• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Penelitian tentang sikap audience terhadap product placement adalah. Maerasoh (2007) dengan judul Analisis Pengaruh Brand Familiarity, Star

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Penelitian tentang sikap audience terhadap product placement adalah. Maerasoh (2007) dengan judul Analisis Pengaruh Brand Familiarity, Star"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang sikap audience terhadap product placement adalah Maerasoh (2007) dengan judul Analisis Pengaruh Brand Familiarity, Star Linking/Endorser, Program Involvement terhadap Sikap atas product Placement (Studi kasus Product Placement Yamaha dalam Acara Bukan Empat Mata). Objek penelitian ini adalah product placement dalam acara Bukan Empat Mata. Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada 102 responden mahasiswa FEUI. Penelitian ini dibatasi hanya untuk mengetahui sikap responden terhadap product placement dan mengetahui pengaruh variabel-variabel independen yaitu Brand Familiarity, Star Linking/Endorser dan Program Involvement terhadap Sikap atas product placement. Dengan metode penarikan sampel Convenience Sampling maka sampel yang digunakan berjumlah 102 orang responden. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hanya factor endorser, dan brand familiarity yang secara signifikan berpengaruh terhadap sikap atas product placement, sedangkan program involvement tidak berpengaruh terhadap sikap atas product placement.

Rumambi (2008) dengan judul ” Faktor yang mempengaruhi Sikap Audience terhadap Product/ Brand Placement dalam Acara TV (Studi kasus Indonesian Idol 2007 & Mamamia Show 2007). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pemirsa televisi yang pernah menonton acara Indonesian Idol 2007 (RCTI) dan Mamamia Show 2007 (Indosiar) yang berdomisili di Jakarta dan

(2)

sekitarnya (JABODETABEK). Dengan metode penarikan sampel Convenience Sampling maka sampel yang digunakan berjumlah 115 orang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengetahui faktor yang mempengaruhi sikap audience terhadap product placement. Metode analisis data dengan menggunakan metode Analisis Faktor Utama (Principal Component Factor Analysis) maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah dihasilkan lima faktor (attention, acceptance, reference, ethics and regulation dan interest) yang tersusun, tiga diantaranya (attention, acceptance, ethics and regulation) lebih berpengaruh dibandingkan dua faktor lainnya (interest dan reference).

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kuntarto (2007) dengan judul Analisis Sikap Audience Remaja Terhadap Product Placement Dalam Film (Studi Kasus Film Fantastic Four: Rise of The Silver Surfer). Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berdomisili di Jakarta dan Sekitarnya yang pernah menonton film Fantastic Four: Rise of The Silver Surfer di bioskop. Penarikan Sampel dengan menggunakan metode Convenience Sampling, maka sampel yang digunakan berjumlah 201 orang. Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan Analisis Faktor Utama (Principal Component Factor Analysis) untuk variable laten yaitu acceptance, reference, ethic and regulation, dan Movie Enjoyment. Kesimpulannya bahwa responden secara umum menunjukkan sikap yang positif terhadap product placement dalam film. Responden juga menunjukkan sikap yang positif terhadap seluruh variabel attention dan acceptance, netral terhadap seluruh variabel reference, dan hanya negatif untuk variabel ethic and regulation.

(3)

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Product /Brand Placement

2.2.1.1. Latar Belakang Perkembangan Product/Brand Placement

Dalam dunia pemasaran, product/brand placement bukan suatu hal yang asing. Di Amerika, product placement mulai dipraktekkan seabad lalu. Kala itu, hiburan yang paling populer adalah opera sabun radio. Kegiatan broadcast ini disebut opera sabun dikarenakan seringnya braadcaster menyebutkan berbagai produk sabun dalam alur cerita sebagai imbalan dukungan finansial dan sponsor yaitu perusahaan pembersih rumah tangga, salah satunya Procter and Gamble.

Pelopor dari product/brand placement itu sendiri adalah Lumiere bersaudara. Pada tahun 1980, ketika film pertamanya dirilis, Lumiere Bersaudara menggabungkan “Lever Sunlight Soap” ke dalam filmnya karena dilatarbelakangi adanya hubungan bisnis yang kuat dengan Lever publicist (Balasubramanian, 2006). Walaupun product/brand placement sudah dikenal sejak dahulu menjadi bagian dari entertainment, namun product/brand placement belum menjadi bagian yang penting dan strategi pemasaran hingga tahun 1980-an.

Pada awalnya, kegiatan placement ini berbentuk informal dan dimaksudkan untuk menghemat pengeluaran suatu film dengan melakukan perjanjian barter agar mendapatkan properti untuk film secara cuma-cuma (DeLornme, 1998). Baru kemudian pada pertengahan 1970, konsep brand management tentang penerapan brand placement dan product placement diformulasikan. Pada waktu itulah placement mulai bisa diterima oleh industri hiburan dan perusahaan-perusahaan di Amerika, dan perusahaan-perusahaan

(4)

tersebut mulai membayar untuk dapat menampilkan produknya di film atau televisi.

Ketertarikan terhadap product/brand placement dimulai pada tahun 1982, ketika Hersey Food Corporation mencapai kesuksesan dalam menempatkan produknya pada film E.T, Extra-Terrestial (Nebehnzahl dan Secunda, 1993). Kesuksesan ini dibuktikan dengan penjualan permen Reese Pieces yang meningkat sebesar 65% setelah 3 bulan film E.T dirilis. (Karrh, 1998). Disebabkan oleh kesuksesan E.T tersebut. pada tahun 1983, 20th Century Fox menjadi pionir Hollywood yang secara terorganisir dan terbuka menawarkan kepada perusahaan sebuah display yang spesifik untuk menempatkan brand produknya dalam film. (Karrh, 1998).

Seperti di dalam film. penggunaan produk film dalam program tv diinspirasi oleh satu momen yang signifikan. Dalam sebuah episode Survivor 2000, sebuah reality show yang populer kala itu memberikan hadiah kepada peserta berupa sebuah tas dari Doritos and a Mountain Dew. Episode ini sukses meningkatkan penjualan Doritos and Mountain Dew. Sejak itu, product/brand placement menjadi bagian yang penting untuk hadiah pemenang dalam setiap acara reality show, seperti The Apprentice, America’s Next Top Model, Top Chef, Project Runway (d'Astous, dan Nathalie Seguin, 2007). Di Indonesia sendiri, product placement banyak ditemui dalam program reality show, seperti Bukan Empat Mata. Ceriwis. Bedah Rumah, dan lain-lain.

2.2.1.2. Definisi Product/brand Placement

Dalam berbagai sumber yang ditemukan oleh penulis, product placement merupakan istilah yang sama dengan brand placement dalam literatur pemasaran

(5)

dan periklanan (Karrh, 1998). Maka dari itu, dalam bagian ini penulis akan memperlakukan sama untuk kedua istilah tersebut.

Product placement memiliki beberapa definisi. Karrh (1998:31) mendefinisikan product placement sebagai “the paid inclusion of branded products or brand idenfiers, through audio and/or visual means, within mass media programming”. Sedangkan George E. Belch dan Michael A. Belch mendefinisikan product placement sebagai “ a form of advertising and promotion which products are placed in television shows and/or movies to gain exposure (Belch. 2004:245). Balasubramanian (1994) mendefinisikan product/brand placement sebagai “paid product message aimed at influencing movies or television audiences via the palnned and unobtrusive entry of a branded product into a movie or television program”. Russel (1998) mendefinisikan product/brand placement sebagai “a promotional tactic where a real commercial product is used in fictional or non-fictional media in order to increase consumer interest in the product”.

Karrh (1998) mengemukakan bahwa terdapat lebih dan satu cara untuk dapat menampilkan suatu brand dalam suatu format entertainment. Cara-cara tersebut bisa melalui bentuk audio maupun visual dan tidak selalu ditampilkan melalui media film atau televisi saja, tetapi juga bisa melalui media novel, musik dan video game. Friedman (1986, dalam Nappolini, 2008) menemukan bahwa terjadi peningkatan brand name appearances sebesar 500% di dalam media novel diantara tahun 1940-1970 dan Englis, et all (1993, dalam Nappolini. 2008) menemukan bahwa 39% dari music videos di Amerika Serikat mengandung paling tidak satu penempatan brand placement didalamnya.

(6)

Dari definisi dan penjelasan yang diungkapkan di atas, maka bisa dibuat kesimpulan bahwa product/brand placement merupakan suatu bentuk iklan dan atau promosi yang dilakukan oleh pihak sponsor atau pihak yang berkepentingan dengan cara menempatkan nama produk atau brand pada suatu media massa seperti acara televisi, film, video music, novel, video game. dan lain sebagainya agar produk atau brand tersebut dapat terekspos.

