BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perangkat Hukum dan Peraturan
5.1.1 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sampah
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Dearah Kabupaten/Kota, sub bidang persampahan termasuk dalam urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum. Serta berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, bidang pekerjaan umum termasuk dalam perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas. Untuk Kabupaten Bogor perangkat daerah yang berwenang dalam pelayanan dan pengelolaan persampahan adalah berbentuk dinas, sehingga sudah sesuai dengan PP 38 Tahun 2007 dan PP 41 Tahun 2007.
KTT Millenium PBB bulan September tahun 2000 menghasilkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) dalam rangka mewujudkan lingkungan kehidupan yang lebih baik. Salah satu target dan sasaran dari MDGs adalah peningkatan jumlah masyarakat untuk mendapakan akses pelayanan termasuk persampahan hingga mencapai 70% penduduk pada tahun 2015. Kesepakatan MDGs tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP). KSNP-SPP digunakan sebagai pedoman untuk pengaturan, penyelengaraan dan pengembangan sistem
pengelolaan persampahan yang ramah lingkungan, baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan kondisi daerah setempat. Sasaran utama kebijakan yang hendak dicapai hingga tahun 2010 adalah: Tercapainya kondisi kota dan lingkungan yang bersih termasuk saluran drainase perkotaan, pencapaian pengurangan kuantitas sampah sampai dengan 20 %, pencapaian cakupan pelayanan 60 % penduduk, tercapainya kualitas pelayanan yang sesuai atau mampu melampaui standar minimal persampahan, tercapainya peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi sanitary landfill untuk kota metropolitan dan kota besar, serta controlled landfill untuk kota sedang dan kecil, serta tidak dioperasikannya TPA secara open dumping, tercapainya peningkatan kerja institusi pengelola persampahan yang mantap dan berkembangnya pola kerjasama regional. Hingga saat ini sasaran yang dicapai oleh Kabupaten Bogor masih belum sesuai dengan kebijakan nasional tersebut, diantaranya mengenai pelayanan persampahan yang baru mencapai 24, 17 % dari timbulan sampah dan belum dioperasikannya TPA secara sanitary landfill di TPA Galuga.
Peraturan perundangan lain yang terkait dengan pengelolaan sampah adalah :
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
2. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Keterpaduan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) Kawasan Perumahan;
3. SNI Nomor 19-2454-2002 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan;
4. SNI M-36-1991-03 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan.
Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 lebih mendorong kepada masyarakat untuk ikut langsung berpartisipasi dalam pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah tersebut meliputi kegiatan: a) pembatasan timbulan sampah; b) pendauran ulang sampah; dan/atau c) pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah termasuk kegiatan
pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah.
5.1.2 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kabupaten Bogor
Kebijakan pembangunan Kabupaten Bogor berkaitan erat dengan kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2008-2013. Kebijakan yang berkaitan dengan penanganan dan pengelolaan persampahan dituangkan dalam :
a. Misi ke-3 RPJMD yaitu Meningkatkan Infrastruktur dan Aksesibilitas Daerah yang Berkualitas dan Terintegrasi Secara Berkelanjutan. Salah satu sasaran dari Misi 3 ini adalah meningkatnya cakupan pelayanan persampahan.
b. Strategi pembangunan daerah bidang fisik lingkungan yaitu : Mengatasi lemahnya pengelolaan sampah terutama untuk mempertahankan potensi keunggulan Kabupaten Bogor di bidang pariwisata dan meningkatkan sanitasi dan kesehatan masyarakat.
c. Kebijakan pembangunan urusan perumahan dan pemukiman yaitu pembangunan prasarana pengelolaan sampah, tempat pemrosesan akhir sampah terpadu disertai dengan penerapan pola 3-R (Recycle = daur ulang; Reduce = pengurangan; dan Reuse = pemakaian ulang) dari timbulan sampah; adapun programnya adalah pengembangan kinerja pengelolaan persampahan. d. Kebijakan pembangunan menurut Tata Ruang Wilayah yaitu Pengembangan
Sistem Prasarana Lingkungan, yang salah satunya adalah pengembangan sarana tempat pengelolaan sampah.
Kebijakan yang berkaitan dengan persampahan sebenarnya juga sudah ditetapkan sebelumnya dalam Rencana Strategis Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008 yaitu terdapat dalam sasaran dari Misi ke 5, yaitu bertambahnya jumlah TPA sampah dan sarana pengangkutan di masing- masing wilayah Barat, Tengah dan wilayah Timur. TPA yang melayani pembuangan sampah dan beroperasi di Kabupaten Bogor adalah TPA Galuga di Kecamatan Cibungbulang. Status kepemilikan lahan TPA Galuga adalah milik Pemerintah Kota Bogor dan pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor juga sedang mempersiapkan sebuah TPA untuk Tempat Pengelolaan
Sampah Terpadu (TPST) Regional yaitu TPST Nambo yang terletak di Kecamatan Klapanunggal. Sehingga sampai saat ini hanya ada satu TPA di wilayah barat sehingga masih tidak sesuai dengan Renstra Tahun 2003-2008 dan tidak sesuai dengan kebutuhan pelayanan di masyarakat.
Dalam kebijakan RPJMD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2013 target peningkatan cakupan pelayanan sampah perkotaan hingga tahun 2013 adalah 31 %. Dengan penetapan sebesar 31 % tersebut maka akan terdapat kesenjangan sebesar 69% timbulan sampah yang belum dapat terlayani sehingga akan menimbulkan permasalahan yang harus diberikan alternatif penanganan masalah sampah.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor telah menerbitkan beberapa Peraturan Daerah yang dimaksud untuk mendukung terlaksananya kegiatan kebersihan dan persampahan di Kabupaten Bogor. Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan pengelolaan persampahan dan kebersihan di Kabupaten Bogor adalah :
1. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Ketertiban Umum;
2. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pembentukan Dinas Daerah; 3. Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bogor;
4. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.
5. Peraturan Bupati Nomor 64 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebersihan dan Sanitasi Pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor.
6. Peraturan Bupati Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Bupati Nomor 64 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebersihan dan Sanitasi Pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor.
Dalam pelaksanaannya beberapa peraturan/landasan hukum yang telah diterbitkan tidak semua dijalankan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan. Misalnya pelaksanaan jum’at bersih yang seharusnya dilaksanakan secara rutin
setiap minggu dengan melibatkan hampir segala unsur, baik pegawai negeri sipil maupun masyarakat. Hal ini ternyata hanya dilaksanakan pada hari-hari Jum’at tertentu saja terutama yang berhubungan dengan hari-hari besar nasional dan saat adanya penilaian kota bersih atau pada saat timbulnya wabah penyakit seperti demam berdarah.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006, terdapat pelarangan terhadap setiap orang untuk membuang sampah tidak pada tempatnya termasuk ke sungai, saluran dan situ. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan pidana kurungan atau denda. Ketentuan mengenai pelarangan membuang sampah di sembarang tempat termasuk di sungai juga banyak terjadi pelanggaran. Hal tersebut disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah walaupun tingkat pengetahuan sudah cukup memadai, selain itu juga disebabkan karena belum mampunya pemerintah daerah dalam menyediakan sarana pelayanan kebersihan di setiap sudut wilayah di Kabupaten Bogor sehingga masyarakat masih membuang sampah ke sungai atau ke sembarang tempat.
