di abad ke-21. Aktivitas berpindah-pindah tempat telah dilakukan oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa persoalan yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia.

Menariknya, pola migrasi yang terjadi pasca-kolonialisme pada kenyataannya semakin menguatkan dikotomi pusat-pinggiran (center-periphery) yang terbentuk pasca-kolonialisme. Setidaknya, sekitar satu dekade pasca pergantian abad, masuk dalam sepuluh besar negara favorit para migran adalah top leading countries seperti Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Inggris Raya, Perancis, Kanada, Australia, dan Spanyol (Walsh, 2014). Bukanlah suatu kebetulan bahwa negara-negara tersebut menjadi pilihan. Ada konsep pusat (center/metropolis) dan pinggiran (periphery) (Said, 1994:77) yang mendikotomi negara-negara di dunia.

Mengutip dari Pisse (2014) terdapat tiga (3) faktor utama yang mendasari terjadinya imigrasi, antara lain faktor sosial politik, ekologis, dan ekonomi. Beberapa orang memilih pindah dan menetap di negara yang dianggap sebagai “pusat” yang dianggap menawarkan keuntungan dalam hal-hal tersebut, yang mana secara tidak langsung menempatkan ketiga hal tersebut di atas nasionalisme.

Dalam dunia sastra, representasi dari hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam berbagai novel di dunia. Ini

mengindikasikan bahwa persoalan-persoalan yang serupa telah memicu kegelisahan banyak sastrawan penulis novel, terutama mereka yang memiliki pengalaman-pengalaman serupa.

Namun, fakta-fakta menunjukkan bahwa migrasi seseorang dan/atau berpindahnya kewarganegaraan seseorang tidak selalu menjadi jaminan apakah nasionalismenya sudah hilang terhadap negara asalnya. Dengan kata lain, kritik terhadap orang-orang yang keluar dari negara asalnya tidak selalu tepat oleh karena alasan-alasan perpindahan tersebut beragam dan tidak dapat digeneralisir.

Penelitian ini merupakan penelitian sastra bandingan transnasional, yang berusaha untuk meneliti apakah ada nasionalisme jarak jauh (long distance nationalism) pada tokoh-tokoh diaspora di dalam karya sastra. Penelitian mengambil objek material novel Indonesia berjudul

Rojak karya Fira Basuki dan novel Inggris

berjudul Bricklane karya Monica Ali. Penelitian dilakukan dengan cara membandingkan nasionalisme migran (diaspora Indonesia) di Singapura dalam

Rojak dengan migran (diaspora Pakistan)

yang tinggal di Inggris dalam Bricklane. Bagaimana tokoh-tokoh migran tersebut memandang negara asal mereka serta bagaimana mereka menunjukkan nasionalisme terhadap negara asal tersebut menarik untuk ditelaah dan diperbandingkan.

2. METODE

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan penerapan metode penelitian sastra bandingan, yang mana penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran secara sistematis dan faktual berkaitan dengan data kualitatif seperti kata, frasa, dan ungkapan yang ada di dalam novel, serta hubungannya dengan fenomena yang diteliti. Metode penelitian sastra bandingan dipilih karena penelitian dilakukan dengan memperbandingan 2 (dua) karya sastra berbentuk novel dari 2 (dua)

(3)

negara berbeda. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan eklektik yaitu gabungan antara pendekatan struktural dan pendekatan poskolonial. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dianalisis terbagi menjadi 2 (dua) yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah novel Rojak karya Fira Basuki dan

Bricklane karya Monica Ali. Adapun data

sekunder meliputi referensi-referensi yang berupa artikel jurnal, buku teori, serta rujukan-rujukan lainnya baik dari internet maupun perpustakaan.

Data dikumpulkan dengan teknik membaca seksama, menggarisbawahi, dan mencatat. Adapun langkah-langkah untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut: (1) Memperoleh novel Rojak dan Bricklane

sebagai sumber data primer dan referensi-referensi yang diperlukan sebagai data sekunder.

(2) Mengidentifikasi tokoh-tokoh dalam

Rojak dan Bricklane dan

menganalisisnya dengan teori tokoh dan penokohan dari Aminuddin.

(3) Mencatat bagian-bagian cerita yang menggambarkan identitas dari tokoh-tokoh tersebut serta perubahan-perubahannya.

(4) Mencatat bagian-bagian cerita yang mendeksripsikan cara pandang tokoh-tokoh tersebut mengenai tanah air mereka.

(5) Mencatat bagian-bagian cerita yang menunjukkan sikap nasionalisme tokoh-tokoh tersebut terhadap negara asal mereka.

Teknik Analisis Data

Setelah terkumpul, data dianalisis dengan pendekatan deskriptif sehingga hasil dan kesimpulan dapat diambil, sebagaimana diterapkan oleh Vidyastria (2017:8). Teknik analisis difokuskan pada telaah data yang dicatat mengenai identitas, cara pandang terhadap tanah air, serta sikap nasionalisme menggunakan pendekatan poskolonialisme dan konsep nasionalisme jarak jauh.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tokoh-tokoh Diaspora dalam Rojak dan Bricklane

Karakteristik tokoh-tokoh diaspora menjadi bagian pertama karena temuannya akan menjadi dasar dalam membahas identitas kultural maupun motif-motif migrasi dan nasionalisme tokoh-tokoh tersebut terhadap negara asal mereka. 4 (empat) tokoh diaspora dianalisis antara lain Setyo dan Nami dalam Rojak dan Nazneen dan Chanu Ahmed dalam Bricklane. Analisis ini menggunakan teori tokoh dan penokohan dari Aminuddin.

a. Setyo dalam Rojak

Dalam hal identitas, Setyo digambarkan sebagai orang Indonesia keturunan ningrat yang menikah dengan seorang China peranakan warga Singapura, Janice. Ia menetap dan bekerja di Singapura bersama istri dan kedua anaknya, satu putra dan satu putri. Keluarga tersebut tinggal di apartemen kecil yang penuh sesak, terutama setelah kedatangan sang Ibu dari Indonesia pasca meninggalnya sang ayah, dengan membawa perabotan-perabotan besar.

