Fitna: Antara Propaganda anti Islam dan Representasi Realita Oleh: M. Syahril Sangaji
Mahasiswa S2 Communication & Development. Ohio University, USA
Tepat 20 tahun, sebuah informasi sesat kembali mengguncang dunia Islam. Setelah Salman Rushdie menggegerkan dunia dengan buku Ayat-Ayat Setan pada tahun 1988, kini
Fitna, sebuah film dokumenter karya anggota parlemen Belanda, Geert Wilders kembali menampar wajah Islam dan bahkan memicu perdebatan di dalam masyarakat Belanda sendiri.
Lalu kenapa Wilders begitu gigih membuat dan mempublikasikan film dokumenter yang justru telah ditolak pemutarannya dari dalam negerinya sendiri? Lalu bagaimana juga seyogyanya umat Islam menyikapi film dokumenter tersebut? Tulisan ini akan mencoba
menjawab dua pertanyaan penting tadi dengan menggunakan pisau analisa tekstual (textual analysis) terhadap film Fitna.
Konteks
Menurut Alan Mckee (2003), konteks merupakan aspek penting yang akan membantu kita menganalisa sebuah “teks” (baca; film). Elemen-elemen dalam konteks ini termasuk
situasi atau kebutuhan tertentu yang mendorong anggota parlemen Wilders menulis teks Fitna kemudian memproduksinya. Juga yang tak kalah penting untuk diteliti adalah siapa Wilders
ini dan siapa target audiensnya. Elemen-elemen yang mengelilingi pembuatan film ini akan memberikan kita informasi yang berguna dan dapat dipertangungjawabkan dalam
menjelaskan kenapa isi dan alur film Fitna ini dikonstruksi dan dipresentasikan sedemikian
rupa. Sehingga kemudian bisa kita ambil pelajaran positif dari sisi negatif yang diangkat film fitna.
Pertentangan Ideologi
negative. Bahkan para pembuat film dokumenter berlomba-lomba memproduksi film-film bertema Islam. Serial film dokumenter seperti America at Crossroads yang dirilis PBS
(Public Boradcast Service) pada April 2007, yang mana salah satu serinya, Struggle for the Soul of Islam: inside Indonesia, mengangkat cerita pergulatan Islam moderat vs. Islam radikal di Indonesia. Tema yang sama juga pernah dipotret dalam film Islam vs. Islamists
garapan Martyn Burke yang ditarik dari jadwal tayang PBS karena pemerintah Amerika yang diwakili WETA (Washington Educational Training Association) dan PBS memperdebatkan
cara pandang Burke terhadap Islamists (Islam fundemantalis) yang secara ideologis dianggap menguntungkan Islam.
Begitu banyaknya film dokumenter tentang Islam, tentunya tak lepas dari konteks
keamanan internasional pasca runtuhnya komunis, yang oleh Barat dianggap sedang berada dalam ancaman terorisme Islam. Peristiwa pemboman oleh jihadis Islam dalam satu dekade
terakhir telah menimbulkan rasa cemas negara-negara Barat. Sebelum serangan 11
September, telah terjadi serangan bom terhadap kedutaan Amerika di Nairobi, Kenya dan Dar es Salam, Tanzania pada tahun 1998 yang mana sekitar 5000 orang mengalami luka-luka dan
300an orang terbunuh secara keseluruhan. Setelah peristiwa 11 September, hampir setiap tahun bom-bom diledakkan oleh kelompok jaringan Al-Qaida dengan sasaran wilayah yang
dianggap sebagai simbol Barat, contohnya bom Bali 2002, Casablanca Maroko 2003, bom Madrid 2004, dan pemboman London 2005. Serangkaian terror bom oleh kelompok Islam radikal ini telah ikut melahirkan suasana Islamofobia di masyarakat Barat, tentu saja
termasuk di dalamnya adalah masyarakat Belanda yang diwakili oleh Wilders, sang sutradara Fitna.
kelompok-kelompok Islam fundamentalis dan turunan-turunannya walaupun sering berbeda dan berubah-ubah, tetap saja mereka memiliki satu tujuan, yakni memotong demokrasi
sampai ke akar-akarnya. Oleh Islamis, demokrasi dianggap sebagai produk buatan manusia oleh karenanya tidak kompatibel dengan syariat Islam yang merupakan ciptaan Allah atau Allahucracy. Semangat kebangkitan Islam ini yang kemudian oleh Barat diterjemahkan
sebagai ancaman baru terhadap ketentraman dunia. Islam pun digeneralisir sebagai ideologi tandingan dari demokrasi Barat yang perlu dimusuhi. Tesis clash of civilization-nya
Huntington pun seperti terbukti telah menjadi kenyataan, Islam kini berbenturan dengan Barat.
