• Tidak ada hasil yang ditemukan

WARIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WARIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ESSAY

WARIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Upaya Mereinterpretasi Khazanah Keislaman di Tengah Hiruk-Pikuk Modernitas Global1

Oleh: Miftahul ‘Ulum2

Abstraksi

Adagium yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan li al-‘alamin adalah salah satu prinsip dasar di dalam Islam. Jargon ini menjadi fondasi yang membangun agama Islam menjadi rumah yang nyaman bagi siapa saja dengan dasar egaliter dan demokratis yang selalu dijunjung tinggi. Sebagai pemangku wewenang dan pranata ideal moral, Islam memiliki aspek utama yakni normatif dan historis yang menjadi formula dalam menetapkan hukum dan memberi batasan-batasan terhadap umat Islam untuk menjalankan proses keberagamaannya sehari-hari.

Problematika kehidupan manusia yang dinamis menjadi tugas berat yang harus di-handle dengan bijaksana dan berupaya agar dapat dicarikan solusinya tanpa menimbulkan permasalahan baru dan mendatangkan kemaslahatan seluas-luasnya. Sumber-sumber agama dan khazanah keilmuan Islam harus diposisikan sebagaimana mestinya yakni sebagai otoritas tertinggi secara institusional dan moral tidak mudah karena heterogenitas masyarakat yang terus berkembang dari masa ke masa.

Di era global ini, Islam dihadapkan pada modernitas dan idealisme yang dijunjung tinggi oleh sebagian kalangan yang sudah barang tentu tidak dapat dicegah untuk tidak masuk ke komunitas Islam. Isu-isu kontemporer yang galibnya dibawa dan dikampanyekan oleh Barat menjadi tantangan tersendiri bagi Islam untuk selalu terjaga dan waspada agar tetap mampu memagari seluruh umat Islam dari ancaman-ancaman ideologi dari luar. Salah satunya adalah isu tentang gender yang menjadi topik utama di dunia modern.

Isu gender sebenarnya bukan masalah baru di kalangan umat manusia. Namun, isu ini kemudian menjadi trend di antara rentetan isu-isu kontemporer yang mendapat porsi yang cukup banyak dari para tokoh intelektual tidak terkecuali sarjana muslim. Dan tema yang akan kita angkat dalam tulisan ini adalah soal waria sebagai satu di antara isu problematis di kalangan masyarakat.

A. Latar belakang dan persoalan dasar: waria, berkenalan lebih dekat

Dalam Islam, tidak ada dalil yang benar-benar eksplisit tentang eksistensi waria. Jika berbicara soal jenis kelamin, Islam hanya memberikan definisi dan konsepsi yang membaginya ke

1. Essay ini disusun sebagai salah satu Take Home Exam dalam mata ujian Pendekatan dalam Pemikiran islam yang diampu oleh Drs. Yusdani, M.Ag.

(2)

dalam dua kategori besar yakni pria dan wanita. Konsep ini juga diamini oleh semua agama dan instansi-instansi lain yang terkait seperti keilmuan kedokteran dan lain sebagainya.

Akan tetapi dalam aspek implementasinya, waria muncul sebagai suatu fenomena tersendiri di kalangan masyarakat. Meskipun secara mendasar, jenis kelamin mereka secara kodrati adalah pria, namun naluri dari komunitas atau kategori sosial3 yang menamakan diri mereka waria ini

memiliki kecenderungan pada femininitas selayaknya wanita. Bahkan tidak jarang anatomi tubuh mereka pun lebih mengarah pada fisik perempuan.

Fenomena kaum waria merupakan sebuah paparan realitas yang tidak dapat disangkal eksistensinya di kalangan masyarakat. Dan selama ini, waria hidup dalam subordinasi yang tidak jarang menimbulkan pesakitan baik secara psikis maupun fisik. Kebanyakan masyarakat hanya melihat mereka sebelah mata dan dengan mudahnya melakukan penghakiman dan penghukuman yang dapat dikatakan kurang manusiawi kepada mereka. Mereka distereotip dan dilabeli sebagai kaum marginal yang menyimpang dan menyalahi norma-norma yang ada.

Memang, pandangan dan anggapan masyarakat terhadap waria mendapatkan legitimasi hukum dari berbagai pihak termasuk agama Islam dengan dalil-dalil yang ada seperti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut:

“Ibn Abbas ra. berkata, bahwa Rasulullah Saw. melaknat seseorang yang menyerupai perempuan dari laki-laki dan seseorang yang menyerupai laki-laki dari perempuan.”(HR. Bukhari)4

Dalil di atas sebenarnya sudah sangat jelas dan terbuka terkait waria. Namun, kita masih perlu menggali lebih dalam untuk dapat menyimpulkan fenomena yang sudah sangat jamak di kalangan masyarakat ini. Kita tidak boleh serta merta hanya mengandalkan dalil-dalil tertentu tanpa melakukan upaya pencarian dalil-dalil lain secara komprehensif dan holistik. Terlebih lagi bahwa waria tidak lahir dari ruang kosong yang tanpa dinamika. Kita masih perlu untuk mengenal lebih jauh bagaimana latar belakang dan motivasi serta bagaimana mereka menjalankan kehidupan mereka sehar-hari untuk lebih dapat menangkap permasalahan yang ada di dalam diri kaum waria tersebut.

Dalam diskursus tentang waria, di sana kita dapat mengidentifikasi beberapa persoalan dasar yang melingkupi waria seperti permasalahan genetik (biologis), psikologis dan juga sosial. Hal ini tentu saja tidak dapat hanya diputuskan secara simple dan hanya dengan sedikit pertimbangan yang terkadang sangat subjektif dan tendensius. Bagaimana kemudian kita dituntut untuk bergerak bersama mencari solusi terbaik dalam kasus yang memang sangat dilematis ini.

B. Upaya merumuskan problem mapping dan analisis

Sebagai langkah lanjutan, kita perlu merumuskan problem mapping untuk menangani dan mencarikan jalan keluar baik secara argumentasi religius, akademis maupun argumentasi sosiologis yang menjadi titik awal yang tidak boleh dilewatkan. Dan setelah melakukan eksplorasi dan

3. Kategori sosial adalah kesatuan manusia yang terjadi karena adanya suatu ciri atau suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan pada para warga atau anggotanya. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, jilid 1, cet. III (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 124.

(3)

elaborasi, berikut beberapa areal yang sangat krusial dalam menelaah fenomena waria dalam perspektif Islam:

Pertama, kita harus mengetahui aspek historis dari waria itu sendiri. Bagaimana proses kronologis dari kemunculan sampai mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Kedua, aspek normatif yang menjadi koridor hukum yang memayungi segala aspek kehidupan umat beragama. Adakah tekanan-tekanan khusus untuk menyelesaikan permasalahan waria ditinjau dari dalil-dalil agama yang komprehensif dan terakhir adalah aspek sosiologis. Taruhlah jika keberadaan waria adalah salah satu bentuk patologi sosial, maka sudah adakah langkah praktis untuk menggiring mereka ke trek yang benar yang bertemakan kewajaran dan kelaziman sosial.