Penggambaran karakteristik atau perwatakan tokoh Setyo mayoritas dilakukan dengan metode penokohan ‘komentar tokoh lain’, dalam hal ini Janice, istrinya, di samping metode komentar tokoh tersebut atau ‘cara ia berbicara, berbincang, atau merespon orang lain, serta bagaimana tokoh tersebut berperilaku dan/atau bertindak.’

Dari perspektif Janice ini, terutama pada bagian awal cerita, Setyo digambarkan sebagai tokoh yang baik tetapi yang pasif dan inferior ketika berkaitan dengan keberadaan dan perilaku sang Ibu, Nami, di kehidupan sehari-harinya. Dari sudut pandang Janice, inferioritas tersebut cenderung berkonotasi negatif. Setyo sepanjang cerita digambarkan oleh Janice sebagai sosok yang terlalu menurut kepada sang Ibu. Bahkan seringkali dikesankan bahwa tokoh tersebut terlalu berpihak kepada sang Ibu dibandingkan sang istri, sebagaimana disampaikan dengan cara

(4)

Setyo berbicara kepada Janice mengenai bagaimana harus bersikap kepada sang ibu.

Mas Set mengiba. "Cobalah kau mengerti, Jan. Biar bagaimana, dia ibuku," katanya. (Basuki, 2004: 12) Kutipan tersebut mengindikasikan bahwa Setyo adalah toko yang mengutamakan sang ibu. Alih-alih menjadi jembatan konflik antara mertua perempuan dan menantu perempuan, Setyo memiliki semacam kehendak agar sang istri lah yang beradaptasi dengan karakteristik sang ibu, suatu hal yang tidak sesuai dengan prinsip hidup Janice.

Sifat-sifat yang digambarkan di atas adalah sifat-sifat yang tampak dalam interaksinya dengan Janice. Artinya, ada perwatakan lain dari Setyo yang tidak diketahui oleh Janice dan dipaparkan kepada pembaca hingga akhirnya dikuak pada bagian cerita dimana Setyo melakukan perjalanan dinas dan berhubungan dengan para Pekerja Seks Komersial (PSK). Mulai dari sini, Setyo menunjukkan sisi lain, yaitu kebiasaan berhubungan dengan PSK yang membuat ia mengidap penyakit kelamin. Kutipan berikut ini menggambarkan rangkaian peristiwa yang mengawali hubungan-hubungan ia dengan para PSK,

… Bekerja dan bercinta, apakah tujuan datang ke Bintan? Menemani Tony menemui istri? Bertemu klien yang tidak pasti, tapi sudah pasti menawari istri. Apakah yang harus kulakukan ketika seorang perempuan telanjang berdiri di hadapan? Ketika ia menerjangku, aku, si pria malang...atau senang? (Basuki, 2004: 57-59).

Kontradiksi dua sisi tersebut (sisi yang ditampakkan v.s. sisi yang disembunyikan) cukup untuk dijadikan acuan kesimpulan bahwa dari segi kompleksitas atau kerumitan watak di dalam cerita, tokoh Setyo digolongkan sebagai ‘tokoh bulat (round character)’.

b. Sang Ibu (Nami) dalam Rojak

Konflik utama yang terjadi dalam novel Rojak pada dasarnya adalah antara Janice dan sang ibu mertua (Nami). Namun, konfrontasi antara Janice dan mertuanya adalah konfrontasi ideologis yang kurang lebih berada di ranah domestik.

Keputusan sang ibu untuk tinggal bersama dengan keluarga anaknya, Setyo, menciptakan masalah-masalah yang berakar dari ketidakcocokan antara sang Ibu menantunya, Janice. Dengan dasar ini maka tokoh Ibu dari segi nilai penting dan peran dikategorikan sebagai ‘tokoh utama antagonis’. Nami adalah antagonis pengganggu stabilitas kehidupan Janice, terutama secara psikis.

Sematan sebagai antagonis pengganggu dapat dikatakan permanen pada diri tokoh Ibu atau Nami ini. Dari awal hingga akhir cerita, ia digambarkan, sebagian besar dari sudut pandang Janice, sebagai perusak kehidupan Janice, dalam konteks dimana Janice tidak dapat melakukan hal-hal yang sebelumnya nyaman ia lakukan, tentang bagaimana ia ingin membangun keluarga mauun karir. Namun, terlepas dari kesan dan sematan antagonis terhadap tokoh Ibu, luka-luka masa lalu tokoh tersebut justru mengindikasikan bahwa ia adalah ‘tokoh bulat’. Di mata Janice, Ibu adalah orang yang kaku, arogan, dan priyayi di masa tuanya, namun ada sisi mulia, tangguh, dan tabah di dalam dirinya yang baru terungkap pada bagian akhir cerita, sesuatu yang ironisnya tidak pernah diketahui dan dipahami oleh Janice. Ibu atau Nami dulu adalah istri yang dihianati suaminya. Nami dulu adalah perempuan yang harus membesarkan anak dari suaminya dan selingkuhannya. Nani kini adalah seorang perempuan yang telah berhasil membesarkan anak dari selingkuhan suaminya. Nami pula lah yang secara perlahan menyayangi sang anak dan menganggapnya sebagai anak sendiri.

(5)

Hal pertama yang dapat dikatakan tentang Nazneen dalam kaitannya dengan tokoh Nazneen adalah secara tipe menurut Aminuddin (2014) Nazneen termasuk kategori ‘tokoh utama (main character)’ dalam Brick Lane dari segi nilai penting dan peran dalam cerita dan ‘protagonis (protagonist)’ dari segi perannya dalam menggerakkan cerita. Hal ini dibuktikan dari seringnya ia muncul dalam cerita (hampir di sepanjang cerita) serta peran dia dalam menggeraknya cerita. Lebih lanjut, konflik yang dialami Nazneen merupakan merangkum keseluruhan isi cerita.