Ketentuan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 mengatur bahwa pengembangan sistem persampahan dilakukan melalui penyebaran lokasi di seluruh wilayah yang memiliki keterkaitan erat dengan sistem transportasi. Rencana pengembangan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) dialokasikan pada :
1. Wilayah barat di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Desa Growong dan Desa Dago Kecamatan Parung Panjang, serta Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg.
2. Wilayah tengah di Desa Candali dan Desa Pasir Gaok Kecamatan Rancabungur.
3. Wilayah timur di Desa Nambo Kecamatan Klapanunggal dan Desa Sukasirna Kecamatan Jonggol.
Untuk dapat melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tersebut diperlukan adanya koordinasi yang baik serta perhatian dari berbagai pihak. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pengelolaan sampah dan
kebersihan terciptanya rasa tanggung jawab dari masing-masing warga sehingga perlu adanya juga peran serta masyarakat.
Lembaga atau instansi pengelola persampahan merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu wilayah merupakan output dari rangkaian pekerjaan manajemen pengelolaan persampahan. Pelayanan persampahan di lapangan dilaksanakan langsung oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, sehingga dalam hal ini dinas berfungsi sebagai regulator atau pembuat kebijakan juga sekaligus menjalankan kegiatan sebagai operator. Akibatnya sulit dilakukan pengawasan yang obyektif sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak terjamin. Ketimpangan tersebut masih belum didukung oleh SDM (sumber daya manusia) yang memadai terutama ditinjau dari kuantitas dan kualitas.
Profesionalisme pelayanan persampahan saat ini sudah mendesak untuk segera diwujudkan. Sehingga satu institusi yang berperan ganda sebagai operator sekaligus regulator perlu dipisahkan. Adanya dua peran dalam satu institusi dapat menyebabkan kerancuan dalam mekanisme pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah. Apabila institusi akan berperan sebagai operator maka diperlukan institusi pengawas yang berperan sebagai regulator. Namun apabila untuk menyelenggarakan pelayanan persampahan dikontrakkan dengan pihak ketiga, maka Dinas menjadi regulator dengan tetap berkordinasi dengan instansi terkait.
Kabupaten Bogor sampai saat ini belum menerbitkan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah walaupun sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Undang-Undang tersebut lebih menekankan pengelolaan sampah yang melibatkan masyarakat sehingga masyarakat diajak ikut serta dalam mengurangi dan menangani sampah. 5.2 Aspek Pembiayaan
Pengelolaan persampahan membutuhkan dana yang cukup tinggi. Komponen biaya itu terdiri dari biaya investasi sarana dan prasarana, gaji pegawai, biaya operasional pengelolaan, biaya perbaikan dan pemeliharaan. Kondisi pemasukan dari retribusi yang ada saat ini tidak seimbang dibandingkan dengan biaya operasional pelayanan persampahan. Penerimaan retribusi persampahan hanya memenuhi 26,5 % dari biaya operasional pengelolaan sampah
di Kabupaten Bogor. Realisasi penerimaan retribusi pelayanan persampahan pada tahun anggaran 2009 adalah sebesar Rp. 4.252.440.585,00 sedangkan anggaran untuk keseluruhan biaya pengelolaan persampahan adalah sebesar Rp.16.012.803.660,00 yang digunakan untuk biaya penyediaan sarana kebersihan, operasional dan pemeliharaan TPA, operasional dan pemeliharaan truk sampah, upah petugas lapangan dan pengadaan kendaraan operasional.
5.3 Teknis Operasional 5.3.1 Timbulan sampah
Komposisi fisik sampah di Kabupaten Bogor yang mencakup besarnya prosentase dari komponen pembentukan sampah yang terdiri dari organik, kertas, kayu, logam, kaca, plastik dan lain-lain dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12. Komposisi fisik sampah di Kabupaten Bogor
Komposisi Rata – rata
Sampah organik 72,49 %
Kertas 7,97 %
Kayu 2,65 %
Kain / tekstil 5,40 %
Karet / kulit tiruan 1,47 %
Plastik 5,67 %
Logam 1,37 %
Gelas / kaca 1,50 %
Lain-lain (tanah, batu, pasir) 1,48 %
T o t a l 100 %
Kadar air 60,0 %
Kadar abu 10,59 %
Nilai kalor 1272,22 Kcal/kg
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor, 2008
Timbulan sampah perhari dihitung berdasarkan pendekatan jumlah penduduk, yaitu besarnya timbulan sampah perorang perhari dikalikan dengan jumlah penduduk. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1994), bila data pengamatan lapangan belum tersedia, maka untuk menghitung timbulan sampah dapat digunakan nilai timbulan sampah sebagai berikut:
1. Satuan timbulan sampah kota besar : 2-2,5 liter/orang/hari atau 0,4-0,5 kg/orang/hari
2. Satuan timbulan sampah kota sedang/kecil : 1,5-2 l/orang/hari atau 0,3-0,4 kg/orang/hari.
Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2009 berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil adalah sebesar 4.477.296 jiwa. Berdasarkan pola ruang Kabupaten Bogor maka penduduk di wilayah perkotaan adalah sebanyak 2.433.707 jiwa yang tersebar di 36 kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Penduduk terbesar berada di Kecamatan Cibinong (274.111 jiwa), Bojonggede (222.160 jiwa), Gunung Putri (286.199 jiwa) dan Cileungsi (175.981 jiwa) sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk perkotaan yang paling sedikit adalah Kecamatan Tanjungsari dengan jumlah penduduk sebanyak 3.906 jiwa.
