• Tidak ada hasil yang ditemukan

ix INTI SARI PANDANGAN DUNIA DALAM NOVEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ix INTI SARI PANDANGAN DUNIA DALAM NOVEL"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

ix

Objek penelitian ini adalah novel yang berjudul al-Rajul al-Ladzi Amana

karya Najib Kailany.Novel ini bercerita tentang tokoh bernama Iryan yang gelisah dan tidak merasa nyaman dengan kehidupan di sekelilingnya. Situasi ini mendorong dia untuk pindah dari tempatnya saat itu, Italia. Untungnya, band-nya mendapatkan kontrak tampil di Dubai dalam waktu yang relatif lama. Iryan mencoba membujuk pacarnya, Sofia, untuk menikah dengannya dan tinggal bersamanya di Dubai, tapi ia menolak karena takut akan komitmen. Iryan terluka dan kecewa. Namun, ia dengan cepat bisa melupakan Sofia karena ia bertemu dengan gadis lain di Dubai, seorang penari bernama Syam. Yakin bahwa ia akhirnya bertemu dengan gadis idaman, Iryan meminta Syam untuk menikah dengannya. Sekali lagi, Iryan ditolak. Tapi, kali ini, alasannya adalah karena keyakinan yang berbeda. Bertekad untuk menikahi Syam, Iryan masuk Islam dan mencoba untuk mempelajari lebih lanjut tentang agama barunya ini. Namun, tekadnya memberikannya perspektif baru yang membuatnya tidak jadi menikahi Syam yang ia percaya masih jauh dari nilai-nilai Islam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktu novel Rajul al-Ladzi Amana dan pandangan dunia dari kelompok sosial penulisnya yakni, Najib Kailany. Sesuai dengan tujuannya, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah strukturalisme genetik Lucien Goldmann. Struktur novel ini dibangun oleh berbagai oposisi berpasangan, akan tetapi semua oposisi yang berpasangan tersebut bermuara pada satu oposisi utama yakni, budaya yang dibuat oleh kehendak manusia dengan menafikan Tuhan dan budaya yang dibuat dengan mengikuti aturan dan ajaran Tuhan.

Dalam novel ini ada tokoh yang merepresentasikan Tuhan dengan membawa nilai-nilai ketuhanan dan tokoh yang merepresentasikan dunia karena membawa nilai-nilai buatan manusia dengan menafikan aturan Tuhan. Kedua Tokoh tersebut tidak mengalami progresi. Mereka dari awal sampai akhir cerita tetap dengan nilainilai utama yang mereka representasikan. Kelompok ketiga adalah tokoh-tokoh yang merepresentasikan manusia. Tokoh-tokoh tersebut mengalami perubahan dalam pandangan dunianya berdasarkan pengaruh dari dua oposisi ganda utama; tuhan dan dunia.

Kata-kata kunci : Strukturalisme genetik, Pandangan Dunia, Lucien Goldmann, Najib Kailany, Islam.

(2)

Kailany. This novel tells a story of a character named Iryan who is restless and does not feelcomfortablewith the life around him. This situation prompts him to try to move from his current place, Italy. Fortunately, his band gets a contract to perform in Dubaifor relatively long time. Iryan tries to persuade his girlfriend, Sofia, to marry him and live with him in Dubai, but she declines due to her fear of commitment. Iryan is hurt and dissapointed. However,he is quickly able to forget her because he meets another girl in Dubai; a dancer named Syams. Convinced that he has finally met a perfect girl, Iryan asked Syam to marry him. Again, Iryan is rejected. But, this time, the reason is their different faiths. Determined to marry Syam, Iryan converts himself into Islam and tries to learn more about it. Yet, his determination brings him a new perspective that makes him withdraw his marriage proposal to Syam whom he believes is far from Islamic values.

The purpose of this study is to investigate the structure of the novel and the

worldview of Najib Kailany. In accordance with its objectives, the theory used in this study is Lucien Goldmann’s genetic structuralism. The novel structure is built by binary oppositions.All oppositions boil down to one main opposition, namely; the culture created by the will of men that defies God and the culture that is made by following the rules and teachings of God.

In this novel, there are characters that represent God by bringing divine

values and there are characters that represent the world as they carryman-made rules and values that defy God.Both ofthesefiguresdo notexperienceprogression.

Theyremain withthecore valuesthatthey represent from thebeginning to theend of the story. The thirdgroupis thecharacters thatrepresent humans. These characters

experience changes and progressionsintheir worldviewbased onthe influenceofthe main binary opposition; Godandthe world.

(3)

PANDANGAN DUNIA DALAM NOVEL RAJUL

AL-LADZI AMANA KARYA NAJIB KAILANY: ANALISIS

STRUKTURALISME GENETIK LUCIEN GOLDMANN

Penulis

M. Rohiq

Pembimbing: Prof. Dr. Faruk, S.U

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesastraan Mesir modern mengangkat tema-tema tentang perjuangan,

liberalisasi, emansipasi, revolusi, pemberontakan, maupun tentang keterasingan, dengan menggunakan berbagai sudut pandang ataupun ideologi sebagai alat dalam penyaluran karyanya untuk mengkritisi kehidupan sosial masyarakat. Pertentangan antara sekuler dan religius dalam melihat kebudayaan beserta solusi yang

menyertainya mempunyai sejarah yang panjang di bumi Mesir. Sementara itu, hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah yang berkuasa dengan kelompok Ikhwanul Muslimin juga mempunyai sejarah yang panjang dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Hubungan yang terkadang memanas, kemudian sedikit mencair dan kemudian kembali ke tingkat yang memprihatinkan antara pemerintah yang notabene berseberangan pendapat maupun ideologi dengan Ikhwanul Muslimin terus berlangsung dan menjadi bagian yang tak terpisahkan di bumi Mesir modern.

Jika balik ke belakang untuk melihat akar dari lahirnya Ikhwanul Muslimin di Mesir, di satu sisi disebabkan karena penjajahan Inggris dengan segala

konsekuensinya di bumi Mesir, sebab, keberadaan penjajah menjadi pemicu

sentimen keagamaan bagi rakyat Mesir dalam mendorong mereka untuk melakukan perlawanan terhadap segala sesuatu yang berasal dari penjajah. Di sisi yang lain, kebanyakan dari partai-partai politik sebelum terbentuknya Ikhwanul muslimin di Mesir membawa pemikiran sekuler Barat, sedangkan hukum syari’at Islam mereka 2

nafikan, kalaupun diberlakukannya hukum syari’at Islam, hanya berkisar hukum tentang keluarga, seperti hukum pernikahan dan perceraian.

(4)

sebelumnya sehingga dakwah ini banyak menarik simpati dari berbagai kalangan masyarakat, karena dakwah Ikhwanul muslimin tidak hanya terpaku di masjidmasjid, melainkan juga di kafe-kafe, maupun kedai-kedai, kemudian waktu yang

dipakai untuk sekali menyampaikan dakwah pada satu tempat seminimal mungkin, karena masyarakat akan cepat bosan jika terlalu lama. Dalam waktu yang relatif singkat, Ikhwanul Muslimin banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat Mesir.

Mula-mula gerakan ini menekankan pentingnya pembangunan sosial,

pendidikan, dan moral kaum muslim, jadi merupakan suatu usaha reformasi dari yang sudah lama dirintis tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Tetapi sistem organisasi yang diterapkan oleh Hasan al-Banna sedemikian praktis dan modern sehingga Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi yang secara konkret mencoba merealisasikan pikiran-pikiran pembaharuan Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dan dalam

pertumbuhan selanjutnya Ikhwanul Muslimin menjadi tidak saja sebagai gerakan sosial dan pendidikan, tetapi juga kekuatan sosial-politik yang selalu diperhitungkan baik sebelum maupun sesudah revolusi Mesir 1952 (M. Amin Rais, 1990: 75). Pengaruh Ikhwanul Muslimin bukan hanya sebatas Mesir, karena

nasionalisme yang dibangun oleh organisasi ini bukan nasionalisme dalam artian 3

Negara yang dibentuk berdasarkan kolonialisasi Barat, akan tetapi nasionalisme yang berdasarkan Islam, sehingga mereka memperjuangkan hak-hak dan kebebasan masyarakat Muslim di manapun. Berdasarkan nasionalisme tersebut, Ikhwanul Muslimin diterima dan membuka cabangnya di berbagai wilayah Islam seperti di Syiria, Palestina, Yordania, maupun wilayah-wilayah lainnya yang terkadang tidak langsung menamakan gerakannya dengan nama Ikhwanul Muslimin, akan tetapi ideologi dan pola yang mereka pakai mengikuti pola dan ideologi Ikhwanul Muslimin.

Karena pengaruh Ikhwanul Muslimin yang sangat signifikan dalam dunia

Islam seperti yang dijelaskan di atas, maka akan sangat logis jika pihak-pihak yang berseberangan ideologi dan merasa terancam dengan keberadaannya berusaha untuk membumihanguskannya, khususnya di Mesir yang merupakan akar dan pusat dari gerakan tersebut. Akar dan ideologi Ikhwanul Muslimin yang sangat konsern terhadap ajaran Islam dan menganggap Islam adalah solusi terbaik terhadap segala kompleksitas permasalahan manusia, tentu berseberangan dan berlawanan dengan paham sekuler yang menginginkan adanya pemisahan antara agama dan bukan agama di dalam setiap aktivitas manusia. Paham sekuler di Mesir menghendaki jika agama hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan Ikhwanul Muslimin menghendaki jika agama bukan hanya menyangkut ritual ibadah antara makhluk (ciptaan) dengan sang Khalik (Pencipta), akan tetapi agama adalah pedoman hidup manusia di bumi dan jalan terbaik menuju akhirat.

