• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman and Panduan Penyelesaian Kredit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pedoman and Panduan Penyelesaian Kredit"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DALAM PRINSIP SYARIAH

A. PERJANJIAN KREDIT DALAM PERBANKAN DAN HUKUM PERDATA

Dalam Pasal 8 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut dengan “UU Perbankan”) secara tegas menerangkan bahwa Bank umum wajib memiliki dan menerapkan Pedoman Perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan kemudian dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan tersebut dimana:

a) Pemberian kredit harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;

b) Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utang-utangnya;

c) Bank wajib menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

d) Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

e) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitor atau pihak terafiliasi; dan f) Bank wajib menetapkan aturan tentang cara-cara penyelesaian sengketa.

(2)

Bahwa perjanjian kredit wajib dituangkan ke dalam perjanjian tertulis, maka asas kebebasan berkontrak memungkinkan kebebasan seluas-luasnya yang diberikan Undang-undang kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan ketertiban umum. Hal tersebut timbul dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

B. WANPRESTASI SEBAGAI PENYEBAB KREDIT BERMASALAH

Bahwa perlu diketahui terdapat 3 (tiga) golongan wanprestasi diantaranya adalah berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

1. Wanprestasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata:

Seorang debitur yang dianggap lalai dengan dibuktikan oleh surat terguran atau surat perintah atau surat sejenis lainnya dimana debitor dianggap tidak melaksanakan kewajibannya dengan jangka waktu yang ditentukan. Debitor yang dianggap lalai berdasarkan KUHPerdata tersebut adalah:

a) Tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan; b) Melaksanakan sebagian dari apa yang telah diperjanjikan; c) Terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan; d) Keliru melakukan kewajiban yang telah diperjanjikan; dan e) Melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian.

2. Wanprestasi menurut peraturan perbankan:

Yang disebut sebagai wanprestasi dalam perbankan adalah suatu kredit yang tergolong macet berdasarkan SK Direktur BI Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 dimana atas wanprestasi tersebut bank memiliki hak tagih terhadap debitornya yang telah menunggak pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari.

(3)

Bahwa oleh karena pemberian kredit merupakan suatu perjanjian pinjam-meminjam dimana pengembalian kredit oleh debitor adalah suatu pemenuhan prestasi, maka apabila debitur tidak dapat melakukan pembayaran cicilan kredit setelah jangka waktu yang telah ditentukan maka perbuatan tersebut disebut perbuatan wanprestasi.

Bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak antara kreditor dan debitor dapat bebas menentukan pengaturan jangka waktu dan bentuk wanprestasi dalam perjanjian kredit, bisa saja para pihak menentukan di dalam perjanjian kredit tersebut apabila debitor 1 (satu) kali terlambat atau tidak membayar cicilan kredit sebelum jangka waktu perjanjian berakhir dapat diberlakukan suatu percepatan pembayaran seketika oleh karena dianggap telah melakukan wanprestasi.

Bahwa berdasarkan hal tersebut, maka menimbulkan hak kepada kreditor untuk meminta pelunasan hutang yang diikuti dengan jaminan umum oleh Bank selaku Kreditor berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.

Dalam pasal 1131 KUHPerdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, merupakan jaminan pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan, harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya.

C. PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DARI DEBITOR WANPRESTASI YANG DIBENARKAN OLEH HUKUM

Cara penyelesaian atau penagihan hutang piutang dari debitor wanprestasi yang dibenarkan menurut hukum:

(4)

Bahwa kreditor berdasarkan perjanjian kredit memiliki hak untuk melakukan penagihan kepada debitor melalui surat somasi atau surat teguran atau mendatangai atau mengundang debitor yang telah dianggap melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang disepakati, dengan cara yang diperbolehkan oleh hukum dengan nilai kepatutan dan kewajaran misalnya dengan melakukan somasi atau teguran atau undangan atau mendatangi tempat debitor tersebut.

Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, apabila upaya kreditor tersebut dianggap telah melanggar hak keperdataan dari debitor, maka seorang debitor juga dimungkinkan oleh hukum untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan rasio legis ketentuan Pasal 163 HIR melalui gugatan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) pada Pengadilan atau laporan tindak pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan dan/atau Ancaman Dengan Kekerasan (Pasal 335 Jo. 368 KUHPidana) pada Kepolisian.

