• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__Full text Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat Indonesia dan TimorLeste: Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL T1 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__Full text Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat Indonesia dan TimorLeste: Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL T1 Full text"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat

Indonesia Dan Timor-Leste

(Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse

RDTL)

Oleh :

Idalia N.A. De Sousa

372013003

ARTIKEL

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi

Program Studi Hubungan Internaional

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN KOMUNIKASI PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi :Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat Indonesia Dan Timor-Leste (Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia danDistrik Oecuse RDTL)

Nama : Idalia N.A. de Sousa Nim : 372013003

Program Studi : Hubungan Internasional

Disetujui oleh,

Dosen Utama Dosen Pendamping

Dr.Ir. SriSuwartiningsih, M.SI Christian H.J. de Fretes, S.IP.MA

Diketahui oleh Disahkan oleh, Kaprogdi, Dekan,

Dr.Ir. SriSuwartiningsih, M.SI Drs. Daru Purnomo, M.SI Disetujui pada tanggal :

Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

(5)

1

Peran Tokoh Adat dalam Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Darat

Indonesia Dan Timor-Leste

(Studi Kasus Batas Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse

RDTL)

Idalia N.A. De Sousa

1

, Sri Suwartiningsih,

2

Christian de Fretes

3 ABSTRACT

Indonesian and Timor-Leste are countries that frequently did a various cooperation, but it’s

possible that Indonesian and Timor-Leste face a problem related to Naktuka village and

Oecusse District Bounderies.

The purpose of the study is the author wants to describe the problem among Indonesia and

Timor-Leste bounderies through traditional adres role (Study case of Naktuka village and

Oecusse District bounderies). This research use a qualitative method, the type of research is

interview and observation.

The results of this study is the problem among Naktuka village and Oecusse District

bounderies includes severd things specifically location, form area, forms and arguement

among two countrie. In this case traditional leaders have a very important role to resolve the

problem among Naktuka village (Indonesian) and Oecusse District (Timor-Leste)bounderies.

Keywords : Traditional leader, Naktuka village and Oecusse District bounderies,

Constructivism

1

Sarjana Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitan Kristen Satya Wacana 2017

2

Staff Pengajar FISKOM UKSW

3

(6)

2

1. PENDAHULUAN

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk di era moderenisasi ini mengkondisikan

negara untuk melakukan kerjasama dalam memenuhi kepentingannya masing-masing.

Namun tidak menutup kemungkinan bahwa negara yang melakukan kerjasama akan

mengalami permasalahan terkait masalah wilayah perbatasan negara seperti yang terjadi pada

Indonesia dan Timor-Leste. Dimana kedua negara ini secara langsung mempunyai batas

wilayah yang dekat. Secara sejarahnya Timor-Leste dulu pernah dijajah oleh bangsa Portugis

pada abad ke 16 yang dulu dikenal sebagai Timor Portugis. Setelah terlepasnya Portugis dari

Timor-Leste, Indonesia mengambil bagian dalam hal menjadikan Timor-Leste sebagai salah

satu provinsi ke 27 yang dulunya diberi nama Timur. Pada tahun 1975-1999

Timor-Leste melakukan integrasi sehingga pertengahan tahun 1999 Timor-Timor-Leste memutuskan untuk

melepaskan dirinya dari Indonesia, setelah pelepasan Timor-Leste berada dalam pengawasan

PBB selama 13 tahun dari tahun 1999-2012.4

Pasca kemerdekaan Timor-Leste, berupaya menunjukan bahwa mereka mampu

berdiri sendiri sebagai suatu negara dengan kedaulatan tanpa adanya intervensi dari pihak

manapun. Dengan begitu kedua negara ini berupaya untuk menyelesaikan permasalahan batas

wilayahnya. Ada lima titik batas wilayah antara Indonesia dan Timor-Leste, dari kelima titik

tersebut dua titik batas telah terselesaikan namun masih menyisahkan tiga batas yang belum

ada penyelesaian dua diantaranya adalah unresolved segmen dan unsurvey yaitu di Distrik

Oecusse dan Desa Naktuka. Sejauh ini pemerintah dari kedua negara belum melakukan

tindak lanjut dalam permasalahan batas wilayah tersebut. Dengan begitu masyarakat serta

tokoh-tokoh adat di wilayah perbatasan antara Distrik Oecusse dan Desa Naktuka berusaha

untuk meminimalisir permasalahan yang terjadi antar kedua distrik tersebut guna

mendapatkan titik terangnya.

Sejarah perbatasan Timor Barat dan Timor-Leste diawali dari perebutan wilayah

antara Portugis dan Belanda dalam memperebutkan dominasi perdagangan kayu cendana di

Pulau Timor yang berlangsung pada tahun 1701 hingga 1755, yang kemudian melahirkan

4

(7)

3

kesepakatan “Contract of Paravinici“ pada tahun 1755 dimana Belanda dan Portugis sepakat membagi Pulau Timor menjadi dua bagian yaitu bagian Barat yang berpusat di Kupang

menjadi milik Belanda dan bagian Timur yang berpusat di Dili menjadi milik Portugis. Pada 1 Oktober 1904 sebuah konvensi bernama “A Convention for The Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Islands of Timor“ ditandatangani oleh kedua belah pihak di Den

Haag, yang kemudian dilanjutkan proses ratifikasi secara serentak oleh pihak Portugis dan

Belanda pada 29 Agustus 1908. Konvensi tahun 1904 inilah yang kemudian dianggap sebagai

perjanjian legal yang telah menyelesaikan berbagai perbedaan di seputar masalah perbatasan

antara Belanda dan Portugis, khususnya di Pulau Timor.5

Menurut kesepakatan tersebut, Portugis secara formal mengakui sebagian besar dari

bagian barat Timor sebagai Timor Belanda. Kendati demikian status Oecusse dipandang

sebagai kekecualian dari pembagian Timur Barat, dikarenakan arti penting historisnya bagi

Portugis, khususnya sebagai situs dari pendaratan dan perkampungan pertama Portugis di

Lifau dan titik kontak pertama Timor dengan agama Katolik. Distrik Oecusse merupakan

wilayah yang luasnya 815 kilometer persegi, yang juga merupakan daerah kantong atau

enclave. Secara geografis terpisah dari dua belas distrik lainnya yang membentuk

Timor-Leste, Oecusse sepenuhnya berada di dalam sebuah daerah yang diapit oleh Timor barat

wilayah Indonesia atau Selat Ombai.