Najib Kailani merupakan seorang novelis dari kalangan Ikhwanul Muslimin; sebuah organisasi yang mempunyai pandangan jika Islam adalah solusi dalam 4

(5)

modern, sehingga melekat julukan baginya sebagai sastrawan Islam. Julukan

sastrawan Islam yang melekat pada diri Najib Kailani bukan tanpa alasan. Julukan itu melekat padanya karena dia sering mengangkat problematika umat Islam di seluruh dunia, bukan hanya berkisar seputar Mesir; seperti ketika dalam karyanya yang menceritakan tentang Indonesia pada tahun 1965 dalam novelnya yang berjudul A’dzrou Jakarta (Gadis Jakarta), yang menceritakan tentang partai komunis di Indonesia yang berseberangan politik dan ideologi dengan partai Masyumi, tidak ada yang menyangkal jika ada kedekatan ideologi antara Ikhwanul Muslimin dengan partai Masyumi di Indonesia ketika itu, atau dalam novelnya yang berjudul Layali Turkistan (Malam-malam di Turkistan), yang menceritakan tentang terlupakannya Turkistan oleh orang-orang Islam karena tidak adanya nama wilayah tersebut dalam peta dunia. Memang, wilayah Turkistan sekarang bernama Xinjiang, salah satu Provinsi di China yang etnisnya disebut Uighur.

Fenomena-fenomena umat Islam yang diangkat oleh Najib Kailani dalam karyanya sehingga melekat julukan sebagai sastrawan Islam merupakan

kepeduliannya yang mendalam terhadap Islam dan umat Islam sendiri yang tak dibatasi oleh ruang lingkup Negara, akan tetapi dalam ruang lingkup yang lebih luas, yakni dunia Islam. Adapun dari beragam permasalahan yang diangkat dalam karyakaryanya yang menggambarkan umat Islam dewasa ini, novel al-Rajul al-Ladzi

Amana yang diangkat dalam penelitian ini mempunyai ciri khusus, karena yang menjadi titik fokusnya adalah umat Islam sendiri yang tidak mendalami ajaran 5

agamanya, jika karya-karyanya yang lain mengangkat ketertindasan umat Islam dalam kehidupannya, baik itu oleh penjajahan asing, penguasa negaranya, maupun benturan antar golongan dari sesama Islam sendiri dalam suatu negara. Perihal yang tidak dapat disangkal oleh umat Islam dewasa ini adalah sangat minimnya

pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam, sehingga umat Islam seakan berjalan dengan jalan yang berbeda dengan Islam, padahal hakikat ajaran Islam adalah

(6)

alasan ia ingin mencari wanita yang benar-benar hidup dengan melaksanakan ajaran dan aturan-aturan Islam. Syams di mata Iryan hanya mengenal agama sebatas kulit luarnya saja atau menganggap agama sebagai warisan dari leluhurnya, sedangkan wanita yang ia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya adalah wanita yang secara totalitas menerapkan syari’at Islam dalam hidupnya.

Fenomena Ikhwanul Muslimin dalam sejarah Mesir modern menarik untuk diteliti lebih lanjut, karena sangat signifikannya pengaruh kelompok ini dalam kehidupan masyarakat Mesir. Goldmann (1977: 19) mengatakan, bahwa karya sastra yang besar adalah ekspresi dari pandangan dunia. Pandangan dunia tidak lahir secara tiba-tiba, karena ia merupakan hasil dari produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi yang ada di sekitarnya. Maka, sebagai sebuah pandangan kolektif, pandangan dunia seperti apakah yang diekspresikan dalam novel ini yang perlu untuk diketahui lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian dalam latar belakang di atas, melahirkan tiga permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Adapun permasalahan tersebut jika dirumuskan dalam bentuk pertanyaan akan menjadi sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur novel Al-Rajul Al-ladzi Amana?

2. Pandangan dunia apa yang diekspresikan oleh struktur novel tersebut? 3. Bagaimana keterkaitannya dengan Ikhwanul Muslimin?

7

1.3 Tujuan Penelitian

Seiring dengan permasalahan yang dijabarkan dalam rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui struktur novel al-Rajul al-Ladzi Amana.

2. Mengetahui pandangan dunia apa yang diekspresikan oleh struktur novel tersebut.

3. Bagaimana keterkaitannya dengan kelompok Ikhwanul Muslimin.

Adapun tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman

dan informasi tentang kesusasteraan Arab pada umumnya, khususnya novel al-Rajul al-Ladzi Amana karya Najib Kailany. Dengan penelitian ini diharapkan dapat

memberikan tambahan pengetahuan tentang kesusasteraan Arab di indonesia, khususnya mengenai kesusasteraan yang berhubungan dengan kondisi umat Islam dan problematika yang menyertainya dalam kehidupan modern. Hal ini disebabkan minimnya perhatian terhadap pembahasan mengenai tema keislaman dalam

kesusasteraan Arab. 1.4 Tinjauan Pustaka

Najib Kailani merupakan salah satu sastrawan yang besar di dunia Arab, sehingga banyak para peneliti menggunakan karyanya sebagai objek penelitian mereka. Salah satu karya Najib Kailani yang telah diteliti sebelumnya adalah novel al-Rajul al-Ladzi Amana ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Mir’atur Rohmah dalam skripsinya yang berjudul Balaghah fi Tasybih fi

al-Riwayah al-Rajul al-Ladzi Amana li Najib al-Kailani Dirasah Tahliliyah Arkan al8 Tasybih (2008). Pembahasan dalam skripsi ini hanya mengenai tasybih

(7)

dari ilmu balaghah mengenai pengungkapan suatu lafadz dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain berdasarkan sifat, jenis, atau bentuk yang sama antara keduanya. Dalam khazanah bahasa Arab, tasybih termasuk dalam penggunaan gaya bahasa yang tinggi. Secara umum, penggunaan gaya bahasa tasybih bertujuan untuk menjelaskan lawan bicara keadaan seseorang atau sesuatu yang dibicarakan, baik itu memujinya, menjelekkannya, ataupun menyebut keunggulannya. Skripsi ini hanya melihat indikasi pemakaian rukun-rukun tasybih dengan tujuan-tujuan yang menyertainya dalam novel al-rajul al-ladzi amana, sehingga yang menjadi titik fokus dalam penelitiannya hanya mengenai bahasa yang mengandung tasybih yang terdapat dalam kalimat-kalimat yang ada dalam cerita novel ini.

Eni Kurnia Wati dalam skripsinya yang berjudul Shurah al-Mar’ah fi

Riwayah alRajul al-Ladzi Amana li Najib al-Kailani Dirasah Naqdiyah Adabiyah Nisa’iyah (2009), karena penelitian ini menggunakan pendekatan kritik sastra feminis, sehingga yang menjadi titik fokus dalam pembahasannya hanya berkisar tentang pengidentifikasian tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam novel, kemudian dicari kedudukannya dalam masyarakat beserta tujuan hidup dari tokoh-tokoh perempuan tersebut.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di atas, tidak ada yang

menyangkut permasalahan pandangan dunia yang berasal dari kelompok atau kelas pengarangnya. Padahal, pemahaman yang koheren terhadap sebuah karya sastra 9

dapat dicapai dengan menganalisis pandangan dunia yang disampaikan dari karya tersebut. Dengan menganalisis pandangan dunia yang ada di dalam karya sastra, maka akan dapat ditemukan kejelasan hubungan antara karya sastra dengan kehidupan masyarakat, karena pandangan dunialah yang menghubungkan antara karya sastra dengan kehidupan realitas masyarakat.

1.5 Landasan Teori

Karya sastra merupakan sebuah struktur, karena karya sastra memiliki unsurunsur atau susunan yang bersistem; antara unsur yang satu dengan unsur yang

lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling berkaitan. Kemudian, karya sastra tidaklah hadir dari sebuah kekosongan dan tanpa konteks yang mengitarinya. Dalam artian, karya sastra tidak akan hadir secara tiba-tiba tanpa adanya peristiwa bersejarah atau keadaan sosial suatu masyarakat tertentu yang di dalamnya

pengarang hidup sebagai anggota dari masyarakat tersebut. Oleh karena itu, seorang sastrawan tidak bisa terhindarkan dari konvensi sastra yang telah ada sebelumnya dan juga tidak dapat terlepas dari latar sosial budaya masyarakat (Goldmann, 1977). Strukturalisme genetik berusaha menemukan kesejajaran struktural antara

struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sedangkan kesejajaran antara keduanya tidak bersifat langsung. Dalam artian, struktur karya sastra tidak sejajar dengan struktur masyarakat, melainkan sejajar dengan pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu, kemudian pandangan dunia itulah yang berhubungan langsung dengan struktur masyarakat yang memilikinya (Faruk, 2010: 64-65). Kesejajaran itulah yang dinamakan homologi dalam strukturalisme 10

(8)

pandangan dunia tertentu.

Pandangan dunia (Goldmann, 1977: 17) tidak lain daripada kompleks

menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dengan yang mempertentangkannya dari kelompok sosial yang lain. Dengan demikian, pandangan dunia bagi strukturalisme genetik, tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas tertentu mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada, melainkan bisa juga semacam cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota satu dengan anggota lainnya dalam suatu kelas yang sama dan membedakannya dengan anggota-anggota dari kelas sosial ataupun sosial yang lain.

Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann, 1977: 18). Pandangan dunia tidak lahir secara tibatiba, karena ia merupakan hasil dari interaksi antara subjek kolektif dengan situasi

yang ada di sekitarnya. Transformasi mentalitas yang lama secara bertahap dan perlahan-lahan diperlukan supaya terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama itu (Goldmann, 1981: 112).