Dengan timbulan sampah rata-rata 2 liter/orang/hari maka sampah yang dihasilkan oleh penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 8.955 M3/hari. Sedangkan untuk wilayah perkotaan dengan jumlah penduduk sebesar 2.433.707 jiwa maka timbulan sampah yang dihasilkan adalah sebesar 4.867 M3. Khusus jumlah penduduk perkotaan untuk UPT Wilayah Cibinong sebesar 1.098.647 jiwa sehingga timbulan sampah 2.197,3 M3/hari. Besarnya produksi sampah perkotaan yang dirinci setiap Desa/Kelurahan di UPT Wilayah Cibinong dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13.Produksi/Timbulan sampah di UPT Wilayah Cibinong NO Desa/Kel Jumlah Penduduk (Jiwa) Luas KM2 Kepadatan Jiwa/KM2 Produksi Sampah M3/hari 1 2 3 4 5 6 A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 KEC. CIBINONG Karadenan Nanggewer Nanggewer Mekar Cibinong Pakansari Sukahati Tengah Pondok Rajeg Harapan Jaya Pabuaran Cirimekar Ciriung 16.404 23.054 11 252 21.021 29.836 22.276 9.916 12.153 20.271 70.321 12.380 25.227 4,04 3,64 2,52 4,71 5,21 4,69 3,25 2,07 2,64 4,25 17,10 3,41 4.060 6.334 4.465 4.463 5.727 4.750 3.051 5.871 7.678 16.546 724 7.398 32,81 46,11 22,50 42,04 59,67 44,55 19,83 24,31 40,54 140,64 24,76 24,31 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KEC. BOJONGGEDE Cimanggis Waringin Jaya Kedung Waringin Bojonggede Susukan Bojong Baru Rawa Panjang Pabuaran Ragajaya 22.054 11.656 22.068 44.776 15.087 17.607 34.585 32.227 22.099 5,25 1,73 1,81 2,75 3,50 2,35 3,15 2,48 4,68 1.762 1.852 4.188 7.484 8.044 2.412 2.146 1.908 3.294 44,11 23,31 44,14 89,55 30,17 35,21 69,19 64,45 44,20 C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KEC. GUNUNG PUTRI Karanggan Gunung Putri Tlajung Udik Bojong Nangka Cicadas Wanaherang Cikeas Udik Nagrak Ciangsana Bojong Kulur 22.998 26.296 44.168 18.139 33.469 31.537 14.399 15.566 31.975 47.652 3,07 3,09 4,40 6,73 6,56 6,70 6,52 5,84 8,62 4,78 7.491 8.510 10.038 2.695 5.101 4.707 2.208 2.665 3.709 9.969 46,00 52,59 88,34 36,28 67,07 63,07 28,80 31,13 63,95 95,30 D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 KEC. SUKARAJA Sukatani Sukaraja Cikeas Cadas Ngampar Pasirlaja Cijujung Cimandala Pasir Jambu Cilebut Timur Cilebut Barat 4.421 7.264 9.832 6.175 11.542 23.154 22.764 9.547 15.721 21.709 1,54 2,23 3,13 1,83 3,37 3,65 3,16 2,15 1,35 4,40 2.871 3.257 3.141 3.374 3.425 6.344 7.204 4.440 11.645 4.934 8,84 14,53 19,66 12,35 23,08 46,31 45,53 19,09 31,44 43,42 E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 KEC. CITEUREUP Leuwinutug Sanja
Karang Asem Barat Karang Asem Timur Tarikolot Gunung Sari Citeureup Puspanegara Puspasari 14.805 11.521 19.096 11.184 16.331 12.213 17.007 18.775 12.833 2,82 2,23 2,39 1,15 2,54 2,76 3,11 1,15 1,55 5.250 5.166 7.990 9.725 6.430 4.425 5.468 16.326 8.263 29,61 23,04 38,19 22,37 32,66 24,43 34,01 37,55 25,67
Tabel 13. Lanjutan 1 2 3 4 5 6 F 1 2 3 4 5 6
KEC. BABAKAN MADANG Sumur Batu Babakan Madang Citaringgul Cipambuan Kadumangu Sentul 5.244 5.645 6.511 4.519 14.245 14.119 4,84 2,33 3,45 2,01 4,10 3,47 1.083 2.423 1.887 2.248 3.474 4.069 10,49 11,29 13,02 9,04 28,49 28,24 1.098.647 208,25 2.197,29
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2009) dan Hasil Analisis
5.3.2 Pewadahan
Teknis operasional pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor meliputi pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan serta pembuangan akhir.
Pewadahan merupakan awal dari sistem pengelolaan persampahan yang dapat dilakukan dengan beberapa pola :
- Disediakan oleh masyarakat dengan pola mode bebas
- Disediakan oleh masyarakat dengan model yang disediakan oleh Pemerintah - Disediakan oleh organisasi Swadaya Masyarakat
Jenis wadah yang digunakan untuk menampung sampah, baik di daerah permukiman maupun non permukiman di Kabupaten Bogor sebagian besar disediakan oleh masyarakat sendiri, kecuali untuk wadah sampah di jalan protokol dan fasilitas umum, sebagian besar disediakan oleh Pemerintah. Jenis wadah sampah yang digunakan yaitu keranjang bambu, tong (bin), bak pasangan batu bata, kantong plastik dan lubang sampah atau penimbunan. Khusus untuk lubang sampah sekaligus berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah.
Menurut Thobanoglous (1993), sistem pewadahan harus memperhatikan jenis sarana pewadahan yang digunakan, lokasi penempatan sarana pewadahan, keindahan dan kesehatan lingkungan. Persyaratan sarana pewadahan adalah tidak mudah rusak dan kedap air kecuali kantong plastik atau kertas, mudah diperbaiki, ekonomis/mudah diperoleh atau dibuat oleh masyarakat, serta mudah dan cepat dikosongkan (Departemen Pekerjaan Umum, 2002).
Adapun analisis terhadap masing-masing jenis pewadahan yang ada di Wilayah Cibinong adalah sebagai berikut:
Penggunaan wadah dari tong besi ataupun plastik, banyak digunakan dalam pewadahan sampah khususnya di daerah perumahan. Wadah ini masuk kategori cukup baik, terutama yang terbuat dari plastik. Hal ini karena tong ini mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah rusak serta kedap air, harganya ekonomis serta mudah diperoleh. Karena biasanya tong ini menggunakan penutup, maka sampah yang ada tidak akan menjadi media penyebaran penyakit sehingga dapat memenuhi aspek kesehatan dan dari sisi estetika dapat memenuhi sisi keindahan lingkungan. Penggunaan tong sampah juga memudahkan operasional pengumpulan sampah oleh petugas karena mudah di kosongkan. Tong sampah yang terbuat dari besi juga mempunyai kekurangan yaitu mudah berkarat yang menyebabkan kerusakan dan sulit atau bahkan tidak dapat diperbaiki. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya, wadah dari tong sampah terutama yang terbuat dari plastik lebih dianjurkan.
2. Bak Terbuka (Pasangan Batu Bata)
Salah satu wadah sampah yang sering digunakan oleh masyarakat adalah menggunakan bak sampah dari pasangan batu bata, yang pada umumnya digunakan pada daerah permukiman. Disamping sebagai wadah individual, beberapa bak sampah juga merupakan wadah komunal sebelum sampah diangkut ke TPS atau kontainer. Penggunaan bak pasangan batu bata sebenarnya mempunyai kelebihan karena sudah memenuhi aspek kesehatan dan keindahan lingkungan. Hal ini karena sampah tidak mudah berserakan dan tidak menjadi sarang penyakit.
Disamping itu bak pasangan batu bata mempunyai keuntungan tidak mudah rusak dan kedap air. Namun demikian, wadah jenis ini mempunyai kekurangan yaitu sulit dioperasionalkan serta membutuhkan waktu yang lebih lama dalam operasional pengumpulan sampah. Selain itu, seringkali bak sampah ini disamping untuk menampung sampah juga digunakan untuk membakar sampah oleh masyarakat.
Hal ini karena waktu pengambilan sampah oleh petugas terlalu lama sehingga sampah menjadi menumpuk. Dari sisi harga bak jenis ini sebenarnya juga kurang ekonomis. Dari beberapa dan kelebihan dan kekurangan sisitem ini, maka penggunaan bak batu bata kurang dianjurkan.