Beberapa metode penokohan sekaligus digunakan pengarang untuk mengilustrasikan karakter tersebut. Salah satunya satunya adalah melalui gambaran

pengarang terhadap lingkungan

kehidupannya, sebagaimana ditunjukkan

salah satunya dalam kutipan berikut ini,

An hour and forty-five minutes before Nazneen’s life began – began as it would proceed for quite some time, that is to say uncertainly – her mother Rupban felt an iron fist sequeee her belly. (Satu jam

empat puluh lima menit menjelang kehidupan Nazneen dimulai – dimulai sebagaimana hidupnya akan terus berjalan untuk sekian lama, yakni secara tak menentu – ibunya, Rupban, merasa seakan-akan perutnya diremas-remas oleh kepalan sekaras besi.) (Ali, 2003: 11) Nazneen beserta lingkungan kehidupannya digambarkan mulai dari alinea pertama novel Brick Lane, sebagaimana ditunjukkan pada kutipan di atas. Gambaran langsung dari pengarang dalam kutipan tersebut serta kutipan-kutipan berikutnya menunjukkan betapa Nazneen lahir dan tumbuh di dalam situasi sosial tradisional patriarkis yang sarat keterbatasan dan pendidikan yang rendah namun diimbangi dengan keberadaan orang-orang yang selalu memiliki tingkat pemakluman yang tinggi atas keadaan tersebut. Kutipan-kutipan tersebut juga menggambarkan bagaimana keluarganya di pedesaan Bangladesh, hubungan ayah dan ibunya,

serta bagaimana Nazneen diperlakukan ketika masa kecil.

Perempuan pada masyarakat pedesaan Bangladesh menempati posisi kelas dua, di bawah laki-laki, yang harus tunduk kepada laki-laki khususnya ayah sebagai kepala keluarga. Cara bagaimana Rupban, ibu dari Nazneen berdialog dengan Hamid, ayah Nasneen menjadi bukti. Bagaimana Hamid berbicara tentang Nazneen sebagai seorang bayi yang baru saja dilahirkan menunjukkan bahwa memiliki anak perempuan bukanlah sesuatu yang diharapkan,

‘A girl,’ said Rupban.

‘I know. Never mind,’ said Rupban. ‘What can you do? And he went away again.

(“Perempuan,” kata Rupban.

“Aku sudah tahu. Tak apa,” kata Hamid. “Apa daya kita?” Dan dia pun pergi lagi.) (Ali, 2003: 14)

Kondisi tersebut membentuk pribadi Nazneen kecil yang khidmat, sebagaimana disampaikan oleh pengarang melalui metode penokohan bagaimana tokoh tersebut mereaksi tokoh lain:

How is my precious? Still glad you came back to life?” said Mumtaz… “I have no complains or refrets to tell you,’ said Nazneen. ‘I tell everything to God.’ (Apa

kabar, Sayangku? Masih senang, kamu bisa hidup kembali?” tanya Mumtaz… “Aku takpunya keluhan atau penyesalan yang bisa kuceritakan kepadamu,” jawab Nazneen.” Aku mengadukan semuanya kepada Tuhan.”) (Ali, 2003: 15)

Pengarang berulang-ulang menggambarkan perwatakan tokoh Nazneen dewasa dengan sangat ‘manusiawi’. Nasneen dewasa sudah berubah dari anak khidmat dan polos menjadi seseorang perempuan muda bersuami, ibu rumah tangga dengan dua anak, yang mulai memahami dan kritis atas situasi dan kondisi yang dia hadapi. Jiwanya mulai bergejolak melalui sisi-sisi resistensi dalam batinnya terhadap kenyataan hidup yang ia hadapi, sesuatu tidak pernah disampaikan secara gambling ia ceritakan kepada orang lain, apalagi kepada suaminya.

(6)

Dalam konteks ini, Nazneen adalah ‘tokoh bulat (round character)’, atau tokoh yang memiliki sisi-sisi kepribadian yang yang kontradiktif satu sama lain. Nazneen bergelut secara batiniah dengan dirinya sendiri. Ia mengalami pergulatan batin antara menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik, patuh kepada keluarga (suami), dan taat kepada agama namun bosan, muak, dan jenuh dengan kehidupannya, khususnya terhadap suaminya yang tidak pernah sekalipun tampak menarik di matanya, dengan sisi lain dari kepribadiannya yang riskan goyah dengan godaan untuk bebas mengikuti kata hatinya sendiri, khususnya dalam kaitannya dengan cinta, suatu perasaan yang sulit ia bangun terhadap suaminya. Gambaran tersebut salah satunya ditunjukkan pada kutipan berikut ini yang disampaikan pengarang dengan metode

penggambaran langsung mengenai

karakteristik tokoh Nazneen.

Mrs. Islam was the first person who called on Nazneen, in those first few days when her head was still spinning and the days were all dreams and real life came to her only at night, when she slept. (Mrs.

Islam adalah orang pertama yang mengunjungi Nazneen pada hari-hari pertama Nazneen di sini ketika kepalanya masing bingung dan ketika siang hari hanya seperti mimpi dan kehidupan nyata hanya muncul pada malam hari, ketika ia tertidur.) (Ali, 2003: 28)

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa ketidaknyamanan terhadap situasi dan kondisi yang Nazneen hadapi telah dirasakan mulai ketika ia menikah dan tidak lama setelahnya migrasi ke London, Inggris dan bermukim di Brick Lane, salah satu jalan di London yang menjadi pusat pemukiman imigran Muslim Bangladesh.

Kutipan tersebut menggambarkan suatu sikap “mengalah” dengan keadaan yang dilakukan oleh Nazneen. Alih-alih menyatakan penolakan secara frontal, ia memilih untuk menyimpan dalam kekecewaaan dan ketidakpuasan batinnya di dalam hatinya dan mengalihkan

harapan-harapan ideal akan hidupnya kepada Tuhan dan garis nasib.

Pengarang berusaha menunjukkan bahwa Nazneen adalah tipikal perempuan yang berusaha untuk terus pasrah dan setia. Ia tidak pernah mengutarkan keresahannya lebih dari curahan-curahan hati yang tersamar dalam momen-momen percakapan dengan tetangga, sebagaimana yang ditunjukkan pengarang melalui cara Nazneen ia mereaksi tokoh lain, yang ditunjukkan pada kutipan berikut ini.