Goldmann menyimpulkan bahwa studi ilmiah terhadap fakta-fakta

kemanusiaan, baik itu sosial, ekonomi, politik atau budaya melibatkan usaha untuk menerangkan proses-proses itu melalui pembongkaran terhadap keseimbangan yang 11

telah mereka hancurkan dan mengarah ke arah mana mereka bergerak (Goldmann, 1975: 156). Fungsi menurut Goldmann selalu berada pada tataran tidak disadari, sedangkan struktur berada pada tataran yang disadari (Goldmann, 1981: 40). Pada dasarnya, seorang pengarang menyuarakan pandangan dunia suatu kelompok sosial (transindividual subject), pandangan tersebut bukanlah suatu realitas, melainkan sesuatu yang hanya dapat dinyatakan secara imajinatif dan konseptual dalam bentuk karya sastra besar (Goldmann, 1977: 9).

Karya sastra menurut Goldmann merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, untuk merealisasikan pandangan dunianya itu ke dalam karya sastra pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajinatif. Adapun yang menjadi pusat perhatian Goldmann adalah relasi antara tokoh dengan tokoh lainnya serta antara tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya. Peran tokoh dalam teori strukturalisme genetik sangat penting, karena melalui tokoh itulah pesan disisipkan oleh seorang pengarang sebagai subjek transindividual. Dalam konteks strukturalisme genetik, konsep struktur karya sastra berbeda

dari konsep struktur yang umum dikenal (Faruk, 2005: 17). Karya sastra yang sering menjadi bahan penelitian Goldmann adalah novel. Menurutnya novel merupakan the story of a degraded search, a search for authentic values in a world itself degraded, but at an otherwise advanced level according to a different mode (Goldmann, 1975: 1).

The novel form seems to me, in effect, to be the transposition on the literary plane of everyday life in the individualistic society created by market production. 12

(9)

everyday relation between man and commodities in general, and by extension between man and other man, in a market society. In other words, the novel form is refresentative of everyday life, specifically of life in an individualistic, market-driven society”. (bentuk novel—menurut saya—adalah transposisi dari kehidupan sosial ke dalam struktur literer yang dikonstruksi oleh individu pengarang dalam sebuah masyarakat ekonomi. Terdapat homologi yang jelas antara bentuk literer novel dengan kehidupan ekonomi dan juga tidak dapat dijelaskan juga adalah

perbedaannya dengan individu lainnya. Dengan kata lain, bentuk novel adalah struktur yang mewakili kehidupan sehari-hari, khususnya suatu individu, yang digerakkan oleh suatu kehidupan ekonomi.)

Syarat yang dikemukakan Goldmann untuk memenuhi konsepnya tersebut adalah karya yang akan dianalisis haruslah karya yang besar. Dalam menjelaskan konsep karya besar tersebut, Damono (1979: 45) menegaskan bahwa karya sastra yang besar adalah karya sastra yang memiliki ciri kepaduan internal yang

menyebabkannya mampu mengekspresikan kondisi manusia yang universal dan sadar. Dan Goldmann menyiratkan bahwa, hanya karya sastra besar yang berbau sosiologis dan filsafat saja yang pantas ditelaah.

Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra memiliki struktur yang berarti

(Goldmann, 1970: 583). Oleh karena itu, Goldmann beranggapan adanya homologi antara struktur sastra dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau

masyarakat (Goldmann, 1977: 159). 13

Dalam hipotesisnya sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya,

Goldmann mencoba mendapatkan makna dalam arti menemukan pandangan dunia (world view) yang dikemukakan oleh pengarang melalui karyanya (Goldmann, 1975: 156). Kemudian Goldmann menyebutkan bahwa semua aktivitas manusia didasarkan pada usaha memberikan makna sebagai respon terhadap situasi khusus dalam

konteks menciptakan keseimbangan antara kegiatan masyarakat dan lingkungannya (Goldmann, 1975: 165). Oleh karena itu, manusia selalu mempunyai kecenderungan perilaku yang bersifat alami karena manusia berusaha untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang merupakan suatu proses hubungan timbal balik atau hubungan dialektik (Goldmann, 1981: 40).

Dasar hipotesis Goldmann adalah, semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas, maksudnya perilaku manusia selalu merupakan respon terhadap lingkungannya. Kemudian, bahwa kelompok sosial tertentu mempunyai tendensi atau kecenderungan untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dari pola yang sudah ada, dan bahwa perilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju transendensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua aksi sosial dan sejarah (Goldmann, 1973: 115-118). Hal inilah yang disebut oleh Goldmann sebagai fakta-fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan dapat

dibedakan menjadi dua yaitu, fakta individual dan fakta sosial. Fakta sosial mempunyai peranan di dalam sejarah, sedangkan fakta individual sebaliknya. Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis) yang hanya mungkin diciptakan oleh subjek trans-individual (Goldmann, 1981: 97).

(10)

Pandangan dunia (world view) merupakan hal yang memediasi antara karya sastra dengan subjek tersebut (Goldmann, 1977b: 17). Bagi Goldmann (1977b: 9), karya sastra dapat dipandang tidak hanya sebagai sekedar refleksi sebuah kenyataan dan kesadaran suatu kelompok atau secara kolektif tertentu, melainkan lebih sebagai puncak dari kecenderungan pemikiran-pemikiran individu yang memiliki koherensi dengan struktur mental suatu kelompok. Kemudian, hubungan antara ideologi kolektif dengan penciptaan karya oleh individu, maupun juga dalam kreasi filosofis dan teologis tidaklah terletak pada kesamaan atau kesejajaran isi secara arbitrer (hubungan isi secara langsung), melainkan berkorespondensi melalui kualitas hubungan yang bersifat struktural. Selanjutnya, karya sastra berhubungan dengan struktur mental kelompok sosial tertentu (coherent mental structure) yang dapat diperluas melalui hubungan individu dengan kelompok melalui sebuah pandangan dunia. Lalu, kesadaran kolektif (collective consciousness) bukan merupakan realitas utama atau realitas yang otonom, subjek kolektif yang berkolaborasi dalam pikiran individu dengan struktur mental kelompok.

Pandangan dunia bersifat historis dan merupakan hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu (Goldmann, 1981: 112). Pandangan dunia ini bukanlah kesadaran yang nyata, melainkan kesadaran yang mungkin (possible consciousness) yang hanya ada dalam imajinasi pengarangnya (Goldmann, 1981: 66). Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Goldmann, 1981: 111). 15

1.6 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut, novel al-Rajul al-Ladzi Amana adalah karya sastra yang besar karena berisi pandangan dunia penulisnya yang merupakan perwakilan dari pandangan dunia kolektifnya. Sebagai karya sastra yang besar, novel ini memiliki gambaran-gambaran mengenai manusia, dunia, cinta, Tuhan, dan kehidupan yang saling berhubungan satu sama lain dalam suatu struktur yang koheren. Struktur dalam novel ini sejajar atau homolog dengan pandangan dunia yang diekspresikan dalam novel ini.

1.7 Metode Penelitian

Objek material penelitian ini adalah novel al-Rajul al-Ladzi Amana karya

Najib Kailani. Adapun objek formal dari penelitian ini adalah struktur novel al-Rajul al-Ladzi Amana dan pandangan dunia yang tersirat dalam novel tersebut. Setelah menentukan objek material dan objek formal dari penelitian ini, maka tahapan selanjutnya adalah membaca novel al-Rajul al-Ladzi Amana dan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini. Data utama adalah kutipan-kutipan yang terdapat dalam novel al-Rajul al-Ladzi Amana, dan sumber data tambahan berupa buku-buku tentang filsafat Islam, kehidupan sosial, ekonomi dan keagamaan masyarakat Mesir khususnya yang berkaitan dengan Ikhwanul Muslimin ketika novel ini ditulis.

Dalam sebuah penelitian harus dipilih metode dan langkah-langkah yang

(11)

penelitian terhadap karya sastra dilihat sebagai suatu kesatuan. Kedua, karya sastra yang dianalisis hanyalah karya yang mempunyai nilai sastra yang mengandung tegangan antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan yang padat (a coherent whole). Ketiga, jika kesatuan telah ditemukan, maka kemudian yang dianalisis adalah hubungannya dengan latar belakang sosial. Sifat dari hubungan tersebut yang berhubungan dengan latar belakang sosial adalah unsur kesatuan, dan latar belakang yang dimaksud adalah pandangan dunia suatu kelompok sosial yang dilahirkan oleh pengarang sehingga hal tersebut dapat dikonkretkan (Goldmann, 1977).

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik, yaitu metode yang beranggapan bahwa sebuah karya sastra merupakan satu kesatuan yang bulat seperti sebuah lingkaran dan koheren. Satu kesatuan yang bulat antara unsur-unsurnya yang saling mendukung satu sama lainnya sesuai dengan proporsinya masing-masing. Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi adalah pengetahuannya mengenai fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan cara mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan (Goldmann, 1964: 7). Sejalan dengan itu, metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu “keseluruhan-bagian” dan

“pemahaman-penjelasan” (Faruk, 2005: 20). Proses ini menjadi semacam gerak terus menerus dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian kembali lagi ke keseluruhan (Goldmann, 1977: 5-7). Dengan menggunakan metode seperti ini, maka akan terlihat adanya kesatuan antara struktur dan bagian yang pada akhirnya makna akan dapat dipahami secara koheren.

17

Yang dimaksud Goldmann dengan pemahaman adalah usaha untuk mendeskripsikan struktur objek yang diteliti, dan penjelasan adalah usaha

penggabungan sebuah struktur ke dalam sebuah struktur yang lebih besar yang di dalamnya struktur tersebut hanya merupakan bagian (Goldmann dalam Faruk, 1988: 106).