3. Kantong Plastik
Bagi masyarakat yang tidak mempunyai wadah/tempat sampah yang permanen biasanya menggunakan kantong plastik sebagai wadah sampah untuk diambil langsung oleh petugas pengumpul sampah. Penggunaan kantong plastik di biasanya digunakan pada daerah permukiman maupun non permukiman. Kantong plastik mempunyai keunggulan yaitu dari sisi ekonomis, karena harganya murah serta mudah diperoleh. Disamping itu mudah dalam operasional pengumpulan/ pengambilan sampah oleh petugas. Namun dari sisi kesehatan dan keindahan, wadah ini kurang memenuhi karena mudah terkoyak sehingga menyebabkan sampah mudah berserakan. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya maka penggunaan kantong plastik ini kurang dianjurkan.
5.3.3 Pengumpulan dan Pemindahan
Sarana yang digunakan untuk pengumpulan sampah adalah menggunakan gerobak sampah kapasitas rata-rata 1M3. Sedangkan kondisi wadah sampah sebagaian besar masih terbuka dan belum ada pemisahan antara sampah basah dan sampah kering.
Metode pengumpulan yang diterapkan saat ini ada dua macam yaitu :
1. Pengumpulan tak langsung, dimana sampah dikumpulkan dari sumber sampah menggunakan gerobak sampah selanjutnya diangkut ke TPS. Cara ini berlaku pada penyapuan jalan, daerah permukiman, pasar dan sebagian perkantoran. Untuk daerah perumahan Cimandala Kecamatan Sukaraja warga masyarakat sendiri yang memindahkan sampah dari rumahnya ke TPS, sehingga tidak menggunakan pengumpulan dengan gerobak sampah. Pewadahannya menggunakan kantong plastik, sehingga tidak ada tong sampah di masing-masing rumah.
2. Pengumpulan langsung, dimana sampah dari setiap sumber sampah langsung diangkut ke TPA dengan truk pengangkut sampah (dump truck) tanpa melalui pemindahan ke TPS. Cara ini berlaku pada kawasan pertokoan dan di kawasan perumahan yang tidak terdapat TPS juga dilakukan pengumpulan secara langsung.
Sarana pemindahan atau Tempat Penampungan Sampah (TPS) terdiri dari 2 jenis yaitu TPS pasangan batu bata dan kontainer. Dari hasil pengamatan di lapangan, sebagian besar TPS adalah TPS pasangan batu bata yang berukuran 1-9 M3. TPS batu bata juga mempunyai kekurangan, yaitu sulit dalam operasional pengangkutan sampah dengan menggunakan dump truck untuk di bawa ke TPA Galuga. Hal ini karena untuk memindahkan sampah dari TPS ke dalam truk memerlukan tenaga yang banyak serta membutuhkan waktu yang lama sehingga menjadi kurang efisien. Namun demikian, TPS dari bak terbuka ini mempunyai harga yang ekonomis dan tahan lama. Menurut Hartono (1995), penggunaan TPS pasangan jenis batu batu sudah tidak dianjurkan lagi.
TPS yang berupa kontainer berada di lokasi tempat-tempat umum, pasar, pertokoan dan perumahan. TPS dari kontainer mempunyai kelebihan yaitu mudah dioperasionalkan dan tidak membutuhkan jumlah tenaga yang banyak, karena untuk mengangkat kontainer cukup menggunakan alat mekanik. Penggunaan kontainer ini dianjurkan karena di samping mudah dipindahkan, dari bentuknya yang memiliki penutup maka memenuhi syarat kesehatan. Dari pengamatan di lapangan, penggunaan kontainer ini menjadi kurang efisien, karena banyak sampah yang berserakan diluar kontainer yang diakibatkan perilaku pembuangan sampah oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan pada saat pengambilan kontainer, petugas tetap harus membersihkan dan mengumpulkan sampah yang berserakan diluar kontainer sehingga menjadi tidak efisien.
Pola pengumpulan sampah di perumahan Cimandala Permai termasuk kategori pola komunal langsung. Warga langsung membawa sampah mereka ke TPS sebagai tempat penampungan komunal. Sedangkan untuk perumahan Puspa Raya pola pengumpulan termasuk individual tidak langsung yaitu cara pengumpulan sampah dari masing- masing sumber sampah dibawa ke lokasi pemindahan (menggunakan gerobak) untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir. Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner pengangkutan sampah di perumahan dilakukan setiap satu minggu sekali.
Sistem pengangkutan yang diterapkan pada pengelolaan sampah adalah dengan menggunakan arm roll truck dengan kontainer yang dapat berpindah-pindah dan sistem yang menggunakan dump truck yang melayani pengangkutan sampah dari transfer depo, bak sampah atau TPS pasangan batu bata. Kendaraan pengangkutan sampah yang digunakan dalam mendukung pengelolaan sampah di UPT Wilayah Cibinong terdiri dari 32 buah dump truck dan 1 buah arm roll truck.
Kendaraan dump truck saat ini digunakan untuk mengangkut sampah yang ada di transfer depo (tempat pemindahan dari gerobag sampah ke dump truck ) maupun dari TPS batu bata serta sistem door to door. Berdasarkan pengamatan dan wawancara, untuk setiap dump truck diperlukan tenaga pengangkutan sebanyak 4 orang yang bertugas memindahkan sampah dari TPS ke dalam truk.
Kendaraan dump truck dalam operasionalnya membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak yaitu 4 orang. Hal ini karena untuk memindahkan sampah dari TPS ke dump truck diperlukan personil yang banyak. Disamping itu, untuk menghindari sampah yang beterbangan saat diangkut dengan dump truck ke TPA maka masih diperlukan penutup bak. Kendaraan arm roll truck merupakan truk yang digunakan untuk mengangkut kontainer sampah. Jumlah arm roll truck yang ada di saat ini saat ini hanya 1 buah.
5.3.5 Tempat Pembuangan Akhir
Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Kabupaten Bogor berada di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang. TPA Galuga ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kota Bogor. Keterbatasan lahan yang dapat digunakan sebagai TPA di Kota Bogor dan ketersediaan lahan di Kabupaten Bogor merupakan hal yang mendorong Pemerintah Kota Bogor untuk membuat kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bogor.
Kerjasama yang sudah dilakukan sejak tahun 1987 dan telah diperpanjang beberapa kali, terakhir dengan Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Pemerintah Kota Bogor Nomor 6581/42/Prjn/Huk/2008 tanggal 6 Agustus 2008 tentang Perpanjangan Pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Galuga di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Perjanjian kerjasama ini akan berakhir pada tanggal 6 Agustus 2011 dan saat ini masih dalam tahap pembahasan perpanjangan kerjasama selanjutnya antara Pemerintah Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Luas TPA Galuga yang saat ini beroperasi adalah 9 Ha dan masih memungkinkan digunakan sampai lima tahun kedepan. Disamping luasan 9 Ha masih terdapat perluasan lahan sebanyak 11 Ha yang saat ini dalam tahap pembebasan tanah, sehingga total luasan sebesar 20 Ha.