Namun apabila hal tersebut terjadi, tidak perlu dikhawatirkan oleh kreditor karena kreditor yang memiliki hak tagih terhadap debitor berdasarkan perjanjian kredit yang sah dapat melakukan pembuktian negative dimana kreditor diberikan hak yang sama oleh Pasal 163 HIR untuk menjawab dan membuktikan tidak adanya unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau tindak pidana dimaksud.

b. Melakukan Eksekusi Penjualan Jaminan Kebendaan atas Perjanjian Kredit melalui Pelelangan Umum atau penjualan langsung di bawah tangan tanpa melalui Pengadilan:

(5)

Kreditor berdasarkan hak jaminan yang bertitel eksekutorial dapat melakukan Eksekusi langsung berdasarkan jaminan yang menggunakan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti kekuatannya sama dengan kekuatan putusan pengadilan yang bersifat tetap. Irah-irah ini memberikan titel eksekutorial dan berarti akta tersebut dapat langsung dieksekusi tanpa harus melalui suatu putusan pengadilan. Karena itu, yang dimaksud dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah sertifikat jaminan seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti, yakni dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan dengan cara memohon penetapan dari ketua pengadilan untuk melakukan eksekusi. Ketua pengadilan akan memimpin eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara yang berlaku.

Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

1. Pasal 6 jo. Pasal 20 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan secara menjual sendiri jika debitur cidera janji (wanprestasi).

(6)

Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 (2) dan (3) UU Hak Tanggungan. Inti dasar dari pasal ini adalah adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang akan menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar pada daerah yang bersangkutan serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi). Jaminan Fidusia ini wajib didaftarkan pada lembaga fidusia agar kreditor memperoleh sertifikat jaminan fidusia dan memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor cidera janji atau wanprestasi.

Eksekusi jaminan fidusia ini dapat dilakukan dengan cara atau melalui pelelangan umum (parate eksekusi) pada lembaga pelelangan umum (kantor lelang), di mana hasil pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran tagihan penerima fidusia. Parate eksekusi lewat pelelangan urnum ini dapat dilakukan tanpa melibatkan Pengadilan sebagaimana diatur pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

(7)

a) Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi fidusia (debitor) dengan penerima fidusia (kreditor);

b) Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;

c) Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

d) Diumumkan dalam sedikitnya dua surat kabar yang beredar di daerah tersebut; dan

e) Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis.

c. Gugatan/Permohonan Melalui Arbitrase Syariah atau Pengadilan Agama atau Pengadilan Niaga (Tergantung Kepada Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kredit).

Bahwa alasan diajukannya gugatan/permohonan pada badan Peradilan ini dapat dilakukan apabila hasil penjualan objek jaminan yang telah diuraikan di atas tidak dapat menutup seluruh hutang yang ada dan sisa hutang yang masih ada tersebut dapat dimintakan pengembaliannya melalui badan Peradilan ini.

a) Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Badan Arbitrase Syariah

(8)

Dalam upaya hukum melalui Basyarnas ini kreditor tidak mengajukan istital “gugatan” selayaknya dalam peradilan umum melainkan mengajukan upaya hukum dengan istilah “Permohonan” dan produk putusan pada Basyarnas tersebut bukan berupa “Putusan” melainkan “Penetapan”.

Penetapan Badan Arbitrase Syariah tidak bisa dilaksanakan begitu saja, SEMA No. 8 Tahun 2008 menentukan syarat-syarat tertentu. Pertama, dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal Penetapan Badan Arbitrase diucapkan, lembar asli atau salinan otentik Penetapan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya ke Panitera Pengadilan Agama. Kedua, penyerahan dan pendaftaran dilakukan dengan mencatat dan menandatangani pada bagian pinggir atau akhir penetapan. Ketiga, arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan penetapan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter kepada Panitera Pengadilan Agama.

Prosedur tersebut harus dilaksanakan. Jika tidak, bisa berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.

Bahwa oleh karena putusan Arbitrase ini bersifat final and binding yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht van geweisd), maka logika hukumnya upaya hukum yang dapat dilakukan atas ditolaknya gugatan ini adalah melalui Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung RI.