‘My sister made a love marriage,” Nazneen looked at the lacy frost on the glass.

(“Adikku menikah demi cinta.” Nazneen melihat ke gelas yang berkabut membeku.) (Ali, 2003: 50)

Satu hal yang menjadi pengendali dirinya untuk tetap “baik” sebagai pribadi yang beragama, maupun sebagai istri dan ibu adalah ketaatannya dalam menjalankan ajaran agama. Hal ini diperlihatkan pengarang melalui penggambaran perilaku

tokoh, sebagaimana ditunjukkan dalam

kutipan berikut,

Regular prayer, regular housework, regular visits with Razia. She told her mind to be still. (Shalat rutin, pekerjaan

rumah rutin, dan obrolan rutin dengan Razia. Nazneen menyuruh hatinya agar tenang.) (Ali, 2003: 51)

d. Chanu Ahmed

Chanu Ahmed adalah suami Nazneen. Ia biasa disebut dengan panggilan Chanu. Dari segi cerita, hal pertama yang pasti adalah bahwa tokoh ini tidak berperan sebagai tokoh utama antagonis, lawan dari Nazneen. Alih-alih, keberadaan tokoh ini, pernikahannya dengan Nazneen, serta dinamika kehidupannya cenderung merupakan salah satu faktor utama dari konflik yang dihadapi Nazneen, namun bukan satu-satunya. Analisis Chanu diawali dengan karakterisasi tokoh ini, termasuk pendidikan, usia, dan karakteristik fisik, yang kontras dengan, Nazneen.

(7)

Pembaca dapat terkecoh untuk menyimpulkan bahwa Chanu Ahmed adalah tokoh utama antagonis, ketika mengaitkan dengan tokoh Nazneen di dalam Bricklane. Chanu tidak menjadi oposisi tunggal dari Nazneen, sang protagonis. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, konflik yang dihadapi Nazneen adalah konflik batin rumit yang terjadi akibat beberapa faktor, salah satunya dan yang pertama adalah pernikahannya dengan Chanu. Meskipun direpresi dalam di dalam hatinya, tidak dapat dipungkiri bahwa ada impian-impian yang terus hidup (living dreams) dalam diri Nazneen untuk “menikah karena cinta” dan “menjadi bebas dan hidup sesuai dengan kehendak hati” yang menjadi akar dari konflik batin yang dialami oleh Nazneen. Konflik batin Nazneen adalah konflik batin antara sisi batiniah Nazneen dengan impian-impiannya melawan sisi batin yang harus menghadapi kenyataan hidup yang ada. Sementara itu, berbicara tentang Chanu dari segi nilai penting (importance), tokoh ini adalah ‘tokoh pendukung (minor/supporting

character)’ yang berperan mendukung sisi

antagonisme dari kepribadian Nazneen, yaitu keharusannya untuk menerima nasib dan jalan hidup.

Kembali kepada tokoh Chanu, sebagai tokoh yang menciptakan salah satu faktor permasalahan batin Nazneen, pengarang dengan berbagai metode penokohan, seperti

penceritaan langsung pengarang dan cara tokoh lain bereaksi terhadapnya, memulai

dengan menciptakan kontradiksi antara tokoh Chanu dan tokoh Nazneen. Kontradiksi ini diawali dari kontradiksi fisik. Tokoh Chanu digambarkan sebagai seorang laki-laki paruh baya, berumur sekitar 56-57 tahun pada lini masa paling akhir atau aktual dalam cerita (antara tahun 2001-2002). Selisih umur Chanu dan Nazneen adalah 22 tahun. Ia telah berumur 40 tahun ketika menikahi Nazneen yang berumur 18 tahun. Kebersamaan mereka berdua mulai dari tahun 1985 ketika mereka menikah dan tidak lama kemudian pindah ke London tepatnya tinggal di Brick Lane, sampai dengan saat perpisahan mereka pada

tahun 2001, yang mana Nazneen menolak mengikuti suaminya pulang ke Dhaka, Bangladesh (Ali, 2003: 17, 434).

Ketidakserasian Chanu dan Nazneen berlanjut pada sisi pendidikan. Tingkat pendidikan Chanu berbeda jauh dengan Nazneen. Chanu adalah pria berpendidikan tinggi, sementara Nazneen adalah perempuan yang tidak berpendidikan. Hal ini tampak melalui metode penokohan cara

tokoh menggambarkan dirinya sendiri,

sebagaimana terlihat pada kutipan ucapan Chanu berikut ini,

‘Then there’s the academic perspective. Within months I will be fully fledged academic with two degrees. One from a British university. Bachelor of Arts degree, with honour.’ (“Lalu ada

pertimbangan akademik. Beberapa bulan lagi, kualifikasi akademik saya akan menjadi akademisi tulen, dengan dua gelar. Satu dari unversitas di Inggris. Gelar Bachelor of Art. Dengan predikat sangat memuaskan.”) (Ali, 2003: 33) Secara akademik, Chanu tidak sekedar orang terpelajar biasa. Tidak semua orang memiliki kesempatan mengenyam untuk dua degree, di dua benua, satu di Dhaka, Bangladesh dan yang lainnya di London, Inggris.

Dari segi cara berfikir dan karakter, Chanu juga berbeda jauh dengan Nazneen. Dari segi konsistensi dalam cerita, Chanu merupakan tokoh statis (static character). Chanu digambarkan kepala rumah tangga yang gigih dari awal hingga akhir cerita, sementara Nazneen adalah ibu rumah tangga dan istri yang pasrah dan hanya menjalani hidup sesuai dengan yang telah digariskan di awal cerita, namun berubah perlahan menjadi perempuan yang mandiri dan memutuskan untuk bebas berkehendak.