Product/brand placement digunakan untuk meningkatkan pengetahuan akan merek (brand knowledge) diantara konsumen dalam setiap media beriklan yang digunakan (Panda, 2004:9). Disebutkan juga bahwa keunikan sebuah medium dapat dilihat dari proses menampilkan dan mengharmonisasikan/ menyesuaikan keberadaan merek atau produk di dalam suatu cerita atau media yang digunakan. Tidak ada kompetisi exposure dalam medium dan waktu yang sama, sehingga sangat berbeda dengan beriklan melalui televisi dan koran. Kondisi ini menjadi sangat penting karena dapat memperdalam tingkatan brand knowledge (Panda, 2004:9). Meningkatnya strategi product/brand placement mengindikasikan bahwa pengiklan menggunakan teknik ini untuk mempengaruhi brand attitude konsumen (Avery ; Ferraro, di dalam Panda, 2004, 10). D’astous & Seguin (di dalam Panda, 2004 : 11) mendefinisikan product placement dalam tiga jenis, yaitu:

(a) Implicit Product Placement

Jenis ini disebut implisit karena merek, perusahaan atau produk ditampilkan dalam program/media tanpa ditekankan secara formal, dimana logo, nama merek/perusahaan muncul tanpa menampilkan product benefit (D’astous & Seguin, di dalam Panda, 2004 : 11).

(7)

(b) Integrated Explicit Product Placement

Jenis product placement ini berupaya mengintegrasikan secara eksplisit dimana merek atau nama perusahaan secara formal disebutkan dan memainkan peran aktif, serta atribut dan manfaat produk juga secara jelas ditampilkan (D’astous & Seguin, di dalam Panda, 2004 : 11).

(c) Non-Integrated Explicit Product Placement

Jenis product placement ini menampilkan merek/perusahaan secara formal tapi tidak terintegrasi dalam isi program/media, umumnya ditampilkan di awal, di akhir atau dalam program title (D’astous & Seguin, di dalam Panda, 2004 : 11).

Russel (di dalam Panda, 2004, 11–12) membedakan product placement dalam tiga dimensi, yaitu visual, auditory & plot connection. Dimensi visual terlihat pada munculnya merek/produk pada tampilan layar yang juga bisa disebut sebagai screen placement. Dimensi auditory adalah pada saat merek/produk disebutkan dalam dialog yang juga bisa disebut sebagai script placement. Dimensi plot connection sebagai dimensi ketiga digambarkan dengan seberapa merek/produk tersebut terintegrasi dalam cerita/story line. Konsep Russel sebenarnya sama dengan Cristel (di dalam Ming et al, 2007) yang menyebutkan bahwa product/brand placement terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu screen placement, script placement & plot placement.

2.2.1.3. Tujuan Product/brand Placement

Tujuan digunakannya product/brand placement dalam mempromosikan suatu brand tidak terlepas dan permasalahan yang dialami oleh iklan televisi saat ini. Format iklan televisi yang ada saat ini, yaitu muncul di sela-sela suatu acara

(8)

televisi, dirasakan menganggu kenikmatan audience yang sedang asyik-asyiknya menonton acara televisi tersebut, karena itu iklan tersebut cenderung tidak disukai dan dihindari oleh audience televisi (Argan, 2004). Jika hal tersebut ditambah dengan begitu banyaknya jumlah iklan yang ditayangkan pada setiap kali break iklan pada suatu program, maka wajar saja jika iklan televisi saat ini semakin kehilangan efektifitasnya. Oleh karena itu banyak perusahaan pengiklan mulai menggunakan product/brand placement. Placements memberi pemasar cara-cara alternatif untuk mengekpos produknya melalui suatu medium dimana audience-nya cenderung mau menerimaaudience-nya. Metode ini dianggap lebih baik karena selain tidak menganggu program televisi yang ada, keberadaan suatu brand menjadi lebih dapat diterima karena dirasakan merupakan bagian yang wajar dalam adegan program televisi tersebut.

Seperti halnya metode promosi lainnya. Product/brand placement juga bertujuan mempengaruhi audience-nya. Product/brand placement diterapkan dalam suatu adegan film untuk menambah kesan nyata film tersebut bagi para penontonnya, namun dan sudut pandang para praktisi product/brand placement, pengaruh yang ingin ditimbulkan berupa meningkatnya awareness dan keinginan untuk membeli brand yang ditampilkan tersebut (Gupta, 1997).

2.2.1.4. Media Product/Brand Placement

Media untuk menerapkan product/brand placement terdiri dan berbagai macam:

1. Film.

Menurut d’Astous dan Chartier (2002 : 83), ada tiga alasan mengapa para pemasar ingin menerapkan product/brand placement di film-film:

(9)

a. Menonton sebuah film menyita perhatian yang tinggi dan rnelibatkan aktivitas. Menampilkan product/brand placement dalam sebuah film kepada penonton yang sangat memperhatikannya dapat menghasilkan brand awareness yang sangat tinggi.

b. Film-film yang sukses dapat menarik penonton dalam jumlah yang besar. Sebagai contoh. Terminator II selama pemutarannya di bioskop saja telah disaksikan oleh jutaan orang, dan ini belum termasuk pembelian dan penyewaan videonya, dan pemutarannya di televisi selama bertahun-tahun setelahnya. Karena itu, bila dilihat dan cost per viewer, product/brand placement dalam sebuah film akan sangat menguntungkan.

c. Product/brand placement merepresentasikan cara mempromosikan sebuah brand yang alami, tidak agresif, dan tidak persuasif. Audience tereskpos terhadap sebuah brand dengan cara yang sealami mungkin yaitu dengan melihat bagaimana produk tersebut terlihat, disebutkan ataupun dipakai oleh sang aktor/aktris, tanpa adanya bujukan untuk memakai produk tersebut.

Strategi product/brand placement dalam sebuah film dapat dikategorikan menjadi tiga model (Gupta and Lord, 1998 : 23):

a. Visual only, Dengan menempatkan produk, logo, billboard, atau ciri khas visual brand lainnya, tanpa disertai dengan pesan atau suara (Smith, 1985).

b. Audio only, Dimana brand tidak ditampilkan tetapi disebutkan oleh aktor/aktris dalam dialog di suatu film (Russell, 2002 : 54).

c. Combine audio—visual, Strategi ini menampilkan kombinasi dan kedua strategi sebelumnya.

(10)

2. Program Televisi (Villafranco and Zeltzer, 2006).

Product/brand placement kini juga sering kali dapat kita lihat di acara-acara televisi. Di Amerika, kisah sukses Survivor di tahun 2000, dimana jutaan permisa melihat bagaimana para kontestan Survivor yang kehausan dan kelaparan memperoleh hadiah seperti Doritos dan Mountain Dew, membuat para pengiklan mengantri untuk menjadi sponsor reality show berikutnya (Hollywood Reporter.com. 2005). Reality show seperti The Apprentice memperbesar kesempatan untuk brand placement karena jalan cerita dan format mereka yang sangat tergantung pada brand dan sponsor (Atkinson, 2004 : 67). Di Indonesia, contoh nyata terlihat pada program Bedah Rumah yang memang harus menggunakan bahan-bahan bangunan dan furniture dalam menjalankan misinya. Tidak jarang produk-produk tersebut mendapat sorotan khusus dalam penggunaannya.

Product/brand placement juga sering terlihat dalam program-program Talk show televisi seperti Ceriwis dan Bukan Empat Mata. Pada kedua acara tersebut tidak jarang bintang tamu yang ditampilkan akan membahas mengenai produk-produk yang mendukung status keartisan mereka seperti produk-produk perawatan kesehatan, kecantikan, dan lain-lain. Khusus program Bukan Empat Mata, product/brand placement juga sering kali dilakukan dengan meletakkan suatu produk diatas meja, menempelkan stiker produk pada laptop dan mengambil gambar para penonton di studio yang mengenakan kaos bertuliskan nama produk tertentu, yang di setiap episodenya hampir selalu menampilkan produk yang berbeda-beda. Penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh brand

(11)

awareness dan sikap konsumen terhadap efektifitas iklan dan produk-produk yang ditempatkan dalam program Bukan Empat Mata.

3. Video Games (Moser, Bryant. and Sylvester. 2003).

Anak-anak, remaja, dan bahkan dewasa, banyak yang menyukai bermain video game sebagai hiburan. Beberapa diantara mereka bahkan tidak bisa lepas dan permainan dunia maya ini sehari saja. Hal ini tentu sangat menarik bagi para pemasar yang ingin mempromosikan produknya melalui video game. Perkembangan dunia video game juga sangat mendukung bagi product/brand placement. Permainan yang semakin hari semakin tampak nyata dapat digunakan untuk menempatkan produk nyata dalam permainan tersebut. Kini para pengemar video game dapat merasakan bagaimana mengemudikan mobil balap merck Ford, Chevrolet, Nissan, BMW, dan lainnya dalam permainan balapan, juga terekpos pada berbagai papan iklan di sepanjang lintasan seperti yang ada dibalapan sesungguhnya.