Menurut Goldmann (1964: 5), sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak shahih, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh sebab itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat

dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus, tanpa diketahui tempat dan titik yang menjadi pangkal atau ujungnya (Faruk, 2005: 20).

Pemakaian metode dialektik yang tidak mengenal titik awal dan titik akhir

(12)

masyarakat. Setelah memahami dengan detail dari pandangan dunia suatu kelas yang 18

dimaksudkan, kemudian mencari fenomena sosial, ekonomi, politik maupun ideologis suatu kelas itu serta menentukan apa yang menjadi karakteristik, tujuan, maupun ideologi dari kelompok tersebut. Pandangan dunia yang telah ditemukan sebelumnya merupakan sebuah ekspresi dari kelas tertentu terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan pemikiran yang ada pada periode tertentu dalam suatu sejarah masyarakat. Kemudian, pandangan dunia yang telah ditemukan tersebut dicocokkan dengan struktur novel yang telah dibuat dalam kelompok-kelompok yang saling beroposisi. Sehingga terlihatlah kesejajaran di antara struktur novel dan struktur masyarakat lewat pandangan dunia.

1.8 Sistematika Penyajian

Dalam penelitian ini, urutan penyajian disusun sebagai berikut. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode pengumpulan dan analisis data, dan terakhir sistematika penyajian. Bab kedua merupakan analisis struktur dari Novel al-Rajul al-Ladzi Amana karya Najib Kailany. Bab ketiga merupakan analisis terhadap pandangan dunia dari novel al-Rajul al-Ladzi Amana. Bab keempat merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari penelitian ini, dan diakhiri dengan daftar pustaka.

84 BAB IV

KESIMPULAN

Novel Al-Rajul Al-Ladzi Amana mempunyai struktur yang homolog dengan

pandangan dunia yang diekspresikannya. Oposisi yang dibangun dari dua kutub yang berbeda, yakni Timur dan Barat, yang kemudian berlanjut menjadi oposisi antara hidup dalam totalitas ajaran Tuhan atau totalitas mengikuti keinginan manusia, dan manusia hidup untuk memilih di antara kedua alternatif pilihan tersebut.

Goldmann menyiratkan bahwa, hanya karya sastra besar yang berbau

sosiologis dan filsafat saja yang pantas ditelaah. Maka, dapat dikatakan bahwa karya ini adalah karya yang besar, karena mengekspresikan pandangan dunia yang

menyatakan jika keyakinan dan ideologi—dengan semua unsur utamanya—harus tercermin konsepsi tentang hakikat ketuhanan, hakikat alam semesta baik fisik maupun metafisika, hakikat kehidupan baik natural maupun supranatural, dan hakikat manusia. Harus tercermin pula segala keterkaitan yang ada di antara semua hakikat tersebut, di samping hubungan timbal-balik manusia dengannya.

Hukum Tuhan untuk manusia dalam bentuk manifestasinya yang terakhir diwakili oleh Islam, sama seperti hukum alam yang mengatur kosmos, sehingga keteraturan alam kosmos karena adanya hukum alam (natural low) yang

(13)

kosmos yang teratur dengan adanya hukum alam tersebut. Dengan hukum Tuhan, manusia bukan hanya teratur dalam hubungannya dengan sesama manusia, akan 85

tetapi juga teratur dengan alam kosmos yang mengitarinya atau tempat di mana ia tinggal.

Sedangkan hukum-hukum ataupun metode-metode yang mengatur peradaban manusia jika dibuat oleh manusia, maka dengan segala kelemahannya sedikit atau banyak dapat berbenturan dengan fitrah manusia itu sendiri. Hal itu karena

keterbatasan manusia dalam mengetahui tentang hakikat di balik segala sesuatu dan manusia hanya bisa memahami segala yang riil di dunia. Adapun keterbatasan lainnya adalah tidak dapat berlaku adilnya manusia dalam penyusunan metode untuk membangun peradabannya. Hal ini dapat dilihat dari peradaban-peradaban buatan manusia; baik itu yang terjadi di masa lalu maupun di era modern sekarang ini, yang tidak bisa terlepas sepenuhnya dari keberpihakan peradaban tersebut kepada suatu golongan ataupun suku-suku dan strata tertentu dari masyarakatnya.

Adapun tentang struktur novel yang dianalisis dalam penelitian ini, pertamatama yang dilakukan adalah mengelompokan tokoh-tokohnya ke dalam beberapa bagian yaitu, Tuhan, dunia, dan manusia. Tokoh yang merepresentasikan Tuhan adalah Syekh Id al-Husaini, hal ini karena tokoh ini merepresentasikan nilai-nilai ketuhanan dalam cerita novel ini. Secara fungsional di dalam cerita, tokoh Syekh Id sebagai Tuhan, adapun nilai-nilai ketuhanan yang direpresentasikan oleh sang Syekh adalah nilai-nilai ketuhanan yang substansial menurut penulis novelnya. Jadi, Tuhan yang struktural membawa nilai-nilai ketuhanan yang substansial menurut penulis novel.

Tokoh yang merepresentasikan dunia adalah Sofia, karena tokoh ini

mengamalkan nilai-nilai keduniaan dalam hidupnya. Nilai-nilai keduniaan yang 86

dimaksud dalam novel ini adalah nilai-nilai yang tidak berasal dari Tuhan, dengan kata lain nilai-nilai yang berasal dari manusia sendiri. Dalam pandangan dunia, metode dan undang-undang buatan manusia sedikit atau banyak berbenturan dengan fitrah manusia. Hal inilah yang terlihat dalam diri seorang Sofia. Kehidupan Sofia yang tidak mengenal batasan dari ajaran Tuhan, karena yang ada dalam benaknya adalah segala sesuatu yang dapat membuatnya bahagia; materi dan hiburan malam; kebahagiaan semu yang tanpa ia sadari merontokkan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam dirinya.

Adapun tokoh yang dipilih menjadi manusia dalam novel ini adalah Iryan dan Syams, maka tokoh-tokoh yang menjadi manusia memilih di antara dua alternatif, yakni menjadi Tuhan atau menjadi Dunia. Menjadi Tuhan dalam artian hidup secara totalitas mengikuti ajaran, batasan-batasan, metode, maupun undang-undang Tuhan dalam segala aktivitas kehidupannya, sedangkan menjadi Dunia adalah hidup dengan menafikan hukum maupun undang-undang Tuhan, dan berjalan dengan segala

(14)

Iryan, yang awalnya mengikuti metode dan undang-undang buatan manusia

dalam hidupnya melihat ada yang aneh dalam pandangannya, misalnya memuji dan mengagungkan nama Tuhan dengan memakai jubah keimanan di tempat ibadah, kemudian melepas jubah keimanan tersebut ketika berada di luarnya, seakan jubah 87

keimanan itu dipakai hanya ketika berada di tempat ibadah. Adapun dalam

kehidupan bermasyarakat, Iryan melihat seakan orang-orang kecil dan yang memiliki kekurangan dalam segi materi hanya menjadi penonton dalam kehidupan dunia, sedangkan golongan yang berada di atasnya menjadi pengatur kehidupan dalam berbagai hal seperti kebijakan ekonomi, politik, maupun keamanan. Sedangkan yang tidak mempunyai materi, tidak ada jaminan keamanan baginya, karena segala

sesuatunya tidak ada yang gratis. Beginilah jika peradaban menyembah dan bersujud di hadapan materi atau peradaban yang meletakkan materi di atas nilai-nilai

kemanusiaan.

Kemudian setelah Iryan memeluk Islam, dengan berusaha memahami dan menjalankan ajaran-ajarannya secara totalitas baik dari segi ibadah maupun muamalah (tingkah laku), ia melihat bahwa Islam memuliakan manusia dan mengangkat derajatnya dengan kemuliaan itu, mengakui fitrah dan kemuliaan manusia sehingga tidak menjatuhkan manusia ke dalam derajat hewan, dan juga tidak meninggikan manusia sampai ke derajat dewa. Memuliakan manusia dan mengangkat derajatnya bukan berarti menafikan pentingnya materi dalam kehidupan manusia, hanya saja materi dipandang sebagai kebutuhan manusia, bukan tujuan dari penciptaannya.

Islam dan Tuhan dalam pandangan Ikhwanul Muslimin layaknya dua sisi

mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu sisi dan sisi lainnya, karena Islam adalah manifestasi dari metode dan perundang-undangan Tuhan untuk manusia di dunia. Begitu juga halnya antara Islam dan Ikhwanul Muslimin, karena kelompok ini mempunyai pandangan jika metode dan perundang-undangan Tuhan adalah metode 88

dan perundang-undangan yang paling sempurna untuk manusia, sedangkan metode dan perundang-undangan Tuhan terejawantahkan dalam ajaran-ajaran dan pesanpesan yang termuat di dalam Islam.