Pada bagian awal cerita, Chanu hidup dengan optimisme tinggi terkait karirnya. Bagaimana ia meningkatkan kualifikasi akademiknya serta espektasinya dalam karir menunjukkan predikat tersebut, sebagaimana tampak melalui metode

(8)

penggambaran tokoh mengenai dirinya sendiri, sebagai berikut,

…. The thing is, with the promotion coming up, things are beginning to go well from now. if I just get the promotion confirmed then may things are possible …. Chanu cleared his throat. ‘Of course, it’s not been announced yet. Other people have applied. But after my years of service … do you know, in six years I have not been late on one single day, even with the ulcer. Some of my collegues are very unhealthy, always going off sick with this or that. (…. Keadaan mulai membaik

bagi saya, dengan promosi yang akan diberikan. Jika promosi saya sudah dipastikan, segalanya bisa dimungkinkan. …. Chanu berdeham. “Tentu saja, promosi itu belum diumumkan. Orang lain telah mengajukan permohonan. Namun, selama saya mengabdi bertahun-tahun … Apa Anda tahu, selama enam tahun saya belum pernah terlambat satu hari pun! Dan hanya tiga hari izin sakit, meskipun saya sakit mag. Beberapa teman sejawat saya sangat tidak sehat, selalu izin sakit karena ini dan itu….) (Ali, 2003: 32-33)

Cara Chanu menjaga kualitas pekerjaannya serta harapan-harapan terkait karirnya menjadi orientasi hidup. Hal ini dapat dilihat dari metode penokohan jalan

pikiran tokoh dan cara-cara tokoh tersebut berperilaku, meskipun apa yang diidamkan

oleh sang tokoh di kemudian hari secara ironis tidak sesuai dengan kenyataan yang harus dihadapi, terutama fakta bahwa bos Inggrisnya selama ini memperlakukan dirinya, si imigran, secara diskriminatif dalam hal karir yang membuatnya memutuskan untuk mundur, sebagaimana kutipan-kutipan berikut,

…. He cleared his throat, a little like he old, talking Chanu. 'Something else to tell you. I resigned today.' (…. Dia berdeham,

mirip seperti Chanu yang cerewet seperti dulu. “Ada hal lain yang perlu kuberitahukan. Hari ini aku mengundurkan diri.”) (Ali, 2003: 133)

Mulai dari tawaran menjadi pencuci piring, hingga kemudian menjadi perantara garmen, sebelum pada akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai pengemudi taksi, kesemuanya diperhitungkan oleh Chanu dengan saksama. Di setiap pekerjaan yang ia jalani, ia selalu menjalankannya secara profesional dan sebaik-baiknya, sebagaimana dalam kutipan berikut ini,

Chanu brought home holdalls of

buttonless shirts, carrier bags of unlined

dresses, a washing-up tub full of catchless bras. He counted them out and he counted them back in. Every couple of days he went for new loads. He performed a kind of rudimentary quality control, tugging at

zips and twiddling collars while

probing his cheeks with his tongue. Chanu totted up the earnings and collected them He was the middleman, a role which he viewed as Official and in which he exerted himself. For a couple of

weeks he puzzled feverishly over

calculations, trying to work out the most profitable type of garment assignment, the highest-margin operation. But he had to take what was going and the calculations were themselves a lowmargin endeavor….

(Chanu membawa pulang beberapa keranjang kemeja tanpa kancing, beberapa tas gaun yang belum diberi vuring, satu Waskom penuh bra tanpa pengait. Chanu menghitungnya saat mengeluarkannya dan saat memasukkannya. Setiap beberapa hari dia mencari muatan baru. Dia melakukan semacam pengendalian kualitas secara mendasar, menarik-narik risleting dan memilin kerah kemeja sambil mendorong pipi dengan lidah. Chanu menjumlahkan pendapatan dan mengumpulkannya. Dia menjadi perantara, peran yang dipandangnya Resmi dan dilaksanakan dengan sekuat tenaga. Selama beberapa minggu dia menekuri perhitungan dengan saksama, mencoba menyimpulkan jenis pekerjaan garmen yang paling menguntungkan, operasi dengan keuntungan tertinggi. Tetapi, dia harus menerima apa yang ada dari perhitungan itu sendiri merupakan usaha dengan keuntungan rendah….) (Ali, 2003: 207)

(9)

Dari kutipan di atas, tampak bahwa Chanu memiliki ambisi besar dan perhitungan yang serius di setiap pekerjaan yang ia miliki. Sehingga, ketika ia tiba pada kesimpulan bahwa pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia akan mencari pekerjaan lain. Itulah kenapa kemudian ia memutuskan untuk mengemudi taksi,

So Chanu became a taxi man and ceased to be a middleman. (Jadi, Chanu menjadi sopir taksi dan berhenti menjadi perantara.) (Ali, 2003: 209)

Seluruh temuan di atas menunjukkan jalan pikiran serta perilaku Chanu konsistensi perwatakan Chanu, yang tetap menjadi sosok yang gigih dan bertanggung jawab meskipun ia harus menghadapi benturan antara idealisme, ekspetasi, serta kenyataan hidup.

Merujuk pada analisis-analisis di atas, disimpulkan bahwa Chanu adalah ‘tokoh datar (flat character’ atau tokoh yang perwatakannya sederhana dan tidak ada paradoks antar elemen-elemen kepribabdiannya. Satu-satunya konflik yang dihadapi Chanu berkaitan dengan masalah ekonomi, tidak ada yang lain. Dari awal hingga akhir cerita, ia selalu menjadi sosok yang gigih, pintar oleh karena level pendidikannya, serta bertanggung jawab. Selain itu ia adalah sosok yang senantiasa relijius. Aspek ini juga satu-satunya hal yang menjadi persamaan antara Chanu dan Nazneen adalah bahwa sebagai imigran Muslim dari Bangladesh, mereka berdua adalah para practicing Muslim atau umat Islam yang taat, meskipun Chanu tampak sedikit lebih relijius, sebagaimana ditunjukkan pada pernyatannya tentang tato,

Chanu said the tattoo lady was Hell’s Angel, which upset Nazneen. She tought the tattoos might be flowers, or birds.