4. Musik (Gupta and Gould, 1997).

Product/brand placement juga dapat dilakukan melalui media musik. Mulai dari mensponsori pembuatan sebuah album seperti yang dilakukan McDonald untuk grup musik Club Eighties di album baru mereka, hingga menampilkan produk mereka dalam video clip si penyanyi seperti yang dilakukan Olay di video clip Audy yang menampilkan Nindy di tahun 2006.

5. Novel (Nelson. 2004).

Novel juga menjadi salah satu media product/brand placement yang menjanjikan. Novel-novel yang menyajikan kisah-kisah fiksi pun sering kali menyebutkan produk-produk tertentu untuk membuat kisahnya semakin nyata.

(12)

6. Radio (Gupta and Gould, 1997).

Seperti halnya televisi, program-program radio juga sarat dengan product/brand placement. Suatu produk sering kali dikait-kaitkan dengan suatu tema yang sedang dibahas oleh penyiar.

2.2.1.5. Keunggulan Product/brand Placement

Pembahasan karakteristik brand/product placement dalam Fill (2006 : 799–800) terbagi atas dua bagian yaitu kelebihan (strengths) dan kekurangan (weakness) dari strategi ini. Kelebihan product/brand placement adalah dengan menampilkan produk tersebut, bukan hanya memungkinkan untuk membangun awareness, kredibilitas bisa ditingkatkan secara signifikan serta dapat juga untuk memperkuat citra merek. Audience dalam hal ini didampingi untuk mengidentifikasi atau menghubungkan dirinya dengan lingkungan yang digambarkan atau dengan selebritis yang menggunakan produknya (Fill, 2006 : 799). Kelebihannya yang lain adalah dapat mengurangi biaya produksi (Alsop, 1988), mencapai audience tertentu/captive audience (Hullin-Salkin, 1989), jangkauan yang lebih luas daripada periklanan tradisional (Loro, 1990), mendemonstrasikan kegunaan produk/merek dalam lingkup yang alami (Loro, 1990), menggambarkan setting yang lebih realistis (Sapolsky & Kinney, 1994) serta menawarkan peluang beriklan bagi produk-produk yang dibatasi media iklannya seperti rokok & alkohol.

Menurut George Belch dan Michael E. Belch ada Sembilan keuntungan pemakaian product/brand placement yaitu: (1) Exposure, Jumlah penjualan tiket bioskop tiap tahunnya mencapi lebih dan 1.4 milyar tiket. Rata-rata film diperkirakan memiliki life span atau rentang waktu peredaran selama tiga

(13)

setengah tahun, dengan penonton mencapai 75 juta orang, dan sebagian besar penggemar film adalah audience yang sangat serius ketika sedang menonton film. Ketika hal tersebut dikombinasikan dengan meningkatnya rental film dan TV kabel, potensi tereksposnya suatu produk yang ditempaikan dalam scbuah film menjadi sangat besar. Terlebih lagi bentuk exposure ini terbebas dari zapping, setidaknya ketika diputar di bioskop, (2) Frequency, Tergantung pada bagaimana suatu produk digunakan dalam sebuah film atau program televisi, besar kemungkinan terjadinya exposure yang berulang-ulang. bagi mereka yang suka menonton sebuah program atau film lebih dan sekali. Misalnya bagi seorang penonton rutin suatu program yang terkandung placement di dalamnya. penonton tersebut akan mengalami exposure akan suatu produk yang terdapat dalam program tersebut lebih dan sekali atau secara terus-menerus pada setiap episode program tersebut ditayangkan, (3) Support for other media, Bagi klien yang menempatkan produknya pada suatu film, telah menjadi suatu tren untuk mempromosikan produk dan film tersebut secara bersama-sama dalam berbagai media. Dengan demikian ikatan antara produk dan film akan saling memperkuat upaya promosi satu sama lain dan makin diperkuat dengan adanya iklan, (4) Source association, Ketika konsumen melihat selebriti atau artis kesukaan mereka menggunakan suatu brand (merek) tertentu, asosiasi yang terbentuk dapat memacu terciptanya product image yang diinginkan bahkan dapat sampai ke tahap penjualan. Pada suatu penelitian terhadap 524 anak dan remaja usia 8 hingga 14 tahun, 75 persen menyatakan bahwa mereka menyadari ketika suatu brand ditempatkan pada suatu acara atau program favorit mereka. Dan 72 persen menyatakan bahwa dengan melihat tokoh favorit mereka menggunakan sebuah

(14)

brand akan membuat mereka ingin membeli brand tersebut. Penelitian lainnya terhadap orang dewasa menunjukkan bahwa sepertiga dan penonton menyatakan bahwa mereka mencoba sebuah produk setelah melihatnya di suatu acara televisi atau film, (5) Cost, Biaya penggunaan media ini sangat beragam, mulai dan gratis hingga $ 1 juta per produk. Namun dengan biaya termahal sekalipun perusahaan pengiklan masih tetap mengalami keuntungan oleh karena tingginya tingkat exposure yang dihasilkan, (6) Recall, Sejumlah lembaga telah melakukan pengukuran recall product placement terhadap audience di hari berikutnya dengan rata-rata 38 persen audience-nya masih ingat akan brand yang dimunculkan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penampilan placement yang baik akan menghasilkan recall yang kuat (Gupta and Lord, 1998), (7) Bypassing regulations, Di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, beberapa produk tidak diijinkan untuk beriklan di televisi atau terhadap segmen pasar tertentu. Namun melalui product placement, beberapa produk tersebut seperti minuman keras dan rokok rnasih dapat ditampilkan, (8) Acceptance, Sebuah penelitian mengindikasikan bahwa penonton dapat menerima product placement dan secara umum menilainya secara positif, walaupun untuk beberapa produk seperti alkohol. senjata api dan rokok kurang dapat diterima, (9) Targeting, Isi atau produk yang ditempatkan dalam suatu product placement dapat secara efektif menjangkau konsumen potensial tertentu yang memiliki minat yang tinggi pada suatu subjek tertentu (misalnya fashion, sepakbola).

Menurut Entertainment Resources and Marketing Association (ERMA), product placement memiliki enam keunggulan utama (Terry, 2001) yaitu: (1) No Mute Button, Tidak seperti iklan televisi yang tampil diantara suatu program

(15)

tertentu, product placement berada dalam film itu sendiri, dan perhatian audience tertuju pada produk tersebut tanpa adanya pengaruh untuk membeli, (2) Implied Endorsement, Penerapan product placement menjadi endorsement gratis yang dialami suatu brand dan bintang film atau televisi ataupun dan program yang menggunakan brand, (3) Low Cost, Biaya menggunakan product placement pada dasarnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan bentuk kegiatan above atau below the line lainnya. Cost per thousand product placement terhadap iklan televisi ataupun iklan cetak adalah seperti sen berbanding dollar, (4) Less Obtrusive, Tidak seperti iklan, product placement tidak mengganggu jalannya cerita atau isi dan suatu program acara, (5) high Profile, Kampanye pemasaran sering kali mempromosikan suatu acara sehingga dapat meraih perhatian penonton sebelum acara tersebut diluncurkan. Tingkat perhatian yang dimiliki penonton terhadap acara tersebut pada akhirnya akan beralih kepada brand yang tampil pada acara tersebut, (6) Far Reach (life and global,. Besarnya tingkat pencapaian yang dialami product placement dipengaruh i oleh terus berkembangnya distribusi film dan program televisi secara global. Saat mi suatu film atau program televisi yang diciptakan di suatu negara sudah dapat disaksikan di belahan dunia lainnya. Bahkan untuk film. Siklusnya dapat menjadi sangat panjang, suatu film yang bagus akan terus diulang-ulang bahkan hingga puluhan tahun.

Beberapa keuntungan lain menggunakan product/brand placement adalah: (1) mengurangi biaya produksi film (DeLorme and Reid. 1999), Studio yang menerapkan product placement dapat memotong biaya properti karena tanpa product placement, pihak studio harus membeli atau menyewa produk-produk (properti) tersebut, (2) agar suatu acara dapat terlihat nyata. actor atau aktris perlu

(16)

menggunakan produk-produk yang digunakan oleh konsumen sehari-hari (Standberg, 2001). Penggunaan produk palsu dalam film akan dapat merusak kenyataan yang coba digambarkan dalam film tersebut.