Adapun ajaran-ajaran dan pesan-pesan Tuhan yang termuat di dalam Islam

tertulis dalam inti pokok ajaran Islam yakni, Al-Qur’an dan Sunnah (hadits Nabi). Oleh karena itu, organisasi Ikhwanul Muslimin menyemarakkan umat Islam untuk kembali kepada ajaran pokok dari Islam itu sendiri yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah berarti kembali mengkajinya, karena ia adalah kalam Ilahy (perkataan Tuhan) yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, dalam artian ia selalu sesuai dengan segala zaman dan segala konteks kehidupan manusia.

vii

(15)

HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INDONESIA HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

INTISARI ... ix

ABSTRACT ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Landasan Teori ... 9

1.6 Hipotesis ... 15

1.7 Metode Pengumpulan data dan Analisis ... 15

1.8 Sistematika Penyajian ... 18

BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL AL-RAJUL AL-LADZI AMANA ... 19

2.1 Struktur Novel al-Rajul al-ladzi Amana Najib Kailany ... 19

2.1.1 Tuhan ... 20

2.1.2 Dunia ... 27

2.1.3 Manusia ... 37

2.1.3.1 Iryan ... 37

Viii (halaman) 2.1.3.2 Syams ... 48

BAB III ANALISIS PANDANGAN DUNIA IKHWANUL MUSLIMIN ... 58

3.1 Tuhan dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin ... 59

3.2 Dunia dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin ... 67

3.3 Manusia dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin ... 77

BAB IV KESIMPULAN ... 84

(16)

Parafrasetara

Kajian Sastra dan Bahasa

 Home

Kemampuan Mahasiswa Mengaplikasikan Kritik Sastra

Marxis dalam Penelitian Sastra Interdisipliner

by D. Jupriono 05 Januari 2012

D. Jupriono

Fakultas Sastra, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

Kondisi objektif penelitian mahasiswa yang berperspektif kritik sastra marxis menunjukkan tiga kecenderungan. (1) Sedikit sekali jumlah penelitian yang mengaplikasikan rumpun teori sastra marxis. (2) Dari sekian banyak teori sastra marxis, yang paling dominan dipilih mahasiswa adalah pandangan dari Karl Marx. (3) Penguasaan dan aplikasi teori sastra marxis dalam penelitian mahasiswa

masing jauh dari yang diharapkan. Prinsip dasar rumpun teori sastra marxis (Marx & Engels, Lenin, Lukacs, Brecht, Zima, Plekanov, Marcuse, Benjamin, dan Trotsky) adalah bahwa: karya sastra harus berpihak kepada penderitaan golongan proletar; karya sastra harus memperlihatkan perlawanannya kepada golongan borjuis;

(17)

realisme sosialis dengan bahasa lugas sehingga mampu membangkitkan kesadaran golongan tertindas.

Abstrak

Student application Ability of Marxist theory art show three tendency: (1) at least sum up the research of have clump to Marxist theory of art; (2) from so much theory, what most is dominant selected by a student is view of Karl Marx; (3) domination and application of theory of Marxist art in research a long way off its base principles. Elementary principle of clump of theory of Marxist art (Marx & Engels, Lenin, Lukacs, Brecht, Zima, Plekanov, Marcuse, Benjamin, and Trotsky) is that: belleslettres have to stand up for the proletarian faction grief; belleslettres have to show the antigolongan bourgeois; the pemihakan resistance and have to represented through masterpiece of socialist realism with the bare Ianguage so that able to awaken the oppressed faction awareness.

Kata-kata kunci: penguasaan teori, aplikasi teori, realisme sosialis, kritik sastra marxis, konflik kelas

Pendahuluan

(18)

Kajian sosiologi sastra berperspektif sosiologi mempunyai banyak rumpun teori, misalnya sastra dan realitas, kritik sastra marxis, strukturalisme genetik, sastra dan politik, hegemoni, feminisme, dan resepsi sastra (Steen, & Schram, 2001). Terdapat kecenderungan bahwa rumpun teori (kritik) sastra marxis kurang mendapat peminat setidaknya dibandingkan dengan rumpun sastra dan realitas, strukturalisme genetik, dan resepsi sastra. Mempertimbangkan hal tersebut, masalah tulisan ini, difokuskan pada hal-hal berikut. (1) Bagaimanakah kondisi objektif penelitian mahasiswa yang mengaplikasikan kritik sastra marxis? (2) Bagaimana sesungguhnya prinsip-prinsip dasar rumpun kritik sastra marxis?

Kemampuan Mengaplikasikan Kritik Sastra Marxis dalam Penelitian

Secara singkat, kondisi objektif penelitian mahasiswa yang berperspektif kritik sastra marxis menunjukkan tiga kecenderungan kuat berikut. (1) Jumlah penelitian yang mengaplikasikan rumpun teori sastra marxis amat sedikit. (2) Dari sekian banyak teori sastra marxis yandg dipakai pada segelintir penelitian mahasiswa, yang paling dominan dipilih mahasiswa adalah pandangan dari Karl Marx. (3) Penguasaan dan aplikasi teori sastra marxis dalam penelitian mahasiswa masing jauh dari yang diharapkan.

Kecenderungan pertama, seperti sudah disebutkan, adalah teramat sedikitnya— mungkin malah langka—penelitian mahasiswa yang mengangkat kritik sastra marxis selama Orde Baru berkuasa (1966—1998), bahkan hingga sekarang ketika fobi ideologi tidak lagi populer. Ada beberapa kemungkinan dugaan mengapa demikian.

(19)

ketakutan yang sama masih juga menghantui di era Reformasi ini, jelas-jelas itu sebuah ketakutan imajiner.

Kedua, sebagai akibat dari kondisi pertama, sungguh amat langka penelitian dosen —yang umumnya diacu oleh penelitian mahasiswa—yang berperspektif kritik sastra marxis. Termasuk di dalamnya adalah dilarangnya terbitan dan publikasi yang mengangkat topik marxisme. Maka, novel-novel besar Pramoedya, misalnya, dibredel (GoGwlit, 1996). Ketika zaman sudah berubah, memasuki era Reformasi pun, pernah ada gerakan pembakaran dan sweeping buku-buku kiri—atau yang dianggap kiri. Akibatnya, mahasiswa pun mengalami kesulitan mencari bahan rujukan untuk penelitian sastra berperspektif marxis.

Ketiga, berkaitan dengan sebab pertama dan kedua, materi perkuliahan marxisme —termasuk kritrik sastra marxis—lenyap dari ruang-ruang kelas. Jika toh diberikan dosennya, porsinya sekadar “numpang lewat”. Selebihnya adalah risiko: diperingatkan atasan, dihambat kariernya, dipecat, atau dituduh subversi. Hal ketiga ini sekarang sudah tidak lagi populer.

Kecenderungan kedua adalah bahwa dari sekian banyak teori sastra marxis yang dipakai pada segelintir penelitian mahasiswa, yang paling dominan dipilih mahasiswa adalah pandangan Karl Marx, sementara versi tokoh lain sepi peminat. Seperti dapat dilacak dalam berbagai sumber, banyak sekali teori yang berpayung di bawah rumpun teori sastra marxis, misalnya (1) pandangan Marx & Engels tentang tendensi politis penulis, (2) pandangan Vladimir Lenin tentang dasar kritik sastra marxis, (3) pandangan Lukacs tentang teori realisme sosialis, (4) pandangan Brecht tentang keharusan sastrawan memperjuangkan kepentingan buruh, (5) pandangan Zima tentang karya sastra sebagai reaksi terhadap konteks sosial yang sanggup membangkitkan kesadaran masyarakat, (6) pandangan Plekanov tentang keterikatan karya sastra dengan kelas sosial (Luxemburg et al., 1986), (7) pandangan Marcuse tentang karya sastra sebagai jalan pembebasan (Marwoto, 2001), (8) pandangan Benjamin tentang dasar-dasar politik dalam karya sastra (Hakim, 2001), serta (9) pandangan Trotsky tentang akar dan fungsi sosial sastra (Trotsky, 2003).

(20)

menyebabkan popularitas Marx jauh melampui tokoh lain. Buku Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas karya Sapardi Djoko Damono (1979), Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal karya Saraswati (2003), dan juga artikel “Marxist and Materialist Analysis” karya Donald E. Hall (2001), misalnya, membuktikan hal itu. Kedua, beberapa mata kuliah lain, bahkan juga di luar bidang kesastraan, lebih sering mengangkat pandangan Marx ketimbang Lenin, Zima, atau Plekanov, misalnya. Mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern (I, II) dan Pranata Masyarakat Indonesia (I, II) di fakultas sastra, Teori Politik dan Teori Negara di FISIP, dan Teori Pembangunan di fakultas ekonomi, misalnya, juga hanya menyinggung pandangan Marx dan tidak bagi tokoh marxisme lain.

Kecenderungan ketiga, penguasaan dan aplikasi teori sastra marxis dalam penelitian mahasiswa masing jauh dari yang diharapkan. Hal ini tampak dari beberapa indikator berikut.

Pertama, cukup kuat persepsi di kalangan mahasiswa peminat kritik sastra marxis —yang jumlahnya sedikit itu—bahwa setiap novel atau cerpen yang berisi konflik berdarah, perang, atau kerusuhan layak ditelaah dari perspektif sastra marxis. Sebetulnya, persepsi ini tidak sepenuhnya salah, hanya jelas merupakan penyederhanaan masalah berlebihan. Pada marxisme, konfliknya harus konflik kelas, atau yang dapat dikategorikan sebagai kelas sosial, yang berembrio pada konflik abadi golongan proletar vs. borjuis (Robbins, 1999; Hall, 2001a). Konflik personal Tokoh Kita dalam novel Ziarah (1969; 1999) dan konflik tokoh Dia dengan cuaca alam dalam Kering (1972; 2000) karya eksistensialis Iwan Simatupang— bagaimanapun tingginya mutu kedua novel—jelas tidak relevan untuk ditelaah dari perspektif kritik sastra marxis. Hal yang sama juga tidak dapat diberlakukan pada konflik yang berbuntut penderitaan psikis luar biasa antara Roger Chillingworth dengan Hester Prinne dan Arthur Dimmesdale dalam novel “puritanisme romantik”

The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne (Lyn, 1997).