(Chanu berkata bahwa tato itu adalah gambar Bidadari Neraka. Komentar ini mengecewakan Nazneen. Dia tadinya menyangka bahwa tato itu adalah gambar burung, atau bunga.) (Ali, 2003: 18)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Chanu cenderung lebih konservatif dalam pengamalan ajaran agama, termasuk terkait dengan konsep tato bagi orang Islam. Hal ini cukup kontras dengan pandangan Nazneen, ditunjukkan dengan kekecewaannya. Kemungkinan faktor penyebabnya adalah pengetahuan agama Nazneen yang tidak sedalam Chanu, atau bahwa Nazneen pada dasarnya memiliki potensi pemberontak di dalam jiwanya. Hal yang melemahkan Nazneen adalah ketidakmampuan ia menjaga iman yang membuat ia melakukan dosa besar: ‘perselingkuhan’, meskipun kemudian ia berusaha bertobat.

Secara umum, relijiusitas keluarga tersebut juga ditunjukkan dengan bagaimana mereka beribadah, termasuk membaca Al Qu’ran. Kata Al Qur’an lekat dengan kehidupan keluarga Chanu. Bahkan kata tersebut disebutkan oleh pengarang sebanyak 23 kali di dalam cerita dan semuanya ada dalam konteks kehidupan keluarga tersebut, baik dalam konteks ketika sedang dipergunakan atau dibaca maupun dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran di dalamnya.

Identitas Kultural, Ambivalensi, serta Motif Migrasi Tokoh Setyo dan Ibu (Nami) serta Chanu dan Nazneen

Setyo atau Mas Set adalah imigran yang menetap dan bekerja di Singapura karena dua alasan. Pertama, ia menikahi seorang perempuan Singapura dan oleh karena itu harus tinggal dan membina keluarga di Singapura. Kedua, ia ingin anak-anaknya menempuh pendidikan di Singapura yang dianggap lebih baik dan berkualitas dibandingkan dengan di Indonesia. Meskipun sempat terjebak dan terjerumus dalam seks bebas dengan para pekerja seks komersial, ia adalah family

man. Setyo adalah tipikal kepala rumah

tangga yang bertanggungjawab dan menyayangi keluarganya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa motivasi migrasi Setyo adalah keluarga. Sisi family man tokoh

(10)

Setyo dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

Ibu jadi ke Jakarta dengan Mas Set dan anak-anak. Mereka pergi dengan banyak alasan. Hatiku gundah gulana. Mereka seperti pindah dan meninggalkanku. ... Mas Set masih saja belum mendapatkan pekerjaan, jadi ia akan mencoba keberuntungan di Jakarta. Jika ia berhasil menemukan pekerjaan dengan gaji lumayan, ia ingin aku mengikutinya ke Jakarta. (Basuki, 2004: 154)

Pada kutipan di atas tampak bagaimana Setyo bersikap ketika dalam kondisi perekonomian yang terhimpit. Ia selalu mengutamakan keutuhan dan kebersamaan keluarga dalam kondisi apapun, namun tetap demokratis dan tidak memaksakan kehendak.

Identitas kultural Setyo menarik untuk dibahas. Setyo adalah tokoh ambivalen. Setyo dengan ritme hidup yang sudah settled dengan kehidupan Singapura serta menghabiskan keseharian di dalam keluarga multikultural Singapura telah menunjukkan pergeseran antara identitas kultural Jawa Indonesia dan Singapura. Salah satunya diindikasikan dalam kutipan berikut,

"Ibu terlampau tua untuk mengurus Mei-Mei, Jan. Lagi pula kamu tidak bisa mengandalkan pendidikan anak kita pada Ibu," ujar Mas Set.

Aku tahu maksudnya. Bahwa ibunya pasti akan melulu mengajarkan ajaran Jawa dan segala yang diketahuinya, tapi tidak sejalan dengan pendidikan anak Singapura lain...(Basuki, 2004: 37)

Pemikiran Setyo sangat “Singapura” dalam konteks bagaimana ia menginginkan model pendidikan yang seharusnya diberikan kepada anak-anaknya. Ada keresahan yang kentara ketika melihat anak-anaknya diasuh dan dididik oleh sang Ibu yang sangat mengagungkan ke-Jawa-an dan ke-Indonesiaannya.

Ambivalensi tokoh Setyo ditunjukkan pada kebanggaannya dibesarkan di dalam keluarga Jawa ningrat,

Namaku Raden Mas Setyo Putro Hadiningrat. Anak seorang Hadiningrat yang ningrat. Yang kata-kata ningrat begitu melekat dan terdengar lezat di mata Ibu. Dan aku seorang anak, yang berterima masih diberi keningratan dan darah yang katanya warnanya biru, bukan merah. Dibesarkan dengan lingkungan yang menawan dengan segala kesan. Sebuah kehormatan. (Basuki, 2004: 29)

Setyo tampak paradoks dimana ia berusaha “keluar” dari kultur Jawa yang ditunjukkan dengan cara ia mendidik anaknya, di sisi lain begitu mencintai statusnya sebagai seorang bangsawan Jawa.

Kasus berbeda terjadi pada tokoh Ibu yang “harus” pindah ke Singapura karena ia tidak memiliki pilihan lain. Di Jakarta, ia sebatang kara, tanpa memiliki apa-apa karena hutang-hutang yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya.

Nazneen dan Chanu dalam Bricklane memiliki latar belakang migrasi yang berbeda dengan Setyo dan kemudian Nami. Motivasi Chanu adalah prestis. Chanu membawa Nazneen, istrinya yang masih sangat belia, ke Inggris oleh karena kombinasi dorongan ekonomi, sosial, dan ideologi. Chanu muda memiliki mimpi untuk memiliki pekerjaan terhormat di Inggris. Ia memiliki anggapan bekerja di Barat akan mendekatkan ia dengan Barat, yang mana dampaknya adalah ia akan dianggap lebih setara derajatnya dengan Barat.

I am forty years old,' said Chanu. He spoke quietly like the doctor, with none of his assurance. 'I have been in this country for sixteen years. Nearly half my life.' He gave a dry-throated gargle. 'When I came I was a young man. I had ambitions. Big dreams.