Wilders dan Islam
Walaupun terlahir sebagai keturunan Kristen-Yahudi, Geert Wilders bukanlah seorang penganut agama tertentu alias Atheist. Wilders diyakini mulai terekspos dengan Islam secara
langsung ketika ia mengunjungi Iran di tahun 1999 dalam sebuah tugas kenegaraan ketika diperbantukan tugas di parlemen. Pada tahun 2004, Wilders terpaksa cabut dari partainya People’s Party for Freedom (VVD) karena tidak setuju dengan kebijakan partainya yang
menyetujui masuknya Turki ke dalam Uni Eropa. Tahun 2004 ini juga seorang sutradara film Belanda Theo Van Gogh yang juga pengritik keras Islam dibunuh oleh seorang imigran Islam
keturunan Maroko. Rasa simpati mendalam terhadap Van Gogh sekaligus kemarahannya terhadap imigran Islam saat itu ikut membuat keselamatan jiwanya dalam keadaan bahaya. Ditambah lagi gambar kartun nabi Muhammad yang dipajang di situs web-nya semakin
membuatnya diancam kelompok ekstremis Islam, bahkan dalam kurun dua hari ia mendapat ancaman pembunuhan sebanyak 40 kali.
Didapati juga bahwa akhir-akhir ini, Wilders, dalam pidato-pidatonya sering mengeluh akan semakin tumbuh suburnya Islam di Belanda, bahkan katanya jumlah masjid akan segera
melebihi jumlah gereja di Belanda sebelum masyarakat Belanda sadar. Katanya lagi jika orang Islam ingin diterima di Belanda maka mereka harus merobek sebagian ayat-ayat Qur’an yang mengajarkan kebencian dan kekerasan.
Fitna
Kepercayaan Wilders terhadap tesis Huntington bahwa Islam tidak sesuai dengan
nilai-nilai Barat kemudian menjadi kenyataan setelah menyaksikan serangkaian peristiwa terror atas nama Islam yang disponsori jaringan Al-Qaida dan kelompok extremis Islam lainnya terhadap dunia Barat. Kejadian-kejadian terror ini jugalah yang memperkuat teori
Wilder bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan kebencian terhadap non-Muslim. Wilders mulai terlihat membenci Islam setelah kejadian Serangan 11 September. Namun,
pembunuhan Van Gogh oleh seorang imigran Islam Maroko lah yang semakin meyakinkan dia bahwa Islam lewat Qur’an mengizinkan umatnya menggunakan kekerasan kepada non-Muslim.
Pengalaman-pengalaman buruk Wilders dengan Islam yang diungkapkan dalam kalimat provokatif dan nada kebencian di atas akhirnya ia lampiaskan dalam karya
dokumenter yang ia beri judul Fitna (Fitnah). Apa yang ia terima selama ini mengenai informasi Islam adalah melalui pengalaman-pengalaman buruknya berhadapan dengan ekstremis Islam. Lalu ia tampilkan akumulasi pengalaman dan kesaksian buruk tersebut
dalam sebuah persepsi Fitna, sebuah dokumenter propaganda anti Islam. Lesson Learned
suci Al-Qur’an pun dijadikan sumber legitimasi kebenaran film Fitna bahwa Islam adalah sama dengan kekerasan. Lalu apa reaksi umat Islam setelah melihat atau mendengar cerita
film ini. Apa yang perlu dilakukan umat Islam Indonesia ketika membaca seruan Wilders di akhir filmnya “stop islamization!” dan “the Islamic ideology has to be defeated now.”
Reaksi dan tanggapan yang paling elegan dari umat Islam tentunya bukan dengan cara
meneror mereka yang terlibat dalam pembuatan film berdurasi 16 menit tersebut, lalu mengancam akan membunuhnya. Bukan pula dengan cara berdemonstrasi dan membakar
bendera Belanda atau mensweeping turis-turis Belanda di jalan-jalan. Tentulah ini bukan cara yang Islami. Jika cara-cara kekerasan yang dipilih sebagai reaksi terhadap Fitna maka
Wilders dan para Islamofobia di Barat akan semakin yakin bahwa Islam yang sesungguhnya
adalah Islam yang dipotret dalam film Fitna itu. Sebaliknya jika umat Islam mampu menunjukkan reaksi yang tidak berlebihan dan dikemukakan secara intelektual dalam
menyikapi Fitna maka tesis Wilders tentang Islam menjadi gugur dengan sendirinya. Film Control Room (Jehane Noujaim) dan Reel Bad Arabs (Jack Shaheen) merupakan contoh film dokumenter yang bereaksi elegan terhadap persepsi sempit media Barat dalam memotret
Islam. Mereka berani memperkenalkan ke komunitas Barat perspektif lain yang menggugat mainstream media Barat mengenai Islam.
Pelajaran lain yang bisa dipetik adalah bahwa sebagian cerita Fitna, khususnya mengenai ceramah-ceramah agama yang menyebarkan kebencian terhadap non-Muslim ada benarnya. Artinya dalam umat Islam sendiri harus belajar menerima kritik dan melakukan
refleksi internal bahwa memang ada sesuatu yang salah dalam pendidikan dan pengajaran agama Islam sejak kecil. Ceramah-ceramah provokatif baik di masjid atau di tempat-tempat