Sudah menjadi rahasia umum, jika kita berbicara soal waria, maka ungkapan-ungkapan yang mencuat adalah stigma-stigma negatif terhadap mereka seperti diskriminasi, marginalisasi dan bahkan alienasi. Jika kita menyambangi dunia mereka, maka realitas yang mengitari kehidupan seorang waria sangat penuh dengan ketidak adilan, ketidak perhatian dan cenderung dibenci dan diajdikan bahan caci-maki. Stigma tersebut sudah menjadi pemandangan yang hampir dapat kita temukan di setiap lingkungan waria di manapun mereka berada. Dalam masyarakat selama ini hanya dikenal dua kategori gender, laki-laki dan perempuan. Maka munculnya jenis seksual yang lain seperti waria mempunya ketidakjelasan posisi dan latar belakang ini jelas menjadi problem.5

Topik-topik yang diangkat pun sangat beragam, mulai dari topik biologis, psikologis, sosiologis dan lain sebagainya.

Posisi waria yang seolah selalu disalahkan dan dipojokkan oleh masyarakat baik di dalam maupun di luar lingkungan dimana mereka tinggal dan bersosialisasi menimbulkan keresahan bagi beberapa pihak yang masih memiliki atensi dan empati terhadap keberadaan waria. Tindakan-tindakan nyata digalakan untuk setidaknya mendudukkan problematika ini secara terbuka dan menyeluruh sehingga dapat ditemukan titik dimana waria sebagai pihak yang inferior, dan masyarakat pada umumnya sebagai pihak yang superior.

Bentuk-bentuk pengucilan dalam berbagai sektor kehidupan mereka seperti ekonomi, pendidikan, politik, budaya dan juga agama yang seharusnya mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip yang menyangkut dengan keadilan dan egalitarian umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Agama sebagai rumah besar umat manusia seharusnya menyadari bahwa di luar yang teratur ada ketidak teraturan, di luar yang lurus ada juga yang berbelok dan di balik yang linier ada pula yang kontroversial. Menurut hemat saya, kasus waria ini termasuk yang terakhir yakni kontroversial. Dimana untuk memandangnya kita menemukan dua jalan yang berseberangan dan cenderung kontradiktif. Di satu sisi, waria adalah bagian dari umat yang harus dilindungi dan diayomi, dan di sisi yang lain, karena ketidak ikutan mereka dalam norma-norma yang selayaknya, maka kita juga berhak untuk menasehati dan mengembalikan mereka ke jalan yang seharusnya.

Dalam Islam, kedua sudut pandang di atas adalah sebuah bentuk upaya penghormatan kepada waria. Islam tidak memiliki legitimasi untuk tidak melakukan tindakan yang positif terhadap waria sebagaimana Islam melihat dan menindak laki-laki dan perempuan. Terlebih jika kita melihat jargon-jargon yang kemudian menjadi jati diri agama Islam, yakni agama rahmat dan agama yang anti penindasan. Kedua aspek ini akan menjadi ironi ketika Islam justru ikut-ikutan mendiskriminasikan dan bahkan memarginalisasikan mereka.

(4)

Dalam kerangka normatf – teologis, Islam berbicara cukup banyak mengenai waria melalui hadis-hadis Rasulullah Saw. Dalil-dalil inilah yang di sini akan dipaparkan dan dikaji kaitannya dengan posisi dan eksistensi waria. Dalam al-Qur’an sendiri tidak ada nash yang secara eksplisit menyinggung persoalan waria, untuk itulah elaborasi dalil akan lebih mengarah pada dalil-dalil nabawi atau hadis dan juga pandangan-pandangan hukum Islam dari berbagai referensi.

Sedangkan dilihat dari aspek sosial, sebelumnya telah disinggung beberapa tanggapan masyarakat terhadap waria. Stigma-stigma lain tentang waria adalah soal penyimpangan seks, prostitusi dan kehidupan malam yang sarat dengan penyimpangan nilai-nilai positif. Meskipun demikian, gebyah-uyah tersebut tidaklah serta-merta bisa dibenarkan karena nyatanya tidak semua waria berkubang di lingkungan tersebut. Terkadang, stigmatisasi berbanding lurus dengan generalisasi. Pandangan inilah yang seharusnya diluruskan.

Dalam psikologis, dikenal beberapa gejala kewariaan. Pertama, transeksualis, yaitu seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. Kedua, tranvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya dan mendapat kepuasan seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Dan ketiga, hermafrodit, yaitu orang yang mempunyai dua jenis kelamin atau tidak kedua-duanya.6 Ketiga klasifikasi gejala waria ini tentu berbeda satu saa lain dan sangat

memunginkan untuk ditindaklanjuti secara berbeda berbeda pula.

Persoalan yang tidak kalah penting adalah bahwa semua perbedaan dalam diri manusia tidak terlepas dari proses-proses yang rumit, mulai dari penciptaan melalui proses reproduksi di dalam kandungan, pola pengasuhan orangtua, pengaruh lingkungan dan lain sebagainya. Mau tidak mau, dialektika dalam semua tahapan ini harus dikaitkan satu sama lain dan dilibatkan dalam proses pertimbangan dan pemberian status hukum teradap waria.

Manusia yang lahir dalam keadaan normal jenis kelaminnya sebagai pria atau wanita karena mempunyai alat kelamin satu berupa zakar (penis) atau farj (vagina) yang normal karena sesuai dengan organ kelamin dalam, tidak diperkenankan oleh hukum Islam melakukan operasi ganti kelamin.7 Hal ini karena itu akan mengingkari sunnatullah kepada hamba-Nya tersebut. Adapun

dalil-dalil syar’i yang mengharamkan operasi ganti kelamin bagi orang yang lahir normal jenis kelaminnya antara lain QS. al-Hujurat: 13 dan al-Nisa’: 119. Sedangkan dari hadis adalah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan enam imam hadis lainnya dari Ibn Mas’ud yang berbunyi:

“Allah mengutuk para wanita tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan bulu muka, yang meminta dihilangkan bulu muka, dan para wanita yang memotong (pangur) giginya; yang semuanya itu ia lakukan dengan maksud untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.”

(HR. Bukhari).8

Penekanan yang dapat ditemukan dari dalil-dalil di atas adalah bahwa merubah apa yang telah ditkdirkan dan dikodratkan oleh Allah tidak dapat dirubah untuk kepentingan-kepentingan individual, duniawi dan di luar kepentingan syar’i. Di samping itu, Islam juga mengharamkan seseorang yang karena lingkungannya memiliki kelainan seksual seperti berpakaian dan bertingkah

6. Zunly Nadia, Waria: Laknat atau Kodrat?..., hlm. 3.; Lihat juga Koeswinarno, Komunikasi Sosial Kaum Minoritas: Studi Kasus Waria di Yogyakarta (The Toyota Foundation, 1993), hlm. 52 – 56.

(5)

laku yang bertentangan dengan jenis kelaminnya. Karena ini bukanlah permasalahan organ tubuhnya yang tidak normal, melainkan hanya psikis atau kejiwaannya saja yang tidak normal. Dan oleh karenanya, kelainan mental ini harus disembuhkan melalui pendekatan kejiwaan dan keagamaan.