(11)

When I got off the aeroplane I had my degree certificate in my suitcase and a few pounds in my pocket. I thought there would be a red carpet laid out for me. I was going to join the Civil Service and become Private Secretary to the Prime Minister.' As he told his story, his voice grew. It filled the room. 'That was my plan. And then I found things were a bit different. These people here didn't know the difference between me, who stepped off an aeroplane with a degree certificate, and the peasants who jumped off the boat possessing only the lice on their heads. What can you do?' He rolled a ball of rice and meat in his fingers and teased it around his plate. (“Umur saya empat puluh,” kata

Chanu. Dia berbicara lirih, seperti si dokter, tetapi tanpa keyakinan. “Saya sudah enam belas tahun di negara ini. Hampir separuh umur saya.” Dia berdeham, suaranya serak dan kering. “Ketika datang ke sini, saya masih muda. Punya ambisi. Punya mimpi besar. Ketika turun dari pesawat terbang, saya membawa ijazah di koper dan beberapa pound di saku. Saya bayangkan akan ada penyambutan resmi. Saya akan melamar ke pelayanan sipil dan menjadi Sekretaris Pribadi Perdana Menteri.” Ketika dia bercerita, suaranya makin keras dan besar sehingga memenuhi ruangan. “Itulah rencana saya. Tetapi apa yang saya dapati sedikit berbeda. Orang-orang di situ tidak mengetahui perbedaan antara saya, yang turun dari pesawat dengan membawa ijazah, dan petani yang melompat dari kapal dan hanya membawa kutu di kepala. Apa daya saya?” Dia menggelintir-gelintir segumpal nasi dan daging di jarinya, lalu memainkannya di piring.) (Ali, 2003: 34)

Dalam kutipan di atas, ia menyebut Prime Minister yang menjadi simbolisasi

dari pada derajat tinggi dan barat. Ia beranggapan bahwa ketika ia dapat lebih dekat dengan derajat itu, maka ia akan memiliki citra yang tinggi di mata masyarakat pula.

'Dari apa yang Chanu katakan, jelas terlihat bahwa Chanu muda adalah penganut narasi besar tentang dikotomi “pusat” dan “pinggiran” yang diciptakan oleh Barat. Ia percaya bahwa dunia Barat ada sumber respek diberikan. Kesuksesan di Barat ia anggap akan meninggikan derajatnya. Ia sebenarnya memiliki kesempatan untuk dapat hidup layak dan terhormat di Bangladesh namun Inggris ia anggap satu-satunya yang menawarkan ia kesuksesan hidup.

Bagian paling ironis dalam kalimat yang dituturkan oleh Chanu dalam kutipan di atas adalah bagaimana ia membandingkan kontradiksi dirinya sebagai seorang pria Bangladesh berpendidikan “who stepped off

an aeroplane with a degree certificate”

dengan orang-orang Bangladesh pada umumnya yang merupakan “the peasants

who jumped off the boat possessing only the lice on their heads.”

Ungkapan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa meskipun orang Timur, Chanu adalah salah satu diantara orang-orang yang menganut orientalisme, cara pandang orang Barat terhadap Timur dengan atribut-atribut yang melekat yang berkonotasi rendah (lebih rendah dari Barat) dan buruk (lebih buruk dari Barat).

Namun, hal yang menarik dari kutipan di atas adalah bahwa Chanu telah perlahan bertransformasi dari yang awalnya berusaha mengidentifikasikan dirinya dengan Barat menjadi menjauh dari identifikasi tersebut karena orang-orang Inggris tidak pernah benar-benar menganggap dan memperlakukan ia dengan cara yang sama dengan bagaimana mereka memperlakukan bangsa mereka sendiri, sebagaimana perkataaan Nazneen berikut,

My husband says they are racist, particularly Mr Dalloway. He thinks he will get the promotion, but it will

(12)

take him longer than any white man. He says that if he painted his skin pink and white then there would be no problem.' (Suamiku bilang mereka

rasialis, terutama Mr. Dalloway. Dia menduga bahwa dia akan dipromosikan, tetapi itu akan terjadi lebih lama daripada orang kulit putih. Bahwa jika dia bisa mengecat kulitnya dengan warna merah jambu dan putih, tak akan ada masalah lagi.) (Ali, 2003, p. 72)

Rentang waktu puluhan tahun yang dihabiskan Chanu dalam mencari penghidupan menunjukkan bahwa ada ambivalensi yang besar dalam dirinya terkait bagaimana ia memandang negaranya sebagai pinggiran dan negara Inggris sebagai pusat. Namun, dari cara hidupnya, kesadaran akan posisi dan statusnya di Inggris, dan keinginan kuatnya untuk pulang, dapat ditarik kesimpulan bahwa identitas kultural Chanu adalah tetap orang Bangladesh, bangsa Timur, bagian dari kaum minoritas yang secara kultural tidak pernah dapat menyatu dengan bangsa Inggris.

Bagaimana dengan Nazneen? Nazneen mengawali pernikahannya dengan kepasrahan. Nazneen belia tidak terlalu peduli apakah ia bahagia atau tidak di Inggris ketika ia pertama kali datang. Ia lebih sibuk dengan bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungan baru, terutama soal bahasa. Adapun Nazneen dewasa adalah Nazneen dengan kepasrahan lain, untuk bertahan hidup di Inggris dan menjalani sisa hidup dengan kemandirian dan kebebasannya.

Kesimpulannya, ada kontradiksi motif yang dapat diperbandingkan adalah antara motif Chanu, Setyo, dan Nami ketika memutuskan migrasi ke negara “Barat”. Perlu dicatat bahwa terlepas dari letak geografisnya, Singapura pada banyak aspek adalah representasi Barat, termasuk bahasa, budaya, ekonomi, pendidikan, serta pola interaksi masyarakatnya.

Nasionalisme Jarak Jauh Para Tokoh Diaspora dalam Representasi Tokoh Setyo, Ibu, Chanu, dan Nazneen

Berdasarkan dinamika cerita serta perwatakan tokoh-tokoh di atas, nasionalisme jarak jauh terhadap negara asal mereka berbeda-beda di masing-masing tokoh tersebut. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang migrasi yang telah dibahas sebelumnya.