2.2.1.6. Kekurangan Product/brand Placement

Fill (2006 : 800) menyebutkan bahwa dengan menempatkan/melakukan placement di dalam film bukan berarti tidak ada resiko bahwa produk tersebut tidak akan terlihat (unnoticed), khususnya dalam kondisi ini apabila placement dilakukan pada adegan yang mengganggu/tidak menyenangkan (distracting). Selain itu yang juga berhubungan dengan kondisi ini, adalah tidak adanya kendali (lack of control) dari pengiklan atas kapan, dimana dan bagaimana produk tersebut akan ditampilkan. Saat produk itu muncul dan diperhatikan, sejumlah kecil/minoritas audience menyatakan bahwa bentuk komunikasi ini tidak etis (unethical), bahkan juga pernah disebut bahwa ini adalah bentuk subliminal advertising dimana bentuk ini disebut ilegal. Absolute cost dari product placement dalam film bisa menjadi sangat tinggi apabila dihubungkan dengan low relative cost atau cost per contact. Hal lain juga menyebutkan bahwa kelemahan terkait dengan mediumnya adalah ketidakmampuan untuk menyediakan penjelasan, detil atau informasi penting (substantive information) tentang produk tersebut. Produk itu terlihat saat digunakan dan diharapkan dapat dihubungkan dengan kegiatan, individu atau obyek yang akan menyediakan source of pleasure, inspirasi atau aspirasi untuk individual viewer (Fill, 2006 : 800).

George Belch dan Michael E. Belch juga menjelaskan beberapa kekurangan product/brand placement yaitu: (1) high absolute cost, meningkatnya permintaan akan product/brand placement akan dibarengi dengan meningkatnya

(17)

perhatian dan pihak studio untuk melakukan cross-promotions, yang juga menggiring cost menjadi lebih tinggi, (2) time of exposure, walaupun produk-produk yang ditampilkan melalui product/brand placement akan mendapatkan pengaruh yang kuat, namun tidak ada jaminan viewers akan sadar atau perhatian atas kehadiran produk-produk yang ditampilkan. Ketika produk yang ada tidak diperlihatkan secara menyolok, para pengiklan akan menghadapi resiko produk-produknya tidak akan dilihat atau terlihat oleh viewers, (3) Limited appeal, kesan yang dapat disampaikan menjadi terbatas. Kemungkinan untuk membahas kegunaan atau menyajikan informasi produk secara detail sangat kecil. Fleksibilitas dalam mendemonstrasikan produk kecil karena penggunaan produk yang bersangkutan disesuaikan dengan kegunaannya dalam media (program TV atau film, (4) lack of control, dalam banyak film, para pengiklan tidak dapat menentukan kapan dan seberapa sering produknya akan ditampilkan. Banyak diantara perusahaan menemukan bahwa placement yang mereka pasang dalam film tidak bekerja sesuai seperti yang diharapkan, (5) public reaction, banyak penonton televisi dan penggemar film menjadi marah akan ide penempatkan suatu iklan dalam suatu program maupun film. Jika placement terlalu mengganggu atau mencolok, akan menimbulkan sikap yang negatif kepada brand dan para penonton maupun penggemar film, (6) competition, meningkatnya product placement membawa kepada peningkatan kompetisi untuk dapat menempatkan produk melalui placement. Hal ini akan berdampak pada peningkatan demand dan cost product placement, (7) negative placements, beberapa produk dapat tampil dalam suatu adegan film yang tidak disukai oleh audience atau dalam suatu adegan yang dapat menimbulkan suasana hati (mood) menjadi negatif. Misalnya saja suatu

(18)

produk tampil atau terlihat dalam adegan pembunuhan dalam suatu film, hal ini akan menimbulkan citra negatif pada produk tersebut, (8) clutter, perkembangan yang pesat pada product placement berdampak pada membanjirnya jumlah placement dan penggabungan dan beberapa placement menjadi satu dalam suatu program TV atau film. Seperti advertising, terlalu banyaknya placements dan penggabungan akan menimbulkan kekusutan (clutter) dan mengurangi efektifitas dari placement.

2.2.1.7. Product/brand Placement dalam Film dan Acara TV di Indonesia

Fill (2006) menyebutkan salah satu cara untuk mengurangi faktor gangguan oleh karena adanya iklan sebelum sebuah film diputar di bioskop adalah dengan menggabungkan produk yang ingin diiklankan tersebut bersamaan dengan film yang akan diputar atau dengan kata lain dengan menggunakan strategi product/brand placement. Sejarah product placement (brand placement) dalam film sendiri dimulai lebih dari seabad yang lalu di Amerika Serikat. Pelopornya adalah Lumiere bersaudara yang menampilkan produk bermerek Lever Bros (sekarang dikenal dengan Unilever) pada film-film bisu di tahun 1890-an. (Villafranco dan Zeltzer, 2006). Namun ketertarikan terhadap product/brand placement dimulai pada tahun 1982, ketika Hersey Food Corporation mencapai kesuksesan dalam menempatkan produknya pada film E. T. the Extra-Terrestrial. Salah satu adegan dalam film tersebut dimana menampilkan penggunaan produk permen Rees’s Pieces oleh aktor utama menghasilkan peningkatan penjualan permen tersebut hingga 65% dalarn tiga bulan setelah film tersebut mulai di tayangkan (Gupta dan Lord. 1998). Product placement saat ini dapat kita lihat

(19)

marak dilakukan pada film-film di Holywood. Beberapa film tersebut antara lain Legally Blonde, James Bond (Aston Martin, Rolex), dan lain sebagainya.

Dalam Panda (2004) disebutkan bahwa penerapan product/brand placement dalam film agak berbeda dengan acara televisi, yaitu dalam film keterlibatan audience lebih tinggi dengan media yang mereka saksikan tersebut dibandingkan berbagai aktivitas yang dilakukan seseorang saat menonton televisi di rumah. Disebutkan juga bahwa tempat/setting dalam kondisi ini dapat memberi pengaruh pada tingkat perhatian audience dalam jangka waktu tertentu (attention span of the audience), sehingga bisa jadi mengurangi efektivitas secara umum untuk melakukan brand retention dengan strategi ini. Selain itu dengan adanya kemungkinan audience mengganti stasiun/channel TV yang lain akan mengurangi perhatiannya pada suatu acara televisi, kondisi ini membuat audience akan menerima berbagai iklan-iklan lain yang dapat menyebabkan media clutter terjadi.

Penggunaan product/brand placement dalam perfilman nasional baru-baru ini mulai sering muncul sejak penempatannya di film Tusuk Jelangkung (tahun 2001) yang merupakan sekuel film sukses Jelangkung (tahun 1999) yang ditonton 1,6 juta orang. Di film tersebut terlihat beberapa produk atau merek seperti Honda, Samsung dan Berry Juice. Selain Tusuk Jelangkung, film Alexandria (tahun 2005) juga menempatkan cukup banyak produc/brand placement di dalamnya, seperti A Mild. XL Bebas, Dunkin Donuts, Nokia hingga Motorola. Masih di tahun yang sama, film Janji Joni juga menampilkan merek Converse pada pakaian serta sepatu perneran utamanya, Nicholas Saputra. Di tahun 2006, film D’Girlz Begins menampilkan produk pembalut wanita merck Softex, yang

(20)

juga menjadi pembuat film tersebut melalui Softex Heritage Movie. Selain itu, film Denias, Senandung di Atas Awan (tahun 2006) juga menampilkan produk-produk seperti Blaster, Kare dan Formula. Pada tahun 2008, beberapa film Indonesia juga menampilkan product/brand placement, salah satunya adalah film Ayat-Ayat Cinta, salah satu film fenomenal Indonesia yang juga mendapatkan penghargaan dan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai film dengan penonton terbanyak dengan jumlah penonton 3,8juta lebih (situs Media Indonesia, 12/7/2008). Beberapa produk yang tampak dalam film tersebut adalah NU Green Tea, Mie Instan Selera Pedas ABC, Nokia, Apple dan Mercedes Benz. Menurut Adiyanto Sumarjono, direktur utama Investasi Film Indonesia, sebuah perusahaan konsorsium pendanaan film di Indonesia. Product/brand placement bisa menjadi sebuah alternatif beriklan yang jitu. Sebuah film layar lebar akan diputar di bioskop dan memiliki audience yang besar, apalagi jika film tersebut sukses. Selepas di putar di layar lebar, film tersebut memiliki kesempatan untuk ditayangkan di televisi dan kemudian dirilis dalam bentuk VCD dan DVD. Artinya, iklan product/brand placement akan dilihat terus setiap kali filmnya ditonton. Product/brand placement muncul di perfilman nasional karena para pembuat film di negeri ini tidak memiliki banyak dana dalam pembuatan film. Oleh karenanya, kehadiran sponsor melalui product/brand placement dapat menutup biaya produksi dan biaya promosi film yang bersangkutan.

Pada acara televisi di Indonesia di mulai dengan program reality show Indonesian Idol yang merupakan suatu ajang pencarian bakat yang diadopsi dari Pop Idol (Inggris) dengan sponsor dari FremantleMedia yang bekerjasama dengan RCTI. Ajang ini merupakan pencarian idola di bidang tarik suara.