Oecusse atau daerah kantong ini terletak kira-kira delapan puluh kilometer ke arah barat dari

perbatasan internasional utama yang memisahkan Timor-Leste dengan Timor barat wilayah

Indonesia di Batugade. Perpisahan geografis dari Timor-Leste sisanya berasal dari pembagian

kekuasaan pada masa kolonial Belanda dan Portugis dalam kesepakatan final tentang

perbatasan yang dicapai pada tahun 1916. Sedangkan Desa Naktuka merupakan wilayah

demarkasi antara Indonesia dan Timor-Leste, desa yang luasnya sekitar 1.690 hektar ini

tercatat sebagai bagian dari Indonesia. Berdasarkan sejarahnya Desa Naktuka merupakan

bagian dari Indonesia yang disesuaikan dengan perjanjian antara Belanda dan Portugis pada

tahun 1904. Permasalahan yang terjadi antara Distrik Oecusse dan Desa Naktuka disebabkan

dengan adanya perebutan lahan bercocok tanam dan pembuatan rumah oleh warga Oecusse

5

Wilayah perbatasan dan perjanjian portugis dan belanda. Diakses

(8)

4

pada lahan yang disengketakan. Sehingga peran tokoh–tokoh adat dari masing – masing

distrik baik itu Distrik Oecusse maupun Desa Naktuka membuat kesepakatan untuk

melakukan musyawarah bersama dalam menyelesaikan konflik batas wilayah tersebut.

Karena menurut para tokoh-tokoh adat dari masing-masing distrik berpendapat bahwa

Oecusse dan Naktuka merupakan tetangga dan juga keluarga yang memiliki kebudayaan atau

adat istiadat yang sama jadi seharusnya tidak ada tindakan anarki yang dilakukan kedua

distrik tersebut melainkan dengan melakukan musyawarah bersama untuk membangun

hubungan yang baik bagi kedua distrik tersebut.

Penelitian ini akan melihat apa penyebab dari permasalahan batas wilayah di Desa

Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL dan bagaimana cara menyelesaikan

permasalahan batas wilayah di Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse RDTL melalui

(9)

5

2. TINJAUAN TEORITIS

Penelitian ini akan memakai teori konstruktivisme dalam mengupas permasalahan

yang terjadi di area perbatasan antara Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse

Timor-Leste. Konstruktivisme merupakan teori yang muncul pada tahun 1980-an dan sejak itulah

teori ini semakin menonjol dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Konstruktivis

berpendapat bahwa dunia didasari melalui interaksi sosial secara intersubjektif yang mana

saling di bentuknya struktur dan agen serta norma, identitas dan ide-ide secara umum penting

bagi konstitusi dan dinamika politik dunia. Pendekatan konstruktivis juga menekankan bahwa

politik merupakan bentuk tindakan yang terbentuk secara sosial, hukum sebagai pusat

struktur normatif yang menentukan suatu tindakan aktor yang terlegitimasi dan dapat

dibenarkan.6

Terdapat beberapa asumsi dasar dari konstruktivisme. Asumsi dasar konstruktivisme

menurut Steans et al. (2010) adalah: (1) konstruktivisme berusaha untuk memahami apa saja

yang terjadi dalam politik internasional. Hal ini berbeda dengan teori rasionalis, seperti

neorealisme dan neoliberalisme yang berusaha untuk menjelaskan politik internasional (2)

usaha konstruktivisme yang menjembatani antara teori yang berfokus pada agensi dan teori

yang berfokus pada struktur. Dalam hal ini, argumen dari konstruktivisme adalah bahwa

struktur dan agensi saling tergantung satu sama lain (3) pandangan epistemologis realisme

kritis yang menyatakan bahwa suatu struktur dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan.

Pandangan ini dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan struktur yang tidak terlihat

(4) adanya penekanan norma dalam pola perilaku masyarakat (5) adanya penekanan pada

peran institusi, baik institusi formal maupun informal (6) konstruktivisme menganalisis

institusi-institusi dengan tujuan untuk memahami proses institusionalisasi yang dilakukan

institusi tersebut (7) mengingat posisi konstruktivisme sebagai middle ground,

konstruktivisme tidak bisa mengacuhkan peran kepentingan meski fokus utamanya tetap pada

norma dan institusi (8) wacana memegang peranan penting dalam konstruktivisme. Bagi para

penganut konstruktivisme, wacana merupakan alat komunikasi yang juga berguna untuk

mencapai pemahaman intersubjektif.

6

Konstruktivisme dan chritical teori dalam keamanan internasional. Diakses dari

(10)

6

Konstruktivisme juga menekankan bahwa pentingnya pemikiran dan pengetahuan

bersama, yang menjadikannya berbeda dengan pemikiran positivisme (Jackson dan Sorensen,

2009). Hal ini berkaitan dengan pemahaman intersubjektif konstruktivisme dalam memahami

struktur sosial. Struktur sosial sendiri memiliki tiga elemen yaitu: pengetahuan bersama,

sumber daya material, dan praktek (Wendt, 1992 dalam Jackson dan Sorensen, 2009).

Struktur sosial dapat dijelaskan oleh pemahaman atau pengetahuan bersama.

Hal ini yang nantinya dapat menciptakan hubungan antar aktor dalam suatu situasi, yang

mana hubungan tersebut bisa bersifat kooperatif atau konfliktual, sekaligus menegaskan

bahwa anarki bukanlah sesuatu yang given.

Konstruktivisme menganggap bahwa pengetahuan intersubjektif dan ide-ide memiliki

efek konstitutif pada realitas sosial dan evolusinya. Ketika dipahami oleh individu, aturan,

norma dan pemahaman sebab-akibat yang menjadikan obyek-obyek material bermakna

menjadi sumber pemikiran, kepentingan dan tindakan yang disengaja oleh seseorang ketika ia

menjadi sebuah praktik internasional. Oleh karena itu nilai tambah konstruktivisme adalah

bahwa ia membantu menjelaskan mengapa orang menganut norma, identitas dan pemahaman

sebab-akibat tertentu dan karenannya dari mana kepentingan itu berasal (Adler, 1987, 1991;

Finnemore, 1996). Dalam konstruktivisme komunikasi sosial juga merupakan nilai tambah

yang penting karena tidak hanya pemahaman kolektif yang melintasi ruang dan waktu

melalui cara berkomunikasi juga memungkinkan agen untuk memperbaiki makna dari realitas

material (Luhmann, 1989:17).