Kegiatan TPA sampah Galuga pada awal dioperasikan menggunakan sistem terbuka (open dumping). Penanganan sampah di Galuga saat ini dilakukan dengan sistem controlled landfill yaitu peralihan antara sistem open dumping dan sanitary landfill atau pembuangan di tempat terbuka dengan pemadatan menggunakan alat-alat berat dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air lindi. Sampah dimusnahkan dengan cara dibenamkan dan dipadatkan. Pemerintah Kabupaten Bogor juga sedang mempersiapkan sebuah TPA untuk Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Regional yaitu TPST Nambo yang terletak di Desa Lulut dan Desa Nambo Kecamatan Klapanunggal yang direncanakan seluas 40 Ha. TPST Nambo penanganannya bersifat lintas sektoral (Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok) melalui Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat, Bupati Bogor, Walikota Bogor dan Walikota Depok Nomor 658.1/2/NK/HUK/2009 tanggal 29 Januari 2009 tentang Kerjasama Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Regional untuk Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok. Direncanakan sampah yang akan dikelola di TPST Nambo sebanyak 2.000 sampai dengan 2.800 M3/hari. Saat ini TPST Nambo masih dalam tahap konstruksi dan direncanakan mulai beroperasi pada akhir Desember 2012. 5.4 Analisis Kinerja Pengelolaan Sampah berdasarkan Standar Normatif
Kinerja pengelolaan sampah secara kuantitatif dapat diukur berdasarkan tingkat pelayanan sampah. Untuk mengetahui tingkat pelayanan sampah, dapat diperhitungkan berdasarkan jumlah sampah yang terangkut dan jumlah penduduk yang terlayani.
Besarnya sampah yang terangkut di Wilayah Cibinong, dapat diperoleh melalui pengamatan di lapangan terhadap operasional kendaraan pengangkut
sampah yang menuju Tempat Pembuangan Akhir. Dari hasil observasi lapangan dan wawancara dengan petugas UPT Kebersihan Wilayah Cibinong, saat ini untuk menangani sampah yang ada di Wilayah Cibinong dilayani oleh 32 dump truck dan 1 unit arm roll dengan kapasitas volume 7 M3. Kendaraan dump truk dan arm roll beroperasi masing-masing hanya 1 sampai 2 ritasi setiap hari dikarenakan jarak yang ditempuh cukup jauh yaitu sekitar 35 Km dari Cibinong ke TPA Galuga dan terdapat beberapa titik kemacetan sehingga menghambat perjalanan, serta di lokasi TPA kendaraaan harus mengantri untuk menurunkan sampah.
Berdasarkan data tersebut, dapat dianalisis jumlah sampah yang dapat terangkut ke TPA rata-rata setiap hari adalah 347 M3. Data perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.
Tabel 14. Jumlah Sampah Terangkut Ke TPA di Wilayah Cibinong
Jumlah Kendaraan Ritasi/hari Volume
Kendaraan (M3)
Volume sampah Terangkut per hari
(M3)
Volume Timbulan sampah Perhari (M3)
33 1,5 7 347 2.197,29
Sumber : Data Sekunder dan hasil olahan
Berdasarkan jumlah sampah yang terangkut di atas, maka dapat diketahui tingkat pelayanan sampah yang dilakukan oleh UPT Wilayah Cibinong. Parameter atau tolok ukur yang digunakan sebagai dasar untuk mengetahui sejauh mana tingkat pelayanan pengelolaan sampah, ditentukan berdasarkan standar prioritas pelayanan sampah yaitu tingkat kepadatan penduduk dan skala kepentingan pelayanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman, untuk menentukan kuantitas cakupan pelayanan adalah sebagai berikut:
a. untuk permukiman dengan kepadatan 100 jiwa/ha memerlukan tingkat pelayanan 100 % dari produksi sampah
b. untuk permukiman dengan kepadatan di bawah 100 jiwa/ha diperlukan tingkat pelayanan 50-80 %.
Berdasarkan standar di atas, maka dapat diuraikan tingkat pelayanan sampah yang ideal sesuai dengan hasil perhitungan berdasarkan standar normatif sebagaimana Tabel 15 di bawah ini.
Tabel 15. Jumlah Penduduk, Volume Sampah dan Perkiraan Volume Pelayanan Sampah berdasarkan Ketentuan dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 No Kecamatan Jumlah Penduduk Perkotaan (Jiwa) Volume Timbulan sampah Perhari (M3) Luas wilayah (Ha) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) Tingkat Pelayanan (%) Penduduk Terlayani (jiwa) Volume Layanan M3/hari 1 Cibinong 274.111 548,22 5.753 48 80 219.289 439 2 Bojonggede 222.160 444,32 2.770 80 80 177.728 355 3 Gunung Putri 286.199 572,40 5.631 51 80 228.959 458 4 Sukaraja 132.129 264,26 2.681 49 80 105.703 211 5 Citeureup 133.765 267,53 2.070 65 80 107.012 214 6 Babakan Madang 50.283 100,57 2.020 25 50 25.142 50 Jumlah 1.098.647 2.197,29 20.925 863.833 1.728
Sumber : Hasil analisis data sekunder
Berdasarkan Tabel 15 di atas, dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk dari masing-masing kecamatan masih di bawah 100 jiwa/ha sehingga berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 diperlukan tingkat pelayanan minimal antara 50 % sampai dengan 80 %. Untuk kecamatan yang kepadatannya relatif tinggi seperti Kecamatan Bojonggede, Citeureup, Gunung Putri, Cibinong dan Sukaraja diperlukan pelayanan sebesar 80% dari timbulan sampah, sedangkan untuk Kecamatan yang tingkat kepadatannnya relatif rendah yaitu Babakan Madang maka tingkat pelayanan sebesar 50 %.
Dari Tabel di atas, dapat diketahui pula tingkat pelayanan untuk sampah yang seharusnya dapat terangkut adalah sebesar 1.728 M3/hari. Berdasarkan hasil wawancara, jumlah sampah non perumahan yang harus terangkut adalah sebesar 35 M3/hari yang berasal dari penyapuan jalan dan daerah komersil. Dari jumlah
sampah perumahan dan non perumahan di atas, maka total produksi sampah yang seharusnya dapat terangkut ke TPA adalah sebesar 1.763 M3/hari.
Timbulan sampah yang dapat terangkut ke TPA oleh UPT Kebersihan Wilayah Cibinong saat ini sebesar 347 M3/hari, sedangkan sampah yang diangkut oleh PD Pasar adalah 49 M3/hari. Sehingga total sampah yang terangkut adalah sebesar 396 M3/hari. Apabila dibandingkan dengan sampah yang seharusnya terangkut sebesar 1.763 M3/hari, maka dapat diketahui tingkat pelayanan sampah di Wilayah Cibinong sebesar 396/1.763X 100 % = 22.46 %. Dari perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinerja pengelolaan sampah secara kuantitatif di Wilayah Cibinong berdasarkan sampah terangkut mencapai 22.46%. Dengan tingkat pelayanan sampah yang masih rendah tersebut, dapat disimpulkan daerah yang belum mendapat pelayanan, umumnya melakukan penimbunan, pembakaran maupun pembuangan sampah ke sungai atau saluran air.