(21)

Indonesian Idol telah menjadi reality show terbesar di Indonesia. Setelah kemunculan Indonesian Idol, banyak Reality Show lain yang ditayangkan. Indonesian Idol juga mendapatkan penghargaan dari Singapore Tourism Board saat kesebelas finalis Indonesian Idol berada di Singapura untuk menjadi pembuka tur dunia American Idol musim ketiga (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian _Idol). Di Indonesian Idol, kontestan-kontestan yang beruntung akan ditayangkan background kehidupannya sebelum menghadap 4 juri Indonesian Idol. Kontestan yang diperlihatkan background nya biasanya adalah kontestan yang sudah pasti lolos ke babak berikutnya, dan juga kontestan yang dapat memberikan sensasi pada saat audisi. Pada musim pertama, terdapat 32.000 orang yang mendaftar dan audisi Indonesian Idol. Jumlah pun bertambah pada musim kedua, yaitu 37.000 orang. Dan pada musim ketiga, 48.000 orang audisi Indonesian Idol ketiga (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Idol).

Selain sinetron dangdut, program unik adalah Mamamia. Setelah sukses mengusung program Akademi Fantasi Indosiar (AFI) pada 2004 dengan rating tertinggi di seluruh stasiun televisi (19,0) Indosiar berupaya meraih kembali kesuksesan tersebut dengan menayangkan program sejenis berjudul Mamamia. Mamamia adalah program pencarian bakat penyanyi sekaligus manager nya yang diadaptasi dari program Quincianera, salah satu program stasiun televisi berbahasa Spanyol di Amerika. Mamamia memang beda dengan AFI, namun program tersebut cukup unik & menarik. Dibandingkan AFI yang menggunakan SMS sebagai alat memilih penyanyi terbaik, Mamamia menggunakan juri independen atau vote lock yang berjumlah 100 orang untuk menentukan siapa yang terbaik. Di luar juri vote lock program ini juga menggunakan empat juri tetap

(22)

yang menilai kemampuan suara, gaya & tampilan peserta saat beraksi di atas panggung (www.mamamiashow.com). Berdasarkan data AGB Nielsen Media Research, selama ini yang selalu masuk dalam kategori Top 25 program di seluruh stasiun TV adalah program sinetron. Tetapi, kelaziman itu telah terpatahkan (majalah MIX edisi 08–23 Agustus s/d 20 September 2007). Pada pekan ke-26 (24–30 Juni 2007), Mamamia mampu menempati posisi pertama, dengan rating 8,3 dan share 25,3%. Selain itu Mamamia Superdut program serupa Mamamia dengan genre dangdut yang disusulkan oleh Indosiar ternyata mampu mencetak rating yang tak kalah tingginya (majalah MIX edisi 08–23 Agustus s/d 20 September 2007). Pada periode yang sama Mamamia Superdut mampu menempati posisi kedua dengan perolehan rating 7,6 dan share 22,6%. Gufroni (Manager Humas Indosiar) menyebutkan bahwa Mamamia didominasi oleh penonton remaja dewasa, perempuan dan status sosial ekonomi (SES) A & B.

2.2.2. Teori Sikap 2.2.2.1. Definisi Sikap

Dalam pemasaran, sikap (attitude) merupakan salah satu topik yang dibahas dalam perilaku konsumen dan sering diteliti. Asumsi yang dipakai oleh pemasar adalah dengan rnengetahui sikap dapat dibuat suatu prediksi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap tersebut sehingga sesuai dengan kehendak pemasar.

Schiffman & Kanuk (2004 : 253) mendefinisikan sikap sebagai “a learned predisposition to respond to an object or class of objects in a consistently favorable or unfavorable way with respect to a given object”.

(23)

Definisi ini menjelaskan bagian-bagian sikap yang sangat penting dan sangat diperlukan untuk memahami peranan sikap dalam perilaku konsumen, yaitu:

a. “objek” sikap.

Kata objek dalam definisi mengenai sikap yang berorientasi pada konsumen harus ditafsirkan secara luas meliputi konsep yang berhubungan dengan konsumsi atau pemasaran khusus, seperti produk, kategori produk, isu-isu, orang, iklan, situs internet, harga, medium, atau pedagang ritel. Dalam penelitian ini, objek yang akan dipelajari adalah iklan.

b. Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari

Hal ini berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku membeli dibentuk sebagai hasil dan pengalaman langsung mengenai objek. Sebagai kecederungan yang dipelajari, sikap mempunyai kualitas memotivasi; yaitu mereka dapat mendorong konsumen ke arah perilaku tertentu atau menarik konsumen dan perilaku tertentu.

c. Sikap mempunyai konsistensi

Biasanya perilaku konsumen akan sesuai dengan sikap mereka. Tetapi bukan berarti sikap harus selalu permanen melainkan sikap dapat berubah.

d. Sikap terjadi dalam situasi tertentu.

Berbagai peristiwa atau keadaan pada tahap waktu tertentu. mempengaruhi hubungan antara sikap dan perilaku. Sikap tertentu dapat rnenyebabkan konsumen berperilaku dengan cara yang kelihatannya tidak konsisten dengan perilaku mereka. Misalnya, karena situasi keuangan yang tidak mendukung.

(24)

seorang konsurnen yang menyukai atau rnempunyai sikap positif terhadap mobil BMW tidak memilih untuk membeli BMW.

Menurut Wells (1998), sikap dapat bernilai negatif dan positif, yakni merupakan refleksi dan suka (like) atau tidak suka (dislike), berdasarkan pengalaman individu. Jika konsumen mengalami pengalaman buruk dengan produk. sebagus apa pun iklannya, konsumen akan bersikap negatif terhadap pesan yang disampaikan perusahaan.

Shimp (2000) juga merumuskan sikap sebagai suatu kecederungan positif maupun negatif ataupun penilaian evaluatif seseorang terhadap suatu objek. Beranjak dan definisi dasar sikap mereka maka menurut Shimp, ada 3 fitur dan sikap yang menonjol yaitu (1) dapat dipelajari, (2) relatif dapat bertahan lama atau relatively induring, (3) mempengaruhi perilaku. Setelah melihat iklan seseorang lalu mengekspresikan perasaan dan mengevaluasi. Sikap yang dipelajari tersebut relatif bertahan lama sampai ada alasan kuat untuk mengubahnya. Lebih lanjut diharapkan bahwa penganut sikap ini akan berperilaku konsisten dengan evaluasi yang mereka buat. Deskripsi di atas juga menggambarkan bahwa sikap terdiri dan komponen afektif (perasaan suka terhadap iklan), kognitif (pengetahuan. persepsi, dan kepercayaan terhadap produk yang diiklankan), dan konatif (kecenderungan atau niat membeli).

Senada dengan Teracce Shimp, Shiffman, dan Kanuk juga mengelompokkan 3 komponen sikap (kognitif, afektif. dan konatif) yang diberi nama Tricomponent Attitude Models.

(1) komponen negatif yaitu pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan pengalaman langsung dengan objek sikap. Misalnya, seseorang melihat iklan

(25)

lalu berpersepsi bahwa produk yang diiklankan tersebut sangat menarik dan memiliki kualitas yang baik. Pengetahuan dan persepsi yang ditimbulkan biasanya mengambil bentuk kepercayaan, yaitu kepercayaan konsumen bahwa objek sikap mempunyai berbagai sifat dan bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan hasil-hasil tertentu.

(2) Komponen afektif mengacu pada emosi atau perasaan terhadap suatu objek, seperti perasaan suka terhadap iklan. Emosi dan perasaan ini sering dianggap oleh para peneliti konsumen sangat evaluatif sifatnya, yaitu mencakup penilaian seseorang terhadap objek sikap secara langsung dan menyeluruh atau sampai dimana seseorang menilai objek sikap “menyenangkan” atau “tidak menyenangkan”, “bagus” atau “jelek”. Misalnya seseorang bisa menyukai atau tidak menyukai iklan tersebut.

(3) Komponen konatif merepresentasikan tendensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan atas sebuah objek, misalnya konsumen menjadi menyukai iklan yang ia tonton sehingga berencana untuk membeli suatu produk. Menurut beberapa penafsiran. komponen konatif mungkin mencakup perilaku sesungguhnya itu sendiri.

Dari teori Terrence maupun Kanuk yang serupa itu, terlihat jelas bahwa sebuah sikap terbentuk dan alur berpikir (kognitif), merasa (afektif), dan bertindak (konatif).