Teori konstruktivisme memiliki beberapa asumsi dasar yaitu sebagai berikut; (1)

Identitas, Manusia adalah makhluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial

yang mana hasil dari pengkonstruksian ini akan melahirkan paham instersubjektivitas. Dalam

melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan oleh

salah satu pihak, tetapi kesepakatan untuk berinteraksi itu yang diperlukan sehingga

diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak. Dalam hal ini, faktor identitas

individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu

akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Identitas juga terletak pada

inti kepentingan nasional dan transnasional sebagai konsekuensinya adalah mendesak

memahami perilaku, praktik, lembaga dan perubahan internasional. Dalam pandangan

konstruktivisme Shared idea yang dapat membentuk identitas. Meskipun pembentukan

(11)

7

pembentukan identitas tersebut merupakan respon terhadap shared ideas/pemahaman

intersubyektivitas.7 Seperti dianalogikan oleh Wendt (1992:397): “Jika masyarakat lupa apa

yang dinamakan universitas, maka kekuasaan dan kegiatan profesor serta mahasiswa menjadi

tidak lagi eksis demikian juga ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet memutuskan bahwa

mereka tidak lagi musuh, maka Perang Dingin akan usai”. (2) Norma, nilai dan norma sosial

di tingkat individu memiliki kekuatan untuk membentuk identitas dan kepentingan nasional

sebuah negara. Jadi, dapat dikatakan bahwa perilaku negara di tingkat internasional

dipengaruhi oleh nilai dan norma sosial yang berkembang di tingkat individu. Dengan

menggunakan asumsi ini, maka fenomena dimana negara menunjukkan perilaku yang

bertentangan dengan norma internasional yang dapat dijelaskan. Menurut konstruktivis,

norma-norma bersifat otonom dan norma membentuk serta menentukan perilaku negara di

dalam sistem internasional. Norma tidak hanya berfungsi untuk mengatur (regulatory) namun

lebih dari itu dalam membentuk (constitutive) perilaku negara. (3) Sosial konstruktivisme

memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas sebagai produk yang dapat

dibentuk dari proses sejarah. Konstruktivisme juga memberikan perhatian pada wacana

umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana dengan merefleksikan dan membentuk

keyakinan dan kepentingan, serta mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan

terhadap tindakan masyarakat (accepted norms of behavior), sedangkan konstruktivisme

sosial muncul sebagai sebuah bentuk perlawanan intelektual atas neorealisme dan

liberalisme. Teori ini muncul sebagai jembatan antara perbedaan teori-teori rasionalis seperti

neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme,

critical theory. Konstruktivisme sosial berada pada posisi tengah antara realisme,

neorealisme, dan neoliberalisme di satu sisi dengan kajian critical theory. Dalam penggunaan

teori konstruktivisme berada di tengah-tengah antara teori rational choice dengan

postmodernisme. Konstruktivisme berperan penting dalam menjembatani perbedaan sudut

pandang antar kaum rasionalis dan reflektivis. Konstruktivisme muncul untuk memberikan

suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah

dan dengan sendirinya independen dari interaksi (rasionalis) sebaliknya tidak bisa juga dilihat

sebagai sesuatu yang tidak ada atau semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide

manusia. Konstruktivis juga melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh

fakta yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta

tersebut tidak menuntun atau tidak menentukan bagaimana kita melihat realitas sosial.

7

(12)

8

Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi dari manusia

(konstruksi sosial). Konstruktivisme juga memahami lembaga sebagai seperangkat aturan

konstitutif dan regulatif intersubyektif yang membantu menserasikan dan membentuk

perilaku serta menyalurkan kedalam satu arah bukan ke arah lain yang juga ikut membangun

identitas koletif baru dan kepentingan serta praktek bersama.

Teori konstruktivisme memberikan perhatian pada wacana umum yang ada ditengah

masyarakat, adapun juga komunikasi sosial yang dipaparkan oleh konstruktivisme, sebab

menurut konstruktivisme komunikasi sosial merupakan nilai tambah yang penting, tidak

hanya pemahaman koletif yang menyebar melintasi ruang dan waktu. Dengan begitu peran

tokoh adat melakukan komunikasi sosial dalam bentuk musyawarah bersama. Karena peran

tokoh adat disini merupakan aktor non negara yang berfungsi untuk meminimalisir konflik

yang terjadi antara Distrik Oecusse dan Desa Naktuka. Konstruktivis juga percaya bahwa

dengan adanya peran aktor non negara, identitas, norma serta komunikasi sosial dapat

meredam konflik yang terjadi antara kedua distrik tersebut.

Dalam upaya penyelesaian permasalahan ini, pemerintah belum mampu menemukan

solusi untuk mengupayakan perdamaian, sehingga peran tokoh-tokoh adat menjadi pihak

yang berusaha untuk membangun komunikasi diantara kedua pihak masyarakat. Karena pada

perbatasan tersebut hanya terdapat pos penjagaan lintas batas yang dimiliki kedua negara

dengan tugas untuk menjaga keamanan batas wilayah agar tidak terjadi konflik. Oleh karena

itu para tokoh adatpun menyampaikan kritikan atas respon pemerintah yang tidak sigap

mengatasi permasalahan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Pada intinya hingga saat ini

bukti nyata upaya mendamaikan kedua belah pihak adalah melalui jalur komunikasi yang

terbangun melalui tokoh adat sebagai perwakilan dari masyarakat Oecusse dan Naktuka.

3. METODE PENELITIAN

Pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan jenis

penelitian deskriptif. Unit amatan dalam penelitian ini adalah Desa Naktuka Indonesia dan

Distrik Oecusse RDTL. Selanjutnya yang menjadi unit analisis dalam hal ini adalah peran

tokoh adat dalam penyelesaian permasalahan batas wilayah darat Indonesia dan Timor-Leste.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder yang

diperoleh langsung dari sumber asli baik secara individu, kelompok maupun organisasi

(13)

9

diperoleh dalam bentuk yang sudah disediakan biasanya didapat melalui buku-buku, skripsi,

ensiklopedia maupun situs internet, koran serta majalah.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data observasi dan

wawancara. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen,

data dan observasi. Pengumpulan data melalui teknik ini dimaksudkan untuk melengkapi

hasil data yang diperoleh melalui pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penelitian akan difokuskan pada peran tokoh adat dalam penyelesaian permasalahan batas

wilayah Desa Naktuka Indonesia dan Distrik Oecusse Timor-Leste.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Wilayah perbatasan memang sangat rentan terhadap permasalahan di beberapa negara,

baik itu perbatasan di darat, laut maupun di udara. Bagi negara wilayah perbatasan

merupakan salah satu faktor penting karena wilayah perbatasan memiliki fungsi yang sangat

strategis seperti fungsi militer, ekonomi perdagangan, kedaulatan negara dan fungsi identitas

nasional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa negara-negara sering memperdebatkan

permasalahan mengenai perbatasan seperti halnya Indonesia yang mempunyai 3 perbatasan

darat dengan negara tetangganya yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste, serta 11

perbatasan laut dengan negara India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina,

Palau, Federal State of Micronesia, Papua Nugini, Timor Leste dan Australia.

Hingga saat ini penetapan batas dengan negara tetangga masih belum semua dapat

diselesaikan. Permasalahan penetapan perbatasan negara saat ini masih ada yang secara

intensif sedang dirundingkan dan masih ada yang belum dirundingkan. Kondisi demikian

menjadi suatu bentuk ancaman, tantangan, serta hambatan yang dapat mengganggu

kedaulatan suatu negara. Indonesia memiliki wilayah yang berbatasan dengan banyak negara,

salah satunya adalah Indonesia berbatasan dengan Timor-Leste yang hingga saat ini masih

dalam proses untuk menyelesaikan persoalan perbatasan darat antara Naktuka dan Oecusse.