Mengenai alur proses pemeriksaan perkara pada Badan Arbitrase Syariah Nasional ini dapat dilihat sebagai berikut :

a. Pendaftaran dan Penyampaian Permohonan

(9)

Mediasi dilakukan paling lama selama 40 hari kecuali para pihak menyepakati lain, artinya jika para pihak yang bersengketa menyepakati untuk mediasi dilakukan kurang dari 40 hari diperbolehkan. Jika mediasi berhasil maka dibuatkan akta perdamaian.

c. Pemeriksaan Permohonan

Jika mediasi gagal maka pemeriksaan dilanjutkan dengan agenda jawaban termohon dimana termohon wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu 30 hari dan dapat diperpanjang 1 kali selama 15 hari.

d. Replik Pemohon

Pemohon wajib menyampaikan Replik dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya jawaban dari termohon.

e. Duplik Termohon

Termohon wajib menyampaikan Duplik dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya Replik dari Pemohon.

f. Pemeriksaan bukti-bukti Pemohon dan Termohon

Pada tahap ini Majelis Arbiter memeriksa bukti-bukti Pemohon dan Termohon yang ada relevansinya dengan perkara. Alat bukti tersebut dapat berupa pengakuan, saksi, saksi ahli dan dokumen yang dianggap ada relevansinya dengan perkara.

g. Penyampaian kesimpulan

Pemohon dan Termohon menyampaikan kesimpulan dan Majelis Arbitrase menetapkan tanggal pembacaan putusan

h. Pembacaan Putusan

Majelis Arbitrase membacakan putusan sesuai dengan agenda tanggal pembacaan putusan.

i. Pelaksanaan Putusan

(10)

b) Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pengadilan Agama

Sejak tahun 2006 penyelesaian sengketa perbankan syariah beralih menjadi kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Eksekusi putusan Pengadilan Agama didasarkan oleh Permohonan eksekusi dari Penggugat/Kreditor dengan terlebih dahulu mengabulkan sita eksekusi dan kemudian Ketua Pengadilan memerintahkan atau mengeluarkan penerapan kepada kantor lelang untuk dapat melaksanakan penjualan jaminan kredit dimuka umum untuk melunasi utang debitor kepada kreditor. Proses pemeriksaan perkara dalam Pengadilan Agama ini sama dengan proses pemeriksaan perkara pada Pengadilan Umum biasa.

Bahwa apabila gugatan melalui Pengadilan Agama ini ditolah, maka upaya hukum lanjutan yang dapat dilakukan adalah upaya hukum Banding pada Pengadilan Tinggi, Kasasi pada Mahkamah Agung RI, sampai dengan Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung RI.

Mengenai alur proses pemeriksaan perkara pada Pengadilan Agama ini adalah sebagai berikut :

a. Pendaftaran Gugatan

(11)

sidang dan perkembangan perkara di Pengadilan Agama dapat diakses secara online melalui situs resmi Pengadilan Agama.

b. Sidang pertama

Dalam sidang pertama ini hakim mencocokkan identitas para pihak yang berperkara dan menunjuk mediator.

c. Mediasi

Mediasi dilakukan dengan jangka waktu 40 hari, kecuali disepakati lain oleh para pihak yang bersengketa. Mediasi dipimpin oleh seorang mediator yang ditunjuk dalam sidang pertama. Apabila terjadi kesepakatan perdamaian maka dibuatkan akta perdamaian oleh Majelis Hakim.

d. Sidang kedua

Ketika perdamaian tidak tercapai maka sidang dilanjutkan dengan agenda pembacaan gugatan dari Penggugat.

e. Sidang ketiga

Agenda sidang ini adalah pembacaan Jawaban dari Tergugat. f. Sidang Keempat mengajukan Duplik atau untuk tidak mengajukan Duplik

h. Sidang Keenam

Pemeriksaan Bukti-bukti Penggugat dan Tergugat. Alat bukti yang dapat diajukan adalah :

- Alat bukti surat

- Alat bukti Keterangan 2 orang saksi - Alat Bukti Persangkaan

(12)

Permohonan melalui Pengadilan Niaga ini dapat dilakukan dengan tidak mengesampingkan ketentuan Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (“UUK”) dimana debitor wajib memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh 2 (dua) atau lebih kreditornya. Dalam hal ini kreditor pemegang Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia ini digolongkan sebagai Kreditor Separatis.

Bahwa sejak diperolehnya putusan pailit dari Pengadilan Niaga, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UUK, kreditor separatis tidak perlu khawatir bilamana debitornya dinyatakan pailit oleh suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

(13)

Bahwa apabila ditolaknya permohonan pernyataan pailit dalam perkara ini oleh Pengadilan Niaga, maka upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh Pemohon Pailit adalah melalui upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

d. Choice of Forum Penyelesaian Perkara Perbankan Syariah Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Yang Membatalkan Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.