Salah satu landasan dalil yang memperbolehkan operasi kelamin adalah salah satu kaidah ushul fiqh “lijalb al-mashlahah wadaf’ al-mafsadah” (untuk mengusahakan kemaslahata dan menghilangkan kemudlaratan). Kaidah ini berlaku untuk kondisi-kondisi tertentu yang pada kesempatannya akan lebih menjerumuskan seseorang dengan kelainan fisik atau psikis tersebut ke dalam jurang yang lebih dalam. Maka jika alat yang digunakan memungkinkan menyembuhkan mereka, operasi pun boleh dilaksanakan. Terlebih, kebancian alami ini dapat dikategorikan sebagai penyakit yang menurut pandangan Islam wajib berikhtiar mengobatinya.9

Adapun untuk mereka yang lahir tidak normal jenis kelaminnya, hukum melakukan operasi kelaminnya tergantung kepada keadaan organ kelamin luar dan dalam, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Pertama, apabila seseorang punya organ kelamin ganda (penis dan vagin) dan juga memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas wanita, maka untuk memperjelas identitas kelaminnya, ia boleh melakukan operasi pengangkatan penis. Akan tetapi ia tidak diperbolehkan mengangkat vaginanya karena berlawanan dengan organ bagian dalam. Kedua, apabila seseorang punya organ kelamin satu yang kurang sempurna bentuknya, misalnya mempunyai vagina yang tidak berlubang dan ia punya ovarium, maka ia dianjurkan untuk operasi.

Adapun dalam hukum positif di Indonesia, pada tahun 1978, Departemen Kesehatan mengadakan seminar operasi jenis kelamin yang melahirkan beberapa kesimpulan, yaitu: pertama, boleh dilakukan dengan alasan bahwa kemampuan ilmu dan teknologi memungkinkan, ada indikasi medis yang kuat (darurat), setelah mencoba cara lain dan gagal dan telah dipersiapkan untuk jangka waktu tertentu. Kedua, pada hermaphroditisma (khuntsa musykil), operasi dapat dilakukan semata-mata untuk mempertegas jenis kelamin yang bersangkutan. Dan ketiga, pada masalah transeksualisme (perasaan kontradiktif antara kelamin dan jiwanya), keadaan ini juga membolehkan operasi dengan catatan “darurat”.10

Perubahan status hukum dari waria (dalam hal ini berkelamin ganda) menjadi pria atau wanita setelah operasi perbaikan kelamin dapat dibenarkan oleh Islam karena dua sebab yang utama. Pertama, pada hakikatnya, Allah hanya menjadikan manusia terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita sebagaimana tersurat dalam QS. al-Nisa’: 1 dan al-Hujurat: 13. Kedua, hadis Nabi yang menyebutkan bahwa Rasulullah hanya memutuskan hukum berdasarkan yang tampak.

Perlu diketahui, bahwa di kalangan fuqaha’, waria yang dalam istilah fiqh disebut khuntsa

dirumuskan sebagai orang yang mempunyai organ kelamin ganda yang berbeda (organ kelamin pria dan wanita) atau tidak mempunyai sama sekali (tidak jelas identitas jenis kelaminnya). Apabila ia mempunyai indikasi-indikasi yang lebih cenderung menunjukkan ke jenis kelamin kelelakiannya atau sebaliknya, maka ia disebut khuntsa ghair musykil. Misalnya, di samping ia memiliki kelamin

9. Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer..., hlm. 143 – 145.

(6)

ganda, ia kencing melalui penis dan juga memiliki kumis selayaknya pria, maka ia dikategorikan sebagai pria dan begitupun sebaliknya pada wanita.

Namun apabila khuntsa tersebut tidak mempunyai indikasi atau ciri khas yang dapat menunjukkan ke arah jenis kelamin tertentu, atau ia mempunyai indikasi atau ciri yang kontradiktif, maka ia disebut khuntsa musykil. Jika khuntsa jenis ini dioperasi, maka status hukumnya disesuaikan dengan identitas jenis kelaminnya setelah operasi.11

Jika menelusuri sejarah waria, memang belum tercatat secara pasti. Namun demikian, beberapa informasi menyebutkan bahwa dalam sejarah bangsa Yunani sudah ada kaum waria. Di abad pertengahan, beberapa tokoh besar dunia juga dianggap sebagai waria seperti Raja Henry III (Prancis), Abbe de Choisy (Duta Besar Prancis di Siam), Lord Cornbury (Gubernur New York pada 1702). Mereka berdandan layaknya perempuan. Menurut catatan, mereka adalah laki-laki yang berjiwa perempuan, dengan pakaian perempuan dan lebih senang dianggap perempuan.12 Jadi keliru

jika kita mengatakan bahwa gejala waria muncul akibat gelombang modernisasi.

Satu hal lagi yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa kecenderungan seksual merupakan bawaan sejak lahir, sedangkan orientasi seksuallah yang sangat terkait dengan lingkungan sekitar. Sama halnya bahwa kecenderungan agama pada setiap manusia adalah melalui perjanjian primordial. Sedangkan orientasi beragama sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana umat beragama itu tinggal.13dari sini dapat ditarik suatu pengertian bahwa waria lebih condong pada

orientasi seksual yang keliru, terlepas dari beberapa pengecualian seperti cacat fisik dan lain sebagainya.

Jadi, dalam diri manusia dorongan-dorongan jasmaniah itu adalah hal yang lumrah. Mereka mempresentasikan rasa ingin puas dan senang. Ketegangan dan tekanan yang kemudian muncul dengan adanya dorongan-dorongan tersebut juga berbeda. Mereka bisa terlbat konflik ketika bertabrakan satu sama lain atau ketika berhadapan dengan kenyataan darri dunia luar yang tidak bisa diubah.14 Permasalahan yang muncul adalah ketika ia dibenturkan dengan permasalahan agama

yang tentu saja sudah baku dan mengikat.

Dorongan-dorongan jasmaniah maupun dorongan apapun yang terdapat dalam diri manusia harus mampu menyesuaikan dengan koridor yang telah ditentukan oleh agama. Selain itu, hasrat dan kemauan manusia tentu tidak dapat dibebaskan secara liar, ada norma dan tuntutan sosial yang juga harus diperhatikan karena ia hidup di dalamnya dan di tengah-tengah masyarakat sosial yang memiliki peraturan.

Adalah wajib bagi kita semua untuk mengingatkan setiap orang yang melakukan perbuatan-perbuatan terlarang, meninggalkan kewajiban, atau sesuatu yang terdapat di dalam kewajiban. Demikian pula kita wajib memperintahkan pada peraturan-peraturan dan perbuatan-perbuatan utama.15 Konsep ini sering kita kenal dengan amar ma’ruf nahi munkar yang telah menjadi salah

satu pilar utama dalam Islam.

11. Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer..., 2009), hlm. 140 – 141 12. Zunly Nadia, Waria, Laknat atau Kodrat?..., hlm. 51.

13. Zunly Nadia, Waria, Laknat atau Kodrat?..., hlm. 75.

14. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hlm. 90 – 91.