D.1. Gambaran umum mengenai Naktuka

Pada permasalahan perbatasan darat antara Indonesia dan Timor-Leste terdapat lima

titik batas, ada beberapa titik yang belum selesai. Dari kelima titik tersebut baru dua yang

terselesaikan dan menyisihkan tiga titik yang dimana ketiga titik itu dua diantaranya adalah

Naktuka dan Oecusse. Naktuka merupakan suatu wilayah demarkasi antara Indonesia dan

(14)

10

yang berada di desa Netemnanu, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang. Naktuka

juga merupakan wilayah yang berstatus zona bebas yang telah disepakati antara kedua

negara agar tidak boleh dimasuki atau adanya aktivitas oleh kedua negara.8

Namun dahulu dalam catatan sejarahnya, Naktuka masuk kedalam bagian Indonesia

yang sesuai dengan perjanjian antara Portugis dan Belanda pada tahun 1904. Naktuka

merupakan daerah perbatasan yang berjarak kurang lebih 200 kilo meter dari Ibu Kota

Kupang, NTT. Naktuka berbatasan langsung dengan Distrik Oecusse atau wilayah kantung

Timor-Leste. Naktuka wilayah yang minim akses sinyal dalam komunikasi, listrik dan air,

untuk mencapai ke wilayah Naktuka diperlukan waktu 10-12 jam perjalanan darat dengan

medan yang cukup berat, rute perjalanan menuju Naktuka juga harus melewati desa-desa

yang terletak di bawah kaki gunung, harus menyeberangi sungai-sungai tanpa jembatan

sehingga tidak semua jenis kendaraan dapat menuju ke Naktuka. Wilayah Naktuka dijaga

oleh kepolisian, TNI, serta pegawai imigrasi yang siap menjaga keamanan daerah

perbatasan Indonesia dan Timor-Leste. Di wilayah Naktuka masih banyak wilayah yang

belum ditempati hal ini dikarenakan sebagian wilayah Naktuka merupakan aliran sungai dan

pegunungan sehingga akses jalan menuju Naktuka susah untuk dijangkau.

D.2. Gambaran umum mengenai Oecusse

Oecusse merupakan distrik yang terdiri atas wilayah seluas 815 kilometer persegi,

secara geografis terpisah dari dua belas distrik lainnya yang membentuk Timor-Leste,

Oecusse sepenuhnya berada dalam sebuah daerah yang di lingkari oleh Timor Barat wilayah

Indonesia atau selat ombai. Tanpa jembatan daratan yang menghubungkan dengan

Timor-Leste sisanya, daerah kantong atau enclave ini terletak kira-kira 80 kilometer kearah barat

dari perbatasan internasional utama yang memisahkan Timor-Leste dengan Timor Barat

wilayah Indonesia di Batugede. Orang-orang asli Oecusse mengakui diri mereka sebagai

Atoni Pah Meto atau yang dalam artiannya orang-orang daerah kering. Kelompok

etno-linguistik dirujuk secara bergantian sebagai Atoni atau Meto yang mencakup populasi Timor

barat wilayah Indonesia. Bahasa ibu atoni oleh Portugis dirujuk secara bergantian sebagai

baiqueno, uab meto dalam artian harafiahnya ucapan daerah kering atau dalam bahasa lokal

disebut bahasa dawan. Sejarahnya Oecusse dahulu merupakan tempat pendaratan pertama

8

Sengketa lahan naktuka dan oecusse. Diakses dari

(15)

11

orang Portugal di pulau Timor tepatnya di daerah Lifau, dan Portugal merasa wilayah yang

pertama kali didudukinya harus tetap dikenang dan dipertahankan jangan sampai menjadi

wilayah Belanda. Adapun sebuah perjanjian di kota Den Haag yang berisi mengenai

pembelian wilayah Portugal oleh Belanda seharga 80.000 florin (salah satu mata uang

Balanda) akhirnya pulau Flores, pulau Solor menjadi milik Belanda termasuk pulau Timor

kecuali pulau Timor bagian Timur yang kini dikenal dengan Timor-Leste dan juga enclave

Oecusse-Ambeno beserta pulau Jaco dan pulau Atauru.

Sosial budaya yang terikat pada wilayah Oecusse yaitu hubungan kekerabatan antara

masyarakat Oecusse yang masih sangat erat dengan masyarakat di wilayah seberang yakni

Naktuka Indonesia, mereka sering menyebrangi perbatasan untuk mengikuti acara

pernikahan atau kematian. Sebagian besar masyarakat Oecusse adalah petani lahan kering

yang menerapkan teknik dan sistem tradisional, selain pertanian masyarakat juga menekuni

bidang yang lain seperti peternakan, perikanan serta usaha kecil-kecilan lainnya. Oecusse

adalah daerah yang cukup tertinggal dari wilayah di Timor-Leste lainnya, sehingga sebagian

masyarakat Oecusse masih sangat tergantung pada barang-barang di Indonesia. Infrastruktur

di wilayah Oecusse juga sangat memprihatinkan, akses informasinya juga sangat terbatas

serta layanan dari pemerintah di wilayah Oecusse juga sangat rendah.

Berdasarkan yang dipaparkan diatas wilayah Naktuka merupakan wilayah yang

berstatus zona bebas dalam artian tidak boleh ada aktivitas yang dilakukan oleh kedua

masyarakat baik itu dalam membangun rumah, serta bercocok tanam di wilayah tersebut.

Namun masyarakat Oecusse tahu bahwa wilayah Naktuka adalah wilayah yang berstatus

zona bebas akan tetapi masyarakat Oecusse tetap menggunakan wilayah zona bebas untuk

melakukan berbagai kegiatan baik itu membangun rumah, bercocok tanam dan lain

sebagainya. Sehingga menyebabkan kedua distrik memperebutkan batas wilayah tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Timor-Leste adalah dengan memberikan

arahan serta perhatian kepada masyarakat Oecusse yang sudah melanggar perjanjian

internasional antara kedua negara untuk tidak melanggar peraturan yang sudah di tetapkan.

Dengan demikian pemerintah Timor-Leste harus memberikan peringatan terhadap

masyarakat Oecusse yang telah melanggar dengan memberikan sangsi dan teguran apabila

masyarakat Oecusse masih bersikeras untuk membangun aktivitas di zona bebas maka

pemerintah tidak segan untuk melakukan tindakan kekerasan.