Analisis jumlah penduduk terlayani dapat diketahui dari besarnya sampah perumahan yang terangkut. Apabila timbulan sampah per orang per hari adalah 2 liter dan sampah yang terangkut setiap hari sebesar 347 M3 maka dapat diketahui sampah tersebut ditimbulkan oleh penduduk sebanyak (347 X 1000)/2 = 173.500 orang. Dari data tersebut maka prosentase jumlah penduduk terlayani adalah 173.500/1.098.647 x 100 % = 16 %. Dari hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan untuk kinerja pelayanan sampah di Wilayah Cibinong masih rendah. 5.5 Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pengelolaan Sampah
Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal untuk Permukiman, setiap 1000 penduduk diperlukan 1 gerobak sampah ukuran 1 M3, 1 unit dump truck per 10.000 penduduk, transfer depo per 30.000 penduduk. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dianalisis sebagai berikut :
1. Apabila setiap 1000 penduduk diperlukan 1 gerobak sampah maka untuk melayani 1.098.647 penduduk diperlukan gerobak sebanyak 1.099 gerobak sampah. Kondisi eksisting saat ini terdapat 50 gerobak sampah sehingga sehingga baru mencapai 5 %.
2. Setiap 10.000 penduduk diperlukan 1 unit dump truck , sehingga untuk 1.098.647 penduduk diperlukan 110 dump truck. Kondisi Eksisting saat ini wilayah Cibinong memiliki 32 dump truck dan 1 arm roll, sehingga baru mencapai 30 %. Kebutuhan dump truck apabila dilihat dari jumlah timbulan sampah yang seharusnya diangkut sebanyak 1.728 M3, maka diperlukan dump truck sebanyak 1.728/7/1.5 = 165 dump truck, sehingga baru mencapai 20 %.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1991), kebutuhan tenaga pengangkut sampah dan tenaga administrasi untuk setiap 2000 rumah adalah masing-masing sebanyak 8 orang. Apabila setiap rumah memiliki anggota keluarga sebanyak 5 orang maka jumlah rumah yang seharusnya dilayani adalah sebanyak 219.729 rumah. Sehingga dibutuhkan 879 orang tenaga pengangkut. Dari kondisi eksisting tenaga pengangkutan sebanyak 132 orang, maka dapat disimpulkan saat ini baru mencapai adalah 15 %.
Apabila dilakukan perkiraan kebutuhan biaya penambahan sarana dan operasional yang berdasarkan standar biaya yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati Bogor Nomor 900/512/Kpts/Huk/2009 tentang Standar Biaya Honorarium, Perjalanan Dinas, Jamuan, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Panitia Pengadaan Tanah dan Pemeliharaan Kendaraan, maka untuk upah petugas operasional sebanyak 825 orang diperlukan biaya per tahun sebesar Rp.7.821.000.000,00. Sedangkan untuk biaya pemeliharaan 165 unit kendaraan per tahun sebesar Rp. 12.622.500,00 serta pengadaan angkutan sampah yaitu dump truck sebanyak 132 unit dibutuhkan biaya sebesar Rp. 38.280.000.000,00. Sehingga total biaya yang dibutuhkan untuk penambahan 132 unit dump truck dan operasional 165 kendaraan angkutan sampah per tahun adalah sebesar Rp.58.723.500.000,00 (Tabel 16).
Biaya tersebut sangatlah besar dan pemerintah daerah akan kesulitan dalam pendanaan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki. Untuk tahun 2009, anggaran Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang meliputi lima UPTD untuk penambahan 16 truk sampah dan operasional 66 truk sampah hanya sebesar Rp. 11.825.000.000,00. Sedangkan pada tahun anggaran 2010 tidak ada kegiatan pengadaan kendaraan angkutan sampah dan jumlah anggaran untuk program
pengembangan kinerja pengelolaan persampahan adalah sebesar Rp.10.446.938.000,00.
Tabel 16. Skenario Perkiraan Biaya untuk Memenuhi 100 % Kebutuhan Sarana Operasional Pengangkutan Sampah di UPT Wilayah Cibinong
No Uraian Volume Biaya (Rp) Jumlah (Rp)
( 3 X 4 )
1 2 3 4 5
1 Pengadaan truk sampah 7 M3 132 unit 290.000.000,00 38.280.000.000,00. 2 Pemeliharaan kendaraan 165 unit 36.000.000,00 6.682.500.000,00 3 Bahan Bakar (BBM) 165 unit 40.500.000,00 5.940.000.000,00 4 Sopir 165 orang X 12 Bln 950.000,00 1.881.000.000,00 5 Kernet/Juru angkut sampah 660 orang X 12 Bln 750.000,00 5.940.000.000,00
Total (Rp) 58.723.500.000,00
Sumber : Keputusan Bupati Bogor No. 900/512/Kpts/Huk/2009 dan Hasil Analisis
Kendala lain yang dihadapi agar tercapai pemenuhan 100 % kebutuhan sarana pengangkutan sampah adalah dibutuhkan sumber daya manusia yang cukup besar untuk operasional di lapangan dan tenaga administrasi. Akan sulit dilakukan pengawasan yang obyektif terhadap aparat dan sarana operasional dengan jumlah yang besar tersebut, sehingga perlu dipisahkan antara fungsi regulator dan operator serta dimungkinkannya pelayanan persampahan untuk dikontrakkan dengan pihak ketiga. Kendala lain yang dihadapi adalah penyediaan lokasi TPA baru yang lebih memadai untuk menampung dan mengolah sampah, hal tersebut cukup sulit karena untuk menyediakan lokasi TPA terhalang berbagai hambatan salah satunya adalah penolakan masyarakat atas keberadaan TPA dilingkungannya.
5.6 Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kebersihan/Persampahan di Lingkungan Perumahan
Untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai pelayanan persampahan di lingkungan perumahan maka diberikan kuesioner kepada warga masyarakat di perumahan. Satu orang responden untuk satu rumah tinggal. Sampel diambil sebanyak 30 responden yang bertempat tingal di perumahan Puspa Raya
Kecamatan Bojonggede dan 30 responden di perumahan Cimandala Permai Kecamatan Sukaraja, sehingga keselurahan responden sebanyak 60 orang.
5.6.1 Karakteristik usia responden
Karakteristik usia responden adalah sebagaimana Tabel 17 berikut : Tabel 17. Distribusi Frekuensi Usia
Tingkat Usia Frekuensi Prosentase Prosentase
Komulatif
20 s/d 30 tahun 6 10 10
Lebih dari 30 -40 tahun 24 40 50
Lebih dari 40 – 50 tahun 14 23 73
Lebih dari 50 tahun 16 27 100
Total 60 100
Sumber : Hasil analisis data primer
Dari Tabel di atas, prosentase usia paling besar adalah usia 30 sampai dengan 40 tahun yaitu 40 %, sedangkan untuk usia 40 ampai dengan 50 tahun dan usia lebih dari 50 tahun prosentase tidak jauh berbeda.
5.6.2 Karakteristik Pendidikan Responden
Tingkat pendidikan responden meliputi tamat Sekolah Menengah Pertama sampai dengan Sarjana, sebagaimana Tabel 18 berikut ini.