(7)

Sebagai implikasi dari kebebasan manusia, Fazlurrahman meyakini bahwa kesesatan yang dialami manusia desebabkan oleh manusia itu sendiri. Misalnya, kekafiran mereka sebagaimana termaktub dalam QS. al-An’am: 49, atau karena mereka melanggar batas seperti dungkapkan dalam QS. all-Baqarah: 59 atau sebab-sebab lain yang banyak disebutkan oleh al-Qur’an.16

Dalam sumber yang sama, menurut Fazlurrahman, ada hubungan yang erat antara kebebesan manusia di satu sisi dan tugas moral yang harus diemban manusia pada sisi yang lain. Sehingga al-Qur’an dan hadis sebagai satu adequate framwork yang dapat menjamin terjadinya energi kreatif manusia yang maksimal (kebebasan) dan sekaligus menjaga kreativitas tersebut agar tetap berada dalam saluran moral yang benar.17

C. Reinterpretasi dan rekonstruki khazanah keislaman sebagai solusi di era neoliberalisme

Mungkinkah di era modern yang serba dimanjakan oleh berbagai fasilitas di bidang tekhnologi informasi, di tengah derasnya arus globalisasi dan gencarnya agresi materialisme ini, kita dapat menghadirkan dan merekonstruksi kembali pola kepribadian yang berbasis ketuhanan? Permasalahannya bukanlah mungkin atau tidak mungkin, melainkan mau atau tidak mau. Umat Islam harusnya mau menevolusi dan mentransformasikan dirinya untuk menjadi manusia yang ideal menurut konsep Islam, yakni insan kamil.18

Islam datang menawarkan solusi kohesif dan komprehensif yang mampu mengakomodir segala permasalahan yang muncul di tengah-tengah umat manusia. Meskipun pada dasarnya, Islam kini hanya bermodalkan teks-teks bisu namun upaya menyuarakan teks-teks tersebut menjadi petuah dan nasihat yang nyata dan sejalan dengan realitas yang ada terus digalakan di tengah gempuran era global yang cukup membabibuta.

Kritisisme melalui pembacaan teks-teks keagamaan identik dengan pembacaan tradisi, karena teks dapat dikatakan sebagai fiksasi atau pemadatan dari suatu wacana maupun tuturan.di sinilah teks sebagai realitas maupun realitas sebagai teks dapat ditempatkan.19 Kedua hal ini

sama-sama memiliki peluang untuk dipahami dan ditafsirkan hingga kemudian dapat ditarik signifikansinya dalam berbagai konteks.

Menurut Nashr Hamid Abu Zayd, penafsiran, baik berdasarkan rasio (Muktazilah) maupun berdasarkan intuisi (Sufi) tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor sosial – politik dan kultural dimana penafsir berada.20 Meskipun ia memaksudkan argumentasi ini untuk menafsirkan al-Qur’an,

16. Abd A’la, dari Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlurrahman dalam Wacana Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 144.; lihat juga Fazlurrahman, Major themes of the Qur’an, hlm. 19.

17. Abd A’la, dari Modernisme ke Islam Liberal..., hlm. 147.

18. Rachmat Ramadhana Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca al-Qur’an (Yogyakarta: Diva Press, 2008), hlm. 11 – 12.

19. Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual dan Relasi Intertekstualitas dalam Interpretasi Teks al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika al-Qur’an: Mazhab Yogya (Yogyakarta, Islamika, 2003), hlm. 87.; lihat juga T. Borgrevink dan M. Melthus, “Text as Reality – Reality as Text” dalam, Studia Theologia (1989), hlm. 35 – 59.; Umberto Eco, the Limit of Interpretation (Bloomington and Indianapolis University Press, 1990), hlm. 21.

(8)

al-namun secara prinsip, kita dapat menarik sebuah pemahaman bahwa jika kita ingin memahami sebuah teks, kita juga harus memahami situasi dan kondisi di mana dan kapan teks itu lahir. Dalam hal ini, teks-teks mengenai waria juga memiliki dimensi ruang dan waktu tersendiri yang harus diketuk dan dimasuki sehingga mampu membuka pemahaman yang komprehensif dan jelas secara historis.

Proyek rekonstruksi dan pembaruan Abu Zayd juga tidak bisa dilepaskan dari konteks wacana keagamaan kontemporer (khususnya di Mesir)21 dalam menyikapi turats (warisan

intelektual) dan gelombang tajdid (pembaruan). Dalam konteks ini, agama dihadapkan pada posisi yang dilematis, antara keharusan mempertahankan identitas diri dan tuntutan modernisasi. Desakan bertubi-tubi dari proses modernisasi pada tingkat sosial, ekonomi, politik, kultural dan intelektual telah memaksa mereka bersikap konservatif – reaktif dan radikal yang menyerukan diterapkannya kembali syariat Islam atau bersikap moderat atas nama pembaruan dan menjadikan Islam sebagai basis ideologinya. Dalam pengamatan Abu Zayd, fenomena ini justru akan menggoyahkan posisi teks keagamaan itu sendiri. Teks lalu berubah fungsi menjadi konsumsi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Di samping itu, pembacaan teks menjadi tidak produktif dan cenderung lebih kepada tendensius – ideologis.22

Hubungan teks dan konteks bersifat dialektis. Teks menciptakan konteks persis sebagaimana konteks menciptakan teks. Adapun makna timbul dari pergesekan antara kedua hal tersebut.23

Interelasi antara budaya dan bahasa dalam bingkai konteks oleh Muhammad Arkoun disebut deengan istilah al-da’irah a-lughawiyah, yaitu ruang bahasa tempat bagi sekelompok manusia untuk menata, merekonstruksi, menimbang dan menyampaikan makna sesuai dengan sejarahnya.24

Di saat pemikiran umat terjebak pada pemikiran pragmatis dan terkotak-kotak pada aliran, berarti hanya akan menampilkan pencaran nilai parsial dari al-Qur’an. Oleh karena itu, untuk memahami al-Qur’an diperlukan redefinisi dan reinterpretasi terlebih dahulu tentang ‘ulum al-din.25

Dari sini kita dapat mengerti betapa urgent-nya kita melakukan pengkajian ulang terhadap warisan keilmuan keislaman yang begitu kaya dan luas. Sehingga kita juga dapat membatasi diri dari akses-akses masuknya neoliberalisme dan produk-produk intelektual Barat lainnya.

Meskipun demikian, memiliki sikap open minded juga harus dilakukan untuk memperluas lagi khazanah keilmuan yang kita punya. Yang terpenting adalah memvondasi diri kita dengan penguatan khazanah keislaman. Adapun terkait khazanah keilmuan dan pemikiran Barat yang sangat liberal dan mungkin juga radikal, kita tetap harus waspada dan pandai memilah-milah mana

Hayah al-Mishriyah al-Ummah li al-Kuttab, 1993), hlm. 6.

21. Kala itu, wacana keagamaan di Mesir terbelah menjadi dua kubu besar yakni Islamis dan Sekularis. Abu Zayd sendiri masuk dalam golongan Sekularis yang sedikit banyak mempengaruhi gaya berpikirnya dalam menginterpretasi khazanah keislaman dan menyikapi budaya Barat yang berkembang saat itu.