(16)

12 D.3. Penyebab Permasalahan

Permasalahan antar wilayah batas di Naktuka dan Oecusse mencakup beberapa hal yaitu

lokasi, lahan perkebunan, ternak dan perbedaan argumen dari kedua negara. Lokasi menurut

pihak Indonesia batas itu hanya mengikuti aliran sungai yang hidup dan Indonesia juga

melihat pada sisi sosial budaya yang ditanamkan masyarakat sekitar di wilayah perbatasan

sedangkan menurut pihak Timor-Leste wilayah batas tidak melalui aliran sungai yang hidup

karena menurut pihak Timor-Leste dalam GPS dan peta menjelaskan tetap mengikuti titik

yang ada. Walaupun ada pergeseran gunung, batu dan aliran sungaipun itu adalah urusan

alam. Timor-Leste menggunakan Hukum Internasional sebagai acuan untuk menyelesaikan

permasalahan batas tersebut. Jadi dari kedua negara tersebut tidak memiliki pendapat yang

sama untuk menyelesaikan permasalahan batas wilayah. Sehingga dari kedua negara, masih

terlibat dalam menangani batas wilayah.

Faktor penyebab konflik lain yang terjadi di Naktuka dan Oecusse adalah ketidakjelasan

penggunaan kartu lalu lintas batas dan penggunaan garis teknikal koordinasi di setiap pintu

keluar masuk perbatasan yang belum ditentukan. Adapun juga penyebab lain yaitu menurut

warga Naktuka, warga Oecusse telah bermukim di wilayah sengketa hingga mencapai 63

kepala keluarga atau sekitar 315 jiwa sehingga membuat warga naktuka geram dengan

tindakan warga Oecusse yang seenaknya menempati zona bebas yang sudah disepakati oleh

kedua negara bahwa tidak boleh ada aktivitas warga di zona bebas tersebut. Namun warga

Oecusse tetap membangun pemukiman di wilayah sengketa. Puncak terjadinya konflik antara

Naktuka dan Oecusse itu pada Oktober tahun 2013 Pemerintah Timor Leste membangun

jalan di dekat perbatasan Indonesia dan Timor-Leste, menurut warga Naktuka (Indonesia),

jalan tersebut telah melintasi wilayah Indonesia sepanjang 500 m dan juga menggunakan

zona bebas sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman antara kedua negara pada

tahun 2005, zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh dari Indonesia

maupun Timor Leste. Menurut Badan Informasi Geospasial Isi dari nota kesepahaman

membahas mengenai tindak lanjut Provosional Agreement tahun 2005 dan renacana terkait

dengan perbatasan kedua negara, setelah penandatanganan Addendum telah ditanda tangani

oleh menteri luar negeri dari kedua negara pada bulan Juni 2013 lalu. Sebagai tindak lanjut

dari Provisonal Agreement tahun 2005 pihak Indonesia dan Timor-Leste telah sepakat untuk

melaksanakan survei demarkasi serta pemetaan batas wilayah bersama (Joint Border

(17)

13

Selain itu, pembangunan jalan yang dilakukan oleh Timor-Leste tersebut telah merusak

tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik

Indonesia, dan juga merusak sembilan kuburan orang-orang tua di Naktuka. Pembangunan

jalan baru tersebut yang menimbulkan terjadinya konflik antara warga Indonesia dengan

warga Timor Leste pada hari Senin, 14 Oktober 2013, mereka saling lempar batu dan kayu

sehingga aksi ini semakin besar dan melibatkan beberapa anggota polisi perbatasan

Timor-Leste yang turut serta dalam aksi saling lempar batu dan kayu tersebut. Dari konflik tersebut,

enam orang warga dan satu anggota polisi perbatasan Timor-Leste menderita luka parah,

sementara dari sisi Indonesia hanya ada satu warga yang menderita luka ringan, karena

banyak korban yang mengalami luka-luka jadi kedua belah pihak memutuskan untuk

menghentikan konflik tersebut. Akan tetapi warga dari masing-masing perbatasan terus

berjaga-jaga agar tidak ada konflik berlanjut dari kedua masyrakat. Konflik semakin

menjadi-jadi ketika penggiringan 19 ekor sapi milik warga Naktuka yang digiring oleh warga Oecusse

masuk ke wilayah mereka, kemudian 10 warga Naktuka didampingi enam anggota TNI

Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Oecusse untuk mencari 19 ekor sapi tersebut agar

dikeluarkan dari wilayah Oecusse akan tetapi menurut warga Oecusse sapi yang sudah

melewati batas tidak bisa keluar batas lagi. Sehingga masyarakat dari Naktuka dan Oecusse

kembali saling menyerang dan menyebabkan konflik terjadi lagi antara warga, tetapi

untungnya tidak memakan korban seperti konflik yang sebelumnya. Pada saat itu tokoh adat

dari masing-masing distrikpun langsung mengambil tindakan dengan melakukan diskusi

bersama antara tokoh adat dari Oecusse maupun dari Naktuka untuk mencairkan suasana

yang sedang memanas pada saat permasalahan tersebut terjadi. 9

D.4. Upaya – upaya yang dilakukan tokoh adat dalam penyelesaian permasalahan batas

Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh tokoh adat dari masing-masing distrik baik

itu Naktuka maupun Oecusse yakni sebagai berikut; (1) Tokoh adat dan masyarakat duduk

bersama dalam mencapai kesepakatan bersama (musyawarah) untuk menemukan jalan keluar

dalam menyelesaikan permasalahan antara batas wilayah Naktuka dan Oecusse. (2) Mencoba

berdiskusi bersama pemerintah mengenai permasalahan dan mencoba menemukan cara untuk

menyelesaikan permasalahan tersebut. (3) Mendengarkan keluhan-keluhan dari

9

(18)

14

masing masyarakat dalam mengahadapi persoalan yang terjadi seperti persoalan batas

wilayah antara Naktuka dan Oecusse.

(4) Memberikan solusi kepada masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan batas wilayah

dengan cara yang baik dan tidak boleh ada sikap anarki dari masyarakat. (5) Memberikan

sangsi apa bila masyarakat dari masing-masing distrik melakukan tindakan diluar dari

perjanjian hukum adat yang sudah di tentukan oleh tokoh adat dari masing-masing distrik.

Hasil dari wawancara yang diperoleh peneliti bahwa tokoh adat dari kedua Distrik

baik itu Naktuka maupun Oecusse tidak bisa mengambil keputusan dalam permasalahan

wilayah batas. Sehingga mereka melalukan pertemuan atau diskusi bersama dengan para

raja-raja dari kedua distrik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun hasil dari diskusi

yang dilakukan oleh tokoh adat dan raja-raja belum mencapai titik terang dari pihak-pihak

yang membahas mengenai penyelesaian permasalahan wilayah batas. Dengan begitu raja-raja

dan para tokoh adat tidak dapat melakukan tindakan yang lebih selain hanya melakukan

pertemuan dan membahas mengenai wilayah batas. Raja-raja, tokoh adat serta masyarakat

Natuka dan Oecusse mengatakan bahwa peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah

batas tersebut sangat lamban, yang akibatnya akan dapat memicu terjadinya perang dari

masing-masing distrik. Pertemuan yang bicarakan tokoh adat dalam diskusi mengenai batas

wilayah Naktuka dan Oecusse sebagai berikut (1) menurut tokoh adat dari masing-masing