2.2.2.2. Sikap terhadap Merek

Sikap terhadap merek menurut Assael (2001: 282) adalah kecenderungan yang dipelajari oleh konsumen untuk mengevaluasi merek dengan cara mendukung (positif) atau tidak mendukung (negatif) secara konsisten. Evaluasi

(26)

konsumen terhadap merek tertentu ini di mulai dari sangat jelek sampai sangat bagus. Salah satu hal yang emndasari terbentuknya sikap pada merek adalah pengetahuan dan informasi yang diterima khalayak melalui iklan. Menurut Dictionary Marketing and Advertising, sikap pada merek juga dapat didefenisikan sebagai opini konsumen mengenai sesuatu yang di teliti melalui pasar untuk mengetahui apakah sesuatu tersebut memenuhi kebutuhan mereka dan sampai pada tingkatan mana mereka menginginkan sesuatu produk. Sikap pada merek didasari oleh sikap pada iklan. Menurut Belch (2004:159) sikap pada iklan merupakan gambaran perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan dari khalayak terhadap sesuatu eksekusi iklan. Sikap terhadap merek didasarkan pada skema tentang merek tersebut yang telah tertanam dibenak konsumen. seperti telah disebutkan diatas bahwa komponen sikap ada 3 yaitu: Kognitif, Afektif dan Konatif maka ketiga komponen sikap ini juga terdapat dalam sikap konsumen terhadap produk/merek (Assael, 2001:283) yaitu: (a) brand believe adalah komponen kognitif (pemikiran) (b) brand evaluation adalah komponen afektif yang mewakili semua evaluasi terhadap merek oleh konsumen. Kepercayaan terhadap suatu merek adalah multi dimensional karena mereka mewakili atribut merek yang dipersepsikan oleh konsumen, (c) kecenderungan untuk bertindak adalah komponen konatif (tindakan) dan pada umumnya komponen ini dengan melihat ”maksud untuk membeli” dari seorang konsumen adalah penting dalam mengembangkan strategi pemasaran. Ketiga komponen tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dimana brand believe mempengaruhi evaluasi terhadap merek. Evaluasi terhadap merek mempengaruhi maksud untuk membeli.

(27)

2.2.2.3. Sikap Audience Terhadap Product/brand Placement

Nebenzahl dan Secunda (1993) adalah yang pertama kali melakukan penelitian terhadap sikap audience terhadap product/brand placement dalam film. Mereka menyimpulkan bahwa responden pada umumnya memiliki sikap yang positif terhadap product placement dan menganggapnya sebagai perkembangan dari cinema advertising. Pada 1994, Ong dan Men 1994 menemukan bahwa para partisipan cenderung menghindari pernyataan “secara etik product/brand placement adalah hal yang tidak benar” dan “saya tidak menyukai product/brand placement’. Penelitian lain yang dilakukan di Skotlandia menyimpulkan bahwa 48% responden berpendapat bahwa product/brand placement adalah suatu bentuk subliminal advertising atau promosi bawah sadar. dimana hanya 19% diantara seluruh responden yang menunjukkan pendapat yang negatif terhadap product/brand placement. dan 23% menyatakan bahwa authence seharusnya diberi tahu terlebih dahulu bahwa akan ada brand yang ditampilkan dalam film (Karrh. Frith. and Callison. 2001). Menurut Gupta dan Gould (1997). mahasiswa di Amerika secara umum menunjukkan sikap yang positif terhadap product/brand placement. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gould. Gupta. dan Grabner-Krauter (2000) terhadap responden di Amerika, Austria. dan Prancis. Penelitian ini juga menganalisis penelitian Gupta dan Gould (1997) dan menemukan bahwa segmen yang berpendapat “product/brand placement tidak terlihat seperti iklan” dan segmen yang menyatakan “product/brand placement terlihat seperti iklan” keduanya menyikapi positif product/brand placement dan mendukung ide bahwa product placement menciptakan adegan film yang lebih nyata.

(28)

Argan, Meltem dan Argan (2007), menyimpulkan. berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa sikap audience terhadap product/brand placement dalam film dipengaruhi oleh lima dimensi yakni attention. acceptance, reference, interest dan ethics and regulation. Masing-masing dan ke empat dimensi ini memiliki sejumlah variabel indikator. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah dihasilkan lima faktor (attention, acceptance, reference, ethics and regulation dan interest) yang tersusun, tiga diantaranya (attention, acceptance, ethics and regulation) lebih berpengaruh dibandingkan dua faktor lainnya (interest dan reference).

2.2.3. Product/brand Familiarity

Kotler (2008) mendefinisikan produk sebagal “anything that can be offered to a market for attention, acquisition, use, or consumption that might satisfy a want or need”. Secara umum, produk terdiri dan objek fisik (barang), jasa, events, individu, tempat. organisasi, idea atau gabungan dan hal-hal tersebut. Dalam konteks penelitian ini produk yang dimaksud merupakan objek fisik atau biasa kita sebut sebagai barang.

Pengetahuan konsumen akan suatu produk terdiri dan dua komponen, yaitu familiarity dan expertise. (Alba dan Hutchinson 1987, dalam Rao 1988). Familiarity merupakan salah satu komponen penting dalam consumer knowledge akan suatu produk atau barang. Definisi dari familiarity sendiri menurut Alba dan Hutchinson adalah “the number of product-related experiences accumulated by a consumer”. Dan definisi di atas dapat dilihat bahwa keterkaitan seseorang dengan suatu barang atau produk timbul karena adanya akumulasi experience seseorang tersebut dengan suatu produk di masa yang lalu. Dan product-related experiences

(29)

(familiarity) merupakan level yang paling inclusive bagi konsumen hubungannya dengan sebuah produk atau barang (Alba dan Hutchinson, 1987).

Product/brand familiarity atau yang dapat diartikan sebagai tingkat kefamiliaran atau tingkat seberapa besar suatu produk dikenal dan diketahui oleh individu atau konsumen akan memberikan kemampuan yang lebih kepada konsumen yang bersangkutan untuk dapat menghimpun. mengintegrasikan dan menilai relevansi dan informasi-informasi mengenai produk tersebut, dimana hal tersebut akan menimbulkan tingkat memori yang cukup luar biasa dalam pikiran dan benak konsumen (Alba dan Hutchinson 1987, Rao and Monroe 1988). Semakin tinggi tingkat relevansi pesan atau informasi yang disampaikan kepada seorang individu. maka semakin tinggi pula kemauan seorang individu tersebut untuk lebih berusaha mengerti isi dan pesan tersebut. Termasuk pesan atau informasi yang disampaikan melalui product/brand placement dalam acara televisi.

2.2.4. Star Linking/Endorsement

Dalam konteks pemasaran, menurut Schiffman dan Kanuk (1997 : 178), yang dimaksud dengan endorsement adalah tipe dan daya tarik selebriti atau suatu reference group lain dimana selebriti atau reference group tersebut meminjamkan namanya dan tampil mewakili suatu produk atau jasa.

Dalam penelitiannya, McCracken (1989 : 98) menjelaskan adanya berbagai tipe endorsement, yaitu:

a. Tipe eksplisit. Dalam tipe ini, endorser akan mengkomunikasikan dengan jelas bahwa ia di endorse oleh suatu produk.

(30)

b. Tipe implisit. Disini endorser tidak langsung mengatakan bahwa dia di-endorse, tetapi ía akan selalu mengatakan bahwa ia selalu menggunakan produk tersebut.

c. Tipe imperatif. Yang termasuk tipe ini adalah endorser yang bersifat persuasif, artinya dalam berbagai kesempatan ia akan mengajak orang lain untuk menggunakan produk tertentu.

d. Tipe co-present. Pada tipe ini endorser tidak melakukan komunikasi secara langsung. Endorser akan seringkali tampil menggunakan produk atau tampil dengan produk tersebut.

Sumber atau endorser adalah individu yang menyampaikan suatu pesan kepada sejumlah audience. Sumber dapat juga disebut orang yang terlibat dalam mengkomunikasikan pesan pemasaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Direct source (sumber langsung) adalah seorang juru bicara yang mengantarkan suatu pesan dan/atau mendemonstrasikan suatu barang atau jasa. Sedangkan indirect source (sumber tidak langsung) atau disebut juga model, tidak secara langsung mengantarkan suatu pesan, tetapi menarik perhatian kepada dan/atau meningkatkan daya tarik suatu iklan.

Penelitian di bidang periklanan (advertising) telah menunjukkan bahwa tingkat keatraktifan yang dimiliki oleh model atau source yang terdapat dalam suatu iklan akan berdampak pada seberapa besar dan bagaimana pesan dari suatu iklan tersebut akan diproses oleh penontonnya (McCraken 1989). Dalam konteks product/brand placement pada film, Karrh (1998 : 66), DeLorme dan Reid (1999 : 354) menyatakan bahwa audience atau penonton dapat menciptakan suatu interpretasi akan karakter atau tokoh yang terdapat dalam film dan identitas dari

(31)

diri mereka sendiri dengan cara membandingkan merek-merek yang mereka gunakan sehari-hari dengan merek-merek yang digunakan oleh tokoh yang muncul dalam film. Suatu individu dapat saja menggunakan dan mengkonsumsi suatu produk atau barang tertentu karena tokoh dalam film yang mereka tonton juga rnenggunakan produk barang yang sama. Hal ini dapat terjadi karena adanya keterkaitan atau ketertarikan individu dengan atribut-atribut yang dimiliki oleh tokoh atau karakter tertentu dalam film yang ditontonnya. Hal ini akan mempermudah terjadinya product atau brand recall akan produk dan merek yang muncul dalam film, yang mungkin juga digunakan oleh tokoh atau karakter yang bersangkutan.