Diantara tokoh Setyo, Ibu, Chanu, dan Nazneen, tokoh Ibu layak mendapatkan predikat terbaik dalam hal nasionalisme terhadap negara asal. Tokoh Ibu adalah tokoh yang paling teguh dalam hal bagaimana ia melihat, memandang, dan berfikir tentang negaranya, serta keinginan nyatanya untuk kembali ke negaranya, Indonesia.

Setyo yang migrasi ke Singapura, sebuah entitas “Barat” di kawasan “Timur”, oleh karena pernikahan; Ibu yang migrasi ke Singapura oleh karena keterpaksaan, Chanu yang migrasi ke London, sebuah entitas “Barat” dan “Pusat” dari dikotomi orientalis, oleh karena impian karir dan prestis; serta Nazneen yang migrasi ke Inggris oleh karena kepasrahaan memunculkan perasaan-peraaan dan persepsi yang berbeda tentang negara asal mereka. Chanu dan Setyo adalah tokoh-tokoh yang paling ambivalen di antara keempatnya.

Dari sudut pandang nasionalisme, Chanu adalah tokoh yang patut mendapatkan apresiasi terbesar karena perubahan cara pandangnya yang perlahan namun pasti tentang terhadap negaranya, terutama terhadap keterbelakangan bangsanya. Ia berubah menjadi sosok optimis yang cenderung angkuh menjadi sosok pragmatis yang berusaha untuk menerima hidup dan berjuang keras dalam bertahan hidup.

4. SIMPULAN

Perwatakan dan motif menjadi aspek yang tidak dapat dipisahkan ketika pertanyaan tentang nasionalisme jarak jauh kaum diaspora dilontarkan. Penelitian terhadap tokoh Setyo, Ibu (Nami), Chanu, dan

(13)

Nazneen menunjukkan kadar-kadar nasionalisme yang berbeda oleh karena tokoh-tokoh tersebut memiliki motif atau alasan yang berbeda satu sama lain.

Ambivalensi juga terjadi pada tokoh-tokoh diaspora. Tidak dapat dipungkiri bahwa tokoh-tokoh diaspora harus merasakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan terkait identitas maupun cara pandang terhadap negara asalnya, tebukti bahwa Chanu dan Setyo mengalami ambivalensi. Ada satu titik dimana tokoh Chanu dan Setyo menganggap bahwa kehidupan di tempat dia berada lebih baik dan menarik dari kehidupan di negara asalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. (2003). Brick Lane. London: Transworld Publishers.

Aminuddin. (2014). Pengantar Apresiasi

Karya Sastra (12th ed.). Bandung:

Sinar baru Algensindo.

Basuki, F. (2004). Rojak. Jakarta: Grasindo. Endraswara, S. (2011). Metodologi

penelitian sastra bandingan. Jakarta:

Bukupop.

Fatmawati, I. (2013). Frankenstein Dan Kereta Hantu Jabodetabek (Suatu Kajian Intertekstual Pada Sastra Bandingan). Widyagogik: Jurnal Pendidikan Dan. Retrieved from

http://kompetensi.trunojoyo.ac.id/widy agogik/article/view/4

Mayasari, G. (2016). Meneropong Teori Sastra Bandingan pada Buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. METASASTRA: Jurnal

Penelitian Sastra.

Mudzakkir, A. (2013). Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita (Vol. 3, pp. 1–15). Jakarta: Pusat Studi Sumber Daya Regional LIPI.

Nationalism | Define Nationalism at Dictionary.com. (n.d.). Retrieved June

4, 2017, from

http://www.dictionary.com/browse/nat ionalism

Piesse, M. (2014). Factors Influencing Migration and Population Movements

- Part 1 - Future Directions International. Retrieved April 19,

2017, from

http://www.futuredirections.org.au/pu

blication/factors-influencing-migration-and-population-movements/ Rahaya, I. S., Subiyantoro, S., & Setiawan, B. (2019). AMBIVALENSI DALAM NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG KARYA MOCHTAR LUBIS: KAJIAN POSKOLONIAL. In

Seminar Nasional Inovasi

Pembelajaran Bahasa Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0 (pp. 282–

285).

Robertson, D. (2004). The Routledge

Dictionary of Politics (Third Edit).

London: Routledge.

Said, E. W. (1993). Culture and Imperialism. New York: Vintage

Books.

Saputri, D., Huda, M., & Wijaya, D. (2015). Budaya Pada Novel Memang Jodoh dan Siti Nurbaya Karya Marah Rusli Serta Tradisi Pernikahan Minangkabau: Perspektif Kajian Sastra Bandingan. Retrieved from https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handl e/11617/5603

Vidyastria, N. (2017). Homosexual Identity in Alex Sanchez’s “Rainbow Trilogy.”

Lensa: Kajian Kebahasaan,

Kesusastraan, Dan Budaya, 7(1), 1–

20. Retrieved from

http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/le nsa/article/view/1997

Walsh, K. M. (2014). 10 Most Popular Countries For Immigration - TheRichest. Retrieved April 16, 2017, from http://www.therichest.com/rich- list/most-popular/10-most-popular-countries-for-immigration/

Referensi

Dokumen terkait

(2) Urusan Tata Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dikoordinir oleh seorang Pejabat Fungsional Umum yang berada dibawah dan bertanggung jawab

Andil inflasi masing-masing kelompok pengeluaran yaitu kelompok bahan makanan sebesar 0,4001 persen; kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,0747 persen;

2 Penelitian dengan tujuan untuk mengkaji keefektivan karbon aktif dari sisa pembakaran boiler kelapa sawit yang diaktivasi kimia dalam menurukan kadar asam lemak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bauran promosi terhadap pengambilan keputusan memilih Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) pada mahasiswa

menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 027.05-91- 2011 tentang Pembentukan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). 2) Sebagai bentuk dukungan Kementerian Dalam

Tiap organ atau psikis, dapat dikatan telah matang apabila ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Kematangan ini tidak bisa dipaksaan

berupa pedoman observasi, pedoman wawancara, pedoman jurnal, dan pedoman dokumentasi foto. Teknik analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan hasil

Guru/calon guru sekolah dasar diharapkan memiliki kemampuan profesional dalam pembelajaran PKn melalui penguasaan konsep-konsep dasar kewarganegaraan sebagai subtansi