Kedua, lemahnya penguasaan materi kritik sastra marxis oleh mahasiswa tampak pada sedikitnya, atau bahkan absennya sama sekali, ulasan teori sastra marxis dari bagian landasan teori, kajian pustaka, kerangka teori, pendekatan penelitian, analisis, dan kesimpulan serta saran. Sebuah kasus konkret layak diangkat di sini. Seorang mahasiswa meneliti perbandingan konflik dalam novel The Gilded Age (1948) karya Mark Twain dan The Jungle (1956) karya Upton Sinclair.

(21)

Pada bagian metodologi disebutkan bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekstrinsik sosiologi sastra dengan perspektif konflik kelas Marx. Pada bagian kajian pustaka pun sudah dibahas tiga penelitian terdahulu mengenai kedua novel. Pada bagian landasan teori sudah pula dijelaskan beberapa konsep dasar tentang konflik dalam fiksi, jenis-jenis konflik, konflik kelas versi Marx dalam kajian sosiologi sastra. Sampai di sini lancar-lancar saja. Akan tetapi, dalam bagian analisis data, mahasiswa mendeskripsikan dan mengeksplanasikan konflik tanpa disangkutpautkan dengan perspektif konflik kelasnya Marx dalam sosiologi sastra. Mahasiswa serius ini hanya membedah konflik antartokoh mewakili kelas masing-masing berdasarkan data semata, seperti dalam kajian intrinsik. Dalam kesimpulan dan saran pun senada. Jika demikian, apa bedanya kajian ekstrinsik sosiologis dengan kajian intrinsik?

Ketiga, terjadi salah perspektif keilmuan pada mahasiswa karena menganggap bahwa kajian sosoiologi sastra marxis sama saja dengan kajian marxis dalam bidang sosiologi “murni”. Maka, laporan skripsinya lebih menampilkan sosok mahasiswa FISIP ketimbang mahasiswa fakultas sastra atau FKIP. Sebuah kasus konkret layak dihadirkan di sini. Untuk penelitian skripsinya seorang mahasiswa mengangkat konmflik dalam Iron Heel karya Jack London (1905). Pilihan ini tepat sebab Iron Heel memang berkisah tentang konflik akibat industrialisasi berwajah kekerasan gara-gara tokoh utama Ernest Everhart, seorang sosialis, mencoba menumbangkan para kapitalis. Lucunya, pada bagian kajian pustaka dan landasan teori, tidak disebut satu pun konsep dan teori sosiologi sastra. Yang dikupas panjang lebar komplet adalah konsep dasar murni sosiologi. Dalam menganalisis data pun demikian. Pada analisis (bab III) ada dua bagian: pertama, temuan tentang konflik sesuai dengan data dalam novel dan kedua, diskusi hasil temuan. Pada bagian pertama tidak ada persoalan. Tetapi pada bagian kedua, mahasiswa tersebut bagaikan juru kampanye pilpres, dengan cukup provokatif mengulas panjang lebar soal kekejaman golongan kapitalis dalam meraup modal, penderitaan golongan sosialis buruh, tanpa disangkutkan dengan data novel. Sebagai calon politikus atau pejabat di Indonesia, ia amat potensial berbakat, tetapi sebagai calon ilmuwan sastra, ia gagal.

Prinsip Dasar Rumpun Teori Sastra Marxis serta Contoh Aplikasi

(22)

Tendensi Politis Sastrawan (Marx & Engels)

Marx tidak berbicara khusus soal sastra. Akan tetapi, lewat penjelasan Engels, pandangan Marx tentang sastra dapat diketahui sebagai berikut. (1) Setiap karya sastra harus bertendensi politis, tetapi tendensi tersebut hendaknya tersirat saja. (2) Setiap sastrawan hendaknya menampilkan realisme baru tentang tokoh-tokoh yang representatif (Saraswati, 2003). (3) Setiap karya sastra hendaknya berkekuatan sebagai praksis sosial dalam berbagai kontradiksi perkembangan historis, dan tidak hanya semata-mata mencerminkan nilai estetis dan filosofis. (4) Pengkajian sastra hendaknya dapat membongkar unsur-unsur ideologis sebagai kesadaran palsu (Soetomo, 2001).

Misalnya, puisi penyair Wiji Thukul—yang hingga sekarang masih (di)hilang(kan) secara misterius—berjudul “Peringatan” yang ditulis pada 1986 (Thukul, 2000: 61): … Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/ Maka hanya ada kata: lawan! Baris terakhir dalam puisi ini jelas-jelas bernilai praksis yang dapat membongkar kesadaran palsu masyarakat tertindas untuk dibangkitnya nyalinya melawan kesewenang-wenangan penguasa. Sesuai dengan pandangan pertama Marx, Thukul tidak terang-terangan menyebut bahwa yang harus dilawan adalah “penguasa Orde Baru”, misalnya. Meskipun demikian, makna tersebut tersirat dalam bait itu.

Puisi ini juga amat sesuai dengan pandangan Karl Marx bahwa setiap pemikiran (sastra, filsafat) hendaknya berkekuatan praksis—bukan sekadar teoretis, deskriptif, atau menghibur semata. Dengan “Peringatan”-nya Thukul2 mengajak bergerak melawan kesewenang-wenangan penguasa. Ini amat sesuai dengan spirit Marx yang hendak memindahkan filsafat “dari otak ke tangan”, dari sekadar wacana sporadis orang per orang menjadi praksis konkret gerakan sosial. Gerakan demikian diyakini Marx mampu mengobarkan revolusi sosial yang akan merobohkan struktur eksploitatif masyarakat kapitalistis yang tidak adil (Murfin, 1999; Marwoto, 2001). Dalam hal ini, puisi Thukul berperan sebagai pembangkit dan pemicu kesadaran golongan tertindas.

(23)

Penggerak Revolusi Bolsyevic Rusia,Vladimir I. Lenin, dianggap sebagai peletak dasar kritik sastra marxis. Pandangan khas Lenin tentang itu dideskripsikan sebagai berikut. (1) Sastra terikat dengan kelas-kelas yang terdapat dalam masyarakat tertentu. (2) Karya sastra selalu mencerminkan realitas konflik kelas di masyarakat tertentu. (3) Setiap sastrawan bertugas menjadikan karyanya agar turut menggerakkan perubahan sosial dalam pembangunan masyarakatnya. (4) Setiap karya sastra harus memenuhi tiga syarat yang ditetapkan partai, yakni: a) berfungsi sosial, b) mengabdi kepentingan rakyat banyak, dan c) menjadi bagian dari aktivitas partai komunis. (5) Satu-satunya aliran sastra yang boleh diikuti pengarang adalah realisme sosialis yang berprinsip: a) karya sastra menyajikan tafsir tentang hubungan dialektis dalam masyarakat (realisme) dan b) karya sastra mendukung perjuangan partai komunis untuk membangun masyarakat baru yang lebih adil yang menerapkan ideologi sosialisme (Luxemburg et al., 1986).

Contohnya adalah topik cerita ludruk3 “Sarip Tambakyasa”. Tokoh utama, Sarip, adalah pemuda rakyat melarat yang—walau preman urakan—sayang akan ibu kandung dan orang-orang kecil, kontras dengan kakak kandungnya, Mualim, yang telah berkeluarga, sudah haji, kaya raya, tetapi pelit—bahkan kepada ibu kandungnya pun. Sarip pun harus bentrok dengan Paidi yang mengabdi orang kaya, serta terlibat konflik dengan lurah-lurah yang menjadi antek Kompeni Belanda (Ahmadi et al., 1987; Supriyanto, 1994). Dalam sudut pandang kritik sastra marxis Lenin, Sarip adalah pahlawan dari kalangan proletar yang menuntut keadilan dan melawan kezaliman penguasa, sedang Mualim, Paidi, dan para lurah serta Kompeni Belanda adalah pembela-pembela kepentingan borjuis yang harus dilawannya. Cerita teater rakyat ludruk ini dianggap mengabdi kepada kepentingan kelas proletar (Sarip yang miskin), sesuai dengan pandangan sastra Lenin. Dalam hal demikian, sebagai karya sastra, cerita legendaris “Sarip Tambakoso” dianggap memiliki keterlibatan sosial yang cukup terhadap persoalan masyarakat tertindas.

Teori Realisme Sosialis (Georg Lukacs)

(24)

realis hendaknya seorang sosialis, dan sebagai seorang sosialis, sastrawan harus tahu dan terlibat dalam masalah sosial masyarakatnya. (5) Dalam setiap karya sastra, kepedulian sosial menjadi ukuran standar keindahan dan satu-satunya ukuran kebenaran (Syaifullah, 2001).

Contoh aplikasinya adalah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? Karya Seno Gumira Adjidarma (dalam Andalas, 2001). Naskah drama ini ditulis dan berkali-kali dipentaskan justru ketika negara terkesan membiarkan—bahkan mempeti-eskan— kasus penculikan terhadap para mahasiswa dan aktivis demokrasi. Diduga kuat penculikan ini sebagai bagian dari praktik busuk politik kekuasaan rezim otoriter. Kental sekali aroma politis naskah drama ini. Dialog-dialognya yang getir, berani, sekaligus cerdas, menohok langsung jantung kekuasaan militerisme yang mencengkeram kuat di tubuh pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam salah satu dialog, misalnya, tokoh Ayah dan Ibu bertanya, “Politik itu apa sih kok sampai menyembelih manusia segala?” (Andalas, 2001: 68). Dalam perspektif Lukacs, dramawan Seno Gumira Adjidarma secara konkret telah menunjukkan tanggung jawab dan keterlibatan sastra dan sastrawan—dalam hal ini, drma dan dramawan —di dalam masyarakat yang sedang dirundung duka, yakni penculikan beberapa aktivis dan mahasiswa oleh aparat negara. Dramawan Ajidarma dalam drama ini menunjukkan pemihakannya kepada keluarga si terculik justru ketika negara tidak menaruh simpati kepada penderitaan keluarga korban. Dalam perspektif Lukacs, pemihakan ini diwujudkan dalam bentuk drama yang merepresentasikan peristiwa sosial itu secara realistik.