22. Sunarwoto, “Nashr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur’an”..., hlm. 105.

23. Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual..., hlm. 91.; Lihat juga MAK Halliday dan Ruqaiya Hasan, Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Hermeneutika Sosial, cet. IV, terj. Asruddin Barori Touu (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994). Hlm. 64.

24. Hilman Latif, “Kritisisme Tekstual..., hlm. 91.; Lihat juga Muhammad Arkoun, Tarikhiyah al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, terj, Hasyim Salih (Beirut: Markaz al-‘Ina’ al-Qawmi, 1989), hlm. 147.

(9)

yang dapat kita ambil dan mana yang tidak perlu kita ambil. Ini yang dinamakan kesadaran inelektual, agar kita tidak serta merta terbawa arus dan tenggelam dalam khazanah keilmuan yang justru bukan berasal dari rahim Islam itu sendiri.

Upaya mensistesiskan kajian Islam dengan disiplin-disiplin ilmu sekular bukanlah hal yang baru di dunia Islam. Tentunya sistesis antara dua atau lebih disiplin ilmu tersebut dilakukan dari masa ke masa dengan memperhatikan perkembangan ilmu yang ada. Pada abad ke – 3 Hijriyah (ke – 9 Masehi), kaum Mu’tazilah menggabungkan teologi Islam dengan filsafat Yunani yang pada saat itu menjadi salah satu ciri dan dominan dalam kajian-kajian keagamaan, sosial dan sains.26

Perpaduan ilmiah ini dilakukan oleh para ilmuan muslim dari waktu ke waktu dengan niatan untuk menyempurnakan disiplin ilmu keislaman itu sendiri dan menjawab tantangan zaman yang sangat dinamis yang menjadi tanggungjawab moral dan juga intelektual bagi Islam dan para pemuka agamanya.

Menurut Sahiron Syamsuddin, paradigma integrasi dan interkoneksi keilmuan yang terutama didengungkan dan dipropagandakan oleh Amin Abdullah merupakan kelanjutan dari paradigma pemaduan ilmiah antara khazanah keislaman dengan khazanah-khazanah modern yang dapat juga dikatakan sebagai produk keilmuan Barat. Pengejawantahan paradigma ini memang perlu terus diintensifkan untuk pengembangan disiplin-disiplin ilmu dalam kajian Islam dan untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu sekuler.27 Hal lain

yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bagaimana langkah untuk menggabungkan, menselaraskan dan mengintegrasikan kedua khazanah keilmuan tersebut tanpa mengurangi esensi dari khazanah keislaman yang selama ini kita junjung tinggi sebagai pedoman dalam setip sendi kehidupan.

Menyikapi permasalah waria, yang sudah merupakan salah satu bagian dari masyakarat, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kompleksitas yang ada di dalamnya menyarankan kepada kita untuk melihat lebih dalam dan memahami lebih jauh lagi tentang apa di balik semua tindakan dan perilaku mereka. Kita tidak bisa serta mrta melakukan tindakan terhadap mereka tanpa menyelami mereka lebih dalam dan hanya menjatuhkan penghukuman dan penghakiman yang sepihak.

Menurtu Ibnu Bajah, perbuatan manusia dibagi menjadi dua. Pertama, perbuatan yang timbul dari motif naluri dan kedua adalah perbuatan yang timbul dari pemikiran lurus dan kemauan yang bersih yang olehnya disebut ‘perbuatan manusia’. Pangkal perbedaan antara keduanya bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, melainkan motif yang ada di baliknya. Ia memberi sebuah analogi dengan seseorang yang terantuk batu dan ia terluka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparny karena telah melukainya, maka perbuatan itu adalah perbuatan hewani yang diniatkan untuk memusnahkan segala yang menggangunya. Namun jika ia melemparnya agar batu itu tidak menggangu orang lain, maka perbuatan ini adalah perbuatan kemanusiaan.28

Peran lingkungan sosial dalam membangun kepribadian seseorang secara individual cukup besar. Perilaku seseorang terkadan sangat berbeda dengan perilaku sosialnya. Seseorang yang penakut terkadang bertindak sangat berani dan beringas ketika ia menyatu dalam perilaku sosial.

26. Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan ‘Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2009), hlm. 69.

(10)

Atau, seseorang yang buruk perilaku individualnya terkadang berperilaku baik ketika ia menyatu dalam perilaku sosial yang baik.29 Inilah salah satu bukti sosiologis bahwa bisa jadi seorang

memutuskan dirinya menjadi waria diakibatkan oleh peran lingkungan yang ada di sekitarnya, dan bukan karena naluri kewanitaannya.

Tiap-tiap perbuatan manusia yang dilakukan secara sadar disebut sebagai kelakuan atau tingkah laku (behavior). Makna senyuman tidak terletak di bibir tetapi jauh di dasar lubu hati seseorang yang tersenyum itu. Demikian dengan pukulan tangan, maknanya tidak hanya pada kerasnya pukulan, melainkan motif yang terkandung dalam perbuatan memukul tersebut. Untuk mengetahui makna tingkah laku seseorang dengan baik dan benar tidak cukup hanya dengan melihat tingkah laku yang tampak, tetapi harus menganalisis dan mendiagnosis dasar-dasar yang menjadi sumber lahirnya tingkah laku tersebut.30

Di antara hal-hal yang mendasari terjadinya tingkah laku adalah insting atau naluri (memelihara diri, seksual dan takut), adat kebiasaan (penyesuaian atau adaptasi), keturunan, lingkungan, motivasi (dorongan antau kontrol batin dari perilaku, kecenderungan dan kepentingan), kesadaran diri, ketajaman hati nurani, cita-cita dan kehendak yang kuat.31 Kaitannya dengan

permasalahan seseorang yang memilih untuk menjadi waria, kita harus tahu ada di golongan yang manakah seseoang tersebut dalam memotivasi dirinya sebagai seorang waria.

Masa yang sekarang sedang kita alami adalah masa materialis, dimana materi dianggap sebagai penguasa dan lambang kekuasaan dengan segala kebaikan dan keburukannya. Masa materialis senantiasa ingin menonjolkan fisik dari ruh, mengutamakan dunia dari akhirat, atau dengan kata lain, mengingkari kehidupan metafisika yang tidak kasat mata, da menyingkirkan semua ajaran agama karena dianggapnya sebagai aliran pemikiran yang menyimpang dari paham materialistis ini.32

Di Dunia Barat, setelah gerakan Zionisme dunia melegalkan penyebaran tindak asusila di masyarakat humanisme sebagai salah satu strateg untuk menghancurkan dan menguasai dunia seperti seks bebas, hubungan seks sejenis, pernikahan sedarah (inses), minuman keras, perjudian, obat-obatan terlarang dan juga tindak penyimpangan seksual lainnya, sebagian besar Dunia Barat mengamini dan menindaklanjuti gerakan ini menjadi lebih masif.33 Bahkan untuk menopang

kampanye ini, mereka menggaet media massa, mendirikan lembaga, organisasi dan perhimpunan lainnya untuk menyebarkan virus liberal dan radikal ini ke seluruh lapisan dunia.