Tabel 18. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan
Tingkat Penididikan Frekuensi Prosentase Prosentase
Komulatif Tamat SMP 11 18 18 Tamat SMU/sederajat 31 52 70 Diploma 10 17 87 Sarjana (S1) 6 10 97 Master (S2) 2 3 100 Total 60 100
Sumber : Hasil analisis data primer
Dari Tabel distribusi frekuensi di atas didapatkan mayoritas responden berpendidikan Tamat SLTA sebanyak 52 %, untuk yang tamat perguruan tinggi sebanyak 30 %. Sedangkan untuk SLTP sebanyak 18 %. Dari prosentase tersebut, mayoritas tingkat pendidikan masyarakat adalah menengah ke atas sehingga dengan pengetahuannya diharapkan dapat melakukan penilaian kinerja secara obyektif.
5.6.3 Karakteristik Pekerjaan Responden
Dari hasil kuesioner yang dibagikan kepada responden dapat diperoleh karakteristik jenis pekerjaan responden sebagaimana Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan
Pekerjaan Frekuensi Prosentase Prosentase Komulatif
PNS/TNI /POLRI 18 30 30
Pensiunan 4 7 37
Karyawan Swasta 11 18 55
Wiraswasta 12 20 75
Ibu Rumah Tangga 15 25 100
Total 60 100
Sumber : Hasil analisis data primer
Dari Tabel 19, mayoritas responden mempunyai pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI sebanyak 30 % dan dan ibu rumah tangga sebanyak 25 % sedangkan untuk wiraswasta dan karyawan swasta memiliki prosentase masing-masing sebanyak 20 % dan 18 %. Jenis pekerjaan responden memiliki prosentase yang tidak jauh berbeda sehingga diharapkan dapat memberikan penilaian pengelolaan sampah secara lebih obyektif.
5.6.4 Pengukuran Indeks Persepsi Masyarakat
Berdasarkan hasil jawaban kuesioner dari responden kemudian dilakukan pengukuran indeks persepsi masyarakat. Nilai indeks dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata tertimbang masing-masing pertanyaan. Dalam penelitian ini diberikan 6 pertanyaan untuk menilai pelayanan persampahan, setiap pertanyaan mempunyai penimbang yang sama dengan rumus sebagai berikut :
Bobot nilai rata-rata tertimbang = Jumlah Bobot = 1 = 0.17 Jumlah pertanyaan 6
Untuk perumahan Puspa Raya, nilai indeks rata-rata dari masing-masing jawaban adalah sebagaimana Tabel 20 di bawah ini.
Tabel.20 Nilai Indeks Jawaban
No pertanyaan
Total nilai jawaban
Total jawaban terisi Nilai Rata-rata jawaban
(Total nilai jawaban total jawaban terisi)
Nilai Rata-rata terimbang (Nilai rata-rata jawaban X 0.17) 1 35 30 1.17 0.20 2 30 30 1.00 0.17 3 33 30 1.10 0.19 4 60 30 2.00 0.34 5 30 30 1.00 0.17 6 32 30 1.07 0.18 Nilai indeks 1.25
Sumber : Hasil analisis data primer, 2010
Setiap pertanyaan mempunyai dua pilihan jawaban, untuk pilihan jawaban pertama diberi nilai 2 sedangkan pilihan jawaban kedua diberi nilai 1. Total nilai jawaban masing-masing pertanyaan adalah hasil perkalian nilai jawaban dengan jumlah responden yang memilih jawaban tersebut. Untuk pertanyaan pertama total nilai jawaban adalah 35, dan untuk pertanyaan berikutnya nilai jawabannya adalah 30, 33, 60,30 dan 32. Total jawaban terisi adalah jumlah seluruh jawaban dari masing-masing pertanyaan. Dalam penelitian ini setiap responden memberikan jawaban terhadap seluruh pertanyaan sehingga total jawaban terisi untuk masing-masing pertanyaan adalah 30. Nilai rata-rata jawaban adalah hasil pembagian antara total nilai jawaban dengan total jawaban terisi. Nilai rata-rata tertimbang adalah hasil perkalian antara nilai rata-rata jawaban dengan bobot nilai rata-rata tertimbang yaitu 0.17. Nilai indeks sebesar 1.25 adalah jumlah dari seluruh nilai rata-rata tertimbang.
Nilai indeks jawaban persepsi kepuasan masyarakat sebesar 1.25 setelah dikonversi yaitu dikalikan dengan nilai dasar 50 maka diperoleh nilai sebesar 62.5. Dengan nilai konversi indeks sebesar 62.5 maka persepsi masyarakat di perumahan Puspa Raya terhadap mutu pelayanan masih kurang baik.
Untuk perumahan Cimandala Permai, nilai indeks rata-rata dari masing-masing jawaban adalah sebagaimana Tabel 21 berikut .
Tabel 21. Indeks rata-rata jawaban
No pertanyaan
Total nilai jawaban
Total jawaban terisi Nilai Rata-rata jawaban
(Total nilai jawaban total jawaban terisi)
Nilai Rata-rata terimbang (Nilai rata-rata jawaban X 0.17) 1 42 30 1.40 0.24 2 54 30 1.80 0.31 3 44 30 1.47 0.25 4 60 30 2.00 0.34 5 60 30 2.00 0.34 6 33 30 1.00 0.19 Nilail indeks 1.66
Sumber :Hasil analisis data primer, 2010
Untuk pertanyaan pertama total nilai jawaban adalah 42, dan untuk pertanyaan berikutnya nilai jawabannya adalah 54, 44, 60, 60 dan 33. Total jawaban terisi adalah jumlah seluruh jawaban dari masing-masing pertanyaan. Dalam penelitian ini setiap responden memberikan jawaban terhadap seluruh pertanyaan sehingga total jawaban terisi untuk masing-masing pertanyaan adalah 30. Nilai rata-rata jawaban adalah hasil pembagian antara total nilai jawaban dengan total jawaban terisi. Nilai rata-rata tertimbang adalah hasil perkalian antara nilai rata-rata jawaban dengan bobot nilai rata-rata tertimbang yaitu 0.17. Nilai indeks sebesar 1.66 adalah jumlah dari seluruh nilai rata-rata tertimbang.
Nilai indeks jawaban persepsi kepuasan masyarakat setelah dikonversi yaitu dikalikan dengan nilai dasar 50 maka diperoleh nilai sebesar 83.02. Dengan nilai konversi indeks sebesar 83 maka persepsi masyarakat di perumahan Cimandala Permai terhadap mutu pelayanan sudah cukup baik.
Berdasarkan hasil pengukuran indeks di dua perumahan tersebut maka nilai rata-rata indeks adalah 72,76 yang berarti bahwa persepsi masyarakat terhadap pelayanan masih belum terlalu baik.