Distrik mengatakan bahwa setiap pertemuan yang dilakukan harus menyampaikan sejumlah

fakta terkait dengan perosalan batas wilayah dengan jujur dan harus sesuai fakta. Jika

masing-masing tokoh adat tidak mengatakan dengan jujur maka akan mendapat dampak atau

tulah bagi dirinya. (2) pertemuan tokoh adat dari masing-masing Distrik juga memegang

prinsip bahwa sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat harus disampaikan dengan benar karena alam akan mendengarnya. “Fatu Helele, Hauk Helele setiap pembicaraan adat akan didukung dan didengar alam, seperti kayu dan batu pun akan mendukung setiap kata-kata

jujur terkait dengan adat. (3) tokoh adat dari masing-masing Distrik juga menyampaikan

keresahan masyarakatnya kepada pemerintah daerah, akan tetapi belum ada tanggapan serius

dari pemerintah kedua daerah. (4) tokoh adat dari Naktuka menyampaikan protes kepada

masyarakat Oecusse melalui tokoh adat Oecusse untuk tidak melakukan aktivitas di zona

bebas. Jika masyarakat Oecusse tetap melakukan aktivitas dilahan tersebut, maka tokoh adat

dan raja-raja Naktuka siap untuk berperang lagi. (5) tokoh adat dari masing-masing Distrik

juga berkumpul untuk membahas mengenai konflik yang terjadi di Desa Naktuka dan Distik

(19)

15

Adapun pendapat dari para ahli mengenai peran tokoh adat yakni Menurut Surbakti

(1992) mengatakan bahwa tokoh adat adalah seorang yang disegani serta di hormati secara

luas oleh masyarakat dan dapat menjadi faktor yang dapat menyatukan suatu bangsa negara.

Tokoh adat, tentunya merupakan representasi dari adanya sifat-sifat kepemimpinan yang

menjadi acuan bagi masyarakat dalam menwujudkan harapan serta keinginan masyarakat

sehingga tokoh adat, tidak bias dapat dilepaskan dari sifat kepemimpinan yang tercermin di

dalam tokoh adat tersebut. Kepemimpinan tersebut menjadi panutan karena warga

masyarakat mengindentifikasikan diri kepada pemimpin dan ia dianggap sebagai

penyambung lidah masyarakat.

Menurut Soepomo (1979:45), Tokoh Adat merupakan bapak masyarakat, pemimpin

masyarakat sebagai ketua di suatu perkumpulan masyarakat, dan juga pemimpin pergaulan

hidup dalam masyarakat. Fungsi dari tokoh adat yaitu melindungi masyarakat agar hidup

rukun di dalam kelompok, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya.

Aktivitas tokoh adat sehari-hari adalah meliputi seluruh lapangan masyarakat. Tokoh adat

sering kali ikut campur dalam permasalahan yang terjadi pada masyarakatnya untuk tetap

menjaga ketentaraman, perdamaian serta keseimbangan dalam menegakkan hukum.

Tokoh adat menjadi bagian dari masyarakat yang erat kaitannya dengan

perkembangan masyarakat terutama masyarakat yang masih berada pada lingkungan

pedesaan. Peran ini menjadi faktor yang penting dalam proses dalam mempengaruhi

masyarakat dalam segala bidang, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat.

Dalam permasalahan batas wilayah antara Naktuka dan Oecusse, tokoh adatpun mempunyai

peran yang cukup dalam permasalahan batas antara kedua negara, karena kedua pemerintahan

antara Indonesia dan Timor-Leste sangat membutuhkan pendapat dari tokoh adat. Namun

tokoh adat antar kedua negara tidak mempunyai hak yang penuh dalam mengambil keputusan

untuk permasalahan tersebut. Sehingga peran tokoh adat disini hanya bisa memberikan

konsultasi dan pendapat terhadap pemerintah mengenai wilayah batas. Karena tokoh adat

yang lebih memahami kondisi yang terjadi di wilayah batas, dengan begitu pemerintah dapat

memperoleh informasi mengenai kondisi yang sedang terjadi di wilayah batas.

Para tokoh adat juga sering melakukan pertemuan bersama dengan raja- raja dari

pulau Timor untuk membicarakan permasalahan yang terjadi antara Naktuka dan Oecusse.

Mereka berpendapat bahwa dengan melakukan diskusi bersama akan dapat menemukan titik

(20)

16

untuk cepat mengambil tindakan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Jika pemerintah

tidak melakukan tindakan dengan cepat maka masyarakat dari kedua wilayah akan saling

berperang dan dapat memakan korban lebih dari konflik yang sebelumnya terjadi. Sehingga

peran tokoh adat dapat meredam konflik yang terjadi.

Tokoh adat dari masing-masing distrik berusaha untuk melakukan diskusi bersama

dengan masyarakat untuk menahan diri agar menunggu proses dari pemerintah, karena

masyarakat dari Naktuka maupun Oecusse sudah geram terhadap permasalahan batas wilayah

tersebut. Bahkan masyarakat Naktuka pun bersedia untuk melakukan perang jika masyarakat

Oecusse masih tetap menggunakan lahan tersebut sebagai lahan mereka. Sehingga tokoh

adat selaku pemimpin atau kepala suku memberikan pengarahan atau pengertian kepada

masing-masing distrik untuk tidak main hakim sendiri dalam permasalahan batas wilayah.

Menurut tokoh adat dengan terjadinya perang maka permasalahan batas wilayah antara kedua

negara tidak akan selesai apa lagi kita ini adalah bagian dari keluarga, satu nenek moyang dan

mempunyai budaya yang sama jadi kita harus menjaga dan memahami satu sama lain, dalam

menyelesaikan permasalahan masyarakat dari masing-masing distrik harus mengontrol emosi

dan sikap agar tidak terjadi kesalahpahaman antara masyarakat Naktuka dan juga masyarakat

Oecusse.

Dari point-point yang telah dipaparkan diatas tindakan yang dilakukan oleh tokoh

adat memiliki kaitan dengan teori konstruktivisme yang dimana konstruktivsime

menggunakan komunikasi sosial sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan persoalan

yang terjadi di Naktuka dan Oecusse. Dengan begitu tokoh adat mempunyai peran yang

penting dalam menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu dengan melakukan diskusi atau

musyawarah bersama untuk menyelesaikan permasalahan antara Naktuka dan Oecusse.

Sehingga konstruktivisme percaya bahwa dengan adanya peran dari komunikasi sosial serta

aktor non negara (tokoh adat) dapat membantu menyelesaikan permasalahan di wilayah

Naktuka dan Oecusse.