Bagaimana kini gerakan ini sudah sangat masif dan sporadis di hampir seluruh dunia sehingga sangat rawan menularkan ide dan gagasan neoliberalisme ini ke kalangan muslim. Filterisasi yang diupayakan oleh kalangan umat Islam tentu harus lebih dikuatkan lagi mengingat lawan yang mereka hadapi adalah sesuatu yang menawarkan kebebasan dan melenakan. Jika sedikit

29. Rachmat Ramadhana Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca al-Qur’an..., hlm. 100.

30. Rachmat Ramadhana Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca al-Qur’an..., hlm. 113 – 114.

31. Rachmat Ramadhana Banjari, Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca al-Qur’an..., hlm. 114 – 139.

32. Muhammad al-Ghazali, Mengapa Umat ini Mati?, terj, Ahsan Askan (Jakarta: Mustaqim, 2005), hlm. 29.

(11)

saja lengah, bisa jadi akan semakin banyak umat muslim yang terpengaruh dan bergabung dengan aliran-aliran seperti neoliberal, radikal dan lain sebagainya.

Taruhlah jika kasus waria adalah kasus budaya, berikut ada beberapa faktor yang dapat mengantarkan seseorang mengenal dan mendalami budaya ‘waria’ tersebut; pertama, proses internalisasi (belajar mengolah perasaan, hasrat, nafsu dan emosi sehingga membentuk kepribadiannya), proses sosialisasi (adaptasi lingkungan) dan proses enkulturasi (proses penyesuaian dan pembudayaan terhadap adat, sistem norma serta semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan seseorang sehingga menjadi kebudayaannya).34

Jika pendekatan ini dilihat dari pendekatan feminisme. Maka antara Barat dan Islam sangat jelas berbeda sudut pandang. Teori feminisme liberal menganggap bahwa latar belakang dan ketidak mampuan kaum wanita bersaing dengan kaum laki-laki adalah karena kelemahan kaum wanita sendiri, yaitu akibat kebodohan dan irrasional yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional. Sedangkan teori feminisme Islam memberikan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan karya (‘amal). Unsur yang membedakan seseorang dari seseorang lainnya adalah kualitas diri (taqwa), bukan jenis kelamin, warna kulit, etnis, bangsa dan lain-lain.35

Meskipun tidak secara ekspilisit memberikan contoh kasusnya pada waria, namun kesimpulan yang ingin diutarakan adalah bahwa pendekatan-pendekatan sosial yang dilakukan oleh Islam jauh lebih manusia dan masuk akal daripada apa yang dikampanyekan Dunia Barat dengan pendekatan da teori yang diproduksinya dalam menganalisa suatu fenomena. Maka jelaslah bahwa pengoptimalan khazanah keislaman sudah sangat cukup jika tetap menjadi fondasi dan didinamisir dengan khazanah keilmuan yang ada mengikuti arus perkembangan zaman.

Dalam diskursus yang menyandingkan antara Islam dengan kaum feminis yang berbicara mengenai gender, keduanya berbeda pendapat. Islam menetapkan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak seratus persen sama, tetapi didasarkan pada fitrah perbedaan fisik antara keduanya yang memang berkonsekuensi logis dalam hak dan kewajiban. Sedangkan kaum feminis berupaya untuk menghapuskan perbedaan fisik tersebut dan memberlakukan kesamaan tersebut pada semua aspek. Bahkan sekarang mulai merambah pada urusan-urusan pokok keagamaan, seperti imam, hukum waris, pernikahan dan sebagainya. Sebagai contoh keadilan dalam Islam adalah bahwa surga seorang muslimah bergantung pada keridhaan suaminya, namun di sisi lain, mereka juga memiliki hak surga yang digantungkan pada anak laki-laki mereka.36

Salah satu produk pemikiran dari peradaban ini adalah liberalisme. Pemikiran rasional menuntut pembebeasan diri dari kungkungan masyarakat. Kemudian bahkan memberikan individu sebagai nilai tertinggi dalam masyarakat itu. Orang berpendapat bahwa hanya dengan individu yang memiliki kebebasan penuh akan terciptalah kemajuan (individualisme). Bersamaan dengan itu, muncullah pemikiran bahwa semua orang di dunia adalah sama dan bersaudara, yang kemudian dikenal sebagai pendorong tercetusnya Reolusi Perancis dengan semboyannya, liberte, egalite,

34. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi..., hlm. 1142 – 146.

35. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2009), hlm. 221 – 222.

(12)

fraternite. Inilah yang menjadi ikal bakal liberalisme. Sedangkan individualisme dan liberalisme menghasilkan kapitalisme.37

Dan dari sana kemudian muncul aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran Barat yang sangat liberal, radikal dan sekuler, yang mana mereka dalam banyak hal bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan, khususnya Islam. Meskipun hal in bukan merupakan generalisasi, namun kenyataannya gagasan Barat yang dilontarkan dan dipraktekkan oleh mereka seakan bertentangan dengan ghirah yang dibawa Islam. Itulah kenapa sebagai sarjana muslim, mereaktualisasi khazanah Islam jauh lebih baik daripada kita menyibukkan diri dengan menekuni kebudayaan dan tatacara Barat dalam memandang sesuatu.

Keterkaitan teologi, etika dan fiqh merupakan ajaran intrinsik Islam itu sendiri. Jadi, syariah harus didekati dan dipahami dari sisi pengertian keagamaan yang otentik. Dalam bahasa agama, syariah dipakai untuk menunjukkan jalan kehidupan yang baik berupa nilai-nilai agama yang bersumber dari Allah Swt. yang diungkapkan secara fungsional dan dalam arti yang konkret, yang bertujuan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Oleh karena itu, keterkaitan antara akidah, moral dan hukum merupakan realitas dalam kehidupan umat Islam.38

Upaya liberal yang dibawa Fazlurrahman sebagai pembaruan khazanah keislaman mampu memberikan nuansa baru di kalangan sarjana muslim dunia. Ia juga tetap menempatkan al-Qur’an sebagai sumber utama yang dipahami secara utuh, padu dan sistematis. Pendekatan inilah yang dijadikan sebagai sebagai landasan total untuk merumuskan suatu teologi yang sarat dengan muatan nlai-nilai keagamaan sekaligus kemanusiaan universal.39 Gagasan ini kemudian menjadi salah satu

pelopor bagi para sarjana setelahnya untuk lebih berani dan terbuka mengambil ilmu yang bermanfaat sekalipun dari Barat untuk diterapkan dalam khazanah keislaman. Namun yang perlu ditekankan adalah bahwa Fazlurrahman, yang terkenal dengan double movements, tetap mengutamakan kekayaan khazanah Islam itu sendiri.

Kesimpulannya adalah bahwa mereinterpretasi dan merekonstruksi khazanah keislaman yang kaya adalah jawaban yang menurut saya paling benar kaitannya dengan vis a vis antara langkah tersebut dengan berkiblat pada paradigma dan metode berpikir Barat. Islam sebagai agama yang terbuka tentu akan sangat inklusif terhadap buah pikiran dari manapun asal tidak bertentangan dan sejalan dengan prinsip yang disuarakan olehnya.