5.6.5 Informasi mengenai peraturan persampahan
Pendapat masyarakat di perumahan Puspa Raya mengenai informasi peraturan pelayanan persampahan sebanyak 5 orang atau 16 % menyatakan tidak mengetahui mengenai peraturan pengelolaan dan pelayanan sampah dan sebanyak 25 orang atau 84 % mengetahui mengenai peraturan persampahan. Untuk perumahan Cimandala sebanyak 18 orang atau 60 % menyatakan tidak
mengetahui mengenai peraturan pengelolaan sampah dan sebayak 12 orang atau 40 % mengetahui peraturan mengenai pengelolaan sampah.
5.6.6 Sarana dan Prasarana pelayanan persampahan
Sarana dan prasarana pelayanan kebersihan menurut persepsi masyarakat di perumahan Puspa Raya adalah mayoritas atau 97 % atau sebayak 29 orang menyatakan belum cukup memadai, dan hanya 3 % atau 1 orang menyatakan sudah cukup. Untuk perumahan Cimandala Permai sebanyak 80 % menyatakan sudah mencukupi, sedangkan 20 % menyatakan belum cukup.
5.6.7 Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kebersihan/persampahan Kepuasan masyarakat terhadap pelayanan persampahan yang diberikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa untuk perumahan Puspa Raya sebanyak 90 % menyatakan tidak puas dengan dan 10 % menyatakan sudah cukup puas. Sedangkan di Perumahan Cimandala Permai sebanyak 53 % menyatakan tidak puas dan 47 % menyatakan cukup puas. Sehingga bila diakumulasikan maka sebanyak 72 % menyatakan tidak puas dan 28 % puas.
5.6.8 Retribusi pelayanan persampahan
Biaya retribusi yang dibayarkan oleh masyarakat di perumahan Puspa Raya sebesar Rp. 3.000,-/bulan. Berdasarkan hasil kuesioner diketahui bahwa masyarakat menyatakan bahwa biaya retribusi lebih murah dibandingkan dengan pelayanan. Untuk perumahan Cimadala Permai retribusi sampah sebesar Rp.5000,-/bulan. Menurut persepsi masyarakat biaya retribusi sudah sesuai/sepadan dengan pelayanan yang diberikan. Perumahan Puspa Raya termasuk kategori perumahan sederhana dengan luas bangunan 21 M2 s/d 35 M2. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, retribusi untuk perumahan puspa raya adalah Rp. 4.000,-/bulan. Sedangkan untuk perumahan Cimandala Permai termasuk kategori perumahan menengah dengan luas bangunan antara 21 s/d 35 M2, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 tarif retribusi seharusnya Rp.7.500,-/bulan.
5.6.9 Pembedaan Pewadahan
Berdasarkan hasil pengamatan dan kuesioner di perumahan Cimandala Permai dan Puspa Raya belum ada pembedaan pewadahan sampah organik dan anorganik. Sampah yang berasal dari rumah tangga oleh warga perumahan Cimandala langsung dibawa ke TPS. Sebanyak 90 % responden tidak melakukan pemilahan sampah, dan hanya 10 % melakukan pemilahan sampah.
5.7 Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah
Berdasarkan hasil analisis di atas, kebutuhan sarana persampahan di Kabupaten Bogor khususnya di Wilayah Cibinong sangat besar sehingga dana yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor sangat besar. Untuk itu diperlukan alternatif pengelolaan yang melibatkan langsung peran serta aktif masyarakat sehingga jumlah timbulan sampah yang dibuang ke TPA secara bertahap dapat dikurangi. Di wilayah Cibinong telah terdapat peran serta masyarakat dalam penanganan sampah dengan mendaur ulang sampah menjadi kompos dan kerajinan tangan. Warga RT 5 RW 14 perumahan Puri Nirwana 3 Karadenan Cibinong dan warga Rt 4 Rw 12 perumahan Puspa Raya Bojonggegde sudah melakukan penanganan sampah secara mandiri dengan mengaplikasikan 3R (Reduce, Reuse dan Recycle) atau 3M (Mengurangi, Menggunakan kembali, Mendaur ulang). Reduce berarti mengurangi bahan timbulan sampah dengan cara menggunakan bahan yang tidak sekali pakai, contohnya yaitu memilih menggunakan sapu tangan dari pada kertas tisu. Reuse adalah menggunakan kembali barang-barang yang masih dapat digunakan sebelum dibuang, sebagai contoh adalah menggunakan bekas botol air untuk pot bunga, sedangkan recycle artinya upaya mendaur ulang sampah menjadi benda lain yang bermanfaat, contohnya mengubah sampah organik menjadi kompos (Kastaman dan Kramadibrata, 2007).
Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RT 5 perumahan Puri Nirwana 3 dan juga sekaligus sebagai pengelola sampah, kegiatan pengomposan sampah dimulai ketika pada tahun 2008 warga mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupa 2 unit mesin pencacah, 4 unit bak kayu, 3 unit gerobak sampah, 150 unit tong sampah untuk organik dan anorganik, 20 botol komposter dan pembangunan rumah kompos.
Tenaga kerja untuk pengolahan sampah ini sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang tenaga pengangkut dan 1 orang tenaga penggiling sampah. Warga masyarakat juga ikut serta membantu dalam pengolahan sampah menjadi kompos ini. Dana operasional diambil dari iuran warga sebesar 6.000 rupiah per bulan, ditambah dari hasil penjualan kompos. Rumah warga yang terisi di RT 5 ini sebanyak 103 rumah bila dikalikan 6.000 rupiah maka setiap bulan mendapat pemasukan iuran sebesar 618.000 rupiah. Produksi pupuk setiap bulan menghasilkan 600 Kg pupuk kompos. Pupuk tersebut dijual ke perusahaan Kimia Farma untuk perkebunan. Harga jual 1 kilogram kompos sebesar 1.000 rupiah, sehingga bila dikalikan dengan jumlah produksi pupuk sebanyak 600 kg maka menghasilkan 600.000 rupiah untuk satu bulan. Biaya operasional perbulan untuk penanganan sampah adalah sebesar 899.000 rupiah yang meliputi upah tenaga pengangkut dan penggiling, sewa lahan, biaya pemakaian oli dan solar. Sehingga biaya operasional dapat tertutupi dengan biaya iuran warga dan hasil penjualan pupuk kompos. Untuk sampah non organik diberikan kepada pengumpul/pemulung, sebagian sampah plastik berupa bungkus makanan dibuat kerajinan oleh ibu-ibu PKK setempat untuk dijadikan tas, dompet dan taplak meja.
Untuk perumahan Puspa Raya kegiatan 3R berada di RT 4 RW 12 yang dikelola oleh 3 orang. Warga RT 4 tidak dipungut iuran sampah, sehingga biaya operasional pengelolaan dan pengangkutan dilakukan secara swadaya oleh pengelola sampah. Sampah organik dijadikan kompos dalam bentuk padat, granule (butiran) dan cair, sedangkan pupuk non organik seperti plastik dijual kepada pihak lain.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus 3R setempat diketahui bahwa masalah yang umum dihadapi dalam pengelolaan 3R adalah :1) Masih ada keengganan warga masyarakat untuk memilah sampah, 2) Pemasaran produk hasil 3R, 3) Pemerintah daerah belum memberikan bantuan yang mencakup seluruh kebutuhan sarana 3R.