MK membatalkan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur tentang pilihan sengketa antara nasabah dan pihak bank. Alasannya, adanya dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai akad yang tidak bertentangan prinsip syariah.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi Pasal 55 ayat (2) yang dibatalkan oleh MK adalah sebagai berikut :

“Penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di Pengadilan Agama. Disamping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak.”

(14)

Sedangkan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama secara tegas dinyatakan peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk sengketa ekonomi syariah. Praktik penyelesaian sengketa ekonomi syariah hukum harus memberikan kepastian bagi nasabah dan unit usaha syariah dalam penyelesaian perbankan syariah.

Karena itu, menurut MK Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Termasuk juga hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Jadi dengan adanya putusan ini kedepannya sengketa yang menyangkut perbankan syariah harus diselesaikan di Pengadilan Agama.

Pengujian Pasal 55 ayat (2), UU Perbankan Syariah ini diajukan seorang nasabah Bank Muamalat, Dadang Achmad. Ia menilai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2)-nya dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam praktik perbankan syariah merupakan kewenangan pengadilan agama.

Sementara ayat (2) membuka ruang para pihak yang terikat akad untuk memilih peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik perbankan syariah. Hal ini dinilai MK menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, agar mencerminkan adanya kepastian hukum seharusnya Pasal 55 ayat (2) harus dinyatakan batal.

(15)

Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Yang Membatalkan Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan absolut (mutlak) Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama sebagaimana yang diamanahkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

b. Pihak-pihak yang melakukan akad dalam aktifitas perbankan syariah yakni Bank Syariah dan nasabah dapat membuat pilihan forum hukum (choice of forum) jika para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketanya melaui Pengadilan Agama, namun hal tersebut harus termuat secara jelas dalam akad (perjanjian), para pihak harus secara jelas menyebutkan forum hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa. Jadi pencantuman forum hukum yang dipilih oleh para pihak dalam akad (perjanjian) menjadi suatu keharusan.

c. Walaupun para pihak dalam membuat akad (perjanjian) mempunyai asas kebebasan berkontrak (freedom of making contract) dan menjadi Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunt servanda), namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan (kewenangan) mutlak (absolut) bagi suatu badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa, karena undang-undang itu sendiri mengikat para pihak yang melakukan perjanjian.

(16)

namun secara non litigasi para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan forum penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional yang putusannya bersifat final dan binding.

e. Para pihak tidak lagi terpaku dalam menyelesaikan sengketanya secara non litigasi pada musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lainnya, tetapi dapat juga menempuh proses non-litigasi lainnya seperti konsultasi, negosiasi (perundingan), konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan, pendapat atau penilaian ahli.

DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku

Ahmad Ifham, Ini Lho Bank Syariah, Kompas Gramedia, Jakarta, 2015

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta, 2009.

H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Herowati Poesoko, Dinamika Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja

PressindoYogyakarta, 2013.

Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas, Gramedia, Jakarta, 2010.

(17)

Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, 2001. Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar, Jakarta, 2008. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Grafiti, Jakartam 2010.

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014. Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2014.

Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan Herziene Indonesich Reglement (HIR).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar 5 dapat dijelaskan bahwa kegiatan yang dimasukkan dalam lingkup Sistem Informasi E-Office Agenda Promosi yaitu : 1 Proses input data Agenda dan Penugasan

tingkat kepuasan masyarakat semakin meningkat. Pimpinan unit kerja diharapkan selalu memberikan pengarahan kepada bawahannya serta mengirimkan stafnya untuk

Sedangkan menyangkut aparatur hukum adalah Sumber Daya Manusia yang merupakan salah satu permasalahan dalam penerapan dan penegakan hukum di Mahkamah Syar’iyah.. Hal mana

Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis dan inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan

Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam perlu membentuk

Puji Syukur dipanjatkan kehadirat Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat diselesaikannya skripsi yang berjudul “Faktor- Faktor

Guru menggerakkan pion kekotak berikutnya dijalur papan ular tangga sesuai jumlah angka pada dadu, kemudian menyebutkan gambar yang ada pada jalur papan ular tangga dimana pion

Untuk mengukur kadar bilirubin serum dalam pelaksanaan inisiasi menyusu dini bayi baru lahir di ruang Khadijah Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Kendal subjek