Sastra dan Perjuangan Buruh (Brecht)

Pandangan-pandangan khas Bertolt Brecht mengenai sastra dan perjuangan golongan proletariat buruh dideskripsikan sebagai berikut. (1) Seorang sastrawan harus memihak kepentingan dan perjuangan kelas buruh; ia tidak boleh bersikap netral. (2) Karya sastra hendaknya tidak sekadar mencerminkan realitas sosial, tetapi lebih penting dari itu adalah mengubah kondisi ketidakadilan sosial di masyarakat. (3) Dalam endensinya turut mengubah masyarakat, karya sastra yang baik harus mempu merangsang daya kritis pembaca, penonton, untuk aktif berkesadaran dan memikirkan asalah masyarakatnya.

(25)

banyak korupsi …/ Kita memukul dan mencakar . Dalam puisi ini, Rendra jelas tidak sekadar mencerminkan realitas pembusukan hukum dan korupsi di negeri ini. Lebih dari itu, lewat sajaknya, Rendra mengajak seluruh rakyat untuk tidak tinggal diam; rakyat harus bertindak. Ajakan ini tampak pada baris puisi yang provokatif: Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja … Kita memukul dan mencakar. Dalam hal demikian, puisi “Peringatan” (2000) karya Wiji Thukul, yang telah dikutip pada bagian depan, dapat pula disejajarkan dengan puisi Rendra ini.

Sebagai karya puisi pamflet—apa pun konotasi yang diberikan pada istilah ini— sajak-sajak Rendra dan Thukul cenderung kelewat provokatif, realistik, dan lugas. Sebagai bahasa puitik, yang dipakai justru kata-kata yang tidak terlalu konotatif. Tentu saja, aktivitas interpretasi tetap dituntut meski tidak seberapa multitafsir. Taruhlah, kata kita, misalnya, hampir tidak mungkin ditafsirkan sebagai ‘penguasa’, melainkan ‘rakyat’; kata korupsi juga tidak mengandung tanda untuk diinterpretasikan lain kecuali sebagai ‘korupsi yang dilakukan para pejabat pemerintahan’. Dalam hal ini, kentara betul kepada siapa kedua penyair ini menyatakan pemihakan dan perlawanannya. Ini khas pemihakan dan perlawanan menurut cara pandang Bertolt Brecht. Akan tetapi, kata memukul dan mencakar rasanya tidak mungkin ditafsirkan secara lugas sebagai ‘gerakan tangan memukul-mukul dan mencakar-cakar’.

Sastra sebagai Reaksi terhadap Konteks Sosial (Zima)

Zima memandang karya sastra apa pun sebagai berikut. (1) Karya sastra merupakan reaksi terhadap konteks sosial kemasyarakatan yang sanggup membangkitkan kesadaran masyarakat akan masalah sosial yang dihadapinya. (2) Reaksi tersebut diwujudkan dalam bentuk ironi (pertentangan), parodi (sindiran), atau imitasi (peniruan). (3) Dalam mengekspreikan reaksi tersebut, karya sastra tidak boleh melenceng dari garis partai (Luxemburg, 1986; Saraswati, 2003).

(26)

Indonesia. Gus Mus berbuat begitu karena didorong oleh keinginannya mereaksi keadaan sosial (penguasa dan masyarakat luas) yang tidak serius mengamalkan sila-sila Pancasila, yang siang malam digembar-gemborkan dengan berbusa-busa melalui mulut penguasa.

Dalam kaca mata sastra marxis Zima, puisi Gus Mus ini sebagai sebentuk reaksi terhadap konteks ketimpangan sosial yang diwujudkan dalam bentuk sindiran atau parodi. Sebagai penyair, kiai nyentrik perokok berat ini prihatin ketika menyaksikan betapa rendah moral serta demikian mencla-mencle-nya perilaku bangsanya, khususnya para pejabat. Keterlibatan sosial-nya sebagai penyair diwujudkan dalam sindiran—dan bukan pelukisan secara ironis, kritik keras, atau deskripsi apa adanya (imitasi).

Keterikatan Karya Sastra dengan Kelas Sosial (Plekanov)

Plekanov mempunyai pandangan khas tentang keterikatan sastra dengan kelas sosial sebagai berikut. (1) Karya sastra mencerminkan kehidupan kelas sosial masyarakatnya. (2) Di samping sebagai cermin, karya sastra juga mengandung unsur yang sama sekali non-sosial dan tidak terikat dengan kelas sosial tertentu. (3) Seni sastra yang besar tidak dapat muncul dari masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuistik (Luxemburg et al., 1986).

Dalam cara pandang marxis Plekanov, sebagai contoh, bukan fenomena biasa bahwa ternyata sedikit sekali puisi dan novel besar yang menyuarakan ketidakadilan sosial, selama rezim Orde Baru—yang didominasi oleh militer dan kapitalis (pemilik modal, dalam bahasa marxis biasa disebut golongan borjuis). Ada apa ini? Mengapa demikian? Kenyataan ini membuktikan bahwa pada masyarakat yang dikuasai oleh pandangan borjuis-kapitalistik seperti Indonesia sulit lahir novel-novel besar yang mengangkat tema-tema ketidakadilan sosial di masyarakatnya. Tentu saja, tetap layak dipersoalkan, mengapa kehidupan yang timpang tidak juga menggugah para sastrawannya untuk berkarya. Memang, ada juga karya bagus yang menyuarakan ketimpangan sosial, khususnys ihwal bias gender, misalnya saja Dadaisme Dewi Sartika dan Geni Jora Abidah El Khalieqy, pemenang Sayembara Novel 2003.

(27)

Korrie Layun Rampan, beberapa karya Motinggo Busye, serta juga sebagian puisi karyas Afrizal Malna. Dari sudut pandang aliran humanisme universal, karya mereka tergolong berkualitas, tetapi dari sudut pandang Plekanov, karya-karya tersebut kurang berspirit kiri dan kurang menyuarakan perjuangan melawan ketidakadilan. Sekalipun para sastrawan humanisme universal tidak berniat dan tidak merasa memihak golongan kapitalis, tindakan mereka, dalam perspektif Plekanov, dinilai amat menguntungkan dan memuluskan praktik ganas golongan kapitalis yang cuma tahu satu kepentingan: menumpuk modal. Maka, ia bukan hanya perlu disikapi, tetapi harus juga dibuat perhitungan konkret.

Karya Sastra sebagai Jalan Pembebasan (Marcuse)

Tokoh neo-marxis Herbert Marcus berkeyakinan bahwa pandangan-pandangan ortodoks marxis tentang keradikalan kelas proletar saat ini kurang sesuai. Maka, menurut Marcus, dibutuhkan paradigma baru sosiologi marxis, juga dalam bidang kesenian, termasuk sastra (Marwoto, 2001: 34). Adapun pandangan khasnya mengenai karya sastra dan jalan pembebasan masyarakat sebagai berikut. (1) Karya seni (sastra) yang dapat diberdayakan sebagai media pembebasan sebab karya sastra klasik belum terkontaminasi oleh teknologi modern kapitalisme. (2) Karya seni klasik mempunyai dua karakter, yakni a) kekuatan afirmatif-konservatif dan b) kekuatan negasi-progresif, yang menyajikan citra kebudayaan tandingan (counter culture) terhadap realitas dominan sehari-hari. (3) Karya sastra tidak dapat mengubah dunia, tetapi dapat menjembatani perubahan kesadaran manusia-manusia yang pada akhirnya sanggup mengubah dunia (Marwoto, 2001).

(28)

Dasar-Dasar Politik dalam Karya Sastra (Benjamin)

Kekhasan pandangan Walter Benjamin sebagai pejuang neo-marxis terhadap sastra dapat dideskripsikan sebagai berikut. (1) Karya seni sastra adalah ruang yang masih tersedia bagi suatu usaha pembebasan manusia ketika masyarakat dikuasai oleh reifikasi (pemberhalaan, pembendaan) total masyarakat kapitalistik. (2) Dalam dunia kapitalistik sastra telah kehilangan aura kultis-ritual karena didesak oleh reproduksi mekanis karya seni, termasuk sastra, tetapi justru karena itu sastra harus dikeluarkan dari dunia esoterisnya untuk dibawa ke ruang eksoteris, yakni publik masyarakat, sehingga menjadi lebih demokratis. (3) Karya sastra dengan bahasa eksoteris dapat menjadi media komunikasi politik di tengah-tengah masyarakat yang dikuasi oleh modernisme kapitalistik (Hakim, 2001).

Sekali lagi, yang dihadirkan sebagai contoh adalah puisi karya penyair PRD Wiji Thukul. Judulnya “Catatan” yang ditulis penyairnya sekitar 1987-1988 (Thukul, 2000: 7): … Uang sepuluh ribu di sakuku/ Di sini hanya dapat 2 buku/ Untuk keluargaku cukup buat/ Makan seminggu/ Gemerlap toko-toko di kota/ Dan kumuh kampungku/ Dua dunia yang tak pernah bertemu. Jika dilihat dari perspektif Benjamin, puisi Thukul ini jelas puisi yang memenuhi syarat sebagai karya sastra yang dapat dipakai untuk menyuarakan penderitaan dan membebaskan manusia dari sergapan nilai kapitalisme yang mereifikasi, “memberhalakan” segala bidang kehidupan (harga buku yang mahal, kota yang gemerlap). Kata-kata yang dipilih Thukul pun tidak esoteris, yang sulit dimengerti orang luar, tetapi justru kata-kata lugas dan eksoteris, dapat ditangkap dengan jelas oleh siapa pun publiknya— tukang becak dan buruh pabrik sekalipun. Oleh karena itu, puisi ini dapat diberdayakan sebagai media komunikasi politik: menyuarakan ketimpangan sosial, yang berarti mengingatkan kepada sesama orang kecil akan kegagalan penguasa memakmurkan rakyatnya.