Terdapat sejumlah karakteristik yang mempengaruhi kemampuan sebuah sumber untuk mempengaruhi orang lain. Dan sejumlah karakteristik tersebut, faktor yang penting yang menentukan kuat atau tidaknya pengaruh suatu sumber adalah kredibilitas sumber tersebut (Schiffman dan Kanuk, 1997 : 180).

Kredibilitas adalah seberapa besar konsumen melihat sumber memiliki pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman yang relevan dan mempercayai endorser tersebut untuk memberikan informasi yang tidak bias dan objektif. Informasi dan sumber yang dianggap kredibel akan mempengaruhi keyakinan, opini, sikap, dan perilaku melalui suatu proses yang dinamakan internalisasi, yang terjadi saat konsumen mengadopsi opini dan endorser yang kredibel sejak ia mempercayai bahwa informasi yang diberikan tersebut cukup akurat.

Menurut Loudon (1984 : 168), ada lima faktor yang mempengaruhi kredibilitas dan sebuah sumber dilihat dan mata audience-nya. Kelima faktor itu adalah:

(32)

1. Trustworthiness (dapat dipercaya).

Sebuah sumber akan dipandang mempunyai kredibilitas lebih jika audience-nya memandang sumber tersebut jujur dan dapat dipercaya. Jika audience percaya bahwa sumber tersebut mempunyai keinginan personal tertentu, maka ia tidak akan kehilangan kekuatan persuasifnya.

2. Expertise (keahlian)

Faktor kedua adalah keahlian sumber yang dipersepsikan oleh audience. Persepsi ini timbul ketika audience memandang sebuah sumber memiliki kualifikasi yang lebih tinggi daripada orang lain untuk berbicara mengenai topik tertentu, dengan demikian ia akan mempunyai kekuatan persuasif yang lebih.

3. Status or prestige (status atau prestise).

Sebuah sumber yang dipersepsikan oleh audience mempunyai status atau prestise tinggi biasanya akan dianggap lebih kredibel daripada sumber yang memiliki status atau prestise rendah.

4. Likeability (Kesukaan).

Faktor lain menyangkut ketertarikan audience terhadap sumber adalah likeability. Jika audience memiliki ketertarikan tinggi terhadap sumber, maka sumber tersebut akan dianggap memiliki kredibilitas yang lebih daripada sumber lain yang dianggap audience kurang atau tidak menarik.

5. An Assortment of physical traits (ciri-ciri fisik lain).

Terakhir adalah karakteristik fisik dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kredibilitas sumber. Sebagai contoh adalah usia, jenis kelamin, warna, pakaian, dan lain sebagainya.

(33)

Selain kredibilitas sumber, faktor lain lain yang perlu diperhatikan adalah daya tarik sumber. Daya tarik sumber mengacu kepada pandangan seseorang terhadap nilai-nilai sosial yang dimiliki oleh si sumber. Daya tarik sumber dapat ditinjau dan tiga faktor, yaitu:

1. Source Familiarity (Familiaritas Sumber).

Familiaritas sumber adalah pengetahuan atau pengenalan konsurnen terhadap sumber. Semakin dikenal seorang sumber oleh masyarakat banyak, sumber tersebut akan dianggap semakin baik.

2. Source Likeability (Kesukaan terhadap Sumber).

Kesukaan terhadap sumber merupakan sikap senang terhadap sumber sebagai akibat dan penampilan fisik dan perilaku. Sumber yang disukai akan semakin menarik perhatian masyarakat.

3. Source Similarity (Kesamaan terhadap Sumber).

2.2.5. Program Televisi (Program Involvement)

Penelitian mengenai program televisi dan periklanan sudah banyak dilakukan. Dalam jurnal yang ditulis oleh Norris, Colman, dan Aleixo (1997 : 23) yang berjudul Selective Exposure to Television Programmes and Advertising Effectiveness, disebutkan bahwa beberapa sebagian besar riset yang ada menunjukkan bahwa pengaruh program televisi berhubungan positif dengan sikap terhadap iklan (Product/brand Placement). Pernyataan ini didasakan pada hasil riset yang telah dilakukan sebelumnya oleh Home Testing Institute (1963), Krugman (1983), Smith (1956) dan Twyman (1974). Norris, Colman, dan Aleixo juga menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara sikap

(34)

terhapa iklan, sikap terhadap produk/merek dan keinginan membeli dengan entertainment, enjoyment, dan involvement program televisi yang ditonton.

Involvement memiliki berbagai definisi di mata para periset komunikasi. Namun definisi involvement yang berkaitan dengan aktifitas penonton atau audience telah diungkapkan oleh beberapa peneliti. Dari definisi involvement yang berkaitan dengan audience activity tersebut adalah “a sense that media content is personally important and reflects personal participation with content. (Krugman. 1966; Levy & Windahl, 1985: Rubin & Perse, 1987, dalam Perse 1989). Dan definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa involvement menggambarkan kedekatan atau partisipasi secara personal seorang dengan sesuatu hal. Dan dalam hal ini, program involvement berarti menggambarkan kedekatan, keterkaitan atau partisipasi secara personal seseorang atau audience dengan sebuah program acara, baik televisi maupun film. Semakin tinggi tingkat keterkaitan audience dengan program, semakin tinggi pula perhatian dan atensi yang diberikan terhadap program tersebut.

Scott (2003 : 166) mengemukakan bahwa komponen-komponen yang ada di dalam program involvement, seperti arousal, pleasure dan cognitive effort diindikasikan akan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap tingkat involvement yang dimiliki seorang audience terhadap suatu program tertentu. Arousal disini didefinisikan sebagai suatu bentuk dan bermacam-macam perasaan atau feelings (Pavelchak. Antil dan Munch 1988; Mehrabian dan Russell 1974) yang timbul akibat penayangan suatu program tertentu. Secara singkat, arousal disini menggambarkan tingkat keterkaitan emosional seseorang dengan suatu program maupun film. Secara umum, tingginya tingkat arousal atau emosional

(35)

seseorang diindikasikan akan mengacaukan dan menggangu terjadinya proses penerimaan dan pengolahan informasi, terlebih lagi untuk informasi-informasi yang kompleks (Sanbonmatsu dan Kardes, 1988). Oleh karenanya tingkat emosional yang tinggi akan menggangu penangkapan informasi produk/merek yang ditampilkan dalam suatu acara melalui product/brand placement.

Sedangkan pleasure menggambarkan perasaan senang, bahagia dan nyaman seseorang yang ditimbulkan dan mood atau perasaan hatinya. Kita selalu menerima pernyataan bahwa proses penerimaan dan pengolahan informasi yang dialami seseorang akan lebih efektif, efisien dan mempu menyerap jenis informasi yang lebih beragam ketika seseorang tersebut berada pada mood atau suasana hati yang positif. Hal ini dikarenakan hal-hal atau pernyataan yang menyenangkan akan mempermudah seseorang untuk lebih memahami sesuatu secara kognitif yang mendorong stimulus dalam proses encoding suatu informasi atau pesan (Isen, 1984). Dengan kata lain suasana hati audience dalam melihat suatu program televisi dapat mempengaruhi sikap audience terhadap product/brand placement dalam acara televisi.

Cognitive effort menjelaskan segala upaya dan usaha keras yang dilakukan seseorang yang berhubungan dengan kognisi atau pemahaman yang dimilikinya untuk dapat memahami isi materi dan suatu program. Film atau suatu program televisi yang membutuhkan usaha ekstra keras bagi para penontonnya untuk dapat memahami alur cerita atau isi cerita dari film atau program tersebut dapat memberikan efek negatif terhadap sikap audience terhadap product/brand placement. Kompelsitas yang disuguhkan oleh film atau program akan mendorong penonton untuk berfikir dengan lebih keras (Cognitive effort) dan dapat

(36)

menyebabkan kenyamanan penonton terganggu (Russell, Weiss dan Mendelson, 1989). Hal ini akan memperburuk kemampuan penonton atau audience untuk dapat menyerap isi cerita serta perhatian terhadap product/brand placement.

2.3. Kerangka Konseptual

Product/brand placement bukan suatu hal yang asing lagi dalam dunia pemasaran. Product/brand placement kini telah tersebar dan muncul hampir di setiap film dan program televisi. Product/brand placement memberi pemasar cara-cara alternatif untuk mengekpos merek produknya melalui suatu medium untuk menerimanya. Oleh karena itu, kini semakin banyak perusahaan yang mengiklankan produknya melalui product/brand placement, karena pesan yang ingin disampaikan lebih efektif dan langsung mengenai target audience yang diharapkan (Graw dan Hill, 2007:286). Secara umum konsep ini hampir disebut mirip dengan strategi sponsorship, namun hal yang membedakan product/brand placement adalah bahwa keberadaannya tidak menyebutkan kata sponsor dalam tampilan film atau acara televisi yang diikutinya karena tampil sebagai bagian dari acara/tayangan. Pernyataan ini diperkuat oleh Balasubramanian, et al (2006) yang menyatakan product/brand placement sebagai contoh jelas/menonjol dari hybrid message atau upaya mempengaruhi audience yang dilakukan dengan biaya tertentu, namun tidak teridentifikasi sebagai sponsor. Tingginya kegiatan product/brand placement dalam komunikasi merek produk industri mengindikasikan bahwa pengiklan menggunakan teknik di dalam mempengaruhi sikap konsumen terhadap sebuah merek (Avery and Ferraro, 2000).