Dalam permasalahan antara Naktuka dan Oecusse partisipasi masyarakat juga

mempunyai peran penting dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Partisipasi

masyarakat sangat erat kaitannya dengan kekuatan atau hak masyarakat, terutama dalam

tahap identifikasi masalah, mencari pemecahan masalah sampai dengan pelaksanaan

kegiatan. Kegiatan yang dimaksud adalah seperti kunjungan keluarga antara kedua distrik,

(21)

17

sangat penting yakni : Pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna

memperoleh informasi mengenai kondisi serta kebutuhan. Kedua, jika tokoh adat melibatkan

partisipasi dari masyarakat maka masyarakat akan lebih mempercayai tokoh adat dalam

menyelesaikan permasalahan batas wilayah. Ketiga, partisipasi masyarakat mempunyai hak

dalam memberikan saran jika dilibatkan dalam menyelesaikan permasalahan batas. Jadi

partisipasi masyarakat memiliki keuntungan politik, planning dan keuntungan lainnya. Dalam

segi politik, partisipasi masyarakat lebih memiliki hak demokrasi dimulai dari setiap individu

sampai kepada kelompok untuk memperoleh pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat

juga akan membantu pemerintah dan tokoh adat untuk mendapatkan gambaran yang lebih

jelas mengenai aspirasi masyarakat dalam permasalahan batas wilayah. Dari segi planning

partisipasi masyarakat menyediakan sebuah forum untuk saling menukar gagasan serta

penilaian akan permasalahan perbatasan. Keuntungan lain dari partisipasi masyarakat adalah

kemungkinan tercapainya hubungan yang lebih dekat antara kedua distrik sehingga tidak

menimbulkan perang antara Naktuka dan Oecusse.

D.5. Prespektif Indonesia

Menurut pandangan Indonesia bahwa permasalahan yang terjadi di batas wilayah

antara Naktuka dan Oecusse itu dipicu oleh aliran sungai hidup. Pihak Indonesia juga

mengatakan bahwa Naktuka adalah wilayah Indonesia dan dinyatakan sebagai zona bebas

dari kedua negara. Namun rakyat Oecusse tetap mengklaim bahwa wilayah itu merupakan

milik Timor-Leste sehingga menurut Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan batas

wilayah tersebut pemerintah harus melibatkan raja-raja di Timor seperti raja Amfoang Timur

Tengah Selatan, raja Atambua dan raja Ambeno.

Karena jika diselesaikan secara administratif pemerintah Indonesia menganggap

bahwa wilayah tersebut akan jatuh ke tangan Timor-Leste. dengan begitu Indonesia

mengatakan bahwa batas kedua negara itu dilihat dari sungai yang dalam, akan tetapi tidak

disepakati oleh masyarakat setempat karena menurut warga setempat aliran sungai bisa saja

selalu berubah sewaktu-waktu kadang aliran sungai bisa masuk lebih jauh ke wilayah

Indonesia kadang juga masuk ke dalam wilayah Timor-Leste. Selain itu ternak milik warga di

perbatasan tersebut meminum air sungai yang berada di tapal batas kedua negara tersebut.

Jika sapi atau binatang ternak melewati batas sungai terdalam itu berarti warga setempat tidak

(22)

18

Sehingga dari kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat

mereka karena menyangkut persoalan batas negara.

D.6. Prespektif Timor-Leste

Menurut pandangan Timor-leste bahwa permasalahan yang terjadi di batas wilayah

antara Naktuka dan Oecusse itu dilihat lagi dari perjanjian antara Belanda dan Portugis pada

tahun 1904. beradasarkan hasil wawancara Naktuka merupakan wilayah milik Timor-Leste

setelah kemederkaan pada tanggal 20 mei 2002. Timor-Leste juga berpendapat bahwa

permasalahan batas wilyah harus berdasarkan pada Hukum Internasional karena menurut

Timor-Leste batas wilayah tidak melalui aliran sungai yang hidup tetapi harus melalui titik

yang ada pada peta dan gps yang di pegang oleh pihak Timor-Leste.

Timor-leste mengatakan bahwa mereka juga mempunyai dokumen yang menyebut

Naktuka sebagai wilayah mereka setelah berakhirnya pemerintahaan kolonial Portugis dan

sebelum okupasi Indonesia ke Timor-Leste akhir dekade 1970. Timor leste masih sangat

mempertahankan hukum yang dibentuk oleh PBB pada referendum tahun 1999.

Berdasarkan Dewan Keamanan PBB, sesuai dengan Bab VII Piagam PBB, telah

mengambil keputusan tentang pendirian UNTAET (United Nations Transitional

Administration in East Timor / Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di

Timor-Timur), yang diberikan pertanggungjawaban penuh atas pemerintahan Timor-Timur, dan

diberikan kuasa penuh untuk melaksanakan semua urusan legislatif dan eksekutif pemerintah,

termasuk urusan administrasi peradilan, sesuai dengan mandat yang diuraikan didalam

resolusi tersebut.

Jadi dapat disimpulkan menurut pihak Timor-Leste, Naktuka merupakan bagian dari

sejarahnya Timor-Leste. dengan begitu PBB mempunyai aturan yang harus diterapkan

Indonesia mengenai penyerahan segala macam administrasi termasuk logistiknya yang

ditinggalkan seperti rumah-rumah, tanah, dan lain-lain kepada PBB, kemudian diserahkan

kepada Timor-Leste untuk membangun negaranya.

Perbedaan pola pikir dari kedua negara juga belum bisa sejalan sehingga perlu adanya

(23)

19

5. KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan yang dilakukan oleh peneliti pada bab-bab sebelumnya maka

peneliti memperoleh hasil yang mendukung kerangka pikir dari penelitian ini bahwa

penyebab permasalahan antar wilayah batas di Naktuka dan Oecusse mencakup beberapa hal

yaitu lokasi, lahan perkebunan, binatang ternak dan perbedaan pendapat dari kedua negara.

Lokasi menurut pihak Indonesia batas itu hanya mengikuti aliran sungai yang hidup dan

Indonesia juga melihat pada sisi sosial budaya yang melibatkan adat-istiadat yang

berkembang. Menurut pihak Timor-Leste sosial budaya tidak diperhitungkan dalam dinamika

adat-istiadat yang diutarakan dari pihak Indonesia. Pihak Timor-Leste menekankan bahwa

penyelesaian perbatasan hanya mengacu pada sejarah belanda-Portugis pada tahun 1904.

Timor-Leste menggunakan Hukum Internasional sebagai acuan untuk menyelesaikan

permasalahan batas tersebut. Sehingga Timor-Leste melihat wilayah batas tidak melalui

aliran sungai yang hidup karena menurut pihak Timor-Leste dalam GPS dan Peta

menjelasakan tetap mengikuti titik yang ada. Walaupun ada pergeseran gunung, batu dan

aliran sungaipun itu adalah urusan alam. Jadi dari kedua negara tersebut tidak memiliki

pendapat yang sama untuk menyelesaikan permasalahan batas wilayah.