D. Perlukah merekonstruksi paradigma umum di PTAI di Indonesia?

PTAI adalah lokus dimana calon-calon sarjana muslim berproses dan berkarya. Berbeda dengan lembaga pendidikan di bawahnya, perguruan tinggi lebih menekankan pada kemandirian dalam proses belajar dan lebih memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk mengelola embrio pemikiran masing-masing. Kaitannya dengan pengembangan studi Islam, PTAI bisa jadi adalah lokomotif dimana keilmuan Islam dapat senantiasa dijaga dan dierbarui (muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah).

37. Sayidiman Suryohadiprojo, “Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman” dalam Nurcholish Madjid dkk, islam Universal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 145 – 150.

(13)

Kaitannya dengan studi Islam, sejalan dengan pembidangan ilmu dalam studi Islam, pendekatan40 studi Islam pun mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan ilmu

pengetahuan. Menurut Michel Foucault, manusia pada tiap-tiap zaman menangkap kenyataan dengan cara-cara tertentu, atau dengan caranya sendiri-sendiri. Dengan kata lain, setiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara yang berbeda-beda.41

Para ulama, sebagaimana dikutip Amin al-Khulli, membagi khazanah intelektual Islam ke dalam tiga bagian. Pertama, ilmu yang matang dan final, yaitu ilmu Nahwu dan ilmu Ushul. Kedua, ilmu yang matang tapi belum final, yaitu ilmu Fiqh dan ilmu Hadis. Dan terakhir, ilmu yang belum matang dan belum final, yaitu ilmu Bayan dan Tafsir.42 Opsi yang terakhir ini memang seakan

menjadi komoditas yang paling banyak diminati oleh sarjana muslim masa kini, dimana porsi penalaran yang cukup besar membuka peluang bagi mereka untuk merejuvenasi pemikiran dan khazanah keislaman agar selalu up to date dan mampu diterima anak-anak zaman.

Salah satu topik penafsiran yang belum menemukan titik temu yang mencukupi adalah teks-teks tentang gender atau dalil-dalil misoginis yang salah satunya mengenai waria. Kasus ini tetap hangat diperbincangkan di banyak kalangan sebagai sebuah wacana yang belum terselesaikan dan masih menimbulkan banyak problematika, baik yang secara langsung maupun tidak berhubungan dengan waria.

Menurut Khoiruddin Nasution, ciri penelitian yang muncul akhir-akhir ini adalah penelitian yang sangat kecil dan spesifik. Kekhawatiran muncul dalam studi-studi yang sangat sesifik ini, termasuk dalam studi Islam, yakni kedangkalan wawasan atau kedangkalan tinjauan. Untuk menjembatani kekhawatiran ini, maka dimunculkanlah analisis diakronik, sinkronik dan sistem nilai (budaya). Maksud diakronik adalah penelusuran sejarah dan perkembangan suatu fenomena yang sedang diteliti. Adapun sinkronik adalah kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti. Dalam contoh penelitian konsep riba Muhammad ‘Abduh, diakroniknya adalah membahas kajian-kajian lain tentang riba, sedangkan sinkroniknya adalah sosial kehidupan ‘Abduh dan tokoh-tokoh yang pernah meneliti riba.

Sedangkan sistem nilai adalah sistem nilai atau budaya sang tokoh dan budaya dimana dia hidup. Maka penelitian dengan teori diakronik, sinkronik dan sistem budaya adalah penelitian yang menelusuri latar belakang dan perkembangan fenomena yang diteliti lengkap dengan sejarah sosio – historis dan nilai budaya yang mengitarinya. Dalam sosiologi, alat analisis ini juga dikenal dengan alat analisis sejarah atau sosial.43

40. Pemahaman tentang pendekatan terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, dan masih dibagi dua, berarti dipandang atau dihampiri dengan, dan cara menghampiri atau memandang fenomena (budaya, sosial) kalau dipandang dengan, maka pendekatan menjadi paradigma, sedang kalau cara memndang atau menghampiri dengan, pendekttan menjadi perspektif atau sudut panjang. Kedua, pendekatan berarti dispilin ilmu. Misalnya pendekatan sosiologis berarti mengkaji dengan menggunakan disiplin ilmu sosiologi. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 190.; ada juga istilah lain yang dekat dengan pendekatan yaitu episteme dan wacana. Episteme adalah cara manusia menangkap, yaitu cara manusia memandang dan memahami fenomena. Lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 21.

41. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 190 – 191.

42. Sunarwoto, “Nashr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur’an..., hlm. 103.; lihat juga Amin Khulli, “Tafsir” dalam Ahmad Santawi (ed.), Da’irah Ma’arif al-Islamiyah, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) hlm, 365.

(14)

Kaitannya dengan penelitian tentang waria dalam framework studi keislaman, pendekatan yang harus dipakai adalah pendekatan yang kompleks seperti pendekatan normatif, yuridis dan humaniora. Sehingga hasil dari penelitiannya pun akan mencakup ketiga aspek yang sangat penting dari waria yang menjadi satu fenomena yang cukup problematis dan dilematis.

Pendekatan normatif adalah memandang dari sudut legal – formal dan atau normatifnya. Maksud legal – formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak dan sejenisnya. Sedangkan normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung di dalam nash. Pendekatan normatif memiliki beberapa teori yang cukup populer seperti teologis – filosofis dan normatf – sosiologis atau sosio – teologis. Intinya adalah untuk mengeluarkan intisari dari sebuah teks keagamaan yang mendalam dan sesuai dengan konteks sosial tertentu.44

Pendekatan yuridis atau sosiologi hukum juga perlu dipakai dengan menggunakan teori yang ada di dalamnya seperti teori hegemoni Antonio Gramsci.45 Atau teori stigma Erving Goffman

yang memaparkan teorinya dengan tga tahapan. Pertama, minoritas (hukum baru) tunduk sepenuhnya kepada konsep mayoritas (hukum lama). Kedua, minoritas menerima secara kritis konsep mayoritas dan ketiga, konsep minoritas menolak konsep mayoritas dan menampilkan konsep sendiri yang dianggap ideal. Teori-teori lain yang dapat diterapkan dalam pendekatan yuridis adalah teori pengakuan, teori konflik dan sebagainya.46

Adapun pendekatan ilmu-ilmu sosial – humaniora meliputi pendekatan sosiologi, antropologi, gender, sejarah, filologi dan lain sebagainya. Kaitannya dengan kasus waria, mungkin pendekatan paling primer dapat menggunakan pendekatan gender. Analisis gender adalah alat analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori, tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan, serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori atau analisis sosial lainnya.47

Bisa jadi kesemua pendekatan sosial humaniora ini dapat digabungkan menjadi satu pendekatan yakni pendekatan sosiologi agama, yaitu pendekatan yang mempelajari hubungan resiprokal antara agama dan masyarakat. Pendekatan ini mempelajari bagaimana agama mempengaruhi masyarakat, dan boleh jadi masyarakat mempengaruhi konsep agama.48

Sa’adia bin Joseph, tokoh Yahudi abad pertengahan, mengatakan bahwa agama memerlukan akal untuk menjelaskan dan mempertahankannya. Dengan perkataan lain, seperti yang dikatakan oleh Munk juga, akal apabila dibandingkan dengan wahyu maka akal mempunyai peranan yang kedua. Karena itu wahyu tidak perlu terlalu takut kepada akal, bahkan akal merupakan sandaran dan pembantunya.49

Dalam mengkaji sebuah studi, perlu adanya aktivitas indisipliner50 untuk mendapatkan hasil

pemikiran dan riset yang komprehensif. Teks-teks keagamaan menjadi sangat welcome pada setiap

44. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 197 – 199.