(37)

Salah satu pengukur yang dapat digunakan untuk melihat tingkat sikap audience terhadap product/brand placement adalah dengan melihat tingkat product/brand familiarity yang dihasilkan atau tingkat kefamiliaran atau tingkat seberapa besar suatu produk dikenal dan diketahui oleh individu atau konsumen akan memberikan kemampuan yang lebih kepada konsumen yang bersangkutan untuk dapat menghimpun, mengintegrasikan dan menilai relevansi dan informasi-informasi mengenai produk tersebut, dimana hal tersebut akan menimbulkan tingkat memori yang cukup luar biasa dalam pikiran dan benak konsurnen (Alba dan Hutchinson 1987, Rao and Monroe 1988). Semakin tinggi tingkat relevansi pesan atau informasi yang disampaikan kepada seorang individu. maka semakin tinggi pula kemauan seorang individu tersebut untuk lebih berusaha mengerti isi dan pesan tersebut. Termasuk pesan atau informasi yang disampaikan melalui product/brand placement dalam acara televisi.

Di lain pihak, penelitian di bidang periklanan (advertising) telah mengidentifikasikan bahwa karakteristik dari audience atau konsumen yang diwakili oleh product familiarity (tingkat kefamiliran atau pengetahuan konsumen akan produk tertentu) dan involvement (keterkaitan yang dimiliki konsumen dengan sesuatu hal) merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi sikap audience terhadap product/brand placement (Efrenberg 1988, in Stewart 1992: Celsi dan Olson 1988; Coupey. Irwin dan Payne 1998; Rao dan Monroe 1988; Alba dan Huthinson 1987).

Hasil penelitian yang dilakukan Norris, Colman, dan Aleixo (1997) yang berjudul Selective Exposure to Television Programmes and Advertising Effectiveness, disebutkan bahwa beberapa sebagian besar riset yang ada

(38)

menunjukkan bahwa pengaruh program televisi berhubungan positif dengan sikap terhadap iklan (Product/brand Placement). Pernyataan ini didasarkan pada hasil riset yang telah dilakukan sebelumnya oleh Home Testing Institute (1963), Krugman (1983), Smith (1956) dan Twyman (1974). Norris, Colman, dan Aleixo juga menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara sikap terhadap iklan, sikap terhadap produk/merek dan keinginan membeli dengan entertainment, enjoyment, dan involvement program televisi yang ditonton.

Sikap audience terhadap product/brand placement turut dipengaruhi oleh tingkat keterkaitan audience dengan program yang ditayangkan (program involvement), yang berkaitan dengan genre suatu program dan aktor-aktor yang ada dalam tayangan program tersebut (Norris dan Colman 1993; Pavelchak. Antil dan Munch 1988). Semakin tinggi tingkat keterkaitan audience dengan program semakin tinggi pula perhatian dan atensi yang diberikan terhadap program tersebut dimana akan mendukung pula perhatian terhadap product/brand placement yang terdapat dalam program tersebut.

Penelitian lain di bidang periklanan (advertising) telah menunjukkan bahwa tingkat keatraktifan yang dimiliki oleh model atau source (endorser) yang terdapat dalam suatu iklan akan berdampak pada seberapa besar dan bagaimana pesan dari suatu iklan tersebut akan diproses oleh penontonnya (McCraken 1989). Dalam konteks product/brand placement pada film, Karrh (1998), DeLorme dan Reid (1999) menyatakan bahwa audience atau penonton dapat menciptakan suatu interpretasi akan karakter atau tokoh yang terdapat dalam film dan identitas dari diri mereka sendiri dengan cara membandingkan merek-merek yang mereka gunakan sehari-hari dengan merek-merek yang digunakan oleh tokoh yang

(39)

muncul dalam film. Suatu individu dapat saja menggunakan dan mengkonsumsi suatu produk atau barang tertentu karena tokoh dalam film yang mereka tonton juga rnenggunakan produk barang yang sama. Hal ini dapat terjadi karena adanya keterkaitan atau ketertarikan individu dengan atribut-atribut yang dimiliki oleh tokoh atau karakter tertentu dalam film yang ditontonnya. Hal ini akan mempermudah terjadinya product atau brand recall akan produk dan merek yang muncul dalam film, yang mungkin juga digunakan oleh tokoh atau karakter yang bersangkutan.

Menurut penelitian Argan, Meltem dan Argan (2007:245) menyimpulkan bahwa sikap audience terhadap product/brand placement dapat dipengaruhi oleh 4 (empat) attitude factor yaitu kesesuaian (acceptance), Perhatian (attention), referensi (reference) dan ketertarikan (interest).

Kesesuaian (acceptance) merupakan kesadaran yang dialami oleh audience terhadap product/brand placement, atau dengan kata lain pemirsa menyadari atas penempatan produk/merek yang ditampilkan dalam film ataupun dalam program acara televisi. Dan referensi (reference) merupakan opini tentang produk/merek yang ditampilkan dalam program acara atau film.

Argan, (2007) berpendapat perhatian (attention) dan ketertarikan (interest) diindikasikan akan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap tingkat involvement yang dimiliki audience terhadap suatu program tertentu. Perhatian (attention) disini didefinisikan sebagai suatu bentuk dari bermacam-macam perasaan atau fellings (Argan, 1997:5) yang timbul akibat penayangan suatu program tertentu. Secara singkat perhatian (attention) di sini menggambarkan

(40)

nyaman seseorang yang ditimbulkan dari mood atau perasaan hatinya dengan suatu program maupun film. Dan ketertarikan (interest) menjelaskan segala upaya dan usaha keras yang dilakukan seseorang yang berhubungan dengan kognisi atau pemahaman yang dimilikinya untuk dapat memahami isi materi dan suatu program atau film.

Dari kerangka pemikiran secara visual bentuk atau model pengaruh tersebut dapat digambarkan ke dalam sebuah bagan dibawah ini.

Perhatian (attention) (X5)

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Product/Brand Familiarity

(X1)

(Attitude factor)

Sikap audience terhadap

product/brand placement (Y) Star Linking/Endorser (Tukul Arwana) (X2) Program Involvement (Bukan Empat Mata)

(X3) Kesesuaian (acceptance) (X4) Perhatian (attention) (X5) Referensi (reference) (X6) Ketertarikan (interest) (X7)

(41)

2.4. Hipotesis

Dari gambar diatas, penelitian ini dilakukan untuk menguji beberapa hipotesis yaitu:

1. Product/Brand familiarity, star linking/endorser (Tukul Arwana), program involvement (Bukan Empat Mata), kesesuaian (acceptance), perhatian (attention), referensi (reference) dan ketertarikan (interest) berpengaruh secara simultan terhadap sikap audience atas product/brand placement pada acara televisi Bukan Empat Mata di Kota Medan.

2. Product/Brand familiarity, star linking/endorser (Tukul Arwana), program involvement (Bukan Empat Mata), kesesuaian (acceptance), perhatian (attention), referensi (reference) dan ketertarikan (interest) berpengaruh secara parsial terhadap sikap audience atas product/brand placement pada acara televisi Bukan Empat Mata di Kota Medan.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual  Product/Brand Familiarity

Referensi

Dokumen terkait

Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok

Bagaimana aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri Escherichia coli dari kombinasi fraksi etil asetat daun Moringa oleifera dan ekstrak etanol kulit batang

Pengaturan hukum mengenai diskriminasi terhadap anak yang menjadi korban akibat perceraian orang tua didasarkan pada Pasal 14 juncto Pasal 76 A juncto Pasal 77

Pada tanggal 8 September pihak yang dikepung melihat bahwa orang Mataram dengan parit perlindungan yang sangat diperkuat telah... mendekati benteng

Oksigen yang digunakan mempunyai kemurnian tinggi (>99%). Proses ini etilen yang hilang jauh lebih sedikit dibanding dengan unit yang menggunakan udara sebagai sumber

Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Penjara Seumur Hidup terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana , Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya

Untuk mengawali tulisan ini saya akan memberikan review singkat tentang sejarah Syiah dan juga sejarah polemik intra-Muslim yang terjadi di Indonesia, yang menunjukkan

2 Indri Wahyu Purwandari (2011) Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Profitabilitas dan Leverage Terhadap Praktek Manajemen Laba (Earning