Pada permasalahan batas wilayah peran tokoh adat mempunyai peran yang cukup

penting antara kedua negara, karena kedua pemerintahan antara Indonesia dan Timor-Leste

sangat membutuhkan pendapat dari tokoh adat. Namun peran tokoh adat antar kedua negara

tidak mempunyai hak penuh dalam mengambil keputusan untuk permasalahan tersebut.

Sehingga peran tokoh adat disini hanya bisa memberikan konsultasi terhadap pemerintah

mengenai wilayah batas. Walaupun hanya memberikan konsultasi terhadap kedua pemerintah

tokoh adat juga dapat meredam konflik yang bisa saja terjadi antara Naktuka dan Oecusse.

Tokoh adat dan masyarakat berusaha dan sangat berharap semoga permasalahan ini dapat

selesai dengan cepat agar tidak memakan korban lagi, karena tokoh adat menganggap bahwa

Naktuka dan Oecusse merupakan saudara yang nenek moyangnya satu jadi tidak boleh terlalu

(24)

20 Upaya penyelesaian permasalahan batas antara Naktuka dan Oecusse

Upaya yang dilakukan Indonesia dan Timor-Leste masih melalui negosiasi yang di

kawal oleh Kementerian Luar Negeri dari kedua negara. Namun demikian hal yang perlu

dilakukan adalah dengan adanya unsur masyarakat dalam upaya penyelesaian permasalahan

tersebut. Unsur masyarakat sangat penting karena penguasaan tanah / lahan di wilayah terkait

dengan adat istiadat yang berlaku di wilayah perbatasan. Di sisi lain pemerintah melakukan

perundingan di tingkat pemerintah, di sisi lain juga masyarakat adat membuat

kesepakatan-kesepakatan terkait dengan lahan serta aturan pengelolaan lahan di wilayah perbatasan yang

mungkin hasilnya bertentangan dengan hasil yang disepakati oleh pemerintah.

Penyelesian yang di selesaikan oleh kedua negara berupa negosiasi, yang berpusat

pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Permasalahan wilayah batas itu

terjadi karena adanya perbedaan pendapat yang dimiliki kedua negara. Sehingga kedua

negara berupaya untuk menemukan jalan keluar untuk memecahkan persoalan wilayah batas

tersebut.

Upaya dalam menemukan jalan keluar dalam permasalahan batas wilayah adalah

tahap perundingan yang dilakukan oleh kedua negara baik itu dari Indonesia maupun

Timor-Leste. Indonesia dan Timor-Leste berharap ada titik terang dalam negosiasi yang dilakukan

(25)

21 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Risse, T. Carlsnaes, Simons. 2013. Handbook Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media.

Parekh, Bikhu. 2001. Multiculturalism Cultural Diversity and Political Theory. London: Palgrave Macmillan.

Robert Jackson, Georg Serensen.2014. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Evi Fitriani. 2012. Hubungan Indonesia-Malaysia dalam prespektif sosial,budaya,negara dan media.Jakarta: Universitas Indonesia.

Nita Andrianti. 2015. Komunikasi Internasional & Politik Media.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ian Hurd. 2008. Chapter 17 Construtivism.

Behravesh Maysam. 2011. ConstructivismAn Introduction: Land University.

Jeffrey T. Checkel. 2010. The Constructivist Turn In International Relations Theory: Cambridge University Press

Ganjar Nugroho. 2008. Constructivism and International Relations Theories. Japan : Waseda University

Rozi S, Mashad D. dkk. 2006. Kekerasan Komunal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Galtung, Johan. 1996. Studi perdamaian:perdamaian dan konflik,pembangunan dan peradaban. Surabaya : Pustaka Eurika

Sutopo, Hadi Ariesto dan Adrianus Arief. 2010. Terampil Mengolah Data Kualitatif dengan

NVIVO. Prenada Media Grup, Jakarta.

Shodiq, Muhammad & Imam Muttaqien. 2013. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif,

(26)

22 Internet

Constructivism Christian Reus-Smith and The Moral Purpose of the State. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/276044449_Constructivism_Christian_Reus-Smit_and_The_Moral_Purpose_of_the_State. pada tanggal 28 januari 2017 pukul 09.30

Wilayah perbatasan dan perjanjian portugis dan belanda. Diakses

darixhttp://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/157-juli-2011/1165--wilayah-perbatasan-merupakan-etalase.html ( perjanjian portu & belanda ). Pada tanggal 1 februari 2017 pada pukul 10.00

Lahan di desa Naktuka yang diserobot Timor-Leste. Diakses dari

http://www.satoeindonesia.com/2016/11/timor-leste-serobot-lahan-di-naktuka.html. pada tanggal 4 februari 2017 pukul 12.00

Sengketa lahan naktuka dan oecusse. Diakses dari

http://bali.bisnis.com/read/20160921/10/61734/sengketa-lahan-naktuka-oecusse-sepakat-lkewat-jalur-adat-. pada tanggal 10 febuari 2017 pukul 08.00

Setelah terlepasnya Timor-Lese dari Indonesia. Diakses dari http://beritacenter.com/news-54921-setelah-timor-leste-naktuka-terancam-lepas-dari-indonesia.html. pada tanggal 20 februari 2017 pukul 12.00

Tapal batas antara Indonesia dan Timor-Leste. Diakses dari

http://www.batasnegeri.com/tokoh-adat-tapal-batas-ri-timor-leste-hanya-dijadikan-proyek-kementerian/. Pada tanggal 25 februari 2017 pada pukul 10.30

Batas negara di naktuka di usulkan penyelesaian melalui jalur adat. Diakses dari

http://kbr.id/terkini/08-2016/batas_negara_di_naktuka__tokoh_adat_usulkan_penyelesaian_secara_adat/845 76.html. pada tanggal 1 maret 2017 pada pukul 09.00

Konstruktivisme dan chritical teori dalam keamanan internasional. Diakses dari

http://www.academia.edu/8565158/KONSTRUKTIVISME_DAN_CRITICAL_THEORY _DALAM_KEAMANAN_INTERNASIONAL_Dosen_Pengampu_Ni_Komang_Desy_Ary a_Pinatih_MSi_DAP. pada tanggal 6 maret 2017 pada pukul 11.00

Perundingan TSC-BDR antara Indonesia dan Timor-Leste. Diakses dari

http://www.bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/perundingan-tsc-bdr-ke-26-antara-republik-indonesia-ri-dan-republik-demokratik-timor-leste-rdtl-. pada tanggal 1 september 2017 pada pukul 12.00

Referensi

Dokumen terkait

yang berhubungan dengan masalah perbatasan wilayah darat kedua negara yang diakui oleh komisis teknis perbatasan, sebagai dasar hukum dalam penetapan dan penegasan batas

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya sengketa perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Distrik Oekusi yang

adat. Melihat perjalanan Suku Pekurehua sebagai sejarah masyarakat adat di tanah air Indonesia, diperlukannya pendokumentasian yang mencakup berbagai macam