45. Teori hegemoni yaitu melihat interaksi pemberlakuan hukum baru terhadap hukum lama muncul teori mayor dan minor. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 200.

46. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam..., hlm. 200 – 201. 47. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam.., hlm. 219.

48. M. Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 15 – 16.

(15)

pendekatan yang dijadikan kunci untuk membuka wawasan baru di dalamnya. Studi terhadap teks-teks keagamaan dapat saja menggunakan pendekatan-pendekatan yang sama sekali modern seperti pendekatan gender seperti yang dilakukan oleh Aminah Wadud Muhsin dalam bukunya, al-Qur’an and Women (1993/1999).51 Dan waria menjadi salah satu variabel dalam kajia gender. Jadi, akan

sangat tepat jika memahami teks-teks agama dari sudut pandang gender.

Di Indonesia, pendekatan intertekstualitas diperkenalkan secara akademis oleh Quraish Shihab52. Meskipun ia menujukan pendekatan ini dalam memahami teks al-Qur’an. Namun

kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa dalam upaya memahami sebuah teks, terkadang kita membutuhkan teks lain untuk menyingkap apa yang belum jelas daripadanya.

Menurut hemat saya, perlukah PTAI merekonstruksi paradigma keilmuan yang selama ini berlaku? Perlu, maksudnya, bahwa keilmuan harus selalu menjadi pengawal era. Paradigma yang patuh terhadap pemikir-pemikir Islam terdahulu harus dijauhi jika PTAI tetap ingin menjadi motor pemikiran dan gerakan pembaruan khazanah keislaman di tengah arus global yang penuh tantangan.

Khazanah keislaman sangat kaya dan memiliki peluang yang sangat besar untuk digali dan dikembangkan. Kita harus selalu peka terhadap wacana-wacana yang berada di tengah-tengah masyarakat untuk kita carikan jalan keluar yang terbaik dan mengembalikan kesenjangan-kesenjangan yang ada menjadi rahmah untuk semesta.

Bibliografi:

Al-Qur’an al-Karim

Al-Qur’an Digital. Versi 2.1 (2004)

A’la, ‘Abd. 2003. Dari Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlurrahman dalam Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer.Yogyakarta: Teras

Almusawa, Nabiel F. The Islam Way: 25 Solusi Islam untuk Permasalahan Masyarakat Modern. Bandung: Arkan Publishing

Arkoun, Mohammed. 1994. Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru.

Jakarta: INIS

Arkoun, Muhammad. 1989. Tarikhiyah al-Fikr al-‘Arabi al-Islami. terj, Hasyim Salih. Beirut: Markaz al-‘Ina’ al-Qawmi

50. Istilah aktivitas interdisipliner dikenalkan oleh Roland Barthes sebagai salah satu unsur terpenting dalam sebuah riset. Salah satu aktivitasnya adalah dengan dekonstruksi disiplin-disiplin lama dan merekonstruksinya menjadi penalaran baru. Lihat Nur Ichwan, “Beberapa Gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis” dalam Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur’an..., hlm. 236 -237.

51. Nur Ichwan, “Beberapa Gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis..., hlm. 239.

(16)

Atmojo, Kumala. 1986. Kami Bukan Lelaki. cet. II. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Banjari, Rachmat Ramadhana al-. 2008. Membaca Kepribadian Muslim seperti Membaca al-Qur’an. Yogyakarta: Diva Press

Bisri, A. Mustofa. 2005. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista

Borgrevink, T. & M. Melthus. 1989. “Text as Reality – Reality as Text”. dalam Studia Theologia

Eco, Umberto. 1990. The Limit of Interpretation. Bloomington and Indianapolis University Press

Fazlurrahman. Major themes of the Qur’an

Ghazali, Muhammad al-. 2005. Mengapa Umat ini Mati?. Terj. Ahsan Askan. Jakarta: Mustaqim

Halliday, MAK & Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Hermeneutika Sosial. cet. IV. terj. Asruddin Barori Touu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Penerbit Paramadina

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. jilid 1. cet. III. Jakarta: Rineka Cipta.

Koeswinarno. 1993. Komunikasi Sosial Kaum Minoritas: Studi Kasus Waria di Yogyakarta. The Toyota Foundation

Madjid, Nurcholish dkk. 2007. Islam Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Mudzhar, M. Atho’. 1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nadia, Zunly. 2005. Waria: Laknat atau Kodrat?. Yogyakarta: Pustaka Marwa

Najjar, Zaghlul al-. 2006. Pembuktian Sains dalam Sunnah. Terj. Zainal Abidin & Syakirun Ni’am. Jakarta: Amzah

Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia + Tazzafa

Pals, Daniel L. Pals. 2011. Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD

Santawi, Ahmad al- (ed.). Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah. vol. 5. Beirut: Dar al-Fikr

Software al-Qur’an untuk Microsoft Word

Syamsuddin, Sahiron dkk. 2003. Hermeneutika al-Qur’an: Mazhab Yogya. Yogyakarta, Islamika

(17)

Thahir, ‘Abdullah bin Husain bin. 1997. Menyingkap Diri Manusia: Risalah Ilmu dan Akhlak. cet. II. terj. Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah

Referensi

Dokumen terkait

Melihat fakta diatas menunjukkan bahwa teknik relaksasi progresive yang dilakukan sangat bermanfaat untuk menurunkan tingat kecemasan, dalam hal ini kecemasan siswa

Pada penelitian ini, metode Progressive Cache dioptimasi dengan merubah strategi cache replacement yang digunakan untuk lebih meningkatkan performa jaringan CCN yang

Konstitusi tersebut membangkitkan minat baru berkenaan dengan doktrin yang termuat dalam dokumen-dokumen terdahulu tentang kesaksian dan kehidupan orang-orang Kristen

Berdasarkan hasil kuesioner pada gambar 18 dan 19 diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar siswa/siswi dapat menggunakan aplikasi ini dengan mudah,

ANALISIS BIT ERROR RATE (BER) UNTUK MODULASI BPSK DAN QPSK PADA KINERJA JARINGAN WIMAX 802.16e.. Diajukan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi dan efektivitas Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Aceh Singkil Pada Era Otonomi Daerah, sejak

Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Biologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis

Dalam penelitian tugas akhir ini, jadwal kegiatan dapat dilihat pada. tabel 1.1 untuk pengumpulan data dan penyusunan laporan tugas