Akar dan Fungsi Sosial Sastra (Trotsky)

(29)

Sebagai contoh aplikasi Trotsky ini adalah novel-novel berbobot dari tangan tua Pramoedya Ananta Toer di tengah-tengah masyarakat di bawah kuasa rezim Orde Baru—yang didominasi oleh militer dan pengusaha/pemilik modal. Dalam situasi konspiratif antara penguasa dan pengusaha, lahirlah novel-novel besar dan kecil

Anak Semua Bangsa, Arok Dedes, Perburuan, Subuh, Percikan Revolusi, Mereka yang Dilumpuhkan, Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, Cerita dari Blora, Midah Si Manis Bergigi Emas, Korupsi, Sekali Peristiwa di Banten Selatan, Cerita Calon Arang, Gulat dari Jakarta, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Bumi Manusia, Jejak Langkah, Hikayat Siti Mariah, Keluarga Gerilya, yang biarpun dinyatakan dilarang negara melalui Departemen Kehakiman dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetap diburu dan menuai pujian banyak orang (Kurniawan, 1999; Amalik, 2000).

Mengapa banyak diburu dan sering diberitakan media massa—kiranya merupakan bukti bahwa novel-novel “kiri” Pram menyajikan sesuatu yang luar biasa: menyuarakan ketertindasan, penderitaan, ketidakadilan yang dialami golongan yang tidak berkuasa. Bahasa Pram juga lugas, spontan, dan langsung, sehingga mudah dimengerti pembaca. Dengan seluruh karyanya, Pram berhasil melakukan pemahaman ulang terhadap sejarah kemerdekaan manusia Indonesia (GoGwilt, 1996: 157).

Kesimpulan

(30)

Sebagai implikasi dari temuan ini, berikut direkomendasikan beberapa hal yang berkaitan dengan proses perkuliahan sastra, pembimbingan penelitian sastra, dan pengembangan wawasan sastra sebagai perspektif penelitian lebih lanjut.

Pertama, dalam proses perkuliahan, hendaknya setiap teori dalam rumpun teori sasatra marxis, mendapat porsi penjelasan dan contoh aplikasi yang seimbang, dan tidak hanya menekankan pandangan Karl Marx saja. Memang dari sini terbayang kesulitan mencari pustaka yang relevan untuk materi di luar pandangan kesastraan Marx. Sebagai alternatif, dapat dicoba dipelajari artikel Donald E. Hall, “Marxist and Materialist Analysis” (2001a), artikel Robbins, “A Marxist Perspective: ’They Don’t Much Count, Do They?’ (1999), dan artikel Soetomo, “Seni, Kebudayaan, dan Marxisme” (2001).

Kedua, dalam pembimbingan penelitian sastra yang berrumpun teori sastra marxis, para dosen diharapkan tidak berkeberatan terus memotivasi mahasiswa agar berani mengambil risiko memulai penelitian dengan mengaplikasikan teori di luar pandangan Marx, yakni Lenin, Lukacs, Brecht, Zima, Plekanov, Marcuse, Benjamin, dan Trotsky. Bagi dosen yang terlalu “cinta” terhadap pandangan estetis Karl Marx—apalagi yang kelewat “fanatik” terhadap kajian intrinsik—saran ini dikhawatirkan menambah kesibukan. Akan tetapi, dengan asumsi bahwa bagaimanapun dosen lebih banyak “makan asam garam” kesastraan dan penelitian sastra, kekhawatiran ini akan segera berlalu. Apalagi, kepustakaan tentang itu cukup banyak di perpustakaan dan toko.

Ketiga, demi pengembangan wawasan sastra sebagai perspektif penelitian lebih lanjut, para dosen dan mahasiswa pembaca budiman tulisan ini diharapkan mencari sendiri berbagai teori sastra marxis lain yang belum terangkum dalam tulisan ini, misalnya pandangan neo-marxis hegemoni dari Antonio Gramsci. Sangat bagus jika dosen dan mahasiswa membaca tulisan Amalik, “Ideologi Koran Sastra dan Pramoedya” (2000), Fauzie, “Fiksi dan Sejarah dalam Karya Pramoedya” (2002), Marwoto, “Estetika Kiri: Seni dan Subversi” (2001), dan Murfin, “Marxist Criticism and The Turn of the Screw” (1999).

Daftar Pustaka Acuan

Abraham, J. 2001. “Seni dan Subversi”. http://filsafatkita.f2g.net/seni1.htm

(31)

Andalas, M. 2001. “Cahaya Redup di tengah Kegelapan: Catatan atas Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami?”. Basis 50/09—10, September—Oktober: 65—68.

Beidler, P.G. (ed.). 1999. Case Studies in Contemporary Criticism The Turn of The Screw Henry James. Boston: Bedford Books of St. Martin’s Press.

Damono, S.D. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa.

GoGwlit, C. 1996. “Pramoedya’s Fiction and History: An Interview with Indonesian Novelist Pramoedya Ananta Toer”. The Yale Journal of Criticism 9(1).

Hall, Donald E. 2001. “Literature and cultural theory”. http://users.ipfw.edu/waldschg/ LiterCu.htm

Hall, Donald E. 2001a. “Marxist and materialist analysis”. http://users.ipfw.edu/ waldschg/ LiterCu. Htm

Jupriono, D. 2003. “Metode Penelitian Sastra: Beberapa Catatan Kritis”. Parafrase 03/01

Luxemburg, J. van, M. Bal, W.G. Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.

Marwoto, Y. 2001. “Estetika Kiri: Seni dan Subversi”. Basis 50/09—10, September—

Oktober: 32—37.

Murfin, R.C. 1999. “Marxist Criticism and The Turn of the Screw”. Dalam Beidler (ed.). Case Studies in Contemporary Criticism The Turn of The Screw Henry James. Boston: Bedford Books of St. Martin’s Press.

Robbins, B. 1999. “A Marxist Perspective: ’They don’t much count, do they?’: The Unfinished History of The Turn of The Screw”. Dalam Beidler (ed.).

Soemardjo, J. 1994. “Konteks Sosial Setting Novel Indonesia”. Basis XLIII/2: 69—75.

Soetomo, G. 2001. “Seni, Kebudayaan, dan Marxisme: Perasaan Putus Asa Para Intelektual Kiri?”. Basis 50/09—10, September—Oktober: 26—31.

Steen, Gerald J. & Dick Schram. 2001. “The empirical study of literature: Psychology, sociology, and other disciplines”. Hal. 1—16 dalam Dick Schram & Gerald J. Steen (ed.), The Psychology and Sociology of Literature. John Benjamins Publioshing Company

(32)

Thukul, W. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Indonesia Tera.

Trotsky, L. 2003. “Akar dan Fungsi Sosial Dunia Sastra”. Terjemahan Dewey Setawan. http:// www. marxists.org/indonesia/archive/trotsky/ tr232004.htm

D. Jupriono

5 Januari 2012 15.59

Komentar ini telah dihapus oleh penulis.

Gelar Garnadi

19 Desember 2013 00.14

Selamat malam pak, saya Gelar mahasiswa sastra Unpad.

Sekarang saya sedang dalam masa penyusunan skripsi dan topik skripsi adalah tentang elemen-elemen marxisme dan/atau leninisme dalam novel-novel karya Pram.

Setelah membaca tulisan bapak, saya tertarik dan berminat untuk belajar lebih dalam mengenai kajian kritik sastra terkait Marxisme-Leninisme. Bagaimana saya bisa menghubungi bapak lebih lanjut? Terima kasih banyak pak sebelumnya.

Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Mengenai Saya

D. Jupriono

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran tingkat kemampuan berpikir kritis siswa di SMK Negeri 11 Bandung, yang terdiri dari lima dimensi yaitu memberikan penjelasan sederhana, membangun

[r]

Merujuk pada data agregat kegiatan Pengabdian Masyarakat ITB hingga tahun 2019 mengindikasikan tingginya kegiatan untuk Lingkar 1: Lingkungan Kampus ITB, Bandung dan sekitarnya;

Dalam kasus IA-CEPA penulis mengklasifikasikan sebagai berikut (1) konflik yang terjadi antara Indonesia dan Australia; (2) mengakibatkan negosiasi IA-CEPA terhenti; (3)

fungsi yang lain yaitu fungsi redistribusi. Melihat kontribusi penerimaan BPHTB yang besar terhadap Pendapatan Pajak Daerah di Kota Malang, maka memungkinkan bagi Pemerintah

Secara tradisional juga, pembelajaran di sekolah maupun di kampus lebih memperhatikan konten, tanpa sengaja melupakan penekanan proses yang lebih tinggi (Zawadzki, 2010). Salah

Sedangkan berbeda dengan hasil penelitian dari Husnatarina dan Nor (2007), Falikhatun (2007) dan Sardjito dan Muthaher (2007) menyatakan bahwa partisipasi penganggaran yang

22 Hasil klasifikasi data tinggi gelombang 2012 Dari gambar diatas dapat dilihat adanya perubahan warna dari kuning, hijau, biru hingga biru tua. Perubahan warna tersebut